Teori Sejarah Hukum
Syarif Muhammad Yahya
Pendahuluan
Secara historis zaman terus berkembang melalui hirarkis perkembangan
yang terus dibarengi pula dengan perubahan-perubahan sosial, dimana dua hal
ini selalu berjalan beriringan. Keberadaan manusia yang dasar pertamanya
bebas, menjadi hal yang problematis ketika ia hidup dalam komunitas sosial.
Kemerdekaan dirinya mengalami benturan dengan kemerdekaan individu-individu
lain atau bahkan dengan mahlukyang lain. Sehingga ia terus terikat dengan
tata kosmik, bahwa bagaimana ia harus berhubungan dengan dengan orang
lain, dengan alam, dengan dirinya sendiri maupun dengan Tuhannya. Maka
muncullah tata aturan, norma atau nilai-inilai yang menjadi kesepakatan
universal yang harus ditaati. Dimana manusia harus selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaaan. Ia harus memegangi aturan yang berlaku mengatur
hidup manusia.[1]
Munculnya teori hukum tidak dapat dilepaskan dari lingkungan zaman
yang terus berkembang, karena teori hukum hadir sebagai salah satu
jawaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum atau menggugat satu
pemikiran hukum yang dominan pada suatau masa. Oleh karena itu, meskipun
teori hukum mengajukan pemikiran secara universal tapi dalam peoses
perkembangannya berjalan secara bijaksana. [2]
Dalam perkembangannya Teori Hukum memiliki berbagai macam aliran, dari
teokrasi, madzhab hukum alam, aliran positivisme sampai teori hukum
sejarah, dan masing-masing memiliki perpesktif berbeda tentang hukum.
Pada makalah ini penulis akan menguraikan tentang kajian teori hukum
sejarah yang digegas oleh Friedrich Carl von Savigny, seorang yuris
Jerman yang sukses membuat Jerman tidak mengkodifikasi hukum perdata
selama hampir 100 tahun.
Definisi Sejarah
Istilah sejarah dalam bahasa Arab dikenal dengan tarikh, dari akar
kata arrakha (a-rk-h), yang berarti menulis atau mencatat, dan catatan
tentang waktu serta peristiwa. Akan tetapi, istilah tersebut tidak hanya
berasal dari kata ini, ada yang berpendapat bahwa istilah sejarah berasal
dari istilah bahasa Arab syajaroh, yang berarti pohon atau silsilah. Makna
silsilah inl ebih tertuju pada makna padanan tarikh, termasuk padanan
pengertian abad, mitos, legenda dan seterusnya. Syajaroh berarti terjadi.
Sedangkan syajarah an-nasab berarti pohon silsilah.
Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal- muasal istilah sejarah yang
dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi.
Meskipun demikian, banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal dari
bahasa Yunani, historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history,
bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschihte,
yang bermakna yang terjadi, dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan
geschiedenis.
Menurut pengertian istilah, kata sejarah juga memiliki beberapa
versi. Redaksi R.G Collingwood, misalnya mendefinisikan sejarah sebagai
ungkapan 'history is the history of thought (sejarah adalah sejarah
pemikiran), history is kind of research or inquiry (sejarah adalah sejenis
penelitian atau penyelidikan). Collingwood memaknai sejarah (dalam arti
penulisan sejarah historiografi), seperti membangun dunia fantasi (are
people who build up a fantasy world). [3]
Teori Hukum Sejarah
Aliran teori sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny (Volk geist)
hukum kebiasaan sebagai sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan
tumbuh dan berkembang bersama sama dengan masyarakat. Pandangannya bertitik
tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa
memiliki "volksgeist" jiwa rakyat. Savigny berpendapat bahwa semua hukum
berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari
pembentukan undang-undang .[4] Penggegas teori ini melihat hukum sebagai
entitas yang organis-dinamis. Hukum menurut teori ini, dipandang sebagai
sesuatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama
masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena
akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat.
Hukum bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya undang-undang
tidak begitu penting. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya
dan karenanya, teori hukum hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan dan
bersumber dari jiwa rakyat.[5]
Asal Usul Teori Sejarah Hukum
Mazhab Teori Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun
1814. Lahirnya mazhab ini ditandai dengan diterbitkannya manuskrip yang
ditulis oleh Friedrich Karl von Savigny yang berjudul "Vom Beruf unserer
Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft" (tentang seruan masa kini akan
undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl von Savigny dipandang
sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah .
Kelahiran mazhab yang dirintis oleh Savigny ini dipengaruhi oleh buku
yang berjudul "L' esprit des Lois" (Semangat Hukum) karangan Montesquieu
(1689-1755) yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut, Montesquieu
mengemukakan bahwa ada relasi yang kuat antara jiwa suatu bangsa dengan
hukum yang dianutnya . Hukum yang dilandasi dan dianut suatu bangsa sangat
dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang direpresentasikan oleh nilai-nilai dan
tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan sosial itu bersifat dinamis,
sehingga berimplikasi pada dinamisnya hukum. Dengan kata lain bahwa
dinamisasi nilai-nilai dan tatanan sosial menyebabkan dinamisasi pada hukum
yang diperpegangi masyarakat.[6] Teori sejarah hukum secara garis besar
merupakan reaksi terhadap tiga hal:
1. .Rasionalisme Abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan
akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada
filsafat hukum. Karena mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa
mempehatikan fakta sejarah, kehuusan dan kondisi nasional.
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan
misi kosmopolitannya (kepercayaan pada rasio dan daya kekuatan
tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya, yaitu seruannya ke
penjuru dunia).
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan
hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah
hukum.
Selain tiga poin diatas,, terdapat faktor lain, yaitu masalah
kodifikasi hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang
diusulkan oleh Thibaut (1772-1840). Karena dipengaruhi oleh keinginannya
akan kesatuan negara, ia menyatakan keberatan terhadap hukum yang tumbuh
berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki, sedangkan jumlah
sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilanglah keseluruhan
gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan
jalan penyusunan undang-undang dalam kitab.
Savigny menolak hukum tersebut dengan argumen, asal usul kodifikasi
hukum Perdata Jerman bersumber dari Code Civil Perancis sedangkan Code
Civil Perancis sebenarnya bersumber dari kode Romawi. Oleh karena itu
Savigny mengatakan bahwa hukum Jerman tentulah tidak sama dengan hukum
bangsa lain, sehingga apabila hendak membuat kodifikasi hukum haruslah
bersumber pada hukum kebiasaan masyarakat/bangsa Jerman yang melalui
bantuan para ahli hukum untuk merumuskan prinsip – prinsip hukum dari hukum
kebiasaan tersebut.[7]
Tokoh- Tokoh Sejarah Hukum:
1. Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
Menurut Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau
karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam
jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Pandangan
Savigny ini bertentangan pula dengan Positivisme Hukum. Ia mengingatkan
bahwa untuk membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak
diperlukan.
2. Puchta (1798-1846)
Puchta berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa
yang bersangkutan. Hukum tersebut menurut Puchta dapat berbentuk (1)
langsung berupa adat istiadat, (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu
hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa sehingga
akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya yakni
praktek hukum dalam adat istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh
ahli-ahli hukum.
3. Henry Summer Maine (1822-1888)
Maine dianggap sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Salah satu
penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan
lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat
yang telah maju, yang dilakukannya berdasarkan pendekatan
sejarah.kesimpulan penelitian itu kembali memperkuat pemikiran von Savigny
yang membuktikan adanya evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi
sejarah yang sama.[8]
Pokok dan Doktri Ajaran Teori Hukum
1. Pokok Ajaran (Ideologi Hukum) Savigny
Kesadaran sebangsa karena kebutuhan bathiniah, mengeksklusifkan
(beda) dengan bangsa lain, yang tidak mempunyai asal-usul yang sama,
hukum tumbuh bersama pertumbuhan bangsa/rakyat dan menjadi kuat bersama
dengan kekuatan bangsa dan akhirnya mati ketika suatu bangsa kehilangan
kebangsaannya.[9] Inti mazhab sejarah von Savigny berpangkal pada
pendapat yang menyatakan bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam
bangsa. Tiap-tiap bangsa tersebut punya Volkgeist (jiwa rakyat) sendiri-
sendiri. Jiwa rakyat ini berbeda-beda, baik menurut waktu dan menurut
tempat. Jadi, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku
universal dan pada semua waktu, kata von Savigny. Hukum, menurut von
Savigny, sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat. Hukum
menurut von Savigny berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang
pencerminannya nampak dalam tingkah laku semua individu kepada
masyarakat yang modern dan kompleks di mana kesadaran hukum rakyat itu
tampak pada apa yang diucapkan ahli hukumnya.
Inti dari mazhab sejarah von Savigny diurainya dalam buku"Von Beruf
unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschsft" (tentang tugas
jaman kita bagi pembentuk undang-undang dan ilmu hukum).[10]
2. Doktrin-doktrin dari Mazhab Sejarah
a. Hukum itu ditemukan bukan dibuat, pertumbuhan hukum merupakan
proses yang tidak disadari dan organis; maka dari itu perundang-
undangan adalah tidak begitu penting dibandingkan dengan
kebiasaan.
b. Hukum yang mulai tumbuh sebagai hubungan hukum/sikap tindak yang
sudah dipahami dalam masyarakat-masyarakat primitif kearah hukum
yang lebih kompleks dalam peradaban modern, menyebabkan
kesadaran hukum rakyat tidak dapat lagi menjelma secara
langsung, tetapi diwakili oleh sarjana hukum, yang merumuskan
prinsip-prinsip hukum secara teknis. Pembentukan Undang-undang
adalah tahap akhir.
c. Hukum tidak mempunyai daya laku universil. Tiap bangsa
memperkembangkan kebiasaan hukumnya sendiri; Hal tersebut
dikarenakan "Volkgeist" (jiwa bangsa) menjelmakan dirinya pada
hukum rakyat.
3. Pandangan Savigny Terhadap Kodifikasi
Ia memandang rendah kekaguman pada kodifikasi hukum, yang modern
di Prusia, Austria dan Perancis (yang meniru Kodifikasi Romawi).
Menurutnya perlu studi ilmiah tentang system hukum tertentu, dalam
perkembangan yang kontinyu dan tiap-tiap generasi mengadaptasikan
hukum itu sesuai dengan kebutuhannya (contoh: "corpus juris" di
Romawi sebelum terbentuk disesuaikan dengan kebutuhannya).
4. Keyakinan Savigny
a. Ilmu Hukum lebih baik dari pembaharuan hukum.
b. Kesadaran (hukum) rakyat adalah sumber bagi segala hukum dan
dalam peradaban yang termaju. Oleh karena itu sarjana hukumlah
yang merumuskan kesadaran hukum rakyat menjadi prinsip-prinsip
hukum.
5. Penentang Ajaran Savigny
Besseler, Eichorn dan Gierke (Rationel Positivisem) menolak konsepsi
romantisem Savigny tentang paranan sejarah hukum sebagai penggarap
kesadaran hukum rakyat, karena hukum yang hidup dikalangan rakyat
berbeda dengan ilmu pengetahuan yang teknis dan artifisil (asli) dari
sarjana hukum.
6. Kelemahan Ajaran Savigny
Adalah suatu aspek yang ironis dari ajaran Savigny dan Puchta, bahwa
sementara menekankan "watak kebangsaan dari segala hukum", mereka
sendiri mengambil inspirasi dari hukum Romawi dan dalam karya-karya
utamanya menyesuaikan (hukum Romawi) dengan kondisi modern.[11]
Selain hal diatas, Kelemahan dari teori Savigny, adalah tidak
mengakui pentingnya kodifikasi hukum. Padahal dalam masyarakat modern,
ketentuan hukum yang tertulis diperlukan demi terwujudnyaa kepastian
hukum. Terutama untuk menghindari tindakan kesewenang-wenangan dari
kekuasaan yang absolut.
Kelemahan lain bahwa dengan mengakui hanya hukum yang hidup di tengah
masyarakat dan mengabaikan arti pentingnya hukum kodifikasi, maka
dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Sebab seringkali hukum yang
hidup di tengah masyarakat berbentuk hukum tidak tertulis, tersimpan
dalam memorie pada pemangku hukum, dan para pemangku hukum tidak
tertulis lambat laun meninggal dan dilanjutkan oleh pemangku hukum
berikutnya yang memiliki perbedaan pemahaman dan tafsir atas hukum
tidak tertulis itu, sehingga pada suatu saat dan suatu tempat muncul
tafsir tafsir hukum adat yang tidak sama atas sebuah masalah.[12]
Madzhab Teori Sejarah Hukum di Indonesia
Banyak teori yang dimunculkan oleh ahli hukum untuk mencoba menemukan
dan menggagas ide tentang pengembanan hukum termasuk didalamnya pembentukan
atau pembaharuan hukum. Masing-masing teori berupaya mengajukan argumentasi
atas pendapatnya dengan menonjolkan keunggulan dari teori yang telah mereka
bangun. Biasanya suatu teori lahir sebagai akibat atau reaksi terhadap
teori yang mendahuluinya. Reaksi tersebut bisa berupa penolakan dan bisa
juga justru memberikan dasar pijakan yang lebih kuat terhadap teori
sebelumnya.
Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang
mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh
suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang
demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber
hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa. Selanjutnya,
kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar
dengan undang-undang tertulis. Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan
orang akan wujud hukum yang utuh.
Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni
dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat,
yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat
lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh
keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya
terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam
itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku
sosiologis.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan
sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam
mempertahankan (" preservation") hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-
nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya
"pembaratan" (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak
dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil
golongan pribumi.
Dalam konteks kekinian, lahirnya gerakan pemikiran hukum yang mengarah
pada pengoptimalisasian fungsi lembaga mediasi yang ada dilevel masyarakat
grass root secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai pengaruh tidak
langsung mazhab sejarah bagi pemikiran hukum di Indonesia. Di Nusa Tenggara
Barat gerakan ini mulai diawali di desa Lebah Sempaga dan Desa Bagu yang
telah membuat Balai Mediasi Desa yang sudah mengarah kepada penggalian
budaya dan kebiasaan masyarakat.[13]
Madzhab Teori Sejarah Hukum Dalam Syariah Islam
Dalam kajian Qowaidul Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) terdapat satu
kaidah adat yang dijadikan pijakan oleh para mujtahid sebagai salah satu
sumber hukum Syariah Islam yaitu kaidah Al-aadah Muhakkamah[14]. Dalil dari
kaidah adat yang muhakkamah ini adalah hadis Nabi Saw :
ما رءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رءاه المسلمون سيئا فهو
عنداالله سيء.
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di
sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka
menurut Allah-pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad,
Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)
Al-Qur'an maupun Al-hadis sebagai sumber utama syariah Islam
memberikan ruang dan tempat yang cukup agar manusia dapat mengatur sendiri
hal-hal teknis yang paling pas pada ruang, tempat dan waktu yang berbeda.
Contoh kongkrit dari kaidah al-adah muhakkamah ini seperti: ketentuan
mahar mistl[15] dalam akad nikah, standar batas lama dan tidaknya waktu
haid dan nifas, dan lain sebagainya.
Batasan-batasan tersebut ditentukan berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku baik pada masyarakat secara menyeluruh, atau daerah tertentu atau
kebiasaan secara individu.
Penutup
Savigny sebagai pengegas Madzhab teori Sejarah melihat hukum sebagai
entitas yang organis-dinamis. Hukum dipandang sebagai sesuatu yang natural,
tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama masyarakat.
Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan
senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat. Hukum
bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya undang-undang tidak
begitu penting. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya dan
karenanya, teori hukum hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan dan
bersumber dari jiwa rakyat.
Savigny berpangkal pada pendapat yang menyatakan bahwa di dunia ini
terdapat bermacam-macam bangsa. Tiap-tiap bangsa tersebut punya Volkgeist
(jiwa rakyat) sendiri-sendiri. Jiwa rakyat ini berbeda-beda, baik menurut
waktu dan menurut tempat. Jadi, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang
berlaku universal dan pada semua waktu.
Kelemahan teori sejarah ala Savingy adalah tidak mengakui adanya
kodifikasi hukum Padahal dalam masyarakat modern, ketentuan hukum yang
tertulis diperlukan demi terwujudnyaa kepastian hukum. Terutama untuk
menghindari tindakan kesewenang-wenangan dari kekuasaan yang absolut.
Teori sejarah hukum ternyata telah dipakai oleh Undang-undang Negara
Indonesia , pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan
peranan yang penting dalam mempertahankan (" preservation") hukum adat
sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan
mencegah terjadinya "pembaratan" (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau
tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi
sebagian kecil golongan pribumi.
Dalam syariah Islam, konsep hukum adat telah dilegalkan keberadaannya
sebagai pegangan hukum yang digali oleh para mujtahid dalam kajian Aadah
Muhakkamahnya.
Daftar Pustaka
Al-ansori, Zakaria. Ghoyatul Wushul, Darul Fikr,Beirut 2002
Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum,. Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1990
Anshori, Abdul Ghfur. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan.
Yogyakarta. Gajah Mada University Press, 2006
Moh Hsbullah dan Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah. Bandung, CV
Pustaka Setia 2012
Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi. Bandung, Pengantar Filsafat Hukum: Mandar
Maju. 2002
S Praja, Juhaya. Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung . Pustaka Setia
2011
http://asikinzainal.blogspot.com/2012/10/mashab-sejarah-hukum.html
http://saepudinonline.wordpress.com/2011/06/09/pengaruh-pemikiran-
mazhab-sejarah-dalam-pembaharuan-hukum/
http://panglimaw1.blogspot.com/2011/10/inti-ajaran-mazhab-sejarah.html
http://radityakuntoro.blogspot.com/2012/02/aliran-aliran-filsafat-
hukum.html.
http://mihuksw.edublogs.org/2011/01/28/pembentukan-dan-perkembangan-
mazhab-sejarah-dalam-hukum/
-----------------------
[1] Abdul Ghfur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan
Pemaknaan. Yogyakarta. Gajah Mada University Press, 2006, hal 1
[2] Juhaya S Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung . Pustaka
Setia 2011, hal 53
[3] . Moh Hsbullah dan Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah. Bandung, CV
Pustaka Setia 2012., halal 21-22
[4] Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi. Bandung, Pengantar Filsafat
Hukum: Mandar Maju. 2002, hal 63.
[5] http://panglimaw1.blogspot.com/2011/10/inti-ajaran-mazhab-
sejarah.html. diakses tanggal 11 November 2013 jam 10:12 Wib
[6] http://asikinzainal.blogspot.com/2012/10/mashab-sejarah-
hukum.html, Diakses tanggal 12 November 2013, Jam 10 45 Wib.
[7] http://radityakuntoro.blogspot.com/2012/02/aliran-aliran-filsafat-
hukum.html. Diakses pada tanggal 11 November 2013, Jam 8: 40 wib.
[8] Raditya Kuntoro Op.Cit.
[9] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum,. Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1990, hal 18
[10] http://mihuksw.edublogs.org/2011/01/28/pembentukan-dan-
perkembangan-mazhab-sejarah-dalam-hukum/ diakses tanggal 11 November 11: 45
Wib.
[11] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Op.Cit. hal. 19-24
[12] Asikin Zainal. Op. Cit
[13] http://saepudinonline.wordpress.com/2011/06/09/pengaruh-pemikiran-
mazhab-sejarah-dalam-pembaharuan-hukum/ Diaskes pada tanggal 12 November
2013 Jam 8:44 Wib.
[14] Zakaria Al-ansori, Ghoyatul Wushul, Darul Fikr,Beirut 2002. hal
249
[15] Mahar mistil adalah mahar yang kadar besar kecilnya disamakan
dengan adat dari keluarga pihak istri pada daerah tersebut +,678n
o
p
y
{
Ì
ä
÷
ø
ù
è׿§¿?z_zJ5z5z_z(h;Jh 7-
CJOJQJ^JaJmH!sH!(h;JhhµCJOJQJ^JaJmH!sH!5jh;JhJaÁ0JCJOJQJU^JaJmH!sH!(h;J
yang diwajibkan kepada calon suami untuk calon istri.