MAKALAH FILSAFAT HUKUM PERTIMBANGAN PEMBERIAN GRASI OLEH PRESIDEN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA (GRASI KEPADA BANDAR NARKOBA OLEH PRESIDEN)
NOFRY HARDI 1220113030
FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2012
BAB I PENDAHULUAN Akhir-akhir ini kita menyaksikan berbagai persidangan yang menyita energi pikiran kita. Kasus-kasus remeh temeh seperti pencurian listrik cas HP, pencurian semangka, pencurian semangko, kasus e-mail Prita, pencurian sandal disidangkan dan menimbulkan persoalan serius dalam tataran filsafat hukum. Nurani tergugah. Persoalan antara penerapan hukum dalam kajian positivisme hukum berhadapan dengan keadilan disisi lain. Dalam kajian Filsafat Hukum yang terus menerus menggugat “ketidakadilan” dan terus menerus mempersoalkan “keadilan”, isu hukum menjadi salah satu topik yang menarik untuk didiskusikan. Banyak lahir pemikiran besar yang terus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan ilmu hukum. Kita kemudian mengenal Immanual Kant, Hans Kelsen, Hart, Thomas Aquinas, John Locke, Hugo Grotius sekedar menyebutkan nama yang mempengaruhi pemikiran besar dalam perkembangan filsafat hukum. Dalam ranah filsafat hukum, secara sederhana dirumuskan, Menegakkan keadilan harus menjadi tujuan negara (Plato). Keadilan sebagai nilai yang paling sempurna/lengkap. Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama/Common good (Aristoteles). hukum sebagai sistem harus adil (H. L. A. Hart). Dalam perkembangan dalam abad pertengahan yang sangat theosentris yang dicanangkan oleh Agustinus dan Thomas Aquinas, hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum. Dalam lingkungan hukum islam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rushd (hanya beberapa tokoh pemikiran Islam), Hukum dalam Fiqh bersifat theosentris yang didasarkan
kepada wahyu Illahi. Inilah yang disebut hukum Islam. Pemikiran Aquinas diteruskan pengikutnya seperti ahli hukum Belanda seperti Hugo Grotius. Sedangkan pada abad 17 – 19 yang ditandai perkembangan industri dan perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu dahsyat (sebagian menamakan sebagai abad pencerahan), pemikiran ini kemudian digagas dari Inggris David Hume dan John Locke. Pada masa inilah kemudian lahir mahzab “positivisme hukum”. Mazhab ini kemudian menemukan bentuknya ketika Thomas Hobbes dan Immanual Kant yang meletakkan eksitensi negara pada hukum positif diatas keadilan kontraktual. Menurut Hobbes, keadilan sama dengan hukum positif, maka hukum positif menjadi satu-satunya norma untuk menilai apa yang benar dan salah, atau adil dan tidak adil. Pemikiran ini kemudian tampak dalam Immanual Kant. Menurutnya, hak atas kebebasan individu pada titik sentral konsepnya tentang keadilan. Keadilan akan terjamin apabila warga mengatur perilaku dengan berpedoman pada nilai-nilai universal. Pada akhir abad ke-19, perkembangan filsafat hukum ditandai dengan aliran baru yang dikenal dengna nama mazhab Historis. Menurut Hegel, hukum merupakan realitas politik harus dilihat sebagai tatanan etis yang secara normatif mengarahkan perilaku manusia. Sedangkan Savigny, hukum sebagai refleksi etika sosial masyarakat. Hukum yang baik, harus merupakan refleksi dari nilai etika masyarakat. Mazhab ini kemudian menjadi inspirasi bagi aliran hukum mazhab sosiologis. Hukum tidak dapat dipahami secara tepat tanpa pemahaman sistematis mengenai tujuan yang melahirkan hukum, yang dapat ditemukan dalam kehidupan social. Selanjutnya lahir pemikiran hukum mazhab realisme hukum. Menurut Roscoe Pound yang dikenal sebagai social engineering, hukum tidak dapat diterapkan sesuai dengan kitab
hukum. Hukum harus memuat ajaran dan sekaligus ideal yang mendorong masyarakat ke masa depan yang lebih baik. Hukum harus menjadi alat perekayasa sosial (social engineering). Ini diperkuat oleh Ronald Dworkin yang menegaskan, jika memahami hukum, maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu diterapkan oleh hakim. Hukum baru menjadi
hukum
yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum. Berangkat dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum” dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori (lepas dari pengalaman) dan a posteriori (berdasarkan pengalaman). Dengan menggunakan pendekatan Ronald Dworkin dan pernyataan Immanuel Kant kemudian dapat dirumuskan bagaimana pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusan. Pertanyaan akan muncul. Apakah hakim sebelum menjatuhkan putusan (didalam pertimbangan vonis) akan bersikap independent atau akan bersikap dependent. Dalam kajian filsafat hukum, tentu saja kita akan mudah menjawabnya, hakim harus netral, imparsial dan menggunakan pendekatan ilmu hukum normatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Namun fakta-fakta membuktikan sebaliknya. Dalam berbagai kasus yang sering kita lihat di berbagai media, pengetahuan hakim berangkat dari a priori dan a posteriori. Tuntutan publik agar pelaku dihukum berat, ada ketakutan membebaskan pelaku korupsi, semangat anti korupsi
yang terus menerus dikampanyekan merupakan salah satu dependent yang mempengaruhi hakim sebelum menjatuhkan putusan. Belum lagi pendidikan, pengalaman, pekerjaan, lingkungan pergaulan, pandangan politik, jenis kelamin, struktur sosial yang juga mempengaruhi hakim didalam putusannya. Berangkat dari sintesis a priori dan a posteriori dalam lingkup independent dan dependent hakim sebelum memutuskan perkara, pertimbangan hakim mempunyai bahan kajian yang menarik untuk selalu didiskusikan. Dari ranah inilah kemudian kita dapat melihat bagaimana hukum dapat “mewarnai” berbagai perkembangan hukum yang tentu saja memberikan pengetahuan didalam menyelesaikan berbagai persoalan sehari-hari. Dalam kenyataan yang terjadi pada saat ini sering dijumpai ketidak sesuaian antara hukum dan kenyataan dimana orang yang melakukan perbuatan hukum ringan dihukum sedemikian beratnya namun orang yang melakukan perbuatan hukum yang berat diberikan hukuman yang ringan. Bahkan sampai diberikan grasi oleh Presiden, seperti yang terjadi pada Meirika Franola yang diberikan pengurangan hukuman oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup. Yang kemudian menjadi polemik dalam penegakan hukum karena penerima grasi masih melakukan tindak pidana dari balik penjara yang semestinya menjadi tempat untuk merenungi kesalahannya. Dalam makalah ini penulis akan mengangkat permasalahan pemberian grasi oleh Presiden terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang masih melakukan tindak pidana dari dalam jeruji tahanan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Grasi Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden terhadap terpidana yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.1 Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa:
a. peringanan atau perubahan jenis pidana; b. pengurangan jumlah pidana; atau c. penghapusan pelaksanaan pidana.2
Pemberian grasi memang seyogyanya adalah hak presiden namun dalam pemberian grasi yang terjadi pada Meirika Franola alias ola yang terjadi beberapa waktu lalu banyak menuai pro dan kontra sehingga menimbulkan kerancuan hukum dalam masyarakat. Pemberian grasi hanya ditujukan kepada terpidana yang menjadi korban bukan diberikan kepada pengedar ataupun gembong narkoba.
1
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, pasal 1 Ibid, pasal 4
Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang yudikatif. Grasi adalah Hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat hukuman mati dikurangi menjadi bebas dari hukuman sama sekali . Di Indonesia, grasi merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. 3 B. Polemik Pemberian Grasi Meirika Franola (Ola) ditangkap saat menyelundupkan 3 kilogram kokain dan 3,5 kg heroin di Bandara Soekarno-Hatta pada 12 Januari 2000. Vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya berkekuatan hukum tetap (inkracht) setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali kasusnya pada 27 Februari 2003. Namun, Presiden Yudhoyono mengampuninya dan memberikan grasi pada 26 September 2011 sehingga hukuman yang harus dijalaninya diubah menjadi hukuman pidana penjara seumur hidup. Ola yang masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang belakangan ditengarai terlibat lagi dan bahkan mengotaki peredaran narkoba dengan jaringan dari luar negeri. Kasus ini tengah ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN). Ola adalah terpidana mati kasus penyelundupan kokain dan heroin di Bandara SoekarnoHatta pada Januari 2000. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi grasi sehingga hukuman matinya dikurangi menjadi penjara seumur hidup. Setelah mendapat grasi, Ola, yang masih mendekam di penjara wanita Tangerang, diduga terlibat dalam kasus narkoba lagi. Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Eva Sundari, meminta presiden 3
Dikutip dari https.www.wikipedia.com
tidak lagi memberikan grasi kepada terpidana narkoba. Untuk membuktikan diri kalau istana bersih dari mafia. Selain melawan kepentingan umum, juga tidak membuat jera,4 Pemberian grasi untuk Franola alias Ola, tak lepas dari pemberian grasi sebelumnya bagi terpidana narkoba asal Australia, Schapelle Corby. Menurut Eva, pihak yang pantas mendapatkan pengampunan adalah korban atau pemakai, bukan yang terlibat perdagangan seperti kurir. Namun, ia menolak hukuman mati. Eva merekomendasikan alternatif pemberatan hukuman berupa pelayanan sosial seumur hidup. Ola bahkan disebut-sebut sebagai otak pengedaran narkotik setelah Badan Narkotika Nasional menangkap Nur Aisyah pada 4 Oktober lalu di Bandung. Nur, yang membawa sabu seberat 775 gram, mengaku sebagai kurir Ola. Anggota Komisi Hukum DPR mencatat sejumlah kejanggalan dari pemberian grasi Ola. Salah satu keanehan adalah sikap presiden yang menyatakan bahwa Ola hanyalah seorang kurir. Padahal, dalam fakta persidangan dan putusan hakim, baik Pengadilan Negeri Tangerang, pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, diputuskan bahwa Ola merupakan bagian dari sindikat peredaran narkoba. Badan Narkotika Nasional tidak turut memberikan masukan atau pertimbangan dalam pemberian grasi tersebut. Sesuai Undang-Undang dalam pemberian grasi hanya meminta pertimbangan Mahkamah Agung.5 Juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengaku tidak mengetahui secara pasti proses saat pemberian grasi. Grasi untuk Ola itu kan diberikan September 2011, pasti sudah ada rekomendasi masukan untuk memberi grasi,. Ia tidak tahu masukannya dari siapa saja, tetapi tentunya itu komprehensif dari internal, laporan dari Politik, Hukum, dan Keamanan. 4
Tempo Minggu 11 November 2012. Kepala Bagian Humas dan Dokumentasi Badan Narkotika Nasional Sumirat Dwiyanto sebagaimana dikutip dari detik.com 5
Julian memastikan Presiden tidak akan menoleransi, apalagi memberi keleluasaan untuk gembong narkoba. Hak tiap individu yang terpidana untuk memohon grasi, Ola tidak dalam klasifikasi sebagai gembong narkoba. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin meminta agar publik tidak menyalahkan presiden soal grasi Ola. Pemberian grasi merupakan kewenangan presiden. Lagi pula didasari pertimbangan. Ola adalah satu dari 127 terpidana yang mengajukan grasi ke presiden.6 Pihak Istana seharusnya tidak perlu emosional dalam menanggapi pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD terkait adanya mafia narkoba di lingkungan Istana. Hal ini lantaran pemberian grasi terhadap Meirika Franola (Ola) memang penuh dengan kejanggalan dan terkesan dipaksakan.7 Keempat kejanggalan pemberian grasi terhadap Ola itu, 1. Terkait fakta persidangan dan pertimbangan hukum putusan hakim mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Ketiganya memiliki penilaian yang sama bahwa Ola merupakan bagian dari sindikat peredaran narkoba, bukan seperti yang disampaikan presiden bahwa Ola hanya seorang kurir. 2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan telah dikuatkan dengan putusan MK, hukuman mati merupakan hukuman yang konstitusional. Dengan demikian, keputusan Presiden menghilangkan hukuman mati untuk Ola tidak tepat lantaran hanya karena melihat tren di negara lain yang cenderung hukuman mati menurun.
6 7
http://hukum.kompasiana.com/2012/11/13/polemik-pemberian-grasi-meirika-franola-502841.html http://www.merdeka.com/peristiwa/menkum-ham-bela-sby-soal-pemberian-grasi-ola.html.2012-11-16
3. Rasa kemanusiaan dan keadilan atas jutaan korban narkoba dan keluarga yang ditinggalkan seharusnya tidak diabaikan Presiden hanya demi seorang Ola. 4. Mahkamah Agung juga telah menyatakan tidak cukup alasan untuk memberikan grasi kepada Ola, tetapi kenapa presiden dan para stafnya terkesan mengabaikan rekomendasi MA tersebut. Sekarang semua semakin jelas dan tidak bisa dibantah lagi. Ada beberapa jenis kriminal atau kejahatan yang sebenarnya pantas diancam dengan hukuman mati. Adalah narkoba dan pembunuhan, menurutnya kejahatan-kejahatan yang selayaknya diberikan hukuman mati, dan itu juga ada diatur dalam konteks agama. Namun hukuman mati bisa dilaksanakan bila proses yudisial dan hukumnya sudah tidak diragukan lagi. Jika proses yudisial dan hukumnya masih diragukan dan memerlukan pembuktian-pembuktian lagi, hukuman mati belum boleh dilakukan. Dalam kasus yang menimpa Meirika Franola alias Ola, wajar bila dilaksanakan hukuman mati. Hal itu ia utarakan karena yang bersangkutan melakukan kesalahan fatal, di mana meracuni generasi anak bangsa dengan narkoba. Penanggungjawab atas pemberian grasi kepada Ola yang tadinya dihukum mati menjadi hukuman pidana penjara seumur hidup adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal itu didasari karena presidenlah yang memiliki hak prerogratif pemberian grasi kepada Ola ketika itu. Jika pemberian grasi itu suatu kekeliruan maka kedepan harus memperbaiki sistem pemberian grasi pada kasus selanjutnya. Meski grasi hak preogratif presiden, tentu grasi diberikan sesuai dengan nilai-nilai kebijakan yang diemban olehnya.8
8
http://medan.tribunnews.com/2012/11/10/rektor-iain-sumut-pemberian-grasi-oleh-sby-keliru
Meski sampai saat ini hukuman mati dalam beberapa kasus masih pro dan kontra, dalam perspektif agama ia menjelaskan hukuman mati itu ada dan diperbolehkan. Hal itu dilakukan untuk pidana tertentu dan kemudian sudah melalui proses yudisial dan hukum yang tidak diragukan lagi. Kebijakan negara yang ingin memberantas narkoba membuat pemberian grasi haruslah sangat selektif. Narapidana kasus narkoba yang menerima grasi dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Meirika Franola, ternyata masih aktif mengendalikan bisnis narkoba dari balik jeruji penjara. Keterlibatan Meirika franola alias Ola diketahui dari keteranga seorang kurir narkoba Nur Aisyah alias NA, 40, yang ditangkap di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Minggu 4 november 2012. Ia diringkus saat tiba dari India dengan membawa tas punggung yang di dalamnya berisi sabu seberat 775 gram. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Jawa barat Anang Pratanto mengatakan dalam pemeriksaan Nur Aisyah mengaku direkrut pacarnya yang mendekam di Lembaga Permasyarakatan Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara lau kemudian diserahkan kepada Franola. Grasi untuk Ola terungkap lewat keterangan juru bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko yang mengatakan bahwa grasi yang diterima Ola berupa pengurangan hukuman dari hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 35/G/2012 yang ditandatangani presiden pada 26 September 2011. Dari penangkapan terhadap Aisyah turut disita buku tabungan atas nama SN, satu kartu ATM, telepon seluler, dokumen perjalanan dan papor atas nama tersangka. Berbagai Non Government Organisation menatakan bahwa grasi tersebut bias menjadi boomerang bagi presiden karena menyangkut dengan hajt hidup orang banyak yang terkena dampak narkoba. Presiden harus lebih hati-hati dalam memberikan grasi. Kalau bisa pemberian grasi terhadappengedar narkoba dihapuskan.
Namun Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin mengatakan grasi untuk Franola sudah berlaku dan tidak bisa ditarik kembali dan apabila terbukti Ola melakukan bisnis narkoba dari dalam penjaramaka ia harus diadili dalam perkara tersendiri tanpa mengurangi masa hukuman. Kalau terbukti maka ia harus dihukum lebih berat. Namun ia berkata ke depannya pemberian grasi akan lebih diperhitungkan. C. Kronologis kasus Meirika Franola 12 Januari 2000 Meirika Franola ditangkap saat menyelundupkan3 kg kokain dan 3,5 heroin di Bandara Soekarno-Hatta 22 Agustus 2000 Pengadilan Negeri Tangerang memvonis mati Meirika Franola 18 Agustus 2001 Mahkamah Agung memperkuat vonis mati Pengadilan Negeri Tangerang 27 Februari 2003 Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali menolak kasasi Meirika Franola 26 September 2011 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani grasi untuk terpidana mati atas nama Meirika Franola dengan pidana penjara seumur hidup 5 November 2012
Meirika Franola diduga terlibat dalam penyelundupan sabu atas nama tersangka Nur Aisyah yang tertangkap di Bandung.9 Daftar penerima grasi kasus narkoba 1. Schapelle Leigh Corby (Australia) 2. Deni Satia Maharwan (WNI) 3. Meirika Franola (WNI) 4. Rani Adriani (WNI) 5. Peter Achim Franz Grobman (Jerman) 6. Indra Bahadur Tamal (Nigeria)
D. Peran Filsafat Hukum Dalam Mengatasi Polemik Pemberian Grasi Berpijak dari masalah diatas maka dalam penyelesaiannya harus kembali lagi pada teori hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum adalah filsafat yang objeknya khusus hukum. Pokok kajian filsafat hukum : 1. Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu (Merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral). 2. Aksiologi hukum yaitu ilmu tentang nilai (Merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam hukum seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dsb)
9
Dikutp dari Media Indonesia tertanggal Selasa 6 November 2012
3. Ideologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang mengangkut cita manusia (Merefleksi wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum). 4. Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan tujuan hukum) 5. Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi manusia) 6. Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem hukum)10 Dalam pemberian grasi tersebut maka pokok kajian yang terdapat pada filsafat hukum adalah logika hukum dimana dalam penjatuhan suatu keputusan dan pemberian suatu aturan harus didasarkan kepada logika hukum. Terkait dengan benar atau tidaknya putusan yang akan dibuat, apa dampaknya bagi masyarakat, dampak bagi pembuat keputusan, maupun dampak untuk keadaan yang akan datang. Dalam mempelajari Filsafat Hukum juga berkaitan dengan Hakekat hukum. Filsafat Hukum Dalam Kaitan dengan Hakekat Hukum. Filsafat hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakekat hukum atau keberadaan hukum. Hakekat hukum meliputi :
10
Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Raja Grafindo Indo Persada, Jakarta, 1994.
1) Hukum merupakan perintah (teori imperatif) Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat. Aliran hukum alam dengan tokohnya Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex) dalam urutan mulai yang teratas, yaitu : a. Lex aeterna (Rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, yang disamakan hukum abadi) b. Lex divina (Rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia) c. Lex naturalis (Penjelmaan dari Lex aeterna dan Lex divina) d. Lex positive (hukum yang berlaku merupakan tetesan dari Lex divina kitab suci)11 2) Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif) Mahzab sejarah : Carl von savigny beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis malupun tidak tertulis”. 3) Tujuan hukum (teori optatiif) 1. Keadilan, menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :
11
Abdul Halim Barkatullah, Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju
Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermatabat , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
Distributive, yang didasarkan pada prestasi
Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa
Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya
Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif
Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang
2. Kepastian Hans kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung arti :
Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.
Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara.
Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.
Hukum itu bersifat dogmatic.
3. Kemanfaatan Menurut Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.12 Pemberian grasi harus mempertimbangkan ketiga tujuan hukum di atas yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan agar tidak terjadi lagi kesenjangan antara terpidana yang menerima grasi dan rakyat yang direkayasa hukum.
12
Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Raja Grafindo Indo Persada, Jakarta, 1994.
BAB III PENUTUP Pemberian grasi harus diberikan secara tepat kepada orang yang benar-benar membutuhkan pengurangan, peringanan, dan pembebasan hukuman oleh Presiden melalui berbagai pertimbangan-pertimbangan dan persetujuan dari lembaga-lembaga hukum yang berwenang. Jangan sampai pemberian grasi menjadi senjata bagi penerima grasi untuk kembali mengulangi perbuatan melanggar hukumnya yang akan menyengsarakan masyarakat dan menjatuhkan wibawa pemberi grasi. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi telah dinyatakan bahwa grasi memang merupakan hak Presiden namun grasi harus dibatalkan apabila penerima grasi terbukti kembali melakukan perbuatan melanggar hukum yang sama atau tindakan lain yang lebih berat ancaman hukumannya. Namun dalam peraturan perundang-undangan grasi yang telah diberikan tidak dapat ditarik kembali dan penerima grasi yang kembali melakukan perbuatan melanggar hukum harus diadili secra terpisah dengan tidak membatalkan grasi yang telah diterimanya. Pada akhinya kita hanya bisa berharap bahwa untuk kedepannya pemberian grasi harus diberikan melalui pertimbangan yang benar-benar matang dan melalui prosedur persetujuan dan pengesahan yang seformal-formalnya dengan memperhatikan : 1. Kondisi psikologis penerima grasi 2. Pertimbangan kelakuan penerima grasi selama menjalani hukuman 3. Dampak pemberian grasi bagi masyarakat 4. Kewibawaan dan martabat pemberi grasi 5. Pemantauan secara berkelanjutan terhadap penerima grasi
DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim Barkatullah, Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermatabat , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012 Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Raja Grafindo Indo Persada, Jakarta, 1994. Undang-Undang : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi Internet : http;/detik.com http://hukum.kompasiana.com http://medan.tribunnews.com http://merdeka.com/peristiwa https:/wikipedia.com Media Cetak : Media Indonesia Tempo