1
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Be lakang
Penyalahgunaan
dan
peredaran
gelap
narkotika
merupakan permasalahan global yang sudah menjadi ancaman serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini, penyalahgu penyalahgunaan naan dan peredaran peredaran gelap gelap narkoba narkoba di Indones Indonesia ia telah menyebar di seluruh Indonesia (Hawari, 2009). Peredaran NAPZA sudah sangat mengkhawatirkan sehingga cepat lambat
penyalahgunaan
NAPZA
akan
atau
menghancurkan
generasi bangsa atau disebut dengan lost generation (Joewana, 2009). Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positifnya sikap masyarakat terhadap
masalah
tersebut
misalnya
ketidakpedulian
masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2009). Dampak yang terjadi adalah
individu
dari faktor-faktor di atas
mulai melakukan penyalahgunaan dan
ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena
2
intoksikasi zat dan withdrawal. Peran
penting
tenaga
kesehatan
dalam
upaya
menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak
disadari,
kecuali
mereka
yang
berminat
pada
penanggulangan penanggulangan NAPZA (DepKes, 2011). Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang
sedang
dirawat di rumah sakit sakit untuk meningkatkan meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan
masyarakat
tentang
perawatan
dan
pencegahan kembali penyalahgunaan NAPZA pada klien. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindroma putus zat).
1.2 Perumusan Masalah
1.1.1
Bagaimana kejadian dan prevalensi penyakit mental dan
penggunaan
NAPZA
yang
digunakan
di
Indonesia? 1.1.2
Bagaimana
perbandingan
dari
berbagai
mengenai gangguan penyalahgunaan NAPZA?
teori
2
intoksikasi zat dan withdrawal. Peran
penting
tenaga
kesehatan
dalam
upaya
menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak
disadari,
kecuali
mereka
yang
berminat
pada
penanggulangan penanggulangan NAPZA (DepKes, 2011). Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang
sedang
dirawat di rumah sakit sakit untuk meningkatkan meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan
masyarakat
tentang
perawatan
dan
pencegahan kembali penyalahgunaan NAPZA pada klien. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindroma putus zat).
1.2 Perumusan Masalah
1.1.1
Bagaimana kejadian dan prevalensi penyakit mental dan
penggunaan
NAPZA
yang
digunakan
di
Indonesia? 1.1.2
Bagaimana
perbandingan
dari
berbagai
mengenai gangguan penyalahgunaan NAPZA?
teori
3
1.1.3
Bagaimana
pendekatan
berhubungan
dengan
pengobatan
perilaku
yang
kesehatana
di
masyarakat? 1.1.4
Bagaimana
sumber
daya
perilaku
kesehatan
masyarakat? 1.1.5
Bagaimana tujuan masyarakat sehat 2010 untuk mengurangi penggunaan NAPZA dan mengatasi kebutuhan perilaku kesehatan di Indonesia?
1.1.6
Bagaimana intervensi promosi kesehatan untuk perilaku kesehatan masyarakat? masyarakat?
1.1.7
Bagaimana peran perawat komunitas dalam langkah pencegahan terhadap penggunaan penyalahgunaan NAPZA?
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi
peran
perawat
terhadap
tindakan
pencegahan penyalahgunaan penyalahgunaan NAPZA di masyarakat. 1.3.2
Tujuan Khusus
1. mendiskusikan kejadian dan prevalensi penyakit mental dan penggunaan NAPZA yang digunakan di Indonesia; 2. mendiskusikan perbandingan dari berbagai teori
4
3. mendiskusikan pendekatan pengobatan yang berhubungan dengan perilaku kesehatana di masyarakat; 4. mengidentifikasi sumber daya perilaku kesehatan masyarakat; 5. mengidentifikasi tujuan masyarakat sehat 2010 untuk mengurangi penggunaan NAPZA dan mengatasi kebutuhan perilaku kesehatan di Indonesia; 6. mendiskusikan intervensi promosi kesehatan untuk perilaku kesehatan masyarakat; 7. menjelaskan peran perawat komunitas dalam langkah
pencegahan
terhadap
penggunaan
penyalahgunaan NAPZA. 1.3.3
Manfaat
1. mahasiswa mampu mendiskusikan kejadian dan prevalensi penyakit mental dan penggunaan NAPZA yang digunakan di Indonesia; 2. mahasiswa mampu mendiskusikan perbandingan dari
berbagai
teori
mengenai
gangguan
endiskusikan
pendekatan
penyalahgunaan NAPZA; 3. mahasiswa
mampu
pengobatan yang berhubungan dengan perilaku
5
4. mahasiswa mampu mengidentifikasi sumber daya perilaku kesehatan masyarakat; 5. mahasiswa masyarakat
mampu sehat
mengidentifikasi 2010
untuk
tujuan
mengurangi
penggunaan NAPZA dan mengatasi kebutuhan perilaku kesehatan di Indonesia; 6. mahasiswa mampu mendiskusikan intervensi promosi kesehatan untuk perilaku kesehatan masyarakat; 7. mahasiswa mampu menjelaskan peran perawat komunitas dalam langkah pencegahan terhadap penggunaan penyalahgunaan NAPZA
6
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Penyalahgunaan Zat
2.1.1 Pengertian Penyalahgunaan Zat Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus
bahkan
sampai
setelah
terjadi
masalah.
Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada
perilaku
psikososial
yang
berhubungan
dengan
ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 2009).
2.1.2 Rentang Respon Gangguan Penggunaan NAPZA Rentang
respons
ganguan
pengunaan
NAPZA
(Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) berfluktuasi
ini
dari kondisi yang ringan sampai yang berat,
indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA.
7
(Sumber : Yosep, 2009) Dari gambar atas dijelaskan
bahwa rentang respon
gangguan penggunaan NAPZA terdiri dari respon adaptif dan respon maladaptif yang terdiri atas lima tahapan, yaitu : a. Eksperimental: Kondisi
pengguna taraf
awal,
yang
disebabkan rasa ingin tahu dari remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba. b. Rekreasional: Penggunaan zat
adiktif
pada
waktu
berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan
malam
mingguan,
acara
ulang
tahun.
Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman- temannya. c. Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau
mengatasi
masalah
yang
dihadapi. Misalnya
individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai
8
d. Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1
bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku
mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan. e. Ketergantungan:
Penggunaan zat yang sudah cukup
berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.
2.2 Epidemiologi Penyalahgunaan NAPZA
2.2.1 Epidemiologi Penyalahgunaan NAPZA di Dunia Menurut estimasi Badan Dunia bidang Narkoba (United Nations Office on Drugs and Crime — UNODC) pada World Drug Report (2009), angka prevalensi setahun
9
populasi dunia (kurang lebih 200 juta jiwa) dengan perinciannya yaitu : penyalahguna Ganja 162,4 juta jiwa, ampetamine-type stimulants (ATS) 35 juta jiwa (terdiri dari : Shabu 25 juta jiwa dan Ecstasy 10 juta jiwa), Kokain 13,4 juta jiwa, Opiat 15,9 juta jiwa (dimana heroin sebesar 11,3 juta jiwa). World
Drugs Report
bahwa Setiap tahun, setiap hari
2010,
melaporkan
sekitar 100 ribu orang tewas, atau
300 orang tewas, karena mengkonsumsi
Opium. Setiap tahun negara-negara di seluruh dunia dibanjiri 1000 ton heroin, 1000 ton kokain, sejumlah besar ganja dan ATS (BNN, 2011). 2.2.2 Epidemiologi Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia Di
Indonesia
dalam
beberapa
tahun
terakhir
penyalahgunaan narkoba meningkat pesat, baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90.523 butir (2001) menjadi 1,3 juta butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1.241,2 kg (2006). Jumlah tersangka meningkat dari 4.924 orang tahun 2001 menjadi 31.635 orang tahun 2006 (Mabes Polri, 2007). Angka-angka yang
dilaporkan
ini
hanya
puncak gunung es dari
masalah narkoba yang jauh lebih besar (BNN, 2008). Hasil Penelitian yang dilakukan oleh BNN pada tahun 2010 di
10
narkoba semakin meningkat dari angka 1,55% menjadi 1,99% dari jumlah penduduk Indonesia (3,6 Juta orang) dan pada tahun 2015 akan mengalami kenaikan menjadi 2,8% (5,1 Juta orang). Survey yang dilakukan oleh BNN Provinsi Jawa Tengah, Kasus penyalahgunaan peredaran gelap narkoba sejak
2008-2010
cenderung
meningkat
sampai
924
kasus. Dengan tersangka narkotika 1270 orang. Peran tersangka sebagai distribusi maupun konsumsi dan banyak dilakukan oleh siswa SLTA dengan usia 25-29 tahunh dan berjenis
kelamin
laki-laki.
Pada
kasus
tersangka
psikotropika 1194. Kasus peran tersangka sebagai distribusi maupun
konsumsi
dan
banyak
dilakukan
oleh
karyawan/pekerja swasta dengan usia >29 tahun dan berjenis kelamin laki- laki (Depkes, 2011). Dari
hasil
survei
yang
dilakukan
oleh
BNN
bekerjasama dengan PUSLITBANG UI, di Indonesia penyalahgunaan NAPZA diketahui lebih dari separuh responden berada pada kelompok umur 20-29 tahun (68%). Sebagian besar penyalahguna adalah laki-laki, hanya 9% dari penyalahguna adalah perempuan (12%). Sebagian besar telah menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi (80%), yaitu minimal telah tamat SLTA ke atas, terutama para
11
menikah, dimana proporsi terbesar berada di kelompok pecandu
suntik.
Sekitar
seperempat responden
tidak
bekerja. Mereka yang berstatus mahasiswa/pelajar sebanyak 28%, sedangkan yang mengaku bekerja kebanyakan adalah pegawai swasta (15%) dan wiraswasta/ pedagang (12%). Pecandu suntik kebanyakan
berstatus
tidak
bekerja
(34%). Sedangkan pada teratur pakai dan pecandu bukan suntik kebanyakan mahasiswa (32% dan 24%). Lebih dari separuh
responden
mengaku
masih
tinggal
bersama
orangtuanya (58%) dan sekitar seperempatnya tinggal di rumah kost atau kontrakan. Pecandu suntik lebih banyak yang tinggal bersama orangtuanya (64%) dibandingkan jenis penyalahguna lainnya (BNN, 2011).
2.3 Konsep NAPZA
2.3.1 Definisi NAPZA NAPZA
adalah
singkatan
untuk
narkotika,
alkohol,
psikotropika dan zat adiktif lain. Menurut UU RI Nomor 35 tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Menurut Badan
12
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Sedangkan psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika baik alamiah maupun sintesis yang memiliki khasit psikoaktif melalui pengaruh siliktif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan prilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa. Yang terakhir adalah zat aditif, yaitu zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menyebabkan ketergantungan.
2.3.2 Jenis-jenis NAPZA NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. 2.3.2.1 Narkotika Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun
sintetis
yang
dapat
menyebabkan
turunnya
13
atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin,
kokain,
morfin,
amfetamin,
dan
lain-lain.
Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Noorkasiani et al, 2009). Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditegaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Bambang
Riyadi
dan
Mukhsin (1999:34) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni morphine, heroin, codein, hesisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat
14
Golongan
narkotika
berdasarkan
bahan
pembuatannya adalah: koka 1) Narkotika langsung
alami dapat
yaitu
zat
dan
obat
yang
dipakai sebagai narkotik tanpa
perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka. 2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat keperluan
medis
dan
sintesis
penelitian
untuk sebagai
penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut: a) Depresan dapat membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri. b) Stimulan dapat membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas, bekerja dan merasa badan lebih segar.
15
c) Halusinogen dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran. 3)
Narkotika
semi
sintetis
yaitu
zat/obat
yang
diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lainlain.
Berikut jenis-jenis dari narkotika dan efek yang ditimbulkan: a) Ganja Ganja atau cannabis sativa merupakan salah satu jenis narkotika yang pada awalnya berguna untuk mengobati keracunan ringan. Bagian dari ganja yang dikonsumsi antara
lain
daun,
batang,
dan
biji.
Cara
pengkonsumsiannya adalah dengan mengisapnya seperti rokok atau mencampurkannya dengan makanan agar makanan tersebut lebih nikmat. Efek yang ditimbulkan dari ganja antara lain rasa gembira yang berlebihan, rasa percaya diri yang berlebihan sehingga tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, dan menimbulkan halusinasi, dan sebagainya. b) Morfin Morfin merupakan zat akfit dari opium. Zat ini dibuat
16
lain. Efek yang ditimbulkan dari morfin adalah menekan kegiatan system syaraf, memperlambat pernafasan dan detak
jatung,
memperbesar
pembuluh
darah,
dan
mengecilkan bola mata dan mengganggu kerja organ tubuh. c) Heroin Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir - akhir ini . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. d) Kokain Kokain
adalah
disalahgunakan
zat dan
yang
adiktif
merupakan
zat
yang
sering
yang
sangat
berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan. Kokain digunakan karena secara karakteristik menyebabkan elasi, euforia, peningkatan harga diri dan perasan perbaikan pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat
17
disertai dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif. 2.3.2.2 Psikotropika Menurut
Kepmenkes
RI
No.
996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat
yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2009) adalah: stimulansia yang sangat
aktif
Termasuk
membuat
karena dalam
pusat
syaraf
menjadi
merangsang syaraf simpatis. golongan
stimulan
adalah
amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed, shabushabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan
golongan
stimulan
yang
dapat
mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan
secara
fisik
digunakan dalam waktu lama.
dan
psikologis
bila
18
2.3.2.3 Zat Adiktif Lainnya Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal
maupun
campuran
yang
dapat
membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan- bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik
seseorang jika
disalahgunakan
(Hawari, 2009). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Martono, 2009). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.
19
2.4 Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Secara umum dapat diketahui bahwa faktor penyebab penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, faktor – faktor bisa datang dari dalam dan luar si pelaku. Martono (2009) mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang
menjadi
pecandu
narkoba
yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. 1. Faktor internal pelaku Dilihat dari faktor internal pelaku penyebab yang mendorong
seseorang
melakukan
penyalahgunaan
narkotika dan spikotropika antara lain : a) Perasaan Egois Sudah menjadi sifat bagi setiap manusia, bahwa sifat egois selalu mendominasi setiap orang tanpa sadar terbawa arus atas perilaku itu. Namun tidak terkecuali bagi mereka yang berhubungan dengan narkotika dan psikotropika.
Dalam hal ini pada waktu – waktu
tertentu akan muncul rasa egoisnya itu yang dapat mempengaruhi dan mendorong rasa ingin memiliki dan menikmati apa yang dapat ditimbulkan dan dihasilkan dari narkotika dan psikotropika itu, dengan cara di luar aturan hukum yang berlaku. b) Ada suatu keinginan bebas
20
Dapat dimaklumi bahwa keinginan bebas dari apapun itu merupakan kehendak dari mereka.
Padahal di
dalam pergaulan masyarakat secara teori di ikat oleh berbagai norma (hukum) untuk membatasi kehendak bebas. Karena kehendak bebas itu muncul dari wujud di dalam perilaku seseorang, yang penuh dengan “tekanan” beban, maka ia selalu behubungan dengan orang lain. Di samping itu du dukung pula interaksi di antara mereka menghindari “himpitan” itu dengan jalan pintas mekonsumsi narkotika dan psikotropika, tanpa ada pertimbangan yang cukup matang dan memikirkan resiko yang dapat di timbulkannya. c) Kegoncangan Jiwa Kegoncangan jiwa seringkali terjadi pada pecandu narkotika dan psikotropika, ini disebabkan juga tidak mampu untuk mengatasi persoalan yang terjadi pada dirinya sendiri. berusia
muda
Apalagi terhadap mereka yang dan
masih
labil
serta
mudah
terpengaruh pada hal – hal yang baru paling gampang terlibat pada narkotika dan psikotropika. Di dukung pula oleh komunikasi dan pergaulan dengan teman – teman
pengedar
psikotropika.
dan
pemakai
narkotika
dan
21
d) Keingintahuan Rasa ingin tahu terutama bagi kalangan muda tidak hanya terbatas pada hal-hal yang negatif. Akan tetapi rasa ingin tahu terhadap narkotika dan psikotropika ini merupakan salah satu pendorong bagi seseorang untuk
melakukan
(kejahatan)
perbuatan
termasuk
yang
menyimpang
keingintahuan
terhadap
narkotika dan psikotropika, yang pada akhirnya sampai menimbulkan ketergantungan. Ini kadangkala dapat
menjerumuskan
pencandu
dan
seseorang
pengedar
berat
itu
menjadi
narkotika
dan
psikotropika. 2. Faktor Eksternal Pelaku (faktor diluar pelaku) Faktor Eksternal pelaku merupakan salah satu faktor yang sangat penting sebagai penyebab seseorang sering melakukan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Faktor
tersebut
diantaranya
kondisi
ekonomi,
lingkungan, pergaulan dan faktor pengawasan / kontrol : a) Kondisi ekonomi Dilihat dari sisi kondisi ekonomi yaitu ada kondisi ekonomi yang baik, juga kondisi ekonomi yang hanya berkecukupan saja (miskin).
Pada kondisi
ekonomi seseorang yang agak mapan dengan mudah
22
terhadap seseorang yang terkena himpitan ekonomi yang belum / kurang mapan, justru sulit untuk mencapai keinginan yang diinginkannya itu. Apabila keinginannya tidak tercapai, maka ia melakukan pelbagai tindakan yang tidak terpuji.
Apalagi pada
keluarga broken home dan sibuk untuk mengejar karir.
Pada kondisi ekonomi
mapan atau tidak
mapan justru bisa mempengaruhi atau mendorong seseorang kepada suatu perubahan dan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Dalam hal ini Martono (2009) berpendapat bahwa kondisi – kondisi dan perubahan – perubahan
ekonomi
mempunyai
pengaruh besar dalam terjadinya kejahatan apabila tidak diiringi pengawasan yang ketat. Hal ini dapat terjadi juga bagi pengguna dan pengedar narkotika dan psikotropika. Apalagi di dorong oleh situasi dan kondisi ekonomi, dan perubahan gaya hidup masing – masing mereka.
Pada era global dan teknologi
canggih yang dengan gampang untuk mendapatkan narkotika dan psikotropika melalui jaringan yang rapi dan bisa dapat di mana-mana.
23
b) Lingkungan / Pergaulan Lingkungan / pergaulan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang bisa menjadi baik atau tidak baik.
Apabila dilihat dari segi negatif pengaruh
lingkungan / pergaulan yang kurang baik ini tidak sedikit dapat menjerumuskan seseorang ke lembah hitam dan menjadi penjahat atau kriminal,
didukung pula oleh
interaksi dilingkungannya. Sependapat dengan itu Edwin Sutherland
yang
dikutip
oleh
Martono
(2009)
menegaskan bahwa kejahatan antara lain seperti perilaku kriminal dapat dipelajari dalam asosiasi atau pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan. Tidak menutup kemungkinan adanya indikasi bagi pengguna dan pengedar yang melakukan kejahatan narkotika dan psikotropika
adalah
akibat
dari
pergaulan
dan
dilingkungan yang tidak sehat, di samping adanya pengaruh yang dikelilingi oleh penjahat termasuk penjahat narkotika dan psikotropika.
Selain itu juga
tumbuh
narkotika
suburnya
penyalahgunaan
dan
psikotropika, akibat dari masyarakat selalu apatis teradap lingkungannya.
24
c) Pengawasan / Kontrol Faktor lain penyebab tumbuh suburnya kejahatan narkotika dan psikotropika ada indikasi bahwa belum maksimalnya pengawasan dan kontrol masyarakat. Di tegaskan oleh Hiroschi yang dikutip oleh Martono (2009) bahwa perilakukriminal merupakan kegagalan kelompok – kelompok sosial seperti keluarga, sekolah dan lain sebagainya.
Dalam kaitan dengan itu pula, maka
sebagai kelompok sosial kelompok dalam hal ini seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pramuka.
Di
sini pula peran dan fungsi aparat penegak hukum mempunyai arti penting dan garda terdepan untuk melakukan kontrol sosial dan pengawasan terhadap pasar gelap, produksi gelap dan populasi pecandu narkotika dan psikotropika. Sedangkan menurut Harboenangin (dikutip dari Hawari, 2009) mengemukakan ada beberapa faktor yang
menyebabkan
narkoba
seseorang
menjadi
pecandu
yaitu faktor eksternal dan faktor internal,
diantaranya adalah : 1. Faktor internal pelaku a) Faktor Kepribadian Kepribadian seseorang turut berperan dalam
25
usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk
memecahkan
berpengaruh mencari
masalah
terhadap
pemecahan
secara
bagaimana masalah
adekuat
ia
mudah
dengan
cara
melarikan diri. b) Inteligensia Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya. c) Usia Mayoritas
pecandu
narkoba
adalah
remaja.
Alasan remaja menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.
26
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama. e) Pemecahan Masalah Pada
umumnya
menggunakan
para
narkoba
pecandu
narkoba
untuk menyelesaikan
persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat dan
menurunkan tingkat
membuatnya
lupa
kesadaran
pada permasalahan
yang ada. 2. Faktor eksternal pelaku a) Keluarga Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi
penyebab seseorang menjadi pengguna
narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga keluarganya yaitu:
yang
berisiko
terlibat
tinggi
penyalahgunaan
anggota narkoba,
27
orang tua) mengalami ketergantungan narkoba. 2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang
terlihat dari pelaksanaan aturan yang
tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak). 3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah
ada
upaya
penyelesaian
yang
memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara. 4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam
hal
ini,
peran
orang
tua
sangat
dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri – tanpa
diberi
kesempatan
untuk
berdialog
dan menyatakan ketidaksetujuannya. 5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang
menuntut
anggotanya
mencapai
kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal. 6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang
28
kuat,
mudah
cemas
dan
curiga,
sering
berlebihan dalam menanggapi sesuatu. b) Faktor Kesempatan Ketersediaan
narkoba
dan
kemudahan
memperolehnya juga dapat disebut sebagai seseorang
menjadi
pecandu.
Indonesia
pemicu yang
sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan bahwa para
penjual
dagangannya
narkotika di
menjual
sekolah-sekolah,
barang
termasuk
di
Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu. Dengan demikian ternyata bahwa faktor internal maupun eksternal itu tidak hanya berjalan sendiri – sendiri, akan tetapi saling pengaruh - mempengaruhi antara satu sama lainnya, termasuk faktor penyebab penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
29
2.5 Tanda dan Gejala Klien dengan Penyalahgunaan NAPZA
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.
2.6 Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Martono (2009) menjelaskan bahwa penyalahgunaan
30
pemakainya
(diri
sendiri),
keluarga,
pihak
sekolah
(pendidikan), serta masyarakat, bangsa, dan negara. a) Bagi diri sendiri Penyalahgunaan
NAPZA
dapat
mengakibatkan
terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku
(mental
sosial),
gangguan
kesehatan,
menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum. Sementara
itu,
dari
segi
efek
dan
dampak
yang
ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti
sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin, 2) Downer
yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis. b) Bagi keluarga Penyalahgunaan
NAPZA
dalam
keluarga
dapat
31
keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat,
merasa
putus
asa
karena
pengeluaran
yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan. c) Bagi pendidikan atau sekolah NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian. d) Bagi masyarakat, bangsa, dan negara Penyalahgunaan
NAPZA
hubungan pengedar
mengakibatkan
narkoba
dengan
terciptanya korbannya
sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya
negara
mengalami
kerugian
karena
masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta
32
mengatasi masalah tersebut. Resiko inilah
menjadikan
penyalahgunaan NAPZA sebagai masalah yang serius (Hawari, 2009).
2.7 Pengobatan yang Berhubungan Dengan Perilaku Kesehatan Masyarakat
Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Kesehatan masyarakat hanya sedikit yang akan dapat dicapai tanpa adanya kesadaran individu untuk secara mandiri menjaga kesehatannya. Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku sehatnya. Perilaku yang sehat dan
kemampuan
masyarakat
untuk
memilih
dan
mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sangat menentukan
keberhasilan
Pembangunan
Kesehatan
dengan misi membuat rakyat sehat (Notoatmodjo, 2010). Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena sulitnya akses terhadap
pelayanan
kesehatan.
Kesulitan
akses
pelayanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan memang mahal, daya jangkau pelayanan operasi yang masih rendah, kurangnya pengetahuan
33
dan fasilitas kesehatan mata yang masih terbatas. Penjaminan akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam undangundang dasar 1945, sejak tahun 2005 telah diupayakan untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut, melalui pelaksanaan kebijakan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin (Departemen
Kesehatan
RI, 2009). Berdasarkan teori perilaku pencarian pelayanan kesehatan disebutkan bahwa perilaku orang yang sakit untuk memperoleh penyembuhan mencakup tindakantindakan seperti perilaku pencarian dan penggunaan fasilitas/tempat pelayanan kesehatan (baik tradisional maupun modern). Tindakan ini dimulai dari mengobati sendiri sampai mencari pengobatan di luar negeri (Notoatmodjo, 2009). Masyarakat
jika
menderita
sakit
cenderung
mengobati sendiri terlebih dahulu dengan membeli obat di warung, salep di apotik tanpa resep dari dokter, mereka hanya menanyakan kepada penjaga apotik obat mana yang biasa digunakan untuk mata merah, padahal dengan mereka membeli obat tanpa resep dokter belum tentu itu baik buat kesehatan, dan belum tentu obat
34
mengabaikan aturan pemakaian. Dan ada juga yang mengobati secara tradisional yaitu dengan mengompres dengan air hangat, air sirih, air teh, daun kelor dan air bambu. 2.8 Sumber Daya Perilaku Kesehatan Masyarakat
Perilaku pengalaman
manusia serta
adalah
interaksi
hasil
dari
manusia
segala dengan
lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud adalah non biologis/sosial budaya. Perilaku manusia merupakan respon/reaksi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dalam dirinya. respon dapat bersifat pasif, yaitu berfikir, berpendapat, bersikap, maupun bersifat aktif yaitu melakukan tindakan. Respon individu/ masyarakat ada kaitannya dengan lingkungan social budaya yang ada disekitarnya, dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku individu/masyarakat dalam bertindak selanjutnya. Menurut T. Parsons, perilaku individu sangat dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem budaya, serta sistem kepribadian dari individu itu sendiri. Sedangkan menurut T. Weber, perilaku merupakan hasil dari pengalaman,
persepsi,
pemahaman,
dan
penafsiran
individu, yang mendapat stimulus internal berupa
35
bersangkutan.
Menurut
hendrik
L.
Blum,
status
kesehatan individu/masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan,
perilaku,
pelayanan
kesehatan
dan
herediter/keturunan. Dalam teori blum ini, pengaruh perilaku
pada
status
kesehatan
individu
maupun
masyarakat merupakan pengaruh terbesar kedua setelah lingkungan.
Gambar 2.8-1 Perilaku menurut Webber
36
Gambar 8.2-2 Status kesehatan dan factor pengaruhnya menurut Hendrik L. Blum.
Untuk memudahkan dalam mempelajari perilaku sakit dan penyakit, menurut soekidjo notoatmodjo (2009), perilaku dikelomokkan menjadi beberapa unsur pokok yaitu sebagai berikut. a)
Perilaku
sehubungan
dengan
peningkatan
dan
pemeliharaan kesehatan (health promotion behauior), misalnya makan mnkanan yang bergizi, olah raga, dan sebagainya. b)
Perilaku
pencegahan
penyakit
(health
prevention
behavior), adalah respon untuk melakukan pencegahan
37
mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan sebagainya.
Termasuk
juga
perilaku
untuk
tidak
menularkan penyakit kepada orang lain. c)
Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health
seeking
behavior),
yaitu
perilaku
untuk
melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usahausaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan modern (Puskesmas, mantri, dokter praktek, dan lain sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya). d)
Perilaku
sehubungan
dengan
pemulihan
kesehatan
(health rehabilitation behavior), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah
sembuh
dari
suatu
penyakit.
Misalnya,
melakukan diet, mematuhi anjuran-anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya. Berdasarkan teori tersebut, lingungan sosial budaya seseorang atau masyarakat sangat berpengaruh terhadap perillaku dan status kesehatannya. Beberapa fenomena
sosial
budaya
yang
dapat
diketahuihubungannya dengan status kesehatan baik
38
individu maupun masyarakat dapat kita lihat pada stigma sosial dan kesehatan individu. Menurut Kamus Bahasa Indoesia stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Misalnya, karena disebut anak nakal, anak itu menjadi benar-benar anak nakal. Stigma sosial dan kesehatan adalah ciri negtif yang menempel pada preibadi seseorang karena pengaruh ligkungannya, dan akan mempengaruhi kesembuhan seseorang dari penyakitnya. Misalnya, stigma masyarakat tentang seorang pecandu napza .setiap orang dapat berubah
jika
dibantu,
didukung,
dan
didorong
untuk
berubah.seorang pecandu dapat berubahjika diberi kesempatan dan dukungan untuk berubah, termasuk dukungan ingkungan positif.dengan memberi terapi untuk membuat mereka dicintai, dihagai, dan diberdayakan sesuai dengan bakat dan minatnya akan menjadikan berkelakuan mulia dan terpuji. Pengauh lingkungan maupun peran masyarakat ikut diperhitungkan apabila ada suatu pembahasan tentang illness. Illness tidak selalu bersifat disease, tetapi selalu mempunyai hubungan dengan sosial dan budaya. Sosial budaya termasuk sistem ekonomi pendidikan (Noorkasiani, dkk, 2009).
39
2.9 Fungsi Perawat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA
Masalah penyalahgunaan NAPZA merupakan masalah global dan memerlukan partisipasi aktif seluruh komponen bangsa dalam penanganannya, termasuk tenaga kesehatan. Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan mutlak wajib melaksanakan fungsi dan perannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat termasuk penanganan penyalahgunaan NAPZA. Fungsi perawat dalam penanggulangan penyalahgunaan NAPZA antara lain adalah: a. Independent Fungsi independent perawat adalah ”those activities that are considered to be within nursing’s scope of diagnosis and treatment”. Dalam fungsi ini tindakan perawat dalam penanganan klien pengguna NAPZA tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Dalam kaitan dengan penanggulangan penggunaan NAPZA tindakan perawat diantaranya : 1) Pengkajian klien pengguna NAPZA. 2) Membantu klien pengguna NAPZA memenuhi kegiatan sehari-hari.
40
b. Interdependent Fungsi interdependent perawat adalah ”carried out in conjunction
with
other
health
team
members”.
Tindakan perawat berdasar pada kerja sama dengan tim perawatan
atau
tim
kesehatan
lain.
Fungsi
ini
dilaksanakan dengan pembentukan tim yang dipimpin oleh seorang dokter. Dan anggota tim kesehatan lain bekerja sesuai kompetensinya masing-masing. Contoh tindakannya adalah melakukan kolaborasi rehabilitasi klien pengguna NAPZA, dimana perawat bekerja dengan
psikiater,
social
worker,
ahli
gizi
juga
rohaniwan, c. Dependent Fungsi dependent perawat adalah “the activities perfomed based on the physician’s order”. Dalam fungsi ini perawat bertindak membantu dokter dalam meberikan pelayanan medik. Perawat membantu dokter
memberikan
pelayanan
pengobatan
atau
pemberian psikofarmaka dan tindakan khusus yang menjadi kewenangan dokter dan seharusnya dilakukan oleh dokter. Contoh pada tindakan detoksifikasi NAPZA.
41
2.10 Peran Perawat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA
Peran perawat ini diterjemahkan dalam perannya sebagai provider, edukator, advokator, dan role model. a. Provider/Pelaksana Peran ini menekankan kemampuan perawat sebagai penyedia layanan keperawatan (praktisi). Perawat baik
secara
memberikan
langsung asuhan
maupun
keperawatan
tidak
langsung
kepada
klien
dengan ketergantungan obat0obatan terlarang baik secara individu, keluarga, atau pun masyarakat. Peran ini biasanya dilaksanakan oleh perawat di tatanan pelayanan seperti rumah sakit khusus ketergantungan obat, unit pelayanan psikiatri, puskesmas atau di masyarakat. Untuk mencapai peran ini seorang perawat harus mempunyai kemampuan bekerja secara mandiri dan kolaborasi, memiliki pengetahuan tentang ilmu dan kiat keperawatan, mempunyai pengetahuan tentang NAPZA, keterampilan, sikap empati dalam memberikan asuhan keperawatan. Dalam menjalankan peran sebagai care giver, perawat menggunakan metode pemecahan masalah dalam bentuk asuhan proses keperawatan untuk
42
b. Edukator/Pendidik Peran ini menekankan kepada tindakan promotif. Perawat melakukan pendidikan kesehatan tentang NAPZA dan dampaknya bagi kesehatan kepada klien baik individu, keluarga atau kelompok yang berada di bawah
tanggungjawabnya.
Untuk
melaksanakan
peran ini, perawat harus mempunyai keterampilan dalam
hubungan
mengetahui
interpersonal
prinsip
yang
yang
dianut
efektif,
oleh
klien,
mempunyai kemampuan proses belajar dan mengajar dan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang NAPZA. c. Advokat. Hal yang tidak pernah disadari adalah pengguna NAPZA sebenarnya ”korban”. Langkah saat ini dimana
menempatkan
pengguna
napza
sebagai
kriminal sebenarnya sangat tidak tepat, karena sebenarnya yang dibutuhkan oleh pengguna NAPZA adalah akses terhadap layanan-layanan yang dapat membantu mereka pulih dari kecanduannya. Di Indonesia
saat
ini
sudah
ada
peraturan
yang
menyebutkan bahwa pengguna napza dapat dikirim
43
sebagai ganti hukuman kurungan. Namun sayangnya, semenjak peraturan tersebut berlaku tahun 1997 (UU no.22 tahun 1997 tentang narkotika & UU no.5 tahun 1997 tentang psikotropika). Belum banyak yang dikirim ke panti rehabilitasi atas perintah hakim di pengadilan. Hal ini terjadi terutama karena masih kurangnya batasan antara pengguna dan pengedar di dalam
UU
Narkotika
yang
sekarang
berlaku.
Disinilah perawat harus mengambil peranan sebagai protector dan advocat. Peran ini dilaksanakan dengan berupaya
melindungi
klien,
mengupayakan
terlaksananya hak dan kewajiban klien, selalu “berbicara untuk pasien” dan menjadi penengah antara pasien dengan orang lain, membantu dan mendukung klien dalam membuat keputusan serta berpartisipasi dalam menyusun kebijakan kesehatan terutama program rehabilitasi pengguna NAPZA. d. Role model Keperawatan merupakan sebuah profesi dimana masyarakat memandang perawat sebagai seorang tokoh yang dihargai, diangga orang yang paling banyak tahu tentang kesehatan. Hal ini menjadikan seorang perawat terikat oleh kode etik profesi dalam
44
maupun di kehidupan sosial masyarakat. Adalah suatu
keharusan
sebagai
seorang
perawat
memberikan contoh hidup yang sehat. Namun tanpa disadari perawat merupakan salah satu profesi yang berpotensi menjadi
tinggi pengguna
mendorong NAPZA.
seorang Hal
ini
perawat karena
pengetahuan yang dimilikinya tentang obat-obatan dan kesempatan terbuka terhadap akses layanan obatobatan di tatanan pelayanan. Untuk itu diperlukan jiwa yang kuat agar perawat terhindar dari mapraktik yang menjurus kepada penyalahgunaan NAPZA. Hal ini mengingat masayarakat akan memandang perawat adalah orang yang seharusnya bersih dari segala kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan.
45
BAB 3. PEMBAHASAN
Pengertian penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya bukan untuk tujuan pengobatan atau digunakantanpa mengikuti takaran yang seharusnya paling sedikit menimbulkan
selama satu
gangguan
fisik,
Penyalahgunaan NAPZA disebabkan
bulan,
mental, oleh
sehingga
dan berbagai
sosial. faktor
internal dan eksternal. Pengetahuan NAPZA, adalah tingkat ketepatan
subjek
merespon
informasi
yang
membahas
pengertian tentang Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, penyalahgunaan NAPZA, bahaya penyalahgunaan NAPZA,
cara-cara
penyebaran
dan
penghindaran
penyalahgunaan NAPZA. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA pada masyarakat telah cukup banyak dilakukan dengan cara penyuluhan dengan metode ceramah dan tanya jawab, tetapi berdasar hasil-hasil penelitian
yang
sudah
dilakukan,
metode
penyuluhan
NAPZA lebih ditujukan untuk memberikan pengetahuan dan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap NAPZA. Dalam prevensi penyalahgunaan NAPZA diperlukan upaya untuk meningkatkan
kompetensi
personal
dan
interpersonal
46
masyarakat
sehingga
mampu
untuk
menolak
bujukan
penyalahgunaan NAPZA. Penyalahgunaan NAPZA memberikan berbagai dampak psikososial dan ekonomi yang akan dirasakan oleh keluarga dalam
menjalani
kehidupan
psikososial yang dirasakan
oleh
bermasyarakat. keluarga
Dampak
seperti
sedih,
malu, kecewa, marah bahkan putus asa. Masa depan tidak jelas, karena putus sekolah atau
menganggur
karena
dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaan, Banyak kasus yang terjadi di dalam keluarga yang menganggap masalah NAPZA termasuk rahasia
atau
aib
keluarga
yang
tidak
boleh
diungkapkan kepada orang lain dengan alasan untuk menjaga kehormatan keluarga. Suasana nyaman dan tentram dalam kehidupan keluarga terganggu. Dampak ekonomi terhadap keluarga menimbulkan biaya yang sangat besar untuk membiayai pemakaian NAPZA dan
pengobatan Napza yang
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Disisi lain keluarga juga harus merelakan semua harta bendanya habis dicuri oleh pengguna napza untuk
memenuhi
keperluan napzanya. Kompleksnya permasalahan akibat NAPZA
yang
dihadapi
sehari-hari
penyalahgunaan oleh
keluarga
yang
47
psikososial,
ekonomi
mengakibatkan
bahkan stigma
menurunnya
kualitas
dan hidup.
diskriminatif Kondisi
ini
membutuhkan dukungan sosial dari berbagai pihak terkait salah satunya adalah perawat komunitas. Perawat komunitas sebagai bagian dari profesi kesehatan, memiliki peran dan tanggung jawab membantu masyarakat dalam mengatasi
permasalahan
penyalahgunaan NAPZA. Salah
satu
yang
dapat
dilakukan
oleh
perawat
komunitas adalah melalui pendekatan keluarga, sehingga diperlukan pemahaman arti dan makna pengalaman keluarga yang mempunyai anak pengguna NAPZA dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dengan merekonstruksi gambaran holistik tentang fenomena yang dialami sesuai pandangan keluarga.Pengalaman keluarga yang mempunyai anak pengguna NAPZA perlu
dieksplorasi
secara
mendalam
melalui
wawancara mendalam sehingga didapatkan pengalaman hidup dari keluarga yang mempunyai anak pengguna
NAPZA
langsung. Selain itu, peran perawat dalam penanggulangan masalah NAPZA dapat dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi). 1) Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
48
tentang NAPZA b) Deteksi dini perubahan perilaku c) Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba”.
2) Pengobatan Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi
adalah
upaya
untuk
mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu: a) Detoksifikasi tanpa subsitusi Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri. b) Detoksifikasi dengan substitusi Putau
atau
heroin
dapat
disubstitusi
dengan
memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatifhipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara
penurunan
dosis
secara
bertahap
49
substitusi
dapat
menghilangkan
juga
diberikan
gejala simptomatik,
obat
yang
misalnya
obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur
atau
sesuai dengan gejala yang ditimbulkan
akibat putus zat tersebut. 3) Rehabilitasi Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan
fungsional
seoptimal
mungkin.
Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2011). Sesudah klien
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA
menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medic selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2009). Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan
50
kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2009), bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Kenyataan selesai
menunjukkan bahwa
mereka
yang
telah
menjalani detoksifikasi sebagian besar akan
mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes,
2011).
Dengan
pengguna NAPZA dapat:
rehabilitasi
diharapkan
51
menyalahgunakan NAPZA lagi b) Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA c) Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya d) Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik e) Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja f) Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya.
Rehabilitasi yang ditujukan untuk klien dengan penyalahgunaan NAPZA juga memiliki beberapa jenis program rehabilitasi adalah sebagai berikut : a) Rehabilitasi psikososial Program
rehabilitasi
psikososial
merupakan
persiapan untuk kmbali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat
rehabilitasi.
Dengan
demikian
diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja. b) Rehabilitasi kejiwaan
52
klien rehabilitasi yang semua berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun
personil
yang
membimbing
dan
mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum
hilang,
keinginan
untuk
menggunakan
NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan
psikiater.
psikofarmaka
masih
Oleh
karena
dapat
itu,
terapi
dilanjutkan,
dengan
catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu memang
2
minggu tidak
(program
cukup;
oleh
pascadetoksifikasi) karena
itu,
perlu
dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan
53
dilaksanakan bentuk
psikoterapi yang tepat bagi
masing-masing klien rehabilitasi, seperti rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2009) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA. c) Rehabilitasi komunitas Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving ) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan
54
perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri. d) Rehabilitasi keagamaan Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan sebab waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman,
penghayatan,
dan
pengamalan
keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian ( spiritual power ) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam
penyalahgunaan
NAPZA
apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.
Berikut ini adalah contoh Asuhan Keperawatan pada klien dengan penyalahgunaan NAPZA : 1. Pengkajian
a. Kaji situasi kondisi penggunaan zat
55
2) Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah 3) Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara b. Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat 1) Berbagi peralatan suntik 2) Perilaku seks yang tidak nyaman 3) Menyetir sambil mabuk 4) Riwayat over dosis 5) Riwayat serangan (kejang) selama putus zat c. Kaji pola penggunaan 1) Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam) 2) Penggunaan selama seminggu 3) Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV) 4) Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan melalui rumah bandar) 5) Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan pacar, teman pakai) 6) Adanya pikiran-pikiran tertentu (“Ah, sekali nggak bakal ngerusak ” atau “Saya udah nggak tahan lagi nih,
56
7) Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan) 8) Adanya
faktor-faktor
pencetus
(jika
capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau stres yang berkepanjangan) d.
Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila tidak menggunakan.
2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan penyalahgunaan NAPZA salah satunya adalah Koping individu tidak efektif berhubungan dengan belum mampu mengatasi keinginan menggunakan zat.
3. Tindakan Keperawatan Strategi Pertemuan 1- Klien: 1) mendiskusikan
dampak
penggunaan
NAPZA
bagi
kesehatan, cara meningkatkan motivasi berhenti, dan cara mengontrol keinginan. 2) melatih cara meningkatkan motivasi dan cara mengontrol
keinginan. 3) membuat jadwal latihan
57
Latihan SP-1 Klien Orientasi
“Selamat pagi Dik, perkenalkan saya suster M”. “Nama adik siapa?” “Lebih senang dipanggil apa” “Bagaimana keadaan kamu pagi ini?” “Kalau A tidak keberatan, selama 20 menit kedepan kita
akan
bercakap-cakap
tentang
kesehatan
A?”
“Bagaimana kalau kita bercakap-cakap di teras depan ruangan A?”
Kerja
“Apa yang biasa A pakai sebelum masuk ke pusat rehabilitasi ini?” “Ganja?” “Apakah ada keluhan dengan kesehatan A?” “Bagaimana hubungan A dengan teman-teman A?”
“Bagaimana
dengan
sekolah
A?”
“Sejak kapan A menggunakan ganja?” “Pada situasi yang bagaimana timbul keinginan A menghisap ganja?” “Apa saja akibat yang A rasakan kalau menghisap ganja?” “Apakah A ingin berhenti?” “Bagus!” “Berapa kali A mencoba berhenti?” “Bagaimana perasaan A ketika tidak
58
ganja lagi?” “Baiklah kalau begitu, Suster akan jelaskan akibat kesehatan yang dapat terjadi. (Jelaskan sesuai jenis NAPZA yang dipakai, tabel 1 dan 2). “Yang mana yang sudah A alami?” “Jadi A ingin coba berhenti?” “Sek arang mari kita bicarakan apa-apa saja yang masih dapat dibanggakan dari A, kita mulai dari: * Diri A: “Coba A lihat aspek positif yang masih A miliki.” “Betul A masih sangat muda, punya pendidikan, sehat, dan masa depan yang cerah sedang menunggu
kamu,
bagus sekali.” * Keluarga A: “A masih punya ayah, ibu, dan saudarasaudara kamu yang begitu perhatian dengan kamu”. “Ter nyata banyak sekali hal positif yang ada pada A” “Sekarang bagaimana kalau A berlatih mensyukuri hal positif yang ada pada A” “Katakan saya masih muda, saya harus berhenti!” “Bagaimana kalau kita teruskan diskusi tentang cara-cara menghindari penggunaan ganja.” “Ada beberapa cara yaitu: 1. Hindari teman-teman A yang menawarkan ganja 2. Kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan 3. Bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti 4. Kalau pergi keluar dari rumah sebaiknya ditemani keluarga.
59
“Apa contohnya A?” “Bagus!” “Mari kita buat jadwal kegiatannya.” Terminasi “
Bagaimana
perasaan
A
setelah
bercakap-cakap?”
“Bagus sekali.” “ Nah, suster mau tanya lagi: “Coba A sebutkan kembali hal-hal positif yang masih A miliki!” “Bagus sekali” “Yang mana yang mau dilatih?” “Saya bisa berhenti.” (Afirmasi). “Sek arang
coba
sebutkan
kembali
cara
menghindari
penggunaan ganja!” “Benar” “Yang mana yang mau dilatih” “Nah, masukkan dalam jadwal latihannya dan dicoba” “Besok pagi suster akan datang kembali, kita akan diskusikan lagi hasil latihannya dan kita latih cara yang lain.” “Bagaimana A” “Baiklah kalau begitu besok jam 11.00 kita ketemu ya.” “Sampai jum pa”
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat untuk membantu klien mengatasi craving /nagih (keinginan untuk menggunakan kembali NAPZA) adalah sebagai berikut: 1) identifikasi rasa nagih muncul, 2) ingat diri sendiri, rasa nagih normal muncul saat kita berhenti, 3) ingatlah rasa nagih
60
semakin sering muncul, 4) cari seseorang yang dapat mengalihkan dari rasa nagih, 5) coba menyibukkan diri saat rasa nagih datang, 6) tundalah penggunaan sampai beberapa saat, 6) bicaralah pada seseorang yang dapat mendukung, 7) lakukan sesuatu yang dapat membuat rileks dan nyaman, 7) kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan narkoba, 7) tontonlah video, ke bioskop atau dengar musik yang dapat membuat rileks, 8) dukunglah usaha anda untuk berhenti sekalipun sering berakhir dengan menggunakan lagi, 9) bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti, dan 10) bicaralah pada teman-teman tentang bagaimana mereka menikmati hidup atau rilekslah untuk dapat banyak ide. Menurut
Keliat
dkk.
(2009),
tujuan
tindakan
keperawatan untuk keluarga adalah sebagai berikut: 1) Keluarga dapat mengenal masalah
ketidakmampuan
anggota keluarganya berhenti menggunakan NAPZA 2) Keluarga dapat meningkatkan motivasi klien untuk berhenti 3) Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA 4) Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk
61
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga antara lain: 1) Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien 2) Diskusikan
bersama
keluarga
penyalahgunaan/ketergantungan penyebab, akibat) dan
zat
tentang
(tanda,
gejala,
tahapan penyembuhan klien
(pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi). 3) Diskusikan tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti: intoksikasi berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan, gangguan kehilangan
pengendalian
penglihatan
(persepsi),
diri, curiga yang berlebihan,
melakukan kekerasan sampai menyerang orang lain. Kondisi lain dari klien yang perlu mendapat perhatian keluarga adalah gejala putus zat seperti nyeri (sakau), mual sampai muntah, diare, tidak dapat tidur, gelisah, tangan gemetar, cemas yang berlebihan, depresi (murung yang berkepanjangan). 4) Diskusikan dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan
cara:
menganjurkan
keluarga
motivasi klien untuk berhenti atau sikap yang
dapat
meningkatkan
menghindari sikap-
mendorong klien
untuk memakai
NAPZA lagi (misalnya menuduh klien sembarangan atau
62
mengajarkan keluarga mengenal ciri-ciri klien memakai NAPZA lagi (misalnya memaksa minta uang, ketahuan berbohong, ada tanda dan gejala intoksikasi); ajarkan keluarga
untuk
membantu
klien
menghindar
atau
mengalihkan perhatian dari keinginan untuk memakai NAPZA lagi; anjurkan keluarga memberikan pujian bila klien dapat berhenti walaupun 1 hari, 1 minggu atau 1 bulan; dan
anjurkan keluarga mengawasi klien minum
obat.
Strategi Pertemuan dengan Pasien dan Keluarga Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA No. A
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 B 1
Kemampuan Pasien dan Keluarga Pasien Sp 1 Membina hubungan saling percaya Mendiskusikan dampak NAPZA Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi Mendiskusikan cara mengontrol keinginan latihan cara meningkatkan motivasi Latihan cara mengontrol keinginan Membuat jadwal aktivitas Sp 2 Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah Mendiskusikan cara hidup sehat Latihan cara menyelesaikan masalah Latihan cara hidup sehat Mendiskusikan tentang obat Keluarga Sp 1 Mendiskusikan masalah yang dialami
Tanggal/Bulan
63
4 5 6 1 2
Mendiskusikan cara merawat Mendiskusikan kondisi yang perlu dirujuk Latihan cara merawat Sp 2 Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi Mendiskusikan pengawasan dalam minum obat
5. Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut: 1. Klien mengetahui dampak NAPZA 2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti menggunakan NAPZA 3. Klien
mampu
mengontrol
kemampuan
keinginan
menggunakan NAPZA kembali 4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif 5. Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat 6. Klien mematuhi program pengobatan
Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut: 1. Keluarga mengetahui masalah yang dialami klien 2. Keluarga mengetahui tentang NAPZA 3. Keluarga mengetahui tahapan proses penyembuhan klien 4. Keluarga berpartisipasi dalam merawat klien 5. Keluarga memberikan motivasi pada klien untuk sembuh 6. Keluarga mengawasi klien dalam minum obat
64
Dokumentasi Asuhan Keperawatan
CATATAN KEPERAWATAN
Nama Klien
: AY
Nama Ruang : Anggrek No. RM : 02-02-7788 Tanggal
: 08-08-2008
Data:
AY (20 tahun) mahasiswa salah satu PTS di kota Medan sudah 2 tahun terakhir ini menggunakan shabushabu. Sebelum menggunakan shabu-shabu, klien mengkonsumsi ectasy. Keluarga sudah 2 kali membawa AY ke panti rehabilitasi
untuk
mendapat
pengobatan. Biasanya setelah menjalani rehabilitasi klien berhenti menggunakan shabu-shabu. Akan tetapi waktunya tidak lama, paling lama 6 bulan. Ini kali ketiga klien dirawat di panti rehabilitasi. Klien mengatakan sudah berusaha untuk menghentikan kebiasaan mengkonsumsi shabu-shabu. Tetapi keinginan itu tidak bertahan lama
65
teman pemakai NAPZA. Klien sulit untuk menolak ajakan teman-temannya.
Diagnosa Keperawatan:
Koping
individu
tidak
efektif:
belum
mampu
mengatasi keinginan menggunakan zat
Tindakan Keperawatan:
1. Mendiskusikan tentang dampak penggunaan NAPZA bagi kesehatan 2. Mendiskusikan tentang cara meningkatkan motivasi untuk berhenti 3. Mendiskusikan tentang cara menghindar dari temanteman pemakai NAPZA 4. Mendiskusikan tentang cara penyelesaian masalah secara sehat 5. Mendiskusikan tentang gaya hidup yang sehat 6. Melatih
cara
untuk
menghindar
dan
mengontrol
keinginan menggunakan NAPZA kembali 7. Melatih
cara
dicurigai/dituduh
menyelesaikan
masalah:
menggunakan NAPZA kembali oleh
66
Evaluasi:
S: Klien berjanji akan menghindari teman-temannya
yang
masih menggunakan NAPZA O: Klien tampak tidak mau menemui teman kelompoknya ketika
berkunjung
untuk
menjenguknya
di
panti
rehabilitasi A: Keinginan untuk menggunakan kembali NAPZA terkadang muncul P: Menganjurkan klien untuk menambah kegiatan yang bersifat
positif seperti aktif dalam kegiatan ibadah di
panti rehabilitasi, olahraga melanjutkan kembali membuat jadwal kegiatan klien
Tanda tangan: Nama Perawat:
67
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan permasalahan global yang
sudah
ancaman
berbangsa
serius
dalam
kehidupan
menjadi dan
bernegara. Saat ini, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia telah menyebar di seluruh Indonesia (Hawari,
2009).
Peredaran
NAPZA
mengkhawatirkan sehingga cepat
sudah atau
sangat lambat
penyalahgunaan NAPZA akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut dengan lost generation (Joewana, 2005). Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi
penyalahgunaan
dan
ketergantungan
NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2011). Salah satu yang dapat dilakukan oleh perawat komunitas adalah melalui pendekatan keluarga, sehingga diperlukan
68
mempunyai anak pengguna NAPZA dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dengan merekonstruksi gambaran holistik tentang fenomena yang dialami sesuai pandangan keluarga.Pengalaman keluarga yang mempunyai anak pengguna NAPZA perlu dieksplorasi secara mendalam melalui
wawancara
mendalam
sehingga
didapatkan
pengalaman hidup dari keluarga yang mempunyai anak pengguna NAPZA langsung. Selain itu, peran perawat dalam penanggulangan masalah NAPZA dapat dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi). 4.2 Saran
4.2.1
Perlu adanya tindakan pengawasan yang ketat dan pengendalian meminimalisir
di
masyarakat
terjadinya
kasus
agar
dapat
penyalahgunaan
NAPZA 4.2.2
Perlu adanya peran serta masyarakat dan orang tua, guna dapat mencegah berkembangnya narkoba di tengah-tengah masyarakat.
4.2.3
Semakin ditingkatkannya kegiatan preventif dan promotif
kesehatan
demi
mencegah
semakin
luasnya perkembangan penyalahgunaan NAPZA di
69
4.2.4
Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan mutlak wajib melaksanakan fungsi dan perannya untuk meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat
termasuk penanganan penyalahgunaan NAPZA.
70
DAFTAR PUSTAKA
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda. Depkes.
2009. Kebijakan
dan
Strategi
Pembangunan
Kesehatan Jiwa. Departemen Kesehatan RI Jakarta. Depkes. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Pedoman Rehabilitasi
Penyelenggaraan Penyalahgunaan
Sarana dan
Pelayanan
Ketergantungan
Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA). Jakarta : Depkes RI. Hawari, D. 2009. Penyalahgunaan Dan Ketergantungan NAPZA. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Joewana, S. 2009. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Keliat. B.A., Akemat. 2009. Keperawatan Jiwa Terapi Aktifitas Kelompok . Jakarta : EGC.
71
Martono., Harlina. 2009. Peran Orang Tua Dalam Mencegah dan Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta : Balai Pustaka. Martono., Harlina. 2009. Belajar Hidup Bertanggungjawab, Menangkal Narkoba dan Kekerasan. Jakarta : Balai Pustaka. Noorkasiani., Heriyati., Ismail. 2009. Sosiologi Keperawatan. Jakarta : EGC. Notoatmodjo Aplikasi.
S. 2009. Promosi Kesehatan
Teori dan
Cetakan ke-1, September. Jakarta : Rineka
Cipta. Notoatmodjo S. 2010. Prinsip-Prinsip Dasar ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan RI. 2006. Jakarta. Stuart, G. W. 2009. Principles and Practice of Psychiatric th
Nursing. 9 ed. Missouri : Mosby, Inc. Novita, E.F. 2011. Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan Dan Penanggulangannya. Jurnal
72
Ritanti., Wiarsih, W., Dewi, A.I. 2010. Pengalaman Keluarga Yang
Mempunyai
Anak
Pengguna
Napza
Dalam
Menjalani Kehidupan Bermasyarakat. Jurnal Keperawatan Soedirman. Vol. 5 (3). Prisaria, N. 2010. Hubungan pengetahuan dan lingkungan sosial terhadap tindakan pencegahan penyalahgunaan napza pada siswa sma negeri 1Jepara. Jurnal Media Medika Muda. Putri, D.E. 2012 & Daulay, W. Dukungan Psikososial Keluarga Dalam Penyembuhan Pasien Napza Di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Ritanti., Wiarsih, W., Dewi, A.I. 2010. Pengalaman Keluarga Yang
Mempunyai
Anak
Pengguna
Napza
Dalam
Menjalani Kehidupan Bermasyarakat. Jurnal Keperawatan Soedirman. Vol. 5 (3). Prisaria, N. 2010. Hubungan pengetahuan dan lingkungan sosial terhadap tindakan pencegahan penyalahgunaan napza pada siswa sma negeri 1Jepara. Jurnal Media Medika Muda.
73
Putri, D.E. 2012 & Daulay, W. Dukungan Psikososial Keluarga Dalam Penyembuhan Pasien Napza Di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.