TEORI TRAUMA KEPALA
DEFINISI
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011). Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011). Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi teta pi disebabkan oleh serangan/benturan s erangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robekannya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008). Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam t ajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, kuli t, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.
EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010). Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan coba, kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada tahun 1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada tengkorak manusia, dan 3 tahun kemudian, (Pudenz and Shelden, 1947) merekam fenomena ini pada tengkorak monyet
yang
digantikan
dengan
plastik
transparan.
Perkembangan
teknologi
memungkinkan dengan Computed Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempelajari efek linier dan angular akselerasi pada otak pasien percobaan (Bayly dkk, 2005). Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular), dan besar serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak. Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala (Goldsmith, 1966); benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap. Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam (Youmans, 2011). Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering
mengakibatkan defleksi kepala dan leher bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan).
Cedera
lainnya
merupakan
trauma
penetrasi
atau
luka
tembak
yang
mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti membutuhkan intervensi pembedahan. 2. Beratnya Cedera Kepala Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran. Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada 1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak (Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14- 15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:
3. Morfologi Cedera Kepala Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya trauma (Sastrodiningrat, 2006). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala
tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006). Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas ( Pascual et al, 2008): a. Laserasi Kulit Kepala Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini. b. Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi: 1) Fraktur Linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. 2) Fraktur Diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. 3) Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur. 4) Fraktur impresi Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
5) Fraktur basis cranii Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media. c. Luka memar (kontusio) Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004). d. Abrasi Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak. e. Avulsi Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).
ETIOLOGI
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan/energi yang diteruskan
ke
otak
dan
efek
percepatan
dan perlambatan (akselerasi
deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, kecelakaan industri, serangan dan yang berhubungan dengan olahraga. Menurut Mansjoer (2011), cidera kepala penyebab sebagian besar kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
PATOFISIOLOGI
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011): 1. Cedera Otak Primer Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996). Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat pada CT scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun global (Valadka, 1996). Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskular pada fase lanjut (late phase), terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi: a. Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi) b. Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia) c. Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah (Ingebrigtsen, et al. 1998). Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
2. Cedera Otak Sekunder Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid. Perburukan mekanis awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada perubahan jaringan yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh darah. Cedera ini akan di ikuti oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur biologis intraselular dan ekstraseluler yang dapat muncul dalam menit, jam, maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala primer (Cloots dkk, 2008). Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera kepala sekunder yang dipengaruhi hipoksia, hipotensi, odema serebri, dan akibat peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK). Faktor sekunder inilah yang akan memperberat cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome pasien (Czosnyka dkk, 1996). Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini : a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas : 1) Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/ intraserebral).
2) Edema serebral. b. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : 1) Penurunan tekanan perfusi serebral. 2) Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial. 3) Hiperpireksia dan infeksi. 4) Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi. 5) Vasospasme serebri dan kejang Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis (Riahi, 2006). Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, neutrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008). Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine deadly H’s adalah
hipoksemia
pneumotorak),
(hipoksia,
hiperkapnia
(hipermetabolisme/respon
anemia),
hipotensi
(depresi
nafas),
stres),
hiperglikemia,
(hipovolemia,
hipokapnea
gangguan
(hiperventilasi),
hipoglikemia,
jantung, hipertermi
hiponatremia,
hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon, 1995). Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Batticaca (2008), manifestasi klinis dari cedera kepala meliputi gangguan kesadaran,perubahan tanda-tanda vital, abnormalias pupil, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang dan syok akibat multisistem.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisagas darah. 2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. 3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontrasradioaktif. 4. Cerebral
Angiography:
menunjukkan
anomali
sirkulasi
cerebral,
seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dantrauma. 5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahanstruktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorakmaupun thorak. 6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahansubarachnoid. 7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar
Elektrolit
: Untuk
mengkoreksi keseimbangan
elektrolit sebagaiakibat
peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2010).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegahterjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktorsistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringanotak. (Tunner, 2000) Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000)Penatalaksanaan umum adalah: 1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi 2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma 3. Berikan oksigenasi 4. Awasi tekanan darah 5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik 6. Atasi shock 7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya : 1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosissesuai dengan berat ringannya trauma. 2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangivasodilatasi. 3. Pemberian analgetika 4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atauglukosa 40 % atau gliserol 10 %. 5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin). 6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidakdapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin,aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudiandiberikana makanan lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari),tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringerdextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hariselanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:
1. Pemantauan TIK dengan ketat 2. Oksigenisasi adekuat 3. Pemberian manitol 4. Penggunaan steroid 5. Peningkatan kepala tempat tidur 6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain yaitu: 1. Dukungan ventilasi 2. Pencegahan kejang 3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi 4. Terapi anti konvulsan 5. Klorpromazin untuk menenangkan klien 6. Pemasangan selang nasogastrik. (Mansjoer, dkk, 2000)
KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak 1. Edema serebral dan herniasi Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72 jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma. 2. Defisit neurologik dan psikologik Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia (tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy. 3. Komplikasi secara traumatic : a. Infeksi sistemik (sepsis) b. Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, meningitis, ventrikulitis dan abses otak) 4. Komplikasi lain: Peningkatan TIK, kegagalan nafas , dan diseksi ekstrakrania l
Daftar Pustaka
1. Batticaca Fransisca, C. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika 2. Arief Mansjoer. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius. 3. Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika 4. Valadka AB, Narayan, RK. 1996. Emergency room Management of The Head Injured Patient, in Narayan, RK; Wilberger,JE; Povlhock, JT (eds): Neurotrauma. New York. Mc.Graw-Hill, p 120 5. Youmans, J.R.. 2011. Trauma : Neurological Surgery, 6th ed, Volume 3, W.B. Saunders Company, New York 6. Brain
Injury
Association
of
America.
2006.
Types
of
Brain
Injury.
http://www.biausa.org/pages/type of brain injury. html. 7. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. 8. Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. (2004). Edisi 7. Jakarta : IKABI. 9. Sastrodiningrat, A.G., 2006. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa cedera kepala berat. Majalah Kedokteran Nusantara, Vol 39(3): pp.37-41 10. Pascual, J.L., 2008. Injury to the Brain. Trauma :contemporary principles and therapy. Philadelphia: pp.276-88.