BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pajak Pajak meru merupak pakan an sumb sumber er pend pendap apata atan n terbe terbesa sarr bagi bagi negar negara. a. Pajak Pajak secar secaraa umum umum dikenakan kepada segala jenis transaksi yang mendatangkan keuntungan bagi suatu pihak, termasu termasuk k transak transaksi si dalam dalam dunia dunia bisnis bisnis proper properti. ti. Saat ini, dunia dunia propert propertii atau real estate di Indonesia sedang berkembang dengan pesat seiring dengan kebutuhan terhadap perumahan rakyat rakyat yang yang semakin semakin besar besar dan pertum pertumbuh buhan an ekonom ekonomii yang yang semakin semakin baik. baik. Pertum Pertumbuh buhan an ekono ekonomi mi Indo Indone nesia sia juga juga akan akan berd berdam ampak pak pada pada penin peningk gkat atan an kebu kebutu tuha han n akan akan gedu gedung ng perkantoran dan fasilitasnya. Kebutuhan terhadap properti tidak hanya pada level pertama yaitu jual beli properti di real estate, estate, tetapi juga dalam jual beli dalam pasar sekunder serta sewa menyew menyewa. a. Di saat saat bersam bersamaan, aan, Jasa Jasa Konstru Konstruksi ksi sebaga sebagaii bagian bagian yang tidak terpisah terpisahkan kan dari keberadaan properti/real properti/real estate ikut berakselarasi pula. Kebutuhan dunia properti terhadap jasa konstruksi konstruksi terlihat dalam keterlibatan keterlibatan awal pembentukan pembentukan/pemba /pembanguna ngunan n suatu properti/real properti/real estate, estate, saat pemeliharaan, dan renovasi di pasar sekunder. Jasa Konstruksi terlibat penuh dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, instalasi dan pemeliharaan konstruksi tanah dan atau bangunan. Dari sisi perpajakan, perpajakan, properti/real properti/real estate sangat menarik untuk dicermati karena dalam setiap pergerakannya dapat menimbulkan aspek pajak yang berbeda-beda tergantung dari objek pajak yang muncul dalam setiap transaksinya. Misalnya dalam transaksi jual beli bisa muncul berbagai macam pajak antara lain: Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPHTB), Pemotongan PPh pasal 21 atau Pasal 23, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bahkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dan tentu saja jika properti sudah dimiliki akan menimbulkan objek pajak selanjutnya yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
1
I.2 RUMUSAN MASALAH Berda Berdasa sarka rkan n latar latar belak belakan ang g terse tersebu but, t, maka maka kelo kelomp mpok ok kami kami meny menyus usun un bebe beberap rapaa rumusan masalah dalam makalah ini: properti/ real estate? estate? a. Bagaimana sebenarnya pemahaman mengenai bisnis properti/real b. Bagaimana pajak memandang dan memberi perlakuan terhadap transaksi dalam bisnis
properti/real properti/real estate? estate?
I.3 METODE PENELITIAN Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan makalah ini ialah metode analisis deskriptif, yakni berupa pemahaman dari berbagai sumber seperti jurnal, media massa, text-book , Undang-undang, dsb.
I.4 TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memahami lebih dalam mengenai bisn bisnis is prope properti rti itu send sendiri iri dan dan baga bagaima imana na perla perlaku kuan an paja pajak k terha terhada dapn pnya ya,, serta serta sebag sebagai ai pemenuhan tugas untuk para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ‘Aspek Pajak atas Industri dan Transaksi Tertentu’.
BAB II 2
ISI II.1 PEMBAHASAN Adapun beberapa pembahasan yang perlu dipahami untuk mengkaji pemajakan terhadap bisnis industri properti ialah sebagai berikut:
a. Bisnis Properti Berbicara mengenai ‘properti’, gambaran singkat yang sering muncul ialah tanah hak milik, dan bangunan. Pengertian ‘properti’ yang lebih lanjut adalah harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan yang dimaksudkan. Ada juga yang mendefinisikan ‘properti’ sebagai hak untuk memiliki sebidang tanah dan memanfaatkan apa saja yang ada didalamnya sehingga menjadi sebuah asset . Secara ekonomis, sebuah asset dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung cara pemilik mengelolanya. Pada esensinya, properti adalah hak untuk memiliki sebidang tanah dan memanfaatkan apa saja yang ada didalamnya. Sebagai salah satu bentuk aset, properti tentu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang terjadi dipenjuru dunia. Sehingga pembahasan properti tidak hanya terbatas pada objek properti yang berupa tanah dan bangunan, namun juga mencakup aspek legal, kenotariatan, bahkan sisi bisnis dari properti itu sendiri.
b.
Real estate
Real estate sering dianggap sinonim dengan real property, kontras dengan hak milik pribadi. Real estate merupakan tanah beserta segala sesuatu yang ada di atasnya, baik yang bersifat permanen maupun yang dapat dipindahkan. Maksud dari segala sesuatu di atas adalah gedung/bangunan beserta struktur yang melekat padanya, sistem utilitas seperti saluran air baik air bersih maupun kotor, listrik, telepon, dan juga jalan lingkungan serta pohon-pohon permanen yang ada didalamnya.
c. Bisnis Properti dan Real estate 3
Sebagian diantara kita mungkin ada yang bertanya tanya apakah bisnis properti dan real estate. Sebenarnya istilah real estate dan property, bahkan terkadang ada yang menyebutnya dengan istilah real-property, memiliki satu arti yang sama. Hanya saja pada masyarakat di Indonesia, sedikit terjadi pergeseran arti sehingga sebagian dari kita jika mendengar kata real estate, maka yang dibayangkan adalah sebuah komplek perumahan yang memiliki lingkungan yang tertata rapi, suatu kawasan perumahan yangg luas dan indah, contohnya BSD City, Citraland Surabaya, dengan Bogor Nirwana Resort, dll. Kemudian jika kita mendengar kata ‘properti’, yang kita bayangkan adalah sebuah satu unit bangunan individual atau komplek bangunan, misalnya satu unit rumah tinggal menengah di sebuah komplek perumahan dengan harga ratusan juta atau sebuah rumah mewah dengan halaman seluas ribuan meter dengan harga puluhan milyar rupiah, dll. Sehingga properti dalam pengertian sebagian dari kita lebih diartikan pada suatu bangunannya itu sendiri dibanding tanah. ‘ Real estate’ berasal dari Bahasa Inggris ‘Real’, yang asal katanya berasal dari bahasa Spanyol ‘Royal’ (kerajaan). REAL ESTATE adalah sebagai suatu kawasan tanah yang dikuasai oleh raja, bangsawan dan landlord (tuan tanah pada jaman feodal di abad pertengahan), atau singkatnya properti milik kerajaan 1. ‘Properti’ berasal dari kata aslinya dalam bahasa Inggris, yang arti sebenarnya adalah hak dan kepemilikan atas suatu tanah dan bangunan diatasnya 2. Sangat jelas disini baik kata estate
real
maupun properti memiliki pengertian yang sama, yaitu hak kepemilikan atas
tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa real
estate dan properti memiliki arti yang sama. Jadi, sebenarnya penggunaan istilah real estate atau properti bukanlah sebuah masalah yang berarti. Selain pembahasan terminologis, yang perlu diperhatikan dalam industri properti ialah jenis pembayarannya. Pembayaran atas transaksi pada industri properti ada 3, yakni: 1. Secara Tunai Jika pembayaran atas transaksi pada industri properti dilakukan secara tunai, maka akan dikenakan PPN dengan tarif 10% (sepuluh persen) atas pembayaran yang diterima. 2. Secara Kredit 1
“The Cash Flow Quadrant” by Robert T Kiyosaki halaman 146).
2
“Kamus Inggris Indonesia” karangan John M. Echols
4
Pembayaran yang telah dilakukan oleh pembeli kepada perusahaan Real estate sebelum ada penyerahan tanah dan bangunan dengan nama apa pun merupakan bagian atau diperhitungkan dengan pembayaran harga tanah dan bangunan sudah dikenakan PPN, sebesar: PPN atas uang muka pada perusahaan real estate =10% x pembayaran yang diterima 3. Secara Leasing
Sales and lease back tak lagi dikenakan PPN. Hal itu dituangkan pada Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-129/PJ/2010 tertanggal 29 November 2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Transaksi Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi dan Transaksi Penjualan dan Penyewagunausahaan Kembali.
d. Dasar Hukum Bisnis Properti/ Real estate Adapun dasar hukum bisnis properti antara lain: 1. Jenis-jenis hak kepemilikan atau pemanfaatan tanah menurut UU No 5 Tahun 1960
tentang UU Pokok Agraria yang meliputi: hak milik, hak guna-usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa 2. UU No. 20 Tahun 2000 (UU tentang BPHTB) 3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 4. Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
243/PMK.03/2008
tentang
Pelaksanaan
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan
Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah
e. Perlakuan Pajak terhadap Bisnis Properti Adapun jenis-jenis pajak yang terutang pada bisnis properti, diklasifikasikan berdasarkan setiap level
transaksi yang
terjadi, yakni:
kepemilikan/penyewaan. 1. Pada Saat Penjualan
5
penjualan, pembelian, dan
pada
saat
Berdasarkan UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2) huruf d yang berbunyi: “ Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan dikenai pajak bersifat final”, maka pada saat penjualan, pajak yang terhutang pada si penjual ialah Pajak Penghasilan (PPh) PPh final atas pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pengenaan PPh Final bagi Wajib Pajak yang memiliki usaha real estate ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2009 seiring dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008. Berdasarkan PP No. 79/2008 j.o. PP No. 27/1996 j.o PP No. 48/1994, terdapat Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 5 % (lima per seratus) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, kecuali : •
dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;
•
dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan adalah: 1. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; 2. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c; 3. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah
6
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; 4. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau 5. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan 2. Pada Saat Pembelian
Pada saat pembelian, ada beberapa jenis pajak yang terhutang pada si pembeli: 1) BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
Sejak adanya Undang-Undang baru tentang Pajak Daerah (UU No. 28/2009)BPHTB merupakan Pajak Daerah yang diatur oleh Peraturan daerah. Menurut UU No. 28/2009 Pasal 85-93, tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah, maksimal adalah 5% dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa transaksi atau nilai pasar dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah, paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00. 2) PPN dan PPnBM yang dipungut Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang
Properti Sejak diberlakukannya, SE-22/PJ.51/2002, Pengusaha Properti dikenakan PPN 10% atas penjualannya denagn Dasar Pengenaan Pajak seluruh harga jual. Menurut PMK No. 103/PMK.03/2009, Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dikenakan PPnBM 20% yaitu:
7
Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya, adalah: Rumah dan town house dari jenis non-strata little, dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih. Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata little, dan sejenisnya, dengan luas bangunan 150 m 2 atau lebih.
3) PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (UU PPN Pasal 16 C)
Berdasarkan UU PPN Pasal 16C, PMK No. 39/PMK.03/2010, Kegiatan membangun sendiri terutang PPN. Dasar Pengenaan Pajak adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan dan Pasal 16 UU PPN. Kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun sendiri bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 (dua ratus meter persegi) atau lebih dan bersifat permanen. Kegiatan tersebut dilakukan secara bertahap dan dianggap merupakan kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antar tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh kontraktor atau pemborong bukan merupakan kegiatan membangun sendiri sepanjang dapat dibuktikan bahwa atas kegiatan membangun tersebut telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Bagaimana tinjauan administratif PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri? PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri
jumlahnya ditetapkan sebesar 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya dan harus dibayar seluruhnya ke kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib 8
melaporkan pembayaran kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut berada dengan mempergunakan lembar ke-3 Surat Setoran Pajak paling lambat tanggal 20 bulan penyetoran dilakukan. Jika WP OP atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan kewajibannya, maka kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat bangunan didirikan dapat mengeluarkan Surat Teguran. Apabila dalam jangka waktu 14 hari sejak diterbitkannya Surat Teguran orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri, maka dilakukan pemeriksaan pajak untuk menetapkan besarnya PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. 4) PPh 22 atas B arang Sangat Mewah
Berdasarkan
PMK
No.
253/PMK.03/2008,
atas
penjualan
apartemen,
kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi); dipungut PPh 22 sebesar 5% (lima persen) dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). PPh 22 tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang melakukan barang yang tergolong sangat mewah. Selain dikenakan pajak, pada level pembelian, ada juga yang tidak boleh diabaikan oleh si pembeli, yakni PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Pendaftaran Tanah di BPN. Berdasarkan PP No. 13/2010, terdapat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional untuk: •
Pelayanan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali, dihitung berdasarkan rumus: T = (2‰ x Nilai Tanah) + Rp100.000,00;
•
Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah, dihitung berdasarkan rumus: T = (1‰ x Nilai Tanah) + Rp 50.000,00
3.
Pada Saat Kepemilikan/Penyewaan 9
Pada saat kepemilikan, adapun jenis-jenis pajak yang terhutang adalah: PBB Pedesaan dan Perkotaan Sejak adanya Undang-Undang baru tentang Pajak Daerah (UU No. 28/2009), PBB Pedesaan dan Perkotaan (PBB selain untuk hasil pertambangan, kehutanan dan hasil bumi) merupakan Pajak Daerah yang diatur oleh Peraturan daerah. Menurut UU No. 28/2009 Pasal 77-84, tarif maksimal PBB adalah 3% dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa NJOP dikurangi NJOPTKP yang ditetapkan Kepala Daerah 3 tahun sekali. PPh Final atas Persewaan Tanah dan B angunan Berdasarkan PP No. 5/2002 j.o PP No. 29/1996, terdapat PPh final atas persewaan tanah dan bangunan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan. Pajak Penghasilan ini dipotong dari pembayaran sewa oleh penyewa atau disetor langsung oleh yang menyewakan. PPh 23 atas Building Management Service Berdasarkan UU No. 36/2008 pasal 23 j.o PMK No. 244/PMK.03/2008, atas pembayaran tagihan jasa manajemen untuk rumah susun/apartemen, terutang PPh 23 sebesar 2% dipotong dari pembayaran tagihan oleh penyewa. PPN/VAT atas Sewa Ruangan Atas penyerahan Jasa sewa ruangan dikenakan PPN 10% sesuai UU PPN No. 42/2009 pasal 4 bila penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
Jaas persewaan ruanagn juga bukan termasuk Jasa yang
dibebaskan dari PPN dalam PP No. 38 Tahun 2003.
II.2 Ilustrasi Kasus dan Perhitungan 1. Pada saat Penjualan, penghitungan PPh Final
Pengusaha Real estate Ayu Serayu menjual satu unit rumah di Kawasan Perumahan Elit Bumi Indah Depok seharga Rp. 600.000.000 kepada Nona Azalia seorang eksekutif muda di 10
kantor konsultan pajak WC. Dalam hal ini Pengusaha Real estate Ayu Serayu dikenakan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang bersifat final atas dasar Pasal 4 Ayat 2 huruf d UU PPh sebesar 5 % (lima per seratus) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Jadi Pajak Penghasilan yang dikenakan atas transaksi tersebut adalah : Rp. 600.000.000 x 5 % = Rp 30.000.000 2. Pada saat Pembelian
a. Penghitungan BPHTB •
Pada tanggal 30 September 2011, pengusaha Real estate Agung Mendayung membeli tanah yang berada di Kota Depok dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp. 50.000.000, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk Kota Depok ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000, karena NPOP lebih kecil daripada NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
•
Pada tanggal 11 November 2011, Tuan Sudibyo seorang pengusaha kain Batik ternama di Solo membeli satu unit tanah dan bangunan di Real estate Green and Clean yang berada di Kota Solo dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp. 100.000.000. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk Kota Solo ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000, maka penghitungan BPPHTB adalah sebagai berikut : NPOP
: Rp. 100.000.000
NPOPTKP
: Rp. 60.000.000
NPOPKP
: Rp. 40.000.000
BPHTB
= 5% X NPOPKP : Rp. 2.000.000 , maka perolehan atas
hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Saat
terutangnya
BPHTB
adalah
sejak
tanggal
dibuat
dan
ditandatanganinya akta jual beli. b. Perhitungan PPN
Pengembang Depok Real estate menjual rumah dengan harga jual sebelum PPN sebesar Rp. 550.000.000 ( total termasuk PPN sebesar Rp. 605.000.000 ) dengan cara 11
pembayaran tanda jadi Rp. 20.000.000, uang muka sebesar Rp. 100.000.000 dibayar dua kali dan sisanya dilunasi setelah pembangunan selesai, maka pihak penjual harus memungut PPN atas pembayaran tersebut dengan rincian : Pembayaran tanda jadi: Rp. 20.000.000 x 10%
= Rp.
2.000.000 Uang Muka 1
: Rp. 100.000.000 x 10%
= Rp.
: Rp. 100.000.000 x 10%
= Rp.
: Rp. 330.000.000 x 10%
= Rp.
10.000.000 Uang Muka 2
10.000.000 Pelunasan
33.000.000 Total PPN yang dipungut penjual terhadap pembeli
= Rp. 55.000.000
3. Pada saat Penyewaan
Pada tanggal 1 Januari 2011 Tuan James Widodo menyewa satu unit apartemen real estate Cempaka Mansion dengan nilai sewa Rp. 100.000.000,- per tahun dan jasa manajemen Rp. 12.000.000,- per tahun. Atas penghasilan dari sewa apartemen tersebut, terhutang pajak: PPh Final atas persewaan tanah dan bangunan
Berdasarkan PP No. 5/2002 j.o PP No. 29/1996, terdapat PPh final atas persewaan tanah dan bangunan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan. Jadi 10% x Rp. 100.000.000 = Rp. 10.000.000 yang dipotong oleh penyewa yakni Tuan James Widodo dan disetorkan ke kas negara. PPh 23 atas Building Management Service
Pembayaran tagihan jasa manajemen apartemen dipotong PPh 23 sebesar 2 % oleh penyewa. Jadi 2 % x Rp. 12.000.000 = Rp. 240.000 disetorkan oleh Pak James Widodo ke kas negara.
II.3 Studi Kasus
12
Studi kasus yang diangkat dalam makalah ini ialah mengenai kondisi pemungutan pajak atas bisnis properti yang berbeda di dua daerah, yakni Sumatera Utara dan Bogor. 1.
Pajak atas Properti di Sumatera Utara
Overview Kasus: Penerimaan pajak dari sektor properti di Sumatera Utara, khususnya di wilayah Kanwil Ditjen Pajak Sumut I (Medan, Belawan, Binjai dan Deliserdang) sangat memprihatinkan sekali. Kontribusi pajak dari sektor properti hanya 0,01 persen saja terhadap penerimaan di Kanwil Ditjen Pajak Sumut I. Banyak potensi pajak dalam kaitan bisnis properti seperti Pajak Penghasilan (PPh) final, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Banyak potensi yang hilang dalam bisnis properti ini. Modus yang sering terjadi antara lain dalam surat kuasa bangunan, surat kuasa jual, surat kuasa pengurusan dan surat kuasa lainnya. Ia mencontohkan dalam surat kuasa beli dan surat kuasa jual yang merupakan pengalihan namun kenyataan hanya bersifat perjanjian biasa saja. Dengan demikian pajak dari sana tidak dapat dipungut. (Dikutip
dari:
http://www.properti.net/artikel/6-pajak-properti-sumut-memprihatinkan.html
Diakses pada 24 Februari 2012. Pukul 16.00 WIB )
2.
Pajak atas Properti di Bogor
Overview Kasus: Industri properti di daerah kian subur. Seiring dengan dukungan pemerintah lewat program Fasilitas
Likuiditas
Pembangunan
Perumahan, pengembang kian agresif membangun perumahan.
Kondisi
ini
tentu
menguntungkan bagi daerah. Misalnya, saja, perekonomian di daerah kian tumbu positif. Pendapatan daerah dari pajak properti juga bakal meningkat. Salah satu contohnya adalah pendapatan pajak properti di kota Bogor.
13
Menjamurnya bisnis properti di Kota Bogor berdampak positif terhadap pendapatan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Hal itu terlihat dari realiasasi pendapatan BPHTB tahun 2011 yang melebihi target hingga belasan miliar. Pada tahun 2011, BPHTB ditargetkan sebesar Rp 63,6 miliar, dan terealisasi sebesar Rp 81,597 miliar. Perolehan pajak BPHTB ini menjadi penyumbang teratas diantara delapan obyek pajak yang dipungut Dispenda Kota Bogor. Kabid Penetapan Dispenda Kota Bogor Lia Kania Dewa, menyatakan bahwa banyaknya bisnis properti di Kota Bogor menjadi penyebab tingginya perolehan BPHTB ini.
Dikutip dari: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/82812 Diakses pada: 24 Februari 2012. Pukul: 17.15 WIB
3.
Analisis Kelompok
Menyimak gambaran kedua kasus di atas, kelompok kami berpendapat bahwa sesungguhnya penerimaan pajak dari sektor bisnis properti sebenarnya sangat potensial. Hal ini juga didukung oleh proses pembangunan di setiap daerah dari waktu ke waktu di Indonesia. Proses pembangunan tersebut tentu akan melibatkan para pelaku bisnis properti, misalnya untuk penmbangunan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen, dan sebagainya. Contohnya di kota Bogor. Dari data keuangan kota tersebut, pada tahun 2011, BPHTB ditargetkan sebesar Rp 63,6 miliar. Ternyata, penerimaan BPHTB yang terealisasi sebesar Rp 81,597 miliar (yang notabene di atas estimasi pemerintah). Perolehan pajak BPHTB ini menjadi penyumbang teratas diantara delapan obyek pajak yang dipungut Dispenda Kota Bogor. Besarnya pendapatan dari pajak BPHTB terjadi karena perkembangan investasi sektor properti dan dibarengi dengan tingginya gairah investasi pemilik modal di Kota Bogor. Akan tetapi, sebaik apapun peluang maupun implikasi dari investasi/bisnis properti di suatu kota, jika tidak diimbangi dengan implementasi sistem perpajakan yang baik, maka tidak akan menguntungkan daerah tersebut. Sebagai contoh dapat kita lihat dari gambaran kasus pertama di atas yang terjadi pada Sumatera Utara. Penerimaan pajak dari sektor properti di Sumatera Utara, khususnya di wilayah Kanwil Ditjen Pajak Sumut I (Medan, Belawan, Binjai dan Deliserdang) cukup memprihatinkan. Kontribusi pajak dari sektor properti hanya 0,01 persen saja terhadap penerimaan di Kanwil Ditjen Pajak Sumut I.
14
Padahal seperti yang diuraikan pada bagian terdahulu dalam makalah ini (bagian ‘Pembahasan’), cukup banyak potensi pajak dalam kaitan bisnis properti seperti Pajak Penghasilan (PPh) final, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan sebagainya. Apalagi, laju pertumbuhan bisnis properti di Sumatera Utara, khususnya di kota Medan semakin menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun 3. Di tahun 2010 lalu saja, persentase pertumbuhan ekonomi naik 30% sampai 50% dibandingkan 2009. Sementara itu, meski tidak bergitu tinggi kenaikan persentase 2011 mencapai 20% sampai 30%. Diperkirakan pada tahun 2012 ini, pertumbuhan bisnis properti akan terus berlanjut. Yang menjadi penyebab penerimaan pajak dari sektor industri properti di Sumatera Utara tidak begitu menguntungkan sementara laju pertumbuhan bisnis propertinya meningkat, ialah modus-modus penyelewangan hukum maupun administrasi dari Wajib Pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakan mereka. Modus yang sering terjadi antara lain dalam surat kuasa bangunan, surat kuasa jual, surat kuasa pengurusan dan surat kuasa lainnya. Contohnya, dalam surat kuasa beli dan surat kuasa jual yang merupakan pengalihan namun kenyataan hanya bersifat perjanjian biasa saja. Dengan demikian pajak dari transaksi tersebut tidak dapat dipungut karena tidak memiliki kekuatan hukum. Kelompok kami berpendapat bahwa ini merupakan sebuah hal yang sangat disayangkan. Untuk memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor bisnis properti yang potensial, diperlukan adanya pengawasan yang lebih ketat dalam hal administrasi. Misalnya, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa dalam proses pengalihan barang kena pajak di bidang properti, sering kali pihak penjual dan pembeli tidak mengikuti prosedur administrasi yang legal dimana mereka hanya menggunakan surat perjanjian biasa tanpa ada kekuatan hukum, misalnya tidak diberi materai, tidak diketahui oleh saksi atau notaris, dsb. Seharusnya, hal-hal seperti ini tidak boleh luput dari pengawasan pemerintah. Tentu pemerintah sudah memilki berbagai sanksi hukum bagi para penyeleweng di bisnis properti yang tercantum pada Undang-undang Perpajakan bagian Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Bab VIII Ketentuan Pidana, seperti pada: a) Pasal 38 tentang kealpaan:
Setiap orang yang karena kealpaannya: 3
http://medan.tribunnews.com/2012/01/04/2012-pertumbuhan-bisnis-properti-meningkat
15
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun” b) Pasal 39 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Kena Pajak; c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program
16
aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. c) Pasal 39 ayat (2) tentang pengulangan Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 kali menjadi 2 kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. d) Pasal 39 ayat (3) tentang percobaan Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap,sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ,dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. e) Pasal 43 ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39 A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, 17
yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. f) dsb. Sanksi-sanksi yang sudah disusun sedemikian rupa tersebut, hendaknya dijalankan secara optimal. Selain penerapan sanksi yang baik, pemerintah juga harus bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait bisnis properti seperti, developer, notaris, dsb, untuk melakukan sosialisasi pentingnya kekuatan hukum pada surat perjanjian dalam transaksi jual-beli atau sewa-menyewa properti.
BAB III PENUTUP III.1 KESIMPULAN 1. Pada esensinya, properti adalah hak untuk memiliki sebidang tanah dan memanfaatkan apa
saja yang ada didalamnya. Adapun dasar hukum bisnis properti antara lain: Jenis-jenis hak kepemilikan atau pemanfaatan tanah menurut UU No 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria yang meliputi: hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, dan hak
18
sewa, UU No. 20 Tahun 2000 (UU BPHTB), Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008. 2. Adapun pajak-pajak yang dikenakan atas transaksi-transaksi pada bisnis properti ialah
Pajak Penghasilan (PPh) PPh final atas pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan, BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), PPN dan PPnBM yang dipungut Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang Properti, PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (UU PPN Pasal 16 C), PPh 22 atas Barang Sangat Mewah, PBB Pedesaan dan Perkotaan, PPh Final atas Persewaan Tanah dan Bangunan, PPh 23 atas Building Management Service, PPN/VAT atas Sewa Ruangan.
III.2 SARAN Pada dasarnya, penerimaan pajak dari sektor bisnis properti sebenarnya sangat potensial. Hal ini juga didukung oleh proses pembangunan di setiap daerah dari waktu ke waktu di Indonesia. Proses pembangunan tersebut tentu akan melibatkan para pelaku bisnis properti, misalnya untuk pembangunan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen, dan sebagainya. Akan tetapi, sebaik apapun peluang maupun implikasi dari investasi/bisnis properti di suatu kota, jika tidak diimbangi dengan implementasi sistem perpajakan yang baik, maka tidak akan menguntungkan daerah tersebut. Untuk itulah, diperlukan sebuah kerja sama yang sinergis antara pemerintah, developers, masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Wirawan, Rudy Suhartono. 2007. Panduan Komprehensif dan Praktis Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
19
Tim Penyusun. 2009. Susunan Dalam Satu Naskah 9 (Sembilan) Undang-undang Perpajakan. Jakarta: PT. Integral Data Prima
http://www.properti.net/artikel/6-pajak-properti-sumut-memprihatinkan.html Diakses pada 24 Februari 2012. Pukul 16.00 WIB http:// koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/82812 Diakses pada: 24 Februari 2012. Pukul: 17.15 WIB http://pemeriksaanpajak.com/?tag=pidana-pajak Diakses pada: 25 Februari 2012. Pukul 09:41 WIB
20