ISSN: 2355-1445; Hal. 54-68
FAKTOR-FAKTOR FAKTOR-FAKTOR KEMISKINAN KELUARGA NELAYAN DI DESA TANJUNG TIRAM KECAMATAN MORAMO UTARA KABUPATEN KONAWE SELATAN Oleh: Jamaluddin Hos dan Muhammad Arsyad6 Abstract This research aims at describing the factors causing the poverty of sailor community through inductive logical plot based on qualitative descriptive research design with the purpose of getting the deeper understanding at the back of o f the poverty phenomenon. The data-collecting was done by two techniques, namely: observation and in-deep interview. The process of administering and interpreting data implemented interactive model offered by Miles and Huberman (1994), in which the process of data collection, data reduction, data display, and verification or conclusion denotes the cyclic process that take places simultaneously. The findings was known that the poverty of sailor in Tanjung Tiram Village was caused by: (1) the limitedness factor of economical resources mastery caused by the lowness of educational level and skill; (2) the unfamiliar natural condition; (3) cultural factor in which the pattern and life habit and social values that are not relevant with the development and dynamics of the fishery and maritime; (4) and economical-social structure factor of the sailor society which create the imbalance of economical access and system of working-relationship that tend to be exploitative towards the sailor. Key Words: Poverty Factor, and Sailor.
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat nelayan melalui alur logika induktif berdasarkan desain penelitian diskriptif kualitatif dengan maksud memperoleh pemahaman yang lebih dalam di balik fenomena kemiskinan. Pengumpulan data melalui dua teknik, yaitu pengamatan ( observation ) dan wawancara mendalam ( in observation in depth interview ). Proses pengolahan dan interpretasi data menerapkan interactive model yang ditawarkan Miles dan Huberman (1994), dimana proses pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/kesimpulan merupakan proses siklus yang berlangsung secara simultan. Hasil penelitian diketahui bahwa kemiskinan nelayan di Desa Tanjung Tiram dilatarbelakangi oleh faktor keterbatasan penguasaan sumberdaya ekonomi yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan serta kondisi alam yang kurang bersahabat, faktor kultur berupa pola dan kebiasaan hidup dan nilainilai sosial yang tidak relevan dengan perkembangan dan dinamika kenelayanan dan kebaharian, serta faktor struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan yang menciptakan ketidakseimbangan akses ekonomi dan sistem hubunganhubungan kerja yang cenderung bersifat bersifat eksploitatif terhadap nelayan. Kata Kunci: Faktor Kemiskinan, Kemiskinan, dan Nelayan. PENDAHULUAN
Nelayan masih sering diidentikkan dengan kemiskinan, terutama pada saat sekarang ini, masyarakat nelayan perdesaan di negara yang sedang berkembang 6
Dr. Jamaluddin Hos, M.Si. M.Si. dan Drs. Muhammad Muhammad Arsyad, M.Si. adalah dosen Sosiologi Sosiologi FISIP Universitas Halu Oleo Kendari
Jamaluddin Hos dan Muhammad Arsyad: Faktor-Faktor Kemiskinan Keluarga Nelayan
merupakan masalah yang cukup rumit, meskipun kebanyakan negara-negara ini sudah berhasil melaksanakan pembangunan ekonomi dan politik. Fokus perhatian pembangunan saat ini adalah dengan penggunaan strategi yang mengarah kepada pencapaian tingkat pertumbuhan produksi dan pendapatan nasional yang setinggitingginya, namun demikian pada saat yang bersamaan terjadi pula peni ngkatan dalam ketimpangan distribusi pendapatan antara kelompok kaya dan miskin di dalam masyarakat. Kemiskinan perdesaan ( rural ) pada saat ini telah menjadi topik rural poverty yang ramai diperbincangkan, karena kemiskinan itu sendiri adalah bagian utama dari masalah pembangunan di Indonesia, dimana masyarakatnya sebagian besar penduduk miskin yang tinggal di daerah pedesaan. Hal ini lebih menonjol lagi setelah banyak negara berkembang program pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat mendahulukan kepentingan penduduk perkotaan. Penduduk Sulawesi Tenggara pada saat ini telah berjumlah 1.710.812 jiwa, dan sebagian besar atau kurang lebih 85% dari jumlah penduduk tersebut bermukim atau bertempat tinggal dan hidup di wilayah perdesaan p erdesaan (BPS, 2004). Sebagian dari mereka adalah petani dan nelayan miskin yang berpikir dan bekerja dengan cara mereka sendiri, secara konsisten dan turun-temurun. Mereka memiliki sifat kesederhanaan, hal ini dilatarbelakangi oleh pengetahuan dan pendidikan mereka sebagai petani ataupun nelayan, dan telah terinternalisasi di dalam diri mereka, sehingga tidak dapat dipisahkan atau selalu menyertai setiap proses kegiatan sosial budaya dan ekonominya. Desa Tanjung Tiram merupakan salah satu desa bahari yang terletak di pesisir pantai Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan. Sebagian besar penduduk desa ini merupakan masyarakat nelayan yang miskin, meskipun mereka memiliki potensi sumber daya kelautan yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi. Realitas yang terjadi adalah ketidakberdayaan dan kemelaratan, serta kemiskinan yang justru menjadi masalah berlarut-larut bagi masyarakat nelayan itu sendiri yang berjumlah 34 kepala keluarga atau sebanyak 99 jiwa dengan menggunakan alat tangkap sero, jaring, bubu, pancing dan menanam rumput laut. Modernisasi dan industrialisasi melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi tepat guna yang selama ini dicetuskan, diperuntukkan dan diprioritaskan kepada nelayan, disertai pula oleh dukungan sumber daya alam. Namun demikian, sampai pada saat ini tetap muncul masyarakat nelayan di wilayah perdesaan yang masih akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Masyarakat nelayan di Desa Tanjung Tiram selain memiliki kultur tersendiri di dalam bersikap dan bertindak, serta melakukan hubungan-hubungan srtuktural internal maupun eksternal dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya, mereka juga merupakan bagian dari negara yang berdaulat dan berpemerintahan yang dapat membuat kebijakan bagi masyarakat nelayan miskin. Nelayan umumnya berdomisili di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang beraktivitas perikanan laut ( marine marine fisheries ) dan perikanan perairan umum ( inland inland fisheries ) yang berdomisili di sekitar perairan danau, waduk, rawa dan sungai. 55
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
Kedekatan nelayan terhadap sumber daya air, baik laut maupun perairan umum dikarenakan mereka menghendaki aksebilitas yang tinggi ke laut dan menjadikan perairan umum sebagai ladang penghidupan. Sumber daya perikanan mencakup sumber daya air (sumber daya alam), sumber daya ikan, dan sumber daya manusia sebagai pelaku usaha perikanan yang terdiri dari nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah hasil perikanan, serta sumberdaya buatan yang mencakup fasilitas perikanan dan teknologi. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau besar dan kecil serta 81.000 km garis pantai (BPS, 2008). Pulaupulau tersebut membentang dari Sabang hingga Merauke, mengandung ribuan sungai, danau, rawa dan genangan air lainnya dengan potensi perikanan air tawar yang sangat besar. Widodo (1997) menjelaskan bahwa konsep kebutuhan dasar selalu dikaitkan dengan kemiskinan karena masalah kemiskinan merupakan obsesi bangsa dan persoalan amat mendasar yang harus ditangani. Penduduk miskin umumnya tidak berpenghasilan cukup, bahkan tidak berpenghasilan sama sekali. Penduduk miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada bagian ekonomi, sehingga tertinggal dari masyarakat lainnya. Kebutuhan pokok ditejemahkan dalam satu paket barang dan jasa yang diperlukan oleh setiap orang untuk bisa hidup secara manusiawi. Paket ini terdiri dari komposisi pangan bernialai gizi yang cukup dengan nilai kalori dan protein yang sesuai dengan tingkat usia, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim, dan lingkungan yang dialaminya, serta sandang, papan, dan terutama pangan. Bank Dunia (1980) yang dikutip oleh Prayitno (1986) memberikan kriteria dan menjelaskan pengertian kemiskinan bahwa kemiskinan telah menunjukkan adanya tiga dimensi. Pertama, kemiskinan itu multidimensional. Kedua, aspek-aspek kemiskinan tadi saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketiga, bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual maupun kolektif. Syami (1994) menjelaskan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagai anggota masyarakat lain pada umumnya. Penduduk miskin umumnya berada pada daerah perdesaan, hal ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Sumardi dan Hans (1985) mengatakan bahwa kemiskinan yang ada di kampung dapat digolongkan baik kemiskinan tempat tinggal maupun kemiskinan penduduk. Kemiskinan tempat tinggal kondisinya sebagai tempat tinggal tidak teratur, sedangkan kemiskinan penduduk karena ditinjau dari segi sosial dan ekonominya sangat rendah termasuk penyediaan air dan listrik beserta prasarana yang minim. Pendapat ini menekankan bahwa karakteristik yang ada di daerah perkampungan dapat dilihat dari kondisi perumahan masyarakat, ketersediaan sarana atau prasarana umum yang dibutuhkan oleh masyarakat. Carles (1988) mengatakan bahwa sebagian besar penduduk di dunia yang miskin mendiami daerah-daerah tropis, dengan musim hujan dan musim kemarau.
56
Jamaluddin Hos dan Muhammad Arsyad: Faktor-Faktor Kemiskinan Keluarga Nelayan
Pengukuran kemiskinan dilakukan melalui usaha-usaha penetapan garis kemiskinan. Dengan menggunakan kriteria tertentu dapat ditetapkan garis kemiskinan, dan selanjutnya secara proporsional penduduk di bawah garis kemiskinan tersebut dapat digolongkan penduduk miskin. Rusli (1996) mejejelaskan bahwa garis kemiskinan di Indonesia ditetapkan oleh Sayogjo. Pada mulanya menggunakan tingkat pendapatan (lebih tepatnya pengeluaran) perkapita pertahun setara dengan 240 kilogram beras bagi penduduk perdesaan, 360 kilogram bagi penduduk perkotaan. Tetapi dalam penggolongan selanjutnya, Sajogyo menetapkan batas tingkat pengukuran perkapita pertahun setara dengan kurang dari 240 kilogram beras bagi penduduk perdesaan dan 360 kilogram bagi penduduk perkotaan tergolong miskin sekali, sedangkan pengeluaran setara kurang dari 180 kilogram beras bagi penduduk perdesaan dan 270 kilogram beras bagi penduduk perkotaan tergolong paling miskin. Dengan demikian, yang tergolong miskin adalah mereka yang mempunyai pengeluaran setara dengan kurang dari 320 kilogram beras untuk penduduk perkotaan. Masalah pokok bagi mereka adalah bagaimana agar mereka tetap hidup. Ini selalu menyiksa sebagian besar waktu mereka dalam melakukan pembangunan negaranya sebagaimana yang dialami Indonesia. Lebih lanjut Priyatno (1986) menjelaskan, bahwa yang miskin adalah orang-orangnya, penduduk atau manusianya. Pernyataannya, apa tanda-tanda manusia-manusia miskin tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada empat tanda-tanda kemiskinan, yaitu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak memiliki faktor produksi, seperti tanah yang cukup, modal ataupun keterampilan. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Tingkat pendidikan umumnya rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar. Banyak diantara mereka tidak mempunyai tanah, kalau tokh ada relatif sempit. Scott (1976) mengatakan bahwa faktor kemiskinan adalah etika dan ekonomi Subsistensi sebagai tuntutan moral masyarakat miskin. Etika subsistensi ditandai oleh hubungan patron klien, self exploitation dan pengaturan sosial seperti resiprositas, kedermawanan dan tolong-menolong. Sedangkan ekonomi subsistensi ditandai oleh ketakutan terhadap resiko, mengutamakan keselamatan, Produksi sebagai milik bersama, dan adanya distribusi resiko, dalam hal ini mengarah kepada ketidakmampuan berfikir dan bertindak secara rasional dengan tidak memiliki pandangan ke masa depan dengan memakai pola pikir ekonomi pasar. Harrod Domar dan David Mc Clelland dalam Budiman (1995) mengatakan bahwa faktor kemiskinan disebabkan karena ketidakmampuan masyarakat dalam menabung dan berinvestasi dan tidak adanya dorongan untuk berprestasi. Dari segi kebijaksanaan pemerintah akan selalu muncul pilihan yang tidak mudah dari setiap pengenalan dan adopsi teknologi dalam alat-alat penangkapan ikan, seperti yang dikatakan Mubyarto (1984) bahwa pengenalan terhadap motor, kapal-kapal bermesin, dan alat penangkap ikan yang lebih produktif, dikehendaki karena mampu meningkatkan produksi ikan secara keseluruhan. Namun dipihak lain upaya membantu kelompok nelayan lapisan 57
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
terbawah biasanya tidak dapat dijamin melalui kebijaksanaan yang demikian, bahkan tidak jarang dalam proses modernisasi, kelompok termiskin semakin tercecer yang membuat lebih sulit lagi untuk membatu mereka. Apabila menggunakan ciri masyarakat miskin sebagaimana tersebut di atas, maka dapat pula diketahui faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan, yaitu kepemilikan input produksi yang terbatas, akumulasi kapital, dan umumnya memiliki tingkatan pendidikan yang relatif rendah. Djoyohadikusumo (1994) memandang faktor penyebab kemiskinan dari adanya kepadatan penduduk ( population density ) dan kondisi lingkungan hidup. Masalah urbanisasi yang kepadatan penduduk bahwa tantangan-tantangan yang cukup serius terhadap lingkungan hidup baik di desa maupun di daerah perkotaan. Sedangkan Mubyarto (1984) mengatakan bahwa faktor kemiskinan disebabkan oleh hilangnya kesempatan untuk memperbaiki tingkat sosial ekonomi, ketidakmampuan fisik untuk bekerja dan besarnya tanggungan keluarga. Kondisi dan keadaan dapat pula menjadi penyebab kemiskinan. Karena kondisi kesehatan memiliki kaitan yang erat sekali dengan kondisi-kondisi di atas, berpengaruh dan bersenyawa dengannya. Kesehatan memainkan peranan penting dalam pembentukan kondisi ekonomi, baik secara positif maupun negatif. Kemiskinan adalah sekutu penyakit, sebagaimana ia sekutu kebodohan (Winslow dalam Thawil 1985) Asumsi yang dijadikan dasar melakukan penelitian ini adalah bahwa salah satu penyebab tidak efektifnya kebijakan pengentasan kemiskinan adalah kurangnya informasi dan pemahaman tentang akar masalah kemiskinan terhadap masyarakat sasaran kebijakan. Untuk itu perlu dilakukan kajian mendalam berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan yang difokuskan pada tiga aspek, yaitu kultural, sumberdaya ekonomi, dan struktural, alternatif kebijakan seperti apa yang relevan untuk mengentaskan kemiskinan nelayan berdasarkan faktor penyebab tersebut. METODE PENELITIAN
Penelitian ini didesain sebagai penelitian diskriptif kualitatif. Jenis penelitian yang tidak berambisi mengumpulkan data dari aspek kuantitas serta keluasan cakupan, tetapi terutama berupaya memperoleh pemahaman yang lebih dalam di balik fenomena yang berhasil direkam. Peneliti berusaha memahami faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat nelayan melalui alur logika induktif dengan perhatian utama pada aspek kultural, sumberdaya ekonomi, dan struktural. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa masyarakat Desa Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara tinggal di daerah pesisir dan sebagian masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Penduduknya rata-rata berpenghasilan rendah dan termasuk dalam kategori miskin dengan pendapatan pertahun berkisar antara Rp 1.083.000,- s/d Rp 1.440.000,- (BPS Sultra, 2004). Selain itu posisi geografis desa ini tidak begitu jauh dari pusat kota yang hanya berjarak kurang lebih
58
Jamaluddin Hos dan Muhammad Arsyad: Faktor-Faktor Kemiskinan Keluarga Nelayan
5 kilometer dari perbatasan kota Kendari sebagai pusat kegiatan sosial budaya, ekonomi, serta pusat pembangunan dan pemerintahan provinsi Sulawesi Tenggara. Subjek penelitian ini adalah masyarakat nelayan Desa Tanjung Tiram yang berjumlah 34 KK atau sekitar 99 jiwa (Data statistik Desa Tanjung Tiram, 2011). Informan penelitian dipilih secara purposive beberapa beberapa orang kepala keluarga nelayan dari mereka yang tergolong miskin, berpengalaman, mampu berkomunikasi dengan lancar, serta ditokohkan oleh warga masyarakat setempat. Jumlah informan tidak ditentukan terlebih dahulu, tergantung kualitas dan tingkat kejenuhan informasi dan data yang diperoleh saat pengumpulan data berlangsung. Pengumpulan data melalui dua teknik, yaitu pengamatan ( observation ) yaitu observation mengamati keadaan wilayah desa, rumah tangga dan perilaku sosial budaya dan ekonomi. Proses pengamatan berlangsung bersamaan pada saat melakukan wawancara, dan teknik ini bersifat pelengkap p elengkap dari teknik utama yang dilakukan yaitu in depth interview ) dengan informan tentang tata wawancara. Wawancara mendalam ( in cara, alokasi waktu, pendapatan dan pengeluaran, bentuk interaksi atau hubunganhubungan srurktural internal maupun eksternal masyarakat nelayan sedesanya, orientasi nilai budaya, efesiensi dan efektivitas dalam bekerja, motivasi dan tujuantujuanya serta struktur dan berbagai kebijakan pemerintah. Pengumpulan data dan pengolahan data dilakukan secara bersama-sama, Setelah data diperoleh pada saat itu pula dilakukan pengelompokan data. Hal ini dimaksudkan agar dapat membedakan dan memilah-milah serta memilih informasi dan data yang berasal dari berbagai sumber, sehingga mempermudah dalam menganalisis. Proses pengolahan dan interpretasi data menerapkan interactive model yang ditawarkan Miles dan Huberman (1994), dimana proses pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan verifikasi/kesimpulan merupakan proses siklus yang berlangsung secara simultan dan saling berinteraksi satu sama lain. Reduksi data dilakukan melalui proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penarikan kesimpulan/verifikasi adalah upaya mencari arti data yang tercatat mengenai polapola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis melalui interpretative understanding , yang berarti bahwa peneliti melakukan penafsiran atau pemaknaan terhadap data dan fakta yang berhubungan dengan faktor penyebab kemiskinan. PEMBAHASAN Sumberdaya Ekonomi Nelayan
Sumberdaya ekonomi nelayan yang dimaksudkan di sini adalah kepemilikan modal dan alat-alat produksi seperti perahu, pancing, pukat serta tingkat pendidikan dan keterampilan para nelayan dalam mengelola produksi. Nelayan di Tanjung Tiram pada umumnya adalah nelayan tradisional yang tidak memiliki modal besar, 59
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
tidak memiliki alat produksi yang memadai serta tidak memiliki keterampilan teknis dalam pengembangan usaha yang berorientasi profit. Sumberdaya ekonomi nelayan di Tanjung Tiram dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Kepemilikan alat produksi Kepemilikan sarana produksi seperti perahu dan alat tangkap yang diperlukan untuk kegiatan melaut, nelayan di Desa Tanjung Tiram dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok. Pertama, nelayan yang memiliki perahu baik yang bermesin (katinting). Mereka yang masuk kelompok ini, ada yang dilengkapi dengan alat tangkap milik sendiri ada pula yang alat tangkapnya disiapkan oleh pihak lain. Kebanyakan mereka pernah juga punya alat pancing, setelah rusak mereka lebih memilih dibantu pihak pengumpul ikan dari pada membeli sendiri karena alasan keuangan yang didak memadai. memadai. Kedua, adalah nelayan yang memiliki perahu perahu yang tidak bermesin (sampan). Ketiga, kelompok nelayan yang tidak memiliki perahu baik yang bermesin maupun yang tidak bermesin. Mereka ini biasanya melaut dengan cara ikut kapal besar, atau dengan cara meminjam perahu tetangga yang pada saat bersamaan tidak pergi melaut. Alat produksi yang dimiliki oleh para nelayan pada umumnya berupa sampan kecil yang tak bermesin. Beberapa diantara mereka yang memiliki katingting atau body bermesin, tetapi tidak dilengkapi dengan alat tangkap. Di samping itu, mereka yang memiliki katingting juga merasakan biaya operasional yang cukup mahal, terutama BBM jenis solar sehingga kapasitasnyapun sangat terbatas. Kondisi kepemilikan alat produksi seperti ini sangat berpengaruh terhadap jumlah tangkapan ikan. 2. Tingkat pendidikan dan keterampilan kerja Tingkat pendidikan p endidikan nelayan di Desa Tanjung Tiram termasuk rendah. rendah . Hal ini bisa dilihat yang paling tinggi hanya sampai tamat SMA, sementara yang lainnya ada yang tidak tamat SMA, tamat SMP, tamat SD ataupun SR (Sekolah Rakyat), ada yang tidak tamat SD, bahkan ada yang tidak pernah bersekolah. Tingkat pendidikan nelayan yang rendah sebagaimana tergambar pada tabel di atas berdampak pada keterbatasan dalam pemahaman akan teknologi dan pola pikir mereka dalam mengelola pekerjaan. Aktivitas ekonomi mereka sebagian besar dijalani secara rutin tanpa perencanaan dan orientasi ke masa depan yang lebih baik. Akibatnya kualitas dan kuantitas tangkapan tidak mengalami perbaikan, bahkan cenderung terjadi penurunan seiring perkembangan teknologi penangkapan ikan yang dikuasai oleh pemilik modal atau nelayan kaya. Selain menangkap ikan, nelayan juga sempat diperkenalkan budidaya rumput laut. Tapi tampaknya, para nelayan belum begitu terampil membudidayakan rumput laut ini sehingga belum pernah ada hasil yang memuaskan. Di samping itu, keterbatasan akses memperoleh bibit juga menjadi kendala utama. Mereka masih sangat tergantung pada bantuan bibit dari pemerintah, itupun tidak pernah efektif, karena kedatangan bantuan bibit tersebut tidak sesuai dengan musim. Selain aktivitas kerja yang diuraikan di atas, beberapa nelayan juga memiliki keterampilan lain yang dijadikan sebagai pekerjaan sampingan untuk menopang 60
Jamaluddin Hos dan Muhammad Arsyad: Faktor-Faktor Kemiskinan Keluarga Nelayan
kehidupan mereka. Di antaranya pekerjaan itu adalah pemecah batu, buruh bangunan, pendulang emas, berkebun. Pekerjaan memecah batu dilakukan dengan cara membeli batu secara gelondongan, kemudian dipecah untuk dijadikan suplit (campuran bangunan) atau dapat pula menjadi buruh pemecah batu milik pihak lain yang diupah sesuai volume kerjanya. Pekerjaan buruh bangunan dilakukan di sekitar Kota Kendari. Biasanya mereka diajak oleh teman ataupun orang yang memang sengaja datang ke Desa Tanjung Tiram untuk mencari tenaga kerja. Banyak pula nelayan yang bekerja sebagai pendulang emas di daerah Namlea, Timika. Biasanya mereka bekerja di sana selama ± 6 bulan, pada saat musim angin barat dan tenggara. Setelah itu, mereka kembali lagi untuk ke pekerjaan sebagai nelayan. Berkebun menjadi salah satu alternative pekerjaan bagi nelayan, salah seorang nelayan yang bernama Edwin, melakukan kegiatan berkebun (menanam ubi dan jagung) sebagai rutinitas tambahan setiap hari, bukan hanya tambahan kegiatan ketika tidak melaut karena faktor cuaca yang tidak mendukung. Pekerjaan-pekerjaan di atas, dapat dikatakan tidak memerlukan keterampilan teknis dan lebih menonjolkan tenaga. Hasil kerja yang diperolehpun sangat tergantung dari kondisi kesehatan dan kekuatan fisik. Hampir dapat dipastikan nelayan tidak memiliki keterampilan teknis yang dapat memproduksi jasa dengan harga yang pantas. Ongkos kerja mereka sangat tergantung pada pihak lain yang membutuhkan tenaga mereka. 3. Kemampuan menabung Secara umum, informan merasa kesulitan untuk menyisihkan pendapatan yang diperoleh dari hasil melaut karena sangat sedikit, berkisar antara Rp. 40.000 – Rp. 50.000 setiap kali turun, sehingga hampir seluruhnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk sekolah anak-anaknya. Selain itu, kesulitan untuk menabung juga disebabkan pola kerja nelayan yang tidak menentu karena sangat bergantung pada kondisi alam. Minimnya pendapatan sebagai nelayan, meskipun penghasilan dari melaut sudah ditambahkan dengan penghasilan istri yang bekerja sebagai pemecah batu. Pekerjaan sampingan sebagai pendulang emas di Timika dirasakan cukup signifikan untuk membantu perekonomian keluarga, misalnya dialami oleh Andik yang saat ini telah merampungkan pembangun pondasi rumahnya dengan menggunakan dana yang diperoleh dari pekerjaan mendulang emas di Timika beberapa tahun yang lalu. Meskipun demikian, mereka memiliki kebiasaan untuk menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. Ada yang mematok untuk menyisihkan sekitar Rp. 100.000 per bulan. Namun, secara umum mereka belum bersentuhan dengan fasilitas pebankan sehingga kebiasaan menabung ini hanya dilakukan di rumah, atau disimpan oleh istri. Di Desa Tanjung Tiram ada Koperasi Nelayan Insan Cita, akan tetapi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Koperasi ini memang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda bahwa lembaga ekonomi ini aktif. Kantornya terlihat kumuh dan kotor menunjukkan bahwa tempat tersebut sudah lama tidak ditempati beraktivitas. Kondisi koperasi seperti ini jelas tidak dapat membantu para 61
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
nelayan dalam aktivitas ekonominya, terutama dalam pemasaran hasil laut. Dengan demikian dapat dimaklumi jika para nelayan lebih banyak berurusan dengan para pengumpul dan tengkulak yang secara ekonomi jelas tidak menguntungkan. Beberapa diantara mereka memiliki keinginan untuk menabung meskipun jumlahnya sedikit, namun tidak adanya lembaga yang memfasilitasi mereka menjadi faktor penghambat. 4. Kondisi sumberdaya alam Kondisi alam dan fluktuasi musim sebagaimana yang terjadi di Desa Tanjung Tiram jelas tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun. Masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya. Kondisi ini membuat longasi atau wilayah tangkapan ikan para nelayan pun tidak menentu. Lokasi tangkapan ikan nelayan di Desa Tanjung Tiram tersebar di beberapa wilayah. Lokasi-lokasi yang sering menjadi tujuan untuk menangkap ikan seperti yang paling dekat sekitar perairan Tanjung Tiram yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit dari pantai, Pulau Hari dan Pulau Bokori yang biasanya ditempuh sekitar 1 jam, Perairan Wanci dengan waktu tempuh sekitar 5 Jam dan yang paling jauh di Pulau Labengki Sulawesi Tengah yang ditempuh sekitar 5-8 jam. Apabila nelayan mencari ikan di wilayah yang cukup jauh, maka biasanya nelayan akan berada di lokasi selama beberapa hari mencari ikan di sekitar Perairan Wanci, biasanya akan berada di sana selama 2 hari, dan biasanya ke Pulau Labengki akan berada di lokasi selama ± 20 hari. Sementara itu, nelayan yang mencari ikan di sekitar perairan Tanjung Tiram biasanya hanya semalam (berangkat pada petang hari pukul 6 dan tiba kembali di rumah sekitar pukul 8 pagi. Kemampuan jangkauan lokasi pencarian ikan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, seperti cuaca, jenis perahu yang digunakan bila yang bermesin biasanya dapat sampai ke Pulau Labengki dan Wanci, sementara yang menggunakan sampan biasanya tidak jauh dari pantai Tanjung Tiram. Kultur Nelayan
Secara mendasar aspek kultural ini melihat masalah kemiskinan sebagai sebuah permasalahan yang timbul akibat dari aspek internal mayarakat bersangkutan yang didalamnya menyangkut nilai-nilai atau pandangan hidup, dan juga kebiasaan hidup. Gambaran tentang kultur nelayan pada Desa Tanjung Tiram dapat disimak dalam uraian berikut. 1. Kebiasaan dan pola hidup masyarakat m asyarakat Bagi masyarakat di Desa Tanjung Tiram, aktivitas menangkap ikan merupakan mata pencaharian yang sudah lama digeluti secara turun temurun sebagai sumber penghidupan. Aktivitas nelayan yang sangat dipengaruhi oleh keadaan geografis ini, oleh masyarakat dianggap telah cukup dan mampu untuk menghidupi keluarganya. Di samping itu, para nelayan setempat juga memandang bahwa pendapatan yang didapatkan dari usaha mereka di laut, tak lebih hanya untuk kebutuhan makan sehari-hari. Sebagai nelayan, kehidupan mereka setiap harinya sudah berjalan 62
Jamaluddin Hos dan Muhammad Arsyad: Faktor-Faktor Kemiskinan Keluarga Nelayan
mengikuti pola kerja mereka. Apabila cuaca mendukung, maka berangkat melaut dimulai pada pukul 6 sore dan kembali ke rumah sekitar pukul 7 pagi. Setelah itu, dia beristirahat (tidur) sampai pukul 12 siang, kemudian setelah s etelah bangun, dia melanjutkan aktivitasnya dengan makan siang dan pergi berkebun sampai sore. Setelah itu, dia bersiap lagi untuk melaut. Faktor cuaca juga berpengaruh terhadap aktivitas nelayan, apabila pada musim tertentu (musim angin Barat dan Tenggara) pada umumnya nelayan tidak turun melaut. Pada saat inilah mereka melakukan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk menopang keberlanjutan ekonomi keluarganya, seperti berkebun, memecah batu, menjadi buruh bangunan. Kebiasaan lain yang kerap dijumpai dalam kehidupan masyarakat di desa ini adalah judi dan minum minuman beralkohol. Perilaku ini sudah berlangsung sejak lama, bila dulu mereka meminum minuman tradisional, maka saat ini minuman sudah mereka sudah menggantinya dengan minuman buatan pabrik karena sudah tidak ada yang memproduksi minuman tradisional tersebut. Kebiasaan dan pola hidup nelayan telah menjadi rutinitas yang mengalir begitu saja tanpa disertai perencanaan dan pengorganisasian secara baik untuk melakukan perubahanperubahan ke arah yang lebih baik. Bagi masyarakat nelayan di desa ini, umumnya berpandangan bahwa keterkaitan antara pendapatan dengan kecukupan atau kekurangan dalam menafkahi keluarganya adalah suatu jalan hidup yang sudah digariskan oleh Tuhan dan mesti dilalui. Olehnya itu, para nelayan kebanyakan betah menjalani rutinitas yang tidak menguntungkan dan kurang mau berusaha untuk hidup lebih baik utamanya bagi peningkatan kualitas hidup keluarganya sendiri. Dalam kaitannya dengan kondisi itu. Kebiasaan dan pola hidup para nelayan sebagaimana diuraikan di atas mencerminkan sikap hidup fatalistik. Sikap hidup seperti ini sangat susah dirubah meskipun memiliki potensi dan peluang untuk merubahnya. Di Desa Tanjung Tiram pekerjaan melaut bukan satu-satunya mata pencaharian yang dilakukan oleh nelayan. Di samping melaut, nelayan juga dapat menjadi buruh tambang sebagai pemecah batu, berkebun, beternak dan lain sebagainya. Meskipun demikian, kehidupan ekonomi nelayan tidak dapat ditingkatkan antara lain karena kebiasaan dan pola hidup yang tidak produktif. 2. Nilai-nilai dalam melaut Umumnya nelayan di Desa Tanjung Tiram merupakan nelayan tradisional, yang bisa dilihat dari terutama jenis peralatan yang digunakan masih sederhana. Selain itu, nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan mereka yang terkait dengan pekerjaan mereka di sektor kelautan sangat dipengaruhi oleh keadaan alam. Kondisi alam yang keras dan tak mampu ditaklukkan akibat keterbatasan pengetahuan dan teknologi membuat para nelayan cenderung menjaga keserasian dengan alam dan menganggap keberuntungan sebagai nasib yang harus diterima dengan lapang dada. Mereka sangat menghargai adat istiadat berkaitan dengan urusan penangkapan ikan di laut yang diterima secara turun temurun, meskipun secara ekonomi tidak lagi menjamin kesejahteraan mereka. Merasakan dahsyatnya kekuatan alam yang tidak dapat ditaklukkan, melahirkan sikap menerima nasib dan sekaligus melemahkan daya 63
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
kreativitas dan inovasi untuk maju. Pola kerja yang dijalankan secara turun temurun, kurangnya kesadaran menabung, dan kurangnya perencanaan kerja merupakan cerminan dari sikap ini. Nilai-nilai yang mengedepankan kebersamaan, kegotongroyongan, dan keserasian dengan alam lebih menonjol dari pada nilai-nilai yang mendorong kesuksesan dalam bidang ekonomi. Kepercayaan bahwa rezeki setiap manusia telah ditentukan oleh Tuhan membuat beberapa informan hanya selalu berharap dan bekerja secara konvensional tanpa diikuti oleh sebuah kerja keras yang penuh perencanaan dan perhitungan. Mencari rejeki bagi mereka adalah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, selebihnya adalah urusan yang maha kuasa. sikap yang memandang bahwa segala sesuatunya telah diatur oleh Tuhan melahirkan pula harapan memperoleh rezki tanpa harus bekerja keras yang kemudian melahirkan kebiasaan berjudi dan minum minuman keras. Pola hidup konsumtif juga menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan di Tanjung Tiram yang bersumber dari nilainilai yang mereka anut, pada saat penghasilan banyak dan berlebih dari kebutuhan komsumsi bukannya ditabung untuk persiapan di masa paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder atau pesta minuman keras dan judi sebagaimana diungkapkan oleh kepala desa di atas. 3. Orientasi hidup ke depan Kondisi kehidupan sebagai nelayan oleh beberapa informan dirasakan kurang bisa memberikan jaminan kesejahteraan, baik diakibatkan oleh keterbatasan sarana produksi, modal ataupun minimnya hasil yang mereka dapatkan. Untuk itu, masingmasing memiliki cita-cita ataupun orientasi hidup ke depan yang lebih baik. Namun orientasi yang dimaksud tidaklah seragam, melainkan sangat bergantung pada kondisi masing-masing. Pada aspek material yang tidak terkait langsung dengan profesi sebagai nelayan seperti keinginan untuk memiliki rumah yang permanen, alat transportasi (kendaraan bermotor). Selain itu, mereka juga mengutarakan harapannya untuk memiliki alat produksi sendiri yang dapat mereka gunakan untuk mencari nafkah. Hal ini, terutama bagi mereka yang tidak memiliki perahu, ataupun karena alat yang dimiliki sudah tua dan rusak, untuk itu mereka sangat mengharapkan adanya bantuan alat produksi dari pemerintah, sangat mengharapkan dapat memiliki perahu dan mesin yang lebih besar agar bisa b isa menjangkau daerah yang lebih jauh sehingga bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak. Orientasi untuk memperbaiki kehidupan masa depan dapat pula dilihat dari harapan dari mereka terhadap keberhasilan anak, mereka sangat ingin anak-anak kedepan untuk melanjutkan sekolah dan mencapai cita-citanya agar lebih baik nasibnya dari orangtuanya. Namun demikian, terdapat perbedaan diantara mereka, dimana terdapat pula sebagian yang tidak terlalu memberikan perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya. Menurutnya, terserah sama anak-anak saja, tergantung kemampuan dan kemauan mereka, terserah mereka apa mau bersekolah atau tidak, bahkan berasumsi bahwa yang penting seluruh keluarga, terutama anak-anak sehat dan kuat supaya bisa bekerja. Beberapa ungkapan ungkapan yang bersumber menunjukkan menunjukkan 64
Jamaluddin Hos dan Muhammad Arsyad: Faktor-Faktor Kemiskinan Keluarga Nelayan
bahwa harapan untuk lebih baik di masa yang akan datang ada di dalam benak masing-masing nelayan. Hanya saja harapan tersebut, tidak diaktualisasikan dalam bentuk perilaku nyata meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kreativitas dan inovasi serta kesadaran menabung/investasi. Kebanyakan harapan tersebut sebatas “mimpi” disertai harapan adanya dewa penolong semacam adanya bantuan
pemerintah. Sehingga, meskipun mereka punya keinginan untuk lebih baik di masa yang akan datang, dalam realitasnya sikap dan pola kerja mereka tetap saja lebih berorientasi masa kini ketimbang masa depan. Seperti halnya perihal bekerja atau mencari rezeki yang dilakukan hanya sebatas kepentingan pemenuhan untuk bisa bertahan hidup (menafkahi keluarga), bila dikaitkan dengan konsep Kluckhohn dalam (Koentjaraningrat, 1982) tentang orientasi nilai budaya, maka sikap dan perilaku seperti ini tergolong sebagai orientasi ke masa kini dan memenuhi kebutuhan nafkah. Selain bekerja (melaut) yang ditujukan tidak lebih hanya sebatas kepada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, para nelayan juga terindikasi memiliki sifat cepat puas bila telah memperoleh hasil. Kurangnya upaya nelayan setempat dalam mencari strategi baru dalam usaha kenalayanan maupun strategi lain diluar usaha kenelayanan sebagai bekal di kemudian hari untuk menghadapi musim paceklik (masa sulit dimana penghasilan nelayan tidak menentu) sangat kurang mereka pikirkan. Sebab di desa ini pada umumnya terdapat usaha tambang batu yang mempekerjakan masyarakat dengan imbalan upah yang cepat. Ini berarti, nelayan punya kesempatan memperoleh tambahan hasil usaha yang dapat disisihkan disisihkan sebagian untuk ditabung. Kondisi ini secara tidak langsung dapat dijadikan sebagai indikator bahwa mereka/nelayan telah melalaikan potensi dan peluang yang tersedia. Atau dengan kata lain, bahwa secara psikologis para nelayan di desa ini memiliki nilai-nilai pandangan hidup yang lemah dalam membebaskan diri dari kungkungan keterbatasan hidup. Struktur Sosial Ekonomi Nelayan
1. Ketidakseimbangan akses ekonomi Meskipun manusia memiliki sifat individu namun dalam realitasnya manusia tidak bisa hidup sendiri. Demikian pula dalam beraktivitas (termasuk aktivitas ekonomi) manusia tidak bisa berdiri sendiri, sehingga melahirkan saling ketergantungan satu sama lain. Selanjutnya, manusia membentuk kelompok sosial sebagai wadah interaksi secara intensif dan berstruktur yang kemudian melahirkan pembagian tugas dan norma-norma sosial. Termasuk pembagian tugas dan normanorma sosial dalam hubungan-hubungan produksi pada masyarakat nelayan. Keterbatasan akses ekonomi menimbulkan ketergantungan nelayan pada pemilik modal. Pada dasarnya, hubungan kerja antara nelayan dengan pemilik modal berbentuk hubungan yang vertikal, di mana pemilik modal (nelayan kaya) adalah tempat bergantungnya nelayan miskin dalam memperoleh modal dan kebutuhan hidupnya. Pemilik modal dapat berupa nelayan pemilik alat produksi (perahu dan alat tangkap) yang tidak ikut melaut yang biasanya juga memiliki pekerjaan lain di
65
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
luar bidang perikanan dan dapat berupa nelayan pemilik alat produksi yang ikut melaut yang biasa disebut dengan juragan laut. Masyarakat nelayan di Desa Tanjung Tiram kebanyakan tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya, utamanya lokasi tangkapan yang memiliki potensi yang melimpah. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sarana produksi yang dimiliki seperti perahu, dan alat tangkap yang masih sederhana. Sementara saat ini, mereka sudah kesulitan untuk mendapatkan ikan di perairan sekitar wilayah tempat tinggalnya, sehingga untuk memperoleh hasil tangkapan yang banyak, mereka harus pergi ke tempat lebih jauh. Demikian pula halnya akses terhadap bantuan modal produktif, para nelayan dianggap tidak mampu mengembangkan usaha produktif karena rendahnya pemahaman akan menajemen pengelolaan dan tidak memiliki keterampilan teknis yang disyaratkan. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan, menyebabkan kurangnya pemahaman akan manajemen sumberdaya dan kurangnya keterampilan mengelola usaha yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap keterbatasan dalam mengakses sumberdaya ekonomi. Kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional juga menjadi salah satu faktor lemahnya akses nelayan terhadap sumberdaya ekonomi. Bantuan bibit rumput laut yang tidak efektif merupakan salah satu contoh kebijakan yang tidak produktif dan tidak menguntungkan nelayan. Nelayan diberi bantuan bibit rumput laut yang tentu saja menyita waktu, tenaga, dan pikiran mereka mengelola bantuan tersebut yang pada akhirnya juga gagal. Kasus bantuan bibit rumput laut ini sempat dikonfirmasi dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) setempat dan diakui sebagai penyaluran bantuan yang salah kaprah. Bantuan tersebut disalurkan kepada nelayan pada saat cuaca tidak memungkinkan menanam rumput laut. Karena penyaluran bantuan bibit rumput laut ini dilaksanakan pada bulan November-Desember, diduga kuat didasarkan atas pertimbangan batas waktu pelaporan anggaran proyek di akhir tahun. Karena sudah akhir tahun proyek sudah harus dilaporkan lengkap dengan penggunaan anggaran. Jadi tidak berdasarkan kepentingan penerima bantuan dan efektifitas pencapaian sasaran bantuan. Kebijakan lain yang kurang menguntungkan masyarakat nelayan di Desa Tanjung Tiram adalah adanya penetrasi pengusaha tambang masuk ke desa memanfaatkan tenaga kerja nelayan sebagai buruh pemecah batu tanpa perjanjian kerja yang mengatur hak-hak para pekerja secara jelas dan berkekuatan hukum yang mengikat. Kondisi ini membuat para tenaga kerja hanya semata-mata mengandalkan tenaga fisiknya tanpa jaminan kesehatan dan perlindungan. Demikian pula upah kerja mereka tidak pernah bisa ditetapkan berdasarkan atas kesepakatan bersama pengusaha-pekerja, tapi ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha, sehingga hubungan kerja yang terjadi lebih bersifat vertikal di mana para pekerja cenderung dieksploitasi.
66
Jamaluddin Hos dan Muhammad Arsyad: Faktor-Faktor Kemiskinan Keluarga Nelayan
2. Hubungan patron-klien yang eksploitatif Interaksi sosial nelayan dalam hubungan kerja berbentuk pola hubungan patron-klien. Patron-klien melibatkan hubungan seseorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi ( patron ) yang menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah ( clien ). Bagi nelayan tradisional di Desa Tanjung Tiram hubungan clien – yang bersifat patron-klien ini dapat berwujud pemilik perahu – nelayan, nelayan, pengumpul – – penadah hasil tangkapan nelayan, atau pemilik modal (pancing, sero) tengkulak nelayan. Mereka ini biasa juga disebut juragan oleh nelayan. Klien adalah nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya kepada patronnya terutama saat laut pasang, sehingga mereka tidak boleh melaut. Selama masa menganggur itulah, biasanya “bos nelayan” ini menjamin kehidupan sehari-hari para nelayan tradisional dan keluarganya. Barang-barang kebutuhan nelayan, termasuk kebutuhan biaya operasional melaut juga biasa disiapkan oleh tengkulak yang dapat diambil sebelum melaut dan dibayar setelah kembali ( ijon ). Jika dalam kegiatan melaut tersebut kebetulan tidak ijon diperoleh cukup banyak ikan, bayarnya nanti di kesempatan berikutnya lagi. Kemudahan-kemudahan yang diperoleh dari tengkulak ini membuat para nelayan “tidak enak hati” membawa hasil tangkapannya ke tempat lain, meskipun harganya
tidak sesuai dengan harga pasar dan ditetapkan secara sepihak oleh tengkulak. Selain menyiapkan dalam bentuk uang, juragan ikan ini juga menyediakan peralatan penangkapan ikan berupa pancing, jaring, dan kebutuhan melaut lainnya yang bisa diperoleh oleh nelayan dengan syarat mereka mengumpulkan hasil tangkapannya kepadanya. Hubungan antara nelayan dengan para pemilik modal/juragan semakin kuat seiring dengan tidak adanya lembaga keuangan, terutama formal yang dapat menggantikan peran para juragan tersebut. Dengan metode konservatif yang yang selama ini diberlakukan oleh lembaga-lembaga keuangan, maka lembaga tersebut selalu mengalami berbagai kegagalan memberi akses kepada para nelayan. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah telah diuraikan sebelumnya disimpulkan bahwa masalah kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan di Desa Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan dilatarbelakangi oleh faktor keterbatasan dalam hal penguasaan sumberdaya ekonomi yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan serta kondisi alam yang kurang bersahabat, faktor kultur yang berupa pola dan kebiasaan hidup dan nilai-nilai sosial yang tidak lagi relevan dengan perkembangan dan dinamika kenelayanan dan kebaharian, serta faktor struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan yang menciptakan ketidak seimbangan akses ekonomi dan sistem hubungan-hubungan kerja yang cenderung bersifat eksploitatif terhadap nelayan. n elayan. Adapun alternatif kebijakan yang dianggap relevan dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Tanjung Tiram adalah pemberian 67
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
bantuan modal yang disertai dengan penyuluhan dan pelatihan berkelanjutan; pembangunan fasilitas pendidikan dan pelatihan di dekat pemukiman nelayan untuk memberi akses peningkatan keterampilan dan kemampuan memanfaatkan teknologi modern; penguatan jaringan serta organisasi-organisasi nelayan sebagai kekuatan memperjuangkan hak dan kehidupannya; serta pemberian ruang partisipasi dalam seluruh aktivitas dan perencanaan pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat nelayan. Dengan demikian, persoalan kemiskinan nelayan di Desa Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara hendaknya diperhatikan dari sudut pandang emik atau perspektif aspek aktor/pelaku kemiskinan. Nelayan harus dipandang sebagai subjek yang rasional, sehingga perlu diberi ruang keterlibatan mereka dalam upaya memberdayakan dirinya secara terencana. Merumuskan sendiri program yang berkaitan dengan pemberdayaan mereka akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk menyukseskannya. DAFTAR PUSTAKA Arief, S., 1990. Analisis Demografi Demografi . Jakarta: Bina Aksara. Budiman. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Biro Pusat Statistik Tahun 1999. Indikator Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga. Jakarta:
BPS. Badan Pusat Statistik. 2008. Berita Resmi BPS. Jakarta. Chamber. R. 1998. Industrialisasi di Negara Berkembang . Jakarta: Rineka Cipta. Djoyohadikusumo. S. 1994. Tahap Pertumbuhan Ekonomi di Negara Sedang Berkembang . Jakarta: Raja Grafindo Persada. Huberman, A. Michael & Miles , Matthew B, 1994. “Data Management and Analysis Methods”. Handbook of Qualitative Research , Norman K. Densin and Yvonna S. Lincoln (editors). Thousand Oaks: Sage Sage Publications. James C. 1994. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Kusnadi, M. A. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan . Jogjakarta: Edukasi dan Okja Pembaruan. Mubyarto. 1984. Nelayan dan Kemiskinan . Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika dengan Rajawali. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto (Ed.). 2004. Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan . Jakarta: Prenada Media. Prayitno. 1996. Ekonomi Pembangunan . Yogjakarta: BPFE – UGM. UGM. Rusli. S. 1996. Pengantar Ilmu Kependudukan . Jakarta: LP3ES. Sumardi dan Hans. 1995. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok . Jakarta: Rajawali. Syami. 1994. Kemiskinan di Negara Muslim . Jakarta: Bina Aksara. Widodo, S.T.Hg. 1997. Ekonomi Indonesia, Fakta dan Kebijakan Dalam Rangka Globalisasi . Jakarta: Bina Aksara.
68