2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
DAFTAR GAMBAR 2
BAB I . PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Anatomi Kornea 4
2.2 Imunitas Permukaan Kornea 6
2.3 Keratitis 7
2.3.1 Definisi 7
2.3.2 Epidemiologi 7
2.3.3 Etiologi 7
2.3.4 Patofisiologi 8
2.3.5 Klasifikasi 9
A. Keratitis Pungtata 10
B. Keratitis Marginal 10
C. Keratitis Interstitial 11
A. Keratitis Fungal/Jamur (Keratomikosis) 12
B. Keratitis Bakteri 16
C. Keratitis Virus 19
D. Keratitis Alergi 21
A. Keratitis Flikten/Skrofulosa/Eksemtosa 23
B. Keratitis Sika 23
C. Keratitis Numularis 24
D. Keratitis Legoftalmos 25
E. Keratitis Neuroparalitik 26
DAFTAR PUSTAKA 27
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi mata 3
Gambar 2. Anatomi kornea 5
Gambar 3. Keratitis Pungtata 9
Gambar 4. Keratitis Marginal 10
Gambar 5. Keratitis Intersisial 11
Gambar 6. Keratitis Fungal 14
Gambar 7. Keratitis Bakterial 16
Gambar 8. Keratitis Virus 19
Gambar 9. Keratitis Flikten 22
Gambar 10. Keratitis Numularis 23
BAB I . PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea merupakan media refraksi terbesar yang dalam pembiasan sinar, oleh karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya rata agar tidak menghalangi proses tersebut. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat, terutama bila letaknya di sentral (daerah pupil), bila kelainan ini tidak diobati maka dapat terjadi kebutaan.
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya. Keratitis akan memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kornea
Gambar 1. Anatomi mata
Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea merupakan media refraksi terbesar yang dalam pembiasan sinar, oleh karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya rata agar tidak menghalangi proses tersebut. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat, terutama bila letaknya di sentral (daerah pupil).
Kornea juga merupakan jaringan yang memiliki serabut saraf sensorik terbanyak (300-400 serabut saraf), yang berasal dari nervus trigeminus. Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11- 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Jika kornea oedem karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Epitel kornea memiliki ketebalan 50-60 µm atau 5% dari total ketebalan kornea, dan terdiri dari tiga lapisan yang berbeda yaitu lapisan sel superfisial, lapisan sel sayap, dan lapisan sel basal. Membran Bowman merupakan lapisan aseluler yang dibentuk oleh serat kolagen dan merupakan modifikasi dari bagian anterior stroma dengan ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat mengalami regenerasi dan akan digantikan oleh jaringan parut bila terjadi trauma. Stroma kornea menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea. Stroma kornea tersusun atas fibril kolagen dengan 8 ukuran yang seragam, meluas di seluruh permukaan kornea dan membentuk kelompok yang disebut lamella; serta tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan matriks ekstraseluler yang terdiri dari glikoprotein dan glikosaminoglikan. Membran Descemet merupakan lamina basalis sel-sel endotel kornea. Membran ini terutama tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki ketebalan 10-12 µm. Endotel kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah. Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam mempertahankan transparansi kornea
Dari anterior ke posterior kornea mempunyai lima lapisan, yaitu:
Epitel
Tebal dari epitel ini adalah 50 µm. Epitel kornea mempunyai lima lapis sel epitel tak bertanduk yang terdiri dari sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
Membran Bowman
Membran Bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersususn tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Stroma
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang.
Membran Descemet
Membran Descemet merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea.
Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan tebalnya 20-40 µm. Lapisan ini berperan dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea.
Gambar 2. Anatomi kornea
2.2 Imunitas Permukaan Kornea
Lokal Imunitas kornea lokal bergantung pada IgM, komplemen C1, dan sel Langerhans (LC) yang seluruhnya ditemukan pada kornea perifer. IgG berdifusi ke dalam stroma dari daerah limbus dan akan mencapai konsentrasi sebesar 50% dari konsentrasi serum. Inflamasi kornea dapat merangsang migrasi LC sentripetal.10-12 Makrofag dapat diubah menjadi antigen-presenting cells (APCs) oleh interleukin- 1 (IL-1) yang dihasilkan dari sel epitel kornea. Peristiwa ini akan merangsang ekspresi molekul MHC kelas II pada permukaan kornea. APCs selanjutnya akan memproses peptida antigenik agar membentuk kompleks biner dengan molekul MHC kelas II. Makrofag juga mampu mencerna antigen yang berbentuk partikel, termasuk bakteri utuh seperti stafilokokus dan amuba seperti Acanthamoeba, namun makrofag lebih efektif dalam mencerna antigen terlarut seperti protein A dari Staphylococcus aureus yang akan dimasukkan ke dalam kantung endositik. Ini berbeda dengan sel Langerhans yang hanya dapat mencerna antigen terlarut. Limfosit T berfungsi mensekresikan sitokin di dalam jaringan yang bekerja langsung terhadap sel target. Interferon (IFN-g) menstimulasi ekspresi molekul MHC kelas II di dalam keratinosit, sel epitel, sel endotel, dan fibroblas yang semuanya dapat bertindak sebagai APCs yang memproses dan menyajikan peptida imunofenik yang bergabung sebagai kompleks dengan molekul MHC kelas II. Sel-sel tersebut memiliki kemampuan stimulasi sinyal yang berbeda-beda dan tidak dapat menstimulasi sel T yang tidak aktif karena sel T tersebut membutuhkan aktivasi oleh IL- 2.
2.3 Keratitis
2.3.1 Definisi
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya.
Keratitis akan memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan
2.3.2 Epidemiologi
Menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena keratitis bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara-negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa kontak. Insiden keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar dari 2% dari kasus keratitis di New York untuk 35%. di Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab paling umum infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur), sedangkan spesies Candida dan Aspergillus lebih umum di negara-negara utara. secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak.
2.3.3 Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:
1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps. Hubungan ke sumber cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya pembentukan air mata
7. Adanya benda asing di mata
8. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara seperti debu, serbuk sari, jamur, atau ragi
9. Efek samping obat tertentu
2.3.4 Patofisiologi
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang meningkat dan masuk ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear, limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah, sehingga sel-sel proinflamasi tersebut dapat merusak kornea.
Rangsangan untuk vaskularisasi timbul oleh adanya jaringan nekrosis yang dapat dipengaruhi adanya toksin, protease atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi juga pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Sehingga kornea yang seharusnya avaskuler menjadi tervaskularisasi dan menyebabkan kornea tidak jernih serta menggangu dalam pembiasan cahaya.
Pada keratitis herpetika yang kronik dan disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul limfosit yang sensitif terhadap jaringan kornea.
2.3.5 Klasifikasi
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan yang terkena, yaitu:
1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)
2. Keratitis Marginal
3. Keratitis Interstisial
Berdasarkan penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:
1. Keratitis Bakteri
2. Keratitis Jamur
3. Keratitis Virus
4. Keratitis Herpetik
a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster
b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek :
Keratitis Dendritik dan Keratitis Disiformis
5. Keratitis Alergi
a. Keratokonjungtivitis
b. Keratokonjungtivitis epidemi
c. Tukak atau ulkus fliktenular
d. Keratitis fasikularis
e. Keratokonjungtivitis vernal
Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:
1. Keratitis Flikten
2. Keratitis Sika
3. Keratitis Neuroparalitik
4. Keratitis Numuralis
Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu:
A. Keratitis Pungtata
Keratitis yang terkumpul di daerah Bowman, dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata subepitel adalah keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman.
Gambar 3. Keratitis Pungtata
B. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien usia petengahan, dengan disertai adanya blefarokonjungtivitis.
Gambar 4. Keratitis Marginal
C. Keratitis Interstitial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial.
Gambar 5. Keratitis Intersisial
Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebabnya, yaitu :
A. Keratitis Fungal/Jamur (Keratomikosis)
Definisi
Keratitis infektif yang disebabkan oleh jamur merupakan diagnosis terbanyak pada negara India3, 5, 13, sedangkan data prevalensi di Indonesia belum tersedia. Jamur terkadang merupakan flora normal eksternal di mata karena berhasil diisolasi dari sakus konjungtiva pada 3-28% mata normal.14 Pada mata yang mengalami penyakit, angka isolasi jamur dapat mencapai 17-37%.
Etiologi
Jamur yang umumnya terdapat pada mata normal adalah Aspergillus spp., Rhodotorula spp., Candida spp., Penicillium spp., Cladosporium spp., dan Alternaria spp. Insidensi keratomikosis di Amerika Serikat adalah 6-20% dan umumnya terjadi di daerah pedesaan. Aspergillus spp. merupakan penyebab terbanyak keratitis yang timbul di seluruh dunia.14 Candida spp. dan Aspergillus spp. adalah penyebab keratitis jamur terbanyak di Amerika Serikat.14 Tanda dan gejala Fusarium spp. dilaporkan sebagai penyebab keratitis jamur di Afrika, India, China dan Jepang. Isolat terbanyak di negara India adalah Aspergillus spp., Penicillium spp., dan Fusarium spp. Identifikasi jamur yang akurat sangat penting untuk pencegahan paparan di masa yang akan datang dan penentuan modalitas terapi terbaik
Gejala keratitis jamur umumnya tidak seakut keratitis bakterial. Gejala awal dapat berupa rasa mengganjal di mata dengan peningkatan rasa nyeri. Tanda klinis yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan lampu celah juga umum ditemukan pada keratitis mikrobial seperti supurasi, injeksi konjungtiva, defek epitel, infiltrasi stroma, reaksi radang di bilik mata depan atau hipopion.6 Tanda klinis yang dapat membantu penegakan diagnosis keratitis jamur filamentosa adalah ulkus kornea yang bercabang dengan elevasi, batas luka yang iregular dan seperti kapas, permukaan yang kering dan kasar, serta lesi satelit Tampilan pigmentasi coklat dapat mengindikasikan infeksi oleh jamur dematiaceous Keratitis jamur juga dapat memiliki tampilan epitel yang intak dengan infiltrat stroma yang dalam . Walaupun terdapat tanda-tanda yang cukup khas untuk keratitis jamur, penelitian klinis gagal membuktikan bahwa pemeriksaan klinis cukup untuk membedakan keratitis jamur dan bakterial.
Faktor Resiko
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular.15 Faktor risiko lain untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan sistemik maupun topikal. Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau alergika, bedah refraktif insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicellazoster atau herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion. Faktor predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah jahitan, penggunaan steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak, kegagalan graft, dan defek epitel persisten. Trauma umumnya terjadi di lingkungan luar rumah dan melibatkan tumbuhan. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan insiden keratitis jamur yang disebabkan oleh Fusarium spp. pada pengguna lensa kontak yang dikaitkan dengan larutan pembersih ReNu with MoistureLoc. Median usia pasien adalah 41 tahun dan 94% menggunakan lensa kontak soft. Pada pemeriksaan pabrik, gudang, filtrat larutan maupun botol Renu yang belum dibuka tidak ditemukan kontaminasi oleh jamur. Penyebab yang paling mungkin adalah hilangnya aktivitas fungistatik akibat peningkatan suhu yang berkepanjangan. Sejak ditarik dari peredaran pada tahun 2006, angka keratitis jamur telah kembali menurun. Selain Fusarium, jamur lain yang juga dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak adalah Acremonium,Alternaria, Aspergillus, Candida, Collectotrichum, and Curvularia. Jamur dapat tumbuh di dalam matriks lensa kontak soft.
Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi. Suatu penelitian mencatat angka insidensi diabetes mellitus sebesar 12% pada sekelompok penderita keratitis jamur. Pasien yang menderita penyakit kronik dan menjalani perawatan rawat inap intensif juga memiliki predisposisi untuk terjadinya keratitis jamur, terutama Candida spp. Pada suatu penelitian di Afrika ditemukan bahwa pasien yang positif-HIV memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita keratitis jamur dibandingkan pasien yang HIv-negatif. Hal ini juga ditemukan pada pasien penderita kusta. Keratitis jamur pada anak jarang dijumpai pada penelitian di luar negeri. Biasanya penyakit ini ditemukan setelah terjadi trauma organik pada mata. Pada suatu penelitian, keratitis jamur pada anak memiliki prevalensi 18% dari seluruh keratitis anak yang dikultur. Anamnesis sulit digali pada sebagian besar kasus, oleh karena itu seluruh kasus dengan kecurigaan keratitis harus menjalani pemeriksaan kultur jamur.
Patologi
Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella kornea.Mungkin ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi inflamasi yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses cincin steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multipel dapat mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membran descemet yang intak dan menyebar ke kamera okuli anterior.
Manifestasi Klinis
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut , respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
Gambar 6. Keratitis Fungal
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
- Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama
- Lesi satelit
- Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh
- Plak endotel
- Hypopyon, kadang-kadang rekuren
- Formasi cincin sekeliling ulku
- Lesi kornea yang indolen
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India. Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver.
Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:
Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.
Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole, Miconazole, flukonazol, itraconazole, econazole, dan clotrimazole.`
Prognosis
Prognosis keratitis jamur bervariasi sesuai dengan kedalaman dan ukuran lesi serta organisme penyebab. Infeksi superfisial yang kecil umumnya memiliki respon yang baik terhadap terapi topikal. Infeksi stroma yang dalam atau dengan keterlibatan sklera maupun intraokular lebih sulit untuk ditangani. Suatu penelitian intervensional prospektif mengevaluasi terapi natamisin topikal pada 115 pasien keratitis jamur. Pada penelitian tersebut, 52 pasien mengalami keberhasilan terapi, 27 menderita ulkus yang pulih walaupun lambat, dan 36 mengalami kegagalan terapi. Analisis multivariat memperlihatkan bahwa kegagalan terapi berhubungan dengan ukuran lesi yang lebih dari 14 mm 2 , adanya hipopion, dan Aspergillus sebagai organisme penyebab. Jika penanganan medis gagal, dapat dilakukan operasi.
B. Keratitis Bakteri
Faktor Risiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah potensi penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko terjadinya keratitis bakteri diantaranya:
Penggunaan lensa kontak
Trauma
Kontaminasi pengobatan mata
Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
Riwayat operasi mata sebelumnya
Gangguan defense mechanism
Perubahan struktur permukaan kornea
Etiologi
Tabel 1. Etiologi Keratitis Bakteri
Manifestasi Klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea
Gambar 7. Keratitis Bakterial
Etiologi
Tabel 1. Etiologi Keratitis Bakteri
Manifestasi Klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea
Terapi
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan:
C. Keratitis Virus
Etiologi
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan parasit intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
Patofisiologi
Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk :
- Pada epitelial : kerusakan terjadi akibat pembiakan virus intraepitelial mengakibatkan kerusakan sel epitel dan membentuk tukak kornea superfisial.
- Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak stroma di sekitarnya.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena.Infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma
Gambar 8. Keratitis Virus
Pemeriksaan Penunjang
Usapan epitel dengan Giemsa multinuklear noda dapat menunjukkan sel-sel raksasa, yang dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel epitel kornea yang terinfeksi dan virus intranuclear inklusi
Terapi
Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena virus berlokasi didalam epithelial. Debridement juga mengurangi beban antigenic virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropine 1% atau homatropin 5%
diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72 jam.
Terapi Obat
IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)
Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep
Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam
Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif.
D. Keratitis Alergi
Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya penderita sering menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.
Manifestasi Klinis
- Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi sekret mukoid.
- Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
- Gatal
- Fotofobia
- Sensasi benda asing
- Mata berair dan blefarospasme
Terapi
- Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
- Steroid topikal dan sistemik
- Kompres dingin
- Obat vasokonstriktor
- Cromolyn sodium topikal
- Koagulasi cryo CO2
- Pembedahan kecil (eksisi)
- Antihistamin umumnya tidak efektif
- Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak
Klasifikasi keratitis berdasarkan bentuk klinisnya, yaitu:
A. Keratitis Flikten/Skrofulosa/Eksemtosa
Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abu-abu pada lapisan superfisial kornea. Epitel diatasnya mudah pecah dan membentuk ulkus. Ulkus ini dapat sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik. Adapula ulkus yang menjalar dari pinggir ke tengah, dengan pinggir meninggalkan sikatrik sedangkan bagian tengah nya masih aktif, yang disebut wander phlyctaen. Keadaan ini merupakan proses yang mudah sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi di tempat lain bila penyebabnya masih ada dan dapat menyebabkan kelainan kornea berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulau-pulau yang disertai 'geographic pattern'.
Gambar 9. Keratitis Flikten
B. Keratitis Sika
Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan konjungtiva dan kornea, yaitu:
- Berkurangnya komponen lemak, seperti pada blefaritis
- Berkurangnya airmata, seperti pada syndrome syrogen, setelah memakai obat diuretik, atropin atau dijumapai pada usia tua.
- Berkurangnya komponen musin, dijumpai pada keadaan avitaminosis A, penyakit-penyakit yang menyebabkan cacatnya konjungtiva, seperti trauma kimia, Sindrom Steven Johnson, trakoma.
- Penguapan yang berlebihan seperti pada kehidupan gurun pasir, lagoftalmus, keratitis neuroparalitika.
- Adanya sikatrik pada kornea.
Gejala klinis yang sering timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal, terasa seperti ada pasir,fotopobi,visus menurun, secret lengket, mata terasa kering. Dari hasil pemeriksaan didapatkan sekret mukus dengan tanda-tanda konjungtivitis dengan xerosis konjuntiva, sehingga konjungtiva bulbi edema, hiperemi, menebal, kering, tak mengkilat, warnanya mengkilat. Terdapat infiltrat-infiltrat kecil,letak epiteleal,tes fluoresen (+). Terdapat juga benang-benang (filamen) yang sebenarnya sekret yang menempel, karena itu, disebut juga keratitis filamentosa.
C. Keratitis Numularis
Diduga dari virus. Pada klinis, tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat infiltrat bulat-bulat subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih, disebut halo (diduga terjadi karena resorpsi dari infiltrat yang dimulai di tengah). Tes fluoresen (-). Keratitis ini kalau sembuh meninggalkan sikatrik yang ringan.
Gambar 10. Keratitis Numularis
Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai hilangnya penglihatan (kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya:
- Gangguan refraksi
- Jaringan parut permanent
- Ulkus kornea
- Perforasi kornea
- Glaukoma sekunder
Prognosis
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya.
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, tergantung dari:
- Virulensi organisme
- Luas dan lokasi keratitis
- Hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen
- Penyulit/penyakit lain yang alami pasien
- Kepatuhan pasien dalam pengobatan
D. Keratitis Legoftalmos
Keratitis yang terjadi akibat adanya legoftalmos dimana kelopak tidak dapat menutup dengan sempurna sehingga terdapat kekeringan kornea. Lagoftalmos akan mengakibatkan mata terpapar sehingga terjadi trauma pada konjungtivadan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis.
Lagoftalmos dapat disbabkan tarikan jaringan parut pada tepi klopak, eksoftalmos, paralise saraf facial, dan atoni orbiukularis okuli.
Lagoftalmos partial pada waktu tidur dapat ditmukanpada pasien histeria, lelah dan anak sehat.
Pengobatan keratitis lagoftalmos ialah dengan mengatasi kausa dan air mata buatan. Untuk mencegah infeksi sekunder diberikan salep mata.
E. Keratitis Neuroparalitik
Keratitis neuroparalitik merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan persarafan ke lima dapat terjadi akibat hrps zoster, tumor fosa posterior kranium, dan keadaan lain sehingga kornea menjadi anstetis.
Pada kornea ini akan mudah terjadi infeksi sehinggaakan mngakibatkan terbentuknya tukak kornea. Pada keadaan anastesis dan tanpa persarafan, kornea kehingan daya pertahananya terhadap iritasi dari luar. Pada keadaan ini diduga terjadi kemunduran metabolism kornea yang memudahkan terjadinya peradangan kornea.
Pasienakan mengeluhkan tajam pnglihatan menurun, silau dan tidak nyeri. Mata akan meemberiksan gejala jarang berkeedip karena hilangnya refleks mngedip, injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrat danvesikel pada kornea. Dapat terlihat terbentuknya deskuamasi epitel seluruh permukaan kornea yang dimulaipada bagian tengah dan meninggalkan sedikit lapisan pitel kornea yang sehat di dekat limbus.
Pada keadaan ini pengobatan diberikan untuk mencegah infeksi sekundenya, berupa peengobatan keratitis, tersorafi, dan menutup pungtum lakrima.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San Fransisco 2008-2009. p. 179-90
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi–2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. p.113–116
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC. 2009. p. 125-49.
Thygeson P. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American Medical Association. 1997. 144:1544-1549. Available at : http://webeye. ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm (accessed: Maret 2017)