1. Latar Belakang Kehidupan manusia saat ini dipengaruhi oleh sains dan teknologi. Sains sebagai ilmu dan teknologi sebagai implementasi dari ilmu akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Sudah seharusnya pendidikan mengimbangi keduanya sebagai suatu proses memperoleh dan mengimplementasi pengetahuan. Persoalan yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia, di bidang pendidikan adalah kualitas pendidikan. Di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun sejauh ini belum menampakkan hasil yang memadai. Toharudin, dkk. (2011) mengungkapkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan tampaknya baru sebatas perbaikan input, seperti memberi berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensi kepala sekolah dan guru, meningkatkan angka standar kelulusan di setiap jenjang pendidikan, pengadaan buku dan alat pembelajaran di berbagai sekolah, serta perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Sementara perbaikan terhadap proses pembelajaran, terutama terhadap penggunaan strategi pembelajaran oleh guru, belum tersentuh dengan baik. Padahal, tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan sangat menentukan kualitas hasil pembelajaran yang dihasilkan. PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan peserta didik usia 15 tahun (kelas IX SMP dan kelas X SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika (matematis literacy), dan sains (scientific literacy). PISA mengukur kemampuan peserta didik pada akhir usia wajib belajar untuk mengetahui kesiapan peserta didik dalam rangka menghadapi tantangan yang ada di masyarakat dewasa ini. Hasil penilaian PISA menunjukkan bahwa kemampuan literasi sains peserta didik Indonesia masih di bawah rata-rata dan berada pada tahapan
1
terendah skala pengukuran PISA. Berdasarkan analisis para praktisi pendidikan Indonesia terhadap data PISA pada tahun 2000, 2003, dan 2006
diperoleh
mempengaruhi
bahwa
faktor
kemampuan
yang secara
sains
adalah
konsisten
signifikan
kemampuan
membaca,
kemampuan matematika, dan fasilitas pendidikan. Literasi sains menurut OECD (2003) merupakan kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Literasi sains penting untuk dikuasai oleh peserta didik dalam kaitannya dengan cara peserta didik itu dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat modern yang sangat bergantung pada teknologi dan kemajuan, serta perkembangan ilmu pengetahuan. Shamos dalam Toharudin (2011) mengatakan bahwa literasi sains adalah kemampuan untuk berpikir kritis tentang sains dan untuk berurusan dengan keahlian sains. Ketika seorang peserta didik memiliki kemampuan literasi sains yang baik maka secara tidak langsung ia pun memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik. Berpikir kritis menurut Ennis (dalam Costa, 1985) merupakan kemampuan bernalar dan berpikir reflektif yang diarahkan untuk memutuskan hal-hal yang meyakinkan untuk dilakukan. Berpikir kritis penting untuk dikuasai karena merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) yang harus dikembangkan dan merupakan salah satu alternatif membangun karakter peserta didik dalam pendidikan sains (Rustaman, 2011). Hal ini sejalan seperti yang tercantum dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang menyebutkan bahwa kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi SMP/MTs dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah
2
secara kritis, kreatif, dan mandiri. Artinya, penguasaan kemampuan berpikir kritis siswa dibutuhkan dalam pembelajaran sains di sekolah. Selama ini, proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru di sekolah masih didominasi oleh pandangan bahwa belajar merupakan kegiatan menghafal fakta-fakta. Akibatnya, kelas masih sangat berfokus pada guru (teacher centered) sebagai sumber utama informasi atau pengetahuan. Menurut Biggs (dalam Toharudin, dkk. 2011), jika guru ingin membuat peserta didiknya memahami apa yang dipelajari, guru harus mampu mendorong dan atau membantu peserta didiknya untuk mengonstruksikan sendiri makna-makna dari apa yang telah dipelajarinya. Keberhasilan proses pembelajaran terjadi apabila peserta didik betul-betul memahami apa yang dipelajarinya (deep learning) sehingga ia mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaiman yang telah diutarakan sebelumnya, salah satu masalah dalam pendidikan Indonesia adalah penggunaan strategi pembelajaran oleh guru yang belum tersentuh dengan baik. Strategi pembelajaran yang digunakan harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran yang diinginkan. Penerapan paradigma konstruktivisme dalam proses pembelajaran dipandang sebagai strategi yang efektif untuk pembelajaran sains di sekolah. Teori Konstruktivisme ini menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) sendiri. Pengetahuan dikonstruksi dari dalam individu dan dalam hubungannya dengan dunia nyata. Siswa harus menemukan sendiri konsep pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru ke kepala siswa, tetapi siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah dipelajari atau diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalamannya (Majid, 2014). Model
pembelajaran
berbasis
masalah
(Problem
Based
Learning/PBL) merupakan pembelajaran yang berlandaskan pada teori konstruktivisme dan berorientasi kepada siswa (student centered). Siswa berperan aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri melalui
3
permasalahan-permasalahan kontekstual. Siswa diberikan masalah yang berhubungan
dengan
konteks
kehidupannya
sehari-hari
untuk
mengaitkannya dengan konsep pengetahuan yang dipelajarinya. Guru berperan
sebagai
fasilitator
yang
membimbing
siswa
untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan keterampilan kelompok untuk mengidentifikasi masalah, membuat hipotesis, mencari data, melakukan percobaan, merumuskan solusi dan menentukan solusi terbaik untuk kondisi dari permasalahan. PBL memungkinkan siswa untuk menemukan keterkaitan dan menikmati pengetahuan mereka, meningkatkan kapasitas kreatif dan tanggung jawab mereka dalam menyelesaikan masalah dunianyata. Model PBL menyajikan masalah kontekstual
yang harus
dipecahkan oleh siswa. Proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa akan membangun dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Sehingga, pada akhirnya siswa dapat mengambil keputusan serta memberikan solusi atas masalah kontekstual yang diberikan kepadanya. Sejalan dengan hal tersebut, kemampuan literasi sains siswa pun akan terbangun dengan sendirinya dan akan berkembang selama proses pembelajaran berlangsung. Keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan literasi sains mereka dengan mengaitkan materi pelajaran dengan konteks yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari latar belakang masalah pendidikan dan potensi pemecahan masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada pembelajaran sains. Judul penelitian yang peneliti angkat pada penelitian ini adalah: Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Berfikir Kritis dan Literasi Sains Siswa SMP Pada Materi Tekanan Zat .
4
2. Ontologi Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = being = ada, dan Logos= logic = ilmu, jadi ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan) atau ilmu tentang yang ada. Adapun menurut beberapa ahli ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar,2004). Menurut Jujun S, Suriasumantri (2005), ontologi adalah pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang telaah dalam membuahkan pengetahuan. Endraswara (2012) menyatakan bahwa ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba mencermati hakikat keilmuan. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Dari pengertian ontologi di atas dapat disimpulkan bahwa ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keilmuan yang ada yang ditelaah untuk mendapatkan pengetahuan. Artinya ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui, seberapa jauh ingin diketahui, atau dengan kata lain pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Maka dalam tulisan yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning Terhadap Kemampuan Berfikir Kritis Dan Literasi Sains Siswa SMP Pada Materi Tekanan Zat adalah: a . Model Pembelajaran Problem Base Learning. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow and Tamblyn (Barret, 2005) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di McMaster University Kanada pada tahun 60-an. PBL sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa PBL sangat efektif untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya. PBL lebih tepat dilaksanakan dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran tradisional. Hal ini dapat
5
dimengerti bahwa para dokter yang nanti bertugas pada kenyataannya selalu dihadapkan
pada
masalah
pasiennya
sehingga
harus
mampu
menyelesaikannya. Walaupun pertama dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah kedokteran tetapi pada perkembangan selanjutnya diterapkan dalan pembelajaran secara umum. Barrow 1980 mendefinisikan PBL sebagai “The learning that results from the process of working towards the understanding of a resolution of a problem. The problem is encountered first in the learning process, (Barret, 2005), sementara Duch (1995) megemukakan bahwa, problem Based learning (PBL) adalah model pengajaran yang bercirikan adanya permasalhan nyata sebagai konteks untuk peserta didik belajar berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan. Min Liu (2005) menjelaskan karakteristik dari PBL berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, yaitu : 1. Learning is student-centered Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitik beratkan kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri. 2. Authentic problems form the organizing focus for learning Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang otentik sehingga siswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti. 3. New information is acquired through self-directed learning Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya. 4. Learning occurs in small groups
6
Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaborative, maka PBL dilaksakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas. 5. Teachers act as facilitators. Pada pelaksanaan PBL, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun, walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai target yang hendak dicapai. Sedangkan pelaksanaan PBL memiliki ciri tersendiri berkaitan dengan langkah pembelajarannya, Barret (2005) menjelaskan langkahlangkah pelaksanaan PBL sebagai berikut : 1. Siswa diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari pengalaman siswa). 2.
Siswa melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal-hal berikut:
Mengklarifikasi kasus permasalahan yang diberikan
Mendefinisikan masalah
Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki
Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah
Menetapkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah
3. Siswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang harus diselesaikan. Mereka dapat melakukannya dengan cara
7
mencari sumber di perpustakaan, database, internet, sumber personal atau melakukan observasi 4. Siswa kembali kepada kelompok PBL semula untuk melakukan tukar informasi, pembelajaran teman sejawat, dan bekerjasaman dalam menyelesaikan masalah. 5. Siswa menyajikan solusi yang mereka temukan 6. Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh kegiatan pembelajaran. Hal ini meliputi sejauhmana pengetahuan yang sudah diperoleh oleh siswa serta bagaiman peran masing-masing siswa dalam kelompok. National Research Council (NRC) (dalam Waters and McCracken, memberikan tiga prinsip berkaitan penilaian dalam PBL, yaitu sebagai berikut: 1. Konten : penilaian harus merefleksikan apa yang sangat penting untuk dipelajari dan dikuasai oleh siswa. 2. Proses pembelajaran : penilaian harus sesuai dan diarahkan pada proses pembelajaran. 3. Kesamaan : penilaian harus menggambarkan kesamaan kesempatan siswa untuk belajar Oleh karena itu, menurut Waters and McCracken penilaian yang dilakukan harus dapat : 1. Menyajikan situasi secara otentik. 2. Menyajikan data secara berulang-ulang. 3. Memberikan peluang pada siswa untuk dapat mengevaluasi dan merefleksi pemahaman dan kemampuannya sendiri. 8
4. Menyajikan laporan perkembangan kegiatan siswa. Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa, PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang mengguanakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kriris dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran proses belajar siswa. Walaupun siswa lebih banyak belajar sendiri tetapi guru juga memiliki peranan yang sangat penting. Peran guru sebagai tutor adalah memantau aktivitas siswa, memfasilitasi proses belajar dan menstimulasi siswa dengan pertanyaan. Guru harus aktif memantau kegiatan siswa serta mengontrol proses pembelajaran berjalan dengan baik. Sementara itu, untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar yang telah diperoleh siswa, guru pun perlu untuk mengadakan tes secara individual. Jadi penialaian dilakukan secara kelompok juga individual.
b . Kemampuan Berfikir Kritis. Dalam beberapa tahun terakhir, ‘berpikir kritis’ telah menjadi suatu istilah yang sangat popular dalam dunia pendidikan. Karena banyak alasan, para
pendidik
menjadi
lebih
tertarik
mengajarkan
keterampilan-
keterampilan berpikir dengan berbagai corak daripada mengajarkan informasi dan isi, (Anonim, 2015). Berpikir kritis secara umum dianggap sebagai proses kognitif, tindakan mental, untuk memperoleh pengetahuan. Model berpikir peserta didik adalah suatu sikap ketika dalam proses pemahaman peserta didik mengungkapkan solusi dari persoalan kemudian dilanjutkan dengan meningkatkannya dengan analisa tentang alasan dari pemahaman itu sehingga bertambah jelaslah ilmu yang diperolehnya, (Hamzah, 2014). John Dewey dalam Alec Fischer, 2009 menamakan ‘berpikir kritis’ ini sebagai ‘berpikir reflektif’ dan mendefinisikannya sebagai pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk
9
pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
Sedangkan
Glaser
dalam
Alec
Fischer,
2009
mendefinisikan berfikir kritis sebagai: (1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang, (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis, dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Selanjutnya menurut Robert Ennis dalam Alec Fisher 2009 berfikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan. Sedangkan definisi berpikir kritis menurut Richard Paul dalam Alec Fisher 2009 adalah mode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, di mana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standarstandar intelektual padanya. Michael Scriven
dalam Alan Fisher, 2009
memberikan definisi bahwa berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Dalam berpikir kritis, dibutuhkan adanya kemampuan-kemampuan berpikir yang dipandang sebagai landasan untuk berpikir kritis. Menurut Edward Glaser dalam Alec Ficher, 2009 kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk : a. Mengenal masalah. b. Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalahmasalah itu
10
c. Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan. d. Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan. e. Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas dan khas f. Menganalisis data. g. Menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan. h. Mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah. i.
Menarik
kesimpulan-kesimpulan
dan
kesamaan-kesamaan
yang
diperlukan. j. Menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil.
k. Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas. l. Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Ada dua belas indikator kemampuan berpikir kritis yang ada dalam lima kelompok kemampuan berpikir, yaitu (Hamzah, 2014): a. Memberikan penjelasan sederhana yang meliputi memfokuskan pertanyaan menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan. b. Membangun keterampilan dasar yang meliputi mempertimbangkan kredibilitas (criteria) suatu sumber, mengobservasi dan mempertim-bangkan hasil observasi.
11
c. Menyimpulkan yang meliputi membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, membuat induksi, dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan. d. Memberikan penjelasan lanjut yang meliputi mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan defnisi, mengidentifikasi asumsi. e. Mengatur strategi dan teknik yang meliputi memutuskan suatu tindakan, berinteraksi dengan orang lain.
Berdasarkan Uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kesanggupan untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa diperoleh dari hasil pengamatan, pengalaman, proses deduksi induksi, atau komunikasi, serta indikator berfikir kritis yang digunakan penulis dalam penelitian adalah: a. Mengenal masalah b. Bertanya c. Menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan d. Mendefinisikan istilah e. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi f. Merumuskan alternatif pemecahan masalah g. Membuat kesimpulan h. Berinteraksi dengan orang lain.
12
c. Literasi Sains Istilah literasi sains mulai muncul pada akhir tahun 1950, (Anjasari, 2016). Literasi sains berarti pengetahuan dan pemahaman tentang konsepkonsep ilmiah dan proses yang diperlukan untuk pengambilan keputusan pribadi, partisipasi, dan produktivitas ekonomi (Omar et all, 2011). Hal senada PISA medefinisikan literasi sains sebagai kemampuan dalam menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan yang didasarkan bukti-bukti agar memahami dan membuat keputusan. Sedangkan menurut Gbamanja (1999) dalam Adolpus et all (2012) mendefiniskan literasi sains sebagai pengetahuan dan pemahaman tentang peristiwa dan kejadian lingkungan. Literasi sains adalah salah satu dan beberapa jenis keaksaraan seperti kemampuan membaca dan menulis, literasi numerik dan literasi digital, (Adolpus et all, 2012). Menurut PISA 2006 (Bybee, 2008) literasi sains dapat dicirikan sebagai terdiri dari empat aspek yang akan diperoleh yaitu: 1). Menyadari situasi kehidupan yang melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini adalah konteks untuk unit penilaian barang-barang; 2) memahami dunia alam, termaksuk teknologi, atas dasar pengetahuan ilmiah yang meliputi pengetahuan alam dan pengetahuan tentang ilmu itu sendiri; 3) kompetensi mencakup mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah sebagai dasar argumen mengambil kesimpulan dan keputusan; 4) mendapatkan pengetahuan teknik dan sains, tujuan utam dari pendidikan sains adalah untuk membantu siswa mengembangkan minat siswa dalam sains dan mendukung penyelidikan ilmiah. Sikap-sikap akan sains berperan penting dalam keputusan siswa untuk mengembangkan pengetahuan sains lebih lanjut, mengejar karir dalam sains, dan menggunakan konsep dan metode ilmiah dalam kehidupan mereka. Sedangkan menurut Hernandez et all (2015), keterampilan literasi sains siswa dikembangkan pendidik
untuk meningkatkan: 1) pengetahuan dan
penyelidikan ilmu pengetahuan Alam, 2) kosa kata lisan dan tertulis yang
13
diperlukan untuk memahami dan berkomunikasi ilmu pengetahuan dan, 3) hubungan antara sains, teknologi dan masyarakat. Literasi sains dalam pengukurannya terdiri dari 3 dimensi yaitu konten sains, proses sains dan konteks aplikasi sains. Pertama: Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci dari sains yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (Suciati, et all 2013). Hal ini dapat membantu menjelaskan aspekaspek lingkungan fisik. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan dari berbagai bidang ilmu baik konsep-konsep fisika, kimia, biologi, ilmu bumi dan antariksa. Kedua; dalam proses sains merujuk pada proses mental yang melibatkan suatu jawaban dari pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (Rustaman, 2011). Kemampuan yang diuji dalam proses sains meliputi; 1) mengenali
pertanyaan
ilmiah
2)
mengidentifikasi
bukti;
3).menarik
kesimpulan; 4).mengkomunikasikan kesimpulan; 5). Pemahaman konsep ilmiah. Ketiga; konteks aplikasi sains lebih menekankan pada kehidupan sehari-hari, serta mengaplikasikan sains dalam pemecahan masalah nyata seperti bidang kehidupan dan kesehatan, bumi dan lingkungan dan teknologi yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Relevansi
Bidang Aplikasi
Pribadi,
Kehidupan
komunitas,
kesehatan
Global
dan
Bumi dan
Teknologi
Lingkungan
1. Kesehatan, penyakit, 1. Pencemaran dan gizi
2. Pembentukan 2.
2. Pemeliharaan dan dan tanah.
3.Kesaling
3.
Cuaca
antara iklim
sistem fisik dan sistem
Penggunaan
perusakan material
keberlanjutan spesies
bergantungan
1. Bioteknologi
dan
pembuangan dan sampah 3.
Penggunaan
energi
14
biologis
4. Transportasi
(Sumber: Rustaman, 2011) .
Literasi sains dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan. Pertama,
fungsional literacy yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk menggunakan konsep dalam kehidupan sehari harinya terutama yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia seperti pangan, kesehatan, dan perlindungan. Kedua, civic literacy yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk berpartisipasi secara bijak dalam bidang sosial mengenai isu bidang sains dan teknologi. Ketiga, cultural literacy yang mencakup usaha ilmiah dan persepsi bahwa sains merupakan aktivitas intelektual yang utama (Rustaman, 2011). Penilaian dalam literasi sains harus memperhatikan beberapa hal yaitu; penilaian literasi sains siswa tidak ditujukan untuk membedakan seseorang literat atau tidak, dan pencapaian literasi sains harus kontinu dan terus menerus. Adapun dalam penilaian literasi sains dalam bentuk soalsoal berbeda dengan soal-soal lainnya, karena memiliki karakteristik soal yaitu 1) soal-soal yang mengandung konsep yang lebih luas karena tidak hanya terkait dengan konsep-konsep dalam kurikulum; 2).soal-soal harus memuat informasi atau data dalam berbagai bentuk penyajian untuk diolah oleh siswa yang akan menjawabnya; 3) soal-soal literasi sains harus membuat siswa dapat mengolah informasi dalam soal; 4). Soal-soal dapat dibuat beberapa variasi bentuk soal (pilihan ganda, essay, isian); 5). Soal harus mencakup konteks aplikasi, (Astuti, 2016).
d. Tekanan Zat Tekanan adalah satuan fisika untuk menyatakan gaya per satuan luas. Setiap gaya yang bekerja pada permukaan suatu benda akan memberikan tekanan. Begitu juga jika gaya bekerja pada sebuah bidang, gaya tersebut akan memberikan tekanan. Selain pada zat padat, gaya juga menimbulkan tekanan pada fluida, seperti zat cair dan gas. Tekanan yang
15
ditimbulkan pada setiap wujud zat berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya gaya dan luas bidang, tempat gaya bekerja. 1. Tekanan Zat Padat Jika gaya bekerja pada sebuah bidang yang luas, tekanan yang ditimbulkan akan lebih kecil. Sebaliknya, jika gaya bekerja pada bidang yang sempit, tekanan yang ditimbulkannya akan lebih besar. Misalnya, balok kayu dengan posisi tegak menghasilkan bekas yang lebih dalam dibandingkan dengan posisi mendatar. Dalam hal ini balok dengan posisi tegak menunjukkan luas bidang permukaan yang lebih kecil dari posisi mendatar. Jadi dapat dikatakan bahwa tekanan berbanding terbalik dengan luas bidang permukaan dan berbanding lurus dengan gaya. Secara matematis tekanan zat padat dapat dirumuskan sebagai berikut: 𝐹
P=𝐴 dengan: P = tekanan (N/𝑚2 ) F = gaya (N) A = luas bidang permukaan (𝑚2 ) Dari rumus tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan yaitu luas bidang permukaan dan gaya yang bekerja pada benda tersebut. 2. Tekanan Zat Cair Tekanan zat cair atau disebut juga tekanan hidrostatis adalah tekanan yang terjadi di bawah air. Tekanan ini terjadi karena adanya berat air yang membuat cairan tersebut mengeluarkan tekanan. Tekanan sebuah cairan bergantung pada kedalaman cairan dalam sebuah ruang, gravitasi, dan massa jenis cairan tersebut. Secara matematis tekanan zat cair dapat dirumuskan sebagai berikut: P=ρ.g.h dengan: P = tekanan (N/𝑚2 ) 16
ρ = masa jenis zat cair (kg/𝑚3 ) g = percepatan gravitasi (m/𝑠 2 ) h = tinggi zat cair (m) a. Hukum Pascal “ Tekanan yang bekerja pada fluida di dalam ruang tertutup akan diteruskan oleh fluida tersebut ke segala arah dengan gaya yang sama besar.”
Hukum Pascal dapat dirumuskan sebagai berikut: 𝐹1
𝐹2
= 𝐴1 𝐴2 dengan: F1 = gaya pada penampang pertama (N) A1 = luas penampang pertama (𝑚2 ) F2 = gaya pada penampang kedua (N) A2 = luas penampang kedua (𝑚2 ) Beberapa alat yang bekerja berdasarkan hukum Pascal yaitu dongkrak hidrolik, rem hidrolik, pompa hidrolik, dan alat pengangkat mobil. b. Bejana Berhubungan Bejana berhubungan adalah rangkaian beberapa bejana yang bagian atasnya terbuka dan bagian bawahnya dihubungkan satu sam lain. Jika ke dalam bejana itu diisi air maka akan terlihat bahwa permukaan air dalam bejana yang diam selalu terletak pada bidang datar. Begitu pula jika bejana dimiringkan, permukaan airnya akan tetap dalam satu bidang datar.
17
Hukum bejana berhubungan tidak berlaku untuk zat cair yang tidak sejenis, misalnya air dan raksa. Hubungan antara tinggi kedua jenis zat cair itu dapat dituliskan: P1 = P2
𝜌1 . g . h1 = ρ2 . g . h2
ρ1 . h1 = ρ2 . h2
c. Hukum Archimedes “ Bila sebuah benda diletakkan di dalam fluida, maka fluida tersebut akan memberikan gaya ke atas pada benda tersebut yang besarnya sama dengan berat fluida yang dipindahkan oleh benda tersebut.” Besarnya gaya ke atas menurut Hukum Archimedes ditulis dalam persamaan: Fa = 𝜌 . g . V Fa = gaya ke atas (N) ρ = massa jenis zat cair (kg/𝑚3 ) g = percepatan gravitasi (m/𝑠 2 ) V = volume benda yang tercelup (𝑚3 ) Berdasarkan Hukum Archimedes, sebuah benda yang tercelup ke dalam zat cair akan mengalami dua gaya, yaitu gaya gravitasi atau gaya berat (W) dan gaya ke atas (Fa) dari zat cair itu. Dalam hal ini ada tiga peristiwa yang berkaitan dengan besarnya kedua gaya tersebut, yaitu:
Benda Tenggelam
Sebuah benda yang dicelupkan ke dalam zat cair akan tenggelam jika berat benda (W) lebih besar dari gaya ke atas (Fa). Fa = 𝜌𝑐𝑎𝑖𝑟 . g . V W = 𝜌𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 . g . V W > Fa sehingga 𝜌𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 > 𝜌𝑐𝑎𝑖𝑟
Benda Melayang
Sebuah benda yang dicelupkan ke dalam zat cair akan melayang jika berat benda (W) sama dengan gaya ke atas (Fa). 18
W = Fa sehingga 𝜌𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 = 𝜌𝑐𝑎𝑖𝑟
Benda Terapung
Sebuah benda yang dicelupkan ke dalam zat cair akan terapung jika berat benda (W) lebih kecil dari gaya ke atas (Fa). W < Fa sehingga 𝜌𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 < 𝜌𝑐𝑎𝑖𝑟 Alat-alat
yang
prinsip
kerjanya
berdasarkan
Hukum
Archimedes antara lain pembuatan kapal laut, galangan kapal, kapal selam, balon udara. Hukum Archimedes Pada Balon Udara Sebuah balon udara dapat naik disebabkan adanya gaya ke atas yang dilakukan oleh udara. Balon udara diiisi dengan gas yang lebih ringan dari udara misalnya 𝐻2 dan He sehingga terjadi peristiwa seolah-olah terapung. Balon akan naik jika gaya ke atas Fa > 𝑊𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 (berat total) sehingga: Fn = Fa - 𝑊𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 Keterangan: Fa = 𝜌𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 . g . 𝑉𝑏𝑎𝑙𝑜𝑛 𝑊𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝑊𝑏𝑎𝑙𝑜𝑛 + 𝑊𝑔𝑎𝑠 + 𝑊𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑊𝑔𝑎𝑠 = 𝜌𝑔𝑎𝑠 . g . 𝑉𝑏𝑎𝑙𝑜𝑛 dengan: Fa = gaya ke atas (N) Fn = gaya naik (N) 𝜌𝑔𝑎𝑠 = massa jenis gas pengisi balon udara (kg/𝑚3 ) 𝜌𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 = massa jenis udara = 1,3 kg/𝑚3 𝑊 = berat (N) 𝑉 = volume (𝑚3) 3. Tekanan Zat Gas Atmosfer adalah lapisan udara yang menyelubungi bumi. Pada lapisan inilah manusia dapat hidup. Selain zat cair, atmosfer udara
19
juga mengadakan tekanan terhadap sekitarnya. Tekanan ini sebagai akibat adanya gaya gavitasi yang bekerja pada setiap bagian atmosfer. Massa jenis udara sangat kecil jika dibandingkan dengan massa jenis zat padat atau zat cair. Massa jenis udara berkurang pada ketinggian yang berbeda. Sehingga persamaan tekanan P = ρ . g . h tidak berlaku pada tekanan atmosfer atau tekanan pada gas. Tekanan udara di permukaan laut rata-rata sebesar 1 atm atau 76 cmHg. Makin rendah suatu tempat, makin besar tekanannya. Sebaliknya, makin tinggi suatu tempat, makin rendah tekanannya. Setiap kenaikan 10 m tekanan udara berkurang sebesar 1 mmHg. Udara yang meliputi bumi mempunyai berat yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Karena udara memiliki berat, maka udara juga memiliki tekanan. Besarnya tekanan udara ditentukan oleh tinggi tempatnya dari permukaan air laut. a. Percobaan Torricelli Menurut Torricelli, tekanan udara di permukaan laut lebih besar daripada tekanan di tempat yang tinggi, misalnya pegunungan. Semakin tinggi tempat pengukuran, semakin rendah tekanan udaranya karena semakin dekat ke permukaan lapisan. Hal ini sama dengan zat cair bahwa semakin dekat ke permukaan air, semakin kecil tekanan hidrostatisnya. b. Hukum Boyle Hasil kali tekanan dengan volume suatu gas adalah tetap asal suhu zat tetap. Sebagai contoh adalah jika kita memompa ban sepeda, udara bisa masuk ke dalam ban jika pompa penghisap kita tekan, akhirnya
udara
masuk.
Hukum Boyle secara matematis dapat dirumuskan sebagi berikut : P1 . V1 = P2 . V2 dengan: P1 = tekanan pertama (atm)
20
V1 = volume pertama (𝑚3) P2 = tekanan kedua (atm) V2 = volume kedua (𝑚3) Beberapa alat yang menggunakan Hukum Boyle adalah pompa air dan pompa sepeda, (Anonim, 2016)
3. Epistimologi Secara etimologi, epistimologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa yunani yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan
adanya
pengetahuan
sistematik.
Dengan
demikian
epistimologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Menurut
Suriasumantri
(2005),
epistimologi
adalah
memabahas cara mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan yang disebut dengan metode ilmiah. Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya
yang
berhubungan
dengan
batas-batas
pengetahuan.
Epistemologi juga berarti cabang filsafat yang mempelajari soal watak, batas-batas dan berlakunya ilmu pengetahuan (Khobir,2007). Aspek epistimologis berkenaan dengan bagaimana mempelajari objek studinya dengan menggunakan metode tertentu, yaitu metode keilmuan atau metode ilmiah yang didukung oleh sarana berfikir ilmiah. Metode ilmiah pada dasarnya merupakan gabungan antara pola berfikir induktif ( dari hal-hal yang khusus, dianalisis menjadi hal-hal yang umum) dan pola berfikir deduktif (dari hal-hak yang umum kepada hal-hal yang khusus). Pola berfikir induktif dan deduktif disebut juga proses “ Logico-hypotetico-verifikatif atau deducto-hypoteticoverifikatif”, yang terdiri dari lengkah-langkah sebagai berikut: 1) merumuskan masalah, 2) menyusun kerangka berfikir, 3) merumuskan hipotesis, 4) menguji hipotesis, dan 5) menarik kesimpulan, (Suryana, 2010)
21
Dari pengertian epistimologi di atas dapat disimpulkan bahwa epistimologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Maka dalam tulisan yang berjudul Pengaruh adalah: 1. Rumusan masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengaruh model pembelajaran berbasis masalah pada materi tekanan zat terhadap kemampuan berfikir kritis dan literasi sains siswa? 2. Kerangka Berfikir. Empat kecakapan yang harus dimiliki peserta didik pada abad 21 adalah keterampilan berfikir tingkat tinggi dan literasi, kreatif dan inovatif, keterampilan berkolaborasi, dan keterampilan berkomunikasi. Pembelajaran sains merupakan sarana yang efektif untuk memfasilitasi agar peserta didik memiliki kemampuan berpifkir kritis dan literasi sains. Kemampuan berpikir kritis dan literasi sains peserta didik dipengaruhi beberapa faktor salah satunya adalah pemilihan metode dan model pengajaran oleh guru. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam pembelajaran sains untuk membangun literasi sains peserta didik dapat dilakukan dengan pembelajaran yang semuanya bertumpu pada “student active learning”. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang mengusung teori konstruktivisme. Pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah berpengaruh kemampuan berpikir kritis dan literasi sains. Materi Tekanan Zat merupakan materi IPA kelas VII yang membahas tentang tekanan zat dan aplikasi prinsip tekanan zat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga karakteristik materinya sangat sesuai dengan model pembelajaran berbasis masalah. Dalam penelitian terdahlu
yang dilakukan oleh Hartati (2015)
bahwa model pembelajaran problem based learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan literasi sains. Hal ini sesuai dengan
22
pernyataan Zuriyani (2012), yang menyatakan bahwa proses kognitif yang terlibat dalam kompetensi sains antara lain penalaran induktif/deduktif, berpikir kritis dan terpadu, pengubahan representasi, mengkonstruksi eksplanasi berdasarkan data, berpikir dengan menggunakan model dan menggunakan matematika. Dari pernyataan tersebut dapat diimpilkasikan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu faktor kognitif yang mempengaruhi kemampuan literasi sains.
3. Hipotesis. H01: Model pembelajaran Problem Base Learning tidak berpengaruh terhadap kemampuan berfikir kritis siswa SMP pada materi Tekanan Zat. H11: Model pembelajaran Problem Base Learning berpengaruh terhadap kemampuan berfikir kritis siswa SMP pada materi Tekanan Zat. H02:
Model
pembelajaran
Problem
Base
Learning
tidak
berpengaruh terhadap kemampuan berfikir kritis siswa SMP pada materi Tekanan Zat. H12: Model pembelajaran Problem Base Learning berpengaruh terhadap literasi sains siswa SMP pada materi Tekanan Zat. 4. Pengujian Hipotesis. Uji hipotesis ini terdiri dari beberapa tahap yang harus dilalui untuk mengetahui apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak. Berikut adalah tahap-tahap yang harus dilakukan untuk melakukan uji hipotesis dengan menggunakan bantuan program IBM SPSS Statistics 22. 1) Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran distribusi data yang diperoleh. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
uji
Shapiro-Wilk
yang
digunakan
untuk
menguji
pendistribusian data pada ukuran sampel kurang dari 50 dengan taraf
23
signifikansi 95% dan galat (α) = 0,05. Jika nilai signifikansi pada kolom asymp.Sig (2- tailed) atau probabilitas > 0,05 maka data terdistribusi normal. 2) Uji Homogenitas Varians Data Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah data-data nilai yang didapat dari kedua kelompok memiliki kesamaan varians atau tidak. Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Levene dengan taraf signifikansi 95% dan galat (α) = 0,05. Jika nilai signifikansi pada kolom asymp.Sig (2-tailed) atau probabilitas >0,05 maka data homogen. 3) Uji Perbedaan Rata-rata (Uji t) Uji perbedaan rata-rata dilakukan terhadap dua data hasil penelitian, yaitu data pretest dan N-gain. Uji perbedaan rata-rata data pretest dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan awal antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol (2-tailed). Sedangkan ujiperbedaan rata-rata data N-gain dilakukan untuk mengarahkan pada pengujian hipotesis penelitian, yaitu untuk mengetahui apakah model PBL pada kelas eksperimen dapat lebih meningkatkan kemampuan literasi sains dan berpikir kritis dibandingkan kelas kontrol (1-tailed). Terdapat dua jenis uji yaitu: a) Uji Statistik Parametrik Uji statistik parametrik dilakukan jika data memenuhi asumsi statistik, yaitu jika data terdistribusi normal dan memiliki variansi yang homogen. Untuk menguji hipotesis pada data statistik parametrik dapat menggunakan uji t (Independent Sample t-Test). Pengambilan keputusan yaitu jika nilai signifikansi sig. > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Jika nilai signifikansi sig < 0,05 maka H1 diterima dan H0 ditolak. b) Uji Statistik Non-Parametrik Uji statistik non-parametrik dilakukan jika data tidak memenuhi persyaratan uji parametrik, data tidak terdistribusi normal dan atau
24
tidak homogen. Uji statistik non-parametrik yang digunakan jika asumsi parametrik tidak terpenuhi adalah uji Mann-Whitney dan uji t’. Uji Mann-Whitney digunakan saat data tidak terdistribusi normal dan uji t’ digunakan saat data memiliki variansi data yang tidak homogen. Pengambilan keputusannya yaitu Jika nilai signifikansi sig > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Jika nilai signifikansi sig < 0,05 maka H1 diterima dan H0 ditolak.
5. Penarikan kesimpulan Jika
hipotesis
diterima,
maka
akan
menjadi
khasanah
pengetahuan ilmiah dan apabila ditolak akan kembali lagi kepada penyusunan kerangka berfikir untuk diulang lagi kehipotesis sampai kesimpulan diterima,(Suryana, 2010).
Gambar 1 Alur Pengujian Hipotesis
25
4. Aksiologi Secara etimologi, aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios yang berarti nilai, dan logos yang berarti teori. Terdapat banyak pendapat tentang pengertian aksiologi. Menurut Suriasumantri (2005) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh. Menurut wibisono (1996)
aksiologi
adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normativ penelitian dan penggalian serta penerapan ilmu. Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang didapatkan. Adapun aksiologi dalam tulisan yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Problem Base Learning Terhadap Kemampuan berfikir kritis dan Literasi Sains Siswa SMP Pada Materi Tekanan Zat diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan, diantaranya sebagai berikut: 1. Manfaat dari segi kebijakan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu contoh desain pembelajaran yang digunakan dalam mendukung kurikulum IPA di masa depan dan program pendidikan karakter bangsa. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai masukan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah yang lebih
mengarah
pada
pembelajaran
yang
berorientasi
pada
pengembangan kemampuan literasi sains dan berpikir kritis siswa. 2. Manfaat dari segi teori, sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian dengan tema penelitian yang sama pada pokok bahasan yang lain dan sebagai panduan pembelajaran dengan model PBL yang berorientasi pada kemampuan literasi sains dan berpikir kritis siswa. 3. Manfaat dari segi praktik, hasil penelitian ini dapat memberikan alternatif pembelajaran kepada guru dengan menggunakan model PBL yang dapat digunakan untuk mengajar di kelas yang berorientasi pada kemampuan literasi sains dan berpikir kritis siswa pada materi Tekanan Zat
26
5. Kesimpulan Penelitian yang berjudul pengaruh model pembelajaran problem based learning terhadap kemampuan berfikir kritis dan literasi sains siswa smp pada materi
tekanan zat merupakan sebuah ilmu, karena untuk
mengetahui bagaimana pengaruh model problem based learning terhadap kemampuan berfikir kritis dan literasi sains siswa smp harus dilakukan percobaan melalui prosedur ilmiah.
27
DAFTAR PUSTAKA Adolphus, Telima, Arokoyu. 2012. Improving Scientific Literacy among Secondary School Students through Integration of Information and Communication Technology. Journal of Science and Technology. (VOL. 2, NO. 5). Anjasari, Putri. (2016). Literasi Sains dalam Kurikulum dan Pembelajaran IPA SMP. Yogyakarta: UNY. Anonim. 2016. Makalah Gaya dan Tekanan. https://www.scribd.com/doc/260738000/Makalah-Gaya-Dan-Tekanan. Barret, Terry (2005). Understanding Problem Based Learning. Bybee. 2008. Scientific Literacy, Environmental Issues.Springer Science Business Media, J Sci Educ Technol (2008) 17:566–58. Duch, J.B. (1995). Problem Based Learning in Physics: The Power of Student Teaching Student. Fisher, Alec. (2009). Berpikir Kritis. Jakarta: Erlangga. Hamzah, Ali. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Grafindo Persada. Hernandez, Ikpeze, Kimaru. 2015. Perspectives on Science Literacy: A comparative study of United States and Kenya .Chemistry Faculty Publications. Liu, Min. (2005). Motivating Students Through Problem-based Learning. University of Texas : Austin. Majid, A. (2014). Implementasi Kurikulum 2013: Kajian Teoritis dan Praktis. Bandung: Interes. OECD. (2003). The PISA 2003 Assessment Framework: Mathematics, Reading, Science, and Problem Solving Knowledges and Skills. OECD Publishing.http://dx.doi.org/10.1787/9789264190511-en. Punia Turiman, Jizah Omar, Adzliana Mohd Daud & Kamisah Osman. 2012. Fostering the 21st Century Skills through Scientific Literacy and Science Process Skills. Procedia - Social and Behavioral Sciences 59 (110 – 116) Rustaman. 2011. Materi dan Pembelajaran IPA. Jakarta: Universitas Terbuka. Suciati et all. 2013. Identifikasi Kemampuan Siswa Dalam Pembelajaran Biologi Ditinjau dari Aspek-Aspek Literasi Sains. Di akses http://fmipa.unesa.ac.id /kimia/wp-content/uploads/2013/11/40-47 Suryana. (2010). Metodelogi Penelitian. Bandung: Universitas Pendidkan Indonesia. Toharudin, U., Hendrawati, S., & Rustaman, A., (2011). Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung: Humaniora. Waters, R and McCracken, M.( -).Assessment and Evaluation In Problem Based Learning. Georgia Intitute of Technoloy : Georgia. .
28