SEDASI
-Sandhi Prabowo-
Sedasi banyak menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini oleh karena termotivasi kebutuhan klinis klinis yang aman dan teknik yang tepat. tepat. Sedasi Sedasi berbeda berbeda dengan tidur. tidur. Sedasi Sedasi secara secara klinis digambarkan sebagai tidur ringan. Dalam beberapa kepustakaan dibedakan antara istilah tidur, hipnosis, dan tidak sadar. Perbedaan tersebut berimplikasi nantinya pada praktiknya sehingga timbul timbul istilah istilah “sedasi “sedasi prosedur prosedural”, al”, “monitore “monitored d anesthe anesthesia sia care”, dan “sedasi “sedasi & analges analgesia”. ia”. Beberapa guideline merekomendasikan pemantauan tingkat kesadaran selama sedasi. Beberapa tingkat kesadaran dibedakan berdasarkan EEG, tonus motorik, orientasi waktu dan tempat, dll.
Ciri-ciri tidur, sedasi, dan anestesia umum
Tabel 2.. Perbedaan tidur dan sedasi Tidur
Sedasi
Diti Ditimb mbul ulka kan n seca secara ra end endog ogen en
Diin Diindu duks ksii oleh oleh oba obat/ t/ag agen en ane anest stes esia ia
Ada control control homeos homeostat tatik ik dan sirkadian Onse Onsett dan dura durasi si berga bergantu ntung ng pada stress, stress, obat-obatan, obat-obatan, lingkungan, nyeri, dan patologi Batas kedalaman tidur bervariasi bervariasi (NREM (NREM vs. REM) REM) Berperan dalam proses belajar dan ko konsolidasi me memori
Tidak ada control homeostatik dan sirkadian Onset dan durasi bergantung pada dosi dosiss dan dan duras durasii obat obat anest anestes esia ia yang diberikan.
Tidak ada efek samping
PONV cukup sering ditemukan
Batas kesadaran ditentukan Amnesia da dan pe penurunan ko kognitif.
Metabolic Metabolic rate menurun Metabolic Metabolic rate menurun selama tidur NREM dan meningkat selama tidur REM Pembe Pemberi rian an sedas sedasii seri sering ng dila dilakuk kukan an untuk untuk memb member erika ikan n kenya kenyama manan nan kepa kepada da pasi pasien en sekaligus membantu kelancaran prosedur yang dilakukan, terutama pada pasien bayi, anak-anak yang kurang kooperatif, atau dengan retardasi mental. Jenis sedasi yang diberikan diberikan dapat berupa sedasi ringan sampai yang dalam. The American American Society of Anesthesiologists menggunakan definisi berikut untuk sedasi : Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon normal terhada terhadap p perinta perintah h verbal. verbal. Walaup Walaupun un fungsi fungsi kogniti kognitiff dan koordina koordinasi si tergang terganggu, gu, tetapi tetapi fungsi fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi. Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat di mana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh rangsan rangsangan gan taktil taktil cahaya. cahaya. Tidak Tidak diperl diperlukan ukan interve intervensi nsi untuk untuk menjaga menjaga jalan jalan napas napas paten paten dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang atau rangsangan sakit. sakit. Kemamp Kemampuan uan untuk untuk memper mempertaha tahankan nkan fungsi fungsi ventila ventilasi si dapat dapat tergang terganggu gu dan pasien pasien dapat dapat memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas paten. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.
Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam di mana kontak verbal dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan dengan anestesia umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan diperlukan tingkat keahlian yang lebih tinggi untuk penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga jalan napas paten sendiri merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang atau sedasi sadar, tetapi pada tingkat sedasi ini tidak dapat
dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat anestesia dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat sedatif dapat menghasilkan efek anestesia jika diberikan dalam dosis yang besar. Pemberian sedasi dapat dilakukan secara intramuskuler, intravena, intratekal, maupun dengan inhalasi, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Jenis obat yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepine dan opioid. Midazolam lebih disukai dibandingkan dengan diazepam karena obat ini larut dalam air, tidak menimbulkan rasa nyeri pada saat pemberian, waktu paruhnya lebih singkat, dan menghasilkan metabolit yang kurang aktif dibandingkan dengan diazepam. Midazolam jarang mendepresi system pernafasan, namun dapat menimbulkan efek agitasi pada beberapa individu. Pemberian opioid dengan dosis tertentu dapat mendepresi system pernafasan karena tempat kerjanya di reseptor µ medulla oblongata yang kemudian menghambat respon terhadap peningkatan CO2. Obat jenis lain seperti ketamin dan propofol juga pilihan yang sering digunakan. Propofol umumnya hanya dipakai untuk pasien anakk dengan usia di atas 3 tahun. Untuk pasien –pasien yang telah direncanakan sebelumnya untuk mendapat sedasi selama prosedur berlangsung, sebaiknya puasa perlu dilakukan. Protokol pemberian sedasi
INDIKASI PENGGUNAAN OBAT-OBAT SEDATIF Premedikasi
Anak-anak dan orang tuanya sering mengalami kecemasan pada periode preoperatif. Kecemasan ini dapat tidak mengganggu, di mana tidak diperlukan suatu penanganan, namun dalam situasi lainnya, orang tua dan anak dapat menjadi sangat cemas sehingga diperlukan suatu penanganan untuk mengatasinya. Kecemasan preoperatif ditunjukkan dengan berbagai macam sikap dan perilaku oleh anak, dapat berupa verbal maupun sikap tubuh, misalnya menangis, diam, terlihat pucat, agitasi, nafas dalam, retensi urin, berontak, dan otot menegang. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi respon psikologis dari anak-anak, seperti usia, pengaruh orang tua, etnis, sosial-ekonomi, pengalaman dengan rumah sakit sebelumnya, berat ringannya penyakit serta lingkungan rumah sakit. Usia merupakan faktor yang paling penting. Bayi baru lahir sampai dengan usia di bawah 6 bulan tidak mengalami kesulitan untuk dipisahkan dari orangtuanya dan dapat menerima dokter atau perawat sebagai pengganti orangtuanya. Usia di atas
6 bulan sampai dengan 4 - 5 tahun merupakan kelompok usia yang paling mengalami kecemasan saat dipisahkan dari orangtua namun dikatakan bahwa anak usia di bawah 1 tahun belum memerlukan sedasi. Beberapa penanganan dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan kecemasan preoperatif, antara lain : penanganan farmakologis (premedikasi) dan penanganan psikologis antara lain persiapan menggunakan video, kunjungan preoperatif, pamflet, sampai dengan pendampingan orang tua saat induksi anestesia. Pada minggu pertama kehidupan, bayi sudah mampu untuk membedakan orang, namun akan menerima dan merasa nyaman dengan orang dewasa selain orang tuanya. Usia 3 bulan bayi mulai berespon terhadap orang yang sudah sering dilihatnya dan yang masih asing. Bayi yang lebih tua, tersenyum pada orang yang sudah dikenalnya dan mungkin berusaha untuk menarik perhatian mereka. Kecemasan saat perpisahan mulai timbul pada usia 7 sampai 8 bulan dan mencapai puncaknya saat usia 1 tahun. Namun demikian, kecemasan perpisahan menunjukkan suatu kemampuan kognitif baru dan kemampuan membedakan obyek yang diperoleh bayi. Intensitas kecemasan perpisahan menurun sesuai dengan usia, khususnya karena peningkatan kemampuan kognitif dan kapasitas memori, tetapi sering peningkatan kemampuan tidak menyebabkan anak usia prasekolah terbebas dari kecemasan saat perpisahan. Sejauh mana perpisahan tersebut bersifat traumatis atau menimbulkan respon adaptif, menunjukkan perkembangan anak secara individual, baik usia, pengalaman orangtua, pengaruh genetik, dan stabilitas lingkungan. Pada anak dengan kecenderungan secara biologis untuk sensitif terhadap masa transisi, meskipun dengan perpisahan yang sudah direncanakan, akan timbul stres yang lebih tinggi daripada anak yang kurang sensitif. Bagaimana orangtua menolong anak untuk mengatasi pengalaman perpisahan, memainkan peranan yang krusial terhadap respon akut dan jangka panjang. Pada situasi yang ekstrem, orangtua tidak dapat membagi pengalaman untuk anak karena keterbatasan seperti kecemasan yang berat. Seberapa baik anak ditangani untuk menghadapi saat perpisahan juga mempengaruhi respon mereka terhadap stressor. Anak yang kehilangan perhatian di rumah mempunyai risiko yang tinggi untuk mengalami kecemasan perpisahan Penanganan farmakologis (premedikasi) berkembang karena penanganan secara psikologis memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar dan lama serta belum memberikan hasil yang efektif.2 Kain et al tahun 19993 dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak yang tidak mendapatkan premedikasi dengan baik dapat mengalami respon tingkah laku maladaptif seperti menangis di malam hari, kecemasan yang berlebihan saat berpisah dengan orang tua, hal tersebut timbul pada 60% anak 2 minggu setelah pembedahan dan dapat bertahan pada 20% anak sampai 6 bulan kemudian. Kecemasan yang tinggi sebelum operasi berhubungan dengan peningkatan nyeri pasca operasi, kebutuhan analgetik, kecemasan umum, masalah tidur, dan masalah nutrisi. Ada beberapa cara untuk memberikan premedikasi pada anak-anak, oral dan rektal merupakan cara yang banyak digunakan, namun jalur ini tidak selalu dapat diprediksi karena fluktuasi yang besar pada bioavailabilitas dan mengalami first pas effect di hepar yang cukup signifikan, tidak berguna untuk pasien yang sangat gelisah dan midazolam memiliki rasa yang
pahit. Jalur intranasal juga dapat digunakan karena jalur ini cukup nyaman, absorbsinya cepat dan hampir komplit (83%) ke sirkulasi sistemik oleh mukosa nasal yang mempunyai vaskularisasi yang baik dan hubungan langsung dengan otak melalui lapisan perineurium saraf olfaktorius, sehingga memiliki bioavailabilitas sistemik yang lebih tinggi daripada jalur pemberian yang lain dan mula kerja yang cepat. Sebaiknya dihindari jalur yang memerlukan jarum untuk premedikasi karena ternyata jarum merupakan fokus kecemasan pada hampir semua anak. Obat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah midazolam (85%), ketamin (4%), fentanyl transmukosal (3%), dan meperidin (2%). Jalur pemberian premedikasi juga harus diperhatikan. Pemberian intramuskular adalah menyakitkan dan sebaiknya dihindari. Jalur rektal, oral maupun nasal dapat dipertimbangkan. Sedo-analgesia
Istilah ini menggambarkan penggunaan kombinasi obat sedatif dengan anestesia lokal, misalnya selama pembedahan gigi atau prosedur pembedahan yang menggunakan blok regional. Perkembangan pembedahan invasif minimal saat ini membuat teknik ini lebih luas digunakan. Prosedur radiologik
Beberapa pasien, terutama anak-anak dan pasien cemas, tidak mampu mentoleransi prosedur radiologis yang lama dan tidak nyaman tanpa sedasi. Perkembangan penggunaan radiologi intervensi selanjutnya meningkatkan kebutuhan penggunaan sedasi dalam bidang radiologi. Endoskopi
Obat-obat sedatif umumnya digunakan untuk menghilangkan kecemasan dan memberi efek sedasi selama pemeriksaan dan intervensi endoskopi. Pada endoskopi gastrointestinal (GI), analgesik lokal biasanya tidak tepat digunakan, perlu penggunaan bersamaan obat sedatif dan opioid sistemik. Sinergisme antara kelompok obat-obat ini secara signifikan meningkatkan resiko obstruksi jalan napas dan depresi ventilasi. Terapi intensif
Kebanyakan pasien dalam masa kritis membutuhkan sedasi untuk memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik dan intervensi terapetik lain dalam Unit Terapi Intensif (ICU). Dengan meningkatnya penggunaan ventilator mekanik, pendekatan modern yaitu dengan kombinasi analgesia yang adekuat dengan sedasi yang cukup untuk mempertahankan pasien pada keadaan tenang tapi dapat dibangunkan. Farmakokinetik dari tiap-tiap obat harus dipertimbangkan, di mana sedatif terpaksa diberikan lewat infus untuk waktu yang lama pada pasien dengan disfungsi organ serta kemampuan metabolisme dan ekskresi obat yang terganggu. Beberapa obat
yang berbeda digunakan untuk menghasilkan sedasi jangka pendek dan jangka panjang di ICU, termasuk benzodiazepin, obat anestetik seperti propofol, opioid, dan agonis α2-adrenergik. Nilai skor sedasi selama perawatan masa kritis telah dibuat sejak bertahun-tahun, tapi perhatian lebih terfokus akhir-akhir ini pada pentingnya sedasi harian ‘holds’; strategi interupsi harian dengan obat-obat sedasi menyebabkan lebih sensitifnya kebutuhan untuk sedasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi insiden terjadinya komplikasi terkait penggunaan ventilasi mekanik selama masa kritis dan untuk mengurangi lama perawatan. Suplementasi terhadap anestesia umum
Penggunaannya yaitu dari sinergi antara obat-obat sedatif dan agen induksi intravena dengan teknik ko-induksi. Penggunaan sedatif dalam dosis rendah dapat menghasilkan reduksi signifikan dari dosis agen induksi yang dibutuhkan, dan dengan demikian mengurangi frekuensi dan beratnya efek samping. TEKNIK PENGGUNAAN
Penggunaan obat sedatif memerlukan keterampilan dan kehati-hatian, penting karena bisa terjadinya progresi dari sedasi ringan menjadi anestesia umum. Dahulu obat-obat sedatif digunakan melalui bolus intravena intermiten. Terdapat variasi yang cukup besar dari respon individual terhadap dosis yang diberikan dan terdapat banyak keadaan di mana praktisi medis tanpa pelatihan anestetik menggunakan sedatif. Teknologi terbaru dalam pompa infus dengan kontrol mikroprosesor telah meningkatkan keamanan penggunaan sedatif. Sistem patient-controlled analgesia telah diprogram untuk patient-controlled sedation, biasanya untuk mempertahankan sedasi setelah dosis bolus awal digunakan oleh dokter. Setelah sistem tersebut sepenuhnya terkontrol oleh pasien, dosis rata-rata obat sedatif menurun sementara jarak pemberian meningkat. Pada target-controlled infusion, pompa spuit telah diprogram dengan model farmakokinetik obat dan didesain untuk mencapai konsentrasi plasma ‘target’ yang diinginkan secepat mungkin, sesuai dengan berat badan pasien. Usia pasien juga seharusnya diperhatikan di mana semakin tua usia pasien, semakin tinggi sensitivitas efek obat-obat sedatif terhadap SSP. Karena terdapat variabilitas efek farmakodinamik obat, operator dapat mengubah-ubah level target. Pemakaian sedasi yang aman
Pemakaian sedasi yang aman bertujuan untuk membuat prosedur lebih aman dan meminimalkan resiko terhadap pasien. Ketika sedasi digunakan di luar lingkungan operasi, perlu dipastikan tersedianya fasilitas yang adekuat, peralatan, dan orang yang berkompeten. Beberapa panduan pemakaian telah diperkenalkan untuk mengatasi hal ini. Panduan terkait penggunaan sedasi untuk endoskopi GI, prosedur di bagian darurat, prosedur pembedahan gigi, dan sedasi pada anak-anak merupakan beberapa tema yang diangkat. Kelayakan pasien untuk menjalani prosedur
dengan sedasi harus dievaluasi: misalnya pasien dengan masalah jalan napas tidak boleh menggunakan prosedur ini. Fasilitas harus tersedia untuk memonitor kondisi fisiologis seperti saturasi oksigen arterial, dan individu yang melakukan prosedur tidak bertanggungjawab memonitor kondisi pasien pada saat bersamaan. Seorang personel harus dilatih untuk dapat mengenali, dan berkompetensi untuk menangani komplikasi kardiorespirasi, dan peralatan resusitasi harus lengkap dan tersedia secepatnya. OBAT-OBATAN SEDATIF
Kebanyakan obat-obatan sedatif dikategorikan dalam satu dari tiga kelompok utama, yaitu: Benzodiazepin, neuroleptik dan agonis a2- adrenoseptor. Obat-obatan ini lebih sering di klasifikasikan sebagai jenis anestesia intravena, terutama propofol dan ketamin, juga digunakan sebagai obat sedatif dengan dosis subanestetik. Anestesia inhalasi juga sering digunakan sebagai sedatif dalam kadar subanestetik. BENZODIAZEPIN
Obat-obatan ini awalnya dikembangkan untuk keperluan obat anxiolytik dan hypnotik dan pada tahun 1960-an menggantikan obat barbiturat oral. Agar sediaan parenteral tersedia, mereka terus mengembangkan di anestesia dan perawatan intensif. Semua benzodiazepin mempunyai efek farmakologi yang sama, efek terapi ini ditentukan oleh potensi dan ketersediaan obat-obatan. Benzodiazepin diklasifikasi berdasarkan lama kerja obat, yaitu sebagai lama kerja panjang (diazepam), lama kerja sedang (temazepam), lama kerja pendek (midazolam). FARMAKOLOGI Mekanisme Aksi
Benzodiazepin bekerja oleh daya ikatan yang spesifik pada reseptor benzodiazepin, yang mana merupakan bagian dari kompleks reseptor asam g aminobutirik (GABA). GABA merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP), melalui neuron-neuron modulasi GABA ergik. Reseptor Benzodiazepin berikatan dengan reseptor subtipe GABAA. Berikatan dengan reseptor agonis menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabakan hiperpolarisasi dari membran postsinaptik, dimana dapat membuat neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian obat ini memfasilitasi efek inhibitor dari GABA. Reseptor benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas rendah pada medula spinalis. Tidak adanya reseptor GABA selain di SSP, hal ini aman bagi sistem kardiovaskuler pada saat penggunaan obat ini. Efek Benzodiazepin pada SSP ditunjukan pada hubungan dengan kemampuan reseptor.
Dosis midazolam Efek
Kemampuan Dosis flumazenil reseptor (%) untuk membalikan
Dosis rendah
Antiepilepsi
20-25
Anxiolisis
20-30
Sedasi ringan
25-50
Penurunnan perhatian
60-90
Dosis rendah
Amnesia Sedasi kuat Relaksasi otot Dosis tinggi
Anestesia
Dosis tinggi
Contoh Preparat Benzodiazepin a.
Midazolam
Midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air dengan struktur cincin imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu affinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam. Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain. 1) Farmakokinetik
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam. 2) Metabolisme
Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1-hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan cepat dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi 1-hidroksimidazolam glukoronat yang dieskresikan melalui ginjal. Metabolit lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak terdapat dalam plasma pada pemberian IV. Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat enzim sitokrom P-450 seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur. Kecepatan klirens hepatik midazolam lima kali lebih besar daripada lorazepam dan sepuluh kali lebih besar daripada diazepam. 3) Efek pada Sistem Organ
Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki efek yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus. a) Pernapasan Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan diazepam 0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepin juga menekan refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian atas.
b) Sistem kardiovaskuler Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesia akan menurunkan tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output . Efek midazolam pada tekanan darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepin. 4) Penggunaan Klinik
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang grand mal. a) Premedikasi Dari penelitian yang dilakukan oleh Wilton et al tahun 19887 mengenai sedasi praanestesiaa pada anak usia prasekolah dengan midazolam intranasal 0,2 mg/kgbb menghasilkan 93% anak dapat dipisahkan dengan memuaskan dari orangtua dalam waktu 30 menit. Penelitian oleh Davis PJ et al tahun 19958 dan Goldman RD tahun 20069 menyatakan bahwa midazolam intranasal 0,2 dan 0,3 mg/kgbb menimbulkan efek sedasi dan antiansietas yang sama baiknya dan relatif aman. Bhakta P et al tahun 2007 menyatakan tidak ada manfaat tambahan yang didapatkan dengan meningkatkan dosis sampai 0,3 mg/kgbb. Dosis yang lebih tinggi membutuhkan volume yang lebih banyak sehingga menimbulkan kemungkinan mengalirnya sejumlah volume ke rongga mulut melalui bagian posterior hidung dan terbuangnya sejumlah dosis karena bersin atau menetes dari lubang hidung. Sashikiran et al tahun 2006 menyatakan dosis yang relatif kecil (0,2 mg/kgbb) menunjukkan stabilitas kardio-respirasi. Tidak terjadinya mual, muntah dan depresi respirasi pada anak-anak yang mendapatkan makanan ringan, jus, atau roti sebelum pemberian sedasi, nampaknya merupakan indikator yang cukup baik untuk memberi kesan bahwa tidak mutlak anak untuk puasa 4-6 jam sebelum sedasi dilakukan. Midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2 mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup. b) Sedasi intravena Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesia. Dibanding dengan diazepam, midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan CNS lainnya.
c) Sedasi post operasi Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg IV dan dosis rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari sirkulasi sistemik lebih bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari metabolit akan terakumulasi dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena dihentikan sehingga waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid dapat mengurangi dosis midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu pulih lebih cepat. Waktu pulih akan lebih lama pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hati berat.
B. Diazepam
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik (propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri. 1) Farmakokinetik
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (1530 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus. Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam. 2) Metabolisme
Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat. 3) Waktu Paruh
Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim
sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABAA lebih cepat terpisah. Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk mengeliminasi metabolit dari plasma. 4) Efek pada Sistem Organ
Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas. Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesia tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga dengan pemberian anestesia volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik. Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml. Penggunaan Klinis
Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesia telah digantikan oleh midazolam. Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus.
PROPOFOL
Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara struktur kimia berbeda dari obat sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain cepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala
sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan peimilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%. Propofol adalah larutan yang tidak larut dalam air sehingga membutuhkan pelarut untuk larut dalam lemak sehingga terjadi emulsifikasi. Saat ini digunakan larut kacang kedele sebagai pelarut lemak dan egg lechitin sebagai zat pengemulsi yang dikomposisikan dengan rantai panjang trigliserida. Komposisi seperti ini mendukung perkembangan bakteri dan meningkatkan kandungan trigliserida plasma ketika diberikan melalui cairan infus yang lama. Diprivan® menggunakan disodium edenate (0,005%) dan sodium hydroxide dan meningkatkan pH 7-8,5. Kandungan generik propofol sodium metabisulfite (0,25mg/mnl) mengubah menjadi pH 4,5-6,4. Propofol tidak seperti thiopental, etomide, dan ketamin, tidak memiliki komponen chiral. Campuran propofol dan obat lain tidak dianjurkan walau penggunaan lidokain sering ditambahkan untuk mengurangi nyeri pada tempat suntikan. Pencampuran lidokain dan propofol dapat menimbulkan gabungan pada droplet minyak dan bentuk yang lain sehingga meningkatkan risiko embolisasi pulmonal. Emulsi propofol yang rendah lemak (Ampofol®) mengandung 5% minyak kedelai dan 0,6% egg lechitin dan tidak memerlukan bahan pengawet atau zat yang meretardasi pertumbuhan mikroba. Suatu alternatif dalam memecahkan masalah formulasi emulsi propofol dan masalah efek samping obat (nyeri pada tempat suntikan, risiko infeksi, hipertrigliseridemia, emboli paru) adalah dengan menggunakan bentuk prodrug dengan melepaskan suatu gugus sehingga meningkatkan kelarutan pada air (phosphate monoester, hemisuccinates). Propofol dibebaskan setelah dihidrolisa oleh alkaline phosphatase di permukaan sel endotel. Dibandingkan dengan propofol, bentuk prodrug ini didistribusi lebih besar dan lebih poten. Bentuk propofol yang tidak larut lemak menggunakan cyclodextrins sebagai zat pelarut. Cyclodextrins adalah molekul cincin gula sehingga larut dalam air. Setelah disuntikan, cyclodextrins dipisahkan dengan propofol di dalam darah. 1.
Mekanisme Kerja Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric acid ( GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan neurotansmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melaui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel. 2. Farmakokinetik Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik. Metabolisme
hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian melalui intravena. Total body clearance dari propofol sebanding dengan aliran darah ke hati dan bersihan ekstahepatik ( pulmonary uptake dan eliminasi awal. Pulmonary uptake dari propofol dipengaruhi avaibilitas propofol. Di paru propofol diubah ke dalam bentuk 2,6-diisoprpyl- 1,4 quiniol dan kebanyakan kembali lagi ke dalam sirkulasi. Glukoronidasi adalah jalur metabolisme utama dari propofol dan UDP-glukoronidase sehingga ginjal juga memegang peranan penting dalam mengekresikan propofol. Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstrahepatik propofol terjadi secara ekstrahepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi clearance propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien dewasa. Kecepatan bersihaan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat digunakan secara terus menerus intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu melewati sirkulasi plasenta namun secara cepat dibersihkan dari sikulasi fetus. 3.
Penggunaan Klinis Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang atau anestesia total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus sering digunakan di ruang ICU.
a. Sedasi Intravena Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus menerus, kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian kesadaran yang cepat tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang rendah membuat propofol diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25-100μg/kgBB/menit secara intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat dikombinasikan dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman menurun.
Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU pada beberapa populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah saraf) dan pasien yang mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek antikonvulsan, dan amnestik Setelah pembedahan jantung, sedasi propofol mengatur respon hemodinamik post operasi dengan menurunkan insiden dan derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia, bradikardia, dan kegagalan myokardial yang progresif pada beberapa anak yang mendapat sedasi propofol selama penanganan gagal napas akut di ICU. Efek Pada Organ Sistem Saraf Pusat Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien dengan lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besar propofol mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan aliran darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan aliran darah ke otak yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan tetapi, aliran darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang mendapat propofol dan midazolam. Propofol menyebabkan perubahan gambaran electroencephalograpic (EEG) yang mirip pada pasien yang mendapat thiopental. Cortical somatosensory evoked potentials yang digunakan sebagai alat monitoring fungsi sum-sum tulang belakang menunjukan tidak terdapat perbedaan hasil (penurunan amplitudo) antara pasien yang mendapat propofol saja dan yang mendapat propofol, N2O, atau zat volatil lainnya. Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip seperti midazolam, propofol menyebabkan gangguan ingatan yang mana thiopental memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan ingatan. Sistem Kardiovaskular Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi. Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas. Suatu laporan menunjukan propofol sebanyak 2 mg/kgBB intravena meningkatkan konsentrasi epinefrin diikuti peningkatan mendadak konsentrasi desfluran > 1 MAC tetapi tidak menyebabkan peningkatan respon jantung. Berbeda dengan laporan lainnya, bahwa propofol dan zat penginduksi lainnya (selain etomidate) menyebabkan peningkatan aktifitas saraf simpatis, hipertensi, dan peningkatan konsentrasi inhalasi desfluran. Efek ini mungkin berlebihan bagi pasien hipovolemia, lansia, dan pasin dengan gangguan ventrikel kiri yang terkompensasi yang disebabkan gangguan padar pembuluh darah arteri koroner (PJK). Hidrasi yang cukup disarankan untuk meminimalisir gangguan tekanan darah. -
Sebagai tambahan, N2O tidak mengubah respon tekanan darah pada pasien yang diberikan propofol. Suatu penekan respon misalnya ephedrin dapat dimanfaatkan pada pasien ini. Bradikardi dan asisitol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat propofol sehingga disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol sebenarnya juga meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf parasimpatis sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis. Terdapat bukti yang menyatakan propofol menyababkan perubahan fungsi sinoatrial dan ventrikular node pada pasien normal dan pasien dengan Wolff Parkinsonn White sehingga penggunaan propofol dapat diterima. Namun terdapat suatu laporan yang menyatakan bahwa timbulnya gelombang delta pada pasien dengan sindrom WPW pada EKG selama pemberian infus propofol. Tidak seperti sevofluran, propofol tidak menimbulkan gelombang QT yang memanjang. Kontrol barorefleks juga tertekan pada pasien yang mendapat propofol. -
Bradycardia- Related Death Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada pasien dewasa sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-related death selama anestesiaa propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesia propofol dibandingkan anestesia lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian antikolonergik. Respon denyut jantung selama pemberian atrofin intravena berbeda tipis pasien yang mendapat propofol dan pasien yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol menekan aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia adalah dengan pemberian beta agonis contohnya isoproterenol. -
Paru Terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang mendapat propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini. Stimulasi nyeri pada saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon diokasida dan hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan risiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral. Fungsi Hepar dan Ginjal Propofol tidak menggangu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim transamin hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosis laktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis. Infus propofol yang lama menyebabkan urin yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapat
propofol yang ditandai dengan urin yang keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek ini menandai gangguan ginjal akibat propofol. -
Tekanan Intraokular Pembedahaan laparoskopi dinilai berhubungan dengan peningkatan TIO dan posisi pasien saat laparoskopi meingkatkan risiko hipertensi okular. Pada kasus ini propofol menurunkan TIO segera setelah induksi dan selama tindakan intubasi trakea. Penurunan TIO ini meningkat pada pasien yang juga mendapat isofluran. -
Koagulasi Propofol tidak mengganggu koagulasi dan fungsi trombosit. Namun ada laporan yang menunjukan bahwa emulsi propofol yang bersifat hidrofobil mempengaruhi koagulasi darah dan menghambat agregasi trombosit melalui pengaruh mediator inflamasi lipid termasuk tromboksan A2 dan platelet-activating factor (PAF). KETAMIN Ketamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan “disosiative anesthesia” yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative anesthesia ini menyerupai kedaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti nistagmus yang lambat. Berbagai derajat hipertonus dan perpindahan otot yang tanpa tujuan sering terjadi pada proses pembedahan. Namun pasien tetap dalam keadaan amnesia dan analgesia. Ketamin memiliki keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate, ketamin larut di dalam air dan dapat menyebabkan analgesik pada dosis subsnaestetik. Namun ketamin sering hanya menyebabkan delirium. Ketamin sering disalahgunakan. 1.
Struktur Kimia Ketamin Ketamin larut di dalam air karena memiliki struktur phenecyclidine. Terdapat karbon asimetris menimbulkan dua isomer ketamine (S(+)-ketamine dan R(-)-ketamin). Kebanyakan ketamin yang beredar dalam bentuk S(+)-Ketamine. Ketamine S(+) memiliki efek analgesia yang lebih, lebih cepat dimetabolisme, dan masa recovery lebih singkat, salivasi lebih sedikit, dan menimbulkan efek emergensi lebih sedikit. Isomer ketamin menimbulkan rasa lelah dan gangguan kognitif daripada ketamin. Baik isomer ketamin maupun ketamin menghambat ambilan katekolamin ke ujung saraf bebas ganglion post-sinaps. Zat pengawetnya adalah zethonium chloride. 2.
Mekanisme Kerja Ketamin Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase. Tidak seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi
netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang menimbulkan efek analgesia. Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel yang unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin sebagai coagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat, menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter penghambat, gama aminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar. Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan kappa. Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor mu namun memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor sigma, walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan reseptor opioid dan ikatannya masih lemah. Aksi antinosiseptif ketamin dihubungkan efeknya terhadap penurunan jalur penghambat nyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian berantagonis dengan obat antikolinergik. Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek dengan gejala antikolinergik (delirium emergensi, bronkodilatasi, aksi simpatomimetik) sehingga efek antagonis terhadap reseptor muskarinik lebih tampak nyata daripada efek agonisnya. Mirip seperti anestesia lokal, ketamin berinteraksi dengan kanal sodium. 3.
Pharmakokinetik Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat, memiliki aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi. pKa ketamin adalah 7,5 pada pH yang fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secara intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu berikatan kuat dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya ke otak dimana konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma. Kelarutan yang tinggi di dalam lemak (5-10 kali lebih tinggi dari pada thiopental) memudahkan ketamin melewati sawar darah di otak. Ketamin menginduksi peningkatan aliran darah ke otak yang memfasilitasi distribusi obat ini ke otak ditambah sifatnya yang mempermudah melewati sawar darah otak. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan lain yang memiliki konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih rendah. Ketamin memiliki hepatic clearance yang tinggi (1 liter per menit), dan Vd yang besar (3 liter/kgBB) sehingga waktu paruhnya sekitar 2-3 jam. Rasio ekstraksi yang tinggi di hati disebabkan perubahan aliran darah ke hati. 4.
Metabolisme Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin. Metabolit aktif ini lah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang diulang atau administrasi
lewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin <4% memungkinkan ketamin diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah. Ekskresi lewat feses ditemukan <5%. Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang memetabolismenya sehingga sering terjadi toleransi terhadap efek analgesia ketamin. Selain terjadi peningkatan toleransi ketamin terjadi pula efek ketergantungan ketamin. 5.
Penggunaan Secara Klinis Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan dosis subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis yang lebih besar. Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk, laringospasm yang disebabkan ketamine induced salivary secretions. Glycopyrolat lebih disukai daripada atropin dan scopolamin karena dapat melewati sawar darah otak dan meningkatkan insiden delirium emergensi. a.
Analgesia Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara intravena. Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari pada pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi norketamin akibat metabolisme awal di hati yang terjadi pada pemakaian secara oral. Efek analgesia ini lebih nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral. Efek ketamin ini disebabkan aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang bertanggung jawab terhadap interpretasi nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga digunakan sebagai tambahan analgesia opioid. Sumsum tulang belakang bertanggung jawab terhadap nyeri yang disebabkan sentuhan dan perpindahan posisi saat proses operasi. Aktifasi reseptor NMDA di sumsum tulang belakang terjadi pada kornu dorsal. Reseptor NMDA merupakan reseptor dari asam amino eksitatori yang penting terhadap proses nyeri dan modulasi nyeri. Penghambatan reeptor NMDA oleh obat seperti obat ketamin, dextromethorpan, magnesium berguna untuk tatalaksana nyeri termasuk penurunan konsumsi analgesia. S(+) memiliki afinitas 4 kali dari pada isomer R(-), efek anagesi 2 kali lebih tinggi daripada recemik ketamin. Pada proses persalinan, ketamin memiliki efek analgesi tanpa mendepresi janin. Perubahan neurobehavioral lebih rendah pada bayi yang dilahirkan secara per vaginam dibandingkan bayi yang lahir dengan anestesiaa epidural, namun lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dengan anestesia thiopental-N2O. Dosis sedasi post operasi pada pasien jantung lansia adalah 2-4 mg/kgBB/jam. Penggunaannya sebagai tatalaksana nyeri kronik tergolong moderate-lemah sehingga tidak direkomendasikan. b. Induksi Anestesia Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara intravena dan 4-8 mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin tidak menimbulkan nyeri dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar meningkatkan metabolisme katamin. Kesadaran hilang 30-60 detik setelah pemakaian secara intravena dan 2-4 menit pemakaian secara intramuskular. Penurunan kesadaran sebading atau berbeda sedikit terhadap penurunan refleks faring dan laring.
Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit seletal dosis induksi ketamin, namun orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit. Amnesia terjadi pada menit ke 60- 90 setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak menimbulkan amnesia retrograde. Karena aksi kerjanya cepat, ketamin pernah digunakan secara intramuskular pada anak dan padaa pasien yang mengalami gangguan retardasi mental. Ketamin digunakan sebagai obat pada pasien luka bakar, debridemen, skin-grafting. Keuntungan penggunaan ketamin adalah mampu memberikan efek analgesia yang baik serta mampu mempertahankan ventilasi spontan. Toleransi mungkin terjadi pada pasien luka bakar yang mendapat ulangan dosis ketamin, anestesia interval cepat. Induksi anestesia pada pasien hipovolemik memberikan efek positif terhadap stimulasi kardiovaskular. Namun, seperti semua obat anestesia, bisa saja menyebabkan depresi myokardiak, terutama jika penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan respon saraf simpatis berubah. Penggunaan ketamin pada pasien PJK meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang berhubungan dengan efek simpatomimetik ketamin. Hilangnya refleks kardioprotektif yang hilang sering dihubungkan dengan racemik ketamin terutama pada pasien yang memiliki riwayat PJK. Penggunaan diazepam 0,5mg/kgBB intravena dan ketamin 0,5 mg/kgBB diikuti infus ketamin 1530 μg/kgBB/menit sering digunakan pada pasien yang memiliki riwayat PJK. Kombinasi propofol dan ketamin menimbukan efek hemodinamik yaang lebih stabil daripada kombinasi propofol dan fentanil ketika menghindari efek emergensi yang disertai penggunaan ketamin dengan dosis yang lebih. Keuntungan ketamin pada resistensi saluran napas disebabkan bronkodilatasi yang disebabkan obat sangat berguna pada induksi cepat pasien asma. Ketamin harus diperhatikan penggunaannya atau dihindari pada pasien hipertensi pulmonal atau sistemik dan pada pasien dengan peningkatan TIK. c. Pengembali Toleransi Opioid Dosis subanestesia menghambat dan mengembalikan toleransi morfin. Walau mekanismenya belum jelas, namun interaksi dengan reseptor NMDA, dan jalur N2O, dan reseptor μ opioid. Penggunaan ketamin pada dosis subanestesia (0,3 mg/kgBB/jam) menurunkan toleransi opioid dan meningkatkan efek analgesia. d. Meningkatkan Depresi Mental Reseptor NMDA terhadap glutamat mengganggu fisiologi tubuh terhadap mekanisme antidepresan. Sebagai NMDA antagonis, ketamin pada dosis rendah meningkatkan depresi pasien pasca operasi pada pasien depresi mental. e. Restless Leg Syndrome Suatu studi yang menggambarkan peningkatan kondisi pada pasien dengan restless leg syndrome. Hal ini mungkin karena ketamin menghambat neuroinflamasi pada sumsum tulang dan pada sistem saraf yang lebih tinggi.
DEXMEDETOMIDINE Alpha 2-agonis adrenoceptor semakin sering digunakan dalam perawatan anestesiaa karena mereka tidak hanya menurunkan nada simpatik dan melemahkan respon stres terhadap anestesia dan pembedahan, tetapi juga menyebabkan sedasi dan analgesia Dexmedetomidine adalah agen paling baru dalam kelompok ini disetujui oleh FDA pada tahun 1999 untuk digunakan pada manusia untuk analgesia dan sedasi. Mekanisme Aksi Alpha 2 reseptor ditemukan dalam sistem saraf perifer dan pusat, trombosit, dan organ lainnya, termasuk hati, pankreas, ginjal, dan mata. Stimulasi dari reseptor di otak dan sumsum tulang belakang menghambat eksitasi neuron, menyebabkan hipotensi, bradikardia, sedasi, dan analgesia. Tanggapan dari organ-organ lain termasuk air liur menurun, sekresi menurun, dan penurunan motilitas usus, penghambatan pelepasan renin, peningkatan filtrasi glomerulus, dan peningkatan sekresi natrium dan air di ginjal; menurun intraokular tekanan; dan penurunan pelepasan insulin dari pankreas. Farmakodinamik Mayoritas pasien yang menerima dexmedetomidine secara efektif tersedasi tetapi mereka dengan mudah dibangunkan, sebuah fitur unik ini tidak dimiliki obat penenang lain. Dexmedetomidine tampaknya tidak memiliki efek langsung pada jantung. Sebuah respon bifasik kardiovaskular terlihat setelah pemberian dexmedetomidine. Pada bolus 1 mcg / kg dexmedetomidine awalnya menghasilkan peningkatan transien tekanan darah dan penurunan refleks dalam denyut jantung. Stimulasi alpha B-2-adrenoceptor pada otot polos vaskular tampaknya bertanggung jawab untuk peningkatan awal tekanan darah. Namun, bahkan pada tingkat titrasi lambat, peningkatan tekanan arteri rata-rata selama 10 menit pertama terbukti di kisaran 7%, dengan penurunan denyut jantung antara 16% dan 18%. Tanggapan awal berlangsung selama 5 sampai 10 menit dan diikuti oleh sedikit penurunan tekanan darah akibat penghambatan pusat simpatik. Alfa presynaptic 2-adrenoseptor juga dirangsang mengurangi rilis norepinefrin mengakibatkan penurunan tekanan darah & denyut jantung. Efek ini juga dapat diamati pada periode pasca operasi, dan dapat dengan mudah diatasi dengan atropin, efedrin dan loading volume. Namun, efek ini dapat merusak pada pasien hipovolemik atau pasien dengan stroke volume tetap. Depresi pernafasan yang disebabkan oleh dexmedetomidine telah dilaporkan jauh lebih sedikit. Farrmakokinetik Dexmedetomidine mengalami hidroksilasi hampir lengkap melalui glukuronidasi langsung dan sitokrom P450 metabolisme di hati. Metabolit diekskresikan dalam urin (sekitar 95%) dan dalam tinja (4%). Hal ini tidak diketahui apakah mereka memiliki aktivitas intrinsik. Waktu paruh sekitar 2 jam. Indikasi
Dexmedetomidine memiliki ansiolitik, sifat penenang, analgesik, dan sympatholytic, mungkin menjadi digunakan untuk premedikasi. Dexmedetomidine juga telah ditemukan menjadi obat yang efektif untuk premedikasi sebelum anestesia karena mengurangi kecemasan pasien, respon sympathoadrenal, dan persyaratan analgesik opioid. Untuk periode intraoperatif, digunakan dalam dosis 0,2 sampai 0,7 mcg / kg / jam. Dexmedetomidine, seperti clonidine melemahkan stres dan tanggapan sympathoadrenal terhadap laringoskopi, intubasi dan operasi dan memberikan stabilitas hemodinamik. Ini mempotensiasi efek anestesia dari semua intraoperatif anestesia, terlepas dari metode administrasi (intravena, mudah menguap, atau bahkan blok regional). Namun, dexmedetomidine mungkin tidak memiliki efek amnesia, seperti sejumlah kecil pasien selama penelitian mampu mengingat mereka tinggal ICU dan menemukan pengalaman yang sangat menegangkan. Dexmedetomidine telah digunakan dalam perawatan intensif untuk itu sedatif, ansiolitik, dan sifat analgesik dan tidak menghasilkan depresi pernafasan karena non-opioid mekanisme analgesia. Dosis harusdititrasi dengan efek klinis yang diinginkan. Untuk pasien dewasa, umumnya dimulai dexmedetomidine dengan loading infus 1 mcg / kg lebih dari 10 menit, diikuti dengan infus pemeliharaan antara 0,2 sampai 0,7 mcg / kg / jam. Dexmedetomidine harus diencerkan dalam 0,9% garam untuk infus. Dosis bolus tidak digunakan karena dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah paradoks.
Efek Samping Dexmedetomidine melintasi plasenta dan keamanannya tidak dijamin pada kehamilan dan pada anak-anak. Efek samping umum dari dexmedetomidine termasuk hipotensi, hipertensi, mual, bradikardia, atrium fibrilasi, hipoksia dan blok atrioventrikular. Sebagian besar efek samping terjadi selama atau sesaat setelah dosis bolus obat. Titrasi dosis dapat mengurangi efek samping.
Referensi
Gillies BS, Lecky JH. Anesthesia for Nonoperative Locations. In: Clinical Anesthesia, 3rd edition. Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher, 1996:1237-45. Mackenzie RA, Southorn PA, Stensurd PE. Anesthesia at Remote Location. In: Anesthesia, 5th edition. New York: Churchill Livingstone, 2000: 2241-65. Malviya S, naughton NN, Tremper KK (ed). Sedation and Analgesia for Diagnostic and Therapeutic Procedures. New Jersey: Humana Press Inc;2003. Matoyama EK, Davis PJ (ed), Smith’s Anesthesia for Infants and Children 7th ed, Philadelphia:Mosby Inc; 2006.
Stoelting RK, Miller RD. Procedures Performed Outside the Operating Room. In: Basics of Anesthesia, 4th edition. New York: Churchill Livingstone,2000:399-405.