TAFSIR AL-FIQHI
1. Pengertian Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalahmasalah masalah fiqhiy fiqhiyyah yah dan cabang cabang-cab -cabang angnya nya serta serta membah membahas as perdeb perdebatan atan atau atau perbed perbedaan aan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-a (ayat-ayat yat ahkam) ahkam).. Tafsir Tafsir fiqhi fiqhi lebih lebih popule populerr dengan dengan sebuta sebutan n tafsir tafsir ahkam ahkam karena karena lebih lebih bero berorie rient ntas asii pada pada ayat ayat-ay -ayat at huku hukum m dala dalam m Al Qur’ Qur’an an.. Oran Orang g yang yang pert pertam amaa berh berhak ak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para shahabat. Setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orangorang-ora orang ng yang yang setela setelahny hnya, a, yang yang pada pada period periodee mereka mereka ini dinama dinamakan kan period periodee tadwin tadwin ( pengod pengodifi ifikas kasian ian). ). Seirin Seiring g dengan dengan berkem berkemban bangny gnyaa ilmu ilmu penget pengetahu ahuan an dengan dengan cabang cabang-cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin. Di masa Rasulullah para sahabat memahami Al-Qur’an dengan kepekaan hati kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan dala dalam m mema memaha hami mi sesu sesuat atu u ayat, ayat, merek merekaa kemb kembal alii kepa kepada da Rasu Rasulu lull llah ah SAW SAW lalu lalu beli beliau au menjela menjelaska skan n kepada kepada mereka mereka.. Setelah Setelah Rasulu Rasulullah llah SAW wafat, wafat, para para fuqaha fuqaha dari dari kalang kalangan an sahabat sahabat mengendali mengendalikan kan umat di bawah kepemimpinan kepemimpinan Khulafaul Rasyidin. Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al- Qur’an merupakan tempat kembali mereka dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara’nya. Jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi dalam memahami suatu lafadz, seperti perselisihan perselisihan mereka mengenai mengenai ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal ditinggal mati suaminya, apakah ‘iddah itu berakhir dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh hari ataukah dengan waktu paling lama diantara keduanya?yakni terkandung dalam firman Allah:
ْ َعَ وٍرُه ْ َة أَ راً ش بَْن أ ِ ِ ُفَْ ِن ب ْ ََ َ وَُذَويَ مْ ُك َ ْ ّربََتَ يجً اَزوَْ أ ّ ِسه َ ص ْ ّ ََتُن ي َ يِذّالَو Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Q.S Al Baqarah,2: 234
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt£`ßgn=÷Hxq … ÇÍÈ 4 .…
“Dan prempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungan mereka.”(Ath-Thalaq,65:4 )
Keadaan seperti ini, sekalipun jarang terjadi, tetapi pada hakikatnya merupakan awal dari suatu perbedaan pendapat di bidang fiqih dalam memahami ayat-ayat hukum.
2. Sejarah tafsir fiqhi Dari berbagai macam atau metode tafsir, salah satu yang paling terkenal adalah tafsir Al Qurtubi yang dalam kalangan ulama menyebutnya sebagai tafsir fiqhi atau tafsir corak hukum. Bila ditengok ke belakang, kemunculan tafsir ini bersamaan dengan corak tafsir bil Ma’tsur, yaitu sejak zaman Nabi, karena sama-sama dinukil dari Nabi SAW. Pada masa itu, ketika salah seorang sahabat menemukan kesulitan dalam memahami hukum suatu ayat, mereka langsung bertanya kepada Nabi. Kejadian seperti ini di satu pihak, dari sisi sumber disebut sebagai tafsir bi al-Ma’tsur dan di pihak lain, di sisi muatan disebut sebagai tafsir fiqhi. Setelah Nabi SAW meninggal dunia, secara otomatis sandaran untuk menyatakan berbagai persoalan yang menyangkut pemahaman suatu ayat sudah tidak ada lagi. Sehingga dituntut kemandirian dalam memahami suatu ayat, maka tidak mengherankan apabila saat itu muncul berbagai perbedaan pemahaman terhadap suatu ayat di kalangan para sahabat. Tafsir yang bercorak fiqh seperti ini terus berkembang bersama berkembangnya ijtihad. Perkembangan ini mendorong munculnya madzhab-madzhab fiqh. Sehingga masamasa sesudahnya muncul beberapa tokoh yang mengkhususkan diri pada persoalan-persoalan fiqh dengan sudut pandang masing-masing.
3. Sistematika tafsir fiqhi Dalam sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya 3 sistematika: a.
Mushafi (tahlili) yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf dengan memulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai surat al-Nas.
b.
Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat
Al-Qur’an. c.
Maudhu’i yaitu menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan. Al Qurtuby sebagai representasi dari tafsir fiqhi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Dengan demikian ia memakai sistematika Mushafi , yaitu dalam menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
4. Langkah-langkah tafsir fiqhi a. b.
Memberikan kupasan dari segi bahasa. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadis-hadis dengan menyebutkan sumbernya sebagai dalil.
c.
Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d. e.
Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing, setelah itu melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang paling benar.
.
5.Para Mufassir Tafsir Fiqhi beserta hasil karyanya Corak tafsir fiqhi terus berlangsung sampai masa kini. Diantara para mufassir dengan corak tafsr fiqhi dan kitab-kitab hasil karyanya yang terkenal adalah:
1.
Ahkam al-Qur’an,disusun oleh al-Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr Ahmad bin Ali alRazi, al-Jasshash (303-370 H/917-980M), salah seorang ahli Fiqih dari kalangan madzhab Hanafi.
2. Ahkam Al-Qur’an al-Kiya al-Harasi, karya al-Kiya al-Harasai (w. 450 H/1058 M), salah seorang Mufassirin berkebangsaan Khurasan. 3. Ahkam al-Qur’an Ibn al-Arabi, merupakankarya momumental Abi Bakar Muhammad bin Abdillah, yang lazim popular dengan sebutan Ibnul ‘Arabi (468-543 H/1075-1148 M) 4. Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa a-Mubayyin lima tadzammanahu minal-as Sunnah wa ayi al-Qur’an
(himpunan hukum-hukum al-Qur’an dan penhjelasan terhadap isi
kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur’an), pengarangnya adalah abi Abdillah Muhammad al-Qurthubi (W. 671 H./1272 M). 5. Tafsir Fath al Qadir, karya besar Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah al-Syaukani ( 1173 – 1250 H/1759 -1839 M)
6.
Tafsiru Ayat Al-Ahkam, disusun oleh Syaikh Muhammad Ali As-Sayis untuk kepentingan intrn mahasiswanya di Kulliyat al-Syari’ah wa al-Qanun
( Fakultas
Syari’ah dan undang-undang) di Universitas al-Azhar Mesir. Tapi kemudian dibukukan dan diterbitkan sehingga beredar luas di duniaIslam. Termasuk dalam lingkungan perguruan tinggi agama Islam di Indonesia terutama di IAIN dan STIN yang mencantumkan kitab tersebut sebagai salah satu buku wajib dalam mata kuliah tafsir ahkam. 7. Tafsir al-Maraghi karangan Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298-1373 H/1881-1945 M).
6. Contoh tafsir fiqhi
نراال اوا االوأ ص الواق… (Surat Al Baqarah 43) Dalam menafsirkan ayat di atas, Al Qurtubi membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Di antara pembahasan yang menarik adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al Thawri, Malik dan Ashab Al Ra’yi . Dalam masalah ini alQurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, menurutnya anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik. Selanjutnya dalam ayat berikut di bawah:
أح ئكمس ث الىرال ص ة اللكم ل (Surat Al Baqarah ayat 187) Al Qurtubi membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke 12, ia mendiskusikan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam madzhabnya.
Bila dicermati dari beberapa contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan betapa Al Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadikan tafsir ini masuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa Al Qurtubi yang bermadzhab Maliki juga ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam madzhabnya.
7. Kelemahan dan kritik tafsir fiqhi Persoalan lain yang perlu dicermati adalah adanya sejumlah keberatan dari beberapa pihak mengenai keberadaan tafsir corak hukum (fiqhi). Apabila Al-Qur’an selalu dipandang sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-undangan maka akan melahirkan suatu pemisahan yang mekanis antara ayat-ayat yang berisi ketentuan hukum yang tidak ada. Ayatayat hukum selalu didekati secara atomistis dan harfiah yang akan menimbulkan kebingungan dalam melihat sebuah proses tahapan ajaran Al-Qur’an.
Di susun oleh: -
Anis nuraini fatayati
-
Dewi fatahillah
-
Imas lu’ul jannah
-
Hidayati fauziyah
Dosen Pengampu: M. Hidayat Nur