UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI PADA TUMBUHAN TESPONG
assocep phalum cr epi di oi de dess), DAN (Oenanthe javanica DC), SINTRONG (C r assoce lea tr i ner ner via W) TERHADAP BAKTERI Stap Staphylo hyloco cocccus cus POHPOHAN (Pi lea epidermidis & Pseudomonas aerugenosae
LAPORAN TUGAS AKHIR
NATALIA ANGGRAENI 21131066
SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG PROGRAM STUDI STRATA I FARMASI BANDUNG 2017
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI PADA TUMBUHAN TESPONG (Oenanthe javanica DC), javanica DC), SINTRONG (Crassocephalum ( Crassocephalum crepidioides), crepidioides), DAN POHPOHAN ( Pilea trinervia W) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus epidermidis & Pseudomonas aerugenosae
LAPORAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi persyaratan kelulusan Program Strata Satu
NATALIA ANGGRAENI 21131066
Bandung, Juli 2017 Menyetujui, Pembimbing Utama
Pembimbing Serta
(Asep Roni, M.Si., Apt)
(Wempi Budiana, M.Si., Apt)
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI PADA TUMBUHAN TESPONG (Oenanthe javanica DC), javanica DC), SINTRONG (Crassocephalum ( Crassocephalum crepidioides), crepidioides), DAN POHPOHAN ( Pilea trinervia W) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus epidermidis & Pseudomonas aerugenosae
LAPORAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi persyaratan kelulusan Program Strata Satu
NATALIA ANGGRAENI 21131066
Bandung, Juli 2017 Menyetujui, Pembimbing Utama
Pembimbing Serta
(Asep Roni, M.Si., Apt)
(Wempi Budiana, M.Si., Apt)
ABSTRAK UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI PADA TUMBUHAN TESPONG
assocep phalum cr epi di oi de dess), DAN (Oenanthe javanica DC), SINTRONG (C r assoce lea tr i ner ner via W) TERHADAP BAKTERI Stap Staphylo hyloco cocccus cus POHPOHAN (Pi lea epidermidis & Pseudomonas aerugenosae
Oleh : NATALIA ANGGRAENI 21131066
Sayuran Sayuran indigenous indigenous merupakan sayuran asli daerah yang telah dikonsumsi dan dikenal lama oleh masyarakat di suatu daerah tertentu. Semakin segar sayursayuran dikonsumsi, semakin tinggi zat berkhasiat ( phytochemicals) phytochemicals) dari sayuran yang diperoleh tubuh. Tespong ( Oenanthe javanica), javanica), sintrong (Crassocephalum (Crassocephalum crepidioides), crepidioides), dan pohpohan ( Pilea ( Pilea trinervia) trinervia) merupakan jenis sayuran indigenous yang aktif memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat khususnya masyarakat wilayah Jawa Barat. Penelitian dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri paling kuat diantara ekstrak tumbuhan tespong, sintrong, dan pohpohan serta mengetahui kandungan senyawa kimia yang aktif bertanggung jawab menghambat bakteri Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas dan Pseudomonas aeruginosa. aeruginosa. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Uji aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan metode mikrodilusi dengan menggunakan tetrasiklin sebagai pembanding. Parameter yang diukur ialah Konsentrasi Hambat Minimum (KHM). Aktivitas antibakteri yang paling kuat ditunjukan oleh ekstrak daun pohpohan dengan nilai KHM 640 µg / mL menghambat bakteri Staphylococcus epidermidis epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa, aeruginosa, serta fraksi n-heksan daun pohpohan dengan nilai KHM 1280 µg / mL mampu
3
menghambat bakteri Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa. Hasil pengujian bioautografi terhadap fraksi yang paling aktif yaitu fraksi nheksana daun pohpohan menunjukan senyawa flavonoid yang diduga sebagai senyawa aktif antibakteri. Kata kunci: Sayuran indigenous, antibakteri, metode mikrodilusi, bioautografi,
Sthaphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, Pilea trinervia W
4
ABSTRAC T ANTI BACTE RI AL ACTI VI TY TE ST OF TE SPONG (Oenanthe javanica DC), SI NTRONG (Cr assocephalum crepidioides), AND POH POH AN (Pilea trinervia W) AGAI NST B ACTE RI A Staphylococcus epidermidis and Pseudomonas aerugenosae
By: NATALIA ANGGRAENI 21131066
Indigenous vegetable is a pure vegetable that has been consumed and long recognized by the people in a particular area. The more fresh vegetables consumed, the higher nutritious substances (phytochemicals) obtain for body. Tespong (Oenanthe javanica), sintrong
(Crassocephalum crepidioides), and
pohpohan (Pilea trinervia) is a type of indigenous vegetables which have antibacterial activity and consumed by many people, especially people of West Java. The study was conducted to determine the most powerful antibacterial activity among leave extracts of tespong, sintrong, and pohpohan and also for search the active chemical content that responsible for inhibiting Staphylococcus epidermidis and Pseudomonas aeruginosa bacteria. The extraction was done by stratified maceration method using ethanol 96 % solvent. Antibacterial activity test was conducted by microdilution method and using tetracycline as a comparison. The measured parameters was the Minimum Inhibitory Concentration (MIC). The highest antibacterial activity was pohpohan leaf extract with MIC values of 640 mg / mL inhibit Staphylococcus epidermidis and Pseudomonas aeruginosa, as well as n-hexane fraction of pohpohan with MIC 1280 ug / mL inhibit Staphylococcus epidermidis and Pseudomonas aeruginosa. The results of bio-autography test of the most active fraction which was n-hexane fraction showed the content of flavonoid which was suspected as the active antibacterial.
5
Keywords : indigenous vegetables, antibacterial, microdilution method, bioautography, Sthaphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, Pilea trinervia W.
6
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : ” UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI PADA TUMBUHAN TESPONG (Oenanthe javanica DC), SINTRONG (Crassocephalum crepidioides), DAN POHPOHAN (Pilea trinervia W) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus
epidermidis & Pseudomonas aerugenosae. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Strata 1 Farmasi Sekolah Tinggi Farmasi Bandung (STFB). Tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang dialami selama penulisan skripsi ini, hal ini karena kemampuan penulis yang terbatas. Berkat bantuan dari berbagai pihak maka pada akhirnya penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan moril maupun materil. Selanjutnya harapan dari penulis, semoga laporan tugas akhir ini ada manfaatnya baik bagi yang berkepentingan maupun bagi masyarakat umum dan juga Civitas Akademika Sekolah Tinggi Farmasi Bandung (STFB). Akhirnya dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan dalam penyusunan laporan tugas akhir ini, kepada yang terhormat: 1. Ketua Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Entris Sutrisno, S.Farm., MH.Kes., Apt. 2. Asep Roni, M.Si., Apt dan Wempi Budiana, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing utama dan pembimbing serta yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dari persiapan hingga selesainya laporan tugas akhir ini. 3. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama perkuliahan di Sekolah Tinggi Farmasi Bandung dan seluruh staf Sekolah Tinggi Farmasi Bandung yang telah banyak memberikan bantuan selama perkuliahan. 4. Bapak, Ibu, dan pihak keluarga yang selalu memberikan do’a dan dukungan selama perkuliahan di Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
7
5. Rekan - rekan angkatan 2013 yang telah memberikan kegembiraan serta semangat selama perkuliahan. 6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu
atas segala
bentuk bantuan baik moril maupun materil yang penulis terima secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan tugas akhir ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan dan pengetahuan penulis yang masih terbatas. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan laporan tugas akhir ini. Akhirnya penulis berharap semoga laporan tugas akhir ini dapat diterima dan berguna untuk berbagai pihak yang memerlukannya. Bandung, Juli 2017
Penulis
8
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan .............................................................................................. 12 I.1 Latar Belakang ............................................................................................. 12 I.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 13 I.3 Batasan Masalah .......................................................................................... 13 I.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 13 I.5 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 14 BAB II Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 15 II.1 Tumbuhan Tespong ( Oenanthe javanica DC.) .......................................... 15 II.1.1 Klasifikasi Tumbuhan .......................................................................... 15 II.1.2 Nama Umum ........................................................................................ 15 II.1.3 Morfologi Tumbuhan ........................................................................... 15 II.1.4 Ekologi dan Penyebaran....................................................................... 16 II.1.5 Kandungan Kimia ................................................................................ 16 II.1.6 Aktivitas Farmakologi.......................................................................... 17 II.2 Tumbuhan Sintrong ( Crassocephalum crepidioides ) ............................... 19 II.2.1 Klasifikasi Tumbuhan .......................................................................... 19 II.2.2 Nama Umum ........................................................................................ 20 II.2.3 Morfologi Tumbuhan ........................................................................... 20 II.2.4 Ekologi dan Penyebaran....................................................................... 20 II.2.5 Kandungan Kimia ................................................................................ 21 II.2.6 Aktivitas Farmakologi.......................................................................... 21 II.3 Tumbuhan Pohpohan ( Pilea trinervia W.) ................................................ 22 II.3.1 Klasifikasi Tumbuhan .......................................................................... 22 II.3.2 Nama Umum ........................................................................................ 23 II.3.3 Morfologi Tumbuhan ........................................................................... 23 II.3.4 Ekologi dan Penyebaran....................................................................... 24 II.3.5 Kandungan Kimia ................................................................................ 24 II.3.6 Aktivitas Farmakologi.......................................................................... 24
9
II.4 Tinjauan Bakteri ......................................................................................... 25 II.5 Antibiotik ( Tetrasiklin ) ............................................................................. 27 II.6 Metode Ektraksi .......................................................................................... 28 II.7 Metode Fraksinasi ....................................................................................... 29 II.8 Metode Kromatografi Lapis Tipis .............................................................. 29 II.9 Pengujian Aktivitas Antibakteri.................................................................. 30 II.9.1 Metode Difusi Agar.............................................................................. 30 II.9.2 Metode Pengenceran ............................................................................ 31 II.9.3 Uji Bioautograf..................................................................................... 32 BAB III Metodologi Penelitian ............................................................................. 34 BAB IV Alat dan Bahan ....................................................................................... 35 IV.1 Alat ............................................................................................................ 35 IV.2 Bahan ......................................................................................................... 35 BAB V Prosedur Kerja.......................................................................................... 36 V.1 Penyiapan Bahan ........................................................................................ 36 V.2 Determinasi Tumbuhan .............................................................................. 36 V.3 Pengolahan Bahan ...................................................................................... 36 V.3.1 Sortasi Basah ........................................................................................ 36 V.3.2 Pencucian ............................................................................................. 36 V.3.3 Pengeringan.......................................................................................... 36 V.3.4 Sortasi Kering ...................................................................................... 37 V.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia .......................................................... 37 V.4.1 Penetapan Kadar Air ............................................................................ 37 V.4.2 Penetapan Kadar Abu Total ................................................................. 37 V.4.3 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam ............................................ 38 V.4.4 Penetapan Kadar Abu Larut Air .......................................................... 38 V.4.5 Penetapan Kadar Sari Larut Air ........................................................... 38 V.4.6 Penetapan Kadar Sari Larut Etanol ...................................................... 38 V.4.7 Penetapan Susut Pengeringan .............................................................. 39 V.5 Skrining Fitokimia ...................................................................................... 39 V.5.1 Pemeriksaan Senyawa Alkaloid ........................................................... 39 V.5.2 Pemeriksaan Senyawa Flavonoid ........................................................ 39
10
V.5.3 Pemeriksaan Senyawa Saponin............................................................ 40 V.5.4 Pemeriksaan Senyawa Kuinon............................................................. 40 V.5.5 Pemeriksaan Senyawa Tannin ............................................................. 40 V.5.6 Pemeriksaan Senyawa Steroid/Triterpenoid ........................................ 40 V.6 Pembuatan Ekstrak ..................................................................................... 40 V.7 Pemantauan Ekstak ..................................................................................... 41 V.8 Pembuatan Fraksi ....................................................................................... 41 V.9 Pemantauan Fraksi...................................................................................... 41 V.10 Uji Aktivitas Antibakteri .......................................................................... 42 V.10.1 Sterilisasi Alat .................................................................................... 42 V.10.2 Pembuatan Media Pembenihan .......................................................... 42 V.10.3 Pembuatan Kultur Bakteri.................................................................. 42 V.10.4 Pembuatan Suspensi Bakteri .............................................................. 42 V.10.5 Metode Uji Aktivitas Antibakteri ...................................................... 42 Alur Bagan Kerja .................................................................................................. 63 DAFTAR PUSTAKA ............................................ Error! Bookmark not defined.
11
BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang
Indonesia terkenal dengan keanekaragaman hayatinya. Keanekaragaman hayati tersebut seperti banyaknya jenis sayuran-sayuran lokal yang berpotensi tinggi memiliki manfaat dan khasiat tertentu. Menurut Ekawati (2009), sayuran yang banyak dimanfaatkan di Indonesia masih sebatas sayuran hijau yang sering terlihat di pasar tradisional maupun supermarket seperti bayam, kangkung, daun pepaya, dan daun singkong, sedangkan beberapa sayuran di Indonesia terutama di wilayah Jawa Barat biasa dikonsumsi secara mentah yang disebut dengan lalapan atau sayuran indigenous. Menurut Suryadi dan Kusmana (2004), sayuran indigenous merupakan sayuran asli daerah yang telah dikonsumsi sejak zaman dahulu dan telah dikenal lama oleh masyarakat di suatu daerah tertentu. Semakin segar sayur-sayuran dikonsumsi, semakin tinggi zat berkhasiat ( phytochemicals) dari sayuran yang diperoleh tubuh. Jenis sayuran yang digunakan pada penelitian ini adalah sayuran yang telah banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan khususnya banyak terdapat di daerah Jawa Barat yaitu tespong (Oenanthe javanica), sintrong (Crassocephalum crepidioides), dan pohpohan ( Pilea trinervia). Menurut Peoloengan dkk. (2006), upaya untuk memberikan nilai tambah dari tanaman yang masih liar salah satunya dengan dilakukan penelitian terhadap kandungan kimia serta khasiatnya. Penelitian berupa pengujian fitokimia dan uji aktivitas biologisnya seperti antimikroba sangat perlu untuk dilakukan. Antimikroba merupakan senyawa kimia yang berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan. Antimikroba meliputi antibakteri, antiprotozoal, antifungi, dan antivirus. Antibakteri termasuk ke dalam antimikroba yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Perry dkk., 2002; Schunack dkk., 1990). Pertumbuhan mikroorganisme terutama mikroorganisme merugikan seperti bakteri dapat menimbulkan masalah, misalnya masalah bau badan. Masalah bau badan dapat dialami oleh setiap orang dan dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti faktor genetik, kondisi kejiwaan, faktor makanan, faktor kegemukan dan bahan pakaian
12
yang dipakai. Keringat yang dikeluarkan seseorang sangat terlibat dalam proses timbulnya bau badan, dimana kelenjar apokrin yang menghasilkannya telah terinfeksi oleh bakteri yang berperan dalam proses pembusukan (Jacoeb, 2007). Beberapa bakteri yang diduga menjadi penyebab bau badan tersebut diantaranya ialah
Staphylococcus
epidermidis,
Corynebacterium
acne, Pseudomonas
aeruginosa dan Streptococcus pyogenes (Endarti et al., 2002). Penggunaan antibiotik yang tidak benar biasanya akan membuat bakteri menjadi bersifat resisten dan tetap memperbanyak diri dalam inangnya. I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut : 1. Apakah ekstrak dan fraksi tumbuhan tespong, sintrong, dan pohpohan memiliki aktivitas
antibakteri
terhadap
bakteri
Staphylococcus
epidermidis dan
Pseudomonas aeruginosa, serta berapa nilai KHM yang diperoleh? 2. Senyawa kimia apakah yang terkandung dalam fraksi diantara tumbuhan tespong, sintrong, dan pohpohan yang memiliki aktivitas antibakteri paling aktif terhadap Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa? I.3 Batasan Masalah Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas tumbuhan yang biasa
digunakan sebagai sayuran dan lalapan yaitu tespong (Oenanthe javanica), sintrong (Cressocephalum crepidioides), dan pohpohan ( Pilea trinervia) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas Aerugenusae dengan menggunakan metode mikrodilusi dan dilakukan uji bioautograf pada ekstrak dan fraksi yang paling aktif. I.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka
tujuan penelitian ini adalah
:
1. Mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak dan fraksi tumbuhan tespong, sintrong, dan pohpohan terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa dengan menentukan nilai KHM.
13
2. Mengetahui kandungan senyawa kimia yang terkandung di dalam fraksi diantara tumbuhan tespong, sintrong, dan pohpohan yang memiliki aktivitas antibakteri paling aktif terhadap Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa. I.5 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fitokimia, Mikrobiologi Sekolah Tinggi
Farmasi Bandung pada bulan Februari – Juni 2017.
14
BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Tumbuhan Tespong ( Oenanthe javanica DC.) II.1.1 Klasifikasi Tumbuhan Divisi : Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida ( Dicots )
Anak Kelas
: Rosidae
Bangsa
: Apiales
Suku
: Apiaceae
Marga
: Oenanthe
Jenis
: Oenanthe javanica (Blume) DC. (Cronquist,A. 1981)
Nama lain
: Dasyloma javanica MIQ., Falcaria javanica DC., Oenanthe
laciniata Zoll., Oenanthe stolonifera Wall., Sium javanicum B.L., dan Sium graecum Lour (Sasmitamiharja,D et al.,1994) ; (Heyne K, 1987)
GambarII.1 Daun Tespong ( Oenanthe javanica ) (foto: istimewa)
II.1.2 Nama Umum Di Indonesia Oenanthe javanica dikenal dengan nama yang berlainan sesuai
dengan daerah masing-masing, antara lain bacarongi (Batam), bambung, tespong (Sunda), seladren (Jawa), pampung, pampung alas, batjarongi, peeopo (malaysia), water dropwort, water celery, Indian pennywort (Sasmitamiharja D, 1994); (Heyne K, 1987); (Ochse JJ,1931) II.1.3 Morfologi Tumbuhan Oenanthe javanica merupakan tumbuhan berupa perdu tegak, tinggi mencapai
10-150 cm, daunnya bertangkai, dan mempunyai anak daun yang tersusun
15
berselang. Bunga berwarna putih yang tersusun satu tandan (Sasmitamiharja D, 1994) ); (Ochse JJ,1931) II.1.4 Ekologi dan Penyebaran Oenanthe javanica berasal dari benua Asia dan sudah lama tersebar di Asia
Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur, mulai dari Pakistan sampai Jepang, Taiwan dan Cina bagian utara sampai daerah tropis di bagian Australia yaitu Quensland. Oenanthe javanica banyak tumbuh liar di rawa, sawah, sepanjang selokan dan padang rumput yang lembab. Tumbuh baik di dataran rendah sampai daerah pegunungan dan tempat terbuka (Sasmitamiharja, D., 1994) Budidaya Oenanthe javanica membutuhkan tanah yang subur, basah, dan pada posisi terkena sinar matahari (Huxley. A.,1992). Oenanthe javanica tumbuh di semua dataran China dan dataran rendah Jepang serta mencakup daerah yang bersalju. Sub-spesies Oenanthe javanica rosthornii ditemukan pada ketinggian sampai dengan 4000 meter di Cina dan kadang juga ditemukan di habitat kering seperti padang rumput di pinggiran hutan (Flora of china 1994). II.1.5 Kandungan Kimia Oenanthe javanica tidak mengandung racun/toksin seperti yang terkandung dalam
spesies Oenanthe lainnya. Oenanthe javanica mengandung minyak atsiri dengan 117 komponen senyawa yang dapat digunakan sebagai fungisida. Oenanthe javanica mengandung vitamin C, B2 dan vitamin A. Selain itu tanaman ini juga kaya akan mineral seperti P, Fe dan Ca. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dinyatakan bahwa Oenanthe javanica mengandung senyawa flavonoid (turunan flavonoid 5,3’,4’ trihidroksi flavon) dan senyawa golongan asam fenolat yaitu asam kafeat, asam para hidroksi benzoat, asam protokatekuat dan asam vanilat (Setiadin,2005);(Sasmitamiharja, D,1994). Berbagai laporan telah dipublikasikan bahwa javan water dropwort digunakan untuk mencegah penyakit hati alkoholik selama jangka waktu yang panjang. Javan water dropwort (Oenanthe javanica) menghambat lahan basah di banyak negara Asia (Jeong, Y et al,2013). Hal ini dilaporkan bahwa Oenanthe javanica mengandung flavonoid (Miean, K. H. and Mohamed, S. 2001.), kolin, rutamin,γ fagarine dan coumarine (Zuo,et al ,2012). Selain itu Oenanthe javanica memiliki antioksidan; bahan-bahan seperti vitamin E, eugenilbeta-D-gluco-pyranoside,
16
pinoresinol beta-D glucopyranoside, oenanthoside A dan 2,3-ethylenedioxy-5allylphenyl beta-D-gluco-pyranoside (Ma, C. J. et al, 2010) II.1.6 Aktivitas Farmakologi A. Secara Empiris Di Indonesia tanaman ini digunakan oleh masyarakat sebagai sayuran dan lalap.
Selain banyak digunakan sebagai lalap, Oenanthe javanica sering digunakan sebagai anti nyeri pinggang, demam, flu, memar, digigit ular dan kalajengking (Rostinawati,2010). Batang dan daun segar Oenanthe javanica banyak digunakan sebagai bumbu dalam menu makanan Korea (Seo dan Baek, 2005), dan digunakan pula dalam obat tradisional China untuk pengobatan demam, keputihan, gondok, sulit buang air kecil dan hipertensi (Kim et al., 2013). B. Secara Ilmiah
1. Antimikroba Berdasarkan penelitian Rostinawati (2010) Oenanthe javanica memiliki aktivitas sebagai antimikroba dengan pengujian ekstrak etanol herba Tespong ( Oenanthe javanica DC) terhadap Escherichia coli, Stapylococcus aureus dan Candida albicans secara in vitro menggunakan metode difusi dengan metode sumur sebagai pencadang diperoleh hasil nilai KHM dari herba Tespong ( Oenanthe javanica DC) untuk Escherichia coli dan Stapylococcus aureus yaitu 0,17 g/mL dan untuk Candida albicans 0,06 g/mL. Nilai kesetaraan 1 mg ekstrak etanol herba Tespong (Oenanthe javanica DC) terhadap antibiotik tetrasiklin HCl adalah 1,4427x10-3 mg, untuk Escherichia coli 1,466x10-3 mg, sedangkan Staphylococcus aureus dengan antibiotik ketokonazol 2,5697 x 10-3 mg pada Candida albicans. (Rostinawati,2010) Berdasarkan peneliatan Hong-yeol Lee et al (2001) Oenanthe javanica memiliki aktivitas sebagai antibakteri dengan pengujian ekstrak metanol dan fraksinasi daun, batang, dan akar dari Oenanthe javanica terhadap Sigella dysenteriae ATCC 9361 menggunakan metode difusi cakram kertas dan diperoleh hasil ekstrak metanol daun Oenanthe javanica lebih efektif menghambat bakteri uji pada konsentrasi 0,5 g eq./disc. Fenol dan fraksi netral dari fraksinasi lanjut cukup
17
menghambat aktivitas bakteri dengan konsentrasi hambat minimum fenol dan fraksi netral melawan Sigella dysenteriae ATCC 9361 masing-masing 400ug/disc dan 550 ug/disc (Hong-yeol Lee et al, 2001) Berdasarkan penelitian S.K Sharma et al skrining secara in vitro dari minyak essensial Oenanthe javanica menunjukkan efek yang poten dapat menghambat pertumbuhan dari beberapa bakteri seperti Eschericia coli, Bacillus subtilis, Salmonella typhi, Staphylococcus citreu.(S.K Sharma et al). 2. Antihepatitis Berdasarkan penelitian Yan Quan Han (2008) Oenanthe javanica memiliki aktivitas sebagai antihepatitis dengan mengevaluasi efek anti Hepatitis B Virus (HBV) dari total fenolat Oenanthe javanica secara invitro dan invivo, hasil menunjukkan bahwa total fenolat pada Oenanthe javanica efisien dapat menghambat replikasi virus hepatitis B di sel baris Hep G2.2.15 secara in vitro dan menghambat replikasi virus hepatitis B secara in vivo. (Yan-Quan Han et al, 2008) 3. Hepatoprotektor Berdasarkan penelitian Guo et al (2016) Oenanthe javanica memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor dengan meneliti efek hepatoprotektif total phenolic dari Oenanthe javanica terhadap D-galactosamine (D-GalN) akibat luka hati pada tikus, dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa total phenolic pada Oenanthe javanica dapat meningkatkan kelangsungan hidup model gagal hati akut secara signifikan (Guo Aiet al, 2016) 4. Antioksidan Dalam penelitian sebelumnya, efek antioksidan Oenanthe javanica pada DPPH radikal, lipid peroksidasi, and DNA oksidasi dievaluasi dalam sistem sel bebas. Efek dari Oenanthe javanica pada produksi melanin ditentukan oleh dopaquinone (DOPA) assay dan aktivitas tirosinase. Selain itu, ekspresi protein tirosinase, serta enzim antioksidan diperiksa menggunakan analisis Western blot. Dalam studi tersebut, diamati bahwa Oenanthe javanica menunjukkan penghambatan efek pada peroksidasi lipid dan memblokir oksidasi DNA yang disebabkan oleh radikal hidroksil yang dihasilkan oleh reagen Fenton. Dalam analisis Western blot, Oenanthe javanica meningkatkan tingkat ekspresi tirosinase. Temuan ini 18
menunjukkan bahwa Oenanthe javanica memiliki aktivitas antioksidan, dapat mengatur regulasi aktivitas tirosinase dan produksi melanin dalam melanosit. (Eun-Jeong Kwon and Moon-Moo Kim, 2013) 5. Antidiabetes Berdasarkan penelitian Yang XB et al (2000) telah dipelajari efek antidiabetes dari flavonoid Oenanthe javanica dengan menyuntikkan tikus secara i.v dengan aloksan 90 mg.kg-1 untuk menginduksi diabetes. Hasil menunjukkan Oenanthe javanica mengurangi glukosa darah pada tikus normal setelah induksi, pelepasan insulin baik dalam tikus normal maupun pada tikus diabetes, menurunkan serum trigliserida dan menaikkan amylase serta menurunkan pancreas pada tikus diabetes (Yang XB et al, 2000) II.2 Tumbuhan Sintrong ( Cressocephalum crepidioides ) II.2.1 Klasifikasi Tumbuhan Divisi : Plantae
Sub divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Crassocephalum
Jenis
: Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore.
Sinonim
: Gynura crepidioides Benth
Nama lokal
: Sintrong (Cronquist, 1981).
19
Gambar II.2 Cressocephalum crepidioides (foto: istimewa)
II.2.2 Nama Umum Crassocephalum crepidioides biasa digunakkan sebagai sayuran yang dikonsumsi
mentah/ lalapan oleh masyarakat khususnya Jawa Barat, masyarakat lokal Jawa Barat biasa menyebutnya dengan nama Sintrong/ Salentrong . II.2.3 Morfologi Tumbuhan Sintrong memiliki batang yang tegak, sedikit berair, dan merupakan tumbuhan
herba tahunan dengan tinggi mencapai 100-180 cm. Batangnya sedikit besar, halus, bergaris dan bercabang. Daunnya tersusun spiral dan menyirip, tidak memiliki stipula, daun yang lebih rendah memiliki tangkai daun yang lebih pendek, sedangkan daun bagian atas tidak memiliki tangkai. Helai daun berbentuk elips hingga lonjong dengan panjang 6-18 cm dan lebar 2-5-5 cm, serta berbulu halus. Bunganya berbentuk silinder dengan panjang 13-16 mm dan lebar 5-6 mm yang tersusun atas banyak bunga membentuk seperti cawan. II.2.4 Ekologi dan Penyebaran Sintrong terdapat di seluruh daerah tropis Afrika, dari Senegal Timur ke Etiopia
dan Afrika Selatan, serta ditemukan di Madagaskar dan Mauritius. Tumbuhan ini menyebar ke daerah tropis dan sub tropis lainnya seperti Asia, Australia, Fuji, Tonga, Samoa dan Amerika (Grubben dan Denton, 2004 : 226-227).
20
II.2.5 Kandungan Kimia
Kandungan kimia
yang terdapat dalam
daun
sintrong
adalah
saponin,
flavonoid dan polifenol (Kusdianti et al, 2008). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Adjatin et al (2013) sintrong juga mengandung senyawa tanin, flavonoid dan steroid. Polifenol berperan dalam memberi warna pada tumbuhan seperti
warna
daun. Kandungan polifenol dapat melindungi sel tubuh dari
kerusakan akibat radikal bebas, penghambat enzim hidrolisis dan oksidatif dan bekerja sebagai antibakteri (Pourmouran, 2006). II.2.6 Aktivitas Farmakologi A. Secara Empiris Sintrong memiliki bau yang kurang sedap yang mungkin disebabkan oleh
kandungan senyawa di dalamnya. Karena itu, tumbuhan ini dianggap sebagai gulma dan sering ditemukan di lahan pertanian yang terlantar, tempat pembuangan, perkebunan, dan di halaman belakang rumah yang kaya bahan organik (Zollo, dkk., 2002). Selain dapat digunakan sebagai lalapan, daun sintrong digunakan sebagi obat bisul
(Kusdianti et
al, 2008). Secara tradisional
sintrong
juga
digunakan
sebagai nutraceutikal dan juga dipercaya bisa mengobati berbagai macam penyakit, seperti untuk mengatasi gangguan pencernaan, sakit kepala, sakit perut, mengobati luka, antelmentik, antiinflamasi, antidiabetes, dan antimalaria (Adjatin et al, 2013).
21
B. Secara Ilmiah
1. Antibakteri Berdasarkan penelitian oleh Lestari dkk (2015) telah dilakukan uji
aktivitas
antibakteri dengan metode difusi agar. Hasil pengujian diperoleh kadar
total
senyawa fenolik ekstrak etanol daun sintrong adalah 1,8581 g GAE/100 g ekstrak dan konsentrasi hambat minimum ekstrak terhadap Escherichia coli ATCC 89391 sebesar 8% setara dengan konsentrasi Tetrasiklin HCl 8,698 µg/ml serta konsentrasi hambat minimum terhadap Staphylococcus aureus ATCC 65381 sebesar 8% setara dengan konsentrasi Tetrasiklin HCl 11,913 µg/ml. 2. Analgetik Berdasarkan penelitian Yumniati, dkk ( 2016) telah dilakukan pengujian aktivitas analgetika dari ekstrak etanol daun sintrong (Crassocephalum crepidioides) pada mencit. Aktivitas analgetika di uji dengan menggunakan metode jentik ekor. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode Kruskal Wallis dan uji lanjutan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
etanol
daun
sintrong
pada
dosis 14 g/kg memberikan aktivitas
analgetika yang sebanding dengan pemberian tramadol pada dosis 6,5 mg/kg. Darihasil tersebut dapat disimpulkan bahwa daun sintrong memiliki aktivitas analgetika yang telah di uji terhadap mencit dengan metode jentik ekor. 3. Antioksidan Berdasarkan penelitian pasilala dkk (2016) dilakukan uji aktivitas antioksidan terhadap sintrong ( Crassocephalum crepidioides) dan hasil
uji
aktivitas
antioksidan dengan metode DPPH diperoleh fraksi yang paling baik digunakan sebagai antioksidan
adalah fraksi etil asetat dengan nilai
IC50 sebesar
82.89003 ppm. II.3 Tumbuhan Pohpohan ( Pilea trinervia W.) II.3.1 Klasifikasi Tumbuhan Divisi : Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida (Dicots)
Sub Kelas
: Hamamelidae
22
Bangsa
: Urticales
Suku
: Urticaceae
Marga
: Pilea
Spesies
: Pilea trinervia W. (cronquist, 1981)
Gambar II.3. Pohpohan ( Pilea trinervia W. ) (foto: istimewa)
II.3.2 Nama Umum Di Indonesia Pilea trinervia dikenal dengan nama pohpohan di daerah Sunda
(Jawa Barat ) dan biasanya digunakan sebagai sayuran dan lalapan. II.3.3 Morfologi Tumbuhan Pohpohan memiliki ukuran daun 6-20 cm x 2-10 cm, dan tangkai daunnya
memiliki panjang 1-5 cm. Helaian daun berbentuk bulat meruncing (oblonglanceolate) atau berbentuk elips, tepi daun bergerigi (serrate) dengan dasar daun tumpul dan ujungnya runcing, serta pertulangan daun melengkung (van Steenis, 2010). Kedudukan bunga pada tangkai (infloresensce) pada 5-30 cm, dengan tangkai bunga lebih panjang daripada tangkai daun. Pohpohan memiliki bunga tidak sempurna (terdiri dari bunga berada di bawah bunga
jantan dan betina) biasanya bunga betina
jantan, berwarna putih atau hijau keputihan, dengan
benang sari sebanyak kepala putik (Siemonsma dan Piluek, 1994).
23
II.3.4 Ekologi dan Penyebaran Pohpohan diketahui berasal dari daerah Himalaya tropis bagian timur dan Jawa.
Penyebaran untuk tanaman ini cukup luas, yaitu dari India, Srilangka, Taiwan, Jepang, Filipina dan Indonesia. Popohan dapat tumbuh subur di daerah pegunungan, khususnya di daerah Jawa Barat pada ketinggian 500-2700 m di atas permukaan laut. Pohpohan tumbuh di daerah lembab, baik yang mengandung sedikit atau banyak humus, di hutan-hutan dan di pinggir-pinggir jalan. Pohpohan dapat dibiakkan menggunakan biji (Oschse, 1980). II.3.5 Kandungan Kimia Menurut Amalia dkk. (2006), daun pohpohan yang diekstrak menggunakan n-
heksana, etil asetat dan etanol mengandung flavonoida, alkaloida dan steroida atau triterpenoida. Menurut Desmiati (2001), daun segar pohpohan mengandung asam askorbat, senyawa fenol, α-tokoferol, dan β-karoten yang berfungsi sebagai antioksidan. II.3.6 Aktivitas Farmakologi A. Secara Empiris Menurut Ochse (1980), secara empiris daun pohpohan sering dikonsumsi
masyarakat sebagai lalapan, karena daunnya sangat lunak dan memiliki aroma yang khas atau berbau harum yang disukai. Daun muda dari pucuk pohpohan merupakan bagian utama yang dikonsumsi. Pohpohan juga
sering ditanam
sebagai tanaman pagar atau ornamental. B. Secara Ilmiah
1. Antidiabetes Berdasarkan penelitian Rahayuningsih et al (2015), telah dipelajari aktivitas antidiabetes infusa daun pohpohan ( Pilea trinervia Wight.) dengan dosis 0,62 g/kg BB mencit, 1,2 g/kg BB mencit dan 2,4 g/kg BB mencit yang diberikan secara oral dengan metode uji toleransi glukosa dan sebagai induktor digunakan glukosa 2 g/kg BB mencit. Sementara itu kontrol positif digunakan glibenklamid dosis 0,65 mg/kg BB mencit. Analisis data dengan metode ANOVA dan LSD. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antidiabetes infusa daun pohpohan (Pilea trinervia Wight.), ketiga dosis uji memiliki aktivitas antidiabetes, dengan
24
persentase penurunan kadar glukosa darah terbaik sebesar 21,53% dihasilkan oleh dosis 0,62 g/kg BB mencit. 2. Antibakteri Berdasarkan penelitian Khudry (2014) diketahui bahwa Pohpohan ( Pilea trinervia W.) berpotensi menjadi antimikrobia. Ekstrak daun Pilea trinervia W. diekstraksi secara maserasi dengan pelarut metanol, etil asetat, dan n-heksana kemudian hasil ekstrak dipekatkan dan diujikan pada mikrobia uji menggunakan metode difusi dengan mengukur zona hambat yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukan ekstrak Pilea trinervia W tidak efektif terhadap bakteri Gram negatif namun aktif terhadap bakteri Gram positif. Ekstrak etil asetat menunjukan hasil yang terbaik dengan rata-rata zona hambat 0,1545 cm2. Nilai Hasil penentuan KHM menunjukan bahwa ekstrak etil asetat dengan kadar 50 % efektif terhadap bakteri Gram positif, sedangkan bakteri Gram negatif tidak efektif. 3. Antioksidan Berdasarkan penelitian Dwiyani (2008) ekstrak dan fraksi daun Pilea trinervia memiliki aktivitas antioksidan yang diuji menggunakan metode penghambatan radikal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) dengan mengukur serapannya pada panjang gelombang 515 nm menggunakan metanol sebagai blangko. Uji aktivitas antioksidan pada 8 fraksi menunjukkan bahwa fraksi memiliki aktivitas antioksidan dengan persen penghambatan radikal DPPH sebesar 30.39% pada konsentrasi 150 ppm dan 55.39% pada konsentrasi 350 ppm. Uji fitokimia menunjukkan bahwa fraksi ini mengandung golongan steroid/triterpenoid. II.4 Tinjauan Bakteri Bakteri adalah organisme uniseluler dan prokariot serta umumnya tidak memiliki
klorofil dan berukuran renik (mikroskopis). Ada beberapa bentuk dasar bakteri, yaitu bulat (tunggal: coccus jamak : cocci), batang atau silinder (tunggal : bacillus jamak: bacilli), dan spiral yaitu berbentuk batang melengkung atau melingkarlingkar. Umumnya bakteri adalah monomorfik (memiliki hanya satu bentuk) namun ada bakteri tertentu yang memiliki banyak bentuk (pleomorfik). Sebagian besar memiliki diameter dengan ukuran 0,2 – 2,0 µm dan panjang kisaran 2 - 8 µm. Biasanya sel-sel bakteri yang muda berukuran jauh lebih besar daripada selsel yang tua. Bentuk dan ukuran suatu baketri dapat dipengaruhi oleh faktor 25
lingkungan seperti temperatur inkubasi, umur kultur, dan komposisi media pertumbuhan (Pratiwi T. Sylvia, 2008). Berdasarkan pewarnaan gram, bakteri dibagi menjadi dua yaitu bakteri gram positif dan gram negatif. Bakteri gram negatif mengandung lipid, lemak, atau substansi seperti lemak dalam persentase lebih tinggi daripada yang dikandung bakteri gram positif. Dinding sel bakteri gram negatif lebih tipis daripada dinding sel bakteri gram positif (Pelezar,1998) II.4.1 Bakteri Staphylococcus epidermidis Sistematika dari Staphylococcus epidermidis sebagai berikut :
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Bacili
Ordo
: Bacillales
Family
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus epidermidis (Sale, 1961)
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri mikroflora normal yang terdapat pada tubuh manusia seperti bagian kulit kepala, dahi, pipi, auditori kanal eksternal, daun telinga, aksila, parineum, lengan kaki, dan jaringan di antara kaki. Staphylococcus epidermidis memiliki adhesin yang terkait dengan patogenesis penyebab infeksi kulit ( Kosasih Yunni, 2010). Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri opotunistik yang menyerang individu ketika sistem tubuh lemah. Ciri-ciri dari bakteri Staphylococcus epidermidis adalah berbentuk coccus, berdiameter 0,5-1,5 µm. Staphylococcus epidermidis berkoloni mengerombol menyerupai buah anggur, koloni biasanya berwarna putih atau krem. Bakteri ini merupakan Gram positif (Pramasanti, 2008). Staphylococcus epidermidis bersifat aerob fakultatif. Bakteri ini tidak memiliki protein A pada dinding selnya. Bersifat koagulasi negatif, dalam keadaan anaerob tidak meragi manitol (Todar, 2011). II.4.2 Bakteri Pseudomonas aerugenosae Sistematika dari Pseudomonas aeruginosa sebagai berikut :
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Proteobacteria
26
Class
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Pseudomonadales
Family
: Pseudomonadadaceae
Genus
: Pseudomonas
Species
: Pseudomonas aeruginosa (Todar’s et al., 2004)
Pseudomonas aeruginosa dapat menginfeksi seseorang yang mengalami gangguan pada sistem pertahanan tubuhnya, misalnya pada seseorang yang menderita luka bakar, pada orang yang mengalami gangguan metabolisme dan pada penderita yang mendapat pengobatan radiasi. Bakteri ini dapat menginfeksi hampir seluruh jaringan tubuh yang masuk melalui lesi lokal yang ada di permukaan tubuh. Selanjutnya akan memasuki pembuluh darah dan menyebar pada jaringan tubuh yang lain. Pseudomonas aeruginosa dapat bergerak dan berbentuk batang, ukurannya 0,6 x 2 µm, merupakan bakteri gram negatif dan terlihat sebagai bentuk tunggal, ganda, dan kadang-kadang dalam rantai pendek, motil, dan aerobik (Jawetz et al., 2001). Pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar, menghasilkan nanah warna hijau biru, meningitis jika masuk melalui fungsi lumbal, dan infeksi saluran kencing jika masuk melalui kateter dan instrumen atau karena larutan irigasi. Penyerangan pada saluran nafas, khususnya respirator yang tercemar, mengakibatkan pneumonia nekrotika (Jaewetz et al., 2001) II.5 Antibiotik ( Tetrasiklin ) Antibiotik ialah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh mikroba, terutama fungi, yang
memiliki khasiat untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tan Hoan Tjay et al, 2002) Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi harus memiliki sifat toksisitas selektif artinya toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. (Pratiwi, T. Sylvia.2008). Pemilihan antibiotik pembanding didasarkan pada spektrum kerja dari antibiotik dan semisensitifitas mikroba terhadap antibiotik sehingga diharapkan akan didapat hasil kerja pembanding yang optimum. Antibiotik yang digunakan sebagai pembanding adalah kloramfenikol yang merupakan antibiotika yang umumnya
27
bekerja secara bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi dapat bekerja bakterisid. Tetrasiklin merupakan antibiotik yang mengganggu proses sintesis protein. Antibiotik ini juga merupakan antibiotik pilihan yang mampu menghambat bakteri baik gram positif maupun gram negatif. Mekanisme kerja tetrasiklin yaitu menghambat sintesis protein dan subunit ribosomal bakteri (Nonong dkk , 2013). II.6 Metode Ektraksi Ekstraksi merupakan proses memisahkan senyawa terlarut (solut) ke dalam
pelarut (solvent). Senyawa yang bersifat anorganik atau disebut senyawa polar dapat terlarut oleh pelarut polar, sedangkan senyawa organik atau non-polar dapat terlarut oleh pelarut non-polar. Sifat tersebut dikenal dengan istilah like dissolve like (Pecsok dkk., 1976). Menurut Harborne (1987) ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi. Umumnya sebelum dilakukan ekstraksi, pencegahan akan oksidasi maupun hidrolisis senyawa dalam tumbuhan perlu dilakukan dengan cara pengeringan atau perendaman dengan etanol mendidih. Pengeringan tumbuhan dilakukan dalam keadaan terawasi untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak. Tumbuhan yang dikeringkan harus dilakukan secepat-cepatnya, tanpa menggunakan suhu tinggi dan memiliki aliran udara yang baik. Setelah tumbuhan kering, tumbuhan dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama sebelum dianalisis menggunakan
pelarut
yang
sedikit
dan
(Harborne, 1987).Ekstraksi
dilakukan
berulang
kali
akan
menghasilkan hasil ekstraksi yang lebih baik daripada ekstraksi satu kali dengan pelarut yang banyak (Pecsok dkk., 1976). Metode ekstraksi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri dari maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus terdiri dari sokletasi, arus balik, dan ultrasonik
(Harborne,
1987).
Ekstraksi
sederhana
merupakan
ekstraksi
meggunakan pelarut namun tidak menggunakan tambahan perlakuan lain seperti panas seperti maserasi yang dapat disebut dengan ekstraksi dingin, sedangkan ekstraksi khusus menggunakan perlakuan lain seperti pemanasan, atau pemecahan sel menggunakan ultrasonik dalam mendapatkan senyawa yang diinginkan
28
(Moelyono, 1996). Maserasi yaitu metode penyarian simplisia yang dapat menggunakan bermacam-macam pelarut pada suhu kamar selama waktu tertentu. Simplisia dalam keadaan serbuk yang halus akan lebih mudah diekstraksi jikadibandingkan dengan simplisia utuh. Menurut Meloan (1999) dalam Yuningsih (2007) maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas. Metode ini dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu pelarut dengan lama waktu tertentu, biasanya dilakukan selama sehari semalam (24 jam) tanpa menggunakan pemanasan. Kelebihan metode maserasi diantaranya metodenya sederhana, tidak memerlukan alat yang rumit, relatif murah, dan dengan metode ini dapat menghindari kerusakan komponen senyawa karena tidak menggunakan panas sehingga baik untuk sampel yang tidak tahan panas. Kelemahan metode ini antara lain adalah dari segi waktu yang lebih lama dan penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut yang digunakan relatifbanyak. II.7 Metode Fraksinasi Fraksinasi merupakan cara pemisahan yang bertujuan untuk memisahkan senyawa
golongan utama dari kandungan yang satu dengan kandungan yang lain. Fraksinasi dapat dilakukan dengan secara partisi maupun kromatografi. Pemisahan senyawa dengan proses partisi dipengaruhi terutama oleh perbedaan polaritas solut yang dipisahkan. Hal ini disebabkan karena polaritas merupakan faktor yang menentukan daya larut. Senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa non polar akan masuk ke pelarut non polar. Pada proses partisi sistemnya terdiri dari dua jenis pelarut yang berbeda polaritasnya. Hal ini menyebabkan dua jenis pelarut tidak dapat campur. Campuran solut tidak sama kelarutannya pada kedua jenis pelarut sehingga dapat terjadi pemisahan. Campuran dua komponen dimasukkan dalam pelarut, kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah dan dikocok agar bercampur sempurna. Setelah itu didiamkansampai kedua pelarutnya memisah (Anwar,1994). II.8 Metode Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis adalah suatu metode pemisahan yang menggunakan plat
atau lempeng kaca yang sudah dilapiskan adsorben yang bertindak sebagai fase
29
diam. Fase bergerak ke atas sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram. Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahan dan sensitif. Pada prinsipnya KLT dilakukan berdasarkan penggunaan fase diam untuk menghasilkan pemisahan yang lebih baik. Fase diam yang biasa digunakan dalam KLT adalah serbuk silika, alumina, tanah diatome, dan selulosa. Pengerjaan KLT yaitu larutan cuplikan sekitar 1% diteteskan dengan pipet mikro pada jarak 1-2 cm dari batas plat. Setelah eluen dijenuhkan, plat siap untuk dikembangkan dengan fase gerak (eluen) yang sesuai dengan jarak eluen dari batas plat mencapai 10-15 cm. Noda pada plat diamati langsung dengan menggunakan lampu UV atau dengan menggunakan pereaksi semprot penampak bercak. Setelah noda dikembangkan dan divisualisasikan, identitas noda dinyatakan dengan harga Rf ( Retention factor ) (Anwar,1994). II.9 Pengujian Aktivitas Antibakteri II.9.1 Metode Difusi Agar Metode difusi agar terdiri dari : 1. Metode Perforasi Metode perforasi adalah media agar yang masih cair pada suhu 45-50°C
dicampurkan dengan suspensi mikroba pada cawan petri steril dan dibiarkan membeku. Setelah membeku kemudian dibuat lubang-lubang dengan perforator yang berdiameter 6-8 mm. Zat yang akan diuji dimasukkan ke dalam lubang tersebut lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Diameter hambat mikroba diukur dengan jangka sorong. 2. Metode Silinder Metode silinder adalah pengujian aktivitas dengan menggunakan silinder gelas
steril dengan diameter 4,4 mm. Silinder steril diletakkan diatas permukaan agar yang telah membeku, yang telah terdapat suspense mikroba pada permukaan agarnya. Kemudian zat yang akan diuji dimasukkan ke dalam silinder. Diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Aktivitas antimikroba ditujukan dengan adanya daerah bening pada sekitar cakram kertas.
30
3. Metode Turbidimetri Ke dalam tabung reaksi ditambahkan 1 mL larutan antibiotik dan 9 mL inokulum.
Diinkubasi pada suhu 30°C selama 3-4 jam. Setelah diinkubasi, ditambahkan 0,5 ml formaldehid. Serapan diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 530 nm. Kadar antibiotik ditentukan berdasarkan perbandingan serapannya terhadap serapan standar. Penetapan aktivitas antibiotik secara invitro selain berguna untuk penetapan kadar dapat pula digunakan untukmenguji kepekaan suatu antibiotik terhadap mikroba. Kepekaan mikroba terhadap antibiotik dapat dilihat dari konsentrasi minimum untuk inhibisi dapat dilakukan dengan menguji sederetan konsentrasi antibiotik yang dibuat dengan cara pengenceran, metode yang digunakan dapat dengan cara turbidimetri atau cara difusi agar. Konsentrasi terendah dimana pertumbuhan antibiotik terhambat dinyatakan sebagai konsentrasi hambat minimum (KHM). II.9.2 Metode Pengenceran Metode pengenceran terdiri dari
:
1. Metode Pengenceran Tabung Zat yang akan diuji, disuspensikan ke dalam media yang cocok dengan
menggunakan tabung steril, ke dalam tabung dimasukkan pembenihan cair, dalam tabung pertama cara yang paling mudah mempersiapkan microplatemicrodilution adalah dengan menggunakan suatu alat untuk mengencerkan 10 ml zat antimikroba ke dalam MHB. Pengenceran ini dilakukan untuk memasukkan 0,1 (±0,02 mL) ke masing-masing well dari 96 well pada microplate. Organisme uji pada konsentrasi 2x106/mL dan 50 µL masing-masing dari pengenceran antibiotik dan suspensi organisme dicampur dan diinkubasi pada 35°C selama 18-24 jam. 2. Metode Pengenceran Agar Zat yang akan diuji aktivitas antimikroba, dicampurkan dengan agar steril yang
masih mencair pada suhu 45-50°C sampai homogen dalam tabung reaksi steril. Kemudian dituangkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku. Mikroba uji dioleskan pada permukaan agar dengan menggunakan jarum ose secara merata. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ditandai dengan tidak tumbuhnya mikroba pada permukaan agar dan konsentrasi tertentu hasil pengenceran.
31
3. Metode microdilution broth Metode ini disebut “ Microdilution”, karena menyangkut penggunaan volume
kecil borth pada microplate yang memiliki Well berbentuk bulat atau kerucut. Setiap well d apat diisi sebanyk 0,1 mL MHB (Muller-Hinton Broth). Cara yang paling mudah mempersiapkan microplate adalah dengan menggunakan suatu alat untuk mengencerkan 10 mL zat antimikroba ke dalam MHB. Pengenceran ini dilakukan untuk memasukkan 0,1 (±0,02)Ml ke masing-masing well dari 96 well pada microplate. Organisme uji dari masing-masing pengenceran antibiotik dan suspensi organisme dicampur dan diinkubasikan pada 35°C selama 18-24 jam. Konsentrasi terendah yang menunjukkan hambatan pertumbuhan merupakan MIC. Tes ini menggunakan media standar muller-hinton borth dan agar, sebagai standar dari NCCLS (NCCLS,2009) ; (Turahman, 2013). II.9.3 Uji Bioautograf Metode bioautografi merupakan metode sederhana yang digunakan untuk
menunjukan
adanya
aktivitas
antibakteri
atau
antikapang.
Metode
ini
menggabungkan penggunaan teknik kromatografi lais tipis dengan respon dari mikroorganisme yang diuji berdasarkan aktivitas biologi suatu analit yang dapat berupa antibakteri, antikapang, dan antiprotozoa. Bioautografi dapat digunakan untuk mencari antibakteri atau antikapang baru, kontrol kualitas antimikroba, dan medeteksi golongan senyawa (Jawetz, 2005). Salah satu keuntungan metode bioautografi dibandingkan dengan metode lain seperti difusi agar dan pengenceran adalah dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas biologi secara langsung dari senyawa yang kompleks, terutama yang berkaitan dengan kemampuan suatu senyawa untuk menghambat pertumbuhan mikroba, selain itu untuk pemisahan dan identifikasi. Kelebihan lainnya, metode bioautografi tersebut cepat, mudah untuk dilakukan, murah, hanya membutuhkan peralatan sederhana dan interpretasi hasilnya relatif mudah dan akurat. Metode bioautografi dibedakan sebagai berikut : A. Bioautografi Kontak Bioautografi dilakukan dengan meletakan lempeng kromatogram hasil elusi
senyawa yang akan diuji diatas media padat yang sudah diinokulasi dengan
32
mikroba uji, adanya senyawa antimikroba ditandai dengan adanya daerah jernih yang tidak ditumbuhi mikroba (Turahman, 2013). B. Bioautografi Agar Overlay Bioautografi agar overlay dilakukan dengan cara lempeng kromatogram dilapisi
dengan agar yang masih cair yang sudah diinokulasikan dengan mikroba uji. Setelah agar mengeras, lempeng kromatogram diinkubasi dan diwarnai dengan tetrazolium dye. Penghambatan dapat dideteksi dengan terbentuknya pita (band ) (Turahman, 2013). C. Bioautografi Langsung Bioautografi langsung dilakukan dengan menyemprot lempeng kromatogram
dengan mikroba uji dan diinkubasi. Zona hambat yang terbentuk divisualisasikan dengan menyemprot lempeng kromatogram dengan tetrazolium dye (Turahman, 2013).
33
BAB III Metodologi Penelitian
Penelitian mengenai aktivitas antibakteri diantara sayuran indigenous yaitu daun Tespong (Oenanthe javanica), Sintrong (Crassocephalum crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia) yang dilakukan dalam beberapa tahap, diawali dengan penyiapan bahan dan pengolahan bahan, determinasi tumbuhan, Skrining fitokimia, pembuatan ekstrak daun Tespong (Oenanthe javanica), Sintrong (Crassocephalum crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia) dengan pelarut etanol 96% secara maserasi kemudian dipekatkan. Selanjutnya dilakukan analisis kromatografi pada ekstrak yang diperoleh dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan fase gerak n-heksan:etil asetat (7:3), kemudian dilihat di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm, dan menggunakan penampak bercak universal H₂SO₄ 10% dalam metanol, penampak bercak spesifik untuk flavonoid yaitu sitroborat, penampak bercak anisaldehid untuk minyak atisiri dan penampak bercak FeCl3 10% dalam metanol untuk golongan fenol, lalu dilanjutkan dengan fraksinasi dengan metode ECC pada ekstrak yang paling aktif sebagai antibakteri. Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antibakteri ekstrak daun Tespong (Oenanthe javanica), Sintrong (Crassocephalum crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa dengan menentukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dengan metode mikrodilusi menggunakan pembanding antibiotik Tetrasiklin. Dan terakhir dilakukan pengujian bioautografi terhadap fraksi yang paling aktif sebagai antibakteri untuk mengamati golongan senyawa yang berperan aktif sebagai antibakteri.
34
BAB IV Alat dan Bahan IV.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, Erlenmeyer,
beaker glass, gelas ukur, seperangkat alat maserasi, rotary vaporator , bejana kromatografi, pipet tetes, corong pisah, aluminium foil, cawan petri, plat KLT, batang pengaduk, alat semprot pereaksi semprot, spektrofotometri, lampu spirtus, inkubator, microplate, jarum ose IV.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman Tespong ( Oenanthe
javanica), Sintrong ( Artemisia annua), dan Pohpohan ( Pilea trinervia), bakteri yang digunakan yaitu bakteri Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa. Pelarut yang digunakan adalah etanol 96%, air suling, asam klorida encer P, kloroform, ammonia encer, anisaldehida, sitroborat, pereaksi Mayer ( raksa (II) klorida, kalium iodida), pereaksi Buchardat (iodium, kalium iodid), besi (III) klorida, gelatin 1%, natrium hidroksida, n-heksana, etil asetat, dan metanol serta Muller Hinton Agar, dan Muller-Hinton Broth. Dan sebagai pembanding digunakan Kloramfenikol
35
BAB V Prosedur Kerja V.1 Penyiapan Bahan Bahan yang digunakan yaitu tumbuhan Tespong ( Oenanthe javanica), Sintrong
(Crassocephalum crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia)yang diperoleh dari perkebunan tumbuhan obat Manoko Lembang, Bandung. Bagiantumbuhan yang digunakan yaitu daun dengan bobot masing-masing tanaman sebanyak 5 kg. Daun yang sudah dikumpulkan , dicuci dengan air mengalir, lalu ditiriskan, selanjutnya dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung. V.2 Determinasi Tumbuhan Untuk memastikan identitas dari tumbuhan Tespong (Oenanthe javanica),
Sintrong (Crassocephalum crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia), maka dilakukan determinasi di Herbarium Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. V.3 Pengolahan Bahan Pengolahan bahan yang dilakukan meliputi sortasi basah, pencucian, pengeringan,
sortasi kering, dan perajangan V.3.1 Sortasi Basah Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan daun Tespong ( Oenanthe javanica), Sintrong (Cressocephalum crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia) V.3.2 Pencucian Proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengalir. V.3.3 Pengeringan Pengeringan terhadap
daun
Tespong
(Oenanthe
javanica),
Sintrong
(Crassocephalum crepidioides a), dan Pohpohan ( Pilea trinervia) dilakukan secara langsung. Tujuannya pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.
36
Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu bahan tumbuhan V.3.4 Sortasi Kering Tujuan sortasi kering yaitu untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-
bagian tumbuhan yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. V.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi penetapan kadar abu, penetapan
kelarutan, penetapan kadar air, dan pentapan susut pengeringan V.4.1 Penetapan Kadar Air Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluen). Ke
dalam labu alas bulat dimasukkan 200 mL toluen dan 2 mL air suling di destilasi selama 2 jam, dibiarkan mendidih selama 30 menit didinginkan dan volume air pada tabung penerima dibaca. Selanjutnya ke dalam tabung dimasukkan 5 gram serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama lalu dipanaskan hati-hati selama 5 menit. Setelah toluen mendidih kecepatan tetesan diatur dua tetes tiap detik hingga sebagian air tersuling, kemudian kecepatan penyulingan dinaikkan hingga empat tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna volume dibaca sesuai kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa, kadar air dihitung dalam persen (%) (FHI, 2008).
% Kadar air = 100% x
(n−n) w
V.4.2 Penetapan Kadar Abu Total Penetapan kadar abu dilakukan dengan cara menimbang 2-3 gram serbuk
simplisia yang telah digerus dimasukkan ke dalam krus platina atau silikat yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijarkan perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 450°C, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap simplisia yang telah dikeringkan di udara (FHI, 2008).
37
V.4.3 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam Abu yang diperoleh pada kadar abu total dididihkan dalam 25 mL asam klorida
encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut asam klorida dikumpulkan, dan disaring dengan kertas saring yang bebasabu, lalu dicuci dengan air panas dan dipijarkan hingga bobot tetap dalam krus yang telah dipijarkan dan ditara. Kadar abu tidak larut asam dihitung persen b/b terhadap bahan yang telah dikeringkan (FHI, 2008). V.4.4 Penetapan Kadar Abu Larut Air Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dalam 20 mL air
selama 5 menit. Bagian yang tidak larut disaring dengan kertas saring bebas air, kemudian dicuci dengan air panas. Residu dari kertas bebas abu dipijarkan sampai bobot tetap. Perbedaan bobot sesuai dengan jumlah abu yang larut dalam air dihitung dalam persen b/b terhadap bahan yang dikeringkan di udara.(FHI, 2008).
% Kadar abu larut air=
Bobot abu total− abu tidak larut air bobot simplisia
x 100%
V.4.5 Penetapan Kadar Sari Larut Air Sebanyak 5 gram serbuk simplisia di maserasi selama 24 jam dengan 100 mL air
dan 2 tetes kloroform, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama enam jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan yang telah ditara, dipanaskan sisa pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari larut dalam air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (FHI, 2008).
% Kadar sari larut air =
bobot ekstrak 5 bobot simplisia
x 100%
V.4.6 Penetapan Kadar Sari Larut Etanol Sebanyak 5 gram serbuk simplisia di maserasi selama 24 jam dengan 100 mL
etanol 95%, menggunakan labu bersumbat selama berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian di biarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindari penguapan etanol 95%, uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan yang telah ditara, dipanaskan sisa pada suhu 105°C hingga bobot tetap.
38
Hitung kadar dalam persen sari yag larut dalam etanol 95%, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (FHI, 2008). V.4.7 Penetapan Susut Pengeringan Sebanyak 5 gram simplisia dimasukkan ke dalam cawan. Kemudian dikeringkan
perlahan-lahan hingga suhu 105°C. Setelah itu bobot ditimbang. Pengeringan dilakukan hingga bobot konstan, susut pengeringan dihitung terhadap bahan awal (Agoes,2012). V.5 Skrining Fitokimia Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan golongan senyawa
yang terdapat dalam suatu tumbuhan. Skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia daun Tespong (Oenanthe javanica), Sintrong (Crassocephalum crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia) yang meliputi : V.5.1 Pemeriksaan Senyawa Alkaloid Sebanyak 2 gram sampel dilembabkan dengan amonia 25% v/v dan ditambah 20
mL kloroform dan digerus. Campuran disaring dan filtrat yang terdiri dari larutan organik diambil kemudian digunakan untuk pengujian selanjutnyadan disebut larutan A. Larutan A diekstraksi dua kali dengan HCl 10% v/v dan ekstrak yang diperoleh disebut larutan B. Larutan A diteteskan pada kertas saring kemudian disemprot dengan pereaksi dragendroff. Pengamatan untuk hasil positif adalah terbentuknya warna merah atau jingga pada kertas saring. Kedalam masingmasing 5 mL larutan B dalam tabung reaksi ditambahkan beberapa tetes pereaksi dragendroff dan pereaksi mayer pada tabung lain. Reaksi positif jika ada penambahan pereaksi dragendroff terbentuk endapan merah bata atau endapan putih pada penambahan pereaksi mayer (Farnsworth, 1966). V.5.2 Pemeriksaan Senyawa Flavonoid Sebanyak 1 gram sampel ditambah 100 mL air panas didihkan selama 5 menit,
disaring. Filtrat yang diperoleh digunakan untuk penapisan senyawa golongan saponin, kuinon dan tanin, selanjutnya disebut larutan C. 5 mL larutan C ditambahkan serbuk magnesium dan 2 mL asam klorida , kemudian kocok dengan 10 mL amil alkohol. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna jingga, kuning, atau merah pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).
39
V.5.3 Pemeriksaan Senyawa Saponin Sebanyak 10 mL larutan C dalam tabung reaksi, dikocok vertikal selama 10 detik
dan didiamkan. Hasil pengamatan ditunjukkan dengan terbentuknya busa. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang stabil dalam tabung reaksi ditambahkan 1 tetes asam klorida 2 N (Farnsworth, 1966). V.5.4 Pemeriksaan Senyawa Kuinon Sebanyak 5 mL larutan C ditambahkan beberapa tetes larutan natrium hidroksida
1N. Apabila terbentuk warna merah maka sampel menunjukkan adanya kuinon. Namun dapat terjadi reaksi positif palsu dengan tannin. Maka pemeriksaan dilanjutkan dengan penambahan gelatin kemudian endapannya disaring dan filtratnya ditambahkan natrium hidroksida 1 N. Bila tetap terbentuk warna merah maka menunjukkan adanya kuinon (Farnsworth, 1966). V.5.5 Pemeriksaan Senyawa Tannin Sebanyak 5 mL larutan C direaksikan dengan larutan besi (III) klorida 1% (FeCl 3
1%). Jika terbentuk warna biru kehitaman menunjukkan adanya tannin. Kemudian 5 mL larutan C ditambahkan larutan gelatin, jika terbentuk endapan putih menunjukkan adanya tannin (Farnsworth, 1966). V.5.6 Pemeriksaan Senyawa Steroid/Triterpenoid Sebanyak 1 gram sampel dimaserasi dengan 20mL eter selama 2jam kemudian
disaring. Filtrat sebanyak 2 mL diuapkan dalan cawan penguap. Kedalam residu ditambakan pereaksi Liebermann-Burchard yaitu 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Jika terbentuk warna merah ungu menunjukan adanya triterpenoid dan apabila terbentuk warna hijau biru maka menunjukan adanya steroid (Farnsworth, 1966). V.6 Pembuatan Ekstrak Serbuk kering daun Tespong ( Oenanthe javanica), Sintrong (Crassocephalum
crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia) diekstraksi dengan cara dingin yaitu menggunakan maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96% selama 3 x 24 jam, sehingga didapatkan ekstrak etanol
96% daun Tespong, Sintrong, dan
Pohpohan, kemudian ekstrak dipekatkan menggunakan rotary vaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat.
40
V.7 Pemantauan Ekstak Pemantauan ekstrak dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) dengan fase diam plat Silika GF 254 dan fase gerak campuran pengembang n-heksana:etil asetat (7:3). Ekstrak dipantau secara visual, dibawah sinar lampu UV 254 nm dan 366 nm. Kemudian menggunakan penampak bercak H2SO4 10% dalam metanol sebagai penampak bercak universal, senyawa fenol menggunakan penampak bercak FeCl 3, minyak atisiri menggunakan penampak bercak
anisaldehida,
Dragendroff ,
dan
senyawa
senyawa
alkaloid flavonoid
menggunakan menggunakan
penampak
bercak
penampak
bercak
sitroboratyang diamati dibawah sinar lampu UV 366 nm. V.8 Pembuatan Fraksi Fraksinasi dilakukan dengan metode ekstraksi cair-cair dengan menggunakan
3 pelarut yaitu pelarut n-heksana, pelarut etil asetat, dan pelarut metanol air. Sebanyak 20 g ekstrak pekat dilarutkan dalam metanol lalu dimasukkan kedalam corong pisah, kemudian ditambahkan n-heksana, dikocok, didiamkan sampai terdapat 2 lapisan yang terpisah, lapisan tersebut dipisahkan sehingga didapat fraksi n-heksana dan fraksi metanol air, fraksinasi tersebut dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Kemudian ditambahkan etil asetat pada lapisan metanol air, dikocok, didiamkan sampai terdapat 2 lapisan yang terpisah dan fraksinasi dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Lapisan tersebut dipisahkan sehingga didapat fraksi etil asetat dan fraksi metanol air. V.9 Pemantauan Fraksi Pemantauan fraksi n-heksan, etil asetat dan metanol air dilakukan dengan
menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan fase diam plat Silika GF254 dan fase gerak campuran pengembang n-heksan:etil asetat (7:3). Ekstrak dipantau secara visual, dibawah sinar lampu UV 254 nm dan 366 nm. Kemudian menggunakan penampak bercak H 2SO4 10% dalam metanol sebagai penampak bercak universal, senyawa fenol menggunakan penampak bercak FeCl3, minyak atisiri menggunakan penampak bercak anisaldehida, senyawa alkaloid menggunakan penampak bercak Dragendroff , dan senyawa flavonoid menggunakan penampak bercak sitroborat yang diamati dibawah sinar lampu UV 366 nm.
41
V.10 Uji Aktivitas Antibakteri V.10.1 Sterilisasi Alat Untuk pengujian aktivitas
antibakteri
diperlukan
persiapan
awal
yaitu
mensterilkan alat-alat yang akan digunakan, meliputi wellplate/microplate, pipet volume, tabung reaksi, Erlenmeyer, jarum ose, spatel, dan cawan petri. Alat-alat ini disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121 o C selama 15 menit. V.10.2 Pembuatan Media Pembenihan Media pembenihan yang digunakan yaitu : 1. Mueller Hinton Broth Ditimbang sebanyak 21 gram mueller hinton broth dilarutkan dalam 1 liter
aquadest lalu dipanaskan sambil diaduk hingga homogen, kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. 2. Mueller Hinton Agar Ditimbang sebanyak 36 gram mueller hinton agar dilarutkan dalam 1 liter
aquadest lalu dipanaskan sambil diaduk hingga homogen, kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. V.10.3 Pembuatan Kultur Bakteri Bakteri ditanam diatas agar Mueller Hinton Agar, kemudian diinkubasi selama
18-24 jam dengan suhu 37 oC. V.10.4 Pembuatan Suspensi Bakteri Satu ose mikroba uji disuspensikan dalam 10 mL NaCl 0,9% dan kekeruhannya
dibandingkan dengan suspensi McFarland 0,5. Cara pembuatan McFarland 0,5 yaitu sebanyak 0,5 mL larutan natrium klorida 0,048 M (BaCl 22H2O 1,175% b/v) dicampurkan dengan 99,5 mL larutan asam sulfat 0,18 M (H 2SO4 1% v/v) dalam labu ukur dan dihomogenkan. Kemudian diukur larutan McFarland hingga berada pada rentang absorban 0,08-0,1 pada panjang gelombang 625 nm (NCCLS, 2003) V.10.5 Metode Uji Aktivitas Antibakteri 1. Mikrodilusi Disiapkan microplate steril lalu dimasukkan 100 µL media cair (MHB) pada
kolom pertama microplate (sebagai kontrol negatif/media). Ditambahkan 5 µL 42
suspensi mikroba ke dalam 10 mL media cair, kemudian homogenkan denganalat vortex. Dimasukkan campuran tersebut sebanyak 100µL pada kolom ke dua sampai kolom ke dua belas, kolom kedua (sebagai kontrol positif/ bakteri). Ditambahkan 100 µL ekstrak yang telah diencerkan pada kolom kedua belas, lalu dihomogenkan. Pada kolom ke dua belas diambil 100 µL lalu dimasukkan pada kolom kesebelas dan dilakukan hal yang sama hingga kolom ketiga (kolom ketiga dengan konsentrasi ekstrak terendah). Diinkubasi plat pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kemudian diamati adanya bagian yang jernih (tidak ada pertumbuhan bakteri), lalu konsentrasi terkecil dimana tidak terlihat pertumbuhan mikroba ditetapkan sebagai KHM (Konsentrasi Hambat Minimum). Bakteri dalam kolom yang tidak menunjukkan pertumbuhan (bagian yang jernih), diambil masing-masing 5 µL lalu ditanamkan pada media MHA untuk media tumbuh bakteri kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 oC, jika tidak terlihat pertumbuhan bakteri pada media agar maka konsentrasi tersebut ditetapkan sebagai KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum) (NCCLS, 2003). 2. Bioautografi Pengujian bioautografi dilakukan dengan menggunakan metode bioautografi
kontak. Diletakan lempeng kromatogram hasil elusi senyawa yang akan diuji diatas media padat yang sudah diinokulasi dengan mikroba uji selama 1,5 jam, lalu dilakukan inkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam tanpa lempeng KLT, adanya dugaan senyawa antimikroba ditandai dengan adanya daerah jernih yang tidak ditumbuhi mikroba. Pengujian bioautografi dilakukan terhadap ekstrak dan fraksi yang paling aktif sebagai antibakteri diantara ekstrak dan fraksi daun Tespong (Oenanthe javanica), Sintrong (Crassocephalum crepidioides), dan Pohpohan ( Pilea trinervia). Lempeng KLT di kembangkan dengan menggunakan eluen n-heksana : etil asetat (7:3). Kemudian disemprot menggunakan penampak bercak H 2SO4 10% dalam metanol sebagai penampak bercak universal, senyawa fenol menggunakan penampak bercak
FeCl3, minyak atisiri menggunakan penampak bercak
anisaldehida, senyawa alkaloid menggunakan penampak bercak Dragendroff , dan senyawa flavonoid menggunakan penampak bercak sitroborat yang
diamati
dibawah sinar lampu UV 366 nm.
43
BAB VI Hasil dan Pembahasan VI.1 Penyiapan Bahan
Penyiapan bahan meliputi pengumpulan bahan, determinasi tanaman dan pengolahan bahan menjadi simplisia. Daun tespong, sintrong, dan pohpohan segar yang digunakan diperoleh dari Kebun Percobaan Manoko Lembang, Bandung. Daun tespong, sintrong, dan pohpohan masing-masing dikeringkan pada suhu 40oC, kemudian diserbuk untuk memperbesar luas permukaan sampel yang akan mempermudah pengeluaran senyawa saat diekstraksi. Serbuk masing-masing tanaman kemudian disimpan pada wadah yang tertutup rapat. VI.2 Determinasi Bahan
Determinasi tanaman dilakukan untuk memastikan identitas tanaman yang akan digunakan. Determinasi dilakukan di Herbarium Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung dan Departement Biologi Laboratorium Taksonomi tumbuhan Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjajaran Bandung. Hasil determinasi menunjukan sampel adalah Tespong (Oenanthe javanica (Blume) DC ), Sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S.Moore ), dan Pohpohan ( Pilea trinervia Wight). VI.3 Karakterisasi Sampel
Karakterisasi simplisia ini bertujuan untuk mengetahui mutu dan kualitas dari simplisia yang digunakan. Pemeriksaan karakterisasi simplisia ini meliputi penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu larut air, penetapan kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol dan kadar air. Pemeriksaan kadar abu dilakukan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal dari suatu bahan. Pemeriksaan kadar abu total dilakukan dengan terkandung
dalam
tujuan untuk menentukan kadar senyawa anorganik yang simplisia. Pemeriksaan
kadar
abu
larut
air
untuk
menentukan kadar abu internal sedangkan kadar abu tidak larut asam untuk menentukan kadar abu eksternal seperti pasir dan tanah yang menempel. Kemudian pemeriksaan kadar sari larut air dan larut etanol dilakukan untuk
44
memberikan gambaran awal jumlah kandungan suatu senyawa dimana pada dasarnya bahan dilarutkan di dalam pelarut air untuk kadar sari larut air dan pelarut etanol untuk kadar sari larut etanol. Kemudian pemeriksaan kadar air dilakukan untuk mengetahui kadar air yang terkandung di dalam simplisia tersebut dimana kadar air maksimal di dalam simplisia tidak boleh lebih dari 10%. Jika kadar air yang diperoleh lebih dari 10% maka dapat mempengaruhi kualitas dari simplisia karena memperbesar kemungkinan pertumbuhan mikroorganisme. Adapun hasil dari pemeriksaan karakterisasi simplisia yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel VI.I. Tabel VI.I Hasil Karakterisasi Sampel
Uji karakterisasi
Hasil pengamatan % (b/b) Tespong Sintrong Pohpohan
Kadar Abu Total
4,45
5,78
4,99
Kadar Abu Larut Air Kadar Abu Tidak larut Asam
2,87
2,905
2,417
1,3
1,94
1,34
Kadar Sari Larut Air
30
25
20
10 *
10 *
8 *
Kadar Sari larut Etanol Kadar Air Keterangan : * % (v/b) VI.4 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung di dalam simplisia. Hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai informasi awal untuk mengetahui senyawa kimia apa saja yang terkandung dalam tanaman. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa simplisia daun tespong mengandung senyawa alkaloid, saponin, tanin, kuinon, triterpenoid. Sedangkan daun sintrong dan pohpohan mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin, kuinon, dan triterpenoid. Hasil dari skrining yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel VI.2.
45
Tabel VI.2 Hasil Skrining Fitokimia N o
Pemeriksaa n
Pereaksi
Alkaloid
Flavonoid
3
Saponin
4
5 6
Tannin
Kuinon Steroid/ Terpenoid
T
S
P
(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
endapan jingga
(+)
(-)
(-)
lapisan alkohol
(-)
(+)
(+)
1 tetes HCl 2N
busa stabil
(+)
(+)
(+)
+FeCl3 1%
biru/ hijau kehitaman
(+)
(+)
(+)
endapan putih
(-)
(-)
(-)
merah
(+)
(+)
(+)
merah ungu/
(-)
(-)
(-)
hijau biru
(+)
(+)
(+)
Mayer Buchardat Serbuk Mg +
2
Hasil
endapan merah bata endapan putih
Dragendroff 1
Hasil Positif (+)
HCl : Etanol (1:1) + amil alkohol
+ Larutan gelatin + Larutan NaOH 1 N Lieberman Buchardat
Keterangan : (+) mengandung senyawa yang diuji () tidak mengandung senyawa yang diuji
VI.5 Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan untuk menarik suatu senyawa atau zat yang dapat larut didalam pelarutnya. Ekstraksi daun tespong, sintrong, dan pohpohan dilakukan dengan menggunakan metode maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%. Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Prinsip maserasi yaitu cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam sel, adanya perbedaan konsentrasi zat aktif didalam dan diluar sel ini maka muncul gaya difusi. Pemilihan metode maserasi dikarenakan bahan yang digunakan tidak diketahui stabilitasnya terhadap pemanasan. Masing-masing hasil maserasi dari tanaman dengan pelarut etanol 96% dipekatkan dengan menggunakan rotary vaporator hingga didapatkan ekstrak kental. Proses ekstraksi dilakukan hingga diperoleh ekstrak kental dan hasil rendemen ekstrak dapat dilihat pada Tabel V.3.
46
47
Tabel VI.3 Hasil Randemen Ekstrak Simplisia
Berat Sampel (g)
Ekstrak Pekat (g)
Randemen (%)
Daun Tespong
500
53.0
10.6
Daun Sintrong
537
57.6
10.72
Daun Pohpohan
577
62.4
10.81
VI.6 Fraksinasi
Fraksinasi dilakukan untuk memisahkan komponen senyawa yang ada didalam ekstrak berdasarkan kepolarannya. Ekstrak etanol daun pohpohan sebagai ekstrak yang paling aktif sebagai antibakteri ditimbang sebanyak 20 gram ditambahkan pelarut metanol dan di fraksinasi dengan metode ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksan, dan etil asetat secara bertahap. Sehingga diperoleh fraksi nheksan, frkasi etil asetat dan fraksi metanol-air. Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan corong pisah. Adapun hasil randemen fraksi dapat dilihat pada Tabel VI.4 Tabel VI.4 Hasil Randemen Fraksi Fraksi
Berat Ekstrak (g)
N-Heksan
20
Etil Asetat
20
Metanol-air
20
Berat Fraksi (g)
Randemen (%)
VI.7 Pemantauan Ekstrak dan Fraksi
Ekstrak daun tespong, sintrong, dan pohpohan serta fraksi n-heksan, etil asetat, dan metanol air dari daun pohpohan sebagai tanaman yang paling aktif sebagai antibakteri dipantau menggunakan metode KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak n-heksana-etil asetat (7:3), klorofom-metanol (9:1), dan etil asetat-asam format-air (8:1:1). Penampak bercak yang digunakan adalah H 2SO4
48
10% sebagai penampak bercak universal, FeCl 3 10% sebgai penampak bercak golongan senyawa fenol, sitroborat sebagai penampak bercak senyawa flavonoid, dan anisaldehida sebagai penampak bercak minyak atsiri. Hasil pemantauan secara kualitatif dapat dilihat pada Gambar VI.4, Gambar VI.5, dan Gambar VI.6. Pemantauan ekstrak dan fraksi dengan fase gerak non polar [n-heksan:etil asetat (7:3)]
(a)
(d)
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar VI.4 : (a) pengembang n-heksan:etilasetat (7:3) pada UV 366, (b) pengembang n-heksan:etilasetat UV 254, (c) penampak bercak sitroborat UV 254, (d) penampak bercak anisaldehid, (e) penampak bercak anisaldehida UV 254, (f) penampak bercak FeCl3 10%, (1) ekstrak tespong, (2) ekstrak sintrong, (3) ekstrak pohpohan, (4) fraksi n-heksan, (5) fraksi etil asetat, (6) fraksi metanol-air
49
Pemantauan ekstrak dan fraksi dengan fase gerak semi polar [kloroform:metanol (9:1)]
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar VI.5 : (a) pengembang kloroform:metanol (9:1) pada UV 366, (b) pengembang kloroform:metanol (9:1) UV 254, (c) penampak bercak sitroborat UV 254, (d) penampak bercak anisaldehid, (e) penampak bercak anisaldehid UV 254, (f) penampak bercak FeCl 3 10%, (1) ekstrak tespong, (2) ekstrak sintrong, (3) ekstrak pohpohan, (4) fraksi n-heksan, (5) fraksi etil asetat, (6) fraksi metanol-air
50
Pemantauan ekstrak dan fraksi dengan fase gerak polar [etil asetat:asam format:air (8:1:1)]
(a)
(d)
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar VI.6 : (a) pengembang etil asetat:asam format:air (8:1:1) pada UV 366, (b) pengembang etil asetat:asam format:air (8:1:1) UV 254, (c) penampak bercak sitroborat UV 254, (d) penampak bercak anisaldehid, (e) penampak bercak anisaldehid UV 254, (f) penampak bercak FeCl 3 10%, (1) ekstrak tespong, (2) ekstrak sintrong, (3) ekstrak pohpohan, (4) fraksi n-heksan, (5) fraksi etil asetat, (6) fraksi metanol-air Berdasarkan pemantauan secara kualitatif diketahui bahwa ekstrak tespong mengandung
mengandung
flavonoid,minyak
atsiri,dan
senyawa-senyawa
golongan fenolik, ekstrak sintrong mengandung flavonoid dan senyawa golongan fenol, ekstrak dan fraksi pohpohan mengandung senyawa-senyawa golongan fenol, flavonoid, dan minyak atsiri.
51
VI.8 Uji Mikrodilusi
Pengujian aktivitas antibakteri terhadap ekstrak daun tespong, daun sintrong, dan daun pohpohan dilakukan terhadap bakteri gram positif yaitu Staphylococcus epidermidis dan bakteri gram negatif Pseudomonas aerugenusae. Pada pengujian ini digunakan konsentrasi 10240 µg/mL sebagai larutan induk. Hasil pengujian aktivitas antibakteri dapat dilihat pada Tabel VI.5 dan Tabel VI.6 Tabel VI.5 Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Tespong, Sintrong, dan Pohpohan terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis Ekstrak terhadap Staphylococcus epidermidis Pohpohan
Tespong
Sintrong
Tetrasiklin
Konsentrasi ( µg/mL) K (-)
K (+)
-
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10 20 40 80 160 320 640 1280 2560 5120
Uji aktivitas antibakteri metode mikrodilusi terhadap ekstrak daun tespong, sintrong dan pohpohan terhadap bakteri gram positif Staphylococcus epidermidis diperoleh hasil bahwa daun tespong memiliki KHM 1280 µg/mL, daun sintrong 5120 µg/mL, dan daun pohpohan 640 µg/mL, sedangkan untuk tetrasiklin sebagai pembanding 10 µg/mL, sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak daun pohpohan lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak daun tespong dan sintrong, tetapi lebih aktif pembanding dibandingkan dengan ekstrak. Setelah dilakukan uji KBM, hasil pengujian bakteri menandakan bahwa terdapat KBM dari daun pohpohan konsentrasi 2560 µg/mL, untuk daun tespong dan sintrong terdapat pertumbuhan (Lampiran C).
52
Tabel VI.5 Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Tespong, Sintrong, dan Pohpohan terhadap bakteri Pseudomonas aerugenusae Ekstrak terhadap Staphylococcus epidermidis Pohpohan
Sintrong
Tespong
Tetrasiklin
Konsentrasi ( µg/mL) K (-)
K (+)
-
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10 20 40 80 160 320 640 1280 2560 5120
Uji aktivitas antibakteri metode mikrodilusi terhadap ekstrak daun tespong, sintrong dan pohpohan terhadap bakteri negatif Pseudomonas aerugenusae diperoleh hasil bahwa daun tespong memiliki KHM 5120 µg/mL, daun sintrong 2560 µg/mL, dan daun pohpohan 640 µg/mL, sedangkan untuk tetrasiklin sebagai pembanding 10 µg/mL, sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak daun pohpohan lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak daun tespong dan sintrong sebagai antibakteri pada bakteri gram negatif, tetapi lebih aktif pembanding dibandingkan dengan ekstrak. Setelah dilakukan uji KBM, hasil pengujian bakteri menandakan bahwa terdapat KBM dari daun pohpohan dan daun tespong pada konsentrasi 5120 µg/mL, untuk daun sintrong terdapat pertumbuhan (Lampiran C). Pengujian aktivitas antibakteri terhadap fraksi n-heksan, etil asetat, dan metanolair dari ekstrak daun pohpohan sebagai ekstrak teraktif dilakukan terhadap bakteri yang sama pada pengujian sebelumnya, yaitu bakteri gram positif Staphylococcus epidermidis dan bakteri gram negatif Pseudomonas aerugenusae. Pada pengujian ini digunakan konsentrasi yang sama 10240 µg/mL sebagai larutan induk. Hasil pengujian aktivitas antibakteri dapat dilihat pada Tabel VI.7 dan Tabel VI.8
53
Tabel VI.5 Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi N-Heksan, Fraksi Etil Asetat, dan Fraksi Metanol-Air Daun Pohpohan Pohpohan Terhadap Bakteri Staphylococcus epidermidis Fraksi terhadap Staphylococcus epidermidis N-Heksan
Etil Asetat
Metanol-Air
Tetrasiklin
Konsentrasi ( µg/mL) K (-)
K (+)
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10 20 40 80 160 320 640 1280 2560 5120
Uji aktivitas antibakteri metode mikrodilusi terhadap fraksi n-heksan, etil asetat, dan metanol-air daun pohpohan terhadap bakteri gram positif Staphylococcus epidermidis epidermidis diperoleh hasil bahwa fraksi n-heksan memiliki KHM 1280 µg/mL, fraksi etil asetat 5120 µg/mL, dan fraksi metanol-air 2560 µg/mL, sedangkan untuk tetrasiklin sebagai pembanding 10 µg/mL, sehingga dapat dikatakan bahwa fraksi n-heksan lebih kuat dibandingkan dengan fraksi lainnya, tetapi lebih aktif pembanding dibandingkan dengan fraksi. Setelah dilakukan uji KBM, hasil pengujian bakteri menandakan bahwa masih terdapat pertumbuhan pada ketiga fraksi (Lampiran C).
54
Tabel VI.5 Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi N-Heksan, Fraksi Etil Asetat, dan Fraksi Fraksi Metanol-Air Daun Pohpohan Pohpohan Terhadap Bakteri Pseudomonas Bakteri Pseudomonas aerugenusae Fraksi terhadap
Konsentrasi ( µg/mL)
Pseudomonas aerugenusae
N-Heksan
Etil Asetat
Metanol-Air
Tetrasiklin
K (-)
K (+)
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10 20 40 80 160 320 640 1280 2560 5120
Uji aktivitas antibakteri metode mikrodilusi terhadap fraksi n-heksan, etil asetat, dan metanol-air daun pohpohan terhadap bakteri gram negatif Pseudomonas aerugenusae diperoleh aerugenusae diperoleh hasil bahwa fraksi n-heksan memiliki KHM 1280 µg/mL, fraksi etil asetat 5120 µg/mL, dan fraksi metanol-air 5120 µg/mL, sedangkan untuk tetrasiklin sebagai pembanding 10 µg/mL, sehingga dapat dikatakan bahwa fraksi n-heksan lebih kuat dibandingkan dengan fraksi lainnya seperti pengujian pada bakteri gram positif, tetapi lebih aktif pembanding dibandingkan dengan fraksi. Setelah dilakukan uji KBM, hasil pengujian bakteri menandakan bahwa masih terdapat pertumbuhan pada ketiga fraksi (Lampiran C). VI.9 Uji Bioautografi
Pengujian bioautografi dilakukan untuk menduga golongan senyawa yang aktif sebagai antibakteri. Pengujian bioautografi dilakukan dengan mengkontakan lempeng KLT yang telah ditotolkan fraksi yang paling aktif setelah dilakukan uji aktivitas antibakteri kemudian diinkubasi dan diamati adanya zona bening pada sekitar plat KLT. Hasil pengujian aktivitas antibakteri fraksi n-heksan daun
55
pohpohan yang paling aktif kemudian dilakukan uji bioautografi. KLT untuk uji bioautografi menggunakan eluen n-heksana-etil asetat (7:3). Hasil bioautografi menunjukkan adanya zona bening pada plat KLT. Hasil nilai Rf dibandingkan dengan plat KLT yang telah disemprot dengan penampang bercak, hasil yang didapatkan dari nilai Rf mendekati dengan nilai Rf flavonoid. Dari hasil bioautografi tersebut diduga senyawa yang aktif sebagai antibakteri yaitu flavonoid. Hasil bioautografi dapat dilihat di Gambar VI.7 dan Gambar VI.8 Gambara VI.7 Uji Bioautografi terhadap Staphylococcusepidermidis
Gambara VI.8 Uji Bioautografi terhadap Pseudomonas terhadap Pseudomonas aerugenusae
56
Bab VII Penutup VII.1 Kesimpulan
Ekstrak daun pohpohan merupakan ekstrak yang paling aktif sebagai antibakteri, dan fraksi n-heksan dari daun pohpohan diketahui sebagai fraksi yang paling aktif sebagai antibakteri baik bakteri gram positif maupun negatif, serta senyawa yang diduga bertanggung jawab sebagai antibakteri pada daun pohpohan yaitu senyawa flavonid. VII.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti isolasi agar diketahui senyawa flavonoid apa dari daun pohpohan yang bertanggung jawab sebagai antibakteri.
57
DAFTAR PUSTAKA
Adjatin, A. dkk. (2013). Proximate, mineral and vitamin C composition of vegetable Gbolo [Crassocephalum rubens (Juss. ex Jacq.) S. Moore and C. crepidioides (Benth.) S. Moore] . Benin. Agoes. (2012) : Sediaan Farmasi Padat (SFI-6), Penerbit ITB, Bandung. Anwar, C. (1994) : Pengantar Praktikum Kimia Organik . Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Aryanti, Tri ME, et al. (2006). Uji Daya Antimalaria Artemisia spp. Terhadap Plasmodium Falciparum. Majalah Farmasi Indonesia. 17(2): 81-84. Cronquist,
Arthur.
(1981). An
Integrated
System
of
Classification
of
Flowering Plants. Columbia University Press. New York. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Indonesia Edisi
IV.
Jakarta:
Makanan. (1995). Farmakope
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. Ekawati. R. (2009). Pengaruh Naungan Tegakan Pohon Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Beberapa Tanaman Sayuran Indigenous . Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Endarti, Yulinah, E and Soediro, I. (2002). Kajian Aktivitas Asam Usnat terhadap Bakteri Penyebab Bau Badan [Online]. Tersedia: http://bahanalam.fa.itb.ac.id/detail.php?id=121 (15 Okt 2016) Eun-Jeong Kwon and Moon-Moo Kim, (2013). Effect of Oenanthe javanica Ethanolic Extracts on Antioxidant Activity and Melanogenesis in Melanoma Cells. Department of Chemistry, Dong-Eui University, Busan 614-714, Korea. Farnsworth, N. R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plant . Journal of Pharmaceutical Sciences 55 (3), 226-276. Flora of China, (1994). Online version of the Flora-an excellent resource giving basic info on habitat and some uses.
58
Geldre E Van, et al. (1997). State of Art of The Production of Antimalarial Compound Artemisinin in Plants. Planta Moleculer Biology 33:199209. Guo Ai, Zheng-Ming Huang, Qing-Chuan Liu, Yan-Quan Han, Xi Chen. (2016). The protective effect of total phenolics from Oenanthe Javanica on acute
liver
failure
induced
by
D-galactosamine.
Journal
of
Ethnopharmacology Volume 186, Pages 53 – 60 Gusmaini dan Hera Nurhayati. (2007). Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia. Perspektif Vol 6 No 2 (2007): 57-67. Harborne, J.B. (1987) : Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan Edisi kedua, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Penerbit ITB, Bandung Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia, Cetakan Ke-1, jilid 3. Yayasan Saranawana Jaya, Jakarta, Hal. 1550. Hong-yeol Lee, Maeng-Ja Yoo, and Hee-Jong Chung. (2001). Antibacterial Activities in Watercress (Oenanthe javanica DC) Cultivated with different Culture Methods. Departmend of Food & Nutrition. Dongah College. Korean. Huxley. A. (1992). The New RHS Dictionary of Gardening . MacMillan Press ISBN 0-333-47494-5. Jacoeb, T. N.A. (2007). Bau Badan yang Bikin Tak Nyaman. Diunduh dari http://racik.wordpress.com/2016/10/15/bau-badan-yang-bikin-taknyaman/. Jawetz, M, et al. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Penerjemah Bagian Mikrobiologi fakultas Kedokteran Universitas Erlangga. Jakarta: Salemba Medika. Jawetz, M., Adelberg's (2005). Mikrobiologi Kedokteran (Buku2). Penerjemah : N. Widorini. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Jeong Yeon Kim, Ki-Hoon Kim, Youn Ju Lee, Seung Ho Lee, Jong Cheol Park & Doo Hyun Nam. (2013). Oenanthe javanica extract accelerates ethanol metabolism in ethanol-treated animals. Department of Oriental
59
Medicine Resources, Sunchon National University, Suncheon 540-742, Korea Klayman DL, AJ Lin, et al (1984). Isolation of Artemisinin (qinghaosu) From Artemisia Annua Growing in United States. Journal of Natural Products. 47(4): 715-717. Klayman DL. (1993). Artemisia Annua From Weed to Espectable Antimalarial Plant . Hal 242-250. Kosasih, Yunni. (2011). Aktivitas Komponen Antibakteri Mikroalga Porphyridum cruentum Terhadap Berbagai Jenis Bakteri Patogen . Bogor: IPB. Lestari, Tresna., Nurmala, Agnis., Nurmalasari, Mira., (2015). PENETAPAN KADAR POLIFENOL DAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN SINTRONG (Crassocephalum crepidiodes (Benth.) S. moore). Tasikmalaya. STIKES Bakti Tunas Husada. Ma CJ, Lee KY, Jeong EJ, Kim SH, Park J, Choi YH, Kim YC, Sung SH, (2010) Persicarin from water dropwort (Oenanthe javanica) protects primary cultured rat cortical cells from glutamate-induced neuro-toxicity. Phytother Res 24:913-918. NCCLS. (2009) : Methods For Dilution Antimicrobial Susceptibility Test For Bacteria That Grow Aerobically. Approved Standard-Eight Edition. Ochse,JJ. (1931). Vegetables of the Dutch East Indies, English edition of Indische Groenten, Department agriculture, Industry and commerce of the Netherlands East Indies. Netherlands. Hal. 717-719. Pasilala, Fiktor., Daniel., dan Saleh, Chairul (2016). UJI TOKSISITAS (Brine Shrimp Lethality Test) DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI DAUN SINTRONG (Crassocephalum Crepidioides) DENGAN METODE 2,2-diphenyl-1-picrylhidrazil (DPPH). Samarinda. Universitas Mulawarman. Pelezar. (1988). Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Perry, J.J., Staley, J.T., dan Lory, S. (2002). Microbial life. Sinauer Associates, Massachusetts. Halaman. 154-155.
60
Poeloengan., dkk. (2006). Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Batang Bungur (Largerstoremia speciosa
Pers) terhadap Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli secara in vitro, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Universitas Pancasila. Jakarta. Pratiwi, T. Sylvia. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. Rostinawati, T., (2010), Aktivitas Antimikroba Ekstrak Herba Tespong (Oenanthe javanica D.C.) terhadap Escheriscia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans,
Laporan Penelitian, Fakultas Farmasi Universitas
Padjajaran. Salle, A.J. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology, 5*edition, Mc Graw Hill Company Inc, New York. Sasmitamiharja, D.,1994. Oenanthe javanica Blume DC , In:Siemonsma, J.S. & Pileuk K. (Eds.) Plant Resources of South-East Asia No.8, Vegetables, Pudoc Scientific publichers, Wegeninger PP. Senjaya, Ahmad. 2010. Isolasi dan karakterisasi artemisinin dari Artemisia annua L. Budidaya lokal . Universitas Indonesia. Jakarta Schunack, W., Mayer, K., dan Haake, M. (1990). Senyawa Obat Ed 2. UGM Press, Yogyakarta. Seo WH, Baek HH (2005) Identifcation of characteristic aroma-active compounds from water dropwort (Oenanthe javanica DC.). J Agric Food Chem 53:6766-6770. S.K Sharma, V.P Singh, and R.R Bhagwatt. (1980). In vitro antibacterial effect of the essential oil of Oenanthe javanica (Blume) DC. School of Studies Botany, Vikram University. Indian. Suryadi dan Kusmana. (2004). Mengenal Sayuran Indijenes. BALITSA. Bandung. Tan, RX, Zheng, WF, Tang, H.Q. (1998). Biological Active substances from the genus Artemisia. Planta Medica. 64: 295-302. Turahman T. (2013). Uji aktivitas antibakteri ekstrak dan fraksi kulit batang dan daun sungkai (peronema canescens jack ) terhadap S.aureus atcc 25923 dan E.coli atcc 25922. Skripsi, Sekolah Tinggi Farmasi Bandung , halaman 10 – 13.
61
Tjay. Tan Hoan dan Kirana Radja. 2008. Obat-Obat Penting . Jakarta: Gramedia Yan-Quan Han, Zheng-Ming Huang, Xin-Bo Yang, He-Zhi Liu, Guang-Xia Wu. 2008. In vivo and in vitro anti-hepatitis B virus activity of total phenolics from Oenanthe javanica.
Journal of Ethnopharmacology
Volume 118, Issue 1, Pages 148 – 153 Yang XB, Huang ZM, Cao WB, Zheng M, Chen HY, Zhang JZ. (2000). Antidiabetic effect of Oenanthe javanica flavone, Department of Pharmacology, Beijing Medical College of PLA, 8 Dongdajie Road, Beijing, China. Zollo, P.H.A. dkk. (2002). Aromatic Plants of Tropical Central Africa: Chemical Composition of essential Oils from seven Cameroonian Crassocephallum species. Journal of Essential Oil Research. 12(5):533536. http://www.plantamor.com/index.php?plant=139. diakses 2 November 2016.
62
Lampiran A Alur Bagan Kerja
Daun Tespong, Sintrong, dan Pohpohan segar Pengolahan Bahan : 1. Sortasi basah 2. Pencucian 3. Pengeringan 4. Sortasi Kering 5. Pen im anan
Determinasi Bahan
Karakterisasi Bahan: 1. Kadar Air Skrining Fitokimia :
2. Kadar Abu (Abu
1. Alkaloid
Simplisia
total, Abu tidak larut
2. Flavonoid
asam, Abu larut air)
3. Saponin
3. Kadar Sari (larut
4. Kuinon
air, larut etanol)
5. Tannin
4. Susut
6. Steroid & Triterpenoid
Pengeringan
Ekstrasi ( maserasi dengan etanol 96%)
Ekstrak Cair Pemekatan dengan rotaryvaporator
suhu 40oC
Uji aktivitas antibakteri Pemantauan Ekstrak
Ekstraksi kental
menggunakan KLT
terhadap ekstrak dengan microdilution
Ekstrak daun yang paling aktif sebagai antibakteri, diambil 20 g
63
Fraksinasi metode ECC ( dilarutkan dengan metanol, + n heksan )
Fraksi metanol-air
Fraksi n-heksan
(polar)
(non polar)
+ etil asetat
Fraksi etil asetat
Fraksi metanol-air
(semi polar)
(polar)
Pemantauan Fraksi menggunakan KLT
Fraksi teraktif seba ai antibakteri
Uji Bioautografi
Uji aktivitas antibakteri terhadap fraksi dengan microdilution
64
LAMPIRAN B Hasil Determinasi
65
66
67