Tafsir al- Qur‟an Qur‟an Oleh: Dr. Imam Muhsin, M.Ag.
Pengertian Tafsir • •
Secara bahasa, tafsir (tafsîr) berasal dari akar kata fassara , yang berarti menjelaskan ( al-bayân ) dan menyingkapkan ( al-kasyf ), atau menampakkan (al-izh-hâr ). Sedangkan menurut istilah, ada banyak definisi, antara lain: – Menurut As-Suyuthi (w. 911 H) dengan mengutip dari Az-Zarkasyi, tafsir adalah “ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya, dengan bantuan ilmu lughah (kosakata), nahwu, sharaf, ilmu bayan, ushul fikih, dan ilmu qirâ‟ât (bacaan al-Qur‟an). Selain itu, dibutuhkan juga pengetahuan asbâb annuzûl, serta nâsikh dan mansûkh.” – Menurut Al-Baghdadi (1988: 15-16), tafsir adalah: “ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad Saw dengan menggunakan pengetahuan bahasa Arab (menurut makna bahasa maupun makna syariatnya) dan as-Sunnah, baik untuk memahami pengertian kata (lafazh) maupun susunan kalimatnya (tarkîb al-jumal), yang berkaitan dengan akidah, syariat, dan adab, kemudian mengggali (istinbâth) hukum untuk memecahkan berbagai problem di setiap tempat dan waktu.”
Pentingnya Tafsir 1. Al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. 2. Di dalam al-Qur‟an terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal, namun tidak diberikan perincianperincian dalam masalah-masalah itu. 3. Apalagi di dalam al-Qur‟an sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. 4. Karena itulah diperlukan penjelasan yang berupa Tafsir Al-Qur'an
Tafsir = Takwil ? • Tafsir (tafsîr ) dan takwil (ta‟wîl ) menurut ulama mutaqaddimin (terdahulu), seperti Ibnu Jarir AthThabari (w. 310 H), maknanya sama, sedangkan menurut ulama muta‟akhirin (terkemudian), seperti Az-Zarkasyi (w. 794 H), pengertian keduanya berbeda. • Menurut Az-Zarkasyi, pendapat yang tepat ialah yang membedakan keduanya. – Istilah tafsir dipahami lebih umum daripada takwil. – Jika disebut istilah tafsir, maka ia bermakna umum sebagai penjelasan ayat al-Qur‟an (bayân ayat al- Qur‟ân) sehingga takwil termasuk ke dalamnya.
•
•
Takwil (ta‟wîl ), secara bahasa berasal dari akar kata awl , yang berarti kembali ke asal ( ar- rujû‟ ), atau akibat ( al- „aqîbah) dan kesudahan ( al- mashîr ). Sedangkan secara istilah, adalah: –
–
menurut al-Jurjani (w. 816 H), takwil adalah “mengalihkan kata dari makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah.” Menurut Al- Amidi, takwil adalah “mengartikan kata dari makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya.”
Ruang Lingkup Ta‟wîl • Asy-Syaukani, dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl halaman 176, menjelaskan bahwa ada 2 (dua) ruang lingkup takwil (majâl al-ta‟wîl), yaitu: 1. Masalah-masalah furû‟ (cabang), yakni dalam nash -nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat (yang bersifat zhanni). Dalam ruang l ingkup ini takwil tidak diperselisihkan lagi kebolehannya di kalangan ulama. 2. Dalam masalah-masalah ushûl (pokok), yakni nash-nash yang berkaitan dengan akidah. Misalkan, nash tentang sifat-sifat Allah SWT, bahwa Allah itu mempunyai yad (tangan), wajh (wajah), dan sebagainya (Az-Zuhaili, 2001: 314).
•
Takwil di bidang akidah, menurut Asy-Syaukani, terdapat tiga mazhab: 1. Nash tidak boleh ditakwil dan harus dipahami secara lahiriahnya. Inilah pendapat Musyabihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). 2. Nash akidah ada takwilnya, tetapi yang tahu takwilnya hanya Allah saja (Qs. AliImran [3]: 7). Jadi nash tidak boleh ditakwilkan seraya tetap memurnikan akidah dari tasybîh (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta‟thîl (meniadakan sifat-sifat Allah). 3. Nash akidah boleh ditakwilkan. Inilah mazhab al-Maturidiah, Ibn al-Jauzi, dan alGhazali.
•
Ibn Burhan memandang mazhab pertama adalah batil, sedangkan madzhab kedua dan ketiga diriwayatkan keberadaannya dari para sahabat. Mazhab kedua disebutnya mazhab salafush shâlih, sedang mazhab ketiga diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan Ummu Salamah (Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 176; Al-Husaini, Zubdah alItqân, hlm. 74-75).
Syarat-Syarat Ta‟wîl 1. Takwil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syariat, atau makna „urfi (makna kebiasaan orang Arab). •
Misalnya, takwil kata qurû‟ (dalam Qs. al-Baqarah [2]: 228) dengan arti “haid” atau “suci” adalah sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk qurû‟. Takwil yang tidak sesuai makna bahasa, syariat, atau „urfi, tidak diterima (Asy Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 177).
2. Takwil harus berdasarkan dalil yang sahih dan râjih (kuat). •
Misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhshîsh ), atau memberikan batasan (taqyîd) nash mutlak berdasarkan dalil yang men-taqyîd-kan. Karena itu, takwil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tetapi dalilnya marjûh (lemah), atau musawi (sederajat kekuatannya) dengan kata yang ditakwil, tidak diterima (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/38).
3. Kata yang ada memang memungkinkan untuk ditakwil (qâbil li at-ta‟wîl). •
Misalkan, kata umum yang dapat di-takhshîsh, atau kata mutlak yang dapat diberi taqyîd, atau kata bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna majazi (metaforis). Karena itu, jika takwil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima (Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, I/314).
4. Orang yang menakwil memiliki kapasitas keilmuan untuk melakukan takwil. •
Karena itu, takwil yang dilakukan orang bodoh (jâhil) dalam bahasa Arab atau ilmu-ilmu syariat (al-ma‟ârif al-syar„îyyah) tidak dapat diterima. Orang yang melakukan takwil haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmu- ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat (Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, I/314).
• Berdasarkan syarat-syarat takwil di atas, maka jika suatu penakwilan ayat tidak memenuhi syarat-syarat takwil tersebut maka takwil yang dihasilkan adalah tidak sahih alias batil. – Misalnya pendapat Muhammad Abduh tentang hakikat malaikat dalam kitabnya Tafsîr al-Manar (I/267-269), yang ditakwilkannya sebagai kecenderungan kebajikan dan kejahatan dalam jiwa manusia. – Juga tidak benar pendapat Al-Maraghi dalam Tafsîr al-Maraghi (X/243-244) tentang burung Ababil yang ditakwilkannya sebagai penyakit campak dan cacar. Demikian pula pendapat AlMaraghi (Tafsîr al-Maraghi, IV/175) yang mengingkari Adam a.s. sebagai Bapak Manusia (Abu al-Basyar) karena dianggapnya berlawanan dengan teori ilmiah modern.
• Semua itu adalah takwil batil, karena tidak ada dalil atau qarînah (indikasi) yang mendasarinya. Ini bukan sekadar kebodohan, tetapi bahkan dapat membawa pada kekufuran.
Terjemah (Translate ) •
Pengertian terjemah adalah memindahkan kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Terjemah dibagi dua yaitu: secara harfiah ( litterlijk ) dan secara tafsiriyyah (ma‟nawiyah).
• –
Terjemahan secara harfiah (litterlijk) sangat tidak dianjurkan untuk orang awam yang umum, kecuali untuk pelajar yang mempelajari bahasa. Terjemahan yang disarankan untuk orang awam yang umum adalah terjemahan yang tafsiriyaah (ma‟nawiyah).
–
•
Contoh dalam QS Al-Qamar [54] : 13, bila diterjemahkan secara harfiyah adalah : “Dan kami bawa dia (Nabi Nuh) diatas yang mempunyai papan- papan dan paku-paku. Ia berjalan dengan mata-mata Kami sebagai balasan bagi orang- orang yang tidak dipercayai” maka terjemahan ini pasti membingungkan dan kurang bisa dipahami. Maka terjemahan yang baik adalah secara ma‟nawiyyah, yaitu :
– – •
“Dan kami, kendarakan dia (Nabi Nuh) diatas (bahtera yang terdiri dari) papan-papan dan paku-paku (supaya ia selamat dari topan yang hebat itu). Ia (kapal itu) berlayar dengan pengawasan Kami, sebagai ganjaran bagi orang-orang yang tidak dipercayai (oleh sebagian besar kaumnya, yakni kaum Nabi Nuh).
Perbedaan Tafsir, Takwil, dan Terjemah 1. Tafsir merujuk pada makna lahiriah, sedangkan takwil mengacu pada makna lain yang bukan makna lahiriah yang masih dapat dikandung ayat berdasarkan dalil. 2. Tafsir merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh kata ( bayân al-murâd bi al- lafzh ), sedangkan takwil merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh makna ( bayân al- murâd bi al- ma‟na). 3. Terjemah adalah memindahkan kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain.
Contoh Tafsir dan Takwil 1. Surah al-Baqarah [2] ayat 2 yang berbunyi: lâ rayba fîhi (tidak ada keraguan di dalamnya). • •
2.
Jika diartikan, “lâ syakka fîhi (tidak ada kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman” maka ini adalah takwil (Al-Qurthubi, Al-Jâmi„ li Ahkâm al-Qur‟ân, IV/1516).
Surah al- An‟âm [6] ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al- mayyit (Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati). •
•
Jika ayat ini diartikan, “Allah mengeluarkan burung (yang bernyawa) dari telur (yang mati/tidak bernyawa),” maka ini tafsir. Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmin dari orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh maka ini takwil (Al-Jurjani, At- Ta„rifât, hlm. 50-51).
3. Surah al-Fajr [89] ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi). • •
Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para hamba-Nya, maka itu tafsir. Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173).
Sejarah Tafsir (Masa Nabi saw) •
Pada masa Rasulullah SAW sering timbul perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Pada masa ini ada tiga sumber yang digunakan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an : 1. Al-Qur'an sendiri; karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain. 2. Rasulullah SAW; para sahabat dapat bertanya langsung pada Nabi SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka perselisihkan. 3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri; karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. – Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah asbabun nuzul . Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra‟y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.
Masa Sahabat & Tabi‟in • •
•
•
•
Sahabat yang banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas‟ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka‟b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al- Asy‟ari, dan Abdullah bin Zubair . Generasi tabi‟in belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an, yaitu Mekkah (Ibn Abbas), Madinah (Ubay ibn Ka‟ab), dan Irak (Ibn Mas‟ud). Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits. Usaha pemisahan antara kandungan hadits dan tafsir menjadi kitab tersendiri dilakukan oleh para ulama sesudahnya, seperti Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al- Ma‟tsur . Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray . Ketika ajaran tasawuf berkembang pesat, maka lahirlah sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari .