BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu wadah aktivitas mega kompleks baik antara manusia dengan manusia maupun dengan lingkungan di sekitarnya. Pertumbuhan kota berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan tuntutan gaya hidup serba praktis dan modern. Akibatnya, kota menjadi tidak ramah dengan penduduknya, terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial di setiap sudut kota, timbul kemacetan, polusi menyebar menyelubungi kota, dan lain sebagainya. Perencanaan kota merupakan suatu desain dan pengaturan penggunaan ruang yang berfokus pada bentuk fisik, fungsi ekonomi, dan dampak sosial dari lingkungan perkotaan serta lokasi kegiatan yang berbeda di dalamnya. Sejak ratusan tahun yang lalu, bukti-bukti perencanaan kota telah ditemukan di banyak reruntuhan kota-kota kuno di dunia. Hal ini membuktikan bahwa perencanaan kota merupakan suatu tatanan ilmu yang sudah dipelajari oleh nenek moyang kita, meski dalam taraf yang masih sangat rendah. Salah satu cabang dari perencanaan kota adalah perencanaan tata guna lahan (land use planning). Semakin banyaknya keragaman aktivitas perkotaan menarik banyak masyarakat untuk mengadu nasib di perkotaan sehingga meninggikan arus urbanisasi. Hal ini mengakibatkan banyaknya permintaan akan penyediaan lahan untuk menampung penduduk kota yang jumlahnya terus meningkat. Di sisi lain, lahan merupakan sumberdaya yang sangat terbatas dan tidak dapat diciptakan atau diperbarui, sehingga masalah yang sering muncul adalah menjamurnya slum and squatter area pada kawasan perkotaan. Keitidaksiapan pemerintah kota dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kota terutama dalam hal kependudukan ini juga turut menjadi factor utama munculnya area permukiman liar dan kumuh di kota. Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan dan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan di Indonesia. Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya.Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini dapat
Land Use Planning
|
1
menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak berkelanjutan dan menyebabkan suatu lahan menjadi tidak produktif. Maka dari itulah diperlukan pemahaman mengenai
teori-teori mengenai
perencanaan tata guna lahan wilayah untuk dapat menyusun rencana tata guna lahan bagi rencana pengembangan kota ke depannya. Dengan demikian diharapkan produk rencana terkait guna lahan dapat dirumuskan dengan memperhatikan keberlanjutan dan produktivitas lahan yang akan direncanakan.
1.2 Tujuan dan Sasaran Tujuan dari penyusunan dokumen ini adalah untuk dapat memahami teori-teori yang berhubungan dengan land use planning serta preseden kasus yang terkait sehingga diharapkan nantinya dapat merencanakan penggunaan lahan sesuai dengan teori yang ada sehingga rencana dapat tersusun dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa sasaran yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut: a. Mencari dan mengumpulkan berbagai macam teori terkait land use planning dari berbagai literatur b. Memahami teori-teori yang telah terkumpul melalui diskusi kelompok c. Mencari dan memahami preseden kasus terkait fenomena perencanaan tata guna lahan di Indonesia dan di negara lain d. Membuat kesimpulan berdasarkan teori dan preseden kasus yang telah dipahami
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Cakupan dari pembahasan land use planning theory ini adalah segala hal yang terkait dengan perencanaan tata guna lahan yang ada di Indonesia dan di dunia secara umum. Adapun lingkup pembahasannya adalah sebagai berikut: a. Pengertian Dasar Land Use Melingkupi pembahasan mengenai pemahaman awal mengenai definisi-definisi istilah tentang tata guna lahan sebagai intro untuk dapat memahami pembahasan selanjutnya. b. Paradigma Penggunaan Lahan Melingkupi pembahasan mengenai paradigma atau konsep penggunaan lahan, terutama oleh masyarakat Indonesia. c. Urgensi Land Use Planning Melingkupi pembahasan mengenai urgensi atau tingkat kepentingan perencanaan tata guna lahan sebagai bagian dari perencanaan wilayah dan kota. Land Use Planning
|
2
d. Proses Dasar Land Use Planning Melingkupi pembahasan mengenai tahapan yang dapat dilakukan dalam merencanakan penggunaan atau pemanfaatan lahan suatu kawasan. e. Teori Perencanaan Tata Guna Lahan Melingkupi pembahasan mengenai teori-teori tentang perencanaan tata guna lahan oleh berbagai macam ahli sebagai dasar dalam melakukan tindakan perencanaan tata guna lahan. f. Model Perencanaan Guna Lahan Melingkupi pembahasan mengenai model atau jenis-jenis perencanaan tata guna lahan sebagai aplikasi dan implementasi dari teori perencanaan tata guna lahan dalam tindakan perencanaan tata guna lahan secara umum. g. Peran Perencana dalam Perencanaan Guna Lahan Melingkupi pembahasan mengenai peran seorang perencana (planner) dalam keikutsertaannya dalam melakukan perencanaan tata guna lahan sebagai salah satu bagian dari disiplin ilmunya. h. Land Use Planning Issues Melingkupi pembahasan mengenai kasus-kasus perencanaan tata guna lahan di Negara Indonesia dan negara lain sebagai perbandingan sehingga dapat memperkaya wawasan dan inovasi dalam pembuatan rencana.
Land Use Planning
|
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dasar Lahan adalah keseluruhan kemampuan muka daratan beserta segala gejala di bawah permukaannya yang bersangkut paut dengan pemanfaatannya bagi manusia. Pengertian tersebut menunjukan bahwa lahan merupakan suatu bentang alam sebagai modal utama kegiatan, sebagai tempat di mana seluruh makhluk hidup berada dan melangsungkan kehidupannya dengan memanfaatkan lahan itu sendiri. Sedangkan penggunaan lahan adalah suatu usaha pemanfaatan lahan dari waktu ke waktu untuk memperoleh hasil. Lahan merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem yang struktural dan fungsional. Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh berbagai macam sumberdaya serta intensitas interaksi yang berlangsung antar sumberdaya. Faktor-faktor penentu sifat dan perilaku lahan tersebut terbatas ruang dan waktu. Pengembangan lahan adalah pengubahan guna lahan dari suatu fungsi menjadi fungsi lain dengan tujuan untuk mendapat keuntungan dari nilai tambah yang terjadi karena perubahan guna lahan tersebut. Tata guna lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsifungsi tertentu,misalnya fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dll. Rencana tata guna lahan merupakankerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait tentang lokasi, kapasitas dan jadwalpembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Tata guna lahan merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan. Keseimbangan antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi merupakan kunci dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Tata guna lahan dan pengembangan lahan dapat meliputi: a. Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban sebagai puast pemukiman yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, kegiatan dan atau status hukum. b. Perkotaan, merupakan pusat pemukiman yang secara administratif tidak harus berdiri sendiri sebagai kota, namun telah menunjukkan kegiatan kota secara umum dan berperan sebagai wilayah pengembangan
Land Use Planning
|
4
c. Wilayah, merupakan kesatuan ruang dengan unsur-unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pengamatan administratif pemerintahan ataupun fungsional d. Kawasan, merupakan wilayah yang mempunyai fungsi dan atau aspek/pengamatan fungsional tertentu e. Perumahan, adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi sarana dan prasarana lingkungan f. Permukiman, adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasn lindung ,baik yang berupa perkotaan maupu pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yangmendukung kehidupan Perencanaan tata guna lahan adalah inti praktek perencanaan perkotaan. Sesuai dengan kedudukannya dalam prencanaan fungsional, perencanaan tata guna lahan merupakan kunci untuk mengarahkan pembangunan kota. Hal itu ada hubungannya dengan anggapan lama bahwa seorang perencana perkotaan adalah “seorang yang berpengetahuan secara umum tetapi memiliki suatu pengetahuan khusus.” Pengetahuan khusus kebanyakan perencana perkotaan ialah perencana tata guna lahan. Pengembangan tata guna lahan yang disesuaiakan dengan meningkatkan perekonomian suatu kota atau wilayah. Catanesse (1988: 281), mengatakan bahwa secara umum ada 4 kategori alat-alat perencanaan tata guna lahan untuk melaksanakan rencana, yaitu: a. Penyediaan Fasilitas Umum Fasilitas umum diselenggarakan terutama melalui program perbaikan modal dengan cara melestarikan sejak dini menguasai lahan umum dan daerah milik jalan (damija). b. Peraturan-peraturan Pembangunan Ordonansi yang mengatur pendaerahan (zoning), peraturan tentang pengaplingan, dan ketentuan-ketentuan hukum lain mengenai pembangunan, merupakan jaminan agar kegiatan pembangunan oleh sektor swasta mematuhi standar dan tidak menyimpang dari rencana tata guna lahan. c. Himbauan, Kepemimpinan, dan Koordinasi Sekalipun sedikit lebih informal daripada program perbaikan modal atau peraturanperaturan pembangunan, hal ini dapat menjadi lebih efektif untuk menjamin agar gagasan-gagasan,
data-data,
informasi
dan
risat
mengenai
pertumbuhan
dan
perkembangan masyarakat daat masuk dalam pembuatan keputusan kalangan developer swasta dan juga instansi pemerintah yang melayani kepentingan umum.
Land Use Planning
|
5
d. Rencana Tata Guna Lahan Rencana saja sebenarnya sudah merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan serta saran-saran yang dikandungnya selama itu semua terbuka dan tidak basi sebagai arahan yang secara terus-menerus untuk acuhan pengambilan keputusan baik bagi kalangan pemerintah maupun swasta. Suatu cara untuk melaksanakan hal itu adalah dengan cara meninjau, menyusun dan mensahkan kembali rencana tersebut dari waktu ke waktu. Cara lain adalah dengan menciptakan rangkaian bekesinambungan antara rencana tersebut dengan perangkat-perangkat pelaksanaan untuk mewujudkan rencana tersebut.
2.2 Paradigma Penggunaan Lahan Dalam perencanaan penataan ruang suatu kawasan sangat perlu memperhatikan perencanaan penggunaan lahannya, karena dalam hakikatnya pada suatu lahan di dalamnya terjadi interaksi langsung dengan aktivitas manusia (biologis, sosial, budaya) dengan lingkungannya. Paradigma yang terjadi dalam penggunaan lahan bergeser dari waktu ke waktu karena adanya beberapa faktor, antara lain: a. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman b. Perkembangan kapasitas teknologi c. Pertumbuhan kesadaran sosial Begitu pula dalam perencanaan tata guna lahan, paradigma-paradigma yang terjadi di dalam konteks perencanaan ruang suatu kawasan antara lain: a. Pemujaan Suatu penghormatan terhadap fitur-fitur alam (gunung, bukit, hutan, laut) di mana menganggap hal tersebut sesuatu yang sakral dan dipercaya mempunyai suatu nilai adat yang dianggap baik dalam kalangan masyarakatnya. Ketika lahan tersebut dianggap suci/sakral maka akan memunculkan polemik bahwa lahan tersebut tidak dapat diganggu gugat pemanfaatannya. b. Eksploitasi Tingginya permintaan masyarakat akan kebutuhan lahan yang terus meningkat sedangkan ketersediaan akan lahan yang terbatas sehingga memaksa akan adanya perubahan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah yang ada. c. Apresiasi Suatu penghargaan atau penilaian terhadap suatu lahan yang ada dengan cara mengenali, menilai dan membandingkan suatu lahan tersebut akan nilai guna lahan tersebut.
Land Use Planning
|
6
d. Konservasi Upaya untuk mempertahankan, memelihara, memperbaiki atau merehabilitasi, dan meningkatkan jumlah daya tanah, agar berdayaguna optimum sesuai dengan pemanfaatan atau fungsinya. Konservasi meliputi masalah-masalah sebagai berikut: - Benefisiasi, yaitu mempertahankan serta mempertinggi fungsi, manfaat, atau faedah sumberdaya tertentu. - Preservasi, yaitu pemeliharaan untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas sumberdaya tertentu sepanjang waktu. - Restorasi, yaitu pemeliharaan dan perbaikan untuk meningkatkan manfaat serta perkembangan sumber-sumber biotik. - Reklamasi, yaitu mengubah sumber-sumber yang tidak produktif atau tidak berguna menjadi produktif dan bermanfaat kembali. - Efisiensi, yaitu pemanfaatan atau pengeluaran sesuatu sumber yang tidak berlebihan tetapi sesuai dengan keperluan atau kebutuhan.
2.3 Urgensi Land Use Planning Mengingat pentingnya tanah bagi kelangsungan hidup manusia karena adanya beberapa nilai yang terkandung di dalamnya, maka penting pula dilakukan penataan atas segala jenis aktivitas di dalamnya. Berbagai macam aktivitas manusia, yang seringkali bertentangan satu sama lain, dapat mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam penggunaan lahan. Pengembangan sebuah kawasan yang mulanya merupakan kawasan pertanian menjadi kawasan industri tentu saja akan membawa dampak yang tidak ringan. Selain dari segi lingkungan, dampak yang kemudian muncul adalah adanya perubahan jumlah bangkitan di kawasan tersebut, perubahan sosial masyarakatnya, hingga kesenjangan fungsi antara kawasan industri baru dengan kawasan permukiman penduduk di sekitarnya. Perencanaan tata guna lahan juga diperlukan agar fungsi-fungsi yang direncakan dapat saling menunjang keberadaannya. Contohnya adalah lahan yang dimanfaatkan sebagai kawasan perkantoran berada di dekat kawasan komersil atau pemerintahan yang relatif lebih mudah dijangkau. Perencanaan tata guna lahan juga diharapkan mampu meminimalkan besarnya bangkitan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain karena adanya aktivitas-aktivitas yang tidak bisa dipenuhi dalam satu tempat. Karena itulah perencanaan tata guna lahan tidak dapat dipisahkan dengan sistem transportasi sebab dari adanya suatu guna lahan tertentu sering diikuti oleh adanya bangkitan transportasi di sekitarnya. Land Use Planning
|
7
2.4 Proses Dasar Land Use Planning Survey pendahuluan untuk memperoleh data dasar, yang meliputi studi pustaka, survey primer di lapangan, dan mengkompilasi data dasar menggunakan paduan peta tematik. Studi pustaka ini dipergunakan untuk mengetahui tujuan, prinsip, dan standar minimal terkait penggunaan suatu guna lahan. Misalnya guna lahan perumahan, perdagangan, industri, perkantoran, dsb yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Melakukan penilaian kapabilitas lahan dari hasil survey dan menganalisis kesesuaian lahan dengan aktivitas. Hal ini dilakukan melalui analisis SKL (satuan kemampuan lahan) yang melihat kondisi fisik dasar suatu wilayah, persebaran sarana, dan tata guna lahan eksisting untuk mengetahui pola aktivitas eksisting. Identifikasi sifat dan pola perkembangan kota. Apakah terpusat atau bisa jadi meloncar (leap-frog). Selain itu juga mengidentifikasi kawasan yang belum berkembang dan pusat-pusat aktivitas untuk membaca pola pertumbuhan kota dan memprediksi perkembangan di masa mendatang. Menyiapkan rencana lokasi dan tujuan untuk peruntukkan guna lahan.
Gambar (1) Proses Inventarisasi Eksisting Lahan Perkotaan
Gambar (2) Analisis Arah Perkembangan Penggunaan Lahan
Land Use Planning
|
8
2.5 Teori Perencanaan Tata Guna Lahan 2.5.1 Teori Konsentris Teori konsentris dikemukakan oleh E.W. Burgess dalam analisisnya pada Kota Chicago pada tahun 1925 dengan analogi dari dunia hewan di mana suatu daerah akan didominasi oleh suatu spesies tertentu. Seperti halnya pada wilayah perkotaan akan terjadi pengelompokan tipe penggunaan lahan tertentu. Berikut merupakan gambaran model zona konsentris oleh Burgess:
Keterangan: 1. Daerah pusat kegiatan 2. Zona peralihan 3. Zona perumahan pekerja 4. Zona permukiman yang lebih baik 5. Zona para penglaju
Gambar (3) Model Teori Konsentris Burgess
Model Burgess merupakan suatu model yang diperuntukkan bagi kota yang mengalami migrasi besar-besaran dan pasar perumahan didominasi oleh sektor privat. Dengan demikian bagi kota yang tingkat migrasinya rendah dan peranan sektor public sangat besar, maka teori ini menjadi kurang relevan. Teori Konsentris Burgess memiliki beberapa kelemahan antara lain: a. Pada kenyataannya gradasi antar zoona tidak terlihat dengan jelas b. Bentuk CBD kebanyakan memiliki bentuk yang tidak teratur c. Perkembangan kota cenderung mengikuti rute strategis d. Homogenitas internal yang tidak sesuai dengan kenyataan e. Slum area tidak selalu berada di area pusat kota
2.5.2 Teori Ketinggian Bangunan Teori Ketinggian Bangunan dikemukakan oleh Bergel pada tahun 1955 yang menyebutkan bahwa penggunaan lahan tidak hanya dipertimbangkan dari jaraknya dari pusat kota saja (distance decay principle from the center) melainkan juga jaraknya dari tanah (height decay principle from the ground). Berikut merupakan
Land Use Planning
|
9
kurva hubungan antara penggunaan lahan dengan ketinggian bangunan menurut Bergel:
Gambar (4) Kurva Teori Ketinggian Bangunan Bergel
2.5.3 Teori Sektor Homer Hoyt pada tahun 1939 menyebutkan bahwa pola sektoral yang terjadi pada suatu wilayah bukanlah suatu hal yang kebetulan tetapi merupakan asosiasi keruangan dari beberapa variabel yang ditentukan oleh masyarakat. Variabel yang dimaksud merupakan kecenderungan masyarakat dalam menempati daerah yang mereka anggap nyaman dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kota secara sektoral tidak terjadi secara acak melainkan mengikuti pola atau perkembangan tertentu. Berikut merupakan gambaran model teori sektor oleh Hoyt:
Keterangan: 1. Daerah pusat kegiatan (CBD) 2. Wholesale light manufacturing 3. Permukiman kelas rendah 4. Permukiman kelas menengah 5. Permukiman kelas tinggi
Gambar (5) Model Teori Sektor Hoyt
Land Use Planning
|
10
2.5.4 Teori Poros Teori Poros dicetuskan oleh Babcock pada tahun 1932 sebagai respon akan Teori Konsentris Burgess. Teori ini mendasarkan penggunaan lahan pada peranan sektor transportasi. Keberadaan jalur transportasi akan menyebabkan distorsi pada pola konsentris, sehingga daerah yang dilalui oleh jalur transportasi akan memiliki perkembangan fisik yang berbeda dengan daerah yang tidak dilalui oleh jalur transportasi. Berikut merupakan gambaran model Teori Poros oleh Babcock:
Keterangan: 1. Pusat Kegiatan (CBD) 2. Transistion Zone: Major Roads 3. Low Income Housing: Railways 4. Middle Income Housing
Gambar (6) Model Teori Poros Babcock
2.5.5 Teori Pusat Kegiatan Banyak Teori Pusat Kegiatan Banyak (Multi Nuclei) dikemukakan oleh Harris and Ulmann pada tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pusat kegiatan tidak selalu berada pada posisi di tengah-tengah suatu wilayah (center). Lokasi-lokasi keruangan yang terbentuk tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh factor jarak dari CBD sehingga membentuk persebaran zona-zona yang teratur namun berasosiasi dengan sejumlah faktor yang akan menghasilkan pola-pola keruangan yang khas. Berikut merupakan gambaran model Teori Multi Nuclei oleh Harris and Ulmann:
Land Use Planning
|
11
Keterangan: 1. Central business district 2. Wholesale light manufacturing 3. Low class residential 4. Medium class residential 5. High class residential 6. Heavy manufacturing 7. Outlying business district 8. Residential suburb Gambar (7) Model Multiple Nuclei
9. Industrial suburb
2.5.6 Teori Ukuran Kota Teori Ukuran Kota menyebutkan bahwa kota memiliki 5 tingkatan pertumbuhan sebagai berikut: a. Infantile Towns, ditandai dengan distribusi pertokoan dan perumahan yang belum tertata rapi dan belum ada pabrik-pabrik maufaktur b. Juvenile Towns, ditandai dengan adanya gejala difirensiasi zona dan toko-toko serta perumahan sudah mulai terpisah c. Adolescent Towns, ditandai dengan kemunculan pabrik-pabrik manufaktur tetapi belum ada perumahan kelas tinggi d. Early Mature Towns, ditandai dengan sudah adanya segregasi yang jelas antara perumahan kelas tinggi dengan zona lainnya e. Mature Towns, ditandai dengan adanya pemisahan daerah perdagangan, industri, serta daerah perumahan dengan kelas yang bervariasi.
2.5.7 Teori Historis Dalam Teori Historis, perkembangan suatu kota dikaitkan dengan ageing structures,
sequent
occupancy,
population
growth,
serta
available
land.
Perkembangan kota terjadi dalam 3 fase, yaitu: a. Fase 1, perkembangan transportasi dan komunikasi namun perkembangan kota terjadi kea rah periphery atau pinggiran b. Fase 2, mulai merasakan dampak negative dari desentralisasi seperti pemborosan infrastruktur, spekulan tanah, dsb c. Fase 3, terjadi urban renewal yaitu perpindahan penduduk kembali ke pusat kota
Land Use Planning
|
12
2.5.8 Teori Lokasi Von Thunen Von Thunen mencetuskan teori mengenai lahan kota dalam perspektif ekonomi yaitu dengan pemodelan lokasi pertanian. Dasar dari Teori Von Thunen adalah konsep sewa ekonomi (economic rent), yang menyebutkan bahwa: a. Sewa ekonomi berbanding lurus dengan jarak, sehingga sewa ekonomi juga bisa disebut sebagai sewa lokasi (location rent). b. Tipe lahan yang berlainan akan menghasilkan hasil bersih (sewa) yang berlainan pula. c. Semua petani akan memproduksi jenis tanaman yang memungkinkannya menghasilkan sewa tertinggi dan memberikan keuntungan maksimal. Dengan demikian Von Thunen juga menyebutkan bahwa adanya perbedaan dalam zona lahan dan struktur ruang kota mengindikasikan: a. Kegiatan tertentu hanya mampu membayar pada tingkat tertentu b. Harga pada tingkat tertentu dipengaruhi oleh lokasinya dari titik referensi yang biasanya adalah pusat kota atau CBD.
Gambar (8) Kurva Teori Lokasi Von Thunen
2.5.9 Teori Nilai Lahan Teori nilai lahan menyebutkan klasifikasi tinggi rendahnya suatu jenis penggunaan lahan berdasarkan beberapa faktor, sebagai contoh: a. Lahan Pertanian, tinggi rendahnya nilai lahan bergantung pada: - Faktor kesuburan; - Faktor drainase; - Faktor aksesibilitas, dsb. Land Use Planning
|
13
b. Lahan Perkotaan, tinggi rendahnya nilai lahan bergantung pada: - Faktor aksesibilitas lokasi (kemudahan pergerakan); - Faktor potential shopper; - Faktor kelengkapan infrastruktur, dsb.
2.6 Model-model Perencanaan Guna Lahan 2.6.1 Masa Sebelum Adanya UU tentang Perencanaan Tata Guna Lahan Sebelum pemerintah mengeluarkan PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, perencanaan tataguna lahan di Indonesia kebanyakan mengacu pada UU Pertanahan Agraria yang dimuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk terpeliharanya tingkat kesuburan tanah. Dalam undang-undang tersebut belum dijelaskan secara detil tentang teknis bagaimana pemanfaatan lahan dilakukan. Dalam UU Pokok Agraria hanya menekankan bahwa penggunaan lahn haruslah mensejahterakan masyarakat serta tidak merusak kesuburan tanah tersebut. Pernyataan ini menimbulkan berbagai persepsi di kalangan perencana di Indonesia. Sebagian menganggap bahwa memanfaatkan tanah untuk mendapatkan hasil sebesar – besarnya demi kepenting masyarakat adalah hal yang harus dilakukan tanpa memikirkan dampak lingkungan dari kegiatan yang berlangsung di atas lahan tersebut. Sebelum adanya PP No. 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, selama ini Pemerintah Indonesia menggunakan model perencanaan lahan yang diwarisi dari Pemerintah Hindia Belanda.
2.6.2 Model Tata Guna Lahan Menurut PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah a. Model Zoning Menurut model ini, tanah di suatu wilayah atau daerah tertentu dibagi dalam beberapa zona penggunaan atau kepentingan-kepentingan, kegiatankegiatan, dan atau usaha-usaha yang dilakukan. Sebagai contoh, model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago antara lain:
Land Use Planning
|
14
- Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”. - “The zona in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan. - “The zona of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah. - “The residential zona” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya - “The commuters zona” merupakan wilayah diluar batas kota. Model zoning yang dikemukakan oleh Burgess ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model zoning ini antara lain: - Tugas perencana penggunaan tanah cukup sederhana. Perencana memiliki tugas yang lebih mudah, melakukan zoning berdasarkan pengelompokan kegiatan serta bagaimana caranya perencana meletakkan suatu kegiatan di atas lahan tertentu sehingga mendapat keuntungan ekomis maksimal tetapi juga tetap meperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan yang berlangsung diatasnya (analisis lokasi) - Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat. Model zoning juga diatur dalam UUTR Nomor 26 Tahun 2007. Didalmnya tlah di atur hak dan kewajiban masyarakat yang menepati suatu zona tertentu serta telah diatur bagaimana teknis penggunaan lahan untuk suatu aktivitas Sedangkan kekurangan dari perencanaan guna lahan dengan model zoning antara lain adalah: - Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zona-zona tertentu. - Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata. Pada suatu saat, suatu zona akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi. Contoh umunya adalah zona ekonomi biasanya terletak di pusat-pusat kota dengan infrastruktur memadai. Hal ini akan berbeda dengan missal zona pertanian dimana infrastrukturnya masih belum baik dan akses yang sulit. b. Model Terbuka Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zona-zona penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk Land Use Planning
|
15
mencari lokasi yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta. Dalam menentukan lokasi penggunaan lahan dalam model ini ada beberapa factor yang menentukan, antara lain: - Data kemampuan fisik tanah Data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas ATLAS. Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar tinggi dan tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan dibedakan menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah tanah usaha. Wilayah tanah usaha dibedakan menjadi wilayah tanah usaha terbatas dan tanah dengan ketinggian lebih dari 1.000 m. Perbedaan ketinggian tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan tanah. - Keadaan sosial ekonomi masyarakat Keadaan social ekonomi meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan penduduk & mata pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll. Data ini penting untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan. - Keadaan lingkungan hidup Untuk mengetahui pengaruh pembangunan terhadap lingkungan hidup dilakukan dengan ANDAL (analisa dampak lingkungan). - Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut. Perlunya mengetahui kepemilikan lahan di wilayah yang diencanakan memudahkan perencana jika suatu ketika dalam rencana yang dibuat diperlukan pembelin lahan. Perencananaan model ini memiliki prinsip yang harus ditaati oleh perencana. Dimana prinsip ini berperan sebagai penjaga hak – hak masyarakat yang lahannya menjadi objek perencanaan tata guna lahan. Pinsip – prinsip tersebut antara lain: - Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan. Kebalikan daari model zoning dimana meletakkan kegiatan sesuai dengan tema apa yang telah di zona tertentu. Model ini berusaha mencarikan lahan sebagai wadah kegiatan yang sebelumnya telah ditentukan. - Tersedianya peta penggunaan tanah bukan merupakan tujuan tetapi berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mecapai tujuan pembangunan. Berbeda dengan Land Use Planning
|
16
model zoning yang produk perencanaannya berupa peta tata guna lahan, model ini menjadikan peta tata guna lahan untuk memilih lahan yang tepat bagi aktiitas / kegiatan yang telah ditentukan. - Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan suatu bagi manusia, tetapi kegiatan yang ada di atasnyalah yang memberikan manfaat dan kemakmuran. Prinsip terakhir melihat bahwa tanah menjadi tidak bernilai jika tidak ada aktivitas di atasnya. Seperti halnya model perencanaan guna lahan dengan model zoning, model perencanaan terbuka memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari model terbuka ini antara lain adalah: - Semua kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan tertampung, tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam penggunaan tanah. Karena model ini tidak mengelompokkan aktiitas sesuai zoningnya maka aktivitas yang bertentangan, missal stasiun dengan seklah tidak akan terjadi konflik. - Tanah dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan tanah. Sedangkan kekurangan dari perencanaan guna lahan model terbuka antara lain adalah sebagai berikut: - Kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah warga masyarakat. Hak atas tanah warga masyarakat kurang mendapatkan jaminan hukum. Karena model ini tidak mepermasalahkan jika ada dua aktiitas yang lahannya berdekatan, padahal jika dua aktivitas tersebut diletakkan berdekatan berotensi saling menghancurkan atau salah satu hancur dan yang lain menang. Hal ini sulit diterapkan di Indonesia mengingat kompleksitas kegiatan yang ada/ oleh karena itu Pemerintah Indonesia tidak mebuat legalitas huum untuk model perencanaan huna lahan jenis ini. - Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. c. Konsolidasi Lahan Teknik penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana
(pelurusan
jalan,
sungai,
saluran
pembagian/pembuangan
air)
sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air. Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang Land Use Planning
|
17
bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya. Tujuan Konsolidasi tanah ialah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Sedangkan sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur. Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Elemen-elemen penting yang harus diperhatikan dalam kosolidasi lahan antara lain: - Kebijakan pertanahan; - Penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah; - Bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan SDA; - Melibatkan pastisipasi aktif masyarakat. Konsolidasi lahan dilakukan di daerah perkotaan maupun pedesaan yang wilayahnya akan menjadi lebih maji jika ada konsolidasi lahan. Ada beberapa daerah yang lahannya diijikan untuk dilakukan konsolidasi, antara lain: 1) Wilayah perkotaan - Wilayah pemukiman kumuh; - Wilayah yang tumbuh pesat secara alami; - Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh; - Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman yang baru; - Wilayah yang relative kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan berkembang sebagai daerah pemukiman 2) Wilayah perdesaan - Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi belum tersedia jaringan irigasi; - Wilayah yang jaringan irigasinya telah tersedia tetapi pemanfaatannya belum merata; - Wilayah yang berpengairan cukup baik maupun masih perlu ditunjang oleh pangadaan jaringan jalan yang memadai. Menurut SE KBPN No. 410-4245/1991, kegiatan konsolidasi tanah perkotaan harus melalui serangkaian kegiatan berikut, yaitu: Land Use Planning
|
18
a. Pemilihan lokasi; b. Penyuluhan; c. Penjajakan kesepakatan; d. Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya; e. Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah; f. Identifikasi subjek dan objek; g. Pemetaan dan pengukuran keliling; h. Pengukuran dan pemetaan rincian; i. Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah; j. Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang; k. Pembuatan desain tata ruang; l. Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;\ m. Pelepasan hak atas tanah oleh para peserta; n. Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah; o. Staking out/relokasi; p. Konstruksi/pembentukan badab jalan dll; q. Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak; r. Sertifikat; Menurut SE KBPN No. 410-4245/1991, kegiatan konsolidasi tanah pedesaan harus melalui serangkaian kegiatan berikut, yaitu: a. Pemilihan lokasi; b. Penyuluhan; c. Penjajakan kesepakatan; d. Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya; e. Identifikasi subjek dan objek; f. Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah; g. Seleksi calon penerima hak h. Pemetaan dan pengukuran kapling; i. Pengukuran dan pemetaan rincian; j. Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah; k. Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang; l. Pembuatan desain tata ruang; m. Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru; n. Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah; o. Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah; Land Use Planning
|
19
p. Staking out/relokasi; q. Konstruksi/pembentukan prasarana umum dll; r. Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak; s. Sertifikat;
2.7 Peran Perencana dalam Perencanaan Guna Lahan 2.7.1 Perencana sebagai Teknokrat atau Engineer Peran ini dimainkan dengan mengambil posisi sebagai advisor bagi para pengambil kebijakan dengan berporos kepada rasionalitas dan pertimbangan ilmiah. Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah landasan dalam membangun kekuasaan dan kepentingan. Sedankan fungsinya, antara lain: a. Rasionalitas yang hendak dibuat sebagai pemenuhan kepentingan publik b. Mengartikulasikan kepentingan masyarakat umum kepada sebuah rasionalitas yang acceptable c. Mengkomunikasikan rasionalitas dan kepentingan yang dibuat kepada aktor lain
2.7.2 Perencana sebagai Birokrat Perencana sebagai seorang birokrat memiliki peran untuk menjaga stabilisasi organisasi dan jalannya roda pemerintahan. Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah alat dalam menjaga kepentingan dan keberlangsungan organisasi. Peran ini biasanya disertai oleh kekuasaan yang datang secara formal dan legal kepada perencana. Sedangkan fungsi dari peran ini antara lain: a. Menggunakan rasionalitas sebagai landasan dalam membuat kebijakan b. Memperlakukan masyarakat sebagai konstituen dan pihak yang terkena kebijakan c. Mengartikulasikan kepentingan publik dalam kebijakan yang dibuat d. Memberi informasi kepada masyarakat tentang kebijakan yang akan dibuat. e. Melakukan komunikasi dengan legislatif
2.7.3 Perencana sebagai Aktivis dan Advokat Peran ini merupakan sebuah manifestasi dari usaha menjembatani masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat teknis dari sebuah produk rencana. Peran dalam melakukan mobilisasi kekuatan dan potensi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi Pemerintah. Informasi dan proses komunikasi diperlakukan sebagai usaha membangun pemahaman masyarakat dan counter-opinion terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat. Peran ini lahir dari sebuah paradigma Land Use Planning
|
20
bahwasanya kelompok tertindas harus membebaskan dirinya sendiri dari dominasi kelompok penguasa (Freire, 1972). Kekuasaan didapatkan melalui mobilisasi kekuatan massa atau klaim dukungan masyarakat. Sedangkan untuk fungsi advokat, adalah: a. Mengajukan rasionalitas sebagai argumen dalam memobilisasi dan menarik keberpihakan masyarakat b. Menjembatani pemahaman rasionalitas masyarakat c. Menggunakan infrastruktur kelembagaan yang ada sebagai media dalam melakukan advokasi d. Menggunakan tindakan-tindakan politik sebagai upaya memberi tekanan publik dan menarik dukungan dari kelompok lain e. Melakukan komunikasi dengan pihak lain
2.7.4 Perencana sebagai Politikus Politikus identik dengan tujuan pragmatis dan komunalis, sehingga perencana tidak diharapkan untuk bergabung dengan dunia politik. Perencana tidak bisa lepas dari kepentingan dan dalam memperjuangkan kepentingannya, perencana dituntut memiliki perspektif seorang politisi. Politikus memiliki insting dalam berkomunikasi dengan kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda lebih baik. Untuk fungsi dari politikus antara lain: a. Menjadikan rasionalitas lebih dari sekedar legitimator kepentingan politik b. Melaksanakan fungsi perwakilan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat c. Menjembatani masyarakat dengan para pengambil kebijakan
2.8 Land Use Planning Issues Pola penggunaan lahan dalam suatu daerah dapat berbeda satu dengan lainnya, hal ini dipengaruhi oleh banyak hal antara lain kondisi geografis serta kondisi sosial budaya dari masyarakat setempat. Arahan atau rencana pengembangan suatu wilayah juga turut mempengaruhi perbedaan-perbedaan pola penggunaan lahan pada wilayah yang berbeda. Perbedaan pola penggunaan lahan ini tentunya juga memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hal inilah yang kemudian mendasari munculnya teori-teori mengenai penggunaan lahan yang telah dibahas sebelumnya. Berikut akan dibahas preseden mengenai perbedaan pola penggunaan lahan pada 2 negara yang memiliki letak geografis cukup berdekatan dan memiliki kultur budaya yang hampir mirip, namun memiliki pola penggunaan lahan yang jauh berbeda: Land Use Planning
|
21
a. Negara Indonesia Indonesia memiliki ciri khas antara wilayah bagian pusat serta pinggiran wilayah terjadi kesenjangan pembangunan. Di kabupaten-kabupaten sendiri, untuk pusat wilayahnya mengalami perkembangan pesat yang ditunjang dengan sarana-prasarana yang lengkap dan mumpuni sehingga guna lahannya beragam tidak hanya terfokus pada satu jenis guna lahan. Sedangkan untuk daerah pinggiran yang jauh dari pusat wilayah, untuk jenis guna lahannya mayoritas ke arah pertanian di mana selaras dengan ciri khas Negara Indonesia yaitu Negara Agraris. Kondisi alam yang berpotensi menjadi daerah wisata dan hasil alamnya dapat memberikan income yang menjanjikan bagi wilayah tersebut, yang dapat menumbuhkan daerah pinggiran untuk selaras dengan pusat wilayahnya. Kurangnya kualitas dan kuantitas jaringan jalan yang menjadi penghubung antara pusat dengan pinggiran untuk keperluan kegiatan-kegiatan pertumbuhan, minimnya sumber dana yang dimana wilayah-wilayah Indonesia masih belum bisa mandiri, serta belum cukupnya sumber daya manusia yang mumpuni untuk mampu mengelola keselarasan konteks wilayah menjadi titik lemah pengembangan wilayah-wilayah di Indonesia sehingga terkesan antara wilayah dan kota terjadi perbedaan padahal berdasar saluran interaksinya terhubung satu sama lain dan hasilnya adalah adanya daerah terpencil dan paradoks. b. Negara Thailand Berbeda dengan Indonesia, wilayah-wilayah di Thailand sendiri “terhubung” dengan kota-kota di sekitarnya. Di Thailand sendiri yang menjadi tonggak pertumbuhan wilayahnya adalah adanya dana yang mencukupi, jaringan jalan yang terhubung dengan kota besar dengan baik serta pintu masuk dari berbagai jenis moda. Thailand sendiri adalah negara berbasis dengan pertanian sama dengan Indonesia, namun untuk wilayahnya sendiri selain sektor pertanian untuk menopang kegiatan kota namun wilayah di Thailand sendiri berkembang menjadi daerah wisata yang mumpuni selaras dengan hasil alam dan kearifan lokalnya yang didukung dengan adanya pintu masuk moda transportasi via udara yang memudahkan untuk pergerakan. Dengan adanya dukungan yang cukup bahkan lebih menjadikan wilayah-wilayah di Thailand sendiri berkembang secara optimal dan menjadi perkotaan yang mampu mandiri. Namun, untuk Thailand sendiri tidak lepas dari adanya paradoks dimana adanya kesenjangan antara gedung-gedung tinggi dengan permukiman kumuh di sekitarnya.
Berikut merupakan ilustrasi perbedaan pola penggunaan lahan di Indonesia dan Thailand dari citra satelit: Land Use Planning
|
22
Gambar (9) Peta Struktur Wilayah Kabupaten Boyolali, Indonesia
Gambar (10) Peta Struktur Wilayah Kota Chiang Mai, Thailand
Dari gambar di atas dapat dilihat perbandingan pola penggunaan lahan dari Kabupaten Boyolali, Indonesia dan Kota Chiang Mai, Thailand. Walaupun sama-sama berada pada wilayah lereng gunung, namun pola penggunaan lahan di Thailand memiliki jaringan transportasi yang lebih terjangkau dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali. Kepadatannya pun dapat dilihat bahwa daerah lereng gunung di Kota Chiang Mai lebih tinggi dibandingkan dengan Boyolali.
Land Use Planning
|
23
BAB III KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak teori tentang perencanaan tata guna lahan, baik terkait dari segi geografis, transportasi, maupun ekonomi yang berfungsi sebagai dasar dalam merumuskan rencana tata guna lahan yang diharapkan bisa menghasilkan guna lahan yang sustainable dan produktif. Dengan adanya acuan teori tersebut dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam melakukan penyusunan rencana tata guna lahan, sehingga rencana yang dihasilkan dapat berfungsi dengan baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Pengaplikasian dari teori-teori tata guna lahan tersebut kemudian memunculkan beberapa pemodelan dalam perencanaan penggunaan lahan, seperti misalnya Model Zoning yang mengadaptasi Teori Konsentris Burgess. Dengan demikian dapat dilihat bahwa sudah banyak model perencanaan tata guna lahan yang sudah berdasarkan pada teori-teori tata guna lahan. Pemodelan berdasar teori ini juga dirasa cukup efektif, efisien, tepat guna, serta tepat sasaran dalam implementasinya pada kasus pengembangan wilayah dan kota. Namun demikian meskipun teori yang digunakan adalah sama, bisa saja terdapat perbedaan pola penggunaan lahan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini tergantung dari aspek geografis, kondisi sosial budaya masyarakat, serta dokumen arahan atau kebijakan pengembangan wilayah di daerah tersebut. Seperti misalnya perbedaan pola penggunaan lahan di Boyolali dan di Chiang Mai meskipun memiliki kemiripan dari segi geografis. Perbedaan kondisi sosial masyarakat dan perbedaan arahan kebijakan pengembangan wilayahlah yang memicu adanya perbedaan tersebut. Sehingga secara keseluruhan dapat ditarik pemahaman bahwa dalam merencanakan suatu tata guna lahan perlu memperhatikan teori-teori terkait tata guna lahan sebagai dasar perencanaan. Selain itu perlu juga memperhatikan faktor eksternal seperti kondisi geografis, kondisi sosial budaya masyarakat, serta arahan kebijakan dari peraturan tata ruang yang sudah ada sebelumnya.
Land Use Planning
|
24
DAFTAR PUSTAKA
Modul Kuliah Tata Guna dan Pengembangan Lahan, PWK FT UNS, Ir. Rizon Pamardhi Utomo, MURP Modul Kuliah Analisis Lokasi dan Pola Keruangan, PWK FT UNS, Ratri Werdiningtyas, S.T., M.T. Modul Kuliah Perencanaan Kota PWK FT UNS, Ir. Kusumastuti, MURP PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) Surat Edaran Kepala BPN No. 410-4245/1991 Perencanaan Kota, Anthony J. Catanesse, 1988
Land Use Planning
|
25