Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatanganioleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan di negaranya masing-masing. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Gagasan untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan multilateral telah mulai dirintis dengan disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. Memperhatikan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional sejak berdirinya GATT menimbulkan pandangan perlunya beberapa peraturan dan prosedur diperbaharui, khususnya didasarkan akan kebutuhan untuk memperketat prosedur penyelesaian sengketa. Timbul pemikiran untuk membentuk suatu badan tingkat tinggi yang permanen untuk mengawasi bekerjanya sistem perdagangan multilateral dan diarahkan pula untuk menjamin agar negara-negara peserta (Contracting parties) GATT mematuhi peraturan-peraturan yang telah disepakati dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round), Punta Del Este, 20 September 2006, pemikiran tentang pembentukan suatu organisasi perdagangan multilateral dimaksud secara implisit termuat di dalam Deklarasi Punta del Este. Hal tersebut merupakan salah satu dari 15 bidang perundingan dalam Putaran Uruguay, yaitu negosiasi mengenai upaya untuk meningkatkan fungsi sistem GATT. Tujuan yang hendak dicapai dalam negosiasi fungsi sistem GATT ini adalah: (1) meningkatkan fungsi pengawasan GATT agar dapat memantau kebijakan dan perdagangan yang dilakukan oleh contracting parties (CPs) dan implikasi terhadap sistem perdagangan internasional. (2) memperbaiki seluruh aktivitas dan pengambil keputusan GATT sebagai suatu lembaga, termasuk keterlibatan para menteri yang berwenang menangani masalah perdagangan, (3) meningkatkan kontribusi GATT untuk mencapai “greater coherence” dalam pembuatan kebijakan ekonomi global melalui peningkatan hubungan dengan organisasi internasional lainnya yang berwenang dalam masalah moneter dan keuangan. Sesudah melalui tahapan-tahapan proses perundingan yang alot dan konsultasi-konsultasi maraton yang intensif atas draft-draft yang diusulkan lebih dari 120 negara, akhirnya padaPertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 12-15 April 1994, disahkan Final Act tanggal 15 April 1994 dan tanggal berlakunya WTO. Persetujuan pembentukan WTO terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara dan diharapkan dapat diberlakukan efektif pada 1 Januari 1995. Untuk mengatasi adanya kekosongan antara Pertemuan Tingkat Menteri di Marrakesh, Maroko sampai dengan tanggal berlakunya WTO, dibentuklah suatu lembaga sementara yaitu Implementation Committee
yang bertugas antara lain memperhatikan program kerja WTO, masalah anggaran dan kontribusi serta masalah keanggotaan WTO. Pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha (Doha Round), Qatar dari tanggal 9-14 November 2001, Indonesia mengikutsertakan 32 orang delegasi. Putaran Doha merupakan putaran kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan sejak sistem multilateral terbentuk tahun 1947. Delapan putaran selanjutnya diluncurkan di bawah payung GATT, yang kemudian berganti nama menjadi WTO tahun 1995. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan, apakah GATT sama dengan WTO? Tidak. WTO adalah GATT ditambah dengan banyak kelebihan lainnya. Untuk lebih jelasnya, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah: sebagai suatu persetujuan internasional, yaitu dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan mengatur perdagangan internasional. Walaupun upaya untuk menciptakan suatu badan perdagangan internasional pada tahun 1940-an mengalami kegagalan, para perumus GATT sepakat bahwa mereka menginginkan suatu aturan perdagangan yang bersifat multilateral. Para pejabat pemerintah juga mengharapkan adanya pertemuan/forum guna membahas isu-isu yang berkaitan dengan persetujuan perdagangan. Keinginan tersebut memerlukan dukungan suatu sekretariat yang jelas dengan perangkat organisasi yang lebih efektif. Oleh karena itu, GATT sebagai badan Internasional, tidak lagi eksis. Badan tersebut kemudian digantikan oleh WTO. Sebelum berdirinya WTO masih banyak perundingan yang dilakukan dalam rangka memujudkan perjanjian multilateral berkaitan dengan perdagangan antara lain: 1. Tahun 1947-1948: Untuk pertama kalinya sejak PD II berakhir, negara-negara di dunia terutama dari Blok Barat menginginkan adanya suatu bentuk sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan komprehensif untuk membangun ekonomi dunia yang hancur akibat perang. Pada tahun 1947 di Geneva diadakan perundingan perumusan perjanjian GATT yang menetapkan penurunan 45.000 jenis tarif dengan nilai 10 miliar dolar AS. Perundingan ini diikuti 23 negara. 2. 1949: Pada tahun 1949 di Kota Annecy berlangsung perundingan yang lebih dikenal sebagai “Perundingan Annecy”. Dalam perundingan kali ini, telah disepakati untuk meratifikasi 5000 jenis tarif yang diikuti 33 negara. 3. 1950-1951: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Torquay” yang diselenggarakan di Kota Torquay dimana disepakati untuk meratifikasi 5,500 jenis tarif yang diikuti oleh 34 negara. 4. 1955-1956: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Jenewa” yang diselenggarakan di Kota Jenewa di mana disepakati untuk meratifikasi sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 2,5 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 5. 1960-1961: Pada periode ini berlangsung Perundingan yang lebih dikenal sebagai “Putaran Dillon”, yang diselenggarakan di Kota Jenewa, putaran GATT kali ini diikuti oleh 45 negara yang menghasilkan kesepakatan untuk meratifikasi 4.400 jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 4,9 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 6. 1964-1967: Putaran GATT kali ini lebih dikenal sebagai “Putaran Kennedy”, yang diselenggarakan di Jenewa. Perundingan ini menyepakati penurunan sejumlah jenis
tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 40 miliar dolar AS dan kesepakatan antidumping yang diikuti 48 negara. 7. 1973-1979: Putaran GATT yang lebih dikenal sebagai “Putaran Tokyo”, Jepang dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain; ratifikasi sejumlah jenis tarif dan non-tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 155 miliar dolar AS. Perundingan kali ini diikuti oleh 99 negara. 8. 1986-1988: Dalam periode ini, negara-negara peserta mengadakan perundingan di Jenewa berdasarkan mandat Deklarasi Punta Del Este. Perundingan kali ini tidak hanya membahas peratifikasian tarif dan non-tarif sejumlah komoditas, namun juga telah membahas bidang jasa dalam perdagangan dunia. Di tahun 1980-an, Indonesia memainkan peranan aktifnya dalam putaran GATT ini dengan ditariknya suatu konklusi bahwa Indonesia harus mengubah haluan dari orientasi yang berbasis impor ke arah strategi orientasi ekspor. MEMBER WTO Albania 8 September 2000 Angola 23 November 1996 (GATT: 8 April 1994) Antigua and Barbuda 1 January 1995 (GATT: 30 March 1987) Argentina 1 January 1995 (GATT: 11 October 1967) Armenia 5 February 2003 Australia 1 January 1995 (GATT: 1 January 1948) Austria 1 January 1995 (GATT: 19 October 1951) Bahrain, Kingdom of 1 January 1995 (GATT: 13 December 1993) Bangladesh 1 January 1995 (GATT: 16 December 1972) Barbados 1 January 1995 (GATT: 15 February 1967) Belgium 1 January 1995 (GATT: 1 January 1948) Belize 1 January 1995 (GATT: 7 October 1983) Benin 22 February 1996 (GATT: 12 September 1963) Bolivia, Plurinational State of 12 September 1995 (GATT: 8 September 1990) Botswana 31 May 1995 (GATT: 28 August 1987) Brazil 1 January 1995 (GATT: 30 July 1948) Brunei Darussalam 1 January 1995 (GATT: 9 December 1993) Bulgaria 1 December 1996 Burkina Faso 3 June 1995 (GATT: 3 May 1963) Burundi 23 July 1995 (GATT: 13 March 1965) Cabo Verde 23 July 2008 Cambodia 13 October 2004 Cameroon 13 December 1995 (GATT: 3 May 1963) Canada 1 January 1995 (GATT: 1 January 1948) Central African Republic 31 May 1995 (GATT: 3 May 1963) Chad 19 October 1996 (GATT: 12 July 1963) Chile 1 January 1995 (GATT: 16 March 1949) China 11 December 2001 Colombia 30 April 1995 (GATT: 3 October 1981)
Congo 27 March 1997 (GATT: 3 May 1963) Costa Rica 1 January 1995 (GATT: 24 November 1990) Côte d'Ivoire 1 January 1995 (GATT: 31 December 1963) Croatia 30 November 2000 Cuba 20 April 1995 (GATT: 1 January 1948) Cyprus 30 July 1995 (GATT: 15 July 1963) Czech Republic 1 January 1995 (GATT: 15 April 1993) Democratic Republic of the Congo 1 January 1997 Denmark 1 January 1995 (GATT: 28 May 1950) Djibouti 31 May 1995 (GATT: 16 December 1994) Dominica 1 January 1995 (GATT: 20 April 1993) Dominican Republic 9 March 1995 (GATT: 19 May 1950) Ecuador 21 January 1996 Egypt 30 June 1995 (GATT: 9 May 1970) El Salvador 7 May 1995 (GATT: 22 May 1991) Estonia 13 November 1999 European Union (formerly European Communities) 1 January 1995 Fiji 14 January 1996 (GATT: 16 November 1993) Finland 1 January 1995 (GATT: 25 May 1950) France 1 January 1995 (GATT: 1 January 1948) Gabon 1 January 1995 (GATT: 3 May 1963) The Gambia 23 October 1996 (GATT: 22 February 1965) Georgia 14 June 2000 Germany 1 January 1995 (GATT: 1 October 1951) Ghana 1 January 1995 (GATT: 17 October 1957) Greece 1 January 1995 (GATT: 1 March 1950) Grenada 22 February 1996 (GATT: 9 February 1994) Guatemala 21 July 1995 (GATT: 10 October 1991) Guinea 25 October 1995 (GATT: 8 December 1994) Guinea-Bissau 31 May 1995 (GATT: 17 March 1994) Guyana 1 January 1995 (GATT: 5 July 1966) Haiti 30 January 1996 (GATT: 1 January 1950) Honduras 1 January 1995 (GATT: 10 April 1994) Hong Kong, China 1 January 1995 (GATT: 23 April 1986) Hungary 1 January 1995 (GATT: 9 September 1973) Iceland 1 January 1995 (GATT: 21 April 1968) India 1 January 1995 (GATT: 8 July 1948) Indonesia 1 January 1995 (GATT: 24 February 1950) Ireland 1 January 1995 (GATT: 22 December 1967) Israel 21 April 1995 (GATT: 5 July 1962) Italy 1 January 1995 (GATT: 30 May 1950) Jamaica 9 March 1995 (GATT: 31 December 1963) Japan 1 January 1995 (GATT: 10 September 1955) Jordan 11 April 2000
Kenya 1 January 1995 (GATT: 5 February 1964) Korea, Republic of 1 January 1995 (GATT: 14 April 1967) Kuwait, the State of 1 January 1995 (GATT: 3 May 1963) Kyrgyz Republic 20 December 1998 Lao People’s Democratic Republic 2 February 2013 Latvia 10 February 1999 Lesotho 31 May 1995 (GATT: 8 January 1988) Liechtenstein 1 September 1995 (GATT: 29 March 1994) Lithuania 31 May 2001 Luxembourg 1 January 1995 (GATT: 1 January 1948) Macao, China 1 January 1995 (GATT: 11 January 1991) Madagascar 17 November 1995 (GATT: 30 September 1963) Malawi 31 May 1995 (GATT: 28 August 1964) Malaysia 1 January 1995 (GATT: 24 October 1957) Maldives 31 May 1995 (GATT: 19 April 1983) Mali 31 May 1995 (GATT: 11 January 1993) Malta 1 January 1995 (GATT: 17 November 1964) Mauritania 31 May 1995 (GATT: 30 September 1963) Mauritius 1 January 1995 (GATT: 2 September 1970) Mexico 1 January 1995 (GATT: 24 August 1986) Moldova, Republic of 26 July 2001 Mongolia 29 January 1997 Montenegro 29 April 2012 Morocco 1 January 1995 (GATT: 17 June 1987) Mozambique 26 August 1995 (GATT: 27 July 1992) Myanmar 1 January 1995 (GATT: 29 July 1948) Namibia 1 January 1995 (GATT: 15 September 1992) Nepal 23 April 2004 Netherlands 1 January 1995 (GATT: 1 January 1948) New Zealand 1 January 1995 (GATT: 30 July 1948) Nicaragua 3 September 1995 (GATT: 28 May 1950) Niger 13 December 1996 (GATT: 31 December 1963) Nigeria 1 January 1995 (GATT: 18 November 1960) Norway 1 January 1995 (GATT: 10 July 1948) Oman 9 November 2000 Pakistan 1 January 1995 (GATT: 30 July 1948) Panama 6 September 1997 Papua New Guinea 9 June 1996 (GATT: 16 December 1994) Paraguay 1 January 1995 (GATT: 6 January 1994) Peru 1 January 1995 (GATT: 7 October 1951) Philippines 1 January 1995 (GATT: 27 December 1979) Poland 1 July 1995 (GATT: 18 October 1967) Portugal 1 January 1995 (GATT: 6 May 1962) Qatar 13 January 1996 (GATT: 7 April 1994)
Romania 1 January 1995 (GATT: 14 November 1971) Russian Federation 22 August 2012 Rwanda 22 May 1996 (GATT: 1 January 1966) Saint Kitts and Nevis 21 February 1996 (GATT: 24 March 1994) Saint Lucia 1 January 1995 (GATT: 13 April 1993) Saint Vincent & the Grenadines 1 January 1995 (GATT: 18 May 1993) Samoa 10 May 2012 Saudi Arabia, Kingdom of 11 December 2005 Senegal 1 January 1995 (GATT: 27 September 1963) Sierra Leone 23 July 1995 (GATT: 19 May 1961) Singapore 1 January 1995 (GATT: 20 August 1973) Slovak Republic 1 January 1995 (GATT: 15 April 1993) Slovenia 30 July 1995 (GATT: 30 October 1994) Solomon Islands 26 July 1996 (GATT: 28 December 1994) South Africa 1 January 1995 (GATT: 13 June 1948) Spain 1 January 1995 (GATT: 29 August 1963) Sri Lanka 1 January 1995 (GATT: 29 July 1948) Suriname 1 January 1995 (GATT: 22 March 1978) Swaziland 1 January 1995 (GATT: 8 February 1993) Sweden 1 January 1995 (GATT: 30 April 1950) Switzerland 1 July 1995 (GATT: 1 August 1966) Chinese Taipei 1 January 2002 Tajikistan 2 March 2013 Tanzania 1 January 1995 (GATT: 9 December 1961) Thailand 1 January 1995 (GATT: 20 November 1982) The former Yugoslav Republic of Macedonia (FYROM) 4 April 2003 Togo 31 May 1995 (GATT: 20 March 1964) Tonga 27 July 2007 Trinidad and Tobago 1 March 1995 (GATT: 23 October 1962) Tunisia 29 March 1995 (GATT: 29 August 1990) Turkey 26 March 1995 (GATT: 17 October 1951) Uganda 1 January 1995 (GATT: 23 October 1962) Ukraine 16 May 2008 United Arab Emirates 10 April 1996 (GATT: 8 March 1994) United Kingdom 1 January 1995 (GATT: 1 January 1948) United States of America 1 January 1995 (GATT: 1 January 1948) Uruguay 1 January 1995 (GATT: 6 December 1953) Vanuatu 24 August 2012 Venezuela, Bolivarian Republic of 1 January 1995 (GATT: 31 August 1990) Viet Nam 11 January 2007 Yemen 26 June 2014 Zambia 1 January 1995 (GATT: 10 February 1982) Zimbabwe 5 March 1995 (GATT: 11 July 1948), MARCH 28, 2014 TUJUAN
Pengertian,Tujuan Organisasi WTO serta Fungsi WTO
Pengertian WTO WTO merupakan subjek hukum dan status tersebut wajib diakui oleh negara-negara anggotanya, dengan memperoleh status tersebut maka diharapkan WTO dapat melakukan porsinya sesuai dengan amanat dalam perjanjian WTO agar fungsi WTO secara independen, maka kepada WTO baik secara organisasi maupun pejabat-pejabatnya serta perwakilanperwakilan negara anggota memperoleh hak istimewa dan kekebalan yang wajib diakui oleh negara-negara anggotanya. Tujuan WTO World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan di negaranya masing-masing. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Fungsi WTO Secara garis besar fungsi WTO dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Mengadministrasikan berbagai persetujuan yang dihasilkan putaran uruguay di bidang barang dan jasa baik multilateral maupun plurilateral, serta mengawasi pelaksanaan komitmen akses pasar di bidang tarif maupun non-tarif. 2. Mengawasi praktek-praktek perdagangan internasional dengan secara regular meninjau kebijaksanaan perdagangan negara anggotanya dan melalui prosedur notifikasi. 3. Forum dalam menyelesaikan sengketa dan penyediaan mekanisme konsiliasi guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul. 4. Menyediakan bantuan teknis yang diperlukan sebagian anggotanya, termasuk bagi negaranegara sedang berkembang dalam melaksanakkan dalam hasil putaran Uruguay. 5. Sebagai forum bagi negara anggotanya untuk terus menerus melakukan perundingan pertukaran profesi di bidang perdagangan guna mengurangi hambatna-hambatan perdagangan dunia. Prinsip WTO WTO, merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional yang dibentuk pada tahun 2005 dan hingga kini telah menaungi 153 negara di dalamnya. Organisasi ini berfungsi
sebagai forum bagi kerjasama internasional dalam hal kebijakan perdagangan antarnegara. Karenanya dalam pelaksanaan tugasnya ini, WTO berupaya untuk membangun skema perekonomian yang sehat bagi semua negara anggota dengan cara membentuk kerangka kebijakan perdagangan yang dapat menfasilitasi kepentingan setiap negara dalam hal perdagangan internasional. Kerangka untuk mengatur kebijakan perdagangan ini tertuang dalam prinsip-prinsip WTO yang menjadi dasar dari sistem perdagangan multilateral. Terdapat lima prinsip penting dalam WTO, yaitu: 1. Nondiscrimination Dalam prinsip nondiscrimination ini, terdapat dua komponen, yaitu most-favored nation dan prinsip national treatment. Dan intinya, di bawah kesepakatan WTO, negara-negara anggota tidak bisa secara sengaja mendiskriminasi partner dagang mereka. Jika suatu negara memberlakukan “special favor” seperti menurunkan pajaknya terhadap satu negara, maka negara tersebut harus memberlakukan hal yang sama terhadap semua negara anggota WTO 2. Reciprocity Resiprocity merupakan elemen fundamental dalam proses negosiasi merupakan aturan timbal balik, bila suatu negara mereduksi hambatan perdagangannya, maka negara tersebut juga berhak menerima hal yang sama dari negara lain. 3. Binding & Enforceable Commitment Prinsip ini berarti bahwa komitmen tarif yang telah dibentuk negara anggota WTO dalam negosiasi perdagangan multilateral memiliki sifat “ceiling binding”, mengikat secara hukum , namun juga bersifat terbatas. 4. Transparency Merupakan pilar dasar di mana WTO berupaya untuk menciptakan peraturan perdagangan yang jelas dan terbuka. Termasuk di dalamnya kewajiban anggota WTO untuk mempublikasikan regulasi perdagangannya. 5. SafetyValve Dalam prinsip ini negara diizinkan untuk membatasi perdagangannya dalam kondisi tertentu. Dan pertanyaannya, apakah prinsip-prinsip ini telah mencerminkan keadilan dan kebaikan baik semua anggotanya terutama negara-negara miskin dan negara berkembang? Jika dikaji satu persatu, sebenarnya prinsip-prinsip WTO telah mempertimbangkan kondisikondisi yang mungkin terjadi terutama pada negara miskin dan berkembang, dalam rangka menciptakan perdagangan yang adil, terbuka dan menghindari persaingan yang tidak sehat antar negara. Misalnya pada prinsip pertama, nondiscrimination. WTO juga memberlakukan beberapa pengecualian. Misalnya, negara bisa membentuk kesepakatan pasar bebas yang hanya berlaku pada barang-barang yang diperdagangkan di dalam grup. Selain itu, WTO juga bisa memberikan akses spesial kepada negara berkembang ke dalam pasar negara lain. atau suatu negara juga bisa memberlakukan “barier” terhadap produk yang dianggap diperdagangkan secara tidak adil dari negara tertentu. Dan untuk sektor jasa, dalam kondisi tertentu negara juga diizinkan untuk melakukan diskriminasi. Walaupun kesepakatan WTO hanya
memperbolehkan pengecualian ini dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat strict. Dan berkaitan dengan national treatment, prinsip ini hanya berlaku jika barang, jasa atau item properti intelektual itu telah memasuki pasar. Selain itu, pembebanan pajak atas produk impor juga bukan bentuk pelanggaran dari prinsip national treatment bahkan bila produk lokal tidak dibebankan pajak. Jadi, negara berkembang tetap bisa melindungi produk dalam negerinya dengan pemberlakuan pajak impor. Selain itu, prinsip tentang pasar bebas yang dianjurkan oleh WTO juga dilakukan secara bertahan dan juga melalui negosiasi. Jadi tidak serta merta langsung harus diterapkan negara segera setelah negara itu bergabung dengan WTO. Dalam kesepakatannya, WTO membolehkan negara memperkenalkan perubahan perdagangan tersebut secara bertahap melalui “progressive liberalization”. Di mana dalam hal ini negara berkembang biasanya diberikan waktu yang lebih lama untuk memenuhi kewajibannya ini. Namun, negara maju dituntut harus segera memberlakukannya. Dalam kondisi tertentu, sistem WTO juga memungkinkan tarif, begitupun kebijakan proteksi, WTO juga memberikan izin dalam kondisi tertentu. Hal ini dilakukan WTO untuk membentuk sistem aturan yang terbuka, adil, dan kompetisi yang tidak sehat. Kompetisi terjadi antar negara yang telah siap untuk berkompetisi. Terkait dengan prinsip binding, negara juga diperbolehkan mengubah bindingnya, namun hanya setelah bernegosiasi dengan partner dagangnya. Hal ini berarti WTO memungkinkan upaya kompensasi untuk menghindari kerugian pada saat melakukan perdagangan. Namun, walaupun prinsip WTO ini sudah dibuat dengan penuh pertimbangan dengan melihat kondisi-kondisi negara yang tidak sama, prinsip WTO ini masih memiliki kelemahan yang membuatnya menjadi tidak adil. Misalnya, dalam prinsip most-favoured nation. Dalam prinsip ini, dimungkinkan untuk mengurangi biaya negosiasi, karena negosiasi cukup dilakukan dengan beberapa negara saja. Dan keputusan akan berlaku pada semua negara. Walaupun secara ekonomi, biaya untuk melakukan pertemuan bisa dikurangi. Namun hal yang paling esensi dalam proses pengambilan keputusan adalah melibatkan semua pihakpihak yang tergabung di dalamnya. Sehingga walaupun pada akhirnya keputusannya tetap sama, setidaknya negara berkembang / negara miskin memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau setidaknya mendapatkan pengecualian atas kebijakan tertentu. Selain itu, walaupun prinsip-prinsip WTO ini secara tertulis telah mencerminkan kebaikan dan keadilan bagi negara anggotanya. Kenyataan dan realita di lapangan bisa saja berkata lain. Hingga hari ini, negara-negara maju seperti negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sendiri yang melanggar prinsip-prinsip WTO. Kebanyakan negara Eropa “Keynes at home, Smith abroad”. Uni Eropa melindungi produksi dalam negerinya namun untuk penjualan produknya ke luar negeri mengharapkan pasar bebas seluas-luasnya. Hal inilah yang sangat membebani negara berkembang, di mana mereka dituntut untuk membuka pasar domestiknya untuk produk asing , namun distribusi produk mereka ke luar negeri dibatasi oleh negara maju. Sebuah ironi memang, bahwa ketika negara berkembang dan negara miskin selalu menjadi pihak yang dituntut harus mengikuti semua aturan yang mereka dibuat dengan negara maju, Negara maju malah menjadi pihak yang melanggarnya
Program WTO Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 (sembilan) Komite/Negotiating Groups diharapkan mengeluarkan “final texts” atau teks modalitas yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran
Doha
pada
bulan
April
2011.
Selanjutnya,
kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011; dan pada akhirnya seluruh jadwal dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada. Pada bulan Desember 2011, telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan politis (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan politis yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema sebagai berikut: (i) penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO; (ii) penguatan aktivitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan; dan (iii) langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha. Sebuah titik terang muncul pada KTM ke-9 (Bali, 3 – 7 Desember 2013), di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah WTO, organisasi ini dianggap telah “fully-delivered”. Negara-negara anggota WTO telah menyepakati “Paket Bali” sebagai outcome dari KTM ke9 WTO. Isu-isu dalam Paket Bali—mencakup isu Fasilitasi Perdagangan, Pembangunan dan LDCs (Least Developed Countries), serta Pertanian—merupakan sebagian dari isu perundingan DDA. Disepakatinya
Paket
Bali merupakan suatu
capaian
historis.
Pasalnya, sejak
dibentuknya WTO pada tahun 1995, baru kali ini WTO mampu merumuskan suatu perjanjian baru yaitu Perjanjian Fasilitasi Perdagangan. Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan arus keluar masuk barang antar negara di pelabuhan dengan melakukan reformasi pada mekanisme pengeluaran dan pemasukan barang yang ada. Arus masuk keluar barang yang lancar di pelabuhan tentu akan dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing perekonomian dan memperluas akses pasar produk ekspor Indonesia di luar negeri.
Selain itu, Paket Bali juga mencakup disepakatinya fleksibilitas dalam isu public stokholding for food security. Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memberikan subsidi bagi ketersediaan pangan yang murah bagi rakyat miskin, tanpa khawatir digugat di forum Dispute Settlement Body WTO. Dengan Paket Bali, kredibilitas WTO telah meningkat sebagai satu-satunya forum multilateral
yang
menangani
kegiatan
perdagangan
internasional,
sekaligus
memulihkan political confidence dari seluruh negara anggota WTO mengenai pentingnya penyelesaian perundingan DDA. Hal tersebut secara jelas tercantum dalam Post Bali Work, di mana negara-negara anggota diminta untuk menyusunwork program penyelesaian DDA di tahun 2014. Selesainya perundingan DDA akan memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang dan LDCs dalam berintegrasi ke dalam sistem perdagangan multilateral.
Indonesia di WTO Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA (Doha Development Agenda)
didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding Indonesia bergabung dengan beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaian development objectives dari DDA. Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral. Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri; baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa. Hal ini bertujuan demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang
memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian; anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara. Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draf modalitas pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan mengubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai. Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi danbalance yang ada saat ini. Selanjutnya, diharapkan negara-negara anggota ini membicarakan ambisi baru pasca-Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draf Modalitas tanggal 6 Desember 2008. Indonesia memiliki kepentingan untuk tetap aktif mendorong komitmen WTO untuk melanjutkan perundingan Doha. Indonesia terbuka atas cara-cara baru untuk menyelesaikan perundingan dengan tetap mengedepankan prinsip single undertaking dan mengutamakan pembangunan bagi negara berkembang dan LDCs (Least Developed Countries). Alasan Indonesia Ikut WTO WTO atau Organisasi perdagangan dunia yang telah lama lahir namun dengan nama yang berbeda, yaitu General Agreement on Tarif and Trade (GATT). GATT pada awalnya ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), yaitu badan khusus PBB yang termasuk dalam sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). Perjanjian ITO disetujui dalam UN Conference on Trade and Development (Konfrensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan) di Havana, Maret 1948. Namun proses ratifikasi di lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar, sehingga ITO pun akhirnya tenggelam. Kendati demikian, GATT tetap menjadi instrumen multilateral yang berugas mengatur perdagangan internasional. Seiring perkembangannya, GATT yang awalnya beranggota 28 negara akhirnya bertambah menjadi 155 negara, tercatat dari jumlah ratifikasi pada pertemuan terakhirnya di Marakesh, Maroko, 5 April 1994. Dikarenakan sebagian besar negara anggota GATT menghendaki adanya sistem perdagangan bebas, maka pada 1 Januari 1995 GATT resmi diubah menjadi World Trade Organization (WTO) dan bermarkas di Jenewa, Swiss.
WTO yang bertujuan mendefinisikan aturan perdagangan dunia, sehingga tidak terjadi perselisihan diantara negara anggotanya. Dengan cara mengikat pada satu peraturan sehingga tercipta keamanan dalam membuka perdagangan bebas. Untuk mensukseskan tujuannya itu WTO memiliki tiga mantra jitu, Liberalisasi (kebebasan), Deregulation (menghapuskan), dan Privatization (menswastakan). 1. Liberalisation, yaitu membuka dengan bebas sistem perdagangan diantara negara-negara WTO. Siapapun yang memiliki modal dapat dengan bebas menanam saham atau menjual barang dagangannya dimanapun mereka mau. 2. Deregulation, menghapuskan segala macam peraturan yang dapat mempersulit akses masuknya investment kedalam negara tujuannya. Sehingga hal tersebut semakin mempermudah sistem perdagangan mereka. Salah satunya, menurunkan bea cukai/pajak pada barang export sehingga harga jual barang tersebut dapat bersaing dengan harga barang lokal, yang akhirnya mematikan peroduk pengusaha kecil dalam negeri. Akibatnya, semakin banyak rakyat yang kehilangan mata pencaharian dan gulung tikar, meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan, terjadinya migrasi paksa dan sistem buruh murah. 3. Privatization atau swastanisasi. Mengalih-tangankan kewenangan negara pada pihak swasta, dikarenakan laju perekonomian negara begitu bergantung pada investor asing. Sehingga pendidikan, kesehatan, dan berbagai aspek lain tidak bisa dinikmati dengan mudah oleh rakyat. Dampaknya, rakyat miskin tidak bisa mengenyam pendidikan dan mendapatkan layanan kesehatan dengan mudah karena mahal. Pada intinya, WTO hanyalah alat bagi para pemodal untuk menanamkan investasinya dan memaksa seluruh negara anggotanya untuk menerima dan menjalankan aturan tidak adil yang dibuatnya (negara berkembang/miskin dipaksa manut karena tidak punya modal untuk bersaing) Berbagai kesepakatan yang dicapai dijadikan legitimasi untuk mengeruk SDA dan menggunakan rakyat sebagai tenaga kerja murah sekaligus pasar bagi produk-produknya. Peraturan-peraturan tersebut mengikat seluruh negara anggotanya dengan skema perdagangan yang tidak adil (melalui 3 mantra yang disebutkan di atas). *Dampak
WTO
bagi
rakyat
miskin.
Berbagai peraturan yang diciptakan oleh WTO pada hakekatnya hanya diperuntukan bagi keuntungan para pemodal kaya (Imperalis) yang sangat merugikan rakyat miskin. Rakyat kecil samakin tergilas oleh roda kemiskinan yang akhirnya terpaksa menjadi budak di negaranya sendiri. Maraknya kasus Human trafficking, rakyat miskin dikirim ke luar negeri dan terpaksa dijadikan buruh murah dengan berbagai kerentanan di lokasi kerja, minimnya
hukum yang melindungi menyebabkan penumpukan masalah buruh migran yang tidak pernah terselesaikan. Krisis pangan yang menimpa kaum tani karena pencabutan subsidi dari pemerintah yang WTO planning-kan juga semakin memperburuk kondisi rakyat Indonesia yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Ditambah lagi harga kebutuhan pokok yang semakin tak terkontrol lonjakannya menciptakan seabrek permasalahan sosial dan lain sebagainya. Oleh karena itu, jangan merasa bangga bila Indonesia dijadikan tempat pertemuan-pertemuan penting dunia akhir-akhir ini. Karena pada hakekatnya Indonesia tengah dipromosikan kepada investor dunia oleh WTO. Dan apabila planning WTO itu benar terjadi, sudah menjadi sebuah kepastian bahwa hidup rakyat semakin dipersulit, ditindas dan dijadikan object penjajahan gaya baru. PEOPLE'S SAY, JUNK WTO!!!