PENDAHULUAN Zakat, yang secara harfiah berarti tambah (al-ziyadah), berkembang, tumbuh (an-nuwuw), bersih (al-tazkiyah) dan suci (al-thaharah), ialah nama atau sebutan bagi sebagian harta tertentu yang dikeluarkan untuk orang-orang tertentu, menurut aturan dan dengan ukuran- ukuran yang tertentu pula. Zakat disyari‟atkan pada tahun kedua atau tahun ketiga Hijriah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli.
Ada yang menyatakan pensyari‟atan zakat lebih dahulu dari pada puasa; dan a da pula yang menyatakan sebaliknya, yakni pensyari‟atan puasa lebih dahulu dari pada pensyari‟atan pensyari‟atan zakat. Karenanya Karenanya mudah dimengerti jika posisi zakat terkadang diletakkan sebagai rukun Islam ketiga, tetapi pada kesempatan yang lain sering pula dinyatakan sebagai rukun Islam keempat. Lepas dari perbedaan pendapat yang ada, yang pasti zakat merupakan rukun Islam yang tidak boleh diabaikan. Bila kita simak dengan seksama ayat-ayat suci al-
Qur‟an terdapat 82 ayat tentang zakat yang langsung dikaitkan dengan pe rintah shalat. Sehingga dalam rukun Islam, zakat menempati posisi penting ketiga setelah syahadat dan shalat. Cukup banyak ayat al-Qur'an dan matan Hadits yang memerintahkan kaum muslimin supaya mengeluarkan zakat, dan tidak sedikit pula ayat dan Hadits Nabi Muhammad SAW yang mengancam orang-orang yang mengingkari kewajiban zakat.
BAB II PEMBAHASAN 1. Surah Al – Baqarah : 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
a. Maksud umum ayat :
Ayat ini menguraikan nafkah yang diberikan serta sifat nafkah tersebut. Yang pertama digarisbawahinya adalah bahwa yang dinafkahkan hendaknya yang baikbaik. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dinafkahkan itu adalah dari hasil usaha sendiri dan apa yang dikeluarkan Allah dari bumi. Ibnu Qayyim berpendapat ada beberapa kemungkinan alasan mengapa Allah hanya menyebutkan secara khusus dua jenis kekayaan dalam ayat di atas, yaitu kekayaan yang keluar dari bumi dan harta niaga. Kemungkinan yang pertama karena melihat kenyataan bahwa keduanya merupakan jenis kekayaan yang umum dimiliki masyarakat pada saat itu. Kemungkinan kedua adalah karena keduanya merupakan harta kekayaan yang utama (pokok). Sedangkan jenis kekayaan yang lain sudah termasuk di dalam atau timbul
dari keduanya. Hal ini karena istilah “usaha” mencakup segala bentuk perniagaan dengan berbagai ragam dan jenis harta seperti pakaian, makanan, budak, hewan, peralatan, dan segala benda lainnya yang berkaitan dengan perdagangan. Sedangkan
“harta yang keluar dari bumi” meliputi biji -bijian, buah-buahan, harta terpendam (rikaz) dan pertambangan. Jelaslah bahwa keduanya merupakan harta yang pokok dan dominan. Allah melarang mengeluarkan (menginfakkan) dengan sengaja harta yang buruk, berkualitas rendah, sebagaimana dorongan jiwa pada umumnya yaitu menyimpan harta yang baik dan mengeluarkan harta berkualitas rendah. b.
Sebab nuzul ayat :
Diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi SAW memerintahkan umat Islam agar mengeluarkan zakat f itrah sebanyak 1 (satu) sha‟ kurma, lalu datanglah seseorang membawa kurma berkualitas rendah. Maka turunlah ayat tersebut (QS. 2: 267). Menurut al-Barra‟, ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar. Ketika memetik (panen) kurma mereka mengeluarkan beberapa tandan kurma, baik yang sudah matang maupun yang belum matang, lalu digantung pada tambang di antara dua tiang masjid Nabi yang diperuntukkan orang miskin dari kaum Muhajirin. Syahdan, seorang laki-laki dengan sengaja mengeluarkan satu tandan kurma yang kualitasnya sangat buruk. Ia mengira bahwa hal itu dibolehkan mengingat sudah cukup banyak tandanan kurma yang tergantung. Maka berkenaan dengan orang tersebut turunlah
ayat yang artinya: “… dan janganlah kamu memilih -milih yang buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya…”. Yakni, tandanan kurma bermutu sangat buruk yang seandainya diberikan kepadamu, kamu tidak mau menerimanya. Tidak ada perbedaan ﻔpendapat bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan peristiwa yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya, yaitu bahwa seseorang datang membawa setandan kurma yang sangat buruk lalu digantungkan di mesjid untuk dimakan fakir
miskin. Maka turunlah ayat yang artinya: “… dan janganlah kamu memilih -milih yang buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya…”. c. Keterangan mufradat :
ا أنفق: kata infaq berasal dari akar kata nafaqa – yanfaqu – nafaqan – nifaqan
-ﻨﻔﻘﺎ- ﻴﻨﻔﻖ-ﻨﻔﻘﺎ-) )ﻨﻔﺎﻘﺎyang artinya “berlalu, habis, laris, ramai”. Kalimat nafaqa asy syai‟u artinya sesuatu itu habis, baik habis karena dijual, mati atau karena dibelanjakan. Kalimat
ﻨﻔﻖ ﺍهﺒﻴﻊ ﻨﻔﻘﺎartinya dagangan itu habis karena laris terjual. Kata
– kata ﻨﻔﺎﻖ ﺍﻹﺜﻢartinya habis (pahala) karena dosa. ﻨﻔﻖ ﺍﻘﻭﻢartinya kaum itu laris, ramai pasarnya, sehinggah habis dagangannya. Kalimat mati.
ﻨﻔﻘﺖ ﺍهﺪﺍﺒﺔ ﻨﻔﻭﻘﺎartinya binatang itu
ﻨﻔﻘﺖ هﺪﺭﺍﻫﻢartinya uang itu habis karena dibelanjakan (digunakan). Infak yang
berarti menghabiskan atau membelanjakan dapat berkenaan dengan harta atau lainnya, dan status hukumnya bisa wajib atau dapat pula sunat ( tathawwu). ت طيب: terambil dari kata thayyib yang artinya baik dan disenangi (disukai);
lawannya khabis yang berarti buruk dan dibenci (tak disukai). يمموا ول: artinya: janganlah kamu bermaksud, menuju, menghendaki. غمضوا : artinya: meremehkan, memicingkan mata. Kalimat
ﻔﻼﻦ ﻋﻦ ﺒﻌﺾ ﺤﻘﻪ
ﺁﻏﻤﺾyang artinya si polan meremehkan sebahagian haknya. Diucapkan oleh oarng arab terhadap orang yang memicingkan mata terhadap haknya tersebut. Perkataan
( ﺁﻏﻤﺾremehkan, picingkan matamu) kepada si penjual, artinya “janganlah kamu selidiki/teliti seakan – akan kamu tidak melihat”. حميد: Maha Terpuji; maksudnya berhak mendapat pujian atas segala nikmat-Nya yang besar. d.
Pandangan Para ulama dan pakar : Menurut zahir ayat diatas, yang wajib mengelurkan zakat dari segala barang
tambang, baik berupa emas, perak atau lain – lain.
Menurut Imam Syafi‟I : Dari ayat dia atas, zakat yang wajib di keluarkan dari hasil bumi yaitu hanya emas dan perak saja, tidak yang lain seperti minyak tanah, tembaga, besi dan sebagainya. Demikian juga dari hasil pertanian, yang wajib di keluarkan hanyalah yang berupa biji yang dijadikan makanan pokok dan tahan lama. Sedangkan dari buah – buahan yang wajib dizakatkan hanyalah anggur dan tamar (korma)
Menurut Imam Abu Hanifah : Bahwa yang wajib di zakatkan itu ialah segala barang logam yang dikeluarkan dari tanah, juga segala buah – buahan dan biji – bijian yang dapat dimakan, baik sedikit atau banyak. Wajib dikeluarkan sepersepuluh dari padanya.
e. Istinbat hukum
Bahwasanya apa yang keluar dari bumi dan dari hasil dari usaha sendiri wajib dikeluarkan zakatnya. Hasil tambang emas dan tambang perak, apabila sampai senisab wajib di keluarkan zakatnya pada waktu itu juga dengan tidak di saratkan sampai setahun, seperti pada biji – bijian dan buah – buahan. Zakatnya 1/40 (2½%).
Sabda Rasulullah SAW yang artinya : “…Bahwasanya Rasulullah SAW telah mengambil sedekah (zakat nya) dari hasil tambang di negeri Qabaliyah”. Riwayat Abu Daud dan Hakim. Dan pada hadits yang lain Rasulullah bersabda yang artinya
“…Pada emas dan perak, zakat keduanya seperempat puluh (1/40) (2½%).
2. Surah Al Baqarah : 271
271. jika kamu Menampakkan sedekah(mu)[172], Maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya[173] dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[172] Menampakkan sedekah dengan tujuan supaya dicontoh orang lain. [173] Menyembunyikan sedekah itu lebih baik dari menampakkannya, karena Menampakkan itu dapat menimbulkan riya pada diri si pemberi dan dapat pula menyakitkan hati orang yang diberi.
a. Maksud umum ayat : Nafkah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah termasuk sedekah,
bisa dinampakkan dan juga bisa dirahasiakan. Jangan menduga ia baru diterima Allah bila dirahasiakan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa yang dimaksud dalam ayat
ini adalah sedekah tatawwu‟ ( sunnah). Adapun pada sedekah wajib/zakat maka menampakkannya adalah lebih utama. Keikhlasan memang sesuatu yang sangat
rahasia bagi manusia, hanya Allah yang mengetahui kadarnya, tapi itu bukan berarti hanya bersedekah secara rahasia yang ikhlas. Siapa yang menyumbang dengan terang-terangan pun, keikhlasannya dapat tidak kurang atau melebihi yang menyumbang dengan rahasia. Mengumumkan sedekah dapat mendorong orang lain bersedekah dan menutup pintu peasangka buruk yang menjerumukan penyangka ke dalam dosa. Karena itu, jika kamu menampakkan sedekahmu maka itu ialah baik sekali selama sedekah itu didasari keikhlasan dan bukan semata-mata memilih yang buruk untuk diberikan. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu, karena ini
lebih mencegah lahirnya riya‟ dan pamrih, serta lebih memelihara air muka kaum fakir yang menerima. Dengan sedekah dari harta yang halal, dan memenuhi anjurananjuran ayat-ayat yang lalu, Allah menghapus sebahagian bukan seluruhnya kesalahan-kesalahan kamu yang bersifat dosa kecil, bukan dosa besar dan bukan juga yang berkaitan dengan hak manusia dengan masyarakat. Ini perlu digarisbawahi agar jangan timbul dugaan, bahwa harta yang haram itu bila disedekahkan sebahagian sisanya akan menjadi halal. Banyak hadis-hadis Rasulullah saw. yang memuji pemberian sedekah dengan cara sembunyi ini, suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, Dari Imam Ahmad dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula sebuah hadis dari Abu Zar yang mengatakan:
ﺎﺭسﻮل ﺪقﺔ ﺍﺎنم؟قﺎل أ أف: ﻦ فﻘﻴﺭإﻭ إني صﺪقﺔسﺭﻘم جﻬﺪ “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., "Ya Rasulullah, sedekah yang manakah yang paling utama?" Maka Rasulullah saw. menjawab, "Sedekah secara rahsia yang diberikan kepada fakir miskin, atas usaha keras dari orang yang sedang
kekurangan”. (HR Ahmad dan Ibnu Abi Hatim). Dalam firman selanjutnya pada ayat di atas, Allah swt. mengatakan bahwa Dia akan menutupi dan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya dengan cara yang baik itu, sesuai dengan sedekah yang diberikannya, Kemudian Allah memperingatkan, bahwa Dia senantiasa mengetahui apa saja yang diperbuat hamba-Nya, serta niat yang mendorong berbuat itu. Dan semuanya itu akan dibalas-Nya sesuai dengan amal dan niatnya itu.
b. Sebab nuzul ayat :
Ayat ke 271 diturunkan sehubungan dengan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab. Pada suatu waktu Umar bin Khatthab menyedekahkan separuh dari harta kekayaan nya kepada rasulullah untuk kepentingan agama. Rasulullah SAW bersabda : Tidakkah engkau memikirkan anak turun dan keluarga yang ada dibelakangmu,
wahai Umar” Jawab Umar “ Aku sediakan buat mereka separuh dari harta kekayaanku”, sedangkan Abu Bakar Shiddiq secara diam – diam telah menyeluruhkan seluruh harta kekayaannya kepada Rasulullah SAW untuk kepentingan agama.
Rasuullah SAW bersabda kepadanya “Wahai Abu Bakar, tidakkah kamu memikirkan keluarga dan anak turun yang ada dibelakangmu “. Jawab Abu Bakar “Yang akan
mencukupi keluargaku adalah Allah dan Rasulullah”. Mendengar jawaban yang seperti itu Umar bin Khatthab menangis seraya berkata “Demi Allah tebusanmu adalah ayah dan ibuku, setiap aku berniat membuat kebajikan selalu saja kamu
tandingi, wahai Abu Bakar”. Ayat ini pada dasarnya memuji sikap Umar bin Khatthab yang menyedekahkan harta kekayaannya dengan terang – terang agar di contoh orang lain, dan kepada Abu Bakar yang menyedekahkan hartanya secara rahasiah. Kedua perbuatan itu adalah sangat baik, yang patut diikuti oelh setiap muslim.
c.
Keterangan Mufradat :
تبدوا: artinya: menampakkan. ه تخف: artinya: menyembunyikan. ه تؤت: artinya: memberikan. يكفر: artinya: menghapuskan. d.
Pandangan para ulama dan pakar
Al-Qurthubi berkata: Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat ini
tentang shadaqah thathawwu‟, sebab menyembunyikannya lebih baik daripada menampakkannya, begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya, menyembunyikan ibadah-ibadah sunnah lebih baik guna menghindarkan terjadinya riya‟, bukan seperti ibadah-ibadah wajib”. Ibnu Katsir berkata: Ayat di atas adalah dalil yang menjelaskan bahwa dirahasiakannya shadaqah lebih afdhal daripada ditampakkan, sebab dia lebih jauh dari riya‟, kecuali jika ada kemaslahatan yang lebih kuat, seperti adanya orang lain yang mengikuti perbuatannya, maka dia lebih baik dilihat dari sisi ini, jika tidak,
maka yang lebih baik adalah merahasiakannya”.
e. Istinbat Hukum
Nafkah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah termasuk sedekah, bisa dinampakkan dan juga bisa dirahasiakan .
3. Surah At – Taubah : 103
103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda [659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
a. Maksud umum ayat Dikatakan orang bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat tersebut
adalah zakat, dan bahwa kata min dalam ayat tersebut berart i “sebagian”. Mereka – para sahabat- hendak menyedekahkan seluruh harta mereka, maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengambil sebagian dari harta mereka (sebagai pertanda) bagi taubat mereka, karena zakat itu tidak diterima dari sebagian orang-orang munafik. Dengan demikian ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya. Ayat tersebut menunjukkan kebolehan membaca shalawat kepada selain
para Nabi secara bebas. Mengenai rahasia do‟a Nabi SAW merupakan ketenteraman bagi mereka adalah bahwa jiwa beliau adalah jiwa yang kuat, bercahaya, jernih dan luhur. Maka apabila beliau mendoakan mereka dan memohonkan kebaikan bagi mereka, meresaplah pengaruh kekuatan beliau yang bersifat kejiwaan ke dalam jiwa mereka, sehingga lantaran pengaruh ini bercahayalah jiwa mereka dan jernihlah hati mereka.
b.
Sebab nuzul ayat
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan segolongan orang-orang lainnya. Mereka merupakan kaum mukminin dan mereka pun mengakui dosa-dosanya. Jadi, setiap orang yang ada seperti mereka adalah seperti mereka juga dan hukum bagi mereka juga sama. Mereka mengikat diri mereka di tiang-tiang masjid, hal ini mereka lakukan ketika mereka mendengan firman Allah SWT, yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tidak berangkat berjihad, sedang mereka tidak ikut berangkat. Lalu mereka bersumpah bahwa ikatan mereka itu tidak akan dibuka melainkan oleh Nabi SAW sendiri. Kemudian setelah ayat ini diturunkan Nabi melepaskan ikatan mereka. Nabi kemudian mengambil sepertiga dari harta mereka kemudian menyedekahkannya kemudian mendoakan mereka sebagai tanda bahwa taubat mereka telah diterima. Dalam riwayat lain desebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi, bahwa Tsa'labah ibn Hathab meminta doa Rasulullah, "Ya Rasulullah berdoalah pada Allah supaya Dia memberi rizki harta pada saya!' Kemudian berkembang-biaklah domba Tsa'labah hingga dia tidak shalat Jum'at dan ikut jama'ah, lalu turunlah ayat 'Khudz min amwaalihim.... c. Keterangan mufradat
ﻦ: kata min dalam firman Allah SWT ﻦ خذ ﻮﺍنﻬﻢ صﺪقﺔ أberarti (ﺏﻌﺾsebagian) ﻬﺭﻫﻢ: artinya dengan sedekah itu kamu membersihkan mereka (dari dakidaki keterbelakangan yang melumuri mereka dan dari sifat cinta harta yang menyebabkan keterbelakangan).
ﻴﻬﻢز: artinya dengan sedekah itu kamu mensucikan mereka (dari seluruh perangai tercela yang ditimbulkan oleh harta).
ﻋهﻴﻬﻢ ﻭصم: artinya berbelas kasih-lah kepada mereka dan mintalah rahmat dari Allah untuk mereka.
ن لهمتك سإن ص: artinya sesungguhnya doamu itu membuat jiwa mereka menjadi tenteram, hati mereka menjadi tenang, dan mereka percaya bahwa Allah SWT menerima taubat mereka.
d. Pandangan para ulama dan pakar
Para ulama mengatakan bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat 103 surat al-taubah tersebut adalah zakat, dan bahwa kata min dalam ayat tersebut
berarti “sebagian.
Menurut Thahir Ibnu „Asyur sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya Dapat juga dikatakan, bahwa ayat yang lalu berbicara tentang sekelompok orang yang imannya masih lemah, yang mencampurbaurkan amal baik dan buruk dalam kegiatannya, Mereka diharapkan dapat diampuni Allah. salah satu cara pengampunan-Nya adalah melalui sedekah dan pembayaran zakat. Ulama mengemukakan dalil sunatnya mendoakan orang yang bersedekah dengan firman Allah SWT:
( ﻋهﻴﻬﻢ ﻭصمdan berdo‟alah untuk mereka). Asy -Syafi‟i
berkata: “sunat bagi seorang imam mendoakan orang yang bersedekah apabila ia memungut sedekah, seraya berkata:” فﻴﻤﺎأﺏﻘﻴﺖﻴﺖ ﻭجﻌهﻪ طﻬﻮﺭﺍﻭﺏﺭك ن جﺭك فﻴﻤﺎ أﻋ”ﺍنهﻬ. “Semoga Allah memberi pahala kepadamu dari apa yang kamu berikan, semoga Dia menjadikannya sebagai penyuci (dosa-dosamu), dan semoga Dia melimpahkan berkah
kepadamu pada harta yang masih kusimpan”.
4. Surah At – Taubah : 60
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
a. Maksud umum ayat
Dalam ayat ini Allah SWT meneragkan orang – orang yang berhak menerima zakat, dan hukum mengeluarkanya wajib. Yang wajib dikeluarkan zakatnya meliputi hasil – hasil pertanian, peternakan, perdagangan, mas, perak, dan setiap selesai puasa bulan ramadhan di wajibkan mengeluarkan zakat fitrah. Adapun yang berhak menerima zakat itu terdiri atas 8 golongan, yaitu : 1) Kaum fakir, yaitu orang – orang yang tidak berharta dan tidak bermata pencaharian untuk membiayai keperluan hidupnya. 2) Kaum miskin, yaitu orang – orang yang mempunyai harta dan mata pencaharian akan tetapi tidak dapat mencukupi keperluan hidupya. 3) al-„Amilun, mereka adalah orang -orang yang oleh pihak yang berwenang diberi kepercayaan untuk menangani pemungutan dan penyaluran zakat, termasuk di dalamnya para karyawan yang dipekerjakan untuk itu, dalam
istilah sekarang semisal BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan Shadakah) dan lain sebagainya. 4) al-mu‟allafah qulubuhum, yaitu suatu kaum kafir yang terdapat di awal permulaan Islam. Terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan al-
mu‟allafah qulubuhum. Sebagian mengatakan, mereka adalah orang -orang kafir yang oleh Nabi dibujuk hatinya supaya menganut agama Islam; mereka tidak mau masuk ke dalam Islam kecuali dengan mendapatkan pemberian harta. 5) Hamba sahaya yang telah mengadaikan perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya. 6) al-gharimin. Secara lughawi, kata al-gharam berarti ketetapan atau keharusan (al-luzum). Adapun yang punya hutang itu dinamai al-gharim ialah karena dia dibebani kewajiban untuk membayar hutangnya. 7) Fi sabilillah, yaitu orang – orang yang melaksanakan jihad di jalan Allah. Menurut ahli fiqh yang termasuk fi sabilillah selain jihad ialah segala keperluan yang dianggap baik menurut tutunan agama, seperti memakmurkan mesjid, madrasah dll. 8) Ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal dalam berpergian bukan untuk maksiat.
Yang berhak menerima dan menggunakan zakat ialah imam atau wakilnya dan tidak dibenarkan untuk kepentingan pribadi. Mengeluarkan zakat merupakan kewajiban yang dibebankan kepada kaum muslim, dan Allah megetahui akan segala hal ihwal hambanya baik di lahir maupun di batin.
b. Asbabul nuzul ayat
Banyak riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, yang menceritakan kisah – kisah tertentu mengenai orang-orang tertentu yang mencela keadilan Rasulullah SAW dalam pendistribusian zakat ini. Salah satunya adalah: Imam Bukhari dan an- Nasa‟i meriwayatkan dari Abu Sa‟id al -Khudri ra. ia berkata, “ketika Nabi melakukan pembagian zakat, tiba-tiba datanglah Dzul Huwaishir at-Tamimi kepada beliau lalu
berkata, „Yang adillah wahai Rasululah!‟ Kemudian beliau bersabda, „Celakalah kamu! Siapakah yang b erbuat adil kalau aku tidak berbuat adil?‟ Kemudian Umar ibn
Khattab berkata, „Izinkanlah aku untuk memenggal kepalanya!‟ Rasulullah bersabda,
„Biarkanlah dia! Sesungguhnya dia mempunyai kawan -kawan yang salah seorang dari kamu meremehkan shalatnya bersama shalat mereka, dan puasanya bersama puasa
mereka. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busur…‟ Maka, mengenai mereka turunlah ayat, „Di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pemberian) zakat.”
c. Keterangan mufradat
1.
ﺪقﺎتﺍن: zakat wajibah berlaku dalam bentuk uang tunai dan binatang ternak, maupun tanam-tanaman dan perdagangan/perniagaan. Hanya saja, seperti akan diuraikan nanti dalam penjelasan ayat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apa yang dimaksud dengan sedekah pada ayat ini,
apakah sedekah wajib atau termasuk di dalamnya sedekah tathawwu‟. 2.
ﺍنﻔﻘﺭﺁء: jamak dari فﻘﻴﺭyaitu orang yang berpenghasilan tidak tetap lagi kecil (tidak mencukupi) penghasilannya.
3.
ﻴﻦﺎﺍنﻤ: jamak dari ﻴﻦ, yang berasal dari kata ﻦ س- ﻦ artinya: hilang kegiatannya, karena menggantungkan kehidupannya kepada manusia. Miskin yaitu orang yang memiliki penghasilan tetap, tetapi penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.
4.
هﻴﻦﺍنﻌﺎ: orang atau panitia/badan yang mengurusi penerimaan dan penyaluran zakat/sedekah, terutama yang diangkat oleh ulil amri (pemerintah).
5.
قهﻮﺏﻬﻢ ﺍنﻤؤنﻔﺔ: orang-orang yang diharapkan hatinya condong (melirik) kepada Islam atau berketetapan dalam agama Islam yang dianutnya.
6.
ﺍنﺭقﺎﺏ: pemerdekaan budak. Kata ﺍنﺭقﺎﺏadalah bentuk jamak dari kata raqabah yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher.
7.
ﻴﻦﺍنغﺎﺭ: orang yang berhutang (debitur) yang tidak mampu membayar hutangnya.
8.
ﺍ سﺒﻴم: jalan/sarana yang mengantarkan penggunanya menuju ridha Allah dan pahala dari-Nya; dan yang dimaksud dengannya adalah setiap orangyang melakukan aktivitas (kegiatan) yang masuk ke dalam kategori mentaati Allah seperti untuk membiayai peperangan, haji dan lain sebagainya.
ﺒﻴمإﺏﻦﺍن: musafir yang kekurangan/kehabisan bekal di perjalanan yang relatif cukup
9.
jauh, yang mengalami kesulitan meskipun di kampung halamannya dia tergolong orang yang berada. 10.
ﻦ فﺭضﺔ ﺍ: Yakni Allah telah menetapkan ketentuan yang demikian itu sebagai suatu kewajiban yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.
d. Pandangan para ulama dan pakar
Menuut Imam Syafi‟I hendaklah zakat itu dubagikan kepada 8 asnaf atau golongan yang telah ditentukan oleh Allah dalam ayat di atas. Alasannya karena ayat
ini menyebut “hanyalah” ( )ﺍﻨﻤﺎmaka berarti pembagian zakat itu ditetukan kepada setiap gologan itu saja. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah mereka berpendapat bahwa zakat tersebut cukup diberikan kepada salah satu dari 8 gologan tersebut dan tidak mesti diberikan kepada segenap gologan. Alasannya karena a yat ini menyebut “hanyalah” untuk membatasi pembagian yang menerimanya bukan supaya diberikan kepada seluruh golongan tersebut.
e.
Istinbat hukum
Zakat itu (pembagiannya) terbatas hanya kepada delapan kelompok penerima zakat (mustahiq); tidak boleh untuk dibagikan kepada selain mereka. Yang berhak menerima zakat itu ialah: 1. Orang fakir, 2. Orang miskin, 3. Amil (Pengurus) zakat, 4. Muallaf, 5. Memerdekakan budak, 6. Orang berhutang, 7. Pada jalan Allah (sabilillah), 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
KESIMPULAN
1. Kata “sedekah” itu bisa mencakup zakat wajib dan sedekah sunnah sekaligus. Karenanya, mudah dimengerti jika di kalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat dalam menafsirkan kata تاقدصلا pada ayat 60 surat al -
taubat di atas. Bahwa yang dimaksud di dalamnya adalah “al -zakat alwajibah”, itu telah menjadi konsensus (ijma‟) mereka. 2. Sedekah itu (pembagiannya) terbatas hanya kepada delapan kelompok penerima zakat (mustahiq); tidak boleh untuk dibagikan kepada selain mereka 3. Yang berhak menerima zakat itu ialah: 1. Orang fakir, 2. Orang miskin, 3. Amil (Pengurus) zakat, 4. Muallaf, 5. Memerdekakan budak, 6. Orang berhutang, 7. Pada jalan Allah (sabilillah), 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. 4. Para ulama mengatakan bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat 103 surat al-taubah tersebut adalah zakat, dan bahwa kata min dalam ayat
tersebut berarti “sebagian”. 5. Dalam surat al-An‟am Ayat 141 ini menunjukkan adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki seseorang. Sementara ulama berpendapat bahwa penggalan ayat di atas menunjukkan kewajiban menunaikan zakat. Pendapat ini disanggah oleh ulama lain dengan alasan bahwa ayat, bahkan surat ini turun di Mekah sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah, sedang zakat baru diwajibkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah. 6. Dalam surat al-Baqarah ayat 267 dijelaskan bahwa yang dinafkahkan hendaknya yang baik-baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dinafkahkan itu adalah dari hasil usaha sendiri dan apa yang dikeluarkan Allah dari bumi. 7. Nafkah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah termasuk sedekah, bisa dinampakkan dan juga bisa dirahasiakan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jashshash, Al-Imam Abi Bakr Ahmad Al-Razi. 1993. Ahkam al- Qur‟an (juz 1). Beirut: Dar al-Fikr
Departemen Agama RI. 1991. Al- Qur‟an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa
Ibnu „Arabi, Abu Bakr Muhammad ibn Abdull ah. 1984. Ahkam al- Qur‟an. Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiah
Quthb, Sayyid. 2003. Tafsir Fi Zhilalil- Qur‟an: Di Bawah Naungan Al -Qur‟an (jilid. 10), terj.
As‟ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press
Rachim, Drs. H. Abdur, dan Drs. Fathony. 1987. Syari‟at Islam: Tafsir Ayat-Ayat Ibadah. Jakarta: Rajawali
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an (jilid 5). Jakarta: Lentera Hati
Suma, Dr. H. Muhammad Amin, M.A., S.H. 1997. Tafsir Ahkam I. Jakarta: Logos