Kern Icterus BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN 2005
BAB I PENDAHULUAN
Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy, palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Pada beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna menjadi kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat d an benar maka bisa menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik dan dapat merusak otak. Bayi baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja mengalami kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi masalah ini. Bila timbul ikterus, dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan transfusi tukar (exchange transfusion). transfusion). Beberapa tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, tidur yang berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui sangat kurang, serta kelemahan umum. Pada kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, terlebih bila bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan prognosis kern ikterus buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA KERN IKTERUS 2.1. Definisi
Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin 1, 2, 3, 6
indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak
.
2.2. Insidensi
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami men galami kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. 2, 7,
Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit 9
. Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia
berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu: - Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter. - Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian. - Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka. - Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin 5, 6,8,10
yang belum selesai
.
TINJAUAN PUSTAKA KERN IKTERUS 2.1. Definisi
Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin 1, 2, 3, 6
indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak
.
2.2. Insidensi
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami men galami kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. 2, 7,
Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit 9
. Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia
berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu: - Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter. - Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian. - Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka. - Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin 5, 6,8,10
yang belum selesai
.
2.3. Klasifikasi Klasifikasi Stadium 1
Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor letargi, poor feeding , vomitus, high pitched cry, kejang. Stadium 2
Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas. Stadium 3
Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu. Stadium 4
Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata 1
ke atas, displasia mental . 2.4. Etiologi
Penyebab kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggio yang dapat mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak. Kadar bilirubin yang tinggi merupakan kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh: Ikterus fisiologis:
- Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar. - Defek pengambilan bilirubin plasma. - Defek konjugasi bilirubin. - Ekskresi bilirubin menurun. Ikterus patologis:
- Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati. - Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom.
- Polisitemia. - Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik, dan penyakit hirschprung. - Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi aliran 1,2,3
empedu
.
2.5. Patogenesis
Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak. Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI, kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 2150 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus. Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan den gan adanya faktor-faktor yang mengurangi men gurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau
kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan 2
infeksi . Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan 2, 9, 10
mikroskopik yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama
.
2.6. Kriteria Diagnosis
Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Tanda-tanda dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan
melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya 2
menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut . Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi neor omuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau “disfungsi otak minimal” yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak 2,4,5, 7
masuk sekolah
.
2.7. Diagnosis Banding 2.7.1.Sepsis
Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia. Kriteria diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak sehat, tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive Protein. 2.7.2. Asfiksia
Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif, akumulasi CO2, dan asidosis. 2.7.3. Hipoglikemia
Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, mempunyai kadar glukosa darah <> Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding . 2.8. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan kadar bilirubin. Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi. - Pemeriksaan fungsi otak: EEG Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi. 2.9. Pengobatan 2.9.1. Transfusi Tukar
Jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tandatanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan. Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di bawah kadar yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit,
sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih 2
efektif .
Teknik transfusi tukar:
Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat.
Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana magna.
Gunakan darah segar dari donor darah (<>
Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau mengandung heparin.
Transfusi ganti diberikan biasanya 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B (diharapkan dapat menggantikan darah bayi 87 %). Setiap k ali menukar/mengambildan memasukkan darah sebesar 10-20 ml (tergantung toleransi bayi.
Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya: asfiksia dan hipoglikemia)
Bayi-bayi yang disertai anemia (HT<35 style="">partial exchange dengan PRC (25-80 ml/kg BB) sampai HT naik menjadi 40 %. Bila keadan sudah stabil, lakukan transfusi untuk mengatasi hiperbilirubinemia.
Jika mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg BB.
Pembantu mencatat volume darah yang ditukar, mengobservasi tanda vital bayi dan bisa melakukan resusitasi.
Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena.
Donor darah harus dihangatkan pada suhu 27-37 C.
Setiap 100 ml darah dikocok.
o
Alat steril.
Darah segar dipasang dengan infus set. Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan kateter v.umbilikalis.
Minimalisir efek samping dan tiap tahapan berlangsung 3-5 menit.
Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis, bisa dilakukan di v. Safena magna.
Kateter jangan terbuka terhadap udara.
Dengan jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium pratransfusi; Hb, urea N, elektrolit, kalsium, gula, SGOT,SGPT, osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur.
Masukkan darah segar 20 ml perlahan, dilakukan sampai selesai.
Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti diberi 1 ml kalsium glukonas 10%.
Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi untuk pemeriksaan pasca transfusi.
Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh diberi minum.
Transfusi dihentikan bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia, gangguan pembekuan, dan perforasi pembuluh darah. Komplikasi transfusi tukar; gangguan vaskular, kelainan jantung, gangguan elektrolit, koagulasi, infeksi, hipotermia, dan hipoglikemia.
2.9.2. Fisioterapi
Untuk tinggi,
yang
pengobatan
kekakuan intelek
bayi
otot (kognitif).
sudah
mengalami
diarahkan
dan
gerakan Dengan
pada serta
cara
cacat
fisioterapi
stimulasi ini
akibat
untuk
diharapkan
kadar
bilirubin
untuk
memperbaiki
mengoptimalkan kemampuan
terlalu
si
fungsi anak
sebisanya mendekati normal.
2.10. Prognosis
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis 2
lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining pendengaran . 2.11. Pencegahan
- Segera menurunkan kadar bilirubin indirek. - Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi, transfusi tukar. Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti dapat memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat ini 4
masih terus dikembangkan . Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai
pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk transfusi darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag 2
menambah resiko cedera neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis) . Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, 2
maka transfusi tukar darurat harus dilakukan . - Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit. - Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit. 5
- Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus . Tabel 1. Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm. Berat Badan Lahir
Tidak Ada Komplikasi
Ada Komplikasi*
(gram)
(g/dL)
(g/dL)
<>
12-13
10-12
1000-1250
12-14
10-12
1251-1499
14-16
12-14
1500-1999
16-20
15-17
2000-2500
20-22
18-20
*Komplikasi meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.
Tabel 2. Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang sehat tanpa hemolisis. Umur
Fototerapi
Fototerapi &
Transfusi Tukar
(Jam)
(g/dL)
Persiapan
Jika Fototerapi
Transfusi Tukar*
Gagal
(g/dL)
(g/dL)
<>
**
**
**
24-48
15-18
25
20
49-72
18-20
30
25
> 72
20
30
25
> 2 minggu
***
***
***
* Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif harus dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat pada kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar. ** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat. *** Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2 minggu dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan pemberian terapi maka harus diamati secara rinci, karena ikterus ini paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.
BAB III KESIMPULAN
Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh tingginya kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Kern ikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik. Penanganan ikterus harus mengikutsertakan semua aspek secara menyeluruh , mulai dari peran orang tua, tenaga medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya kern ikterus serta rehabilitasi pasca kern ikterus.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus
Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84. 2.
Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New th
Yorkl. 17 edition. Saunders. 596-598. 3.
Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97103 4.
http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
5.
http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus.htm
6.
http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
7.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0603/21/hikmah/konsultasi.htm
8.
http://adam.about.com/surgery/100018.htm#
9.
http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
10.
http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299
SILAHKAN DINIKMATI, BUKAN BUATAN SENDIRI, HANYA ARSIP DARI SENIOR
Transfusi Darah Pada Anak BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
2005 BAB I PENDAHULUAN
Transfusi darah sering menyelamatkan kehidupan, misalnya dalam kasus- kasus yang gawat, perawatan neonatus prematur yang intensif modern, anak dengan kanker, penerima cangkok 1
organ adalah tidak mungkin tanpa transfusi. Transfusi darah merupakan tindakan pengobatan pada pasien (anak,bayi dan dewasa) yang diberikan atas indikasi. Kesesuaian golongan darah 3
antara resipien dan donor merupakan salah satu hal yang mutlak.
Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam 2,3,4,5,7
sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan.
Transfusi darah telah mulai dicoba
dilakukan sejak abad ke 15 dan hingga pertengahan abad ke 17, namun berakhir dengan kegagalan, karena cara pemberiannya dan pada waktu itu dipakai sebagai sumber donornya adalah darah hewan. Melalui berbagai percobaan dan pengamatan kemudian disimpulkan bahwa manusia yang semestinya menjadi sumber darah. Namun demikian pada masa ini, karena masih banyaknya kegagalan yang berakibat kematian, transfusi darah sempat dilarang dilakukan. Pada masa ini, transfusi darah telah dikerjakan langsung da ri arteri donor ke dalam vena resipien.
2
Pemikiran dasar pada transfusi adalah cairan intravaskuler dapat diganti atau disegarkan 3
dengan cairan pengganti yang sesuai dari luar tubuh. Pada tahun 1901, Landsteiner menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian system antigen Rh (rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson di tahun 1939. Kedua system ini menjadi dasar penting bagi transfusi darah modern. Meskipun kemudian ditemukan berbagai system antigen lain seperti Duffy, Kell dan lain-lain,
tetapi system- system tersebut kurang berpengaruh. Tata cara transfusi darah semakin berkembang dengan digunakannya antikoagulan pada tahun 1914 oleh Hustin (Belgia), Agote (Argentina), dan Lewisohn (1915). Sekitar tahun 1937 dimulailah sistem pengorganisasian bank 2,3
darah yang terus berkembang sampai kini.
Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam banyak hal, dalam bidang pediatri misalnya dalam perawatan neonatus prematur, anak dengan keganasan, anak dengan kelainan defisiensi atau kelainan komponen darah, dan transplantasi organ. Namun transfusi bukanlah tanpa risiko, meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar tindakan transfusi, namun efek samping, reaksi transfusi, atau infeksi akibat transfusi tetap mungkin terjadi. Maka bila diingat dan dipahami mengenai keamanannya, indikasinya perlu diperketat. Apabila memungkinkan, masih perlu dicari alternatif lain untuk mengurangi penggunaan transfusi darah. Pemberian komponen-komponen darah yang diperlukan saja lebih dibenarkan dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood ). Prinsip ini lebih ditekankan lagi di bidang ilmu kesehatan anak karena bayi maupun anak yang sedang tumbuh sebaiknya tidak diganggu sistem imunologisnya dengan pemberian antigenantigen yang tidak diperlukan. Prinsip dukungan transfusi darah bagi anak dan remaja serupa 1,3
dengan bagi orang dewasa, tetapi neonatus dan bayi mempunyai berbagai aspek khusus.
Banyak hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan sehingga transfusi dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, salah satu tugas besar di masa yang akan datang adalah
meningkatkan
pemahaman
akan
penggunaan
transfusi
darah
sehingga
2,3
penatalaksanaannya sesuai dengan indikasi dan keamanannya dapat ditingkatkan. Referat ini diharapkan dapat menjadi penyegaran pengetahuan bagi kita dalam menghadapi kasus anak dan bayi yang memerlukan tindakan transfusi.
BAB II Darah dan Transfusi Darah 2.1. Darah sebagai organ
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam system kardiovaskular, tersusun dari (1)komponen korpuskuler atau seluler, (2)komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktuwaktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50 volume % organ darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin, berbagai fraksi globulin 2,3
serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis.
Peran penting darah adalah (1)sebagai organ transportasi, khususnya oksigen(O2), yang dibawa dari paru- paru dan diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran (CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paru- paru. Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma ikut berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam 2,3
plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh.
Selain itu, darah juga berfungsi (2)sebagai organ pertahanan tubuh(imunologik), khususnya dalam menahan invasi berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing. Mekanisme pertahanan ini
dilakukan
oleh
leukosit
(granulosit
dan
limfosit)
serta
protein
plasma
khusus
2,3
(immunoglobulin).
Fungsi lain yang tidak kalah penting yaitu (3)peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis, khususnya 2,3
jika terjadi aktifitas homeostasis yang berlebihan.
Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan jalan transfusi darah, khususnya dari komponen yang 2,3
diperlukan.
2. 2 Definisi dan tujuan transfusi darah
Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi darah resipien
sebagai 2,3,4,5,7
kehidupan.
upaya
pengobatan.
Bahkan
sebagai
upaya
untuk
menyelamatkan
Berdasarkan asal darah yang diberikan transfusi dikenal: (1) Homologous
transfusi; berasal dari darah orang lain, (2) Autologous transfusi; berasal dari darah sendiri.
4
Tujuan transfusi darah adalah: (1)mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran darah, (2)mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, (3)meningkatkan 4
oksigenasi jaringan, (4)memperbaiki fungsi homeostasis, (5)tindakan terapi khusus. 2. 3. Transfusi darah dalam klinik
Darah dan berbagai komponen- komponen darah, dengan kemajuan teknologi kedokteran, dapat dipisah-
pisahkan
dengan
suatu
proses
dan
ditransfusikan
secara
terpisah
sesuai
3
kebutuhan. Darah dapat pula disimpan dalam bentuk komponen- komponen darah yaitu: eritrosit, leukosit, trombosit, plasma dan factor- factor pembekuan darah dengan proses tertentu yaitu dengan Refrigerated Centrifuge. Pemberian
komponen-komponen
darah
yang
diperlukan
saja
lebih
dibenarkan
dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood ). Dasar pemikiran penggunaan komponen darah: (1)lebih efisien, ekonomis, memperkecil reaksi transfusi, (2)lebih rasional, karena (a)darah terdiri dari komponen seluler maupun plasma yang fungsinya sangat beragam, serta merupakan materi biologis yang bersifat multiantigenik, sehingga pemberiannya harus memenuhi syarat- syarat variasi antigen minimal dan kompatibilitas yang baik, (b) transfusi selain merupakan live saving therapy tetapi jugareplacement therapy sehingga darah yang diberikan haruslah safety blood . Kelebihan terapi komponen dibandingkan dengan terapi darah lengkap: (1)disediakan dalam bentuk konsentrat sehingga mengurangi volume transfusi, (2)resiko reaksi imunologik lebih kecil, (3)pengawetan, (4)penularan penyakit lebih kecil,
(5)aggregate trombosit dan leukosit dapat dihindari, (6)pasien akan memerlukan komponen yang 4
diperlukan saja, (7)masalah logistic lebih mudah, (8)pengawasan mutu lebi h sederhana. 2. 4. Indikasi Transfusi Darah
2,5,8,9
Secara garis besar Indikasi Transfusi Darah adalah: 1. 1. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran darah yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma bedah, atau luka bakar luas. 2. 2. Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, misalnya pada anemia, trombositopenia, hipoprotrombinemia, hipofibrinogenemia, dan lain-lain.Keadaan Anemia yang Memerlukan Transfusi Darah: 3. 1. Anemia karena perdarahan Biasanya digunakan batas Hb 7 – 8 g/dL. Bila Hb telah turun hingga 4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai kepada fase yang membahayakan dan transfusi harus dilakukan secara hati-hati. 4. 2. Anemia hemolitik Biasanya kadar Hb dipertahankan hingga penderita dapat mengatasinya sendiri. Umumnya digunakan patokan 5 g/dL. Hal ini dipertimbangkan untuk menghindari terlalu seringnya transfusi darah dilakukan. 5. 3. Anemia aplastik 6. 4. Leukemia dan anemia refrakter 7. 5. Anemia karena sepsis 8. 6. Anemia pada orang yang akan menjalani operasi 9.
2. 5. Prosedur pelaksanaan transfusi darah
10.
Banyak laporan mengenai kesalahan tatalaksana transfusi, misalnya kesalahan pemberian
darah milik pasien lain. Untuk menghindari berbagai kesalahan, maka perlu diperhatikan hal- hal dibawah ini:
1. Identitas pasien harus dicocokkan secara lisan maupun tulisan (status dan papan nama).
2. Pemeriksaan identitas dilakukan di sisi pasien.
3. Identitas dan jumlah darah dalam kemasan dicocokkan dengan formulir permintaan darah.
4. Tekanan darah, frekuensi denyut jantung dan suhu harus diperiksa sebelumnya, serta diulang secar a rutin.
5. Observasi ketat, terutama pada 15 me nit pertama setelah transfusi darah dimulai.
Sebaiknya satu unit darah diberikan dalam waktu 1-2 jam tergantung status kardiovaskuler dan 4
dianjurkan tidak lebih dari 4 jam mengingat kemungkinan proliferasi bakteri pada suhu kamar.
BAB III BERBAGAI SEDIAAN DARAH UNTUK TRANSFUSI
3. 1. MACAM- MACAM KOMPONEN DARAH Untuk kepentingan transfusi, tersedia berbagai produk darah, seperti yang tercantum dalam tabel 3.1. 2,3,4
Tabel 3. 1. Karakteristik darah dan komponen-komponen darah Komponen
Penyimpanan
Komposisi
Indikasi
Risiko
Pemberian
Whole blood
Jika disimpan di lemari pendingin
Mengandung semua Anemia
Harus diperiksa gol.
Pada saat kehilangan
(darah
pada suhu 1-5°C, memiliki masa
jenis komponen
darah ABO, cross
darah akut, secepat
Penggantian volume untuk kehilangan lengkap)
simpan sampai 21 hari untuk darah
darah Setiap unit
match dan agen-agen mungkin yang masih
darah (> 15 – 20%) sitrat (CPD/ citrate phosphate
kantung darah
infeksi. Reaksi febris
Komponen
Penyimpanan
Komposisi
dextrose), dan selama 35 hari untuk
berkapasitas 350ml
darah CPDA-1(CPD & Adenin), dan
darah dan 49ml
49 hari bila ditambahkan larutan
pengawet (anti
nutritive SADM(Nacl,
pembekuan & zat
dextrose,adenine, manitol).
Indikasi
Risiko
Pemberian
Renjatan berat
dan hemolitik
dapat ditoleransi.
Perbaikan f/ oksigenasi
Aloimunisasi
Pada kondisi lain,
terhadap antigen
diberikan dalam 2 – 4
eritrosit, leukosit
jam. 10 ml/KgBB akan
atau trombosit.
meningkatkan Ht 5% dan
Transfusi tukar
aditif) atau 250ml darah dengan 35ml
Darah sitrat yang telah dikeluarkan
mendukung volume. pengawet, dengan
dari lemari pendingin harus Ht 36 – 40%. digunakan dalam waktu 4 jam.
Packed red
Sama seperti whole blood. Penam-
Komponen ini
Anemia simptomatik, anemia karena
Sama seperti whole
Sejauh dapat ditoleransi
dipisahkan dari
keganasan, anemia aplastik, anemia
blood.
pasien dalam 2 – 4 jam.
memperlama penyimpanan hingga
donor tunggal
hemolitik, anemia defisiensi berat
42 hari.
dengan sentrifugasi dengan ancaman gagal jantung/ infeksi
meningkatkan Ht 3%.
darah lengkap.
berat
Jika status kardiovas-
Mengandung
Trauma
cells (sel darah bahan larutan rejuvenating dapat merah pekat)
Dosis 3 ml/Kg akan
kuler stabil, berikan 10 ml/KgBB dalam 2 – 4 eritrosit, leukosit, Perdarahan akut
jam. Jika tidak stabil,
trombosit dan gunakan volume yang sedikit plasma.
Kasus yang lebih kecil. membutuhkan support kardiopulmoner
Setiap unit yang siap secara intensif (Ht <> ditransfusikan memiliki nilai Ht
Anemia kronis (Ht <>
55% setelah ditambahkan larutan aditif.
Washed or iltered red
Pencucian dengan saline,akan
Sama seperti packed Px dengan alergi yang butuh transfusi
menghilangkan Ab pada sel darah
red cells
berulang
Sama seperti packed Sama seperti packed red red cells
cells
Komponen
Penyimpanan
Komposisi
cells (sel darah merah, kelebihan kalium dan sisa merah yang
Indikasi
Risiko
Pemberian
Px yang mempunyai ab terhadap
leukosit.
protein plasma
Saat sel-sel dicuci, mempunyai
Px dengan hemoglobinuria nocturnal
ketahanan 24 jam, selanjutnya
proksismal
dicuci)
bersifat sama seperti packed red cells.
Frozen-thawed Komponen sel darah
–
merah diawetkan dalam larutan
Sama seperti packed Px yang perlu transfusi antigenred cells
matched(karena Ab sel darah merah
deglycerolized gliserol, dan dibekukan, kemudian
menetap/mencegah terbentuknya Ab
RBC (sel darah dicairkan dan dicuci agar gliserol,
baru)
merah beku-
Sama seperti packed Sama seperti packed red red cells.
cells.
plasma, antikoagulan, leukosit dan Px dengan reaksi alergi
dicairkan cuci) sisa trombosit tersingkirkan.
Fresh frozen
Plasma dari whole
Mengandung > 80% Defisiensi berbagai factor pembekuan
Perlu di cross match. Secepat yang dapat
dari seluruh protein (penggantian protein plasma
Risikovolume
ditoleransi pasien, tidak
dibekukan dalam 8 jam, disimpan
plasma prokoagulan prokoagulan dan antikoagulan)
overload, penyakit
boleh >4 jam. Dosis 10 –
dibawah –18°C hingga 1 tahun
dan antikoagulan
infeksi, reaksi alergi.
15 ml/Kg mening-katkan
plasma(plasma blood, yangdipisahkan dan lalu segar beku)
Trauma dengan perdarahan hebat kadar faktor pembekuan Renjatan(syok)
Penyakit hati berat
Imunodefisiensi yang tidak tersedia preparat khusus)
Pada bayi dengan enteropati disertai hilangnya protein ( protein losing enteropathy )
10 –15%
Komponen
Penyimpanan
Komposisi
Indikasi
Cryoprecipitate Dibuat dengan membekukan plasma Mengandung faktor Terapi defisiensi faktor VIII, Von
segar hingga <-65°C, lalu dicairkan
VIII > 80 Iu/pak, XIII, Willebtand, dan fibrinogen.
18 jam pada 4°C,
fibrinogen 100 –
Risiko
Pemberian
Sama seperti fresh
Dapat diberikan sebagai
frozen plasma.
infus cepat. Dosis ½ pak/Kg BB akan
disentrifugasi, cryoprotein dipisahkan. 350/pak, dan
meningkatkan kadar
Dapat disimpan 1 tahun pada –18°C fibronectin pada
faktor VIII 80 – 100% dan
konsentrasi > dari
fibrinogen 200 – 250
plasma.
mg/dL.
Konsentrat
Dipisahkan dari plasma kaya
Setiap unit
Terapi trombositopenia atau defek
Tidak diperlukan cross Dapat diberikan sebagai
trombosit
trombosit dan disimpan pada 22°C
mengandung
fungsi trombosit.
match. Risiko lain
infus cepat atau yang
dari whole
selama 3 – 5 hari.
5x10 trombosit.
sama denganwhole
diperlukan sesuai status
blood
kardiovaskuler, tidak
10
blood
lebih dari 4 jam. Dosis 10 ml/Kg, dapat meningkatkan trombosit setidaknya 50.000/μL.
Konsentrat
Sama seperti unit donor acak
Kandungan
Sama seperti konsentrat trombosit
Sama seperti
trombosit
trombosit sama
dari whole blood , khususnya jika
konsentrat trombosit trombosit dari whole
dengan
dengan 6 – 10 unit
aloimunisasi dapat menjadi masalah
dari whole blood
teknik apheresis
konsentrat donor acak. Tergantung pada teknik yang digunakan, relatif bebas leukosit, bergu-na untuk mencegah aloimunisasi
Sama seperti konsentrat
blood
Komponen
Granulocytes
Penyimpanan
Komposisi
Meskipun dapat disimpan pada suhu Mengandung
Indikasi
Risiko
Neutropenia berat (<500/μl)>
Pemberian
Sama seperti
Diberikan sebagai infus
trombosit. Reaksi
lebih dari 2 – 4 jam.
20 – 24°C yang stabil, sebaiknya
setidaknya
ditransfusikan sesegera mungkin
1x10 granulosit,
leukostasis
Dosis: 1 unit/hari untuk
setelah pengumpulan
juga eritrosit dan
pulmoner. Reaksi
neonatus dan bayi,
trombosit.
febris berat.
1x10 granulosit/Kg.
10
9
11. 3. 2. Transfusi Eritrosit Eritrosit adalah komponen darah yang paling sering ditransfusikan. Eritrosit diberikan 1
untuk meningkatkan kapasitas oksigen dan mempertahankan oksigenasi jaringan. Transfusi sel darah merah merupakan komponen pilihan untuk mengobati anemia dengan tujuan utama adalah 2
memperbaiki oksigenisasi jaringan.
Pada anemia akut, penurunan nilai Hb dibawah 6 g/dl atau kehilangan darah dengan cepat >30% - 40% volume darah, maka umumnya pengobatan terbaik adalah dengan transfusi sel 2,3
darah merah(SDM).
Pada anemia kronik seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi SDM dimaksudkan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronik. SDM juga diindikasikan pada 3
anemia kronik yang tidak responsive terhadap obat- obatan farmakologik.
Transfusi SDM pra- bedah perlu dipertimbangkan pada pasien yang akan menjalani pembedahan segera (darurat), bila kadar Hb < st="on">Ada juga yang menyebutkan, jika kadar Hb <10gr/dl,>3 Transfusi tukar merupakan jenis transfusi darah yang secara khusus dilakukan pada neonatus, dapat dilakukan dengan darah lengkap segar, dapat pula dengan sel darah merah pekat(SDMP) / mampat(SDMM). Transfusi tukar ini diindikasikan terutama pada neonatus dengan ABO incompatibility atau hiperbilirubinemia yang tidak memberikan respon adekuat
dengan terapi sinar. Indikasi yang lebih jarang adalah DIC / pengeluaran toksin seperti pada 3
sepsis. Biasanya satu/ dua volume darah diganti.
Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain kadar Hb adalah: (1)Gejala, tanda, dan kapasitas vital dan fungsional penderita, (2)Ada atau tidaknya penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat, (3)Penyebab dan antisipasi anemia, 1
(4)Ada atau tidaknya terapi alternatif lain
Pedoman untuk transfusi pada anak dan remaja serupa dengan pada dewasa (lihat tabel 3.2) Untuk neonatus, tidak ada indikasi transfusi eritrosit yang jelas disepakati, biasanya, pada neonatus eritrosit diberikan untuk mempertahankan Hb, berdasarkan status klinisnya (lihat tabel 3.2).
1
1
Tabel 3. 2. Indikasi transfusi eritrosit pada anak Anak dan remaja
Kehilangan akut >15% volume darah sirkulasi
Hb <>
Hb <>
Hb <>
Hb <>
Bayi usia 4 bulan pertama
Hb <>
Hb <>
Hb <>
Hb <>
Hb <>
Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar eritrosit yang dipisahkan dari darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan dalam antikoagulan/medium pengawet pada nilai hematokrit kira-kira 60%. Dosis biasa adalah 10 – 15 ml/Kg, tetapi volume transfusi sangat bervariasi, tergantung pada keadaan klinis (misalnya perdarahan terus menerus atau hemolisis). Untuk neonatus, produk pilihan adalah konsentrat PRC (Ht 70 – 90%) yang 1
diinfuskan perlahan-lahan (2 – 4 jam) dengan dosis kira-kira 15 ml/KgBB.
Di Ilmu
bagian
Kesehatan
Anak FKUI-RSCM Jakarta, dosis transfusi didasarkan atas makin anemis seorang resipien, makin sedikit jumlah darah yang diberikan per et mal dalam suatu seri transfusi darah dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan, untuk menghindari komplikasi gagal jantung. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, dosis yang dipergunakan untuk menaikkan 2,3,5
Hb adalah dengan menggunakan modifikasi rumus empiris sebagai berikut:
Bila yang digunakan sel darah merah pekat (packed red cells), maka kebutuhannya adalah 2/3 dari darah lengkap, menjadi:
2,3
BB (kg) x 4 x (Hb diinginkan - Hb tercatat)
Untuk anemia yang bukan karena perdarahan, maka teknis pemberiannya adalah dengan tetesan. Makin rendah Hb awal makin lambat tetesannya dan makin sedikit volume sel darah merah yang diberikan. Jika menggunakan packed red cells untuk anemia, lihat tabel 3 .3
Tabel 3.3. Dosis PRC untuk transfusi
3
Hb penderita (g/dl)
Jumlah PRC yg diberikan dlm 3-4 jam
7- 10
10 ml/ kgBB *
5- 7
5 ml/ kgBB **
<5,>
3 ml/ kgBB**
<5,>
3 ml/ kg BB** + furosemid
<5,>
Transfusi tukar, parsial atau lengkap
3. 3. TRANSFUSI SUSPENSI TROMBOSIT Suspensi trombosit dapat diperoleh dari 1 unit darah lengkap segar donor tunggal, atau dari darah donor dengan cara/ melalui tromboferesis. Komponen ini masih mengandung sedikit sel darah merah, leukosit, dan plasma. Komponen ini ditransfusikan dengan tujuan menghentikan perdarahan karena trombositopenia, atau untuk mencegah perdarahan yang berlebihan pada 2,3
pasien dengan trombositopenia yang akan mendapatkan tindakan invasive.
Indikasi transfusi trombosit pada anak dan bayi dapat dilihat pada tabel 3.4 berikut ini.
1
Tabel 3. 4. Indikasi transfusi trombosit pada anak
Transfusi trombosit harus diberikan kepada penderita dengan angka trombosit 9
<50x10 /L, jika ada perdarahan atau direncanakan untuk mengalami prosedur invasif. Penelitian pada penderita trombositopenia dengan gagal sumsum tulang menunjukkan bahwa perdarahan spontan meningkat tajam jika trombosit turun menjadi <20>9/L. Dengan alasan ini maka banyak
dokter anak menganjurkan transfusi trombosit profilaksis untuk mempertahankan trombosit >20 9
x10 /L pada anak dengan trombositopenia karena gagal sumsum tulang. Pemberian komponen ini
sebagai
profilaksis
pada
pasien
tanpa
perdarahan
terutama
menjadi
kontroversi
bidangonkologi pediatric. Angka tersebut juga menimbulkan kontroversi karena banyak ahli 9
memilih transfusi pada batas 5-10x10 /L untuk penderita tanpa komplikasi. Meskipun demikian, transfusi dengan komponen ini mutlak diperlukan oleh pasien leukemia akut yang sedang menjalani kemoterapi, dan mengalami trombositopenia berat (trombosit <>2 , dengan perkiraan 2 1,2,3
setiap unit trombosit akan dapat meningkatkan ju mlah trombosit sebesar 10.000/m .
3. 4. TRANSFUSI SUSPENSI GRANULOSIT/ NEUTROFIL Penggunaan komponen ini untuk profilaksis juga masih kontroversi. Suspensi terbukti tidak/ kurang memberi manfaat, kecuali pada granulositopenia berat (granulosit <>2,3 Indikasi transfusi granulosit tercantum dalam tabel 3.5.
1 minggu) dan infeksi bakteri fulminan." v:shapes="_x0000_s1028" width="343" height="210"> Tabel 3. 5. Indikasi transfusi Granulosit pada anak 1 Menurut The American Association of Blood Banks merekomendasikan hal berikut: (1)Neonatus <>2,3 Transfusi granulosit harus dipertimbangkan pada penderita neuropenia, karena sering meninggal karena infeksi bakteri atau jamur yang progresif. Transfusi granulosit ditambahkan 9
pada penderita neutropenia berat (<0,5x10 /L) yang disebabkan oleh gagal sumsum tulang. Penderita neutropenia yang mengalami infeksi biasa memberi respon kepada terapi antimikroba saja asalkan fungsi sumsum tulang membaik pada awal infeksi. Penggunaan transfusi granulosit
untuk sepsis bakteri yang tidak responsif terhadap antibiotika pada penderita dengan neutropenia 1
berat (<0,5>9/L) telah didukung oleh sebagian besar penelitian, telah dilaporkan selama ini.
9
Neonatus dan bayi dengan berat badan kurang dari 10 Kg harus menerima 1 - 2x10 /Kg neutrofil tiap transfusi granulosit. Bayi dan anak yang lebih besar harus mendapat dosis total 10
10
1x10 tiap transfusi granulosit, sedangkan remaja 2 - 3x10 . Transfusi granulosit harus 9
1
diberikan setiap hari sampai infeksi menyurut atau neutrofil meningkat hingga 0,5 x10 /L.
Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, transfusi granulosit juga diberikan pada penderita leukemia, penyakit keganasan lain dan anemia aplastik dengan jumlah 3
hitung leukosit < 2000/mm dengan suhu > 39°C. Komponen yang disediakan oleh LTD-PMI 5
adalah suspensi buffy coat yang golongan darah ABO-nya cocok. 3. 5. Transfusi Plasma Segar Beku ( f resh fr ozen plasma )
Plasma segar beku adalah bagian cair dari darah lengkap yang dipisahkan kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah. Hingga sekarang, komponen ini masih diberikan untuk defisiensi berbagai factor pembekuan. (Bila ada/ tersedia, harus diberikan factor 2,3
pembekuan yang spesifik sesuai dengan defisiensinya).
Plasma beku segar ditransfusikan untuk mengganti kekurangan protein plasma yang secara klinis nyata, dan defisiensi faktor pembekuan II, V, VII, X dan XI. Kebutuhan akan plasma beku segar 1
bervariasi menurut faktor spesifik yang akan diganti.
Komponen ini dapat diberikan pada trauma dengan perdarahan hebat atau renjatan (syok), penyakit hati berat, imunodefisiensi tanpa ketersediaan preparat khusus, dan pada bayi dengan enteropati disertai kehilangan protein ( protein losing enteropathy).Meskipun demikian, penggunaan komponen ini sekarang semakin berkurang. Dan bila diperlukan, maka dosisnya 2040 ml/ kgBB/hari.
2,3
Indikasi lain transfusi plasma beku segar adalah sebagai cairan pengganti selama penggantian plasma pada penderita dengan purpura trombotik trombositopenik atau keadaan lain
dimana plasma beku segar diharapkan bermanfaat, misalnya tukar plasma pada penderita dengan perdarahan dan koagulopati berat. Transfusi plasma beku segar tidak lagi dianjurkan untuk penderita dengan hemofilia A atau B yang berat, karena sudah tersedia konsentrat faktor VIII dan IX yang lebih aman. Plasma beku segar tidak dianjurkan untuk koreksi hipovolemia atau sebagai terapi pengganti imunoglobulin karena ada alternatif yang lebih aman, seperti larutan 1
albumin atau imunoglobulin intravena.
Pada neonatus, transfusi plasma beku segar memerlukan pertimbangan khusus. Indikasi transfusi plasma beku segar untuk neonatus meliputi: (1)Mengembalikan kadar eritrosit agar mirip darah lengkap untuk kepentingan transfusi masif, misalnya pada transfusi tukar atau bedah jantung; (2)Perdarahan akibat defisiensi vitamin K; (3)Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dengan perdarahan; (4)Perdarahan pada defisiensi faktor koagulasi kongenital bila terapi yang 1
lebih spesifik tidak tersedia atau tidak memadai. Pedoman transfuse FFP pada anak, dapat dilihat pada tabel 3.6 berikut.
Tabel
3. 1
6. Indikasi transfusi plasma beku segar pada anak
12.
3. 6. Transfusi Kriopresipitat
Komponen ini diperoleh dengan mencairkan plasma segar beku pada suhu 40ºC dan kemudian bagian yang tidak mencair, dikumpulkan dan dibekukan kembali. Komponen ini mengandung faktor VIII koagulan/ anti hemophilic globulin(AHG) sebanyak 80-120 unit, factor 2,3,5
XIII yang cukup banyak, factor von Willebrand, dan 150-200 mg fibrinogen.
Komponen ini digunakan untuk pengobatan perdarahan, atau pada persiapan pembedahan penderita hemofilia A, penyakit von Willebrand, dan hipofibrinogenemia serta kadang diberikan juga pada DIC. Dosis yang dianjurkan secara empiris 40-50 unit/ kgBB sebagai loading dose, yang diteruskan dengan 20-25 unit / kgBB setiap 12 jam, sampai perdarahan telah 2,3
sembuh.
Panggunaannya pada penderita hemofilia A, yaitu untuk menghentikan perdarahan karena berkurangnya AHG. AHG ini tidak bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit,
atau
eritrosit,
tetapi
pemberian
yang
berulang-ulang
dapat
menimbulkan
pembentukkan antibodi yang bersifat inhibitor terhadap faktor VIII. Oleh karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis maksimal, tetapi diberikan sesuai dosis optimal 5
untuk suatu keadaan klinis, seperti pada tabel 3.7 berikut.
Tabel 3. 7. Hubungan faktor VIII dan gejala perdarahan pada hemofilia Kadar Faktor VIII (%)
Gejala
1
Perdarahan spontan sendi dan otot
1 – 5
Perdarahan hebat setelah luka kecil
5 – 25
Perdarahan hebat setelah operasi
25 – 50
Cenderung perdarahan setelah luka atau operasi
Cara pemberian kriopresipitat adalah dengan menyuntikkan secara IV langsung, tidak melalui tetesan infus. Komponen ini tidak tahan dalam suhu kamar, jadi diberikan sesegera 5
mungkin setelah mencair.
3. 7. Konsentrat factor VIII (factor anti hemofilia A)
Komponen ini merupakan preparat kering yang mengandung konsentrat factor VIII, prokoagulan, yang diperoleh dari kumpulan (pooled) plasma dari sekitar 2000-30.000 donor. Hasil dimurnikan dengan teknik monoclonal, dan dilakukan penonaktifan virus melalui misalnya
pemanasan (heattreated ). Pengemasan dalam botol berisi 250 dan 1.000 unit. Dosis pemberian sama dengan kriopresipitat.
2,3
3. 8. Kompleks factor IX Komponen ini disebut juga kompleks protrombin, mengandung factor pembekuan yang tergantung vitamin K, yang disintesis di hati, seperti factor VII, IX, X, serta protrombin. Sebagian ada pula yang mengandung proteinC. Komponen ini biasanya digunakan untuk pengobatan hemofilia B. Kadang diberikan pada hemofilia yang mengandung inhibitor factor VIII dan pada beberapa kasus defisiensi 2,3
factor VII dan X. Dosis yang dianjurkan adalah 80-100 unit/kgBB setiap 24 jam.
3. 9. Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang dapat diperoleh dengan cara fraksionisasi Cohn. Larutan 5% albumin bersifat isoosmotik dengan plasma, dan dapat segera meningkatkan volume darah. Komponen ini digunakan juga untuk hipoproteinemia (terutama hipoalbuminemia), luka bakar hebat, pancreatitis, dan neonatus dengan hiperbilirubinemia. Dosis disesuaikan dengan kebutuhan, misal pada neonatus hiperbilirubinemia perlu 1-3g/kgBB dalam bentuk larutan albumin 5%.
2,3
3. 10. Imunoglobulin
Komponen ini merupakan konsentrat larutan materi zat anti dari plasma, dan yang bakudiperoleh dari kumpulan sejumlah besar plasma. Komponen yang hiperimun didapat dari donor dengan titer tinggi terhadap penyakit seperti varisela, rubella, hepatitisB, atau rhesus. Biasanya diberikan untuk mengatasi imunodefisiensi, pengobatan infeksi virus tertentu, atau infeksi bakteri yang tidak dapat diatasi hanya dengan antibiotika dan lain-lain. Dosis yang digunakan adalah 1 -3 ml/kgBB.
3. 11. Transfusi darah autologus
2,3
Transfusi jenis ini menggunakan darah pasien sendiri, yang dikumpulkan terlebih dahulu, untuk kemudian ditransfusikan lagi. Hal ini sebagai pilihan jika pasien memiliki zat anti dan tak ada satu pun golongan darah yang cocok, juga jika pasien berkeberatan menerima donor orang lain. Meski demikian, 2,3
tetap saja tidak lepas sama sekali dari efek samping dan reaksi transfusi seperti terjadinya infeksi.
BAB IV
Komplikasi Transfusi Darah
4. 1. Reaksi transfusi darah secara umum
Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan
dan
kesiapan
untuk
mengatasi
setiap
reaksi
transfusi
yang
mungkin
terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap memasang infus untuk pemberian 2,3
cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga dan bank darah. 13.
4. 2. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena 2,3
kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan diberikan.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock ), koagulasi intravaskuler 2,3
diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut: (a)meningkatkan 2,3
perfusi ginjal, (b)mempertahankan volume intravaskuler, (c)mencegah timbulnya DIC. 14.
4. 3. Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi 2,3
tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya ekstravaskuler.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal 2,3
ginjal, penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.
4. 4. REAKSI TRANSFUSI NON-HEMOLITIK 1. Demam
Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat peranan sitokin (IL-1 dan IL-6). Umumnya 2,3
reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya. 2. Reaksi alergi
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di dalam plasma donor yang
bereaksi dengan antibodi IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda transfusi. Pemberian 2,3
antihistamin dapat menghentikan reaksi tersebut. 3. Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah 2,3
angioedema, muka merah ( flushing ), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan renjatan.
Penatalaksanaannya adalah (1)menghentikan transfusi dengan segera, (2)tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid, (3)berikan antihistamin dan epinefrin. Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan. Apabila terjadi hipoksia, berikan oksigen dengan kateter 2,3
hidung atau masker atau bila perlu melalui intubasi. 4. 5. Efek samping lain dan resiko lain transfusi
4. 5. 1. Komplikasi dari transfusi massif
Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume darah yanglebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam.
4
Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya
beberapa
komplikasi 4
hemostatik, acute lung injury.
diantaranya
adalah
kelainan
jantung,
asidosis,
kegagalan
15.
4.5. 2. Penularan penyakit Infeksi
16.
a. Hepatitis virus
17.
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar pada transfusi darah.
Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000.
2,3
18.
b. AIDS (Acqui r ed I mmun e Defi ciency syndrome)
19.
Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu 2,3
dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan ketat. 20.
c. Infeksi CMV
21.
Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir premature atau pasien
dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini menetap di leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. 2,3
Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV ini. 22.
d. Penyakit infeksi lain yang jarang
23.
Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi adalah
malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease). 24.
2,3
Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat pengumpulan darah yang akan
ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA ditambah dengan pemberian 2,3
antibiotic yang adekuat.
) 25. e. GVHD(Gr aft versus H ost di sease
26.
GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien dengan
imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini terjadi oleh karena limfosit donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini 2,3
dapat dicegah dengan pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit rendah.
BAB V Pemeriksaan Yang Berhubungan Dengan Transfusi Darah Untuk mengetahui jenis pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum transfusi dan hal-hal yang kemungkinan akan terjadi setelah transfusi, haruslah diketahui beberapa unsur yang ada di dalam darah yang akan ditransfusikan.Unsur penting yang harus diketahui karena mempunyai unsur antigenik adalah: 27.
1. Eritrosit: Untuk eritrosit, diperlukan pemeriksaan penggolongan darah menggunakan sistem ABO, Rhesus (Rh), MNS dan P, Kell, Lutheran, Duffy, Kidd, Lewis, dan lain-lain.
28. 2. Leukosit dan trombosit: Walaupun sifat antigenik pada leukosit dan trombosit relatif lemah, tetapi saat ini menjadi penting sekali di bidang transplantasi organ, karena bersifat antigen jaringan. 29. 3. Serum: Sifat antigeniknya lemah, tetapi kadang dapat menimbulkan reaksi transfusi
5,6,9
Transfusi darah yang ideal haruslah mempunyai sifat antigeni darah donor yang cocok seluruhnya terhadap antigen resipien. Hal ini sangat sulit dalam pelaksanaannya. Untuk keperluan praktis, umumnya secara rutin dilakukan pengujian sebagai berikut:
30. 1. Golongan darah donor dan resipien dalam sistem ABO dan Rhesus, untuk menentukan antigen eritrosit. Menentukan golongan Rhesus dilakukan dengan meneteskan complete anti 5
D pada eritrosit yang diperiksa (lihat tabel 5.1).
Tabel 5. 1. Uji golongan darah ABO Ditetesi uji sera Eritrosit Golongan Anti A
Anti B
Anti AB
A
+
-
+
B
-
+
+
AB
+
+
+
O
-
-
-
31. 2. Reverse Groupin g , yaitu menentukan antibodi dalam serum donor dan resipien, terutama 5
mengenai sistem ABO (lihat tabel 5.2).
Tabel 5. 2. Reverse Grouping Ditetesi eritrosit yang diketahui Serum Golongan Darah Sel A
Sel B
A
-
+
B
+
-
AB
-
-
O
+
+
32. 3. Cr oss match Setelah golongan darah ditentukan, kemudian dilakukan cross match dari darah donor dan resipien yang bersangkutan. Ada dua macam cross match, yaitu major cross match (serum
resipien ditetesi eritrosit donor), dan minor cross match(serum donor ditetesi eritrosit resipien). Cross match yang lengkap haruslah dalam tiga medium, yaitu: a. NaCl Fisiologis b. Enzim (metode enzim) c. Serum Coombs (metode Coombs tidak langsung) Semua pemeriksaan harus dilakukan dalam tabung serologis dan setiap hasil yang negatif harus dipastikan secara mikroskopis. Untuk pemeriksaan yang lengkap tersebut diperlukan waktu 2 jam. Dalam keadaan darurat dapat dikerjakan cross match dalam NaCl fisiologis pada
gelas
obyek.
Bahayanya
adalah
tidak
dapat
ditentukan
adanyaincomplete 5
antibody dalam darah resipien atau donor, sehingga risiko reaksi transfusi makin besar.
33. 4. Pemeriksaan lain terhadap infeksi. Misalnya lues, malaria, hepatitis, dan HIV (lihat 5,6,9
tabel 5.3).
Tabel 5. 3. Risiko transmisi agen-agen infeksi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan rutin
terhadap produk-produk darah Penyakit
5,6,9
Transmisi
Risiko rendah, spirochaeta tidak dapat
Sifilis
ditransmisikan melalui darah segar dan mati bila disimpan selama 72 jam dalam suhu 4°C
Perkiraan
Prosedur dan
risiko
prosespemeriksaan
Riwayat donor, RPR atau VDRL
transmisi
<>
Darah yang diambil saat fase prodromal dapat mentransmisikan virus. Infeksi melalui transfusi
Hepatitis A
jarang terjadi, karena viremia fase akut penyakit yang hebat, tidak ada karier asimtomatik, dan
Riwayat donor
1 : 1.000.000
tidak ada transmisi pada individu yang ditransfusi ganda. Viremia yang lama pada penyakit ini dan adanya Riwayat donor, 1 : 250.000 – 1 Hepatitis B karier asimtomatik membuat insidens hepatitis Pemeriksaan penjaringan : 30.000 B sebagai infeksi yang ditransmi-sikan melalui HbsAg, Hepatitis Non-A
transfusi yang tinggi. Insidens dapat diturunkan
Non-B, Hepatitis C, dan
melalui pemeriksaan penjaringan
enterovirus
⅓ kasus hepatitis Non-A Non-B post-transfusi adalah hepatitis C. Ciri khas virus ini mirip
Hepatitis C dengan HBV. Infeksi hepatitis C dapat berakibat
Riwayat donor. Pemeriksaan ALT, HBc, anti HCV.
1 : 100.000
peningkatan insidens sirosis hepatis dan Pemeriksaan genom
penyakit hepar terminal.
Hepatitis Non-A Non-B
virus.
Bukan kasus spesifik, tetapi dikelompokkan
Tidak
Riwayat donor
sebagai agen bukan HAV, HBV, HVC, vir us
diketahui,
Epstein-Barr, dan sitomegalovirus, yang dapat
Pemeriksaan ALT dan
sekitar
menyebabkan hepatitis post transfusi
anti HBc
1 : 100.000
Riwayat donor, penjaringan Anti HIV dengan
HIV 2, HIV 2
Retrovirus sitotoksik yang penyebarannya dapat EIA,konfirma-si dengan melalui kontak seksual, parenteral (termasuk
Western Blot,
melalui transfusi), dan vertikal.
pemeriksaan antigenP ,
24
1 : 2.000.000 – 1 : 500.000
asam nukleat untuk genom virus Riwayat donor, peme-
HTLVI,HTLV-II
Retrovirus yang penyebarannya dapat melalui
riksaan HTLV-I dan II
kontak seksual, parenteral (termasuk melalui
dengan enzyme
transfusi), dan vertikal, yang dapat
immunoassay screening
menyebabkan keganasan limfoid dan mielopati
test , konfirmasi dengan
1 : 600.000
Western Blot
Keterangan: ALT = Alanine Transaminase; HAV, HBV, HCV = Virus hepatitis A, Virus hepatitis B, Virus hepatitis C; HTLV = Human T-cell lymphotropic virus; RPR = rapid plasma reagin; VDRL = pemeriksaan sifilis.
36.
34.
BAB VI
35.
Penutup
Transfusi darah merupakan bentuk terapi yang dapat menyelamatkan jiwa. Berbagai
bentuk upaya telah dan hampir dapat dipastikan akan dilaksanakan, agar transfusi menjadi makin aman, dengan resiko yang makin kecil. Meskipun demikian, transfusi darah belum dapat
3
menghilangkan secara mutlak resiko dan efek sampingnya. Haruslah „terpatri dalam benak‟ kita bahwa transfusi darah adalah upaya untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah perburukan, dan jangan dilakukan semata- mata untuk mempercepat penyembuhan. Untuk itulah indikasi transfusi haruslah ditegakkan dengan sangat hati- hati, karena setiap transfusi yang tanpa indikasi adalah suatu kontraindikasi. Maka untuk memutuskan apakah seorang pasien memerlukan transfusi atau tidak, harus mempertimbangkan keadaan pasien menyeluruh. Pada pemberian transfusi sebaiknya diberikan komponen yang diperlukan secara spesifik untuk mengurangi resiko terjadinya reaksi transfusi. Indikasi untuk pelaksanaan transfusi didasari oleh 3
penilaian secara klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. 37.
Menyadari hal ini, maka perlu kiranya mereka yang terlibat dalam praktek transfusi darah
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ilmu kedokteran transfusi (transfusion medicine).
38. 39.
DAFTAR PUSTAKA
1. Strauss RG, Transfusi Darah dan Komponen Darah , dalam Nelson Ilmu Kesehatan
Anak (Nelson Textbook of Pediatrics), 1996, Jakarta, EGC, volume 2, Edisi 15, halaman: 1727-1732 40.
2. Djajadiman Gatot, Penatalaksanaan Transfusi Pada Anak dalam Updates in Pediatrics
Emergency, 2002, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, halaman: 28-41 41.
3. Ramelan S, Gatot D, Transfusi Darah Pada Bayi dan Anak dalam Pendidikan
Kedokteran berkelanjutan (Continuing Medical Education) Pediatrics Updates, 2005, Jakarta, IDAI cabang Jakarta, halaman: 21-30