A. TEORI KEMISKINAN
1. Definisi Kemiskinan
Kemiskinan bukanlah fenomena yang baru di dalam kehidupan
sosial. Ia merupakan fenomena sosial yang selalu menjadi atribut-
atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan
kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara maju yang
memiliki atribut sebagai negara modern. Jika diamati, seolah-olah
kemiskinan identik dan selalu melekat di dalam struktur negara-negara
dunia ketiga dan menjadi problem yang cukup serius untuk mendapatkan
penaganan dari pada penyelengara negara. Dan walau telah banyak upaya
yang dilakukan oleh para penyelengara negara untuk mengentaskan
kemiskinan bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari
penyelesaiannya.[1]
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa masalah kemiskinan
yang membelenggu sebagian besar masyarakat dari periode ke periode
tetap menjadi "pekerjaan rumah" bagi pembuat keputusan setiap
penyelenggara negara terutama di negara-negara kawasan Asia, Amerika
Latin dan Afrika. Dan walah telah banyak kajian tentang gejala
kemiskinan dari berbagai sudut pandang, akan tetapi pembahasan ini
seolah-olah menegaskan bahwa kemiskinan bagian dari kodrat Tuhan yang
tidak dapat diselesaikan.[2]
"Seandainya kemiskinan itu berwujud seseorang manusia, maka
niscaya akan aku bunuh kemiskinan tersebut" (kalam Ali bin Abi Thalib
Karamallahu Wajhah). Dari penggalan kata-kata hikmah tersebut, dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya kemiskinan itu sangat berbahaya.
Kemiskinan itu dapat mengancam iman seseorang.
Kemiskinan itu dapat diartikan sebagai berikut: "tiadanya
kemampuan untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokok". Maksudnya
kemiskinan ini adalah ketidakmampuan seseorang untuk memperoleh
kehidupan yang layak
Kata "Miskin" berasal dari bahasa Arab yaitu Maskanah atau dapat
pula berasal dari kata faqir yang berarti orang miskin atau orang
fakir.[3]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata miskin diartikan
sebagai tidak berharta benda, serba kekurangan atau susah. Sedangkan
faqir dapat diartikan sebagai orang yang serba kekurangan atau sangat
miskin.
Secara termonologi, kemiskinan dapat diartikan sebagai "situasi
penduduk" (sebagai penduduk) yang hanya dapat memenuhi kebutuhan
makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.[4]
Kemiskinan diartikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang
rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah
atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.[5] Kemiskinan menurut
pendapat umum dikategorikan dalam tiga unsur:
1. Kemiskinan yang disebabkan aspek badaniah, biasanya orang-orang
tersebut tidak bisa berbuat maksimal sebagaimana manusia lainnya
yang sehat jasmaniah. Karena cacat badaniah misalnya, dia lantas
berbuat atau bekerja secara tidak wajar, seperti mengemis dan
minta-minta, sedangkan yang menyangkut aspek mental, biasanya
mereka disifati rasa malas untuk bekerja secara wajar sebagaimana
mesti manusia lainnya.
2. Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam, mereka yang terkena
bencana alam umumnya tidak memiliki tempat tinggal bahkan sumber
daya alam yang mereka miliki pun termakan bencana alam.
3. Kemiskinan buatan disebut juga kemiskinan struktural, yang
ditimbulkan oleh struktur-struktur ekonomi, sosial, dan kultur
serta politik. Kemiskinan ini biasa disebut kemiskinan nasib atau
dianggap sebagai takdir Tuhan.[6]
Dalam hal ini taraf kehidupan seseorang tergantung pada taraf
kehidupan yang berlaku pada umumnya dalam kelompok tersebut. Nabil
Subhi Ath-Thawil, menerangkan kemiskinan sebagai tiadanya kemampuan
seseorang untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokoknya.[7]
Muhammad Abd. Qadir Abu Faris memberikan pengertian kemiskinan
sebagai berikut; miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan dan
penghasilannya hanya bisa menutupi setengan lebih sedikit dari
penghasilannya.[8]
Ali Yafie berpendapat, miskin adalah barang siapa yang memiliki
harta benda atau mata pencaharian tetap, hal mana salah satunya atau
kedua-duanya hanya menutupi setengah lebih sedikit dari
kebutuhannya.[9]
Selain itu juga kemiskinan dapat didefinisikan menjadi dua
bagian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolute. Kemiskinan
relatif dapat dinyatakan dalam berapa persen dari pendapatan nasional
yang diterima oleh penduduk dengan kelas pendapatan tertentu
dibandingkan dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh
kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya.
Sedangkan kemiskinan absolute dapat diartikan sebagai suatu
keadaan dimana tingkat pendapatan absolute dari satu orang tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Artinya masyarakat
tersebut jarang menikmati kehidupan yang layak.
Kemiskinan merupakan masalah yang amat pelik untuk dibicarakan,
karena ia menyangkut beberapa aspek-aspek yang patut diperhatikan,
diantaranya;
Pertama, kemiskinan itu bersifat multi dimensial. Artinya,
karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun
memiliki banyak aspek. Jika dilihat dari kebijakan umum, ia meliputi
aspek primer yang berupa miskin akan asset-asset, organisasi sosial
politik, pengetahuan dan keterampilan, dan aspek sekunder yang berupa
miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi.
Kedua, aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa, kemajuan dan
kemunduran pada salah satu aspek dapat memengaruhi kemajuan dan
kemunduran pada aspek lainnya.
Ketiga, bahwa yang miskin sesungguhnya adalah manusianya, baik
secara individual maupun kolektif. Kita sering mendengar perkataan
kemiskinan pedesaan (rural property), kemiskinan perkotaan (urban
property) dan sebagainya, namun ini bukan berarti desa atau kotanya
yang mengalami kemiskinan, tetapi orangnya.
2. Batasan Tentang Kemiskinan
Kemiskinan lazimnya digambarkan sebagai gejala kekurangan
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Sekelompok
anggota masyarakat dikatakan berada di bawah garis kemiskinan jika
pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian dan tempat
tinggal.
Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa,
sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa dan
motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan
makmur. Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, dapat dipengaruhi oleh
tiga hal: (1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang
diperlukan, (2) posisi manusia di dalam lingkungan sekitar, dan (3)
kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi.[10]
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat-istiadat, dan system nilai
yang dimiliki. Dalam hal inilah maka garis kemiskinan dapat tinggi
atau rendah. Berkaitan dengan posisi manusia dalam lingkungan sosial,
bukan kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi
pendapatnya di tengah-tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif
manusia untuk dapat hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi
pangan apakah bernilai gizi cukup dengan protein dan kalori, sesuai
dengan tingkat umut, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan
lingkungan alam yang dialaminya.
Dengan demikian, maka mereka yang hidup di bawah garis
kemiskinan memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal dan
keterampilan.
2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan
kekuatan sendiri seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal
usaha.
3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar
karena harus membantu orang tua cari tambahan penghasilan.
4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed),
berusaha apa saja.
5. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai
keterampilan.[11]
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas mengemukakan
batasan kemiskinan sebagai keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal
yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup.
Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses pendidikan dan
pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan
kehormatan yang layak sebagai warga negara. Sebagian orang memahami
istilah kemiskinan secara subjektif dan komparatif, sementara yang
lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluative, dan yang lainnya
lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Jika dikaitkan
dengan negara, maka istilah "negara berkembang" biasanya digunakan
untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin"
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara, di antaranya:
1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan
sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan
dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan
pelayanan dasar.
2. Gambaran tentang kebutuhan sosial. Termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan
sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada binga
ekonomi.
3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.
Makna "memadai" di sini sangat berbebda-beda melintasi bagian-bagian
politik dan ekonomi di seluruh dunia.[12]
Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan
(inequality). Perbedaan ini sangat perlu ditekankan. Kemiskinan
berkaitan erat dengan standar hidup yang absolut dari bagian
masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup
relative dari seluruh masyarakat.
Adapun kemiskinan menurut Kuncoro, didefinisikan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Definisi ini
menyiratkan tiga pertanyaan dasar, yaitu: (1) bagaimanakan mengukur
standar hidup? (2) apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum? (3)
seperti apa indicator sederhana yang mampu mewakili masalah kemiskinan
yang begitu rumit? Untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada
baiknya memunculkan beberapa kosa kata standar dalam kajian kemiskinan
sebagai berikut:
1. Poverty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga
minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung
berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk "keranjang
pangan" yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai
persediaan kalori dan protein utama yang murah.
2. Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif).
Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh di bawah standar
konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan
(karitas/amal). Adapun yang relatif adalah kemiskinan yang eksis di
atas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan
antara kelompok miskin dan kelompok nonmiskin berdasarkan income
relatif.
3. Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-
orang nonmiskin, bersih, bertanggung jawab, mau menerima pekerjaan apa
saja demi menerima upah yang ditawarkan.
4. Target population (populasi sasaran) adalah kelompok orang tertentu
yang dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah.
Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak,
buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban
perang dan wabah , serta penghuni kampung kumuh perkotaan.
Friedman juga merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan
dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO Tahun 1976.
Kebutuhan dasar menurut konferensi ini dirumuskan sebagai berikut:[13]
1. Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan,
sandang dan papan).
2. Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan
untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga
listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan).
3. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang memengaruhi
mereka.
4. Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang
lebih luas dari hak-hak dasar manusia.
5. Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan
dari strategi kebutuhan dasar.
3. Sebab-Sebab Kemiskinan
Hingga saat ini, perdebatan tentang apa yang menjadi penyebab
kemiskinan bagi seseorang atau kelompok orang belum mencapai kata
sepakat. Hanya, dari beberapa pendapat jika disimpulkan ada tiga
faktor yang menyebabkan kemiskinan. Tiga faktor ini yaitu (1)
kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah ataupun mental seseorang;
(2) kemiskinan yang sebabkan oleh bencana alam; dan (3) kemiskinan
buatan.
Faktor pertama di atas merupakan penyebab kemiskinan secara
klasik di mana kemiskinan selalu dikaitkan dengan struktur budaya
masyarakat setempat, di mana budaya dijadikan sebagai alasan penyebab
sekelompok manusia di tempat miskin. Misalnya, mitos budaya Jawa malas
dengan image masyarakat Jawa mangan ora mangan sing penting kumpul
(makan atau tidak yang penting kumpul), alon-alon watone kelakon
(pelan-pelan yang penting sampai), tuna satak bathi sanak (rugi
materiil tidak apa-apa yang penting dapat persaudaraan), narima ing
pandu (menerima kodrat), dan sebagainya kerap dikaitkan dengan faktor
penyebab mengapa masyarakat Jawa kebanyakan miskin.
Selain budaya yang dituding sebagai biang kemiskinan, faktor
klasik lain yang dianggap penting dalam memberikan andil bagi
terciptanya kemiskinan di antaranya sifat malas, penyakit dan cacat
fisik. Memang tidak menolak kemungkinan bahwa faktor fisik yang berupa
cacat badaniah, penyakit, kemalasan menyebabkan seseorang tidak
produktif alasan ini masih dapat diterima secara rasional akan tetapi,
jika persoalannya menyangkut keadaan di mana seseorang bekerja keras
di berbagai sektor usaha, misalnya berdagang mengalami kebangkrutan
karena labilnya sistem perekonomian suatu negara, petani gagal panen
akibat terserang hama penyakit tanaman, seseorang tetap miskin karena
bekerja di instansi tertentu akibat dari rendahnya gaji, apakah faktor
badaniah masih relevan dijadikan sebagai faktor penyebab kemiskinan.
Kenyataan ini telah menjadi bagian dari realitas sosial yang dapat
dilihat di dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kemiskinan timbul dari bencana alam dapat diterima sebagai
sebuah kenyataan karena bencana alam memang berakibat rusaknya aset
berharga milik masyarakat seperti tempat tinggal, harta benda, dan
gagalnya panen. Maka tidak demikian dengan faktor badaniah dalam kasus
perbedaan jumlah pendapatan dengan beratnya pekerjaan atau beban
pekerjaan. Dalam kasus ini, faktor badaniah tidak dapat dijadikan
sebagai biang kemiskinan.
Kenyataan ini (kesenjangan antara beban kerja dan pendapatan)
yang dijadikan alasan bagi penganut paham Neo-Marxisme di mana
kemiskinan yang terjadi di masyarakat erat kaitannya dengan faktor
struktur masyarakat ini sendiri, di mana mayoritas masyarakat
mengalami ketidakberdayaan ketika berhadapan dengan kenyataan hidup
yang ada. Seseorang guru honorer, misalnya yang setiap hari berangkat
mengajar di sekolah, kemudian besaran gaji yang diterimanya tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, maka kemiskinan yang demikian
ini lebih tepat dikatakan sebagai kemiskinan buatan atau struktural.
Kemiskinan buatan atau struktural, disebabkan beberapa hal yang
bersifat struktural, di antaranya: pertama, struktur ekonomi timpang,
artinya struktur ekonomi yang ada di dalam masyarakat secara tidak
adil tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk
mendapatkan aset ekonomi. Artinya di dalam struktur ekonomi ada
sekelompok kecil orang memiliki kemampuan mendapatkan aset ekonomi
secara berlebihan, sementara di pihak lain banyak anggota masyarakat
yang hanya memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk mendapatkan
aset ekonomi.
Kenyataan di atas sering ditudingkan oleh Marx di mana
ketimpangan antara borjuis dan proletar akibat dari eksploitasi buruh
yang tidak manusiawi sehingga bentuk ketimpangan ini memberikan andil
bagi ketidakadilan di bidang ekonomi. Ketidakadilan ini tampat dalam
pola pembagian aset ekonomi dengan aset kaum borjuis yang semakin
besar dan kehidupan yang bertambah mewah. Adapun kondisi buruh makin
tak berdaya menghadapi ketidakadilan sosial dan menjadi semakin
miskin.
Karena sumber permasalahan dari kemiskinan ini yaitu struktur
ekonomi, maka persoalan ini tidak dapat dilihat dari aspek
kemiskinannya, melainkan harus dilihat dari aspek struktural (hubungan
antar komponen-komponen yang saling berkaitan di dalam sistem). Oleh
sebab itu, permasalahan struktural yang penting adalah pola-pola
relasi antar-komponennya. Dengan demikian, untuk mengubah taraf
ekonomi masyarakat bukan dengan merombak ekonomi akan tetapi,
sistemnya. Artinya kemiskinan bukan persoalan yang berdiri sendiri,
melainkan ada hubungan antar-variable yang meliputi keseluruhan tata
susunan di dalam sistem itu sendiri.
Selo Seomardjan mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai
kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena
struktur sosial masyarakat ini memungkinkan golongan masyarakat ini
tidak ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya
tersedia bagi mereka.[14] Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat
diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh masyarakat yang
penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial yang berlaku
sedemikian rupa sehingga keadaan kelompok yang termasuk golongan
miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah hidupnya. Struktur sosial
telah mengurung dan mengekang mereka ke dalam suasana kemiskinan
secara turun temurun selama bertahun-tahun.
Sedangkan menurut Kartasasmita hal ini disebut "accidental
poverty" yaitu kemiskinan karena dampat dari kebijaksanaan tertentu
yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Masalah-
masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese sebagai "lingkaran
setan kemiskinan" yang meliputi enam unsur, yaitu: keterbelakangan,
kekurangan modal, investasi rendah, tabungan rendah, pendapatan
rendah, dan produksi rendah.
Kemiskinan struktural biasanya terjadi di dalam masyarakat di
mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat
dan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Kelompok miskin
ini biasanya jumlahnya mayoritas dan posisinya tidak memiliki
kemampuan apa-apa untuk memperbaiki nasibnya. Adapun kelompok
masyarakat kaya yang berjumlah minoritas memiliki kemampuan memonopoli
dan mengontrol berbagai bidang kehidupan, terutama dari segi ekonomi
dan politik. Selama golongan minoritas ini masi menguasai berbagai
kehidupan masyarakat, selama ini pula diperkirakan struktur sosial
yang berlaku akan bertahan.
Ciri-ciri utama kemiskinan struktural, yaitu:[15]
1. Tidak terjadi atau jarang terjadi mobilitas sosial vertikal. Mereka
yang hidup di dalam kemiskinan, sedangkan mereka yang hidup di dalam
kemewahan akan tetap kaya dan tetap menikmati kekayaan dan
kemewahannya. Hal ini terjadi sebab dalam analisis pendekatan
struktural, kungkungan hasrat untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan
yang menghalangi kelompok miskin untuk maju. Umpamanya kelemaha
ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang
berarti agar dapat melepaskan diri dari kemelaratan. Denga keterbasan
dan ketidakmampuan modal dan keterampilan menyebabkan mereka tidak
memiliki peluang untuk usaha dalam rangka mengubah statusnya sebagai
kelompok miskin.
2. Timbulnya ketergantungan yang kuat antara si miskin terhadap kelas
sosial ekonomi di atasnya. Ketergantungan inilah yang selama ini
berperan besar dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk bergaining
dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik tanah
dan penggarap tanah, antara majikan dan buruh, dan sebagainya. Buruh
tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil tidak
bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka jual
belikan. Pendek kata kelompok miskin relatif tidak dapat berbuat apa-
apa atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialaminya karena
mereka tidak memiliki alternatif pilihan utnuk menentukan nasib ke
atas yang lebih baik.
Kedua, struktur politik yang menyangkut rendahnya political will
pemerintah atau rendahnya kualitas kebijakan pemerintah dalam menata
struktur ekonomi negara. Berbagai laporan ekonomi yang dikemukakan
pemerintah di mana pendapatan nasional dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan hanyalah berupa data-data kuantitatif. Akan
tetapi, kenyataan yang ada, rakyat selalu dibayang-bayangi oleh
berbagai kebijakan ekonomi yang tidak memihak kepadanya. Kenaikan
tarif dasar listrik dan BBM yang sering kali memicu tingginya inflasi
sering kali diambil dengan penuh optimisme dapat dikendalikannya
tingkat inflasi.
Akan tetapi, kenyataan yang ada tidaklah sesederhana dari apa
yang dibayangkan pemerintah. Jika dari berbagai laporan dinyatakan
bahwa pendapatan nasional mengalami kenaikan sedang di pihak lain
kenaikan tarif pelayanan publik seperti tarif dasar listrik, harga
BBM, dan tarif tol selalu dijadikan alasan untuk menutupi defisit
anggaran belanja.
Pembangunan selalu ditujukan untuk mencapai kesejahteraan
rakyat. Karena ini berbagai program pemerintah selalu ditujukan untuk
mengentaskan kemiskinan dan dilaksanakan secara berkesinambungan dari
satu periode ke periode lain. Di masa Presiden Soeharto misalnya, kita
mengenal adanya program Inpres Desa Tertinggal. Kemudian di masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita meyaksikan program Bantuan
Tunai dan PNPM Mandiri. Sayangnya program-program itu belum dapat
mengubah jumlah kemiskinan di negeri ini.
Ketiga, faktor budaya di mana konsep pemikiran narima ing-pandum
(menerima takdir apa adanya dengan sabar) sebenarnya bukan falsafah
yang menjadikan budaya kemiskinan. Konsep pemikiran ini adalah bentuk
reaksi masyarakat kenyataan dalam kondisi pesimisme, di mana dalam
berbagai situasi mulai dari masa penjajahan hingga adab milenium ini
tidak kunjung berubah nasibnya. Stagnasi nasib inilah akhirnya
menimbulkan pesemisme yang besar hingga menganggap kemiskinan adalah
takdir yang seolah-olah sudah tidak mungkin diubahnya. Dengan
demikian, konsep narima ing pandun tidak lebih hanyalah penenangan
jiwa di dalam ketidakberdayaan menghadapi kuatnya struktur yang
dianggap sudah tidak akan mampu dihadapi sekalipun dengan takdir.
Struktur yang egois ini telah memunculkan gerakan millenarisme
dengan konsep "Ratu Adil" (pemimpin yang adil) sebagai Imam Mahdi yang
akan membawa kesejahteraan dan keadilan di dalam struktur masyarakat.
Dengan demikian, Ratu Adil adalah tidak lebih dari halusinasi rakyat
tertindas yang mengharapkan hadirnya keadilan dan kemakmuran.
Selain itu, kemiskinan banyak dihubungkan dengan beberapa hal
berikut ini:
1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai
akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dan pendidikan
keluarga.
3. Penyebab subbudaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan
kehidupan sehari-hari, dipelajari, atau dijalankan dalam lingkungan
sekitar.
4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi
orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan
hasil dari struktur sosial.
Menurut Arifin Noor ada beberapa hal yang menyebabkan
kemiskinan, antara lain:[16]
1. Pendidikan Yang Rendah
Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan
seseorang kurang mempunyai keterampilan yang diperlukan dalam
kehidupannya. Keterbataan pendidikan atau keterampilan yang
dimiliki menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk ke
dalam dunia kerja. Atas dasar kenyataan di atas si miskin
tidak dapat berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya.
2. Malas Bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup
memprihatinkan, karena masalah ini menyangkut mentaliter dan
kepribadian seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang
bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk berkerja
atau bersikap pasif dalam kehidupannya (sikap bersndar pada
nasib). Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan
hidupnya pada orang lain, baik pada keluarga, atau saudara.
3. Keterbatasan Sumber Alam
Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber daya
alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan
mereka. Sering dikatakan oleh para ahli bahwa itu miskin
karena dasar alamiyahnya. Misalnya, tanah berbatu –batu tidak
menyimpan kekayaan mineral dan sebagainya yang berakibat pada
kesejahteraan masyarakat sekitar.
4. Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja membawa konsekwensi kemiskinan
bagi masyarakat secara ideal banyak orang yang mengatakan
bahwa seseorang atau masyarakat harus mampumenciptakan
lapangan kerja baru, tetapi secara factual hal tersebut
kecil kemungkinannya, karena adanya keterbatasan kemampuan
baik yang berupa skill atau modal.
5. Keterbatasan Modal
merupakan kenyataan yang ada di negara-negara yang sedang
berkembang, kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada
sebagian besar masyarakat di negara tersebut. [17] Seorang
miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi
alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang
mereka miliki dengan suatu tujuan memperoleh penghasilan.
Keterbatasan modal bagi negara-negara berkembang dapat
diibaratkan sebagai suatu lingkaran yang tak berujung pangkal
baik dari segi permintaan akan modal maupun dari segi
penawaran akan modal.
6. Beban Keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak atau
meningkat pula tuntutan atau beban kehidupan yang harus
dipenuhi. Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak
apabila tidak diimbangi dengan usaha peningkatan pendapatan
sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka memang
berangkat dari kemiskinan yang akan melanda dirinya dan
bersifat latent.[18]
Dalam konsep ekonomi misalnya, studi kemiskinan terkait dengan
konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Standar
kehidupan masyarakat yang ada yang bersifat umum. Selain itu juga
dinilai dari segi pendapatannya, jika pendapatannya jauh lebih besar
dari kebutuhannya maka ia disebut makmur.
Sementara ilmuwan sosial yang lainnya tidak ingin berhenti pada
konsep-konsep tersebut, malainkan mengaitkannya dengan konsep kelas,
stratifikasi sosial, struktur sosial, dan bentuk-bentuk diferensiasi
sosial lainnya.
Konsep taraf hidup misalnya, tidak cukup dilihat dari segi
pendapatam, akan tetapi juga perlu melihat faktor pendidikan,
kesehatan, perumahan, dan kondisi sosial lainnya. Kenyataan tersebut
mengakibatkan pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat
kemiskinan juga bervariasi.
Ada tiga konsep kemiskinan, yaitu kemiskinan absolute, kemiskinan
relative dan kemiskinan subyektif.
Konsep kemiskinan absolute dirumuskan dengan membuat ukuran
tertentu yang kongkrit. Ukuran itu lazimnya berorientasi pada
kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat (sandang, pangan, dan
papan). Masing-masing negara mempunyai batasan kemikinan absolute yang
berbeda-beda, sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan
sebagai acuan memang berlainan. Ada gagasan yang ingin memasukan pula
kebutuhan dasar kultural seperti pendidikan, keamanan, rekreasi dan
sebagainya, di samping kebutuhan fisik.
Konsep kemiskinan relative dirumuskan berdasarkan The Idea of
Relative Standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan
waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan di suatu daerah berbeda
dengan waktu lainnya, dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda
dengan waktu yang lainnya. Konsep kemiskinan semacam ini tidak
lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan anggota masyarakat tertentu
dengan berorientasi pada derajat kelayakan.
Sedangkan konsep kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan
perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a
fixed yardstick, dan tidak memperhitungkan the idea of relative
standard. Kelompok yang menurut ukuran kita berbeda di bawah garis
kemiskinan. Dan kelompok yang dalam perasaan kita tergolong dalam
kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri
secamam itu dan demikian pula sebaliknya.[19]
Hardiman mengemukakan tiga pendapatan yaitu garis kemiskinan,
indicator kesejahteraan dan pengukuran ketimpangan.[20] Adanya
berbagai variasi pendekatan dalam pengukuran tersebut sekaligus juga
menunjukan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara Absolut dan Relatif.
Secara absolute maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan
standar tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang
taraf hidupnya di bawah standar yang ditentukan tersebut dikatakan
miskin. Sebaliknya mereka yang hidupnya di atas standar dinyatakan
tidak miskin, maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan standar
tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf
hidupnya di bawah standar yang ditentukan tersebut dikatakan miskin
dan mereka yang hidupnya di atas standar dinyatakan tidak miskin.
Secara relative, kemiskinan tidak semata-mata diukur dengan
menggunakan standar yang baku, melainkan juga dilihat dari seberapa
jauh peningkatan taraf hidup lapisan terbawah telah terjadi
dibandingkan dengan masyarakat yang lain, juga dibandingkan dengan
kenaikan tuntutan kebutuhan hidup yang berkembang sejalan dengan
perkembangan kehidupan masyarakat.[21]
Oleh karena kompleksitas masalah kemiskinan ini terkait erat
dengan hampir seluruh aspek kehidupan manusia, maka analisa atau
kajian mengenai penyebab terjadinya kemiskinan akan meliputi berbagai
segi; sosial, politik, budaya, ekonomi, juga lingkungan alam dan
sebagainya.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dari segi sebabnya,
kemiskinan dapat dibedakan antar kemiskinan temporer atau kemiskinan
aksidental dan kemiskinan structural.
Kemiskinan temporer adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
cacat jasmani atau jiwa akibat malapetaka yang telah menimpa
seseorang.[22] Sehingga mereka tidak optimal dalam bekerja untuk
memenuhi segala kehidupan hidupnya dan akibatnya ia mengalami apa yang
namanya kemiskinan alamiyyah.
Sedangkan kemiskinan structural adalah kemiskinan yang
ditimbulkan dari keadaan struktur sosial yang eksploitatif dalam pola
hubungan atau interaksi pada institusi-institusi ekonomi, politik,
agama, keluarga, budaya dan sebagainya.[23] Maka kemiskinan yang
timbul dalam suatu masyarakat, bukan semata-mata dari faktor dirinya,
misalnya kurang pendidikan atau kurangnya asupan kalori makanannya,
melainkan dari eksploitasi.[24]
Sebagaimana Sayyid Qutb telah memberikan pengertian bahwa
manusia adalah khalifah Allah di muka bumi-Nya; telah dikuasakan-Nya.
Untuk membangun dan meningkatkan taraf kehidupan padanya penuh
kesuburan and kemakmuran agar ia setelah itu dapat menikmati keindahan
dan kesegarannya, dan bersama dengan itu mensyukuri Allah SWT yang
telah mengaruniakan nikmat itu padanya. Manusia tidak mungkin dapat
mencapai sebagian dari semua itu bila mana seluruh hidupnya
dilewatinya hanya demi memperoleh sesuap nasi saja, walaupun yang
demikian itu cukup baginya. Lebih-lebih lagi jika ia harus
menghabiskan hidupnya tanpa memperoleh kecukupan.[25]
Sedangkan Syekh Tantawi Jauhari, juga memberikan pengertian
bahwa kata kemiskinan itu berasal dari kata maskanah yang identik
dengan kata faqir dan faqatun yang berarti susah.[26]
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah disimpulkan, bahwa jika
ada suatu penduduk yang mengalami hidup dalam keadaan yang serba
kekurangan dalam memperoleh segala kebutuhan pokoknya yang disebabkan
masalah ekonomi maka penduduk tersebut dapat dikatakan penduduk
miskin.
Kemiskinan menurut ilmu sosiologi diartikan sebagai suatu
keadaan dimana seseorang tidak dapat memelihara dirinya sendiri sesuai
dengan taraf kehidupan kelompoknya dan juga tidak bisa mengoptimalkan
seluruh kemampuan fisik dan mentalnya.[27]
-----------------------
[1] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman
Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 787
[2] Ibid
[3] Ahmad Warson Munawir, Kamus Besar Bahasa Indonesia Al-Munawir,
(Yogyakarta:Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiyyah Pon-Pes Al-Munawir, 1984), h.
690.
[4] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan), h. 448
[5]Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.
326.
[6]Ibid , hlm. 328-329.
[7] Nabil Subhi Ath-Thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-
negara Muslim,(Bandung: Mizan, 1985), cet ke 1, h. 36.
[8] Muhammad Abd. Qadir Abu Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan
Zakat¸alih bahasa oleh Husin Al Munawwar, (Semarang: Dina Utama, 1993), h.
1
[9] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), h. 170
[10] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman
Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 789
[11] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu
Sosial, (Bandung: Refika Suditama, 1986), h. 228
[12] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman
Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 793
[13] Ibid
[14] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman
Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 803
[15] Ibid
[16] https://febrinter.files.wordpress.com/2016/04/pembahasan.docx
diakses pada tanggal 23 Juni 2016 pukul 8:25 WIB
[17] Arifin Noor, ilmu Sosial Dasar, (CV Pustaka Setia, 1997), h. 289
[18] Ibid, h. 290
[19] Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006) cet. IV, hal. 126-127.
[20] Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1995), cet ke 1, h. 117.
[21] Ibid, h. 120
[22] Hidayat Natmaja, Masalah Kemiskinan Ditinjau Dari Ajaran Islam,
(Yogyakarta:PLP2M, 1985), h. 109
[23] Gunnar Myrdal, Bangsa-bangsa Kaya dan Miskin¸(Jakarta: PT.
Gramedia, 1980), cet ke 2, h. 35
[24] M. Dawan Rharjo, Essei-essei Ekonomi Politik, (Jakarta: LP3ES,
1983), H. 196
[25] Sayyid Qutb, Al Adalah al Ijtimaiyyah, (1962), cet 1, h. 48
[26] Syekh Tantawi Jauhari, Tafsir Al-Jawahi, (Mesir: Mustafa Baadi,
1350 H), h. 75.
[27] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Mizan).
H. 406