BAB I PENGANTAR SEJARAH HUKUM
A.
Pentingnya Sejarah Hukum
Sejarah hukum merupakan salah satu bidang dalam ilmu hukum yang masih baru. Ilmu mengenai sejarah mengenai sejarah hukum belum terlalu dikenal sehingga belum banyak banyak para peminat hukum yang tertarik sesungguhnya sejarah
hukum
untuk mendalami memiliki
peranan
bidang sejarah yang
penting
hukum. Padahal dalam
menunjang
perkembangan ilmu hukum serta dalam menunjang seseorang untuk dapat dengan mudah memahami ilmu hukum. Resume buku mengenai sejarah hukum ini tidak dimaksudkan untuk mengupas tuntas kajian mengenai sejarah hukum. Oleh karena sejarah hukum juga merupakan bagian dari sejarah pada umumnya, sehingga obyek kajian dalam sejarah hukum juga juga cukup luas. Resume ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar yang sedikit menggambarkan mengenai pentingnya dan bagaimana ilmu mengenai mengenai sejarah hukum itu sendiri. Terdapat setidak 4 hal yang menjadi manfaat mempelajari sejarah hukum, menurut John Gillisen dan Frist Gorle, antara lain:
1.
Sejarah hukum memperlihatkan adanya perubahan dan perkembangan ilmu hukum yang terjadi bukan hanya disebabkan adanya perbedaan kondisi suatu daerah atau negara melainkan juga dari waktu-waktu waktu-waktu ke waktu hukum hukum disuatu tempat mengalami perubahan dan perkembangan; perkembangan;
2.
Sejarah hukum dapat membantu kita untuk mengerti norma atau ketentuan hukum yang berlaku pada masa sekarang;
3.
Sejarah hukum dapat memberikan pemahaman mengenai budaya dan pranata hukum sehingga sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai pegangan bagi para yuris yang tergolong masih pemula;
4.
Sejarah hukum meletakkan hukum sesuai dengan perkembangannya dari waktu ke waktu serta juga diakui sebagaii suatu gejala historis (meletakkan hukum sesuai dengan perkembangan sejarahnya). Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah umum. Sejarah menyajikan dalam
bentuk sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abab ke abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai masa kini. Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah hukum tergolong ilmu pengetahuan sosial atau ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora), yang memunyai kesamaan dengan ilmu pengetahuan alam, yakni semua adalah empiris, artinya bertumpu pada pengamatan dan pengalaman suatu aspek tertentu dari kenyataan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang menjadi tujuan dan objek dari sejatah hukum?
2.
Bagimanakah pengaruh sejarah hukum terhadap pembentukan tatanan-tat ana hukum
BAB II PEMBENTUKAN DAN EVOLUSI TATANAN-TATANAN HUKUM TERPENTING
A.
Sejarah Hukum, Objek dan Tujuan Sejarah Hukum
Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah umum. Sejarah menyajikan dalam bentuk sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abab ke abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai masa kini. Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah hukum tergolong ilmu pengetahuan sosial atau ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora), yang memunyai kesamaan dengan ilmu pengetahuan alam, yakni semua adalah empiris, artinya bertumpu pada pengamatan dan pengalaman suatu aspek tertentu dari kenyataan. Sejarah merupakan kajian informasi mengenai seluruh aspek dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Ini berarti sejarah mengkaji masyarakat dalam sebah totalitas sedangkan sejarah hukum dari aspek tertentu saja yakni aspek hukumnya. John Gillisen dan Frist Gorle mengemukakan adanya dua pandangan
dalam menilai sisi historitas hukum, yakni oleh visi Idealitas Spiritualistis dan Visi Materialistis Sosiologis. Dalam pandangan Visi Idealitas Spiritualistis hukum dianggap sebagai perwujudan atas sebuah gagasan absolut yang pada hakikatnya cenderung apriori dan ahistoris. Meskipun gagasan tersebut dapat diuraikan secara tertib namun sangat sulit untuk melihat keterkaitan antara gagasan yang satu dengan yang lain. Dalam pandangan visi materialistis Sosiologi, hukum dianggap sebagai produk atau realitas masyarakat. Hukum bukan merupakan perwujudan ide, layaknya keadilan dan rasio. Pandangan ini ssangat dekat dengan pendekatan historis dan memberikan sumbangsih yang besar bagi pembentukan hukum yang dinamis, terutama yang bersumber dari marxisme dan mazhab historis. John Gillisen dan Frist Gorle sendiri lebih cenderung menggunakan pendekatan visi materialistis sosiologi. Meskipun kemudian antara visi materialistis sosiologi dan Visi Idealitas Spiritualistis sepertinya dapat juga didamaikan antara satu yang lainnya, namun John Gillisen dan Frist Gorle lebih memilih untuk bertitik tolak mengkaji sejarah hukum dari pandangan visi materialistis sosiologis. Masih terlalu sedikit referensi yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam pembahasan mengenai sejarah hukum. Sekali lagi karena minat terhadap kajian mengenai sejarah hukum masih relatif kecil bila dibandingkan dengan bidang ilmu hukum lainnya yang dipandang lebih berpotensi untuk menunjang karir dalam profesi hukum yang familiar di kalangan sarjana hukum, seperti pengacara dan lain sebagainya. Namun, tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang bidang ilmu sejarah hukum dapat tumbuh dan berkembang sehingga dapat berperan dalam peningkatan kualitas hukum di Indonesia.
B.
Terbentuknya Hukum
Jika hukum adalah produk kenyataan masyarakat, bagaimana hal it u terbentuk. Hal ini sangat sulit untuk ditentukan, oleh karena pengetahuan kepurbakalaan, etnologi hukum, dan sebagainya menunjukan bahwa pada kebanyakan bangsa-bangsa primitif di jaman purba kala pun pada saat belum ada aksara telah dikenal norma-norma prilaku yang berkaitan dengan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan yang berangsur-angsur menjelma menjadi norma hukum yang sesungguhnya. Penelitian tatanan-tatanan hukum primitif tuna kasara dan tatanan hukum yang lebih maju menunjukan bahwa sumber hukum primer adalah kebiasaan (hukum). 1.
Kebiasaan Hukum Disemua pergaulan hidup nampaknya suasana kehidupan menyebabkan terbentuknya
kebiasaan-kebiasaan. Dalam arti yang umum kebiasaan tersebut tidak lain adalah suatu perbuatan maupun penahanan diri berbuat sesuatu secara teratur oleh individu atau sekelompok manusia. Semenara itu, untuk dapat dikatakan kebiasaan hukum harus memenuhi sejumlah persyaratan : (1) kebiasaan itu tidak boleh merupakan kebiasaan individual, melainkan suatu kebiasaan kemasyarakatan; (2) kebiasaan itu harus menyangkut suatu perbuatan (komisi) atau penahanan diri (omnisi), yang di dalam kehidupan bermasyarakat meluangkan berbagai (setidak-tidaknya dua) kemungkinan; (3) kehidupan (kebiasaan) ini harus dialami oleh masyarakat sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat ; dan (4) kebiasaan tersebut harus dikukuhkan oleh penguasa umum. 2.
Penguasa Umum atau Negara Untuk membuat suatu kebiasaan kemasyarakatan menjadi sebuah norma hukum
diperlukan perantaraan penguasa. Tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini penguasa umum
muncul kepermukaan dalam bentuk negara. Antara pemegang kekuasaan dan anggotaanggota kelompok ini terjadi sejumlah perimbangan, dimana kedua belah pihak tersebut masing-masing mengupayakan hal ini oleh situasi dan kondisi materiil serta melalui keadaan di dalam kelompok itu sendiri memenangkan kepentingan-kepentingan dan pandangan pandangan tertentu. 3.
Sinergi Penguasa dan Masyarakat Satu hal yang sudah pasti agar perimbangan penguasa masyarakat dapat mencapai
suatu derajat kelanggengan tertentu maka keduanya harus membentuk sebuah sinergi yang mengasumsikan adanya suatu minimum kepentingan bersama. 4.
Berakhirnya Eigenrichting (Tindakan Main Hakim Sendiri) Kepentingan penguasa umum untuk mempertahankan diri, baik untuk dirinya sendiri
maupun bagi kelompoknya dalam hubungan dengan dunia luar dilakukan melalui upaya mencegah terjadinya sengketa antara para anggota kelompok satu sama lain atau jika perlu, mengusahakan sekeras mungkin penyelesaian perselisihan yang terjadi secara damai. Sarana dan prasarana yang diperlukan dalam menanggulangi sengketa tersebut yaitu : (1) pembasan yang kemudian disusul dengan larangan sepenuhnya terhadap tindakan main hakim sendiri; (2) pengukuhan dan bertanggungjawan atas celaan sosial atau sanksi yang dikenakan karena tidak memenuhi kebiasan-kebiasan tertentu; (3) menyusun dan menyeimbangkan kebijakan, prosedur dan/atau badan-badan yang membuat aturan dan peraturan untuk menyelesaiakan perselisihan-perselisihan. C.
Aturan Pengakuan dari Hart
Pengukuhan kebiasaan-kebiasaan merupakan gejala yang oleh ahli filsafat hukum Inggris, Hart, disebut “aturan pengukuhan” (rule of recognition).
1.
Perkembangan Tatanan-tatanan Hukum Pada awalnya suasana hukum meliputi semata-mata hubungan-hubungan dan
perimbangan-perimbangan kemasyarakatan, yang mempunyai arti yang fundamental bagi keterikatan dan keterpaduan kelompok; perbuatan-perbuatan melawan hukum seperti pembunuhan, pencurian dan lain-lain. Perbuatan-perbutan demikian tidak secara langsung dilarang sebagaimana mestinya. Namun penguasa melarang tindakan main hakim sendiri sehubungan dengan persengketaan yang terjadi, karenanya dan dikukuhkan, atau membuat aturan-aturan serta menetapkan tarif-tarif untuk mempermudah (composition) penyelesaian perselisihan secara damai antara para pihak yang bersengketa. Demikian pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara anggota kelompok dan kekuasaan umum perlu dituang dalam peraturan atau cara lain. Ketentuan-ketentuan tersebut, baik larangan langsung atau tdak langsung maupun berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap penguasa merupakan norma-norma hukum yang mengandung sebuah perikatan. Yang menjadi dasar aturan-aturan seperti itu adalah hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan yang ditandai dan diwarnai kepentingan-kepentingan timbal balik yang harus ditakar satu dengan lainnya. Derajat saling mempengaruhi secara timbal balik yang terjadi antara kebiasaankebiasan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dan aturan-aturan hukum yang dibuat penguasa sangat bergantung pada perimbangan-perimbangan kekuatan yang ada antara berbagai kelompok masyarakat dan penguasa. 2.
Keadilan,Keseimbangan,dan Kepastian Hukum (Pembagian lebih lanjut atutarnaturan menurut Hart) Hart menamakan norma-norma dengan “aturan-aturan hukum primer” dan “aturan-
aturan sekunder”. Norma-norma tersebut telah menjawab atau merespon yang oleh Redbruch
dianggap sebagai komponen ide hukum, yakni keadilan dengan asas keseimbangan dan kepastian hukum. Ide hukum tentang keadilan, keseimbangan, dan kepastian hukum digunakan di dalam masyarakat yang lebih maju dalam menciptakan peraturan-peaturan bidang pergaulan hidup yang mendasari penggunaan hukum sebagai sarana bukan saja untuk menertibkan masyarakat tetapi juga untuk mengubahnya atau mengarahkannya kesuatu jalur evolusi tertentu.
BAB III TATANAN HUKUM PRIMITIF MENUJU HUKUM MODERN
A.
Titik Tolak : Pra Sejarah Hukum dan Sejarah Hukum
Sejak terjadinya hukum, maka dalam benihnya dapat dikatakan telah ada hampir seluruh komponen, yang berlangsung berabad-abad untuk kemudian menghasilkan tatanan hukum modern masa kini. Konsensus yang terjadi antara yang memerintah dan yang diperintah, bertumpu pada suatu gagasan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban yang dapat dijadikan dasar keadilan. Pengakuan, pengukuhan, dan pemberian sanksi kebiasaan oleh penguasa dengan serta-merta menujukan bahwa atas inisiatif sendiri ia juga dapat mengeluarkan larangan dan perintah. Inilah awal dari perundang-undangan. Juga telah ada peradilan, yang di dalamnya seringkali putusan-putusan yang diambil oleh pejabat-pejabat atau badan-badan peradilan diberlakukan sebagai preseden-preseden untuk waktu yang akan datang.
1.
Tatanan-tatanan Hukum Primitif Pada umumnya semua bangsa pernah mengalami evolusi hukum selama berabad-abad
sebelum periode mereka mempergunakan aksara. Perbedaan antara pra sejarah hukum dan sejarah hukum pada hakikatnya terletak pada perbedaan antara bangsa-bangsa tuna aksara dan bangsa-bangsa beraksara. Dengan demikian aksara ini dapat dikatakan merupakan faktor kebuyaan terpenting yang menentukan pengevolusian hukum. Sementara periode peralihan pra sejarah hukum ke sejarah hukum berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Misalnya antara lain : bangsa Mesir peralihan tersebut terjadi sekitar abad ke- 28 dan 27 SM, bangsa Romawi antara abag ke- 5 dan 6 SM, bangsa Germania pada ke-5 sesudah Masehi. Karakteristik umum tatanan hukum bangsa-bangsa tuna aksara sebagai berikut : (1) tidak tertulis; (2) tidak ada hukum kebiasaan primitif umum; (3) setiap kelompok sosial mempunyai hukum kebiasaan masing-masing; (4) hukum dan agama belum mempunyai perbedaan sistem norma yang jelas; (5) Agama mempunyai peranan besar dalam tatanan hukum primitif. Aturan-aturan hukum primitf merupakan pengungkapan yuridis hubungan-hubungan kemasyarakatan. Hal-hal tersebut terbentuk dengan makin berkembanya hubungan-hubungan sebagai berikut : (1) hubungan-hubungan keluarga; (2) hubungan kelompok keluarga; (3) hubungan bangsa; (4) penguasaan benda-benda bergerak; dan ( 5) hubungan kelas-kelas dalam masyarakat. 2.
Tatatan Hukum Arkais Melalui penemuan aksara perkembangan yuridis mengalami kemajuan. Pra sejarah
hukum telah lewat dan sejarah hukum antik muncul kepermukaan. Awal dari periode ini
sekitar tiga puluh abad Sebelum Masehi.
Peradaban-peradaban daerah perkotaan yang
berasal dari abad ke- 40 dan 30 SM menampakan diri di tiga kawasan besar, yaitu : (i) Mesir, di delta sungai Nil; (ii) Mesopotamia, di lembag sungai Tigris dan Eufrat; dan (iii) lembah sungai Indus dengan kota-kota Harappa, Amri, Mahenjo-Daro, dan lain-lain. Kota-kota tersebut mempunyai pemerintahan sendiri dan yang terpenting adalah seni tulis menulis telah ada seperti hierogrif di Mesir, tulisan paku di Mesopotamia, dan huruf-huruf brahmi dan kharasti di India. Atas dasar peluang untuk mencatat aturan-aturan hukum ini, maka terjadilah tatanan-tatanan hukum, yang disebut Arkaistis. a.
Hukum Mesir Selama hampir 40 abad lamanya, perkembangan hukum di Mesir mengalami periode-
periode pasang surut, yang kira-kira berlangsung bersamaan dengan fluktuasi-fluktuasi besar kekuasan-kekuasan raja-raja Mesir, para Fira’un. Sampai tiga kali sejarah Mesir telah berevolusi dari suatu tatanan feodal patriakhat ke kekuasan tokratis yang sentralistis dan seiring melemahnya kekuasan tersebut, kembali ke tatanan neo-feodal. Di bawah tatanan feodal yang disebut “leenstelsel ”, tanah sesuai kebutuhan diberikan sebagai pinjaman, persetujuan peminjaman tanah ini dibuat di bawah sumpah dan perempuan berada dalam situasi hina dina. Keturunan melalui garis ibu dan endogami, mengijinkan perkawinan antara kakak dan adik perempuan yang merupakan ciri-ciri khas hukum keluarga Mesir kuno Nampaknya orang-orang Mesir tidak meninggalkan peraturan perundang-undangan atau kitab-kitab undang-undang (kodifikasi), setidak-tidaknya belum ditemukan hal-hal seperti itu. Meskipun demikian, banyak sekali ditemukan pengumuman dan pemberitahuan tentang undang-undang tersebut, yang pada hakekatnya telah pernah ditulis sebelumnya, tetapi karena dalam periode-periode pemberontakan kesemuanya itu telah dibuang atau dihancurkan. Pada sisi lain dikenal “pelajaran-pelajaran dan buku- buku kepintaran” yang di
dalamnya dijumpai asas-asas tentang hukum yang bertujuan melindungi barang dan orang dalam pergaulan hidup. b.
Hukum Babilonia : Zaman Hamurabi Di Babilonia, sebelum kodeks Hamurabi, juga terdapat kodeks lain, yaitu : (i) kodeks
Urnami, sekitar tahun 2040 SM; (ii) kodeks Esinunna, sekitar tahun 1930 SM disebuah kerajaan Akadia. Kodeks inimempunyai 60 Pasal; (iii) kodeks Lipitisitar , yang ditulis sekitar tahun 1880 SM dan mempunyai 37 Pasal. Dibandingkan dengan kodeks-kodeks yang tersebut, kodeks Hamurabi merupakan “kitab undang-undang yang terpenting dan terbesar” yang terdiri dari 282 Pasal. Untuk pertama kali dalam sejarah hukum telah ditetapkan sederet asas-asas seperti hak milik (eigendom) yang sangat individualistik,
sewa bawaan
(onderhuur ), dan juga perbutan melawan hukum (onrechtmatig daag ). Hukum pidana dalam kodeks Hamurabi terkenal kejam seperti hukuman mati, pemblasan dendam, pengundungan tangan, jari dan lain-lain. c.
Hukum Hindu Hukum Hundu nampaknya berkembang lebih banyak di suasana aggaris, diantara
berbagai daerah pedesaan, baik yang kecil maupun yang besar. Kesatuan dan persatuan yang tidak dapat dipungkiri yang diperlihatkan oleh hukum Hindu tradisionil disebabkan oleh faham Brahmanisme. Adapun Brahmanisme ini bukan saja menganut hukum bahwa manusia itu tidak sama satu dengan yang lain, tetapi juga membagi-bagi umat manusia dalam kastakasta. Untuk setiap kasta tersedia hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing. Kasta-kasta tersebut dibagi dalam kelompok-kelompok keluarga patriarchal dengan kekuasaan seumur hidup dari kakek tertua atas perempuan-perempuan, anak-anak, dan budak-budak. Beberapa contoh hukum Hindu tentang keluarga antara lain : kewajiban janda
untuk
melanjutkan
perkawinan
denga
kakak
laki-laki
dari
almarhum
suaminya
(leviraatshuweklyk ) atau “kawin ipar”, atau mengikuti suaminya dalam kematian; menyerahkan anak-anak laki-laki dari anak perempuannya kepada ayah yang tidak mempunyai anak laki-laki; harta milik bersama keluarga dengan mengecualikan anak-anak perempuan. Hukum Hindu adalah tatanan hukum yang diwahyukan sekaligus hukum ini suatu tatanan yang bertumpu pada asas-asas umum tentang ketidaksamaan manusia, tatanan kasta. Apa yang paling dekat persamaannya dengan pengertian penulis tentang hukum adalah yang disebut “darma”, “kewajiban”. Jadi, dar ma adalah keseluruhan aturan hidup, yang harus diataati oleh manusia karena setatusnya dalam masyarakat.
Tujuan darma adalah tujuan
esensiil masyarakat; hal ini harus memberikan peluang kepada setiap kasta untuk memenuhi kewajibanya. Sumber-sumber darma terdiri atas :
(1)
Kitab suci Weda, yang pada hakikatnya mempunyai dua pengertian, yakni pengetahuan pada satu sisi dan pada sisi lain naskah-nahkah suci, yang di dalamnya dicatat apa yang diwahyukan;
(2)
smr’ti atau tradisi sebenarnya berarti “ingatan”, diantaranya
yang paling terkenal
manusmr’ti (ingatan Manu), yang disebut kodeks Manu. Kodeks Manu ini meliputi 12 buku dan kurang lebih 5400 ayat. Kodeks ini juga merupakan pembagian secara metodis pertama kedalam cabang-cabang hukum (hukum keluarga, huku perikatan, dan hukum pidana), malahan ditinjau dari isinya menunjukan tentang adanya kematangan pemikiran yuridis yang sangat maju. Misalnya nuansa perkembangan di dalam pembagian tahap-tahan persetujuan, cacat-cacat dalam pemberian persetujuan, dasar-dasar tanggung jawab hukum, title-titel daluarsa akuisitif, dan lain-lain.
(3)
Kebiasaan, hal ini dipandang oleh penganut Hindu sebagai sumber hukum. Bahkan dalam kenyataanya, kebiasaan menjadi sumber hukum terpenting hukum positif Hindu, karena ia menambahkan dan melengkapi peraturan-peraturan yang dijabarkan dari kitab-kitab suci.
B.
Tatanan Hukum Maju atau Mapan
Ciri umum tatanan hukum maju atau mapan mempunyai kesamaan bahwa mereka adalah tatanan-tatanan hukum dunia sekuler, yang di dalamnya penyelenggaraan hukum berlandaskan jalan pikiran rasional, di mana hukum telah mencapai suatu derajat kompleksitas, abstraksi, dan sitematisasi dengan akibat bahwa hal ini merupakan subjek studi dan dilaksanakan oleh para spesialis yang khusus didik untuk itu. Sekularitas hukum tersebut, bertumpu pada pengembalian penguasaan keagamanaan ke dalam suasananya sendiri, yakni bidang keagamaan dan kedua pengeluaran unsure-unsur irasionil
dalam hukum, misalnya dalam hukum pembuktian. Sementara ciri rasional,
sitematisasi, dan abstraksi pada hakikatnya merupakan sebab dan akibat suatu ciri khas yang terakhir
dari
tatanan
(verwissenschaftlichung).
hukum
modern.
profesionalisme
dan
pengilmiahan
BAB IV PENUTUP
A.
Faktor-Faktor Yang Menentukan Perkembangan Hukum
Hukum merupakan suatu produk hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan, maka di dalam proses penciptaan dan perkembangannya ia ditentukan oleh sejumlah aspek hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan tersebut. Tidak mudah untuk menelusuri dan menetapkan sumbangsih beberapa faktor yang benar-benar berperan dalam penciptaan dan perkembangan huku karena faktor-faktor tersebut tampil ke permukaan dalam beraneka ragam sifat dan bentuk. Beberapa diantanya yang paling penting, yaitu : I.
Faktor-faktor politik
Faktor-faktor politik terutama meliputi : (1) adanya penguasa; (2) penguasa agama; (3) tradisi imperial; (4) kekuasaan tersentralisasi; (5) bentuk-bentuk kekuasaan. a.
Faktor-faktor ekonomi
Menurut Marx dan Engels bahwa factor ekonomis mempunyai pengaruh absolute atas perkembangan kemasyarakatan. Akibatnya, hukum sebagian besar ditentukan oleh ekonomi. b.
Faktor-faktor Agama dan Idiologi
Pencampuran antara aturan-aturan agama dan masyarakat dalam satu sisi, dan kekuasaan-kekuasaan kerohanian dan keduniawian pada sisi lain menunjukan mengapa agama juga dipandang sebagai factor penting evolusi hukum, dimana c.
Faktor-faktor Kultural
Faktor-faktor kultural ini tidak hanya penting bagi penghalusan teknik hukum yang semakin meningkat, tetapi juga berpengaruh secara berkelanjutan terhadap pandangan pandangan yang dianut dalam pergaulan kemasyarakatan. Faktor kultural tersebut antara lain: (1)
Aksara, yakni terciptanya seni tulis-menulis. Dimana hukum pada hakikatnya hanya dapat hidup mandiri dan berkembang menjadi ilmu pengetahuan bilama orang-orang dapat membaca dan menulis.
(2)
Resepsi, yakni pengambilalihan oleh suatu kelompok hasil-hasil perolehan budaya kelompok lain.
(3)
Aliran-aliran budaya besar, seperti Helenisme pada zaman dahulu (oudheid ), Renaisans Karolingis pada awal abad pertengahan, dan pada akhir abad pertengahan meliputi : (i) Aristotelisme Kristen (ii) Renaisans, yakni aliran budaya yang telah menggunakan pengaruhnya atas semua bidang kegiatan manusia, baik terhadap seni, ilmu pengetahuan, literature, politik dan lain-lain; (ii) Era pencerahan yang merupakan aliran kejiwaan yang mendominasi pada abad XVIII; (iii) Mazhab Romantik, seperti dalam historiche rechtschule dijumpai beberapa aliran namun
mazhab romantik yang diwujudkan oleh von Savigny yang mengandalkan hukum Romawi keluar sebagi pemenang; (iv) Psoitivisme, aliran yang lahir bagian ke-2 abad XIX dan mempunyai pengaruh yang besar sampai sekarang; dan (8) Marxisme dan leninisme merupakan aliran yang diformulasi pada abad XIX oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, dalam karya seperti Das Capital sementara Lenin memberikan isi yang lain terhadap pengerian “dictator proletariat” Karl Marx.
B.
Tatanan Hukum Di Dunia Masa Kini
1.
Tatanan-tatanan Hukum Tuna Aksara
Meskipun tatanan hukum tuna aksara ini mencerminkan suatu stadium primitif perkembangan hukum, nampaknya hal-hal ini masih di jumpai di dunia masa kini. Misalnya di sejumlah daerah Afrika, Australia, Brazil, dan tempat-tempat lain. Pada umumnya tatanan hukum tersebut tidak lagi merupakan bentuk-bentuk primitif karena telah mengalami suatu evolusi panjang yang bagaimanapun juga seringkali menuntut tatanan hukum yang lebih maju, namun demikian asas-asas primitif tetap tidak mempunyai kesamaan dengan pandangan hukum yang maju. 2.
Tatanan Hukum Tradisonal
Tatanan hukum tradisional merupakan tatanan-tatanan yang dijumpai masa kini namun unsur-unsur fundamental diturunkan dari sumber-sumber agama atau filsafat, yang asal-unsulnya membentang kebelakang hingga zaman dahulu, seperti hukum Iberani, hukum Hindu, hukum Cina, hukum Jepang, hukum Islam. 3.
Tatanan Hukum Modern
Tatanan hukum modern masa kini merupakan tatanan hukum yang keluar dari sumber tradisi kultural Eropa, yakni tatanan hukum Erofa kontinental maupun tatanan hukum AngloAmerika (Common Law). Tatanan hukum hukum Erofa kontinental merupakan suatu kelompok tatanan hukum yang seringkali disebut “romanistis-germanitis”, oleh karena campuran unsur-unsur hukum Romawi dan unsure-unsur dari hukum Germana, terutama Jerman. Orang-orang Ingris menamakannya Civil Law (satu dan lain hal karena pengaruh hukum Romawi dahulu, yakni Corpus Juris Civilis dari Justianus). Sementara Common law ialah hukum yang telah berkembang di Inggris sejak bagian terakhir abad pertengahan, dari peradilan, dalam hal ini pengadilan-pengadilan raja. Oleh sebab itu common law asli pun pertama-tama adalah “ judge made law”, artinya suatu tatanan hukum yang terutama tidak bertumpu pada aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. C.
Hukum Iberani
Hukum Iberani adalah ciri khas sebuah hukum agama, ia tidak mengenal perbedaan antara asas-asas agama dan asas-asas yuridis. Sumber hukum Iberani ditemukan di dalam kitab suci, yaitu : (1) Alkitab atau Bible, yakni kitab suci yang mengandung “undang undang” yang diwahyukan Allah kepada hamba-Nya; (2) Misyna dan Gemara, yaitu Misyna merupakan himpunan pendapat para Rabi sedangkan Gemara merupakan glossen (cacatancatatan) dari ulasan-ulasan dari Misyna; (3) Talmud merupakan berkas Misyna dan Gemara yang dijadikan satu. D.
Hukum Yunani
Hukum Yunani merupakan salah satu sumber-sumber sejarah terpenting bagi tatanantatanan hukum modern Erofa. Sejarah Hukum Yunani dapat dibagi dalam periode-periode berikut : (1) Peradaban Kreta dan Peradaban Mykene; (2) periode gen (clan, generasi persekutuan local); (3) Periode poleis (negara kota), terbentuk melalui pengelompokan-
pengelompokan suku-suku di bawah pimpinan salah seorang kepala suku; (4) periode abadabad VIII dan VI SM, diantara beberapa Negara kota terbentuk suatu tatanan demokrasi, seperti Athena. Sumber histories Hukum Yunani berupa Gortyn, yaitu suatu inskripsi piagam yang berasal dari abad 480-460 SM dan mengandung sejumlah aturan-aturan hukum privat. Di dalam Negara-negara kota Yunani, hukum perdata tidak begitu berkembang dibandingkan dengan hukum tata negara.
E.
Hukum Romawi Kuno
Sejarah hukum Romawi di zaman kuno meliputi 12 abad, mulai dari abad VII SM sampai periode kerajaan sampai abad VI. Selanjutnya era Kaisar Justianus sampai abad XV berlangsung kerajaan Romawi Timur atau Byzantum. Sumber-sumber Hukum Romawi dibedakan berdasarkan : a.
Periode dini, yang berlangsung sejak pertengahan abad II SM. Sumber hukum periode ini berupa kebiasaan (mos maiorum consuetodo) pada saat Roma dikuasai organisasi clan, sementara pada masa
Kerajaan dan Republik dini sumber hukum berupa
undang-undang, yiatu Undang-undang Dua Belas Prasasti sebagai salah satu fundamen ius civile. b.
Periode klasik, yang membentang antara abad II SM sampai akhir abad III M. sumber-sumber terpenting Hukum Romawi Klasik masih tetap berupa kebiasaan dan undang-undang. Pada perkembangannya, undang-undang itu telah
menajdi sumber
terpeting Hukum Romawi masa ini. Undang-undang meliputi leges, konsul-konsul senat, dan terutama constituties kekaisaran yang dibedakan dalam empat kategori yaitu (i) edikta-edikta, yaitu ketentuan yang mempunyai ruang lingkup umum; (ii) dekreta-dekreta, yaitu vonis-vonis yang diucapkan oleh Kaisar atau dewannya
berkaitan dengan peristiwa yuridis; (iii) reskripta-reskripta, yakni jawaban-jawaban yang diberikan oleh kaisar atau dewannya kepada seorang pejabat negara, seorang megistrat atau bahkan patikulir; (iv) mandata, yaitu instruksi-instruksi yang diberikan kaisar kepada gubernur-gubernur provinsi, terutama berhubungan dengan persioalan administrasi dan perpajakan. c.
Periode terlambat, yang berlangsung sejak era Dominat yang tumbuh dari krisis yang dialami oleh Kekaisaran Romawi pada abad III M. periode ini ditandai dan diwarnai oleh pemerintahan absolutisme kekaisaraan, dimana perundang-undangan Kaisar merupakan sumber hukum terpenting dan pada sisi lain pengaruh Kristen sedang tumbuh dengan pesat.
BAB V KESIMPULAN
1.
Sejarah hukum memperlihatkan adanya perubahan dan perkembangan ilmu hukum yang terjadi bukan hanya disebabkan adanya perbedaan kondisi suatu daerah atau negara melainkan juga dari waktu-waktu ke waktu hukum disuatu tempat mengalami perubahan dan perkembangan;
2.
Sejarah hukum dapat membantu kita untuk mengerti norma atau ketentuan hukum yang berlaku pada masa sekarang;
3.
Sejarah hukum dapat memberikan pemahaman mengenai budaya dan pranata hukum sehingga sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai pegangan bagi para yuris yang tergolong masih pemula;
4.
Sejarah hukum meletakkan hukum sesuai dengan perkembangannya dari waktu ke waktu serta juga diakui sebagaii suatu gejala historis (meletakkan hukum sesuai dengan perkembangan sejarahnya).