endekatan tradisional pada hubungan internasional tidak berhenti pada pendekatan realisme dan liberalisme saja. Ada sebuah pendekatan lagi yang menitikberatkan pada ranah ekonomi dalam diskursusnya, marxisme. Marxisme dihadirkan untuk menyanggah pendekatan realisme yang menjelaskan tentang negara yang selalu bersaing dalam hal kekuatan dan kekuasaan dalam hubungan internasionalnya. Kekuatan negara adalah instrumen utama bagi negara untuk mendominasi hubungan internasional. Marxisme juga mencoba menyerang pendekatan liberalisme yang menyatakan bahwa perdamaian internasional dapat dicapai dengan adanya kerjasama antar negara yang bersifat kooperatif dan kolaboratif karena di mata para liberalis, negara bersifat positif dan rasional. Tulisan ini akan membahas mengenai pendekatan marxisme secara keseluruhan meliputi pemikiran dasar, aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan internasional menurut kaum marxis, bentuk sistem internasional, agenda utama, dan pemikiran kaum marxis mengenai keamanan dan perdamaian internasional. Tulisan ini juga akan membahas beberapa kritik dari kaum marxis terhadap pendekatan terdahulu, realisme dan liberaslisme. Pendekatan marxisme diawali dan dibangun oleh seorang ahli ekonomi asal Jerman, Karl Marx. Marx berpikiran bahwa dalam kehidupan sosialnya, materi menjadi sesuatu yang penting dan menentukan. Masing-maisng individu akan berjuang untuk mendapat materi sebanyak-banyaknya. Hal ini menyebabkan manusia terbagi dalam kelas yang berbeda. Masing-masing kelas memiliki ciri khas tersendiri dan saling mempunyai ketergantungan. Kelas tersebut adalah Borjuis dan Proletar. Borjuis adalah kelas bagi para pemilik modal (capital) sedangkan proletar adalah kelas bagi para pekerja (labour) yang tidak memiliki modal. Kaum proletar bekerja dan bergantung pada kaum borjuis. Keadaan ini lah yang kemudian diterjemahkan oleh Marx akan menimbulkan sebuah eksploitasi yang dilakukan pleh kaum borjuis sebagai pemilik modal terhadap kaum proletar. Kapitalisme merupakan wujud rasional dan implikasi logis dari adanya perbedaan kelas ini. Pandangan seperti ini jelas kontradiktif dengan pandangan kaum liberalis yang berpandangan bahwa kerja sama akan dapat terjadi antar manusia untuk mencapai sebuah kesejahteraan. Menurut kaum marxis, manusia tidak akan pernah seobyektif dan seinnosense itu dalam kehidupannya. Marxisme menolak pemikiran kaum liberalis yang memandang kerjasama dalam perekonomian sebagai positive sum game. Marxis memandang perekonomian sebagai zero sum game karena sejatinya perekonomian merupakan tempat eksploitasi manusia dan perbedaan kelas. Meskipun kaum marxis berpandangan bahwa perekonomian kapitalis merupakan lahan ekspolitasi manusia, marxis tidak menganggap kapitalisme ini merupakan suatu kemunduran. Justru ini merupakan sebuah kemajuan dalam perekonomian yang setidaknya kemajuan dalam dua hal (Jackson dan Sorensen, 1999). Pertama, kapitalisme menghancurkan hubungan produksi sebelumnya yang bahkan lebih eksploitatif, yaitu feodalisme. Feodalisme adalah bentuk eksploitasi yang berwujud buruh dan petani dan bahkan menyerupai budak. Marxisme percaya bahwa kapitalisme merupakan suatu kemajuan karena dalam kapitalisme, kaum proletar (buruh) dapat menjual tenaganya pada kaum borjuis sehingga mendapat imbalan terbaik yang kemudian menghindarkan mereka dari segala bentuk perbudakan. Kedua, kapitalisme membuka jalan bagi revolusi sosial dimana alat-alat produksi ditempatkan dalam kontrol sosial bagi keuntungan kaum proletar sebagai
mayoritas tebesar sehingga kaum borjuis tidak bisa semena-mena mengeksploitasi kaum proletar yang notabene tdak memiliki modal. Pandangan Marx mengenai adanya perbedaan kelas dalam kehidupan manusia ini belum relevan jika dibawa pada hubungan internasional. Pada akhirnya, Lenin muncul mengadopsi pemikiran-pemikiran Marx yang kemudian digunakan untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional. Tulisan Lenin yang terkenal “Imperialism, The Highest Stage of Capitalism” mencoba mengintegralkan pemikiran Marx dalam konteks hubungan antar negara. Menurut pemikiran neomarxisme, ekonomi merupakan dasar dari semua kegiatan hubungan internasional dan bahkan berada di atas politik. Konsekuensinya adalah konflik kelas menjadi implikasi logis dari hal ini. Lenin melihat bahwa negara tidak otonom, mereka digerakkan oleh kepentingan kaum borjuis yang ada di negara mereka. Bahkan peperangan yang terjadi merupakan implikasi dari adanya persaingan diantara para kelas kapitalis (Jackson dan Sorensen, 1999). Dengan pandangan demikian, marxisme dan neomarxisme mencoba mematahkan pandangan kaum realis yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi dalam hubungan internasional adalah akibat perbedaan kekuatan dan keinginan untuk saling menguasai satu sama lain dan politik menjadi hal yang pertama di atas ekonomi. Lenin juga menjelaskan sebagai suatu sistem ekonomi, kapitalisme bersifat ekspansif dan selalu mencari pasar baru yang lebih menguntungkan. Dengan adanya perbedaan kelas lintas batas negara, imperialisme dan kolonialisme muncul sebagai bentuk perluasan kapitalisme dalam rangka mencari pasar baru dan mencari proletariat baru agar bisa dieksploitasi. Pemikiran neomarxisme juga dijelaskan oleh pemikir lainnya, seperti Wallerstein. Dalam pemikirannya, Wallerstein menitikberatkan pada perekonomian dunia dan cenderung mengabaikan politik internasional. Ia yakin bahwa dalam perekonomian, dunia berkembang dalam keadaan yang tidak seimbang yang kemudian memunculkan ketergantungan yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan hubungan tersebut. Sistem kapitalisme dunia didasarkan pada hubungan asimetris yang bersifat subordinatif sehingga negara kaya dengan nyata menindas negara miskin. Wallerstein menjelaskan bahwa hubungan antar negara dalam sistem internasional yang kapitalis eksplotaif adalah bersifat dependensi (Burchill dan Linklatter, 2005). Terdapat hubungan saling ketergantungan antara masing-masing negara yang kemudian dispesifikkan menjadi sebuah tatanan negara yang lebih hirarkis dan struktural yaitu core, semiperiphery, dan periphery yang kemudian dikenal sebagai World System Theory (Jackson dan Sorensen, 1999). Pandangan mengenai keadaan yang terstruktur inilah yang kemudian disebut sebagai Strukturalis, yang maksudnya adalah tatanan dunia memang sudah terstruktur sedemikian rupa. Dalam World System Theory, Core adalah negara kaya, semiperiphery adalah negara yang biasa saja, dan periphery adalah negara miskin atau negara dunia ketiga. Dalam kapitalisme dunia, negara core bertindak sebagai borjuis, negara yang memiliki modal sedangkan negara periphery bertindak sebagai proletar. Keadaan struktural ini memaksa negara-negara miskin untuk masuk dan terlibat pada kapitalisme global sehingga menyebabkan mereka bergantung pada negara-negara kaya. Bagi negaranegara kaya, hal ini adalah lahan baru bagi keberlanjutan kapitalisme mereka. Pemikiran kaum strukturalis atau neomarxis ini juga membantah pandangan kaum liberal yang menyatakan bahwa kesejahteraan dapat terjadi atas sifat rasional manusia dan negara
yang kooperatif dan kolaboratif, karena pada kenyataannya manusia dan negara tidak akan bisa seobyektif yang mereka bayangkan. Dari tulisan diatas dapat disederhanakan bahwa pemikiran marxisme didasarkan pada hakikat dasar manusia adalah materi dan setiap manusia akan berjuang untuk mendapatkan materi tersebut dan perbedaan kelas menjadi konsekuensi logis baginya. Kelas-kelas tersebut adalah borjuis dan proletar yang kemudian menjadi aktor utama dalam hubungan internasional menurut pandangan marxisme. Diantara kelas-kelas ini terdapat ketergantungan satu sama lain sehingga menyebabkan kaum borjuis yang dalam konteks negara diintegralkan menjadi negara core akan mengeksploitasi kaum proletar atau negara periphery jika ditempatkan pada konteks negara dengan World System Theory sebagai sistem internasionalnya. Kondisi kapitalisme dunia inilah yang dinamakan dengan strukturalisme. n Pusat Kota sebagai Pusat Pertumbuhan 2006-11-07 07:08:15 - Thesis Kalla Manta Salah satu unsur fundamental pengembangan wilayah adalah keberadaan pusat, disamping unsur-unsur lainnya yaitu wilayah pengaruh (wilayah pelayanan) dan jaringan transportasi. Mengenai pentingnya peran pusat telah dikemukakan oleh banyak pakar sebagai berikut: 1. Teori-Teori Pusat Pertumbuhan Konsep titik pertumbuhan (growth point concept) adalah merupakan mata rantai antara struktur daerah-daerah nodal yang berkembang dengan sendirinya dan perencanaan fisik dan regional. Sebagaimana telah diketahui, keuntungan-keuntungan aglomerasi menyebabkan konsentrasi produksi lebih efisien dari pada yang terpencar-pencar, sedangkan keseimbangan antara keuntungan-keuntungan skala dalam penyediaan pelayanan-pelayanan sentral dan keinginan akan kemudahan hubungan telah mengakibatkan konsentrasi penduduk yang tersusun dalam suatu hirarki difokuskannya pusat-pusat sub-regional bagi pertumbuhan telah membantu menjembatani celah antara teori lokasi dan teori ekonomi regional. la juga memasukkan unsur kesatuan dan pengarahan ke dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan regional seperti: pembuatan prasarana pada titik-titik pertumbuhan, lokasi perumahan baru, dan penggairahan migrasi intraregional dan perjalanan ke tempat kerja ke pusat-pusat yang direncanakan. Pemikiran dasar dari titik pertumbuhan adalah bahwa kegiatan ekonomi di dalam suatu wilayah cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik-titik tokal. Di dalam suatu wilayah, arus polarisasi akan bergravitasi ke arah titik-titik tokal ini, walaupun kepadatan dari arus tersebut akan berkurang karena jarak. Di sekitar titik tokal (pusat dominan) kita dapat menentukan garis perbatasan dimana kepadatan arus turun sampai suatu tingkat kritis minimum, pusat tersebut dapat dinamakan sebagai titik pertumbuhan, sedangkan wilayah di dalam garis perbatasan merupakan wilayah pengaruhnya (wilayah pertumbuhan). Berdasarkan penapsiran di atas, distribusi penduduk secara spasial tersusun dalam sistem pusat hirarki dan kaitan-kaitan tungsional. Semakin kuat ciri-ciri nodal dari wilayah-
wilayah yang bersangkutan semakin tinggi tingkat pertumbuhannya dan demikian juga halnya dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosialnya. Dengan demikian rencana pengembangan wilayah akan lebih berhasil jika rencana tersebut diarahkan untuk memperkuat ciri-ciri titik pertumbuhan alamiah yang terdapat di masing-masing wilayah. Strategi titik pertumbuhan dapat ditafsirkan sebagai upaya mengkombinasikan ciri-ciri tempat sentral yang mempunyai orde tinggi dan lokasi potensial yang memberikan keuntu ngan-keuntungan aglomerasi. Jadi jelaslah konsep titik pertumbuhan itu merupakan mata rantai penghubung antara struktur wilayah-wilayah nodal yang berkembang dengan sendirinya dengan perencanaan fisik dan wilayah. Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari ahli-ahli teori ekonomi regional Perancis. Terutama Francois Perroux telah mengemukakan konsep kutub pertumbuhan. Boudeville (1966: 11), dengan mengikuti Perroux, telah mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai seperangkat industriindustri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lanjut dari kegiatan ekonomi melalui daerah pengaruhnya. Faktor utama dalam ekspansi regional adalah interaksi antara industri-industri inti yang merupakan pusat nadi dari kutub perkembangan. industri-industri ini mempunyai ciri-ciri khusus tertentu: tingkat konsentrasi yang tinggi, elastisitas pendapatan dari permintaan yang tinggi terhadap produk mereka yang biasanya dijual ke pasar-pasar nasional, efek multi player dan efek polarisasi lokal yang sangat besar. Akan tetapi, kutub pertumbuhan (growth pole) tidaklah hanya merupakan lokalisasi dari industri-industri inti. Kutub pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitar, dan karenanya efek polarisasi strategi adalah lebih menentukan dari pada perkaitan¬ perkaitan antar industri. Prasarana yang sudah ada sangat berkembang, penyediaan pelayanan-pelayanan sentral, permintaan terhadap faktor¬ faktor produksi dari daerah pengaruh, dan persebaran kesadaran¬ pertumbuhan dan dinamisme ke seluruh daerah pengaruh. Kesemuanya ini panting untuk mendorong polarisasi. Analisa titik pertumbuhan mengandung hipotesa bahwa pendapatan di daerah pertumbuhan sebagai keseluruhan akan mencapai maksimum apabila pembangunan dikonsentrasikan pada titik- titik pertumbuhan dari pada jika pembangunan itu dipencarpencar secara tipis di seluruh daerah. Dengan demikian, interaksi antara masing-masing titik pertumbuhan dan. daerah pengaruhnya adalah unsur yang panting dalam teori ini. Interaksi ini mempunyai beberapa aspek. Pertama, interaksi ini akan menimbulkan ketidak seimbangan struktural di daerah yang bersangkutan secara keseluruhan. Jika suatu titik pertumbuhan digandengkan dengan pembangunan suatu komplek industri baru, maka komplek tersebut akan ditempatkan di sekitar titik pertumbuhan itu sendiri. Memang harus diakui industri-industri pensuplai di daerah pengaruh tentu akan ikut terdorong berkembang, tetapi perbedaan yang besar dalam kemakmuran antara titik pertumbuhan dan daerah yang mengitarinya akan tetap terdapat. Selanjutnya di luar perbatasan daerah pengaruh, tingkat pendapatan dapat mengalami stagnasi den daerah mengalami kemunduran. Pembenaran titik pertumbuhan ini adalah bahwa daerah¬ daerah ini bagaimanapun juga pasti sampai pada titik stagnasi,
dan bahwa pengkonsentrasian akan menghasilkan pendapatan perkapita rata¬ rata yang lebih tinggi di daerah yang bersangkutan sebagai keseluruhan. Kedua, industri-industri penggerak (propulsive industries) di kutub pertumbuhan . adalah industri-industri ekspor yang melayani pager- pager ekstra regional. Teori titik pertumbuhan secara implisit bersumber pada konsep basis ekspor tetapi dengan memberinya dimensi ruang, karena industri-industri inti (key industries) berlokasi pada titik pertumbuhan sedangkan industri-industri suplay, tenaga kerja, bahan-bahan mentah dan pelayanan-pelayanan defenden dapat terpencar-pencar di seluruh daerah pengaruh. Pendapatan yang terima di daerah pengaruh bersal dari penerimaan faktor terutama upah yang diperoleh para pekerja yang tinggal di daerah pengaruh tetapi bekerja di titik pertumbuhan. Salah satu perbedaan enters titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah bahwa titik pertumbuhan dapat dianggap sebagai pager tenaga kerja sentral dan daerah pengaruhnya sebagai daerah sumber tenaga kerja. Ketiga, fungsi tempat sentral dari titik pertumbuhan (dengan asumsi bahwa tempat tersebut adalah pusat penduduk yang substansial) dapat memperjelas hubungan antar titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya. Tersedianya pelayanan sentral adalah salah satu keuntungan aglomerasi yang panting pada titik pertumbuhan. Tetapi, secara konsepsional, titik pertumbuhan dan tempat sentral tidaklah identik. Tempat-tempat sentral (central places) adalah banyak sekali dan tersusun dalam suatu hirarki, sedangkan titik pertumbuhan hanya sedikit sekali dalam beberapa hal, hanya satu di dalam suatu daerah. Arus polarisasi diekitar titik pertumbuhan adalah lebih intensif dan mempunyai watak yang lebih beraneka ragam dari pada di sekitar tempat sentral dimana arus terutama terdiri dari kepergian hilir mudik untuk keperluan berbelanja, rekreasi dan jasa-jasa lainnya. Perbedaan yang paling menonjol adalah bahwa apabila yang menopang pertumbuhan suatu tempat sentral adalah daerah komplementernya, maka yang menopang pertumbuhan lingkungan pengaruhadalah titik pertumbuhan. Friedman dan Alonso (1974) melahirkan konsep yang dikenal dengan sebutan interaksi antara inti dan tepi" (core and peripheri interaction) pengembangan days kreasi dalam suatu masyarakat lewat serangkaian perubahan struktural yang berkesinambungan, yang terjadi bersifat komulatif. Pembangunan berasal mula dari sejumlah relatif sedikit pusat-pusat perubahan (centre of change) yang terletak di titik-titik interaksi berpotensi tinggi dalam batas atau bidang jangkauan komunikasi. Daerah-daerah inti (core regions) tersebut merupakan pusat-pusat utama dari pembaharuan (inovation). Sementara wilayah-wilayah territorial lainnya merupakan daerah-daerah tepi/pinggiran (peripheri regions) yang berada jauh dari pusat perubahan, yang menggantungkan nasibnya kepada daerah-daerah inti. Pembangunan di daerahdaerah pinggiran ini juga ditentukan oleh daerah inti. Myrdal (1976) dalam Sihotan, Paul (1990: 10) tentang spread effect (efek menyebar) dan backwash effect (gelombang surut). Spread effect adalah kekuatan-kekuatan yang menuju
konvergensi antara daerah¬ daerah kaya dan daerah-daerah miskin. Dengan bertumbuhnya daerah kaya, maka bertambah pulalah permintaannya terhadap produk dari daerah miskin dan dengan demikian mendorong pertumbuhannya. Keluarnya faktorfaktor dari daerah miskin dapat mendorong lebih efisien penggunaan sumber daya, melalui relokasi intern dari sektor upah rendah ke sektor upah tinggi atau produktivitas tinggi yang menimbulkan pertumbuhan. Secara umum memiliki kemiripan dengan konsep Hircshman yakni polarization effect and tricle down effect. 2. Teori Simpul Jasa Distribusi Seperti teori aglomerasi (Weber), teori tempat sentral (Cristaller dan Losch), teen kutub pertumbuhan (Perraoux), dan teori daerah inti (friedmann), Purnomosidi menekankan pula pentingnya peranan pusat¬ pusat pengembangan, yang selanjutnya diidentifikasikan sebagai "simpul¬ simpul jasa distribusi" (pada umumnya adalah kota). Menurut Purnomosidi Hadjisarosa, pengembangan wilayah dimungkinkan oleh adanya pertumbuhan nodal, yang bertumpu pada pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya alamnya; pengembangan kedua jenis sumberdaya tersebut berlangsung sedemikian sehingga menimbulkan arus barang. Bahan mentah diangkut dari daerah penghasil ke lokasi pabrik; dan barang hasilnya diangkut dari produsen ke konsumen. Arus barang dianggapnya sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling menonjol, arus barang merupakan wujud fisik perdagangan antar daerah, antar pulau, ataupun antar negara; arus barang didukung langsung oleh jasa perdagangan dan jasa pengangkutan serta distribusi). Jadi jasa distribusi merupakan kegiatan yang sangat panting dalam kehidupan manusia dan pembangunan secara fisik, terutama jika ditinjau pengaruhnya dalam penentuan lokasi tempat berkelompoknya berbagai kegiatan usaha dan kemudahan-kemudahan, demikian pula fungsinya dalam proses berkembangnya wilayah (Hadjisarosa, 1981: 4-5). Di kota-kota terdapat berbagai kemudahan. Kemudahan diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Diantara kemudahan-kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat panting, oleh karena itu di kota¬ kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan usaha distribusi, yang selanjutnya oleh Purnomosidi disebutnya "simpul jasa distribusi" atau disingkat dengan simpul. Ada dua faktor panting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan simpulsimpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hirarki simpul dalam sistem spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi bagi wilayah pengembangannya atau wilayah nasional (bersifat keluar), sedangkan fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam). Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hirarki dari tiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional enter simpul yang
dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang. Biasanya pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antar simpul yang mempunyai tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat keterhubungan dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan antar simpul dapat diketahui dari data arus barang dari tempat asal ke tempat tujuan. Selanjutnya berdasar susunan hirarki serta keterhubungan den ketergantungan dapat ditentukan arah pengembangan pemasarannya secara geografis. Poernomosidi membedakan wilayah administrasi dengan wilayah pengembangan. Secara administratif, seluruh wilayah terbagi habis, tetapi tidak berarti bahwa seluruh wilayah administrasi secara otomatis tercakup dalam wilayah pengembangan. Dalam kenyataannya beberapa bagian wi/ayah administrasi tidak terjangkau oleh pelayanan distribusi disebabkan hambatan-hambatan geografis atau karena belum tersedianya prasarana distribusi ke dan dari bagian-bagian wilayah tersebut.
Pemikiran di Balik Klaster Industri Berkaitan dengan tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, dalam artikel ini saya akan menyampaikan secara singkat beberapa pemikiran/teori yang melatarbelakangi klaster industri. Untuk hal/bahan terkait, silahkan membaca pula beberapa artikel di blog opini pribadi saya . . . Di antara beberapa hal yang sebenarnya sangat mendasar dalam konsep klaster industri dan membedakan satu konsep dengan konsep lainnya adalah dimensi/aspek rantai nilai (value chain). Dengan pertimbangan dimensi rantai nilai, secara umum terdapat dua pendekatan klaster industri dalam literatur, yaitu: 1. Beberapa literatur, terutama yang berkembang terlebih dahulu dan lebih menyoroti aspek aglomerasi, merupakan pendekatan berdasarkan pada (menekankan pada) aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini misalnya, sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai “keserupaan” aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri; 2. Beberapa literatur yang berkembang dewasa ini, termasuk yang ditekankan oleh Porter, merupakan pendekatan yang lebih menyoroti “keterkaitan” (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/ bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri. Pendekatan rantai nilai dinilai “lebih sesuai” terutama dalam konteks peningkatan daya saing, pengembangan sistem inovasi (nasional/daerah), prakarsa pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan/teknologi atau tema sejenisnya, dan bukan “sekedar” upaya
memperoleh “ekonomi aglomerasi” karena terkonsentrasinya aktivitas bisnis yang serupa. Bahasan dalam blog ini selanjutnya lebih menekankan pendekatan yang kedua. Hal yang penting dari pendekatan kedua ini adalah asumsi bahwa untuk berhasil, perusahaan tidak dapat bekerja sendiri secara terisolasi. Identik dengan ini adalah bahwa inovasi seringkali muncul dari interaksi multi pihak. Tanpa maksud memperdebatkan pandangan mana yang paling benar, yang tentu saja bukan maksud dari penulisan di blog ini, berikut disajikan secara singkat beberapa teori/konsep yang terkait dengan klaster industri. Sejauh ini harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk menentukan skema pengorganisasian dan keterkaitan antar teori/konsep yang berkembang menyangkut klaster industri. Diskusi tentang teori/konsepsi klaster industri terus berkembang, terutama dewasa ini. Dalam blog ini, saya sampaikan 6 (enam) “teori” yang melatarbelakangi tentang klaster industri. Bergman dan Feser (1999) mengungkapkan bahwa setidaknya ada 5 (lima) konsep teoritis utama yang mendukung literatur tentang klaster industri daerah, yaitu: external economies, lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative competition), persaingan antar industri (interfirm rivalry), dan path dependence. Selain itu, pendekatan yang keenam adalah yang dikenal dengan efisiensi kolektif (collective efficiency), yang juga akan saya sampaikan secara singkat. Kalau saya "sederhanakan," maka keenam teori tersebut adalah seperti ditunjukkan pada gambar berikut. Selanjutnya masing-masing teori tersebut akan saya sampaikan satu per satu.
1. Eksternalitas Ekonomi Secara umum ada dua pendekatan konseptual dalam literatur untuk memahami manfaat terkonsentrasinya perusahaan dalam ruang geografis tertentu, yaitu: 1. Teori lokasi industri (yang bertumpu pada karya Weber dan Hoover di tahun 1930-an), di mana manfaat yang diperoleh sering disebut ekonomi aglomerasi, dan 2. Teori Marshal yang diawali analisis eksternalitas ekonomi dan kehadirannya dalam “kawasan industri (industrial district)” Keduanya lebih menekankan pada eksternalitas statik atau dinamik (dari sumber eksternalitas tersebut), dan tidak memberikan perhatian khusus pada perbedaan antara eksternalitas keuangan atau teknologis. Teori lokasi industri Weber mengidentifikasi ekonomi aglomerasi, yaitu penghematan biaya yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan akibat dari meningkatnya konsentrasi secara spasial, sebagai salah satu dari tiga sebab utama pengelompokan spasial atau aglomerasi. Sebab-sebab tersebut merupakan eksternalitas ekonomi yang bersifat
internal. Hoover selanjutnya memperkenalkan ekonomi lokalisasi dan urbanisasi. Belakangan penekanan atas keuntungan dari jarak kedekatan (proximity) antar perusahaan, ketersediaan dan penggunaan fasilitas perbaikan yang terspesialisasi, infrastruktur bersama, berkurangnya risiko dan ketidakpastian bagi para wirausahawan, dan informasi yang lebih baik, diidentifikasi sebagai faktor penting dari aglomerasi. Sementara itu, teori Marshall mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai penghematan biaya bagi perusahaan karena ukuran atau pertumbuhan output dalam industri secara umum. Eksternalitas ekonomi yang bersifat eksternal ini merupakan eksternalitas spasial, yaitu dampak samping ekonomi dari kedekatan jarak antara para pelaku ekonomi. Bentuknya bisa bersifat positif atau negatif, statik ataupun dinamik, keuangan ataupun teknologis. Faktor statik bersifat dua arah (peningkatan atau pengurangan), sementara yang dinamik adalah yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, meningkatnya spesialisasi, dan pembagian kerja yang menyertai atau mendorong pertumbuhan dan pembangunan. Krugman (1991) menelaah lokalisasi produksi industri dan mengidentifikasi tiga alasan lokalisasi tersebut, yaitu: •
• •
Penghimpunan pasar tenaga kerja (labour market pooling) : konsentrasi sektoral and geografis menciptakan sehimpunan keterampilan yang terspesialisasi yang menguntungkan baik bagi tenaga kerja maupun perusahaan. Input antara (intermediate inputs) : klaster perusahaan memungkinkan adanya dukungan dari pemasok input dan jasa-jasa yang lebih terspesialisasi. Spillover teknologi (technological spillovers) : “klasterisasi/pengklasteran” memfasilitasi difusi know how dan gagasan secara cepat.
Dalam konteks eksternalitas ekonomi statik, perusahaan umumnya cenderung mengelompok dengan perusahaan lain yang erat dengan kepentingannya. Seperti disampaikan oleh Bergman dan Feser (1999), studi klaster industri sangat berkepentingan dengan eksternalitas ekonomi dinamik, terutama yang berkaitan dengan pembelajaran (learning), inovasi, dan meningkatnya spesialisasi. Dalam konteks ini Marshall merujuk keuntungan dari suatu “kawasan” (district) yang dapat dinikmati perusahaan akibat dari ketersediaan tenaga kerja terampil, kesempatan yang lebih baik untuk berspesialisasi intensif, dan difusi informasi dan pengetahuan yang bersifat spesifik industri (knowledge spillover). Di balik dinamika tersebut bukanlah semata ukuran “kawasan,” tetapi juga faktor sosial, kultural dan politis, termasuk rasa saling-percaya (trust), kebiasaan bisnis, ikatan sosial, dan pertimbangan kelembagaan lainnya. Analisis Marshall ini memberikan pemahaman awal tentang bagaimana hubungan bisnis pada tingkat mikro dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan daerah, dan berkaitan dengan pemikiran Porter tentang faktor struktur, strategi dan persaingan perusahaan dalam analisisnya.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari posting sebelumnya. Saya akan melanjutkan diskusi tentang pemikiran/konsep di balik klaster industri dengan menyampaikan secara
singkat 3 (tiga) konsep, yaitu lingkungan inovasi, kompetisi kooperatif, dan persaingan/rivalitas. 2. Lingkungan Inovasi Sebagaimana disampaikan oleh Roelandt dan den Hertog (1999, h.1), dalam perkembangan teori inovasi, perilaku dan aliansi strategis antar perusahaan, dan interaksi serta pertukaran pengetahuan antara perusahaan, lembaga-lembaga riset, perguruan tinggi dan lembaga lainnya telah menjadi “pusat” dari analisis proses inovasi. Inovasi dan peningkatan (upgrading) kapasitas produktif dipandang sebagai suatu proses sosial yang dinamis yang acapkali berhasil berkembang dalam suatu jaringan di mana interaksi intensif terjadi antara pelaku yang “menghasilkan/menyediakan” pengetahuan dan pelaku yang “membeli dan menggunakan” pengetahuan. Sehubungan dengan itu, klaster industri sering dinilai sebagai alat kebijakan yang penting yang terkait dengan sistem inovasi nasional.[1] Pandangan Lundvall (1992) tentang sistem inovasi nasional menekankan pentingnya kapabilitas pembelajaran (learning capability) dari perusahaan, lembaga-lembaga dan masyarakat pengetahuan. Klaster dan jaringan industri akan berperan sebagai mekanisme bagi pertukaran pengetahuan dan informasi, terutama bagi elemen terpentingnya yang justru (dipandang) sebagai bagian yang tak “terkodifikasi (codified)” atau bersifat tacit (lekat dengan orang dan/ atau kelembagaan). Pengetahuan yang tacit semakin penting seiring dengan cepatnya perubahan lingkungan ekonomi global. Pertukaran pengetahuan demikian terjadi antar multipihak, termasuk lembaga non bisnis. Karakteristik lingkungan setempat (daerah) yang mendukung terjadi interaksi multipihak untuk pertukaran pengetahuan dan informasi demikin akan memiliki keunggulan bagi perkembangan inovasi dibanding dengan daerah lainnya yang tidak. Seperti misalnya diungkapkan Saxenian (1994), bahwa perbedaan yang terjadi antara Silicon Valley dan Route 128 adalah akibat faktor modal sosial. Pandangan lain tentang ini adalah “teori” tentang “lingkungan inovatif (innovative milieu)” Maillat (lihat misalnya Fromhold-Eisebith, 2002). Lingkungan (milieu) lebih merupakan tatanan yang mampu memprakarsai suatu proses sinergis. Pendekatan innovative/creative milieu mengasumsikan suatu endowment (anugerah) kelembagaan daerah yang baik dalam bentuk perguruan tinggi, laboratorium riset, lembaga-lembaga pendukung publik, beberapa perusahaan dan faktor lainnya sebagai prasyarat perlu, berfokus pada kekuatan-kekuatan utama yang mendorong lembaga-lembaga tersebut benar-benar berinteraksi dan terkoordinasi sedemikian sehingga membawa kepada hasil yang positif di daerah, utamanya perusahaan-perusahaan yang inovatif. Seperti dikutip oleh Fromhold-Eisebith (2002) dari Camagni (1991), GREMI (the Groupe de Recherche Europeen sur les Milieux Innovateurs) mendefinisikan innovative milieu sebagai “sehimpunan atau jaringan komplek terutama dari hubungan-hubungan sosial informal pada suatu area geografis terbatas, yang seringkali menentukan “citra” khusus tertentu di luar (eksternal) dan suatu “perwakilan/representasi” khusus serta rasa kepemilikan (sense of belonging) di dalam (internal), yang meningkatkan kapabilitas inovatif setempat (lokal) melalui proses pembelajaran kolektif dan sinergis. Dalam konsep ini ada tiga elemen utama yang menandai innovative milieu, yaitu: hubungan pelaku yang efektif dalam suatu kerangka daerah; kontak sosial yang meningkatkan proses pembelajaran; dan citra dan rasa memiliki.
3. Kompetisi Kooperatif Dalam pandangan ini, perusahaan yang bersaing satu dengan lainnya akan berusaha mencarai cara untuk dapat bekerjasama dalam pengembangan produk ataupun merebut pasar. Pola kerjasama biasanya didasarkan atas kepercayaan, ikatan keluarga, dan tradisi, seperti dijumpai dalam industrial district di Third Italy. Belakangan, keterikatan sosial (social embeddedness) nampaknya banyak melandasi perkembangan konsep tersebut. Fenomena ini nampaknya jarang dijumpai di luar literatur industrial district (Bergman dan Feser, 1999). Di Indonesia pun, fenomena demikian nampaknya lebih mungkin dijumpai di sentra-sentra industri kecil, yang secara historis telah berkembang lama (turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikut) dan “keterikatan” sosial dan kultural antar pelaku telah menjadi bagian sangat penting dari komunitas sentra. 4. Persaingan/Rivalitas (Rivalry) Serupa dengan tema dalam industrial district, konsep ini memandang bahwa persaingan (karena struktur industri dan/ataupun semangat berkompetisi dari perusahaan dalam industri) akan sangat mempengaruhi pembelajaran, inovasi dan kewirausahaan, yang akan membentuk pola perkembangan ekonomi daerah. Pada posting sebelumnya, saya telah membahas 3 (tiga) teori/konsep tentang klaster industri, yaitu: lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative competition), dan persaingan antarindustri (interfirm rivalry). Mari kita lanjutkan diskusi tentang beberapa pemikiran/konsep di balik klaster industri. Dalam artikel ini, saya sampaikan ringkasan dua konsep terakhir tentang klaster industri, yaitu path dependence dan ”efisiensi kolektif” (collective efficiency). 5. Path Dependence Model-model polarisasi, core-periphery, dan kausalitas kumulatif semuanya merujuk kepada kecenderungan yang akan lebih memperkuat bagi daerah untuk terus maju atau mundur. Jika teori neoklasik mengasumsikan constant returns, yang tidak memberi ruang bagi eksternalitas (mendominasi pandangan atas pandangan mainstream pertumbuhan daerah hingga tahun 1980-an), maka teori pertumbuhan baru (new growth theory) mengasumsikan kemungkinan peran increasing returns. Teori pertumbuhan baru memandang bahwa suatu keunggulan komparatif yang terbentuk di suatu daerah atau negara (apakah karena faktor “kebetulan,” distribusi sumber daya alam, ataupun fenomena yang bersifat non perilaku) akan sangat mungkin menguat sebagai akibat dari eksternalitas ekonomi. Dalam ekonomi internasional yang “baru” pun, faktor increasing returns dalam perdagangan berimplikasi pada kemungkinan pola perkembangan yang sangat terkonsentrasi secara geografis, termasuk perbedaan dalam pendapatan dan penyerapan kerja antar daerah. Eksternalitas yang berkaitan dengan pengetahuan sangat mungkin menjadi fenomena lock-in effect, yang membuat suatu daerah mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu (yang didukung oleh pengetahuan terkait yang berkembang) dibanding dengan daerah lainnya. Bagaimana kemungkinan hal ini terjadi ataupun berlanjut nampaknya lebih merupakan persoalan empiris. Istilah path dependence dalam hal ini mengacu kepada keadaan umum di mana pilihan
teknologi, walaupun nampaknya tidak efisien, inferior, ataupun yang suboptimal, akan mendominasi alternatif/pilihan lainnya dan akan “memperkuat” terus (self-reinforcing), walaupun ini tak berarti bahwa dengan upaya intervensi yang cukup signifikan, hal tersebut tak dapat diubah. Diskusi tentang papan ketik (keyboard) dengan model QWERTY (sejak penemuan awal hingga era komputer kini), atau industri karpet di Dalton, Georgia (Amerika Serikat) adalah di antara beberapa contoh “klasik” akan hal ini. Walaupun tidak ada lembaga riset tentang teknologi karpet di perguruan tinggi setempat, tak ada produsen karpet dan tidak sejarah pembuat karpet di antara pekerja setempat, namun skala ekonomi dan eksternalitas dinilai telah memperkuatnya dan membuat Dalton menjadi pemimpin dalam produksi karpet. Path dependence dinilai mempunyai implikasi geografis yang jelas karena kenyataannya bisnis (menurut kaidah umum) akan berklaster dalam ruang. Meyer-Stamer (1998) mengungkapkan, karena teknologi bisa bersifat path dependent, maka lintasan (trajectory) dari perkembangan daerah juga dapat bersifat path dependent. Hal ini nampaknya juga berimplikasi pada pentingnya bagi suatu daerah untuk memiliki kepeloporan (sebagai first-mover) untuk dapat berhasil dalam proses pembangunan. Beberapa bukti empiris di Tanah Air juga mengindikasikan bahwa daerah-daerah tertentu mempunyai kelebihan dari daerah lainnya dalam bidang tertentu, yang dilandasi oleh pengetahuan/keterampilan spesifik terkait, yang berkembang dari waktu ke waktu. Walaupun, karena proses inovasi yang relatif lambat (misalnya karena relatif rendahnya tingkat pendidikan) dan/atau faktor lainnya, hal ini tak selalu menjadi keunggulan daerah yang terus terpelihara. Daerah lain seringkali dapat “meniru” dan bahkan mengungguli apa yang sebelumnya menjadi kelebihan suatu daerah (yang ditirunya). 6. Efisiensi Kolektif (Collective Efficiency) Selain kelima hal yang telah disampaikan, Schmitz (1997) adalah di antara yang menelaah faktor/isu “lain” sehubungan dengan klaster industri. Ia menekankan adanya “efisiensi kolektif” (collective efficiency) dari suatu klaster industri yang berkontribusi pada keunggulan daya saing perusahaan. Artinya, perusahaan-perusahan dan organisasi terkait lainnya dapat termotivasi oleh ekspektasi adanya efisiensi kolektif yang dapat/akan diperolehnya jika “bergabung” dalam suatu klaster industri tertentu. Efisiensi kolektif ini teridiri atas dua aspek dan kombinasi dari keduanya akan beragam antara suatu klaster dengan lainnya dan juga berkembang dari waktu ke waktu, yaitu: 1. Ekonomi eksternal lokal/setempat (local external economies) : yang berkaitan dengan manfaat ekonomi yang muncul dari terkonsentrasinya perusahaan di suatu tempat/wilayah geografis. Ini bersifat insidental (tidak direncanakan), dan “pasif.” 2. Tindakan/aktivitas bersama (joint action) : yang berkaitan dengan manfaat yang diperoleh akibat upaya yang dengan sadar direncanakan dan dilakukan bersama oleh anggota klaster. Elemen ini merupakan elemen yang sengaja direncanakan dan adakalanya disebut elemen “aktif.” Kedua aspek tersebut dapat memberikan dampak, baik yang bersifat statik maupun dinamik, yang akan mempengaruhi bagaimana perkembangan suatu klaster dari waktu ke waktu.
Pembaca yang baik, saya telah selesai menyampaikan keenam teori/konsep utama tentang klaster industri secara sangat ringkas dalam blog ini. Semoga bermanfaat. Untuk rujukan dan/atau diskusi lebih lanjut, silahkan tinggalkan pesan dalam kotak komentar atau kunjungi blog opini pribadi saya. Salam.