Skripsi Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7 12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 — >Oleh Qosidah Isnani, S.Gz -
-
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap individu selalu mendapatkan prioritas perhatian masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara ber kembang. Perhatian atas pangan lebih mengemuka semenjak diadakannya Worlds Food Summit oleh FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1974, tetapi masih kurang bisa diwujudkan. Kemudian pada tahun 1996 di Roma dalam Declaration on World Food Security, FAO baru memberikan tekanan lebih besar mengenai ketahanan pangan bagi set iap orang dan untuk melanjutkan upaya menghilangkan kelapar an an di seluruh dunia. Sasaran j angka menengah yang ingin dicapai adalah “menurunkan jumlah orang yang kekurangan gizi menjadi setengahnya paling lambat 2015” (Sukandar, dkk, 2001).
Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan sumber daya alam potensial, sudah sewajarnya mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan mengatur bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung ja wab mewujudkan ketahanan pangan. Selanjutnya masyarakat juga berperan dalam penyelenggaraan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, sebagaimana tercantum dalam GBHN 1999-2004 1999- 2004 yaitu “Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, lokal, dalam rangka menjamin ketersediaan pangan dan nutirisi, baik jumlah maupun yang dibutuhkan pada tingkat harga terjangkau, dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi” yang diatur dengan undang -undang No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004 yaitu penetapan pr ogram peningkatan ketahanan pangan (Departemen Pertanian Republik lndonesia, 2002).
Menurut Sukandar. (2001) menyatakan bahwa pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat wilayah ke tingkat rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan pangan. Oleh karena itu, pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan terbagi menjadi dua, yaitu: indikator ketahanan pangan tingkat wilayah (makro) dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga (mikro). Hal ini bertujuan agar pengembangan indikator ketahanan pangan dapat menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya. sebenar-benarnya.
Menurut Suryana (2001) dalam Hardinsyah (2001) a berdasarkan amanat UU No. 7 (1997) tentang pangan menyatakan bahwa pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Akan tetapi, Hardinsyah, dkk (2001) b menyatakan bahwa sampai pada saat ini masih terdapat sisisisi gelap pembangunan dalam rumah tangga, antara lain: sekitar 40% rumah tangga tidak cukup pangan, menurut Badan Pusat Statistik (1999) sekitar 18% miskin, berdasarkan SUSENAS (1998) sebanyak 30% anak sekolah menderita anemi karena kurang gizi dan masalah lainnya
Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkankan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan perkembangan fisik dan mental (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Mengacu pada Rencana Aksi Pangan dan Gizi (RAPGN) tahun 2001-2005, sasaran perbaikan gizi makro jangka panjang telah memberikan m asa depan yang ingin dicapai. Salah satu sasaran guna penca paian tujuan/misi tersebut adalah anak usia sekolah yang bebas dari gangguan pertumbuhan tinggi badan, serta diharapkan peningkatannya pada anak laki-laki menjadi 75% dan perempuan 80% (Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Hal ini diungkapkan pula oleh Kepala Dinas Kota Banjarmasin (Diah Ratnani Praswasti) bahwa masyarakat/warga Banjarmasin dijamin sehat pada tahun 2014 (Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Kemudian tingkat konsumsi energi rata-rata per orang per hari pada masyarakat menurut Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan (2006), ternyata masih berada di bawah target dari konsumsi yang dianjurkan yakni sebesar 2.150 Kkal. Sedangkan tingkat konsumsi masyarakat Kalimantan Selatan hanya berkisar 1962,25 kalori (84,35%) saja. Sedangkan konsumsi protein masyarakat Kalimantan Selatan sudah mencapai konsumsi protein yang dianjurkan dari rata-rata per orang per hari yaitu 57,90 gr/org/hr (112,71%). Analisis Penilaian Konsumsi Gizi (PKG) secara umum memantau bahwa di tingkat nasional, rata-rata konsumsi kalori dan protein sudah mendekati kecukupan yang dianjurkan. Akan tetapi jika dilihat distri businya masih terlihat 30 – –50% 50% rumah tangga mengkonsumsi kurang dari 70 % dari kecukupan. Anak usia sekolah adalah masa anak dalam puncak perk embangan dimana waktu pertumbuhan agak lambat, tapi pasti dan perkembangannya berangsur-angsur mengikuti pertumbuhan tersebut sampai pada suatu masa pertumbuhan yang pesat dan mulai memasuki masa sebelum remaja atau praremaja (Damayanti, 1996). Berdasarkan Direktorat Pembangunan Desa Propinsi Kalimantan Selatan (1996), di Kalimantan Selatan terdapat 568 Desa tertinggal dimana 730 buah Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah merupakan sasaran pelaksanaan program Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT AS) tahun 1996-1997 serta m enjadi sasaran Program Pemantauan Tumbuh- Kembang Anak Sekolah dan
Monitoring Garam Beryodium setiap tahun. Di desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu yang mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, pada tahun 2007 telah melaksanakan Program Penilaian Konsumsi Gizi (PKG), yang hasilnya menggambarkan bahwa konsumsi rumah tangga di desa Batulicin Kecamatan Batulicin relatif rendah, yaitu hanya berkisar sekitar 1.974,03 kalori. Selain program tersebut, di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin merupakan salah satu sasaran Pelaksanaan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) setiap tahunnya. Akan tetapi dari hasil pemantauan tersebut, ternyata masih terdapat 22% Anak Sekolah yang memiliki status gizi kurang. Hal ini juga ditambahkan dengan hasil Program KADARZI dimana keluarga tersebut memiliki anak sekolah, diketahui bahwa 67% ibu rumah tangga relatif memiliki pengetahuan yang rendah. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dipandang perlu dilakukannya penelitian mengenai “Hubungan Ketahanan Pangan Rumah tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2010”, sehingga dapat ditemukan permasalahan dan diharapkan menemukan pemecahan masalahnya. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah “Bagaimana Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Batuli cin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.” 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan penelitian adalah: Tujuan Umum Mengetahui Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Tujuan Khusus Mengidentifikasi status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Mengidentifikasi kecukupan konsumsi gizi energi dan protein dalam rumah tangga anak sekolah usia 712 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Menganalisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan kecukupan konsumsi zat gizi energi/protein dalam rumah tangga (indikator dampak secara langsung) dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 Tahun (indikator dampak secara tidak langsung) di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.
Manfaat Penelitian Bagi instansi kesehatan: Agar dapat meningkatkan intervensinya ke dalam m asyarakat seperti; Penyuluhan tentang makanan bergizi, Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak Sekolah, Pemberian Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), dan kegiatan lainnya guna membantu dalam mencapai status gizi anak sekolah secara optimal. Bagi Masyarakat : Memberikan informasi tentang indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berdampak pada baik tidaknya pula status gizi anak sekolah, khususnya anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Bagi Peneliti : Menambah wawasan serta pengalaman yang dapat menunjang pekerjaan serta pengabdian kepada bangsa dan negara dalam bidang kesehatan gizi. Keaslian Penelitian Penelitian ini mengambil tiga referensi penelitian yang dapat menunjang proses penelitian ketahanan pangan rumah tangga, yaitu penelitian dari Tri Bastuti Purwantini, dkk (1999) di Sulawesi Utara, Ginandjar Kartasasmita (2005) di Bandung serta Nailatul Muayyadah (2010) di Jawa Tengah. Menurut Tri Bastuti Purwantini, dkk (1999) dengan judul “Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1999)”, penelitiannya bertujuan untuk melihat karakteristik wilayah dan rumah tangga rawan pangan sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman pengambil kebijakkan dalam melaksanakan program-programnya dalam peningkatan ketahanan pangan di tingkat wilayah maupun tingkat rumah tangga. Kemudian analisis ketahanan pangan rumah dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan sedangkan di tingkat wilayah dilakukan dengan metode perbandingan tingkat ketersediaan pangan di wilayah dengan norma kecukupan energi (NKE) yang dibutuhkan. Analisis studi kasus ini menghasilkan bahwa secara regional status ketahanan pangan wilayah (Provinsi) berada dalam golongan tahan pangan, akan tetapi masih terdapat rumah tangga rawan pangan yang cukup tinggi apabila dilihat secara proporsi rumah tangga dengan persentase rumah tangga pedesaan relatif lebih rawan pangan dibandingkan perkotaan. Hal ini tentunya memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu dari segi tujuan dan metode ketahanan rumah tangga serta memiliki perbedaan dalam hal rancangan, tempat, variabel (bebas dan terikat) dan tahun penelitian.
Kemudian Ginandjar Kartasasmita (2005) dengan judul “Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa (Studi Kasus di Bandung)” yang bertujuan menganalisis bagaimana pengaruh ketahanan pangan secara regional. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode pengembangan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal. Kemudian analisa tersebut mengungkapkan bahwa adanya pengaruh ketahanan pangan dan ketahanan bangsa secara regional. Hal ini memang sangat memiliki perbedaan dengan penelitian, baik dari variabel (independent dan dependent), tempat, tahun, metode serta rancangannya, akan tetapi memiliki persamaan dalam hal latar belakang yang mendasari dan juga teori yang melandasi pemikiran konsep ketahanan pangan secara luas. Sedangkan Nailatul Muayyadah (2010) dengan judul “Analisa Hubungan Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dengan Keadaan Gizi Balita Menggunakan Metode GSCA (Studi Kasus di Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah)” telah melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui hubungan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga; ketersediaan pangan, aksestabilitas, dan konsumsi pangan dengan keadaan gizi balita. Penelitian ini menggunakan metode GSCA yaitu Generalized Structured Component Analysis (GSCA) dimana variabel laten didefinisikan sebagai komponen dari indikator. Kemudian analisa tersebut menghasilkan adanya hubungan antara ketersediaan pangan dengan aksestabilitas pangan dan konsumsi pangan, tetapi tidak ada hubungan antara ketersediaan pangan dengan keadaan gizi balita, kemudian ada hubungan antara aksestabilitas pangan dengan konsumsi pangan dan keadaan gizi balita, serta ada hubungan antara konsumsi pangan dengan keadaan gizi balita. Referensi penelitian ini tentunya juga memiliki persamaan dengan penelitian yaitu dari segi tujuan, metode ketahanan rumah tangga (walaupun indikatornya berbeda) dan variabel independent serta tentunya memiliki perbedaan penelitian dalam hal rancangan, tempat, variabel dependent dan tahun penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN TEORI Istilah ketahanan pangan (food security) mula terdengar pada tahun l970-an ketika terjadi krisis penyediaan serealia di pasar Intemasional. Sejak saat itu kajian tentang ketahanan pangan mulai diperbincangkan dalam berbagai Forum (Foster, 1992) dalam Hardinsyah,dkk (1998) dan pemikiran terhadap kebijakan pangan diarahkan pada ketahanan pangan dalam arti penyediaan serelia di tingkat nasional dan internasional. Setelah krisis pangan mulai reda, pada tahun 1980-an terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan dari unit nasional pada penyediaan pangan di tingkat wilayah, tetapi juga pada penyediaan dan konsumsi pangan (jumlah dan mutu) di tingkat daerah dan rumah tangga bahkan individu untuk memenuhi kebutuhan gizi (Braun, Bours, Kumar dan Pandya-Lorch, 1992) dalam Hardinsyah, dkk (2001) a. World Declaration and Plan of Action for Nutrition yang dirumuskan pada Internationol Conference on Nutrition (FAO/WHO, 1992) mendefisinikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga/individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat. Kemudian dalam sidang World Food Summit 1996 definisi ini diperluas dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai nilai atau budaya setempat (acceptable within given culture). Makna yang terkandung
dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup beberapa dimensi antara lain dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi kebutuhan gizi individu (dimensi gizi), dimensi waktu (setiap waktu). Dimensi keamanan pangan (kesehatan) serta dimensi nilai-nilai budaya (Hardinsyah dan Mardianto, 2001) b. Di Indonesia pemerintah juga telah memberikan perhatian besar terhadap masalah pangan antara lain melalui upaya swasembada beras. Selain itu prioritas pembangunan nasional yang diamanatkan dalam 1999-2004 (Suryana, 2001) dalam Hardinsyah, dkk (2001)a adalah perwujudan ketahanan pangan yang berbunyi : “Mengembangkan ketahanan pangan yang berbaris pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau serta memperhatikan peningkatan pendapatan petani nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang”. Pembangunan ketahanan pangan dihasilkan suatu sistem dari unsur-unsur yang merupakan subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Pembangunan sub sistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi luar negri, cadangan impor maupun ekspor. Kemudian pembangunan subsistem distribusi mencakup aksesbilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan strategis. Sedangkan pembangunan subsistem konsumsi mencakup jumlah, mutu gizi, nutr isi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Ketiga pem bangunan ini memerlukan harmonisasi guna terwujudnya pembangunan suatu ketahanan pangan (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Dalam rangka memenuhi komitmen nasional tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004, telah menetapkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini bertujuan untuk: meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pada pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, beserta produk-produk olahannya; mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi, serta konsumsi yang lebih beragam; mengembangkan usaha bisnis pangan; menjamin ketersediaan gizi dan pangan masyarakat (Departeman Pertanian Republik Indonesia, 2003). Menurut Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat wilayah ke tingkat rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan pangan. Oleh karena itu pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan terbagi menjadi dua, yaitu: indikator ketahanan pangan tingkat wilayah (makro) dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah
tangga (mikro). Hal ini bertujuan agar pengembangan indikator ketahanan pangan dapat menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya. Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan pada daerah tersebut. Sedangkan pada tingkat mikro lebih dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga dalam memproduksi pangan, daya beli dan pemberian. Kemudian sub sistem konsumsi pangan terletak pada hilir dari sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Keragaman subsistem tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor sosial budaya. Faktor ekonomi dalam keragaman tersebut meliputi; tingkat pendapatan, harga pangan dan non pangan dan mekanisme pasar, sedangkan faktor sosial budaya meliputi; tingkat pengetahuan, kebiasaan makan termasuk ada tidaknya pantangan atau tabu serta jumlah anggota keluarga (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat terbebas dari kelaparan dan gizi kurang (Nuhfill Hanani; 2007). Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan memuat ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Hal ini berarti pengertian tersebut dapat mewujudkan ketahanan pangan yang bisa lebih dipahami yaitu: Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk kebutuhan dalam pemenuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, artinya bebas cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggmggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah Agama.
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, artinya pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. Terpenuhinya pengan dengan kondisi terjangkau, artinya pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai koping ability indikator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi (Ali Khomsan dkk, 2002). Keragaman pangan memiliki dua dimensi pokok, yaitu keanekaragaman dalam pola menu konsumsi pangan dimana terdapat keragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang serta keaneka-ragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis gizi yang dibutuhkan. Berdasarkan pengembangan operasional konsep ketahanan pangan rumah tangga oleh Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%. Seperti yang telah diketahui, sub sistem konsumsi pangan terletak pada hilir dari sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Keragaman subsistem tersebut dipengaruhi oleh: Faktor ekonomi, yang meliputi : Pendapatan Menurut Winardi (1992) pendapatan adalah hasil berupa uang atau materi lainnya yang dapat dicapai dari pada penggunaan faktor-faktor produksi. Tinggi-rendahnya pendapatan akan berdampak pada konsumsi pangan sebagai sub sistem ketahanan pangan baik tingkat wilayah maupun tingkat rumah Tangga (Departemen Pertanian Republik lndonesia, 2002). Pada umumnya, jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga. Tingkat pendapatan menentukan pola makanan apa saja yang dibeli dengan uang tersebut. Orang miskin biasanya akan membelanjakan pendapatannya untuk makanan, sedangkan orang yang kaya sudah tentu
akan lebih dari itu. Bagian untuk makanan padi akan ditambah dengan menu untuk makanan yang terbuat dari susu jika pendapatan keluarga beranjak ke tingkat menengah. Semakin tinggi pendapatan, semakin bertambah besar pula presentase pertambahan belanja termasuk unhrk buah-buahan, sayursayuran, dan jenis makanan lainnya (Suhardjo, 1989). Harga pangan dan non pangan Kemudian Suhardjo (1989) menyatakan pula bahwa kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan selain tergantung pada besar pendapatan keluarga serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan juga tergantung pada harga bahan makanan itu sendiri. Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan tidak dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. Hal ini dikarenakan semakin tinggi harga pangan maupun non pangan, maka semakin terbatas pula kemampuan keluarga dalam mengeluarkan uang untuk membeli keperluan pangan dan non pangan untuk kebutuhannya. Setidaknya keaneka-ragaman bahan makanan kurang bisa terjamin, karena dengan uang yang terbatas itu tidak akan banyak pilihan. Mekanisme pasar Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu kebijakan yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen) tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusan-keputusan mereka dan teridentifikasi dalam aspekaspek seperti terjadi excess demand dan shortage supply atau sebaliknya, harga pasar yang meningkat atau menurun, serta peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang membawahinya. Faktor Sosial Budaya, meliputi : Tingkat pengetahuan gizi Gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan sikap dan perilaku seorang terhadap makanan. Selain itu pengetahuan manusia mempunyai peran untuk dapat membuat manusia hidup sehat, sejahtera dan berkualitas. Gizi mempunyai hubungan langsung dengan tingkat konsumsi tetapi secara tidak langsung mencerminkan tingkat pengetahuan. Kekurangan pengetahuan tentang gizi merupakan suatu penyebab lain gangguan gizi atau informasi gizi. Oleh karena itu, salah satu cara yang baik untuk menanggulangi masalah gizi adalah dengan memberikan pendidikan gizi yang pada prinsipnya mempunyai tujuan akhir mengubah pengetahuan serta siap dan tindakan ke arah perbaikan gizi dan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994). Kebiasaan makan termasuk ada tidaknya pantangan atau tabu
Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi, 1994). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan individu atau kelompok individu adalah memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya. Tiga faktor terpenting yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah ketersediaan pangan, pola sosial budaya dan faktor-faktor pribadi (Harper et al, 1986). Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu (Wahyuni, 1988). Khumaidi (1989) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik atau dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpe-nuhinya kecukupan gizi), seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep-konsep gizi. Menurut Williams (1993) dalam Khumaidi (1989) masalah yang menyebabkan malnutrisi adalah tidak cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik. Kebiasaan makan dalam rumah tangga penting untuk diperhatikan, karena kebiasaan makan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan dan selanjutnya mempengaruhi tinggi rendahnya mutu makanan rumah tangga. Jumlah anggota keluarga Rumah tangga adalah orang yang tinggal dalam satu rumah, satu atap atau satu dapur, tidak terbatas hanya pada keluarga inti saja melainkan terdiri dari beberapa generasi, selain orangtua dan anakanaknya, terdapat juga kakek-nenek, paman, bibi, saudara sepupu, menantu dan cucu yang kebutuhannya ditanggung oleh kepala keluarga (Suhardjo, 1989). Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara langsung terutama pada anak sekolah yang tumbuh dalam rumah tangga miskin karena rentan terhadap kekurangan gizi. Kebiasaan orang tua yang kurang menyadari bahwa anak memerlukan pangan yang lebih besar sering menjadi masalah. Di Indonesia survei memperlihatkan ketersediaan protein bagi setiap anak dalam rumah tangga dengan 2 orang anak akan 20 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan rumah tangga yang mempunyai 4 atau 5 orang anak (Yustika, 2001). Kemudian definisi anak sekolah dalam kehidupan sehari-hari adalah sekolah dan seluruh warga yang merupakan wadah dan tempat berlangsungnya proses pendidikan secara formal dan potensial. Secara formal memiliki peranan penting dan strategis bagi pembinaan generasi muda (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992). Dan usia sekolah menurut Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat (1999) dikelompokkan menjadi: 1. WHO, usia antara 7 sampai 15 tahun. 2. Jelliffe, usia antara 5 sampai 15 tahun. 3. Indonesia, usia antara 7 sampai l2 tahun.
Penilaian status gizi anak sekolah terbaru dapat dilihat dengan penggunaan Baku Antropometri IMT-AS (Jahari, 2000) yaitu tabel hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh Anak Sekolah (IMT-AS) dengan menggunakan rumus rasio atau perbandingan antara berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter, yang kemudian disajikan dalam kategori normal, kurus, gemuk dan kegemukan. Indikator ini juga merupakan kombinasi atau gabungan dari dua parameter, yaitu berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Keuntungan penggunaan indeks IMT-AS ini yaitu selain merupakan indeks yang independen terhadap umur, juga dapat membedakan proporsi badan berupa kelebihan lemak dan otot (Supariasa, dkk, 2002). LANDASAN TEORI Konsep Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga Berdasarkan hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional Departemen Pertanian, 1996) dalam Hardinsyah, dkk (1998) ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan, yaitu: (1) kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggotanya rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai buda ya setempat dari waktu ke wak tu agar hidup sehat, (2) kem ampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dan produksi sendiri atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup, (3) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat. Hal ini juga tercantum dalam pasal I ayat 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut Sutrisno (1996) ukuran ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun ketersediaan pangan yang sesuai dengan norrna gizi. Sedangkan indikator sosial ekonomi dan demografi tidak dapat digunakan. Status Gizi Anak Sekolah Kemudian Status gizi menurut Jahari (2002) dalam Poedyasmoro, dkk (2002) adalah keseimbangan antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirement) zat gizi. Status gizi baik (seimbang) bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan, status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk gizi kurang yaitu jumlah asupan zat kurang dari yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi lebih bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Selain itu” status gizi juga berarti sebagai ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu seperti; Gondok Endemik yang merupakan keadaan tidak seimbangnya antara pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh Menurut Damayanti (1996), karakteristik anak usia sekolah antara lain: Berusia 7 – l2 tahun
Pertumbuhan relatif lambat dan anak balita, pertumbuhan berat 1,8 sampai 3,1 kg/tahun. Nafsu makan relatif lebih baik dari anak balita. Aktivitas fisik tinggi sehingga m embutuhkan energi untuk bergerak, olah raga Mulai tidak tergantung dengan orang tua Belajar tentang makanan dan gizi sebagai bagian dari kurikulum Pada masa ini anak mulai bisa memasuki dunia baru kemudian mulai berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, suasana dan lingkungan baru dan dalam hal baru lainnya. Pada usia 7-12 tahun pertumbuhan anak masih berjalan sangat cepat, tetapi pada usia 8-10 tahun laju pertumbuhan mulai menurun. Tetapi dengan adanya aktifitas yang mulai beragam seperti; olah raga, membantu orang tua, maka kebutuhan gizinya lebih besar. Sebagai akibatnya karakteristik anak sebagai berikut; pertumbuhan tubuh masih relatif cepat, kebutuhan. Zat-zat makanan relatif lebih banyak anak mulai memilih/menentukan makanannya sendiri serta kadang-kadang timbul kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu ”Food Raddism” (Mustafa, 1990). Hubungan Ketahanan Pangan dengan Status Gizi Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996) dalam Hardinsyah (1998). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Pengembangan operasional konsep ketahanan pangan rumah tangga oleh Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%. KERANGKA KONSEP PENELITIAN 2.4 HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
“Adanya hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010”. BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan terikat bercirikan sampel dari populasi yang diukur sesaat atau pengukuran dilakukan secara bersamaan (satu kali saja). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dalam mengumpulkan data kecukupan konsumsi gizi rumah tangga serta status gizi. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Waktu Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada Bulan September Tahun 2010. Subjek Penelitian Populasi Populasi yang memiliki karakteristik penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang memiliki anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Jumlah populasi penelitian tersebut sebanyak 591 rumah tangga, yang terbagi menjadi 6 kelas (strata). Dimana kelas 1 (satu) berjumlah 90 rumah tangga, kelas 2 (dua) berjumlah 147 rumah tangga, kelas 3 (tiga) berjumlah 125 rumah tangga, kelas 4 (empat) berjumlah 89 rumah tangga, kelas 5 (lima) berjumlah 84 rumah tangga serta kelas 6 (enam) berjumlah 56 rumah tangga. Sampel Jumlah Sampel Sampel dalam penelitian ini merupakan bagian dari populasi penelitian tersebut, dengan kriteria inklusi : Memiliki setidaknya satu anak sekolah usia 7-12 tahun Bertempat di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin
Responden, dalam hal ini ayah dan ibu, bersedia ikut penelitian dengan menandatangani informed consent, dan tinggal serumah bersama anak. Sedangkan kriteria ekslusinya adalah rumah tangga yang memiliki 1 (satu) anak sekolah usia 7-12 tahun dan tidak tinggal satu atap dengan orang tuanya. Besarnya sampel penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus menurut Azrul Azwar, dkk, (1987) : (1, 96)² x 50 x 50
96,04
n = n1 = 10²
1 + 96,04
591
n = 96, 04
n1 = 82, 793
Jadi, jumlah sampel penelitian ini diperoleh sebanyak 82,793 yang dibulatkan menjadi 83 rumah tangga. Keterangan : n = sampel yang diharapkan n1 = sampel yang sebenarnya p = sifat suatu keadaan dalam % jika tidak diketahui, dianggap 50 % q = 100% – p = 50 % L = derajat ketetapan yang digunakan, lazimnya 10 % Zα= tingkat kepercayaan ditentukan dengan derajat koefisien 95% dan α = 5%, maka kurva normal didapatkan nilai Zα = 1,96 Cara Pengambilan Sampel
Penarikan sampel dalam penenelitian ini dilakukan secara acak (Probability Sampling) dengan teknik proporsi (Proportional Random Sampling). Untuk memperoleh pembagian sampel dalam masing-masing kelas maka populasi diproporsionalkan dalam persentase menurut besarnya unit yang ada di dalam masing-masing kelas populasi tersebut. Proporsional ini dilakukan dengan menggunakan rumus: Setelah diperoleh masing-masing proporsi unit sampel berdasarkan populasi, kemudian dapat ditentukan jumlah masing-masing sampel dalam k elasnya, dengan menggunakan rumus: Pembagian populasi, proporsi sampel dan jumlah sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 3.1. Distribusi Populasi dan Sampel Rumah Tangga di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Tahun 2010. Kelas Populasi Proporsi (P) Sampel (rumah tangga) Kelas 1 90 15 13 Kelas 2 147 25 21
Kelas 3 125 21 17 Kelas 4 89 15 13 Kelas 5 84 14 11 Kelas 6 56 10 8 Jumlah 591 100 83
Kemudian sampel diambil secara acak menurut masing-masing unit sampel yang telah ditentukan dalalm kelasnya dengan menggunakan undian berdasarkan nomor urut anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 yang telah di data, selanjutnya dilakukan kunjungan ke rumah tangga anak sekolah tersebut untuk pengambilan data lanjutan. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel penelitian dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah ketahanan pangan rumah tangga yaitu tingkat kecukupan konsumsi zat gizi dan variabel terikatnya adalah status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Adapun definisi operasional dari penelitia n ini, yaitu : NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL HASIL UKUR SKALA UKUR 1. Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi/Protein Prosentase dari jumlah energi/protein total yang dikonsumsi oleh setiap orang setiap harinya dibandingkan dengan angka kecukupan energi/protein yang dianjurkan (I Dewa Nyoman S, dkk, 2001). Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%.
Ordinal 2. Status Gizi Anak Sekolah Keadaan gizi anak usia 7-12 tahun sebagai akibat penggunaan zat-zat essential yang dapat diukur (dinilai) secara langsung melalui parameter berat badan dan tinggi badan anak Kemudian dihitung berdasarkan rumus IMT dan dimasukkan ke dalam Baku Antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT-AS) Edisi Revisi menurut Jahari (2000). Kemudian Baku Antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT-AS) Edisi Revisi menurut Jahari (2000), dikategorikan: Normal Kurang Gemuk Kegemukan Ordinal Instrumen Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antar a lain; form recall 2x24jam, tape recorder serta form isian. Dimana dalam wawancara, form recall 2x24jam merupakan panduan wawancara yang berisikan pertanyaan tentang konsumsi makanan anggota keluarga selama 2 (dua) hari yang juga direkam melalui tape recorder untuk mencek kembali informasi yang diperoleh. Selain itu, terdapat pula form isian guna memperoleh data tentang identitas rumah tangga serta mencatat hasil pengukuran parameter dari status gizi anak. 3.6 Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder yang meliputi : 1 Data Primer
Data primer dikumpulkan peneliti melalui kunjungan kerumah sampel terpilih dan bila sampel menyetujui, enumerator melakukan kegiatan yang meliputi: Identitas rumah tangga diperoleh dengan wawancara. Status ketahanan pangan rumah tangga melalui indikator dampak secara langsung (tingkat kecukupan konsumsi zat gizi rumah tangga) diperoleh dengan cara me-recall konsumsi anggota rumah tangga menggunakan form recall 2×24 jam. Status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun diidentifikasi dengan melakukan pengukuran BB dan TB masing-masing anak yang menjadi sampel di dalam rumah tangga. Data Sekunder Data Sekunder dikumpulkan peneliti dengan mengunjungi instansi di desa maupun instansi pemerintah terkait guna memperoleh data, yang meliputi : Profil Desa Geografi dan Demografi Desa Laporan PKG di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan UKS di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan PSG di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan lain yang berkaitan dengan penelitian 3.7 Teknik Analisa Data 3.7.1 Cara Pengolahan Data Dalam pengukuran ketahanan pangan rumah tangga, nilai konsumsi energi dan protein diperoleh melalui recall 2×24 jam dengan pendekatan penyediaan pangan yang disajikan dalam rumah tangga. Sedangkan angka kecukupan energi dan protein dalam ketahanan rumah tangga adalah total dari angka kecukupan energi dan protein masing-masing individu dalam rumah tangga (Supariasa, 2002). Rumus TKE/TKP rumah tangga adalah sebagai berikut :
Sedangkan penentuan tingkat ketahanan pangan rumah tangga menurut Sukandar, dkk, (2001) dapat dikategorikan dalam matrik di bawah ini : Tabel 3.1. Tabel Indikator Dampak Ketahanan Pangan Secara Langsung (Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi) Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi ≤ 75 75-100 ≥100 ≤ 75 Tidak Tahan Pangan Tidak Tahan Pangan Tidak Tahan Pangan 75-100 Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan Tahan Pangan ≥100 Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan Sangat Tahan Pangan
Kemudian data berat badan dan tinggi badan diperoleh dengan cara pengukuran menggunakan timbangan injak dan mikrotoise. Kedua indeks tersebut dimasukkan dalam rumus IMT di bawah ini sehingga diperoleh nilai IMT yang menggambarkan status gizi anak berdasarkan Baku Antropometri (Jahari, 2000) pada lampiran 9. Rumus IMT tersebut adalah : 3.7.2 Uji Analisis Data Ketahanan pangan rumah tangga yang diukur dengan indikator dampak secara langsung (tingkat kecukupan konsumsi zat gizi rumah tangga) serta status gizi anak dianalisis secara deskriptif. Kemudian ketahanan pangan dihubungkan dengan status gizi anak dengan menggunakan uji analisa statistik Korelasi “Spearman Rank”, syarat α=0,05 dengan ketentuan: – Ho ditolak jika nilai p ≤ nilai α, berarti Ha diterima – Ho diterima jika nilai p > nilai α, berarti Ha ditolak Hasil tersebut kemudian dapat dinyatakan dengan ketetapan hipotesis berikut : – Ho = Tidak ada hubungan ketahanan pangan dengan status gizi anak
sekolah.
– Ha = Ada hubungan ketahanan pangan dengan status gizi anak sekolah. 3.7.3 Cara Penyajian Data Dalam penelitian ini data deskriftif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi (tabulasi). Sedangkan hasil uji analisis hubungan disajikan dalam bentuk tabulasi silang (crosstab). 3.8 Prosedur Penelitian Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan beberapa langkah-langkah sebagai berikut: Tahap Persiapan Mengumpulkan data awal yang mendasari penelitian Mengkonsultasikan rencana penelitian ke pembimbing Mengurus ijin ke instansi terkait dengan dengan penelitian guna memperoleh data sekunder Mencatat/mencopy semua arsip di instansi terkait dalam penelitian
Mencari data jumlah populasi penelitian Mengambil sampel penelitian Membuat Proposal Penelitian Tahap Pelaksanaan Mengurus Ijin Penelitian dari pendidikan ke instansi penelitian terkait Melakukan kunjungan rumah serta meminta persetujuan responden Melakukan wawancara kepada responden Menkonsultasikan ke pembimbing hasil pengumpulan data Seminar hasil pengumpulan data Tahap Evaluasi Mengolah data yang telah dikumpulkan Menganalisa data Menkonsultasikan hasil analisa data ke pembimbing Membuat laporan hasil penelitian Seminar hasil penelitian Keterbatasan dan Kelemahan Penelitian Adapun keterbatasan dan kelemahan yang ada dalam proses penelitian ini, yaitu: Kurangnya food models sebagai panduan ukuran makanan yang akan memudahkan peneliti dalam mengkonversikan makanan yang dikonsumsi setiap anggota rumah tangga dalam satuan ukuran rumah tangga (URT).
Kurangnya kemampuan (daya ingat) responden dalam mengingat makanan yang dikonsumsi beberapa hari yang lalu, sehingga menimbulkan kesulitan peneliti dalam me-recall apa yang telah dikonsumsinya responden. Walaupun terdapat beberapa keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini seperti yang telah tercantum di atas, tetapi peneliti telah melakukan metode alternatif lain guna mengatasi (mengurangi) kesalahan dalam penelitian ini antara lain; mengganti food models yang tidak ada atau rusak dengan menggunakan mainan edukasi seri “Makanan” serta mengkategorikan ukuran makanan (seperti besar, sedang, kecil dan lain-lain) yang bertujuan mengarahkan responden dalam menetapkan URT yang sesuai dengan jumlah makanan yang telah mereka konsumsi sehingga peneliti dapat mengetahui kecukupan energi dan protein seluruh anggota rumah tangga. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran Desa Batulicin Berdasarkan tata letak geografis, wilayah Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu terletak di pesisir pantai antara 2º52-3º47’LS dan 115º15-116º04’ BT. Suhu udara berkisar antara 22,4ºC 32,0ºC, dimana suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober (32,0ºC) dan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus (22,4ºC). Desa Batulicin yang mempunyai luas wilayah 4,170 ha yang terdiri dari pemukiman, bangunan, ladang/tegalan, hutan, tempat rekreasi, perikanan darat/air tawar, rawa, tanah kritis dan padang ilalang. Menurut BPS Tahun 2007-2008, Batas Administrasi Desa Batulicin ini berbatasan dengan: Sebelah Utara : Desa Kampung Baru Sebelah Timur : Selat Laut Sebelah Selatan : Desa Kersik Putih Sebelah Barat : Desa Kusambi Potensi dari Desa Batulicin adalah perikanan, perdagangan, industri, pariwisata, perternakan, dan perkantoran. Hal ini didukung dengan kemudahan dari sebagian besar dari wilayah yang dapat ditempuh dengan melalui jalan darat dan jalan laut sehingga dapat menggunakan sarana transportasi roda empat dan roda dua maupun sarana transportasi laut.
Jumlah penduduk desa menurut Badan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Catatan Sipil pada tahun 2010 berjumlah 5.889 jiwa, dimana jumlah penduduk laki-laki berjumlah 2.905 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2.984 jiwa serta diketahui pula jumlah kepala keluarga (KK) berjumlah 1.675 orang. Mata pencaharian penduduk wilayah ini sebagian besar adalah nelayan sebanyak 47%, sedangkan sebagian lainnya adalah sektor jasa/perdagangan 26%, pegusaha besar/kecil 14% dan peternak 13%. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Indikator dampak secara langsung dari ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat konsumsi rumah tangga baik energi dan protein. Hal ini dapat dilihat dari gambaran TKE/TKP yang diperoleh dalam penelitian seperti pada distribusi frekuensi di bawah ini: Tabel 4.1. Indikator Dampak Ketahanan Pangan Secara Langsung (Kecukupan Konsumsi Gizi) Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi ≤ 75 75-100 ≥100 ≤ 75 2 3 0 75-100 1 27
31 ≥100 0 8 11 Dari tabel di atas dapat dijabarkan bahwa konsumsi energi dan protein ≤ 75% sebanyak 5 rumah tangga, kemudian konsumsi energi dan protein sebanyak 75 – 100% sebanyak 25 rumah tangga dan konsumsi energi dan protein ≥100% hanya sebanyak 4 rumah tangga. Masih adanya konsumsi energi dan protein ≤ 75% di desa batulicin di karenakan pendapatan mereka masih di bawah rata-rata, hal ini kemudian berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat desa akan bahan makanan menurun sehingga kecukupan konsumsi energi dan protein tidak bisa terpenuhi sesuai umur masing- masing anggota rumah tangga. Hal ini seiring dengan gambaran status ketahanan pangan yang disimpulkan dengan tabulasi di bawah ini: Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga Status Ketahanan Pangan Frekuensi Persentase (%) Tidak Tahan Pangan 6 7,2 Tahan Pangan 66 79,5
Sangat Tahan Pangan 11 13,3 Jumlah 83 100 Dari hasil prosentase gambaran tersebut, diperoleh rumah tangga dengan status tidak tahan pangan sebanyak 6 rumah tangga (7,2%), rumah tangga dengan status tahan pangan sebanyak 66 rumah tangga (79,5% ) dan rumah tangga dengan status sangat tahan pangan sebanyak 11 rumah tangga (13,3%). Walaupun masih terdapat banyak rumah tangga dengan status tahan pangan, akan tetapi rumah tangga dengan status tidak tahan pangan tetap menjadi prioritas perhatian bagi berbagai kalangan. Adapun hal yang mempengaruhi rumah tangga menjadi status tidak tahan pangan adalah mata pencaharian penduduk desa yang mayoritas mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Faktor ini tentunya sangat berdampak pada ketahanan pangan rumah tangga, karena selain pendapatan rendah, mereka juga tidak dapat menghasilkan sumber makanan utama yang dapat dikonsumsi oleh anggota rumah tangga guna mencukupi konsumsi energinya yang merupakan zat gizi utama dalam mengukur ketahanan pangan rumah tangga. Status Gizi Anak sekolah Usia 7-12 Tahun Karakteristik status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan IMT Anak Sekolah (Baku Antropometri) adalah sebagai berikut: Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun Status Gizi Anak Frekuensi Persentase (%)
Normal 70 84,3 Kurang 8 9,6 Gemuk 3 3,6 Kegemukkan 2 2,4 Jumlah 83 100 Dari hasil penelitian telah didapatkan bahwa anak sekolah yang memiliki status gizi kurang sebanyak 8 orang (9,6%), anak sekolah yang memiliki status gizi normal sebanyak 70 orang (84,3%), anak sekolah yang memiliki status gizi gemuk sebanyak 3 orang (3,6%) dan anak sekolah yang memiliki status gizi kegemukan sebanyak 2 orang (2,4%). Masih terdapatnya anak dengan status gizi kurang merupakan salah satu dampak dari ketidakmampuan rumah tangga dalam menyediakan pangan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini mengakibatkan kecukupan gizi anak berdasarkan usiannya tidak seimbang, sehingga terjadinya malnutrisi. 4.1.4 Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah
Hubungan ketahanan rumah tangga melalui indikator dampak secara langsung yaitu tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 Tahun 2010 yang merupakan indikator dampak secara tidak langsung dapat dilihat pada tabulasi silang di bawah ini: Tabel 4.4. Tabulasi Silang Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Tahun 2010 Ketahanan Pangan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun Total Normal Kurang Gemuk Kegemukkan Frek % Frek % Frek % Frek %
Frek % Tidak Tahan Pangan 0 0 6 100 0 0 0 0 6 100 Tahan Pangan 61 92,4 2 3,0 2 3,0
1 1,5 66 100 Sangat Tahan Pangan 9 81,8 0 0 1 9,1 1 9,1 11 100 Total 70 84,3 8 9,6
3 3,6 2 2,4 83 100 Berdasarkan Tabel 4.4. yang menggambarkan keterkaitan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi ketahanan pangan rumah tangga maka akan berbanding lurus dengan peningkatan status gizi pada anak sekolah. Hal ini dikarenakan apabila ketahanan pangan rumah tangga berada dalam kondisi bagus kemudian disertai pengetahuan ibu akan pentingnya gizi anak dalam masa pertumbuhan serta kesadaran anggota rumah tangganya maka status gizi anak sekolah tanpa adanya penyakit infeksi (dalam keadaan sehat) akan berdampak pula peningkatannya (gizi baik). 4.2 Pembahasan Setelah dilakukan pengujian analisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah (usia 7-12 tahun) di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 dengan Uji Analisis Non Parametrik “Korelasi Spearman Rank” telah menghasilkan significant (p) sebesar 0,007 dengan tingkat kepercaayaan 95% (α=0,05), maka p ≤ α atau 0,007 ≤ 0,05 artinya Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan ketahanan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Hasil ini sesuai dengan penelitian Tri Bastuti Purwantini (1999) yang menyatakan tingkat konsumsi energi dan protein merupakan dua indikator indikator mutu gizi yang umum digunakan untuk mengukur status gizi. Sesuai rekomendasi energi dan protein masing-masing individu agar seseorang dapat hidup sehat dan dapat aktif menjalankan aktivitas sehari-hari secara produktif sebesar 2.200 Kkal/kapita/hari untuk energi dan 50 gram/kapita/hari untuk protein. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan pula bahwa kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga yang dari sisi gizi cukup (>80% dari syarat kecukupan). Sedangkan pada kelompok yang kurang pangan dan rawan pangan masing-masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang direkomendasikan.
Kemudian Waryana (2010) dalam bukunya yang berjudul “Gizi Reproduksi” mengungkapkan bahwa kekurangan gizi pada anak usia sekolah disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsungnya adalah makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah ketahanan pangan di rumah tangga, pola pengasuhan serta pelayanan kesehatan serta kesehatan lingkungan. Sebagai penyebab langsung kekurangan gizi, makanan diserap untuk menghasilkan energi guna tumbuh kembang tingkat kecerdasan serta fungsi otak anak yang merupakan jaringan tubuh yang sangat sempurna struktur dan fungsinya. Apabila energi yang diperoleh dalam makanan tidak cukup, maka kerja dan fungsi tubuh akan kurang dari kapasitasnya yang berdampak pada gangguan pertumbuhan fisik, serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan anak dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit. Sedangkan penyebab langsung kekurangan gizi lainnya yaitu infeksi penyakit juga dapat memperburuk gizi anak dengan menurunnya nafsu makan, kehilangan cairan bila disertai diare atau muntah, naiknya metabolisme basal anak yang pada akhirnya terjadinya gizi kurang atau gizi buruk. Kedua penyebab langsung ini saling berkaitan, anak yang mendapat makanan yang cukup dan baik tetapi sering diare atau demam dapat menderita kekurangan gizi, begitu pula apabila anak yang tidak mengkonsumsi makanan yang cukup dan baik maka daya tahan tubuh akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Kemudian penyebab tidak langsung kekurangan gizi meliputi ketahanan pangan rumah tangga, pola pengasuhan, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Makin tinggi kemampuan anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah cukup maupun baik mutunya, maka makin baik pula kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak sehingga akan diiringi makin banyaknya pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan yang dimamfaatkan keluarga guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan status rumah tangga yang tahan pangan, berarti kebutuhan pangan seluruh anggota rumah tangga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya bisa terjamin, hal ini kemudian meningkatkan pula pola pengasuhan anak dan keluarga pun makin banyak memamfaatkan pelayanan kesehatanan yang ada dengan sebaik-baiknya sehingga dapat tercapai status gizi anak secara optimal baik fisik, mental maupun sosial. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini, antara lain: Status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 adalah gizi kurang sebanyak 8 orang (9,6%), normal sebanyak 70 orang (84,3%), gemuk sebanyak 3 orang (3,6%) dan kegemukan sebanyak 2 orang (2,4%).
Ketahanan rumah tangga di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 diperoleh rumah tangga dengan status tidak tahan pangan sebanyak 6 rumah tangga (7,2%), status tahan pangan sebanyak 66 rumah tangga (79,5% ) dan status sangat tahan pangan sebanyak 11 rumah tangga (13,3%). Uji analisis dengan “Korelasi Sperman Rank” mengungkapkan bahwa ada hubungan ketahanan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. 5.2. Saran Adapun beberapa saran peneliti guna memberik an kontribusi positif sesuai ruang lingkup penelitian i ni, yaitu : Bagi Pemerintah: Meningkatkan kebijakan di bidang gizi agar dapat lebih menunjang perbaikan gizi masyarakat sehingga status gizi masyarakat dapat tercapai secara optimal. Bagi Instansi Kesehatan (Dinas Kesehatan dan Puskesmas): Meningkatkan kerjasama aktif secara berkesinambungan dalam melaksanakan intervensi gizi melalui Program Perbaikan Gizi Masyarakat terutama yang berkaitan dengan anak sekolah dan kesehatan rumah tangga seperti Penyuluhan (di sekolah maupun di desa), Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak Sekolah, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), Pembinaan Dokter Kecil, Program Makanan Tambahan Anak (PMT-AS), Penilaian Konsumsi Gizi (PKG), Kunjungan Rumah dan kegiatan lainnya. Bagi Instansi Terkait (Dinas Pertanian, Kecamatan, Kelurahan, Lokalitbang, Dinas Kesehatan dan lainlain) : Meningkatkan kerjasama lintas sektor guna bersama-sama mendorong masyarakat menjadi “Masyarakat Sehat” seperti dalam kegiatan Penyuluhan, PKK, Pembinaan Tanaman Obat Keluarga (TOGA), dan kegiatan lain-lain. Bagi Masyarakat : Meningkatkan wawasan dan pengetahuan gizi (seperti mengikuti penyuluhan, aktif memamfaatkan fasilitas kesehatan, dan kegiatan lainnya) yang berkaitan dengan faktor-faktor ketahanan pangan rumah tangga serta status gizi anak sekolah sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. ☻☻☻