PENYAKIT AUTOIMUN 1. DEFINISI
Penyakit autoimun didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh ketidakberaturan dari fungsi sistem imun yang menyebabkan sistem imun seseorang membentuk antibodi yang menyerang jaringan tubuhnya sendiri, keadaan dimana terjadi respon imun yang menyerang dirinya sendiri karena gagalnya mekanisme toleransi imun disebut dengan autoimunitas. Sedangkan toleransi imun merupakan suatu keadaan unresponsiveness unresponsiveness dari sistem imun terhadap jaringan tubuh orang itu sendiri (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010; Viswanath, 2013 ). Melalui definisi ini jelaslah bahwa adanya autoimunitas menunjukan terganggunya mekanisme toleransi imun. Untuk mengetahui bagaimana itu semua bisa terjadi, kita akan bahas mekanisme toleransi imunologis yang normal terlebih dahulu 2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit autoimun umumnya masih dianggap sebagai penyakit yang jarang terjadi, tapi efeknya akan morbiditas dan mortalitas pasien masih signifikan, secara rata rata prevalensi penyakit autoimun yang dihitung dari populasi dunia adalah 3-5%. Ironisnya meskipun saat ini terdapat kemajuan besar dalam diagnosis dan tatalaksana dari penyakit autoimun data mengenai etiologi penyakit yang menyebabkan proses patologis masih kurang (Wang et all, 2015). Insidensi dan prevalensi bervariasi sesuai dengan penyakit autoimunya. Geoepidemiologi dari penyakit autoimun bervariasi sesuai dengan umur, dan gender dengan perbandingan wanita: pria mulai 10:1 sampai 1:1 dengan perkecualian chron disease dengan ratio 1:1.2 ( lebih banyak pada gender pria) (Wang et all, 2015). Studi mengenai data epidemiologi mengenai penyakit autoimun yang meningkat telah dilakukan oleh Lerner et all (2015) dimana studi ini dilakukan di negara negara barat menggunakan metode sistematik review yang berasal dari 30 studi selama 30 tahun terakhir yang diidentifikasi menggunakan Medline, Google, dan Cochrane library database mendapatkan database mendapatkan hasil terdapat peningkatan 1
penyakit Rematik 7.1% per tahun, penyakit autoimun endokrin 6.3% per tahun, penyakit autoimun gastrointestinal 6.2% per tahun, dan penyakit autoimun neurologi sebesar 3.7% per tahun
Tabel 1. Epidemiologi penyakit autoimun (Wang et all, 2015)
Gambar 1. Presentase kenaikan kenaikan penyakit autoimun pertahun (Lerner et all, 2015)
2
3. TOLERANSI IMUNOLOGI
Mekanisme proteksi yang kuat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif terhadap antigen sel tubuh sendiri yang disebut toleransi. Mekanisme tersebut dapat primer terjadi pada organ limfoid primer, seperti sumsum tulang dan timus, yang disebut toleransi sentral dan di perifer yang disebut toleransi perifer. Toleransi terhadap antigen sendiri terjadi selama hidup fetal melalui inaktivasi atau dihancurkan limfosit self-reaktif. Proses tersebut disebut clonal abortion, clonal deletion atau seleksi negative. Tubuh mempunyai mekanisme kuat untuk mencegah terjadinya autoimunitas. Sel T terutama sel CD4+, memilki peran sentral dalam mengontrol hampir semua respon imun. Oleh karena itu toleransi sel T merupakan hal yang jauh lebih penting dibandingkan toleransi sel B. hampir semua sel B yang self reaktif tidak akan dapat memproduksi autoantibodi kecuali bila menerima bantuan yang benar dari sel T. A. Toleransi Sel T
Sel T yang diproduksi dalam sumsum tulang, memasuki timus, berkembang dalam timus melalui berbagai fase : double negative, double positive, seleksi positive, dan seleksi negative dan toleransi. 1) Toleransi Sentral
Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptida asal protein sendiri. Sel T diproduksi dalam sumsum tulang, namun pematangan dan perkembangannya terjadi dalam timus. Prekursor Sel T yang berasal dari sumsum tulang, bermigrasi melalui darah ke korteks kelenjar timus. Sel T tersebut merupakan sel T prekursor yang memiliki gen TCR yang tidak disusun dan tidak mengekspresikan CD4 atau CD8. Timosit mula-mula ditemukan dibagian luar korteks. Gen TCR mulai disusun, CD3, CD4, CD8 dan TCR diekspresikan. Selama pematangannya, sel melewati korteks ke medulla, CD4, CD8 (negative berganda) berkembang melalui CD4+ , CD8− yang selanjutnya berkembang menjadi CD4− , CD8− 3
atau CD4− , CD8+ (positif tunggal) yang disusul dengan perkembangan TCRβ, kemudian TCRα.
Gambar 2. Sel prekusor hemopoietik yang berasal dari sumsum tulang akan masuk ke korteks timus dan diberi nama sel timosit double negative (karena tidak mengekspresika CD4 dan CD8), dalam perkembangannya sel timosit dari tahap DN2 ke DN4 mulai mengekspresikan pre TCR. Sukses dalam pembentukan pre TCR akan membuat sel DN4 menjadi sel timosit double positif (DP) yang dimaksud double positif adalah sel timosit mengkespresikan TCR, CD4 dan CD8 dipermukaannya. Nasib timosit DP selanjutnya tergantung pada ikatannya dengan MHC kelas I atau MHC kelas II untuk berubah menjadi sel single posiif, dimana kita akan menyebutnya sebagai sel T sitotoksik dan sel T helper (Germain, T cell Development and the CD4 CD8 lineage decision. Nature Imunonology Review 2002)
Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam perkembangannya di timus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan timosit yang self-reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif , sel hidup
4
melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T dengan TCR yang gagal berikatan dengan self-MHC dalam timus akan mati melalui apoptosis . Ikatan sel T dengan reseptornya dengan afinitas rendah akan tetap hidup dan memiliki potensi untuk mengikat komplek peptide-MHC dan memberikan awal respon imun protektif kemudian. Namun sel T yang mengikat kompleks peptide-MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan memiliki
potensi
untuk
mengenal
self-antigen
yang
menimbulkan
autoimunitas. Oleh karena itu sel-sel tersebut disingkirkan, dan proses itu disebut seleksi negative atau edukasi timus . Diduga 90% timosit mengalami proses seleksi negative, dihancurkan dan gagal untuk berfungsi.
Gambar 2. Proses seleksi Negatif dan Positif Toleransi sentral sel T (Wang et all, 2015)
Proses edukasi timus itu hanya sebagian berhasil. Hal ini berarti bahwa sel T yang self-reaktif masih dapat ditemukan pada individu sehat. Kegagalan edukasi timus tersebut disebabkan oleh karena banyak self-peptida tidak diekspresikan dalam jumlah yang cukup dalam timus untuk dapat menginduksi seleksi negative. Kebanyakan peptide yang ditemukan dan diikat MHC dalam timus berasal dari bahan intraseluler yang ada dimana-mana 5
dalam tubuh atau protein yang diikat membrane atau dalam cairan ekstraseluler. Tidak semua self-antigen ditemukan dalam timus. Beberapa antigen spesifik untuk jaringan, misalnya insulin masih diekspresikan ditimus. Jadi toleransi timus hanya diinduksi terhadap beberapa protein jaringan spesifik. Tidaklah mengherankan bila respon sel T terhadap protein jaringan spesifik dapat ditemukan pada orang normal. Pada beberapa hal, sel T (juga sel B dalam sumsum tulang) yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negative dalam timus dan muncul diperifer. Toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut yang dapat diartikan sebagai inaktivasi sel T (dan B) yang masih selfreaktif diperifer. 2) Toleransi Perifer
Regulasi fungi sel T terus menerus diperlukan meskipun sel T sudah meninggalkan timus. Proses tersebut penting untuk mencegah putusnya toleransi bila sel T terpajan dengan self-antigen yang tidak ditemukan dalam timus. Toleransi perifer merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau terjadi bila ada klon sel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer. Jadi tubuh masih memiliki sistem kontrol kedua terhadap sel yang potensial autoreaktif yang dikenal sebagai toleransi perifer. Ada mekanisme yang dapat mencegah toleransi perifer seperti ignorance,anergi dan kostimulasi dan mekanisme regulasi oleh sel Treg. a)
Ignorance
Ignorance
imunologis
adalah
keadaan
bila
antigen
tidak
dihiraukan/tidak kelihatan/dikenal oleh sistem imun. Ignorance terjadi melalui berbagai mekanisme misalnya tidak adanya cukup pemisahan anatomik atau kompertementasi atau sekuesterasi seperti sawar darah-otak, lensa mata, testis, antigen dalam organ avascular seperti humor vitreus dimata, meskipun jumlah antigen terbatas dapat terlepas dari tempat tersebut. Karena lokasinya tersebut, antigen tertentu tidak ditemukan 6
limfosit reaktif pada kondisi normal. Antigen tersebut tak pernah dipajankan dengan sel imun hingga tidak akan terjadi reaksi imun. Namun akibat infeksi atau cidera, antigen yang tidak pernah dikenal limfosit selama perkembangannya akan terpajan dengan sistem imun yang akan memberikan respon. b)
Sel T autoreaktif yang dipisahkan
Self-antigen dan limfosit juga dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit yang terbatas, sehingga membatasi limfosit naïf yang tidak bebas bergerak ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Distribusi molekul MHC-II terbatas pada APC seperti SD, yang berarti bahwa molekul organ spesifik tidak diekpresikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi sel T. untuk mencegah sejumlah besar self-antigen terpajan dengan APC yang memiliki banyak petanda pengenal, sisa-sisa degradasi jaringan sendiri harus disingkirkan dan dihancurkan. Hal ini terjadi melalui proses apoptosis, yang dapat mencegah tersebarnya isi sel serta sejumlah mekanisme scavenger. Yang akhir melibatkan sistem komplemen, ACP dan sejumlah reseptor pada fagosit. c)
Anergi dan kostimulasi
Anergi dan kostimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang lebih aktif. Sel yang self-reaktif disingkirkan melalui apoptosis atau induksi anergi/keadaan tidak reponsif. Untuk mengawali respon imun, sel CD4 naif memerlukan dua sinyal untuk diaktifkan : sinyal antigen spesifik melalui TCR dan sinyal kostimulator non-spesifik, biasanya sinyal dari CD8 yng mengikat family B7 (CD80 atau CD 86). Stimulasi sel T tanpa molekul kostimulator juga menimbulkan kematian sel.
7
Gambar 2. mekanisme toleransi perifer sel T (Walker, 2002)
B. Toleransi Sel B 1) Toleransi Sentral
Sel B imatur yang merupakan sel terdini dalam perkembangan sel, mengekspresikan BCR. Seleksi terhadap sel B autoreaktif mulai terjadi pada stadium ini dan terjadi dalam sumsum tulang. BCR berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Bila BCR tidak berikatan dengan antigen spesifik, sinyal BCR tetap ada pada ambang basal dan sel memasuki fase transisi untuk dilepas ke sirkulasi perifer. Sel B imatur yang terpajan dengan antigen ekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. Sel B tersebut akan menginisiasi proses untuk mengedit reseptor / memproduksi BCR dengan spesifitas untuk dapat mengikat antigen baru. Bila BCR tidak dapat diubah dengan efektif, sel B imatur akan disingkirkan melalui apoptosis. Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self-reaktif (seleksi negative) pada toleransi sel T berlaku juga untuk sel B. Sel B yang self-reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang. Toleransi sentral sel B terjadi bila sel 8
B imatur terpajan dengan self-antigen yang multivalent dalam sumsum tulang. Hal tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifitas baru yang disebut receptor editing. 2) Toleransi perifer
Seperti dengan sel T, sel B terus berfungsi dalam pengawasan perifer untuk mempertahankan toleransi. Meskipun sel B terbanyak yang meninggalkan sumsum tulang adalah toleran terhadap self-antigen. Namun, beberapa sel terlepas dari proses seleksi negative. Untuk mencegah autoimunitas, ada proses pencegahan toleransi kedua diperifer. Setelah meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative imatur, bermigrasi ke zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Siklus sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari. namun beberapa sel B antigen dengan aviditas tinggi berperan dalam respons terhadap antigen asing. C. Inersia dan Anergi
Inersia
adalah
imunosupresi
yang
berhubungan
dengan
antigen
histokompatibel yang terjadi misalnya selama hamil, berupa supresi reaktivitas imun ibu terhadap antigen histokompatibel janin. Anergi adalah menurunnya atau menghilangnya fungsi sel B atau sel T (seperti terlihat pada reaksi DTH-tes kulit dengan PPD, histo plasmin dan kandidin).
Anergi
diinduksi
oleh
pengenalan
antigen
tanpa
adanya
kostimulator yang cukup dan dapat diinduksi o leh mutasi antigen peptide. D. Regulasi Oleh Antigen dan Antibodi 1) Regulasi oleh antigen
Antigen diperlukan untuk mengawali respon imun yang derajatnya dipengaruhi faktor genetik (gen MHC). Tidak semua suntikan antigen menimbulkan respons imun. Respon imun dipengaruhi jenis antigen, larut atau berupa partikel, dosis, waktu pemberian, sifat dan komposisi antigen (protein atau hidrat arang). 9
2) Regulasi oleh antibodi
Pembentukan antibodi berakhir dalam pencegahan umpan balik. Antibodi dapat meningkatkan atau mencegah produksi immunoglobulin (IgG, umpan balik negative). Timbulnya antibodi IgM berakhir dalam penghentian produksinya dan mulainya sintesis IgG. Hal ini diduga terjadi oleh karena adanya kompetisi antigen dan reseptor untuk IgG pada permukaan sel B. demikian pula bila kadar antibodi meningkat, kadar antigen akan menurun. E. Terminasi Toleransi 1) Berbagai cara manipulasi
Beberapa jenis toleransi dapat diakhiri dengan manipulasi melalui beberapa cara sebagai berikut : a) Suntikan dengan sel T normal dapat mengakhiri toleransi terhadap γ globulin heterolog. b) Suntikan sel alogenik dapat mengakhiri atau mencegah toleransi. Mekanismenya tidak spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan aktivasi populasi asal sel T yang tidak responsive. c) Suntikan LPS, yan g merupakan activator sel B poliklonal dapat mengakhiri toleransi sel B kompeten dan tidak m elibatkan sel T. 2) Komplek antigen-antibodi
Komplek antigen-antibodi kadang-kadang dapat menimbulkan toleransi melalui blockade reseptor. Tetapi komplek imun dapat pula jadi sangat imunogenik, tergantung dari sifat dan perbandingan antigen dan antibodi. 3) Molekul Pembawa Non-imunogenik
Molekul pembawa nonimunogenik seperti molekul sendiri atau molekul yang sulit dirusak dapat mengubah tolerogenisitas hapten yang pada keadaan biasa antigenik. 4) Peran Sel-sel Asesori Pada Toleransi
APC dan makrofag merupakan sel-sel pertama yang bekerja dalam respon imun. Pada umumnya bila antigen sampai dikenal makrofag, 10
imunitas akan diperoleh. Bila makrofag dilewati, beberapa jenis toleransi dapat terjadi. Rusaknya makrofag oleh berbagai bahan yang terjadi sebelum antigen diberikan, dapat menimbulkan toleransi. APC mempresentasikan antigen ke sel T naïf dan perkembangan sel T naïf selanjutnya menjadi Th1, Th2, atau Th3 tergantung dari sitokin. Parasit intraseluler menginduksi terutama produksi IL-12 dan Th1, sedangkan parasit ekstraseluler menginduksi produksi IL-4 atau IL-13. Sel Th1 memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor. Toleransi bersifat epitope spesifik, tidak ada respon terhadap semua atau hanya pada epitope dari antigen tertentu. Deviasi imun ( split tolerance) hanya mengenai respon humoral atau seluler saja, tetapi tidak keduanya. F. Pengamanan dan Pencegahan 1) Peran Sel Tr pada toleransi perifer
Sel Tr bekerja dijaringan limfoid dan tempat inflamasi. Sel Tr merupakan subset sel T CD4+ khusus, mengekpresikan rantai IL-2Rα (CD25) kadar tinggi. Sel T regulator atau Th3 memproduksi sitokin imunosupresif IL-10 yang berperan dalam toleransi, menghambat fungsi APC dan aktivitas makrofag serta TGF-β yang menghambat profliferasi sel T dan juga makrofag. Sel Tr dibentuk dari timosit selama seleksi negative ditimus. Sel Tr timbul dari subset sel T yang mengekspresikan reseptor dengan afinitas sedang untuk self-antigen dalam timus. Sel Tr terbentuk oleh pengenalan self-antigen dalam timus kadang disebut sel regulator alamiah, mungkin sebagian kecil timbul oleh pengenalan antigen dijaringan limfoid perifer (Tr Adaptif). Sel Ts/Tr menekan aktivitas sel Th. Mekanisme supresi oleh sel Tr terjadi melalui sitokin yang diproduksinya oleh rangsangan antigen yaitu IL-10 dan TGF-β yang merupakan supresor kuat aktivasi sel T. Bila sel Ts/Tr/Th3 dipindahkan pada resipien normal, maka imunitas terhadap antigen spesifik tertentu akan tetap dicegah. Fenomena itu disebut toleransi infektif.
11
2) Presentasi Antigen
Secara teoritis, APC dapat menolak untuk mempresentasikan antigen sendiri ke sel T, tetapi dalam kenyataannya molekul MHC kadang mengikat dan mempresentasikan peptida sendiri. 3) Eliminasi Klon
Menurut Burnet dan Medawar (seleksi klon) interaksi antara antigen dan klon imatur limfosit yang sudah mengekspresikan reseptor antigen akan menimbulkan toleransi. Hal ini dapat terjadi pada sel T dalam timus dan sel B dalam sumsum tulang. 4) Reseptor Sel B
Reseptor sel B (Ig) dapat dipenuhi antigen yang tidak menimbulkan aktivasi sel. Sel B janin dapat melepaskan Ig, tetapi tidak mampu untuk mengikat antigen. 5) Reseptor Sel T
Reseptor sel T hanya timbul bila diaktifkan atas pengaruh antigen spesifik yang larut. Bila sel T dibiakkan tanpa serum sendiri terjadi bunuh diri yang menunjukkan adanya faktor blockade dalam serum. 6) Jaring anti-idiotip
Seperti halnya dengan sel Ts/Tr, AAI ditemukan pada hewan dengan autoimunitas yang nampaknya mengatur reaksi yang terjadi. AAI adalah antibodi terhadap region ikatan epitope dari antibodi asli. AAI tersebut dapat menurunkan regulasi respon imun dan dapat mencegah epitope yang merupakan pencetus efektif untuk proliferasi limfosit. G. Induksi Toleransi
Tolerogen
adalah
antigen
yang
dapat
menginduksi
toleransi
imunologik. Terjadinya toleransi atau imunitas sebagai respon terhadap antigen tergantung dari berbagai variabel seperti keadaan fisik antigen, rute pemberian, ambang maturasi sistem imun resipien atau kompetensi imun. Pada umumnya toleransi lebih mudah diinduksi pada sel imatur dibanding sel matang dan toleransi dapat diinduksi dengan antigen dosis lebih kecil. 12
Menginduksi toleransi sel T lebih mudah dan toleransinya lebih lama dibandingkan dengan sel B. 1) Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih tolerogeni, oleh karena APC tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula oleh karena reseptor limfosit dan rangsangan sel T dicegah. 2) Rute Fetal (neonatal)
Toleransi dapat diinduksi dengan inokulasi sel alogenik ke neonates atau janin in utero sebelum sistem imun resipien menjadi matang. 3) Toleransi oral-rute oral
Tidak adanya respon oral merupakan kemampuan selektif sistem imun mukosa agar tidak memberikan respon imun terhadap antigen dalam makanan dan mikroorganisme. Toleransi oral diduga berkembang untuk memudahkan sistem imun saluran cerna terpajan dengan protein eksternal tanpa menimbulkan sensitasi. 4) APC, Anti-MHC
Hal yang menghambat fungsi APC seperti bantuan antibodi untuk molekul MHC, akan menurunkan imunogenitas dan membantu terjadinya toleransi. Intervensi presentasi antigen dapat ditimbulkan sel T yang tidak memerlukan APC. Antibodi terhadap molekul MHC dapat menerangkan efek transfuse darah dalam memperbaiki masa hidup transplan ginjal. 5) Dosis Tinggi Antigen
Antigen dosis tinggi biasanya lebih tolerogenik, meskipun pemberian dosis rendah yang berulang-ulang dapat pula menimbulkan toleransi sel T. 6) Bunuh Diri
Antigen yang diikat oleh obat toksik, radioisotope dan lainnya dapat mencari sel T atau sel B dan membunuhnya tanpa merusak sel-sel lain.
13