Nama : Agustinus Winaryanta
Kuliah : Misiologi
NIM
Dosen : Dr. Fl. Hasto Rosariyanto, SJ
: 156312023/FT 156312023/FT 3632 Teologi Misi
James A. Scherer
‘Teologi misi’ sebagaimana dipahami di sini adalah perhatian khusus dalam studi yang lebih luas, lebih umum atau inklusif tentang teologi misi yang berkaitan dengan pembenaran atau validitas misi dunia Kristen. Teologi misi ini diarahkan pada hakekat dan adanya kerasulan missionaris Gereja, dan memberikan pelayanan khas dalam mempertahankan misi Kristen melawan musuh-musuhnya dan membangunnya dalam dasar yang kokoh dan terpercaya. Beberapa bab dalam tulisan ini berkaitan dengan persoalan teologi seperti kontekstualisasi, indigenisasi, dialog, dan tanggapan terhadap iman yang lainnya. Esai ini akan memfokuskan pada kondisi masa lalu dan kemungkinan status masa depan dari teologi misi di dalam gerakan gerakan ekumenis. Hampir tiga dekade yang lalu Gerald Anderson, dalam buku pertama yang berkaitan dengan teologi misi di antara umat Kristen Protestan abad ke-20 mengamati bahwa Prinsip-prinsip dasar dan presuposisi-presuposisi teologis untuk misi Kristen telah dipertanyakan dan umat Kristen ditantang untuk memikirkan ulang motif, pesan, metode, dan tujuan dari misi mereka... maka tugas pokok kelompok misionaris saat i ni adalah menjelaskan hakekat dan makna adanya misi Kristen. (Anderson 1961:3-4)
Penjelasan teologis penting, tambahnya, baik untuk membuat misi Injil lebih efektif maupun untuk memberi umat Kristen pemahaman yang lebih mendalam akan tugas misionaris mereka di dunia ini. Anderson membandingkan krisis mendalam Gereja yang berusaha untuk melakukan misi dengan dasar teologis yang kurang baik dengan seseorang yang menuruni tangga spiral dari bangunan tujuh lantai, berhenti sebentar di dasar setiap lantai untuk menemukan relevansi. Dasar keenam secara kasar analog dengan konferensi misi dunia yang diadakan antara Edinburgh 1910 1910 dan Ghana Agustus 1957. Mereka menyatakan pertanyaan pertanyaan ini kepada komunitas komunitas Kristen dalam ketaatan missionaris: “Bagaimana misi?” (1910), “oleh sebab apa misi?” (1928), “dari “ dari manakah misi?” misi?” (1938), kemanakah misi?” (1948), “mengapa misi?” (1952), dan akhirnya pertanyaan paling radikal, “Apakah misi Kristen itu?” (8/1957). Anderson yakin bahwa sebelum dua pertanyaan dapat dijawab – dijawab – “mengapa “mengapa misi?” dan “apa itu misi Kristen?” – sang sang penjelajah meras merasakannya akannya penting untuk menuruni bahkan lebih jauh ke dalam dasar bangunan – bangunan – turun turun ke paling dasar – untuk untuk pemahaman valid akan dasar misionaris gereja (Anderson 1961:5-7). Usulannya adalah untuk membentuk kembali teologi misi “dari pandangan teosentrime trinitaris yang radikal” (ibid. 15). Pandangan Anderson merefleksikan konsensus ekumenis terkait perubahan besar yang dibutuhkan untuk memberi dasar bagi teologi misi dan kelompok misi itu sendiri pada suatu dasar yang sehat. Antara tahun 1950 dan 1952, dalam persiapan untuk pertemuan Konggregasi Misi Internasional (International Missionary Council) 1952 di Willingen, sekelompok teologan Amerika Utara 1
dan missiologis berjuang untuk menjelaskan dasar biblis dan teologis dari misi, bersama dengan hal-hal terkait seperti panggilan, tugas, dan kebijaksanaan. Judul laporan Komisi 1 dalam pertemuan Willingen, “Mengapa misi?” merefleksikan intensitas t ugas Komisi. Laporan Amerika Utara mendorong pendekatan trinitaris yang memahami misi sebagai “tanggapan peka dan total Gereja terhadap apa yang Allah Tritunggal telah lakukan dan yang sedang dilakukang di dunia” (Anderson 1988:109). Dengan demikian perubahan pemahaman misi Gereja ke trinitaris tetapi tetap kristosentris yang didasarkan pada misi utuh Allah (missio Dei) sedang berlangsung. Pertemuan IMC Willingen (1952) mengadopsi sebua h pernyataan dalam “Panggilan Missionaris Gereja” yang mendeskripsikan gereja sebagai tubuh yang dikirim oleh Allah “untuk menjalankan karya- Nya sampai ujung bumi, kepada semua bangsa, dan hingga akhir”. Willingen menunjukkan sumber gerakan misionaris dalam Allah Tritunggal, dan menghubungkan misi secara ontologis dengan keberadaan gereja: Tidak ada partisipasi dalam Kristus tanpa partisipasi dalam misi-Nya di dunia. Dengan mana Gereja menerima eksistensinya dengan itu pula diberikan misinya di dunia. (IMC 1952:2-3).
Namun, Willingen berhenti mengerjakan implikasi penuh dasar trinitaris untuk misi. Willingen tidak mampu mengadopsi pernyataan yang sesuai dalam hubungan antara misi dan eskatologi, dan antara kewajiban misionaris Gereja dan Kerajaan Allah (IMC 1953:245). Hasilnya adalah bahwa ketika Willingen menyampaikan nasehat utama terhadap pernyataan pernyataan sebelumnya, hal ini berakhir dengan menunda persoalan teologis yang lebih dalam untuk pertimbangan selanjutnya. Seorang pengamat dari Jerman, Wilhelm Andersen, mengomentari hasil Willingen: Suatu redefinisi dasar teologis dari kelompok missionaris Kristen tidak dapat dikerjakan di dalam batas-batas frase ‘kewajiban misionaris Gereja’... kita harus menggali lebih dalam; kita harus mencari dorongan asali dalam iman akan Allah Tritunggal; dari titik berangkat itulah kita dapat melihat kelompok misionaris secara ringkas dalam hubungannya dengan Kerajaan Allah dan hubungannya dengan dunia. (Andersen 1955:10).
Runtuhnya Dasar-Dasar Lama Referensi-referensi singkat ini menunjukkan keletihan mendalam yang dirasakan oleh gerakan misionaris Barat paska Perang Dunia II untuk menemukan, atau memulihkan, dasar yang hilang dari kewajiban misionaris Gereja. Apa yang telah menyebabkan dasar-dasar lama runtuh? Periode segera sesudah Perang Dunia II, sesuai dengan frase yang tepat Kraemer “akhir dari kolonialisme Barat dan hancurnya Kekristenan Barat,” menandai akhir dari suatu “abad kemurnian,” sejauh kelompok misionaris Barat diperhatikan (Kraemer 1960:195). Suatu era yang menggantungkan kepada Komisi Agung (Great Commision) untuk suatu jawaban atas “Mengapa misi?” dan untuk formula “gereja tiga diri” (three-self church) Henry Venn dan Rufus Anderson untuk penjelasan tujuan misionaris yang terang pada dirinya sendiri akan berakhir pada tahun 1950. Pernyataan klasik Prof. Walter Freytag pada pertemuan IMC Ghana melambangkan dilema yang dihadapi kelompok misi: Misi memiliki masalah-masalah, tetapi mereka bukan masalah itu sendiri.
2
(IMC 1958:138; tekanan ditambahkan)
Maksud Freytag, tentu saja, bahwa ketika banyak sarana kelompok misi lama masih utuh, dasar-dasar teologisnya telah runtuh. Hal ini mendorong IMC sebelum integrasinya ke WCC di New Delhi (1961) untuk melakukan beberapa studi mendasar tentang kodrat misi Gereja. Studi ini melihat “misi” tidak sebagai fenomena historis yang berlalu tetapi sebagai komisi abadi dari Allah. Salah satunya adalah milik Johannes Blauw, Hakekat Misionaris Gereja, suatu survei teologi misi yang berharga (Blauw 1962). Lainnya adalah studi D.T. Niles, Di atas bumi, yang berusaha menjelaskan hubungan antara “misi Allah” dan tugas misi gereja di enam benua (Niles 1962). Pesimisme mendalam tentang masa depan kelompok misi ditandai oleh banyak faktor, baik negatif maupun positif. Ideologi ateis telah melebarkan pengaruhnya ke Eropa Timur dan perang dingin makin intensif. Pemerintahan revolusioner komunis berjaya di Cina dengan mengusir para misionaris Barat dan memutus ikatan Gereja dengan pihak luar. Bangsa-bangsa baru di dunia ketiga dengan berharap membatasi legasi kolonialisme mendefinisikan kembali misi gereja lokal dan membatasi akses para misionaris asing. Sementara itu, gerakan nasionalis yang militan dan fanatik yang terinspirasi dengan pengembalian rejim lama tetapi menekan warisan agama, terlibat dalam propaganda anti misionaris, kadang berusaha menghalangi pertobatan ke Kristen. Dalam dunia ketiga, misi juga tidak dipercaya lagi akibat kolonialisme dan untuk sementara keduanya tampak tidak terpisahkan. Di dunia Barat, sementara itu banyak orang Kristen dengan skeptis membubarkan karya misi sebagai simbol dari zaman kerajaan yang sudah berlalu, sekarang dengan gembira diganti dengan era ekumenis yang lebih rumit. Banyak orang Kristen Barat dengan mengidentifikasikan evangelisasi dengan proselitisme (pencarian pengikut baru) menyimpulkan bahwa hak untuk mengomunikasikan Injil ke orang-orang di bangsa-bangsa dan kebudayaan lain telah dihilangkan dan bahwa tugas untuk itu telah menjadi penyimpangan sejarah. Misionaris Barat menjadi semacam orang yang fanatik dengan budaya dan “anti- pahlawan”, seorang penjahat dalam gerakan global untuk pemahaman dan perdamaian antar agama. Teologi misi baru harus mengatasi dan melampaui bias teologi negatif dan prasangka-prasangka budaya ini, suatu teologi yang mampu melampaui ketakutan budaya negatif ini. Sisi positifnya, gereja-gereja baru bermunculan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dan menyatakan kedirian dan kemerdekaan budaya mereka sendiri. Gereja-gereja ini menjadi partisipan aktif dalam hidup Konsili Gereja-Gereja Dunia (World Council of Churches) dan dalam tubuh ekumenis regional. Kemunculan mereka secara mendalam mempengaruhi karakter agenda ekumenis global, terutama berkaitan dengan teologi kontekstual, identitas budaya lokal, hubungan antar agama, dan seruan keadilan sosial-ekonomi. Dengan perkembangan dalam jumlah dan kepercayaan diri, gereja-gereja di Dunia Ketiga mampu dengan kecepatan yang mengagumkan menghilangk an “misi” dari privilese dan monopoli kolonial Barat dan menyatakannya sebagai bagian dari hak rohani mereka. Ketika poros komunitas Kristen mulai beralih ke Selatan, perkembangan besar jumlah orang Kristen di dunia Ketiga mulai ditafsirkan sebagai pencurahan missionaris baru dan semangat dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Almarhum D.T. Niles dan yang lainnya mencoba melibatkan para teolog dan pemimpin gereja dari Dunia Ketiga dalam diskusi-diskusi demi mengembangkan teologi misi yang sungguh didasarkan pada enam benua (Niles 1962). Hasil dari horizon teologis yang 3
diperluas ini kemudian terlihat dalam daftar perkembangan volume teologi misi yang dihasilkan oleh para penulis dari Dunia Ketiga, dan dalam agenda Konferensi Misi dan Evangelisme WCC-CWME (WCC-CWME Mission and Evangelism Conferences) yang diadakan di Bangkok (1972-73), Melbourne (1980), dan San Antonio (1989). Ketika dunia ekumenis menatap ke integrasi Konsili Missionaris Internasional (International Missionary Council) ke Konsili Gereja-Gereja Dunia (World Council of Churches) di Majelis New Delhi (1961) – suatu persekutuan ideal antara gerakan misi global dan demi kesatuan – suatu penggantian sementara dari konsep misionaris yang berpusat pada Gereja Edinburgh 1910 muncul dalam gagasan. Gagasan lama misi sebagai “jalan dari gereja ke gereja” – secara esensial pemekaran dan perluasan Gereja ke luar negeri – diganti dengan gagasan misi sebagai karya Allah Tritunggal yang dipercayakan kepada Gereja di setiap tempat oleh Yesus Kristus. Dalam sebuah tulisan yang cerdas untuk IMC, One Body/One Gospel/One World, Lesslie Newbigin tampaknya melebihi Eillingen dalam pandangan misi ekumenis yang lebih inklusif sebagai tugas gereja di enam benua (Newbigin 1958). Newbigin menyatakan misi gereja tidak ada yang lain selain misi Kristus sendir i dan para rasul. Misi ini menyangkut ujung bumi dan ujung dunia. Tempat misi ada di mana-mana, dan setiap kelompok Kristen lokal dipanggil untuk berpartisipasi – dalam kerja sama dengan gereja-gereja lain – dalam tugas misi baik di rumah maupun di ujung bumi. Partikularitas misi dalam zaman ekumenis tidak banyak menyeberangi tapal batas geografis seperti dalam menyeberangi tapal batas antara iman dalam Kristus sebagai Tuhan dan ketidakpercayaan. Seorang misionaris, kata Newbigin, adalah seseorang yang “dikirim untuk mengenalkan Kristus dan ditaati sebagai Tuhan oleh mereka yang tidak mengenal dan mengikuti- Nya,” baik perjalanannya panjang atau pun pendek.
Paradigma Misionaris yang Ekumenis Pandangan baru ini telah berjasa membebaskan misi Gereja dari belenggu Barat sehingga bisa mengenali karakter universal dari panggilan misionaris Gereja. Pandangan ini juga memberikan dukungan praktis dan teologis yang kuat untuk integrasi gerakan misionaris ke dalam hidup gereja-gereja. Pengaruhnya, pandangan ini mengganti pandangan yang berpusat pada gereja Barat dan parokial kuno dengan ekumenis dan global tetapi tetap masih model gerejawi. Namun pandangan ini gagal untuk menyasar persoalan yang dibiarkan tak terpecahkan dalam pandangannya Willingen: hubungan antara misi dan eskatologi, dan antara gereja misionaris dan Kerajaan Allah. Dengan membuat persoalan integrasi gereja-misi menjadi begitu kuat, bisa dikatakan bahwa paradigma misionaris ekumenis dari IMC/WCC membuat solusi dari persoalan yang tak terjawab dari W illingen menjadi semakin sulit. Untuk membuat persoalan menjadi lebih ringkas, apakah misi gereja oikoumene yang diwakili oleh tindakan integrasi New Delhi adalah oikoumene biblis dan eskatologis sejati yang diantipasi dalam Kitab Suci Perjanjian Baru atau hanya susunan sementara dari kesaksian antar gereja dan kerja sama dalam level global? Apakah suatu teologi misi yang berakar dalam teologi trinitaris, yang berlandaskan inisiatif misionaris dari Bapa yang mengirimkan Kristus yang menjelma, disalib dan dibangkitkan dalam kuasa Roh Kudus, tidak menginjinkan dan bahkan menuntut kita untuk untuk mengharapkan ungkapan yang lebih utama atas transformasi ciptaan Allah yang dijanjikan –“surga baru dan bumi baru” (Wahyu 21:1; Yes. 65:17) – dari pada sekedar gerakan ekumenis gerejawi yang diperbarui dan direformasi? Kelemahan misi “ekumenis” ketika didefinisikan sebagai “tugas seluruh Gereja untuk membawa Injil ke seluruh 4
dunia,” – suatu interpretasi yang baru-baru ini diadopsi dan secara virtual dikanonisasi oleh Lausanne II di Manila (1989) – adalah kurangnya visi eskatologis yang dinamis. Baik dalam bentuk evangelis maupun konsili, visi ini berhenti sejenak untuk menggambarkan pemenuhan biblis untuk misi Allah. Suatu teologi misi ekumenis yang kurang memberikan unsur eskatologis ada dalam bahaya menjadi macet dan pailit .
Membangun Kembali Fondasi
Tesis esai ini adalah bahwa teologi misi baik di dalam maupun di luar gerakan ekumenis, yaitu suatu investigasi tentang ‘mengapa’ dan ‘apa’ misi dalam analogi kisah tujuh bangunan Gerald Anderson, perlu direkontruksi dalam cara yang mempertemukan ‘misi dalam kesatuan’ dengan persiapan dan pengharapan akan Kerajaan Allah eskatologis. Topik -topik utama untuk teologi misi yang diperbarui adalah yang sudah diidentifikasikan sebelumnya oleh Roger Bassham: (1) dasar teologis; (2) hubungan gereja-misi; (3) evangelisme dan tindakan sosial; (4) Kekristenan dan iman yang lain; (5) misi dan kesatuan (Bassham 1979:8-9). Topik yang memanas saat ini – keadilan sosial dalam misi, dan kesaksian terhadap (atau dialog dengan) pemeluk iman dan ideologi lain – didiskusikan dengan panas, tetapi seringkali topiktopik tertentu tidak berhubungan dengan atau terpisah dari tujuan penuh misi Allah. namun tidak ada dari topik-topik ini – termasuk misi dan kesatuan dan hubungan gereja-misi – dapat dipahami dengan tepat terpisah dari visi kesatuan yang diungkapkan oleh kerinduan iman komunitas Kristen untuk kembali kepada Kristus, parousia ilahi, penciptaan baru lewat Roh Kudus. Konferensi-konferensi WCC-CWME baru-baru ini benar dalam menyadari validitas dan kemendesakan tema-tema misionaris seperti “Datanglah Kerajaan-Mu!” (Melbourne 1980) dan Jadilah Kehendak-Mu! Misi dalam Jalan Kristus” (San Antonio 1989). Namun mereka tidak maju lebih jauh ke pengembangan implikasi dari tema-tema eskatologis yang kuat ini untuk praktual aktual dari misi ekumenis. Menjalankan eskatologi secara serius berarti menginjinkan praktek dan struktur misi menjadi direlativir demi Keraja an Allah. Hal ini adalah menempatkan semua rencana dan sumber daya pada kehendak misi Allah sendiri, dengan mengikuti ‘dalam cara Kristus’ lewat daya Roh Kudus. Kita tidak dapat berbuat apa-apa selain menorehkan outline untuk rekonstruksi ekumenis teologi misi. Banyak material bangunan sudah ada di dalam kar ya teologis yang luar biasa yang dilakukan pada tahun 50-an: laporan dari North American Task Force tentang teologi misi sebagai persiapan untuk Willingen; laporan dan sasaran utama dari Willingen Meeting, terutama yang eskatologis; WCC (Rolle 1951) Central Committee Statement tentang “The Calling of the Church to Mission and to Unity”; The Lund (1952) Faith and Order Conference Reports tentang “Christ and His Church,” dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan hal ini, karya komprehensif dari Prof. J.C. Hoekendijk perlu dipertimbangkan. Hoekendijklah yang memprotes “denominasionalisasi” misi dan “eklesialisasi” gerakan ekumenis. Dia penuh semangat menyerukan pandangan alternatif ‘duniawi’ tentang konsep oikoumene gerejawi: Gereja hanyalah gereja sejauh ia membiarkan dirinya digunakan sebagai bagian dari kerja sama Allah dengan oikoumene. Dengan alasan ini gereja hanya bisa menjadi “ekumenis”, yaitu berorientasi pada oikoumene –seluruh dunia. (Hoekendijk 1964:40)... 5
gereja hanya dapat sungguh menjadi gereja jika dia adalah tanda dan kesaksian profetik atas Kerajaan Allah yang mendekati. Dalam eksistensinya, gereja akan membangun tanda penebusan Kerajaan Allah: communio, kebenaran, kesatuan, dll. Gereja tidak dapat lebih dari pada sekedar tanda. Gereja menjauhkan diri dari menjadi Kerajaan Allah; ia membiarkan diri digunakan untuk dan lewat Kerajaan Allah dalam oikoumene. (Hoekendijk 1964:43).
Pemahaman eskatologis duniawi Hoekendijk tentang ‘kerasulan’ dan pandangan reduksionisnya tentang gereja sebagai ‘fungsi kerasulan’ akan berkonflik dengan eklosiologinya The Faith and Order Commission, tetapi tetap perlu diambil resiko. Akhirnya ada sumber lain yang sangat kaya meski kurang mencukupi sebagai sumbersumber untuk merekonstruksi teologi misi ekumenis: Laporan Majelis WCC Evaston kedua (Evanston Second WCC Assembly Report) tahun 1954 tentang “Kristus –Harapan Dunia” (WCC 1954:430-65). Tidak ada sumber lain yang memberikan tema-tema utama tentang teologi ekumenis yang terintegrasi ke dalam pandangan eskatologis yang jelas, bertemu dengan kecerahan dan ketelitian demikian itu: Kristus harapan kita, Kerajaan yang sekarang ada dan akan datang, Gereja sebagai peziarahan umat Allah, misi, kesatuan, dan pembaruan Gereja, harapan Kristen, dan makna sejarah pada zaman dan dunia kita. Bahkan saat ini dokumen itu dapat dibaca sebagai komentrar biblis yang cerdas terhadap misi gereja pada tahun 1992, dengan memperhatikan hancurnya harapan-harapan palsu dan menatap tujuan Allah untuk dunia di abad dua puluh satu. Integritasnya berperan sebagai kesaksian atas karya teologis dan biblis yang kokoh, kecuali fakta bahwa dokumen ini tidak pernah dimaksudkan sebagai pernyataan dalam teologi misi. Mari kita lihat kutipan berikut: Adalah kodrat Gereja bahwa Gereja memiliki misi ke seluruh dunia. Misi itu adalah partisipasi kita dalam karya Allah yang berada di antara kedatangan Yesus Kristus untuk membuka Kerajaan Allah di bumi, dan kedatangan-Nya lagi dalam kemuliaan untuk membawa Kerajaan Allah pada kepenuhannya... Karena Dia yang k ita harapkan datang adalah juga Dia yang sudah hadir. Karya kita sampai kedatangan-Nya kembali hanyalah hasil partisipasi kita dalam karya yang Dia lakukan sepanjang waktu dan dimana pun. Maka misi Gereja adalah yang paling penting yang terjadi di dalam sejarah. (World Council of Churches 1954:442).
Sumber: James M. Phillips dan Robert T. Coote (edt.), Toward the Twenty-first Century in Christian Mission (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1995) hlm. 193-200.
6