ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN “A” DENGAN DIAGNOSA MEDIS STATUS EPILEPTIKUS DI RUANGAN PICU RSUD KOTA MATARAM
OLEH :
AHMAD JULIO 012 STYJ 16
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI MATARAM 2017
STATUS EPILEPTIKUS
A. Definisi Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan darurat medis dan neurologis utama.International League Against Epilepsy mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih(Nia Kania,2007).Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih,harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
B. Etiologi 1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik. 2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus. 3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan konge nit, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol dan obat), gangguan dan kelainan neurodegeneratif.(Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)
C. Klasifikasi Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)-kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi kejang menjadi 2 golongan utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan umum (generalized-onset seizures). Serangan parsial dimulai pada satu area fokal di korteks serebri, sedangkan serangan umum dimulai secara simultan di kedua hemisfer. Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan dalam golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian membuat klasifikasi yang diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial pada tahun 1989,kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun klasifikasi tahun 1981 tetap masih sering digunaka. (Kustiowati dkk 2003)
D. Pathway
Idiopatik
Kriptogenik
Simptomtik Hipertermi
Epileptikus Dx: gangguan termoregulasi
Ketidak seimbangan neurotrasmiter otak Gangguan pada Asetikolin
Gangguan pada Gaba
Depolarisasi
Hiperpolarisasi
Kejang
Dx: resiko cedera trauma
Dx: resiko kejang berulang
Dx: gangguan proses pikir
Posisi jatuh kepala dalam keadaan hiperekstensi
Pasien / keluarga tidak mengetahui proses penyakit
Lidah jatuh ke arah belakang
Dx: Defisit Pengetahuan
Dx: resiko aspirasi
E. Gambaran Klinis Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44-74 %, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi. 1. Tanda Khas Epilepsi Parsial Sederhana Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada epilepsi parsial sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron, dan mereka cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Kejang versify terdiri atas pemutaran kepala dan gerakan mata gabungan adalah sangat lazim. Rata –rata kejang berlangsung selama 10 –22 detik. Kejang parsial sederhana dapat terancukan dengan gerenjit ( tic ), namun gerenjit ditandai dengan pengangkatan bahu, mata berkedip –kedip dan wajah menyeringai serta terutama melibatkan wajah dan bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar, tetapi kejang parsial tidak dapat dikendalikan. EEG dapat menunjukkan gelombang paku atau gelombang tajam unilateral atau bilateral, atau gambaran paku multifokal pada penderita dengan kejang parsial sederhana, gelombang paku ombak di daerah temporal tengah ( daerah Rolandik. Jenis epilepsy ini mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu prognosisnya baik. Serangannya mudah diobati, dicegah dengan antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh pada umur 15 tahun. Ciri dan jenis epilepsy ini adalah : a. Serangan pertama biasa terjadi antara usia 5 –10 tahun. b. Serangan terutama terjadi sewaktu tidur. c. Respon terhadap obat antikonvulsan baik. d. Prognosis baik. e. Sumber ( focus ) epilepsinya adalah di daerah temporal tengah, f. pada satu sisi atau pada kedua sisi di otak.
g. Serangan –serangan kejang akan menghilang atau berhenti bila mencapai usia remaja, demikian juga halnya dengan gelombang paku di daerah temporal
tengah
yang
terlihat
pada
pemeriksaan
EEG
akan
menghilang.Anak dengan jenis epilepsy ini mempunyai inteligensi, tingkah laku,dan kemampuan bersekolah yang tidak berbeda dengan populasi umum. Jenis epilepsy ini cukup sering dijumpai. 2. Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat didahului oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai dengan gangguan kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah. Aura terdiri dari rasa tidak enak, samar –samar, sedikit rasa tidak enak epigastrium, atau ketakutan pada sekitar sepertiga anak. Kejang parsial ini sukar didokumentasikan pada bayi dan anak, frekuensi hubungannya dengan kejang parsial kompleks mungkin kurang terestimasi. Kesadaran terganggu pada anak dan bayi sukar dinilai.Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam atau paku –paku setempat EEG antar kejang lobus temporalis anterior, dan pakumultifokus merupakan temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak dengankejang parsial kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin normal. Daerah yang terkena kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan kejangparsial sederhana dan biasanya didahului dengan aura
F. Komplikasi 1. Otak -
Edema serebri
-
Disfungsi kognitif
-
Trombosi arteri/ vena otak
-
Peningkatan TIK
2. Jantung dan paru
-
Gagal nafas
-
Apneu
-
Hiperkapni/ hipokapni
-
Aritmia jantung
-
Hipotensi
3. Idiopatik -
Fraktur
-
Tromboplebitis
G. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang abnormal. EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat :-10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada EEG;-30% pasien dengan epilepsi akanmemiliki gambaran EEG yang normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan pada periode tidur. Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang
terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan.Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.(Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003)
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian Data fokus yang perlu dikaji 1.
Riwayat Kesehatan a. Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian b. Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan ) c. Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik) d. Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik maupun tidak e. Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
2.
Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum b. Pemeriksaan Persistem 1) Sistem Persepsi dan Sensori Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu posisi/keduanya.
2) Sistem Persyarafan a) Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik, klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai b) Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer, luka gores) 3) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam) 4) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung 5) Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea 6) Sistem Integumen: adakah memar, luka gores 7) Sistem Reproduksi 8) Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin c. Pola Fungsi Kesehatan a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien, keamanan lingkungan sekitar b. Pola Aktivitas dan Latihan Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera pada saat serangan) c. Pola Nutrisi Metabolisme Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea d. Pola Eliminasi Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses e. Pola Tidur dan Istirahat Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
f. Pola kognitif dan Perseptual Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah g. Persepsi diri atau konsep diri Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan h. Pola toleransi dan koping stress Adakah stress dan gangguan emosi i. Pola sexual reproduksi j. Pola hubungan dan peran k. Pola nilai dan kenyakinan 3.
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien dengan epilepsy antara lain : a. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran sekunder terhadap kejang 2)
Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran dan kejang tonik-klonik 3)
Koping defensif berhubungan dengan respon terhadap hal-hal
sekunder terhada epilepsy 4)
Defisit pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan
pasien berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang paparan atau mudah lupa 5)
Potensial komplikasi : kejang
B. Rencana Keperawatan No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Resiko aspirasi b.d
Setelah dilakukan
Aspiration Precaution (3200)
tingkat kesadaran
tindakan keperawatan
1. Kaji tingkat kemampuan klien
sekunder ter-hadap
selama ...x 24 jam, klien
terhadap reflek batuk, menelan
kejang
diharapkan tidak
dan gag reflek
Keperawatan 1.
mengalami aspirasi. N.O.C : - Risk control (1902) - Knowladge : treat-
2. Kaji status pernapasan, pertahankan jalan napas 3. Beri posisi 90º atau sesuaikan keadaan
ment procedure
4. Jaga kesiapan alat suction
(1814)
5. Cek posisi NGT dan residu NGT
- Self care oral hi-giene (0308) Dengan kriteria :
sebelum memberi makan 6. Potong makanan dalam bentuk kecil agar mudah ditelan
- Klien mengatakan cara-cara untuk
Airway suctioning (3160)
mencegah aspirasi
1. Auskultasi suara napas klien
- Kebersihan mulut
sebelum dan sesudah suction
kolien terjaga - Tidak ada tanda-tanda tejadinya aspirasi
2. Gunakan universal precaution : sarung tangan, masker, kacamata 3. Anjurkan klien untuk napas dalam sebelum dilakukan suction, anjurkan untuk rileks 4. Beri tambahan oksigen selama suction 5. Monitor status oksigen dan hemodinamik klien 6. Hentikan suction dan beri tambahan oksigen jika klien bradikardi
7. Kirim bahan sekret untuk kultur dan tes sensitifitas 8. Jelaskan pada klien dan keluarga mengenai prosedure dan manfaat suction
Positioning (0840) 1. Tempatkan klien pada posisi yang tera-peutik : Pertahankan pada posisi miring jika tidak merupakan kontra indikasi cidera 2. Pertahankan posisi miring setelah makan 2.
Resiko trauma pada
Setelah dilakukan
Environmented Management
saat serangan b.d
tindakan keperawatan
safety (6486)
penurunan tingkat
selama ...x 24 jam, tidak
1. Kaji sejauhmana kebutuhan
kesadaran dan
terjadi trauma pada klien
kejang tonik-klonik
NOC : - Safety status :
keamanan klien 2. Modifikasi lingkungan untuk memi-nimalkan resiko trauma
physical injury (1913)
(pasang pagar pengaman, jauhkan
- Knowladge : personal
benda tajam dan mudah terbakar)
safety (1809) Dengan kriteria :
Fall Prevention (6490)
- Kulit klien intak
1. Ciptakan lantai yang tidak licin
(tidak ada luka, lecet atau hematom)
2. Kaji kemampuan klien untuk melakukan mobilisasi
- Tdak terjadi luka bakar - Tdak terjadi fraktur - Kien mampu menjeaskan resiko jika
Teaching : disease process (5602) 1. Jelaskan pada klien efek dari serangan epilepsi yang memungkinkan klien cidera
terjadi serangan dan
2. Jelaskan pada klien aktivitas apa
cara mengantisipasi-
saja yang aman untuk klien
nya
epilepsi 3. Anjurkan pada klien untuk bedrest pada fase akut
3.
Koping defensif b.d
Setelah dilakukan
Self-awarness enhancement (5390)
respon terhadap
tindakan keperawatan
1. Dorong klien untuk mengakui
hal-hal sekunder
selama ...x 24 jam,
dan mendiskusikan pikiran dan
terhada epilepsi
koping klien menjadi
perasaan
adekuat
2. Anjurkan pada klien untuk meng-
NOC:
identifikasi nilai yang
- Acception health sta-
disumbangkan untuk konsep diri
tus (1300)
3. Anjurkan pada klien untuk meng-
- Coping (1302)
identifikasi perasaan tentang
- Self-asteem (1205)
dirinya 4. Beri fasilitas klien untuk
Dengan kriteria :
mengidentifikasi pola respon
- Klien mampu me-
yang digunakan untuk berbagai
ngenal pola koping efektif dan tidak efektif - Klien lebih tenang - Klien mengakui
situasi 5. Anjurkan pada klien untuk mengungkapkan cara verbal penolakannya terhadap realitas 6. Bantu klien untuk
realita situasi
mengidentifikasi situasi yang
kesehatannya
mengakibatkan cemas dan cara
- Klien mampu mengekspresikan emosi dengan positif - Klien mampu mengungkapkan
menanggulanginya
penerimaan diri
Coping enhancement (5230)
terhadap keter-batasan 1. Hargai penyesuaian diri klien diri
untuk merubah body image 2. Dorong klien untuk mengidentifikasi penjelasan realitas dari perubahan peran 3. Ciptakan lingkungan yang tenang 4. Gunakan pendekatan agama / keyakinan jika perlu 5. Beri pujian tindakan positif yang dilakukan klien
4.
Defisit pengetahuan Setelah dilakukan
Teaching individual (5606)
ten-tang penyakit,
penjelasan selama ...x
1. Tentukan kebutuhan
pengobatan dan
pertemuan, pe-
perawatan klien b.d
ngetahuan klien tentang
keterbatasan
pe-nyakit, pengobatan
kognitif, ku-rang
dan pe-rawatan klien
3. Kaji tingkat pendidikan
paparan atau
meningkat:
4. Kaji kesiapan klien dalam
mudah lupa
NOC : - Knowledge : Disease process (1803) - Knowladge : Illness care (1824)
pembelajaran klien 2. Kaji tingkat pengetahuan dan pemahaman klien tentang epilepsi
mempelajari informasi spesifik 5. Atur agar realita tujuan pembelajaran dengan klien saling menguntungkan 6. Pilih metode / strategi mengajar yang sesuai
Dengan kriteria : - Klien dan keluarga mam-pu menjelaskan penger-tian, proses penyakit, penyebab, tanda dan gejala, efek penyakit, tindakan
7. Sediakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran 8. Koreksi adanya kesalahan informasi 9. Sediakan waktu untuk bertanya pada klien
pencegahan, pe-
Teaching : disease process (5602)
ngobatan dan
1. Nilai tingkat pengetahuan klien
perawatan epilepsi
tentang penyakitnya 2. Jelaskan patofisiologi epilepsi 3. Jelaskan tanda dan gejala epilepsi 4. Jelaskan kemungkinan penyebabnya 5. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin dapat mencegah komplikasi dimasa yang akan datang 6. Diskusikan pilihan-pilihan terapi pe-ngobatan dan perawatan 7. Jelaskan alasan rasional dari terapi pengobatan yang direkomendasikan 8. Kaji sumber-sumber pendukung yang memungkinkan
5
Potensial
Setelah dilakukan
1. Tentukan apa klien merasakan
komplikasi : kejang
tindakan keperawatan
aura sebe-lum awitan aktivitas
selama ...x 24 jam
kejang. Jika ya, beri-tahu
perawat akan mengatasi
tindakan pengamanan untuk
dan mengurangi episode
diambil jika aura tersebut
kejang
dirasakan (misalnya : berbaraing, menepikan mobil, dan mema-tikan mesin) 2. Bila aktivitas kejang terjadi, observasi dan dokumentasikan hal berikut : a.
Bila kejang mulai
b. Jenis gerakan, bagian tubuh yang terlihat c. Perubahan ukuran pupil dan posisi d. Inkontinensia urine atau feses e. Durasi f.
Ketidaksadaran (durasi) perilaku setelah kejang , kelemahan, paralisis setelah kejang, tidur setelah kejang (periode pasca-taktile) (progresi aktivitas kejang dapat membantu dalam mengidentifikasi fokus anatomik dari kejang)
3. Berikan privasi selama dan sesudah aktivitas kejang (untuk melindungi klien dari rasa malu) 4. Selama aktivitas kejang, lakukan tindakan untuk menjamin ventilasi adekuat (misal-nya dengan melepaskan pakaian). Jangan coba memaksa jalan napas atau spatel li-dah masuk pada gigi yang mengatup. (gerakan tonik / klonik kuat dapat menye-babkan sumbatan jalan napas. Pemasukan jalan napas paksa dapat menyebabkan cidera)
5. Selama aktivitas kejang, bantu gerakan secara hati-hati untuk mencegah cidera. Jangan coba membatasi gerakan. (restrain fisik dapat mengakibatkan trauma pada muskuloskeletal) 6. Bila kejang terjadi saat klien sedang du-duk, bantu turunkan klien ke lantai dan tempatkan sesuatu yang lunak dibawah kepalanya. (tindakan ini akan membantu mencegah trauma) 7. Jika kejang telah teratasi letakkan klien pada posisi miring. (posisi ini membantu mencegah aspirasi sekret) 8. Biarkan individu tidur setelah periode ke-jang, orientasi lagi setelah bangun. (indi-vidu ini akan mengalami amnesia, orienttasi ulang akan membantu klien untuk memperoleh rasa kontrol dan dapat menu-runkan ansietas) 9. Jika orang tersebut berlanjut mengalami kejang umum, lapor dokter dan awali tin-dakan : a. Pertahankan jalan napas b. Penghisapan jika diperlukan c. Berikan oksigen melalui kanul nasal d. Awali untuk pemberian infus
10. Pertahankan tempat tidur pada posisi rendah dengan pagar tempat tidur terpa-sang serta lapisi pagar tempat tidur de-ngan kain (sebagai tindakan hati-hati un-tuk mencegah bahaya jatuh atau truma) 11. Jika kondisi klien kronis, evaluasi kebu-tuhan penyuluhan tehnik penatalaksanaan diri sendiri
DAFTAR PUSTAKA Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R,Whitehouse W. TheA treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19. Guyton, Arthur C. 1987Fisiologi Kedokteran.148 –168. Edisi ke-5. EGC. Jakarta. Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi,Badan Penerbit UNDIP Semarang : 55-63. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am 2001;48:683-94. Harsono (2001) :Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman TatalaksanaEpilepsi, Kelompok Studi EpilepsiPerdossi. Lowenstein DH.Seizures and Epilepsy.In : Kasper DL,Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (ed).Harrison’s Principles of Internal Medicine 15thEdition CDROM.McGraw-Hill. 2001. Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129148. Nia Kania, dr., SpA., MKes.Kejang pada Anak.Disampaikanpada acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007. Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy,Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16 Paul E. Marik, MD, FCCP; and Joseph Varon, MD, FCCP. The Management of Status Epilepticus. CHEST 2004; 126:582–591 Sisodiya S.M, Duncan J (2000): Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation and Natural History, Medicine International, 00(4);36-41. Nurarif, Amin Hadi & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda NIC NOC Jilid 2: Jakarta: EGC