REFERAT KEHAMILAN DENGAN BEKAS SECTIO CAESAREA
Oleh Sutria Nirda Syati 1618012090
Pembimbing dr. M. Zulkarnain H, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2017
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr. Wb. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Refarat berjudul Kehamilan dengan Bekas SC. Adapun penulisan laporan kasus ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstetri dan Ginekologi di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Provinsi Lampung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Zulkarnain H Sp,OG selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca. WassalamualaikumWr. Wb.
Bandar Lampung, April 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI……………………………………………………………
iii
DAFTAR TABEL………………………………………………………
iv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………...
v
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………. PENDAHULUAN……………………………………………... ..
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sectio Saesaria ………..………………………………..
3
2.2 Indikasi Sectio Saesaria …………………………………………
3
2.3 Tipe-Tipe Operasi Sectio Saesaria ……………………………...
5
2.4 Involusi Uterus Setelah Sectio Saesaria ………………………...
7
2.4.1 Proses Penyembuhan Luka Bekas SC……………………
7
2.4.2 Perubahan Uterus Pasca-SC pada Masa Nifas……………
10
2.4.3 Perubahan Ukuran Bekas Lukas SC Selama Kehamilan…
11
2.5 Komplikasi pada Kehamilan dengan Bekas SC…………………
12
2.6 Tatalaksana Kehamilan dan Persalinan Bekas SC………………
16
BAB III KESIMPULAN…………………………………………….. KESIMPULAN……………………………………………..... ...
26
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….... PUSTAKA……………………………………………......... .....
27
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Perbedaan SSTP dan SC Klasik
9
Tabel 2. Sistem penilaian P4S modifikasi Flamm-Geiger
23
Tabel 3. Sistem skoring menurut Weinstein
24
Tabel 4. Sistem skoring menurut Alamia
25
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Tipe-Tipe Insisi pada SC
7
Gambar 2. Ilustrasi yang menggambarkan bekas lukas SC
12
Gambar 3. Algoritma Antenatal Care dengan Bekas SC
16
Gambar 4. Algoritma Tatalaksana VBAC
18
"
BAB I PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir kecenderungan pilihan melahirkan dengan operasi section sesaria (SC) meningkat diberbagai negara. Tahun 2007 diperkirakan 15% dari kelahiran di seluruh dunia terjadi dengan SC. Di negara berkembang, proporsi kelahiran dengan cara SC berkisar 21,1% dari total kelahiran yang ada, sedangkan di negara maju hanya 2%, sedangkan WHO menetapkan indikator SC 5-15% per 1000 kelahiran untuk setiap negara tanpa membedakan negara maju atau berkembang (WHO, 2015).
Angka tindakan operasi SC di Indonesia sudah melewati batas maksimal standar WHO yaitu 5-15 %. Berdasarkan data RIKESDAS tahun 2013, tingkat persalinan sectio caesarea di Indonesia 15,3 % sampel dari 20.591 ibu yang melahirkan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang diwawancarai di 33 provinsi. Gambaran adanya faktor resiko ibu saat melahirkan atau di operasi SC adalah 13,4 %, karena ketuban pecah dini 5,49%, preeklampsiaa 5,14%, perdarahan 4,40% karena jala n lahir tertutup 2,3% karena rahim sobek (Riskesdas, 2013)
Tindakan SC merupakan pilihan utama bagi tenaga medis untuk menyelamatkan ibu dan janin.
Sectio caesaria adalah
tindakan operasi untuk mengeluarkan bayi dengan
melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram. Persalinan SC hanya dilakukan apabila terdapat indikasi ibu yang berupa panggul sempit, penyulit kehamilan seperti eklamsi, ruptur uteri, plasenta previa, dan indikasi janin berupa malpresentasi dan gawat janin. Tindakan operasi ini memiliki konsekuensi pada involusi uterus ibu pasca kehamilan dan untuk kehamilan selanjutnya (Wiknojosastro, 2008).
Manajemen penanganan pada kehamilan dan persalinan pada bekas SC memerlukan perhatian khusus. Pemeriksaan
antenatal care
harus memperhatikan bagaimana
"
perkembangan kehamilan karena bekas SC dapat memberikan komplikasi seperti plasenta previa. Sedangkan untuk persalinan pada bekas SC pada tahun 1916, Cragin membuat suatu pernyataan “sekali sesar, selalu diikuti dengan sesar”. Kita harus ingat bahwa pada saat pernyataan itu dikeluarkan, seksio sesaria dilakukan melalui insisi vertikal uterus klasik yang digunakan secara universal yaitu insisi yang dimulai dari segmen bawah uterus sampai dengan daerah fundus. Tetapi pada tahun 1921, Kerr memperkenalkan insisi transversal. Penggunaan insisi klasik mulai ditinggalkan sejak diperkenalkannya insisi transversal rendah. Risiko ruptura uteri pada insisi transversal rendah 10 kali lebih rendah dibandingkan dengan insisi klasik pada waktu persalinan hal ini juga menyebabkan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio sesaria (P4S). Angka keberhasilan P4S sebagian besar kepustakaan 60 – 80 %. Dibandingkan dengan seksio sesarea kembali, P4S berhubungan dengan morbiditas yang lebih rendah, transfusi darah lebih sedikit, infeksi post partum lebih sedikit, lama perawatan lebih singkat, tanpa peningkatan morbiditas perinatal (Flamm, 1997).
"
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sectio Caesarea
Seksio Caesar merupakan salah satu operasi tertua dan terpenting di bidang obstetri. Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan insisi melalui abdomen dan uterus (Liu, 2007). Definisi lain dari section caesar adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui s uatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Wiknojosastro, 2008).
2.2 Indikasi Sectio Caesarea
Keputusan untuk melakukan operasi caesar terutama didasarkan pada pertanyaan tentang apa yang terbaik bagi atau mungkin menyimpan kehidupan ibu dan anak. Indikasi operasi caesar karena itu dapat dibagi menjadi indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi seksio sesarea dapat dikategorikan indikasi absolut atau relatif. Setiap keadaan yang membuat kelahiran lewat jalan lahir tidak mungkin terlaksana merupakan indikasi absolut untuk sectio abdominal. Di antaranya adalah kesempitan panggul yang sangat berat dan neoplasma yang menyumbat jalan lahir. Pada indikasi relatif, kelahiran lewat vagina bisa terlaksana tetapi keadaan adalah sedemikian rupa sehingga kelahiran lewat seksio sesarea akan lebih aman bagi ibu, anak ataupun keduanya (Liu, 2007). Indikasi absolut seksio sesarea, antara lain (ASMS, 2015): 1) Panggul sempit dan distocia mekanis; Disproporsi fetopelvik, panggul sempit atau janin terlampau besar, malposisi dan malpresentasi, disfungsi uterus, distocia jaringan lunak, neoplasma dan persalinan yang tidak maju. 2) Malpresentasi; Presentasi pada bayi yang tidak memungkinkan untuk persalinan pervaginam seperti letak lintang, dll. 3)
Fetal asfiksia atau asidosis; Gawat janin, prolapsus funiculus umbilicalis dll
4) Perdarahan yang disebabkan placenta previa atau abruptio placenta, solusio
"
plasenta atau ruptur plasenta.
Indikasi relatif seksio sesarea, antara lain (ASMS, 2015): 1)
Pembedahan
sebelumnya
pada
uterus; SC, histeretomi, miomektomi,
ekstensif dan Jahitan luka: pada sebagian kasus dengan
jahitan cervical atau
perbaikan ostium cervicis yang inkompeten dikerjakan seksio sesarea. 2) Kardiotografi patologis yang berat sehingga dapat menyebabkan hipoksia akut atau fetal asfiksia 3) Kegagalan induksi 5) Ibu dengan penyulit kehamilan yang mempunyai kontraindikasi mengedan seperti toxemia garvidarum mencakup; Preeklampsia dan eklampsia, hipertensi esensial dan nephritis kronis, HIV/AIDS, hepatitis B, infeksi menular seksual pada jalan lahir dll.
Indikasi lain dari seksio sesarea adalah indikasi sosial dimana menurut penelitian suatu badan di Washington DC, Amerika Serikat pada tahun menunjukkan bahwa setengah dari jumlah persalinan seksio sesarea secara medis tidak diperlukan artinya tidak ada kegawatdaruratan persalinan untuk menyelamatkan ibu dan janin yang dikandungnya. Hal ini terjadi karena permintaan pasien sendiri terkait misalnya ingin melahirkan pada tanggal dan jam tertentu, atau tidak ingin mengalami rasa sakit saat melahirkan (RCOG, 2015).
Selain dari indikasi absolut, relatif, dan sosial. Sectio Caesaria juga memiliki indikasi lainnya yaitu indikasi ibu dan indikasi janin (Wiknojosastro, 2008).
Indikasi ibu :
1. Panggul sempit absolut 2. Tumor – tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi 3. Disproporsi sefalo pelvik, yaitu ketidakseimbangan antara ukuran kepala dan panggul 4. Stenosis serviks atau vagina 5. Ruptura uteri mengancam 6. Plasenta Previa Totalis 7. Partus lama
"
8. Partus tidak maju 9. Eklampsia 10. Sudah pernah SC dua kali (SC yang ketiga kalinya) Indikasi janin :
1. Kelainan letak 2. Gawat janin Pada umumnya sectio caesarea tidak dilakukan pada :
1. Janin mati 2. Ibu syok, anemia berat sebelum diatasi 3. Kelainan kongenital berat 4. Kelainan pembekuan darah
Kontra indikasi seksio sesarea pada umumnya seksio sesarea tidak dilakukan pada janin mati, syok, anemi berat, sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (monster). Kontraindikasi untuk dilakukan seksio sesarea ada tiga, yaitu kalau janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup kecil, tidak ada alasan untuk dilakukan operasi berbahaya yang tidak diperlukan, kalau jalan lahir ibu mengalami
infeksi
yang
luas
dan
tidak
tersedia
fasilitas
untuk
sesarea
ekstraperitoneal, serta dokter bedah tidak berpengalaman dan keadaan tidak menguntungkan bagi pembedahan, atau tidak tersedia tenaga asisten
yang memadai
(Wiknojosastro, 2008).
2.3 Tipe-Tipe Operasi Seksio Sesarea
a.
Segmen Bawah: Insisi Melintang
Insisi
melintang
segmen
bawah
ini
merupakan
prosedur pilihan Abdomen
dibuka dan uterus disingkapkan. Lipatan vesicouterina periteoneum (bladder flap) yang terletak dekat sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan dan disayat melintang, lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah dan bersama-sama kandung kemih didorong ke bawah serta ditarik agar tidak menutupi lapangan pandangan. Pada segmen bawah uterus dibuat insisi melintang yang kacil, luka insisi ini dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan berhenti di dekat daerah pembuluh-pembuluh darah uterus Kepala janin yang pada sebagian besar kasus terletak di balik insisi diekstraksi atau didorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya dan kemudian placenta
"
serta selaput ketuban. Insisi melintang tersebut ditutup dengan jahitan catgut bersambung satu lapis atau dua lapis. Lipatan vesicouterina kemudian dijahit kembali pada dinding uterus sehingga seluruh luka insisi terbungkus dan tertutup dari rongga peritoneum generalisata. Keuntungan dari insisi ini adalah insisi dilakukan pada segmen bawah uterus, otot tidak dipotong tetapi dipisah ke samping, cara ini mengurangi perdarahan. Lapisan otot yang tipis dari segmen bawah rahim lebih mudah dirapatkan kembali dibanding segmen atas yang tebal sehingga keseluruhan luka insisi terbungkus oleh lipatan vesicouterina sehingga mengurangi perembesan ke dalam cavumperitonia generalisata (Hidayat, 2000).
b. Segmen Bawah: Insisi Membujur Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama pada insisi melintang. Insisi membujur dibuat dengan skapel dan dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi. Insisi membujur mempunyai keuntungan, yaitu kalau perlu luka insisi bisa diperlebar ke atas. Pelebaran ini diperlukan kalau bayinya besar, pembentukan segmen bawah jelek, ada malposisi janin seper ti letak lintang atau kalau ada anomali janin seperti kehamilan kembar yang menyatu (conjoined twins). Sebagian ahli kebidanan menyukai jenis insisi ini untuk placenta previa. Salah satu kerugian utamanya adalah perdarahan dari tepi sayatan yang lebih banyak karena terpotongnya otot. Juga, sering luka insisi tanpa dikehendaki meluas ke segmen atas sehingga nilai penutupan retroperitoneal yang lengkap akan hilang (Hidayat, 2000).
c. Seksio sesarea Klasik Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan scalpel ke dalam dinding anterior uterus dan dilebarkan ke atas serta ke bawah dengan gunting berujung tumpul. Diperlukan luka insisi yang lebar karena bayi sering dilahirkan dengan bokong dahulu. Janin serta placenta dikeluarkan dan uterus ditutup dengan
jahitan
tiga
lapis. Pada masa modern ini hampir sudah tidak dipertimbangkan lagi untuk mengerjakan seksio sesarea klasik. Satu-satunya indikasi untuk prosedur segmen atas adalah kesulitan teknis dalam menyingkapkan segmen bawah. Sekarang tekhnik ini hamper sudah tidak dilakukan lagi karena insidensi pelekatan isi abdomen pada luka jahitan uterus dan insidensi ruptura uteri pada kehamilan berikutnya lebih tinggi (Hidayat, 2000).
"
Gambar 1. Tipe-Tipe Insisi pada SC
2.4 Involusi Uterus setelah SC 2.4.1 Proses Penyembuhan Luka Bekas SC
Tindakan pembedahan biasanya membawa konsekuensi terbentuknya jaringan parut di uterus karena proses penyembuhan luka yang terjadi. Namun pada persalinan abdominal, yaitu pengeluaran janin melalui insisi dinding perut dan dinding rahim dengan berat badan janin di atas 500gr, tidak ditemukan pembentukan tersebut. Penyembuhan luka pada uterus adalah unik. Uterus mengalami proses regenerasi serabut-serabut otot. Hal ini dibuktikan pada pemeriksaan secara kasat mata sebelum uterus di insisi, seringkali tidak ditemukan parut atau hanya ditemukan garis yang hampir tak terlihat. Pendapat lain menyebutkan bahwa penyembuhan luka pada uterus terjadi dengan pembentukan jaringan ikat. Proses ini berjalan setelah luka dibuat akan menimbulkan eksudat yang berisikan pembentukan serta deposit fibrin, lalu terjadi
"
proliferasi dan infiltrasi fibroblast, kemudian jaringan yang terbentuk tersebut akan menyatu dengan otot (Naji, 2013).
Pada proses penyembuhan luka ini terdapat faktor mekanik yang berperan berupa kontraksi dan retraksi. Uterus akan mengecil dan sayatan longitudinal sepanjang 10 cm dapat mengecil membentuk bekas sepanjang 2 cm. Namun, sayatan pada segmen bawah rahim (SBR) mengecil lebih lambat karena memiliki konsistensi otot yang lebih sedikit dari corpus. Pada kehamilan berikutnya serabut-serabut otot mengalami pemanjangan dan perubahan konsistensi. Daerah jaringan parut relatif statis, konsistensi jaringan parut mengalami perubahan ringan menjadi lebih lunak mirip dengan perubahan yang dialami jaringan fibromuskular pada serviks di kala I saat awal persalinan (Naji 2013).
Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui sayatan horizontal, kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi kulit vertikal. Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah uterus yang ditutupi oleh kandung kencing yaitu SBR, hampir 90 % insisi uterus dilakukan di tempat ini berupa sayatan horizontal (seperti potongan bikini). Cara pemotongan uterus seperti ini disebut "Low Transverse Cesarean Section". Insisi uterus ini ditutup/jahit akan sembuh dalam 2 – 6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat dengan potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya (NICE, 2011).
Pemeriksaan USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat mengetahui ketebalan SBR. Ketebalan SBR 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut yang sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea. (Naji, 2013).
Dasar dari keyakinan ini adalah dari hasil pemeriksaan
histologi dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya : a) Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan. b) Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya ditemukan
"
suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa ditemukannya sikatrik diantaranya (Cunningham, 2010). Kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan luka yang baik adalah lebih kuat dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah dibuktikannya dengan memberikan regangan yang ditingkatkan dengan penambahan beban pada uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan). Dari laporan-laporan klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang mengalami ruptura selalu terjadi pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya utuh. Yang mana hal ini menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif lebih kuat dari jaringan miometrium itu sendiri (Srinivas, 2007).
Tabel 1. Perbedaan SSTP dan SC Klasik (Faktor-faktor yang menyebabkan bekas operasi SC transperitoneal profunda lebih baik dibanding bekas operasi SC secara korporal) Bekas SC Transperitoneal Profunda Aposisi Garis pemotong yang tipis membantu aposisi yang baik tanpa meniggalkan poket
Keadaan uterus penyembuhan
Efek perenggangan
sewaktu
Bagian uterus tidak banyak bergerak selama proses penyembuhan
Bekas luka operasi pada kehamilan berikutnya dan persalinan normal merenggang mengikuti garis bekas operasi Impalantasi plasenta pada Kemungkinan melemahnya kehamilan berikutnya bekas operasi oleh pelekatan plasenta tidak ada
Efek keseluruhan
Bekas SC klasik/histerektomi Sulit untuk aposisi garis yang tebal. Terbentuk poket yang mengandung darah, yang akhirnya akan diganti dengan jaringan fibrosa. Pembentukan saluran pada bagian dalam lebih sering terjadi karena desisua sering tertinggal pada waktu menjahit. Bagian uterus berkontraksi dan berretraksi sehingga jahitan terganggu, menyebabkan luka sembuh kurang baik Pereganggan terjadi bersudut tegak terhadap bekas operasi
Kemungkinan besar plasenta melekat pada bekas operasi dan melemahnya dengan adanya penetrasi trofoblas atau herniasi kantong amnion melalui saluran yang terbentuk a. Bekas operasi baik a. Bekas operasi lemah b. Ruptur hanya terjadi b. Ruptur dapat terjadi pada pada waktu partus waktu kehamilan tua dan persalinan (5-20x lebih sering)
"#
*Lama perawatan 5-7 hari, masa pemulihan selama 6 minggu
Yang utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan sehingga menyebabkan lemahnya jaringan parut tersebut adalah : a) Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka. b) Kesalahan teknik operasi (technical er rors) seperti tidak tepatnya pertemuan kedua sisi luka, jahitan luka yang terlalu kencang, spasing jahitan yang tidak beraturan, penyimpulan yang tidak tepat, dan perlengketan. Jahitan luka yang terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis jaringan sehingga menjadi penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada
infeksi
ataupun technical
error sebagai
penyebab lemahnya sikatrik.
Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan sikatrik pada penyembuhan luka operasi yang baik dan pengetahuan tentang penyebab-penyebab yang dapat mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi panduan apakah persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea dapat dilaksanakan atau tidak (Srinivas, 2007).
Pada sikatrik uterus yang tidak mempengaruhi aktivitas selama kontraksi uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio sesarea sama dengan multipara tanpa seksio sesarea yang menjalani persalinan pervaginal. Pada infeksi, aseptik bukan satu-satunya faktor yang mencegah infeksi, hal ini juga dipengaruhi oleh persiapan tindakan bedah yang baik, keadaan umum dan imunitas penderita, pencegahan perdarahan, dan faktor sistemik. Penyembuhan luka pada uterus ditentukan oleh 1) asupan oksigen jaringan, 2) suhu, 3) adanya infeksi, 4) kerusakan jaringan, dan 5) sirkulasi darah (Hidayat, 2000).
2.4.2 Perubahan Uterus Setelah SC Pada Masa Nifas
a.
Perubahan tinggi uterus
Pada kasus kelahiran pervaginam, tinggi fundus postpartum pada hari pertama berkisar 12-13 cm dan kisaran 7 cm pada hari keenam. Pada kelahiran per-abdomina atau SC, tinggi fundus post partum pada hari pertama 17 cm dan 13,8 cm pada hari keenam. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan pada uterus pasca melahirkan secara pervaginam dan perabdominal dengan perubahan yang cukup lama terjadi pada kelahiran perabdominal (Shitami, 2016).
""
Selain tinggi fundus, penundaan kemampuan untuk berjalan pada pasien dan dilatasi serviks yang tidak memadai mengganggu pengeluaran lokia dan berhubungan dengan penundaan kembalinya uterus pada posisi anteversi. Pada masa nifas setelah SC, tinggi fundus akan menyusut 11 cm setiap hari dari hari pertama nifas hingga hari kedua dan beberapa millimeter pada hari berikutnya. Sedangkan pada kelahiran pervaginam, uterus menyusut pada kisaran 1 cm setiap harinya (Shitami, 2016). b.
Perubahan warna lokia
Warna merah pada lokia adalah warna normal hingga hari keempat pada masa nifas and akan berubah menjadi warna coklat hingga hari kedelapan. Pada kasus setelah SC, warna lokia akan tetap berwarna merah hingga hari keenam pada masa nifas. Hal ini berkaitan dengan perubahan tinggi uterus yang perlahan menyusut (Shitami, 2016).
2.4.3 Perubahan Ukuran Bekas Luka SC Selama Kehamilan
Sejumlah penelitian telah menggunakan USG untuk menggambarkan bagian bekas SC. Bekas luka SC adala biasanya terdiri dari dua komponen: bagian hypoechoic pada bekas luka dan jaringan parut pada miometrium residual yang dinilai sebagai ketebalan miometrium residual (KMR).
ketebalan seluruh SBR diukur dengan
menggunakan transabdominal sonografi, sementara lapisan otot diukur dengan menggunakan transvaginal sonografi (TVS). Ketebalan SBR dievaluasi karena berperan penting sebagai prediktor dari rupture uteri (Shitami, 2016).
"#
Gambar 2. Ilustrasi yang menggambarkan bekas lukas SC pada dimensi sagittal (a) dan transversal (b). A, lebar bagian hypoechoic dari bekas luka pada potongan sagittal. B, kedalaman bagian hypoechoic dari bekas luka. C, panjang bagian hypoechoic dari bekas luka. D, ketebalan myometrium residual pada potongan sagittal.
Dari waktu ke waktu, terdapat perubahan bekas luka yang menunjukkan peningkatan lebar rata-rata 1,8 mm pada bagian hypoechoic dari bekas luka per trimester. Sedangkan kedalaman dan panjang bagian hypoechoic mengalami penurunan dengan rata-rata 1,8 mm dan perpanjangan 1,9 mm per trimester. Ketebalan myometrium residual menurun rata-rata 1,1 mm per trimester. Dalam dua kasus yang dilaporkan ruptur bekas luka, penurunan KMR antara pertama dan kedua tr imester adalah 2,7 dan 2,5 mm, masing-masing (Naji, 2013)
2.5 Komplikasi pada Kehamilan dengan Bekas SC
a. Ruptur Uteri Ruptura uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum viserale. Ruptur uteri dapat terjadi pada uterus yang utuh (ruptur uteri spontan), pada bekas luka dinding rahim, misalnya bekas SC atau operasi pada otot rahim, maupun ruptur uteri akibat tindakan pada
"#
pertolongan persalinan atau ruptur uteri violenta. Secara klinis ruptur uteri dapat menyebabkan adanya hubungan langsung antara kavum uteri dengan rongga peritoneum (ruptur uteri kompleta) atau tetap terpisah oleh peritoneum viseral yang menutupi uterus atau uptura uteri inkomplet (ASMS, 2015)
Penting untuk membedakan antara ruptur pada parut SC dan terbukanya ( dehiscence ) parut pada bekas SC. Ruptur uteri merujuk pada terpisahnya insisi lama pada uterus hampir sepanjang seluruh jaringan parut tersebut, diikuti dengan robeknya selaput fetal sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan rongga peritoneum. Pada keadaan ini seluruh atau sebagian dari janin berada di rongga peritoneum. Sebagai tambahan, biasanya terdapat perdarahan yang signifikan dari pinggiran luka ke arah uterus. Sebaliknya pada dehisens selaput fetal tidak robek dan janin tidak masuk ke rongga peritoneum. Biasanya pada dehisens jaringan yang terpisah tidak meliputi seluruh lapisan parut, peritoneum yang melapisi defek tersebut tetap intak dan tidak ditemukan adanya perdarahan atau minimal (RCOG, 2015).
Dehiscence terjadi
perlahan-lahan, sedangkan ruptur sangat simptomatik dan kadang-
kadang fatal. Dengan timbulnya persalinan atau manipulasi intrauterine, suatu dehiscence dapat
terjadi ruptur. Ruptur uteri semacam ini lebih sering terjadi pada
luka bekas SC klasik dibandingkan dengan luka bekas SC profunda. Ruptur bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi dalam persalinan, karena itu semua pasien bekas SC yang hamil lagi harus diawasi oleh seorang dokter ahli, baik sewaktu kehamilan maupun persalinan. Adapun gejala dari ruptur uteri, antara lain (Cunningham, 2010): 1. Pesien tampak gelisah, ketakutan, disertai rasa nyeri perut bagian bawah terus menerus, juga pada waktu diraba, terutama di luar his. 2. Pernafasan dan denyut nadi cepat dari biasanya. 3. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama, yaitu mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas. 4. Pada abdomen dijumpai : a. Lingkaran Bandle meningkat sampai setinggi pusat b. Bagian bawah terasa nyeri c. Ligamentum rotundum teraba tegang
"#
d. Kontraksi rahim kuat dan terus-menerus e. Bunyi jantung janin tidak ada atau tidak baik karena anak mengalami asfiksia disebabkan oleh kontraksi dan retraksi rahim yang berlebihan. 5. Pada pemeriksaan dalam, didapatkan : a. Bagian terendah janin terfiksir b. Mungkin dijumpai edema serviks Bila keadaan tersebut dibiarkan, maka suatu saat akan terjadi ruptur uteri, dengan tanda-tanda sebagai berikut (Cunningham, 2010): 1. Pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek. 2. Segmen bawah rahim terasa nyeri sekali bila di palpasi. 3. Bunyi jantung tidak ada. 4. Tidak lama kemudian akan menunjukkan gejal-gejala kolaps dan jatuh dalam syok, dengan tanda-tanda : a. tekanan darah rendah sampai tidak terukur b. nadi cepat dan kecil c. frekuensi pernafasan meningkat d. akral pucat dan dingin e. pada pemeriksaan abdomen didapatkan : •
tanda ciran bebas
•
bagian bawah janin mudah diraba di bawah kulit
•
pada palpasi, abdomen terasa nyeri
•
di samping janin teraba uterus yang padat
f. pada pemeriksaan dalam dijumpai : •
bagian terendah janin dapat didorong ke dalam kavum abdominalis
•
pada sarung tangan terdapat darah
•
tempat robekan ruptur uteri dapat diraba
Ruptur uteri pada bekas SC sering sukar sekali didiagnosa, karena tidak ada gejalagejala khas seperti pada rahim yang utuh. Mungkin hanya ada perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada perasaan nyeri pada daerah bekas luka. Ruptur semacam ini disebut silent rupture, di mana gambaran klinisnya sangat berbeda dengan gambaran klinis ruptur uteri pada uterus yang utuh. Hal ini dikarenakan
"#
biasanya ruptur pada bekas luka SC terjadi sedikit demi sedikit dan lagi pula perdarahan pada ruptur bekas luka SC profunda terjadi retroperitoneal hingga tidak menyebabkan gejala perangsangan pada peritoneum. Maka sebaiknya pada semua penderita bekas SC yang bersalin pervaginam dilakukan eksplorasi kavum uteri. Ruptur uteri merupakan keadaan gawat darurat obstetrik yang berbahaya karena angka kematiannya tinggi. Penyebab kematian ruptur uteri terutama adalah perdarahan dan infeksi. Pertolongan pertama pada ruptur uteri terutama adalah transfusi darah dan antibiotika yang adekuat. Setelah keadaan umum penderita baik, segera dilakukan histerektomi (Wiknojosastro, 2008)
b. Plasenta Akreta dan Plasenta Previa Morfologi, biokimia, perubahan molekul, dan imunologi yang terlihat pada rahim manusia yang berubah dari inaktif menjadi aktif saat persalinan dikarenakan kontraksi yang kuat dan sering. Miometrium menjadi responsif terhadap prostaglandin yang memfasilitasi terjadinya persalinan. Sedangkan pad kondisi pasien yang dilakukan SC terjadi ketiadaan aktivasi dari uterus. Hal ini menjadi awal dari hipotesis bahwa SC salah satu faktor risiko untuk terjadinya plasentasi yang tidak sesuai (Yang, 2007).
Pada nyatanya, uterus pada dua orang yang berbeda dapat memberikan repson yang berbeda juga terhadap bekas luka SC terutama respon terhadap sitokin dan mediator inflamasi, kejadian stress oksidatif. Hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan dan rekonstruksi desidua basalis dan kemampuan desidua untuk menampung dan memodulasi infiltrasi trofoblas. Hal ini terbukti pada penelitian melalui ultrasound transabdominal yang memberikan kesan bahwa ketebalan dinding uterus wanita bekas SC lebih tipis daripada uterus wanita dengan persalinan pervaginam. Ketebalan dinding uterus yang tipis setelah SC ini dapat menyebabkan terjadinya plasenta akreta ataupun perkreta (Yang, 2007).
Selain dari kelainan perlekatan plasenta, remodelisasi kondisi uterus pasca SC dapat menyebabkan kelainan pada letak plasenta, yaitu plasenta previa. Hal ini dapat terjadi pasca SC dengan insisi segmen bawah rahim yang membuat modulasi dari SBR menipis sehingga menyebabkan plasentosis menyebar hingga ke permukaan rendah uterus. Ligasi pembuluh rahim pada saat SC dapat lebih meningkatkan risiko kerusakan pada lapisan rahim endometrium dan miometrium, atau keduanya, yang
"#
dapat mempengaruhi ke implantasi rendah plasenta di rahim. Selain itu, bagian otot rahim selama persalinan perabdomina mengganggu fisiologis peregangan dari otot, dan membatasi pergerakan pertumbuhan plasenta sehingga menjauh dari segmen atas uterus pada kehamilan berikutnya. Bahaya plasenta previa ini dapat menyebabkan perdarahan antepartum dan menjadi indikasi untuk dilakukan kembali persalinan perabdomina pada kehamilan selanjutnya. Tingkat plasenta previa meningkat dengan peningkatan jumlah operasi caesar sebelumnya. Dalam 153 kasus plasenta previa dengan operasi caesar sebelumnya, terjadi peningkatan risiko sebesar 3,5% pada satu kali SC, 22,5% pada dua kali SC sebelumnya, 28% pada tiga kali SC, dan 50% pada empat kali SC sebelumnya (Yang, 2007).
2.6 Tatalaksana Kehamilan dan Persalinan Bekas SC
Pada bekas SC tidak harus selalu diikuti dengan tindakan SC pada persalinan berikutnya. Suatu persalinan ditetapkan sebagai persalinan pervaginam pasca seksio sesarea apabila cara persalinan dinyatakan sebagai persalinan pervaginam pasca seksio sesarea atau sebagai persalinan pervaginam seksio sesarea dengan bantuan alat (misalnya persalinan yang dibantu dengan forsep atau vakum) (NICE, 2011).
Gambar 3. Algoritma Antenatal Care dengan Bekas SC
"#
Dalam
“VBAC Guidelines”,
antenatal care dengan
dinyatakan bahwa dalam melakukan pemeriksaan
kehamilan bekas SC perlu mendapat perhatian khusus. Pertama
bagaimana kesejahteraan ibu dan janin melalui pemeriksaan dan skrining rutin yang perlu dilakukan termasuk 7T seperti antenatal dengan kehamilan normal. Kedua apakah didapatkan komplikasi yang secara tidak langsung berhubungan dengan SC sebelumnya. Ketiga, apabila sudah masuk ketrisemester ketiga bisa didapatkan keputusan untuk dilakukannya SC elektif atau TOLAC. Apabila tidak terdapat kontraindikasi pada wanita dengan riwayat persalinan seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim, maka wanita tersebut adalah kandidat untuk persalinan pervaginam pasca seksio sesarea dan harus diberi penyuluhan dan dianjurkan untuk menjalani persalinan percobaan (RCOG, 2015).
Insisi pada segmen bawah rahim diterapkan pada lebih dari 90% kasus. Tipe insisi ini banyak dipilih karena tidak membahayakan segemen bagian atas uterus dan memberikan kemungkinan pilihan persalinan percobaan pada kehamilan berikutnya. Apabila insisi diperlebar ke lateral, maka laserasi dapat terjadi pada salah satu atau kedua arteri uterina. Pada umumnya insisi transversal pada segmen bawah rahim: (1) menyebabkan lebih sedikit perdarahan, (2) lebih mudah diperbaiki, (3) lokasinya pada tempat dengan kemungkinan ruptur paling kecil pada kehamilan selanjutnya, dan (4) tidak menyebabkan perlengketan ke usus atau omentum pada garis insisi. Daerah segmen bawah rahim memiliki vaskularisasi lebih sedikit dan pada saat persalinan mengalami peregangan secara perlahan-lahan, sehingga memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk terjadinya ruptur (RCOG, 2015).
"#
Gambar 4. Algoritma Tatalaksana VBAC
Insisi vertikal dilakukan bila segmen bawah rahim tidak terbentuk dengan baik atau apabila janin dalam posisi
backdawn transverse.
Insisi vertikal merupakan pilihan
yang bijaksana kecuali bila segmen bawah rahim telah terbentuk dengan baik. Insisi klasik adalah insisi yang melibatkan segmen uterus bagian atas. Kekurangannya adalah bahwa insisi klasik memiliki kecenderungan terjadinya perlengketan yang lebih besar dan memiliki resiko ruptur yang lebih besar pada kehamilan selanjutnya. Dalam kehamilan berikutnya, ruptur lebih sering terjadi pada insisi vertikal yang melebar ke miometrium bagian atas daripada segmen bawah rahim, khususnya pada saat persalinan. Insisi vertikal atau insisi klasik memiliki jaringan parut yang lebih
"#
tebal dan terletak pad asegmen atas uterus yang lebih kontraktil. VBAC Guidelines membagi pasien-pasien kandidat TOLAC menjadi tiga kelompok berdasarkan resiko (RCOG, 2015).: 1. Kelompok resiko rendah, yaitu pasien-pasien dengan: a. saat mulainya persalinan berlangsung spontan b. satu kali persalinan SSTP c. tidak memerlukan augmentasi persalinan d. tidak terdapat kelainan pola denyut jantung anak yang berulang e. riwayat persalinan pervaginam pasca seksio sesarea 2. Kelompok resiko sedang, yaitu pasien-pasien dengan : a. induksi persalinan secara mekanik atau dengan oksitosin b. augmentasi persalinan dengan oksitosin c.
! 2
kali persalinan SSTP
d. Jarak antara SC sebelum kehamilan ini dengan waktu persalinan saat ini < 18 bulan. Kelompok resiko tinggi, yaitu pasien-pasien dengan : a. Kelainan pola DJA yang meragukan dan berulang yang tidak responsif terhadap intervensi pengobatan b. Perdarahan yang menunjukkan tanda-tanda terjadinya solusio plasenta c. Dua jam tanpa perubahan serviks dalam fase aktif walaupun his adekuat. Bila penyebabnya menetap seperti pada kasus panggul sempit kita harus melakukan SC primer, namun bila penyebabnya tidak menetap, wanita tersebut boleh melahirkan pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut (RCOG, 2015) : 1. Tidak dibenarkan pemakaian oksitosin dalam kala I untuk memperbaiki his, apabila digunakan, maka bunyi jantung janin harus diawasi ketat, bila terjadi bradikardi atau variabel deselerasi, maka hal ini menunjukkan tanda awal ruptur uteri, sehingga harus segera dioperasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan prostaglandin dan oksitosin pada bekas SC memperbesar terjadinya ruptur uteri. 2. Kala II harus dipersingkat
"#
Ibu diperbolehkan mengedan selama 15 menit. Jika dalam waktu 15 menit ini bagian janin turun dengan pesat, maka Ibu ini diperbolehkan mengedan lagi selama 15 menit lagi. Jika setelah 15 menit kepala tidak turun dengan cepat, dapat dilakukan ekstraksi forceps atau vakum bila syarat-syarat terpenuhi (RCOG, 2015). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, disimpulkan bahwa induksi persalinan pada wanita yang pernah seksio mengandung resiko ruptur uteri 2-3x lebih besar dibandingkan dengan persalinan yang timbul secara spontan pada wanita dengan riwayat seksio. RCOG menyebutkan bahwa oksitosin dapat digunakan untuk induksi atau augmentasi dengan monitoring ketat pada wanita yang mempunyai riwayat seksio sebelumnya yang akan menjalani persalinan pervaginam (RCOG, 2015). Induksi persalinan dengan prostaglandin E2 atau misoprostol (analog prostaglandin) paling banyak mengakibatkan ruptur uteri pada wanita dengan riwayat seksio sesaria. Jika dibandingkan dengan oksitosin, resiko ruptur uteri 3 kali lebih besar. Dari wanita yang menjalani P4S (VBAC), angka ruptura uteri sangat bervariasi tergantung faktor risiko yang ada. Untuk menghindari terjadinya komplikasi ini, kita harus mengenali faktor risiko pada pasien. Adapun faktor risiko itu adalah (ASMS, 2015): 1. Riwayat Persalinan , meliputi : Jenis parut
Insisi transversal rendah risikonya, kira-kira 1 % sedangkan insisi klasik 12%. Kepustakaan lain menyatakan bahwa resiko terjadinya ruptura uterus pada bekas SC dengan insisi klasik adalah 4-9 %, T-shaped 4-8%, low vertikal 1-7% dan transversal 0,2-1,5%. Jumlah SC sebelumnya
Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk P4S sampai saat ini masih belum jelas, karena terdapatnya hasil yang berbeda dari berbagai penelitian. Akan tetapi dikatakan bahwa resiko ruptur lebih besar pada wanita dengan riwayat seksio. Resiko ruptur pada wanita 2 kali seksio 5 kali lebih besar dari wanita dengan riwayat seksio 1 kali.
"#
Interval persalinan
Jarak antara waktu persalinan seksio sesarea yang lalu dengan taksiran partus kehamilan sekarang sekurang-kurangnya 18 bulan untuk memastikan kekuatan uterus pada kehamilan sekarang. Infeksi setelah SC
Infeksi setelah SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka yang jelek dan pada beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk dilakukannya P4S. 2. Faktor Ibu, meliputi Umur
Suatu studi oleh Shipp dkk menyakan bahwa usia diatas 30 tahun mungkin berhubungan dengan kejadian ruptura yang lebih tinggi, dengan membandingkan insidens ruptura uteri pada wanita <30 tahun 0,5% dengan wanita >30 tahun 1,4%. Wanita >30 tahun berisiko 3,2 kali mengalami ruptura uteri dibandingkan dengan <30 tahun (OR ; 3,2 angka kepercayaan 95 %). Wanita >40 tahun memiliki kemungkinan 3 kali lebih besar untuk gagal melakukan VBAC dibanding dengan wanita <40 tahun. Anomali uterus
Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali uterus. 3. Karakteristik kehamilan saat ini Makrosomia
Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan janin karena terjadinya distensi uterus. Ketebalan segmen bawah rahim (SBU)
Risiko terjadinya ruptura 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm, 10% bila 2,6-3,5 mm dan 16% pada ketebalan <2,5mm. Percobaan P4S dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam.
""
Kriteria seleksi pasien yang mencoba P4S menurut Royal College of Obstetricians and Gynecologists, yaitu (RCOG, 2015).: 1. Satu atau dua seksio dengan insisi transversal rendah 2. Panggul adekuat secara klinis 3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptura uteri 4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor persalinan dan melakukan seksio sesarea segera ( dalam waktu 30 menit ) 5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio sesarea segera. Beberapa persyaratan lainnya antara lain : 1. Tidak ada indikasi seksio sesarea ( lintang, plasenta previa ) 2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan). 3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai. 4. Tersedia darah untuk transfusi. 5. Janin presentasi verteks normal. 6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas) 7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat. 8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya. Sedangkan kontraindikasi P4S menurut RCOG : 1. Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya (termasuk riwayat histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif ). 2. Panggul sempit atau makrosomia 3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan pervaginam 4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya operator, anastesia, staf atau fasilitas. Untuk memperkirakan keberhasilan P4S, dibuat sistem penilaian dengan memperhatikan beberapa variabel yaitu nilai Bishop, persalinan pervaginam sebelum seksio sesarea, dan indikasi seksio sesarea sebelumya. Weinstein dkk dan Alamia dkk telah menyusun sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S. Namun, menurut RCOG, tidak ada suatu cara yang memuaskan untuk memperkirakan apakah P4S akan berhasil atau tidak .
"#
Tabel 2. Sistem penilaian P4S modifikasi Flamm-Geiger
No 1
Faktor Umur Dibawah 40 tahun Diatas 40 tahun 2 Riwayat persalinan pervaginam : Sebelum dan setelah seksio sesarea Setelah seksio sesarea Sebelum seksio sesarea Belum pernah 3 Indikasi seksio sesarea pertama selain kegagalan kemajuan persalinan 4 Nilai Bishop pada saat masuk rumah sakit ! 4 <3 5 Taksiran Berat Janin Sekarang < dulu Sekarang = dulu Sekarang > dulu Nilai 8-10: keberhasilan P4S 95 % Nilal 4-7: keberhasilan P4S 78,8 % Nilai 0-3: keberhasilan P4S 60,0%
Nilai 2 1 4 2 1 0 1
2 1 2 1 0
"#
Tabel 3. Sistem skoring menurut Weinstein
No.
Variabel
1 2 3
Nilai bishop ! 4 Persalinan pervaginam sebelum SC Indikasi SC sebelumnya kategori A Malpresentasi Hipertensi dalam kehamilan (HDK) Gemeli kategori B Plasenta previa atau solusio plasenta Prematuritas Ketuban pecah dini kategori C Fetal distress CPD atau distosia Prolaps tali pusat kategori D Makrosomia Pertumbuhan janin terhambat (PJT) *Nilai berkisar antara 0-12
Nilai Tidak 0 0
Ya 4 2
0
6
0
5
0
4
0
3
Jumlah nilai tertinggi adalah 12, jika jumlah nilai adalah : -
!4,
prediksi keberhasilan VBAC adalah ! 58%
-
!6,
prediksi keberhasilan VBAC adalah ! 67%
-
!8,
prediksi keberhasilan VBAC adalah ! 78%
-
!10,
-
! 12,
prediksi keberhasilan VBAC adalah ! 85% prediksi keberhasilan VBAC adalah ! 88%
"#
Tabel 4. Sistem skoring menurut Alamia
No. 1 2
Variabel Riwayat persalinan pervaginam sebelumnya Indikasi SC sebelumnya -sungsang, gawat janin, PP, elektif -distosia pada Ø < 5 cm -distosia pada Ø > 5 cm 3 Dilatasi serviks - > 4cm - >2,5 cm tapi < 4 cm - < 2,5 cm 4 Stasion dibawah -2 5 Panjang serviks ! 1 cm 6 Persalinan timbul spontan *Nilai berkisar antara 0 sampai 10 Jika nilai : -
7-10, prediksi keberhasilan 94,5%
-
4-6, prediksi keberhasilan 78,8%
-
0-3, prediksi keberhasilan 60%
Nilai 2 2 1 0 2 1 0 2 1 1
"#
BAB III KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan insisi melalui abdomen dan uterus. Operasi SC ini memiliki indikasi absolut, relatif, sosial, ibu dan janin. Tipe-tipe dari operasi SC adalah Insisi melintang, insisi membujur, dan insisi klasik. Pada tipe operasi SC yang ada, insisi melintang pada segmen bawah rahim dengan metode Pfannenstiel merupakan metode terbaik dengan lebih sedikit komplikasi pasca operasi dan kehamilan selanjutnya.
Bekas SC dapat menyebabkan involusi uterus berjalan lambat dibandingkan dengan involusi uterus pada persalinan pervaginam, terlihat dari tanda tanda nifas, perubahan lokia dan tinggi fundus uterus. Hal ini dikarenakan adanya luka sehingga terdapat pembentukan jaringan parut pada uterus yang sedikit menghambat proses penyembuhan. Selain terjadinya subinvolusi uterus, kehamilan dengan bekas SC dapat menyebabkan terjadinya komplikasi pada kehamilan selanjutnya yaitu ruptur uteri dan plasenta previa. Oleh karena itu, kehamilan dengan bekas SC memerlukan perhatian khusus pada pemeriksaan antenatal care dan persalinan.
Pada antenatal
care perlu
dilakukan konseling mengenai komplikasi yang bisa terjadi,
pengecekan dan pengaturan pertumbuhan berat badan. Dan pada persalinan dengan bekas SC dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu perabdomina yaitu SC elektif atau percobaan persalinan pervaginam pada bekas SC (TOLAC). Apabila TOLAC tidak berhasil dilakukan maka akan diterminasi melalui perabdomina.
"#
DAFTAR PUSTAKA
Association of Scientific Medical Societies (ASMS). 2015. Absolute and Relative Indication of Cesarean Section. Germany: Association of Scientific Medical Societies.
Cunningham D, MacDonald P, Grant. 2010. Seksio Sesarea dan Histerektomi Sesarea, Obstetri. Williams, edisi 21, cetakan pertama, Jakarta: EGC.
Flamm BL, Geiger AM. 1997. Vaginal Birth After Cesarean Delivery : An Admission Scoring System. Obstet Gynecol. 90 : 907 – 10.
Hidayat ST. 2000. Persalinan Pasien Pasca Bedah Caesar. Thesis. Universitas Diponegoro: Program pendidikan dokter spesialis -1 FK Undip.
Liu S, Liston RM, Joseph KS, Heaman M, Sauve R, Kramer MS. 2007. Maternal mortality and severe morbidity associated with low-risk planned cesarean delivery versus planned vaginal delivery at term. CMAJ. 176: 455–60.
Naji O, Daemen A, Smith A, Abdallah Y, Saso S, Stalder C, et al. 2013. Changes in Cesarean section scar dimension during pregnancy: a prospective longitudinal study. Ultrasound Obstet Gynecol. 41:556-62
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). 2011. Caesarean section. NICE clinical guideline 132. Manchester: NICE.
Riset Kesehatan Dasar Kemenkes (RISKEDAS). 2013. Profil Kesehatan Indonesia dalam Angka. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Royal College of Obstetrician and Gynaecologist (RCOG). 2015. Birth after Previous Caesarian Birth: Greentop Guideline No.45. London: RCOG Obstet Gynecol.