Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor Tahun 2010
SKRIPSI
Disusun Oleh: ADRIANA NIM : 105101003217
PEMINATAN GIZI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M
1
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Februari 2010 Adriana, NIM : 105101003217 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor Tahun 2010 xviii+77 halaman+3 bagan+11 tabel+3 lampiran
ABSTRAK
MAN 2 Bogor adalah salah satu sekolah yang dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah tetapi memiliki angka kejadian anemia tertinggi. Dari hasil penjaringan haemoglobin (Hb) remaja putri yang dilakukan oleh Puskesmas Bogor Timur ada kenaikan prevalensi yang signifikan setiap tahunnya, pada tahun 2007 ada 21, 2%, tahun 2008 ada 14%, dan pada tahun 2009 ada 65,8% remaja putri yang menderita anemia, dari 225 siswi yang diperiksa terdapat 148 siswi yang Hb-nya di bawah 12 gr/dl. Dengan kata lain, ada 65,8% siswi kelas X yang menderita anemia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia remaja putri. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Variabel independen terdiri atas perdarahan (lama haid), frekuensi makan, Kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (buahbuahan), kebiasaan makan protein hewani, kebiasaan makan protein nabati, dan kebiasaan minum teh. Pengumpulan data dilakukan dua tahap, yang pertama pengisian kuesioner dan FFQ dan yang kedua adalah pengambilan sampel darah. Data diproses dan dianalisis univariat dan bivariat. Dari 250 responden, 23.2% siswi teridentifikasi menderita anemia dan 76.8% tidak menderita anemia. Sebagian besar (60%) siswi mengalami perdarahan tidak normal. Sebagian besar (62.8%) siswi memiliki frekuensi makan tidak baik. Sebagian besar (82.4%) memiliki kebiasaan makan sumber heme yang baik. Sebagian besar (90%) memiliki kebiasaan makan sumber non heme yang baik. Sebagian besar (61.2%) memiliki kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe yang baik, dan sebagian besar (62%) memiliki kebiasaan minum teh yang baik. Dari analisis bivariat ditemukan hubungan yang bermakna antara perdarahan (lama haid) dengan kejadian anemia remaja putri (p value=0.028). sedangkan untuk variabel lainnya tidak memiliki hubungan yang bermakna frekuensi makan (p value=0.452), kebiasaan makan sumber heme (p value=0.385), kebiasaan makan sumber non-heme (p value=0.058), kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (p value=0.644), dan kebiasaan minum teh (p value=0.99). Daftar Bacaan : 32 (1980-2009)
2
STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICAL AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM Thesis, February 2010 Adriana, NIM: 105101003217 Factors Associated with Anemia Female Student in Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor 2010
ABSTRACT
MAN 2 Bogor is one school which is close to government health care facilities but has the highest incidence of anemia. It was found from the netting of hemoglobin (Hb) of female student which is done by the health centre East Bogor, that there had been a significant increase in the anemia prevalence of each year. In 2007 there were 21, 2%, in 2008 there 14%, and in 2009 there was 65.8% of girls who suffer from anemia. Purpose of this study is to determine factors associated with anemia female student. The research design which used in this study is cross sectional. Independent variables consisted of bleeding (long menstrual time), frequency of eating, eating habits of Fe enhancer absorption sources (fruit), the habit of eating animal protein, vegetable protein, dietary habits, and habits of drinking tea. The data was collected in two stages, the first filling out the questionnaire and FFQ and the second is a blood sampling. Data is processed and analyzed using univariate and bivariate. Of the 250 respondents, 23.2% female students identified suffering anemia and 76.8% did not suffer from anemia. The majority (60%) female students had abnormal bleeding. The majority (62.8%) female students have not good frequency of eating. The majority (82.4%) have a good eating habit source of heme. The majority (90%) have a good eating habit source of non-heme. The majority (61.2%) have a good eating habit of Fe enhancer absorption, and the majority (62%) have a good drinking habit of tea. From the bivariate analysis it was found a significant relationship between bleeding (long menstrual time) and the incidence of female student anemia (p value = 0.028). Whereas for other variables have no meaningful relationship meal frequency (p value = 0.452), eating habits source of heme (p value = 0.385), eating habits of nonheme sources (p value = 0.058), eating habits source of Fe enhancer absorption (p value = 0.644), and habits of drinking tea (p value = 0.99). Reading list: 32 (1980-2009)
3
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Adriana
Tempat Tanggal Lahir
: Bogor, 20 November 1986
Alamat
: Komp. Baranangsiang Indah Jl. Jatiluhur II Blok D II no. 19 Bogor 16143
No. Ponsel
: 085213918891
Nama Orang Tua
: - Ayah - Ibu
: Suryana Prawiradisastra : Mahtarini
Anak ke-
: 2 dari 3 bersaudara
Riwayat Pendidikan
:
-
TK AKBAR BOGOR
: 1991-1993
-
SD NEGERI PENGADILAN V BOGOR
: 1993-1999
-
SLTP NEGERI 3 BOGOR
: 1999-2002
-
SMU NEGERI 7 BOGOR
: 2002-2005
-
FKIK UIN SYAHID JAKARTA
: 2005- sekarang
Riwayat Organisasi
:
-
Koordinator Keputrian HIRISMAN 7 Bogor tahun 2003-2004
-
Bendahara BEM FKIK UIN SYAHID JAKARTA tahun 2005-2006
-
Anggota Kaderisasi LDK KOMDA FKIK UIN SYAHID JAKARTA tahun 2005-2006 dan 2006-2007
-
Bendahara BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK UIN SYAHID JAKARTA tahun 2006-2007
4
-
Ketua Keputrian LDK KOMDA FKIK UIN SYAHID JAKARTA tahun 20072008
-
Bendahara BEM FKIK UIN SYAHID JAKARTA tahun 2007-2008
-
Bendahara Pos Solidaritas Umat LDK SYAHID JAKARTA tahun 2008-2009
-
Bendahara Relawan Lembaga Kemanusiaan ESQ 165 tahun 2008-sekarang
-
Bendahara BEM FKIK UIN SYAHID JAKARTA tahun 2008
5
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, pemilik segala apa yang ada di langit dan bumi. Shalawat serta salam dilimpahkan selalu kepada teladan kita Muhammad SAW sang pembela dan pemimpin sejati sepanjang zaman, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya. AllahSemoga Allah SWT selalu melimpahkan keberkahan kepada kita semua. Amiin.. Subhanallah walhamdulillah, segala puji bagi Allah semata yang telah memberikan kesehatan dan kemudahan bagi peneliti hingga skripsi ini selesai dan disajikan agar dapat menambah wawasan dan referensi bagi teman-teman serta adikadikku untuk melakukan penelitian yang akan datang. Tak lupa peneliti ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung tersusunnya skripsi ini. Terima kasih ini peneliti kami haturkan kepada : 1.
Allah Azza wa jalla yang telah memberikan kesehatan dan kemudahan di setiap harinya. Selalu memberikan apa yang kubutuhkan, memberiku semangat dikala kujatuh, memberiku bahagia setelah kesedihan, memberiku solusi saat ada masalah, yang selalu menemaniku setiap saat. Terima kasih untuk kehidupan yang indah ini ya Rabb, tanpa nikmat islam dan iman-Mu aku takkan setegar ini. Tanpa takdir-Mu aku takkan berada di sini hingga saat ini. Tanpa perlindungan dari-Mu aku takkan sekuat ini. Terima kasih Rabb..tetapkan muslimku selalu
2.
Untuk mama dan papaku tersayang, yang selalu mendoakanku, yang selalu mendukungku, terima kasih untuk kasih sayang yang kalian berikan hingga aku
6
sedewasa ini. Terima kasih untuk rumah yang nyaman ma...pa...tempat paling favoritku melebihi tempat manapun. Karena rumah itu adalah saksi bisu ikatan kasih sayang kita, yang menyaksikanku tumbuh dari lahir hingga saat ini. Tempat kita bercanda, tempat yang penuh dengan kenangan indah yang tak tergantikan. Love U always..mom...dad.. 3.
For my beloved big brother, Firman Prawiradisastra dan tetehku yang telah memberi kado terindah tahun ini dengan hadirnya Alfatih di tengah kesibukkanku menyusun skripsi ini hingga semangat kembali meluncur dengan kehadiran makhluk mungil nan lucu..
4.
For my beloved little brother, Firdaus Prawiradisastra, maaf ya selalu ganggu keasyikanmu main game online. Terima kasih untuk pinjaman IM2nya....sangat bermanfaat sekali...dan bikin irit hehe...maaf ya selalu merepotkan ade...habis sama siapa lagi kalau bukan sama ade...karena kamu satu-satunya adikku...thanks for everything..
5.
Terima kasih juga untuk Ibu Febrianti, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing saya dari pembuatan proposal hingga skripsi ini selesai. Terima kasih untuk segala masukan dan nasihat ibu. Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal dan semoga ibu sehat selalu.
6.
Terima kasih untuk bapak Waras Budi Utomo, MKM yang telah banyak membantu dan meluangkan waktunya dengan segala keikhlasan mulai dari proposal hingga skrispi ini selesai. Terima kasih untuk dukungan dan masukkannya, pak..semoga Allah membalas segala jasa bapak. Amiin
7
7.
Terima kasih juga untuk Pihak Puskesmas Bogor Timur, yang telah mengizinkan peneliti untuk mengadakan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Bogor Timur dan bersedia bekerja sama dalam teknis penelitian ini.
8.
Terima Kasih untuk Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor, yang telah mengizikan dilangsungkannya penelitian di sekolah yang bapak pimpin, terima kasih juga untuk ibu Lina selaku wakil kepala sekolah yang telah banyak membantu dalam teknis pelaksanaan penelitian. Semoga Allah membalas kebaikan bapak dan ibu..Amiin.
9.
Terima kasih untuk Saudariku, Gitalia Budhi Utami, teman seperjuanganku, Witri Kodariyah, Dilla Nursari, dan Arini Agustine, yang selama penelitian banyak membantu, terima kasih untuk perhatian dan semangatnya. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan.
10.
Untuk seseorang yang telah memberikan ‘buku ajaib’, terima kasih telah mengirimkan buku ajaib itu, yang secara tak langsung membakar semangatku kembali, yang di sela-sela pusing menyusun skripsi ini menjadi hiburan yang bermanfaat sekali, terima kasih kak... semoga suatu hari nanti kita dipertemukan Allah... Amiin..
11.
Untuk teman-teman angkatan 2005 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, Keep Fighting! Semoga kita bisa sukses bareng ya...and keep contact...sampe kakek-nenek.. berikanlah yang terbaik untuk almamater kita, buat bangga para dosen kita dengan prestasi kita.
12.
Untuk adik-adik kelasku, semangat selalu, rasakan nikmatnya kuliah selagi kalian bisa. Karena semua itu adalah proses yang harus kita jalani, dan semua akan
8
jadi kenangan yang indah. Aku yakin kalian bisa melakukan yang lebih baik. Teruslah saling mendukung demi kekompakkan kita. Terima kasih untuk doanya.
Pada akhirnya, skripsi ini telah disusun sedemikian rupa, tentulah memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan kritikan serta saran yang membangun demi perbaikan di masa datang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya serta bagi peneliti pada khususnya. Wassalamu’alaikum. wr. wb
Peneliti
9
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................i DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................v KATA PENGANTAR ..............................................................................................vii SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ........................................................xi DAFTAR ISI .............................................................................................................xii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xvii DAFTAR BAGAN ................................................................................................. xviii BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1 1.1 Latar Belakang .........................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................6 1.3 Pertanyaan Penelitian ...............................................................................7 1.4 Tujuan Penelitian......................................................................................8 1.4.1 Tujuan Umum ...................................................................................8 1.4.2 Tujuan Khusus ..................................................................................8 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................9 1.6 Manfaat Penelitian....................................................................................10 1.6.1 Bagi Peneliti .....................................................................................10 1.6.2 Bagi Sekolah .....................................................................................10 1.6.3 Puskesmas Bogor Timur...................................................................10 1.6.4 Bagi FKIK UIN Syarif Hidayatullah ................................................11
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................12 2.1 Pengertian Remaja ....................................................................................12 2.1.1 Definisi Pubertas ...................................................................................13 2.1.2 Ciri Pubertas ..........................................................................................13 2.2 Pengertian Anemia ...................................................................................14 2.2.1 Etiologi Anemia ................................................................................15 2.2.2 Metabolisme Zat Besi .......................................................................16 2.2.3 Absorpsi Zat Besi .............................................................................19 2.2.4 Fasilitator Zat Besi ...........................................................................21 2.2.5 Penghambat Absorpsi Zat Besi ........................................................21 2.2.6 Dampak Anemia ...............................................................................22 2.2.7 Kebutuhan Zat Besi dalam Tubuh ....................................................21 2.2.8 Pencegahan dan Penaggulangan Anemia Defisiensi Zat Besi..........23 2.3 Metode Penentuan Kadar Haemoglogin...................................................24 2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia remaja putri ..........................25 2.4.1 Sosial Ekonomi .................................................................................26 1. Pengetahuan Gizi .........................................................................26 2. Pendidikan Orang Tua..................................................................27 3. Pekerjaan Orang Tua ....................................................................29 4. Pendapatan Orang Tua .................................................................29 2.4.2 Status Gizi ........................................................................................30 2.4.3 Perdarahan (Kehilangan Darah) .......................................................31 1. Penyakit Infeksi ............................................................................31
11
2. Siklus Menstruasi .........................................................................32 3. Lama Haid ....................................................................................33 2.4.4 Hubungan Pola Haid dengan Status Anemia Remaja Putri ..............34 2.4.5 Kebiasaan Makan .............................................................................34 2.4.6 Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia..................................37 2.4.7 Hubungan Kebiasaan Minum Teh dengan Status Anemia ...............37 2.6 Kerangka Teori .........................................................................................38 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .................39 3.1 Kerangka Konsep .....................................................................................39 3.2 Definisi Operasional .................................................................................41 3.3 Hipotesis ...................................................................................................43 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................44 4.1 Rancangan Penelitian ...............................................................................44 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................44 4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................44 4.3.1 Populasi ............................................................................................44 4.3.2 Sampel ..............................................................................................44 4.4 Instrumen Penelitian .................................................................................46 4.5 Pengumpulan Data ...................................................................................47 4.6 Pengolahan Data .......................................................................................48 4.7 Analisis data .............................................................................................49 4.7.1 Analisis Univariat .............................................................................49 4.7.2 Analisis Bivariat ...............................................................................49
12
BAB V HASIL ..........................................................................................................50 5.1 Profil Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor ..................................................50 5.1.1 Visi dan misi MAN 2 Bogor ............................................................50 5.1.2 Kurikulum.........................................................................................51 5.1.3 Fasilitas Belajar ................................................................................52 5.2 Prestasi .....................................................................................................52 5.3 Pelaksanaan Pengumpulan Data ...............................................................53 5.4 Karakteristik Responden ..........................................................................54 5.5 Analisis Univariat .....................................................................................54 5.5.1 Kejadian Anemia Remaja Putri ........................................................55 5.5.2 Perdarahan (lama haid) .....................................................................56 5.5.3 Frekuensi Makan ..............................................................................56 5.5.4 Kebiasaan Makan Sumber Heme .....................................................56 5.5.5 Kebiasaan Makan Sumber non-Heme ..............................................56 5.5.6 Kebiasaan Makan Sumber Peningkat Penyerapan Fe ......................57 5.5.7 Kebiasaan Minum Teh......................................................................57 5.6 Analisis Bivariat .......................................................................................57 5.6.1 Hubungan antara Perdarahan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ...........................................................................................................58 5.6.2 Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ...........................................................................................................58 5.6.3 Hubungan antara Kebiasaan Makan Sumber Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ................................................................................59
13
5.6.4 Hubungan antara Kebiasaan Makan Sumber non-Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ................................................................................59 5.6.5 Hubungan antara Kebiasaan Makan Peningkat Penyerapan Fe dengan Kejadian Anemia Remaja Putri .................................................................60 5.6.6 Hubungan antara Kebiasaan Minum Teh dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ..............................................................................................61 BAB VI PEMBAHASAN.........................................................................................62 6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................62 6.2 Pembahasan Hasil Bivariat .......................................................................63 6.3 Kejadian Anemia Remaja Putri ................................................................63 6.4 Hubungan antara Perdarahan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ................................................................................................................65 6.5 Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ................................................................................................................67 6.6 Hubungan antara Kebiasaan Makan Sumber Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ...................................................................................................68 6.7 Hubungan antara Kebiasaan Makan Sumber non-Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri .....................................................................................69 6.8 Hubungan antara Kebiasaan Makan Peningkat Penyerapan Fe dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ......................................................................72 6.9 Hubungan antara Kebiasaan Minum Teh dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ................................................................................................................73 BAB VII PENUTUP.................................................................................................75
14
7.1 Simpulan...................................................................................................75 7.2 Saran .........................................................................................................76 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
15
DAFTAR TABEL
2.2.2 Kebutuhan Zat Besi Berdasarkan Zat Besi yang Terserap Menurut Umur dan Jenis Kelamin ......................................................................................................18 2.3.3 Tabel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Zat Besi ..........................21 2.4.5 Kandungan Zat Besi dan Vitamin C dalam Buah .............................................36 3.2 Definisi Operasional.............................................................................................41 5.4 Distribusi Responden Menurut Variabel ..............................................................55 5.6.1 Hubungan Antara Perdarahan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri............58 5.6.2 Hubungan Antara Frekuensi Makan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ............................................................................................................................58 5.6.3 Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri .................................................................................................59 5.6.4 Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber Non-Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri..................................................................................59 5.6.5 Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber Peningkat Penyerapan Fe dengan Kejadian Anemia Remaja Putri .....................................................................60 5.6.6 Hubungan Antara Kebiasaan Minum Teh dengan Kejadian Anemia Remaja Putri ...............................................................................................................61
16
DAFTAR BAGAN
2.3.1 Bagan Stadium Deplesi Besi .............................................................................15 2.6 Kerangka Teori.....................................................................................................38 3.1 Kerangka Konsep .................................................................................................40
17
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kualitas suatu bangsa ditentukan dari kualitas sumber daya manusianya, dalam
hal ini pemuda adalah ujung tombak dari suatu bangsa. Kesehatan dan pendidikan menjadi komponen penunjang utama untuk menyokong kualitas sumber daya manusia. Anemia karena defisiensi zat besi merupakan kelainan gizi yang paling sering ditemukan di dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang bersifat epidemik. Masalah ini terutama menjangkiti para wanita dalam usia reproduktif dan anak-anak kawasan tropis dan subtropis. Anemia karena defisiensi zat besi menyerang lebih dari 2 milyar penduduk di dunia. Di Negara berkembang, terdapat 370 juta wanita yang menderita anemia karena defisiensi zat besi. Prevalensi rata-rata wanita yang tidak hamil 41%, gabungan Asia Selatan dan Tenggara turut menyumbangkan hingga 58% total penduduk yang mengalami anemia di negara berkembang (vijayaraghavan, 2004). Penanggulangan masalah gizi di Indonesia masih terkonsentrasi pada empat masalah utama kurang gizi seperti kurang energi protein, anemia gizi besi, kurang vitamin A, dan gangguan akibat kurang iodium walaupun gizi lebih sudah terjadi di kota-kota besar. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi gizi buruk yang menurun (5,4%) jika dibandingkan dengan hasil susenas 2005 (8,8%), namun masalah anemia di Indonesia masih berada di atas ambang batas masalah kesehatan. Survei gizi mikro di 10 propinsi menunjukkan masih tingginya angka prevalensi anemia pada balita
18
yaitu sebesar 26,3% dan pada wanita usia subur sebesar 27,9% (batas ambang masalah kesehatan : > 20%) (Depkes RI, 2008) Diantara empat masalah gizi tersebut, anemia adalah salah satu gangguan gizi yang sering diderita oleh remaja, terutama remaja putri. Alasan mengapa remaja dijadikan sorotan dalam hal ini karena seperlima penduduk Indonesia adalah remaja. Dalam warta demografi (2005) disebutkan berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah remaja pada usia 15 sampai dengan 24 tahun adalah 40.407.618 juta jiwa dengan presentase sebesar 20,08% dari jumlah penduduk Indonesia. Dilihat dari jenis kelamin, jumlah remaja perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Jumlah remaja sebanyak 20.520.806 juta jiwa dengan presentase sebesar 50,78% dan remaja laki-laki sebanyak 19.886.812 juta jiwa dengan presentase 49,22% (Dewi, 2008). Selain itu, pada masa remaja adalah masa dimana terjadi perubahan fisik, seperti berkembangnya fungsi seksual menuju kematangan, perubahan bentuk tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dll. Berkaitan dengan perkembangan fungsi seksual remaja, pada remaja ada masa yang disebut dengan masa pubertas. Remaja laki-laki biasanya ditandai dengan mimpi basah atau pecahnya suara dan remaja putri ditandai dengan menstruasi pertama. Oleh sebab itu, kebutuhan zat besi pada perempuan adalah 3 kali lebih besar daripada pada laki-laki. Perempuan setiap bulan mengalami menstruasi yang secara otomatis mengeluarkan darah. Itulah sebabnya perempuan membutuhkan zat besi untuk mengembalikan kondisi tubuhnya ke keadaan semula. Hal tersebut tidak terjadi pada laki-laki.
19
Kesehatan menjadi hal yang paling penting dalam mendukung kehidupan organisme. Masalah kesehatan sering diremehkan orang demi kesenangan sementara, apalagi pada remaja. Perubahan yang berjalan sangat cepat pada bentuk tubuh menyebabkan remaja pada kondisi emosional yang kurang stabil, sehingga remaja cenderung melakukan perbuatan tanpa perhitungan, termasuk perilaku yang tidak sehat karena keinginan individu agar diterima oleh teman-temannya (Purwaningrum, 2008). Anemia merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada wanita usia subur seperti remaja dan harus ditanggulangi secara serius, terutama anemia gizi besi. Penyebab anemia gizi besi ialah karena kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya sediaan zat besi dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi, kehilangan darah yang kronis, penyakit malaria, cacing tambang dan infeksi-infeksi lain serta pengetahuan yang kurang tentang anemia gizi besi yang berpengaruh terhadap status gizi orang tersebut. Menurut SKRT Tahun 2007, pervalensi anemia pada wanita usia subur (WUS) usia 15-19 mencapai 26, 5% (Depkes RI, 2008). Ada sekitar 370 juta wanita yang menderita anemia karena defisiensi zat besi (vijayaraghavan, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Sulaeman (2007) dengan menggunakan metode survey dan rancangan cross sectional menunjukkan bahwa prevalensi anemia remaja putri di SMUN 1 Kota Yogyakarta sebesar 54,59 % dan non anemia sebesar 45,41 %. Sejalan dengan sebelumnya penelitian yang dilakukan oleh Herman (2001) di SMUN 1 Cibinong Kabupaten Bogor, remaja putri yang mengalami anemia ada 42,2%. Konsekuensi kesehatan yang ditimbulkan akibat defisiensi zat besi meliputi kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, infeksi, dan peningkatan resiko kematian.
20
Belakangan akan terjadi gangguan pada perkembangan fisik dan kognitif yang mengakibatkan prestasi sekolah yang buruk. Pada ibu hamil, anemia karena defisiensi zat besi turut menyebabkan 20% dari semua kematian maternal (vijayaraghavan, 2004). Berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa masih tingginya prevalensi anemia gizi besi pada remaja putri. Menurut WHO (2001) selama ini penanggulangan masalah anemia lebih difokuskan kepada ibu hamil. Padahal, jika ditelaah lebih lanjut, sebaiknya pencegahan anemia difokuskan sejak masih remaja putri. Apabila wanita sejak remaja telah mengalami kekurangan zat besi, maka kondisinya diperkirakan semakin berat pada saat wanita tersebut hamil (Qomariah, 2006). Penyebab anemia gizi besi ialah karena jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Selain itu berbagai faktor juga dapat mempengaruhi terjadinya anemia gizi besi, antara lain kebiasaan makan, pola haid, pengetahuan tentang anemia, dan status gizi. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi kejadian anemia, penelitian-penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan makan dan pola haid dengan kejadian anemia. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Herman (2001) menunjukkan bahwa kebiasaan makan, yang meliputi: diet, kebiasaan makan sumber protein hewani dan kebiasaan minum teh memiliki hubungan dengan kejadian anemia di SMUN 1 Cibinong Kab. Bogor. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Amaliah (2002) menunjukkan bahwa pola konsumsi sumber heme, pola konsumsi sumber penghambat penyerapan Fe, dan pola haid memiliki hubungan dengan kejadian anemia pada mahasiswi Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Serang. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan
21
oleh Qomariah (2006) juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola haid dan konsumsi sumber penghambat penyerapan Fe pada siswi SMU di Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang. Kota bogor merupakan salah satu kota penyangga metropolitan, Jakarta. Karena letak yang begitu dekat dengan ibu kota, arus modernisasi otomatis mempengaruhi gaya hidup remaja. Mungkin para remaja zaman sekarang lebih familiar dengan rasa makanan di mall daripada masakan di dapur sendiri. Makanan yang digemari para remaja secara otomatis lebih cenderung pada makanan jenis fast food yang banyak beredar di pusat perbelanjaan. Hal ini banyak mempengaruhi pilihan mereka akan gaya hidup dan selera. Makanan dan minuman adalah contoh yang sangat signifikan mengenai hal yang satu ini. Menemani kegemaran mengkonsumsi makanan junk food, maka minuman soda pun menjadi kegemaran remaja saat ini. Kini makanan fast food telah menjadi bagian dari perilaku sebagian anak sekolah dan remaja diluar rumah diberbagai kota (Mudjianto, dkk 1997 dalam Emilia, 2003) dan diperkirakan cenderung akan semakin meningkat (Emilia, 2003). Beberapa Sekolah Menengah Atas di Kota Bogor ada yang letak sekolahnya strategis dengan beberapa pusat perbelanjaan dan restoran cepat saji. Sekolah yang letaknya cukup strategis tersebut adalah Madrasah Aliyah Negeri 2 (MAN 2) Bogor. Yang memungkinkan para siswa lebih memilih makanan fast food dari pada nasi yang lengkap dengan lauk pauknya. Setiap tahunnya Puskesmas Bogor Timur mengadakan penjaringan haemoglobin (Hb) ke sekolah-sekolah. Dari hasil penjaringan haemoglobin (Hb) remaja putri ada kenaikan yang signifikan setiap tahunnya di MAN 2 Bogor, pada tahun 2007 ada 21,
22
2%, tahun 2008 ada 14%, dan pada tahun 2009 ada 65,8% remaja putri yang menderita anemia, didapat ada 148 siswi yang Hb-nya di bawah 12 gr/dl dari 225 siswi yang diperiksa. Dengan kata lain, ada 65,8% siswi kelas X yang menderita anemia di MAN 2 Bogor. Sekolah ini menerapkan sistem full day school dengan jam belajar 07.00-14.30, yang membuat anak-anak sekolah tersebut lebih banyak makan makanan luar ketimbang masakan rumah. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. Berbeda dengan sekolah lainnya yang memiliki karakteristik yang sama yaitu, SMAN 3 Bogor dari hasil penjaringan didapat bahwa hanya 32.2% siswi yang memiliki Hb di bawah 12 gr/dl dan terus menurun di setiap tahunnya. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 1.2
Perumusan Masalah Dari hasil penjaringan haemoglobin (Hb) remaja putri kelas X pada Bulan
Agustus 2009 yang dilakukan oleh Puskesmas Bogor Timur, sekolah yang paling banyak remaja putri yang mengalami anemia ada pada sekolah Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor, didapat ada 148 siswi yang Hb-nya di bawah 12 gr/dl dari 225 siswi yang diperiksa. Dengan kata lain, ada 65,8% siswi kelas X yang menderita anemia di MAN 2 Bogor. Remaja putri yang menderita anemia bila tidak ditanggulangi akan berdampak pada kebugaran remaja yang menurun, prestasi dan konsentrasi belajar yang rendah, ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi menurun, serta sebagai calon ibu, bila mereka tinggi anemia maka akan berdampak pada bayi lahir dengan berat badan rendah,
23
perdarahan pada saat melahirkan, dan komplikasi persalinan yang menjadi salah satu faktor pencetus kematian ibu melahirkan. 1.3
Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 2. Bagaimana gambaran perdarahan (lama haid) remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 3. Bagaimana gambaran frekuensi makan remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 4. Bagaimana gambaran kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 5. Bagaimana gambaran kebiasaan makan sumber heme remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 6. Bagaimana gambaran kebiasaan makan sumber non-heme remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 7. Bagaimana gambaran kebiasaan minum teh remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 8. Bagaimana hubungan antara perdarahan (lama haid) dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 9. Bagaimana hubungan antara frekuensi makan dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 10. Bagaimana hubungan antara kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor?
24
11. Bagaimana hubungan antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 12. Bagaimana hubungan antara kebiasaan makan sumber non-heme dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 13.
Bagaimana hubungan antara kebiasaan minum teh dengan kejadian anemia
remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor? 1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia remaja
putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 1.4.2
Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 2. Mengetahui gambaran perdarahan (lama haid) remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 3. Mengetahui gambaran frekuensi makan remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 4. Mengetahui gambaran kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 5. Mengetahui gambaran kebiasaan makan sumber heme remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 6. Mengetahui gambaran kebiasaan makan sumber non-heme remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor.
25
7. Mengetahui gambaran kebiasaan minum teh remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 8. Mengetahui hubungan antara perdarahan (lama haid) remaja putri dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 9. Mengetahui hubungan antara frekuensi makan dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 10. Mengetahui
hubungan
antara
kebiasaan
makan
sumber
peningkat
penyerapan Fe dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 11. Mengetahui hubungan antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 12. Mengetahui hubungan antara kebiasaan makan sumber non-heme dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 13. Mengetahui hubungan antara kebiasaan minum teh dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan pada siswi MAN 2 Bogor, untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian anemia dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor berada di lokasi yang strategis dekat dengan pusat kota, pusat perbelanjaan, restoran-restoran cepat saji, dan yang paling penting lagi MAN 2 Bogor ini dekat dengan pusat pelayanan kesehatan seperti puskesmas. Dimana tempat tersebut memiliki peran untuk menyampaikan informasi mengenai anemia pada
26
remaja putri yang dapat berdampak serius bila tidak tertangani. Dari sembilan sekolah menengah umum yang dijaring, Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor memiliki prevalensi tertinggi. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Januari 2010, rancangan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional. Data yang diambil dalam penelitian ini meliputi perdarahan (lama haid), frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (sayur dan buah), kebiasaan makan sumber heme, kebiasaan makan sumber non-heme, dan kebiasaan minum teh 1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1
Bagi Peneliti 1. Untuk pengalaman sebagai bentuk pengaplikasian keilmuan yang diperoleh selama perkuliahan. 2. Menambah wawasan pengetahuan peneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor
1.6.2
Bagi Sekolah Untuk dijadikan bahan informasi kesehatan untuk mengembangkan kegiatan kesehatan sekolah dan perbaikan kesehatan.
1.6.3
Bagi Puskesmas Bogor Timur Untuk dijadikan bahan informasi dan dasar untuk mengembangkan kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan di sekolah-sekolah khususnya Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor.
27
1.6.4
Bagi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini lebih dalam dan peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia remaja putri.
28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Remaja Menurut (Stanley Hall 1991 dalam Dewi, 2008) masa remaja merupakan masa
dimana dianggap sebagai masa topan badai dan stress (Storm and Stress). Karena mereka mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib sendiri, kalau terarah dengan baik maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggungjawab, tetapi kalau tidak terbimbing maka bisa menjadi seorang yang tak memiliki masa depan dengan baik. Menurut (Yulia S. D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, 1991 dalam Dewi, 2008) istilah asing yang sering digunakan untuk menunjukkan masa remaja antara lain : a. Puberty (bahasa Inggris) berasal dari istilah latin pubertas yang berarti kelakilakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda kelaki-lakian. Pubescence dari kata pubis (pubic hair) yang berarti rambut (bulu) pada daerah kemaluan (genetal) maka pubescence berarti perubahan yang dibarengi dengan tumbuhnya rambut pada daerah kemaluan. b. Adolescentia berasal dari istilah latin adolescentia yang berarti masa muda yang terjadi antara 17 – 30 tahun yang merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menunju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Proses perkembangan psikis remaja dimulai antara 12 – 22 tahun.
29
Menurut Santrock (1998) mendefinisikan pubertas sebagai masa pertumbuhan tulang-tulang dan kematangan seksual yang terjadi pada masa awal remaja. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 1998) usia remaja antara 12 sampai usia 23 tahun. Menurut Erikson masa remaja adalah masa yang akan melalui krisis dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (Search for self – Identity) (Dewi, 2008). 2.1.1
Definisi Pubertas Pubertas adalah masa ketika seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis,
dan pematangan fungsi seksual. Masa pubertas dalam kehidupan kita biasanya dimulai saat berumur delapan hingga sepuluh tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Pada masa ini memang pertumbuhan dan perkembangan berlangsung dengan cepat. Pada wanita pubertas ditandai dengan menstruasi pertama (menarche), sedangkan pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah. Kini, dikenal adanya pubertas dini pada remaja. Penyebab pubertas dini ialah bahwa bahan kimia DDT sendiri, DDE, mempunyai efek yang mirip dengan hormon estrogen. Hormon ini diketahui sangat berperan dalam mengatur perkembangan seks wanita. 2.1.2
Ciri Pubertas Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan
menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk berreproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing
30
Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. 2.2
Pengertian Anemia Anemia oleh orang awam dikenal sebagai kurang darah. Anemia adalah suatu
penyakit dimana kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal. Anemia berbeda dengan tekanan darah rendah. Tekanan darah rendah adalah kurangnya kemampuan otot jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan kurangnya aliran darah yang sampai ke otak dan bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 1998). Anemia yang terjadi pada seseorang lebih banyak disebabkan karena karena efek samping dari keadaan penyakit tertentu atau suatu keadaan patologis. Seperti karena penyakit malaria, cacing tambang dan infeksi-infeksi yang lain yang banyak terjadi khususnya di negara tropis. Biasanya semakin rendah kadar Hb maka dapat dikatakan bahwa anemia yang terjadi semakin berat dan perlu penanganan segera. Anemia defisensi zat besi lebih banyak terjadi di negara berkembang daripada negara maju atau industri. Prevalensi yang tertinggi terjadi di negara Afrika dan Asia Selatan.
31
2.2.1 Etiologi Anemia Deplesi zat besi dapat dipilah menjadi tiga tahap dengan derajat keparahan yang berbeda dan berkisar dari ringan hingga berat.
Sumber : (vijayaraghavan, 2004) 1.
Tahap pertama, meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai berdasarkan penurunan kadar feritin serum. Meskipun tidak disertai konsekuensi fisiologis yang buruk, namun keadaan ini menggambarkan adanya peningkatan kerentanan dari keseimbangan besi yang marjinal untuk jangka waktu lama. Sehingga dapat terjadi defisiensi besi yang berat.
2.
Tahap kedua, ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan ini terjadi
32
penurunan kejenuhan transferin atau peningkatan protoporfirin eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor transferin serum. 3.
Tahap ketiga, defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia karena defisiensi yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dl (vijayaraghavan, 2004).
2.2.2 Metabolisme Zat Besi Tubuh manusia membutuhkan zat besi untuk sintesis protein yang membawa oksigen, yaitu hemoglobin serta mioglobin dalam tubuh, dan untuk sintesis enzim yang mengandung zat besi dan turut serta dalam reaksi perpindahan elektron serta reaksi oksidasi-reduksi. Proses aktif di dalam duodenum menyerap zat besi. Kemudian zat besi yang diserap dibawa melalui membran mukosa serta serosa ke dalam darah dan dari sini, protein membawa (transferin) yang ada di dalam plasma mengangkutnya ke dalam sel atau ke sumsum tulang bagi keperluan eritropoisis. Transferin membawa zat besi ke dalam jaringan melalui reseptor membran sel spesifik pada transferin. Reseptor sel tersebut mengikat kompleks transferin dan zat besi pada permukaan sel serta membawanya ke dalam sel untuk melepaskan zat besi. Di dalam tubuh manusia, zat besi didistribusikan dalam enam lokasi, yaitu: 1. Hemoglobin (2-2.5 g besi) 2. Simpanan besi sebagai feritin dan hemosiderin (1 g pada laki-laki; 600 mg pada wanita) 3. Mioglobin pada oto skeletal dan jantung (130 mg besi) 4. Sumber gabungan zat besi yang labil (80-90 mg besi) 5. Zat besi dalam jaringan yang terdiri atas heme dan flavo-protein (5-8 mg besi) 6. Transportasi pada pembentukan zat besi (3 mg besi)
33
Total besi tubuh pada manusia adalah 2.3 g. Pada laki-laki, sekitar sepertiga dari total zat besi adalah tubuh berupa simpanan zat besi. Sementara pada wanita, simpanan zat besi tersebut hanya membentuk seperdelapan dari total zat besi dalam tubuh. Lebihkurang dua per tiga dari total zat besi merupakan bentuk fungsional, yang melaksanakan fungsi metabolik atau fungsi enzim. Hampir semua zat besi ini berbentuk hemoglobin yang beredar di dalam sel darah merah. Mioglobin dan enzim yang mengandung zat besi lainnya hanya sekitar 15% dari zat besi fungsional. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan zat besi adalah asupan zat besi. Laki-laki dewasa memerlukan sekitar 1 mg besi yang diserap setiap harinya untuk menggantikan zat besi yang hilang melalui sekresi usus, sel epitel, urine, dan kulit. Pada wanita sedang menstruasi, kebutuhan ini dapat meningkat hingga 1.4 mg. Seperti halnya kebanyakan logam lain, homeostasis zat besi dipertahankan dengan mengendalikan absorpsi yang akan meningkat pada keadaan defiensi dan menurun ketika eritroposis tertekan. Tubuh dapat mengekstresikan zat besi dengan kemampuan yang terbatas dan kelebihannya akan disimpan sebagai feritin atau hemosiderin di dalam hati, limpa, serta sumsum tulang.
34
Tabel 2.2.2 Kebutuhan Zat Besi Berdasarkan Zat Besi yang Terserap Menurut Umur dan Jenis Kelamin Usia/jenis kelamin
Mg/hari
Bayi
3-5
Balita
8-9
Anak sekolah
10
Remaja laki-laki
14-17
Remaja perempuan
14-25
Dewasa laki-laki
13
Dewasa perempuan
14-26
Ibu hamil
+20
Ibu menyusui
+2
Sumber: Almatsier (2001)
Asupan zat besi yang tidak memadai akan : 1. Meningkatkan absorpsi besi dari makanan 2. Memobilisasi simpanan zat besi dalam tubuh 3. Mengurangi transportasi besi ke sumsum tulang 4. Menurunkan kadar hemoglobin sehingga akhirnya terjadi anemia karena defisiensi zat besi Hemoglobin memainkan peranan yang penting dalam transportasi oksigen. Pada anemia karena defisiensi zat besi yang moderat akan terjadi mekanisme kompensasi melalui perubahan biokimia untuk mengimbangi pernurunan kapasitas darah dalam membawa oskigen. Sebaliknya, pada anemia karena defisiensi zat besi yang berat, penurunan kadar hemoglobin yang nyata akan mengurangi kapasitas membwa oksigen sehingga terjadi hipoksia jaringan yang kronis (vijayaraghavan, 2004).
35
2.2.3 Absorpsi Zat Besi Mekanisme pengaturan keseimbangan zat besi yang utama adalah absorpsi zat besi melalui traktus gastrointestinal. Karena manusia tidak memiliki alur fisiologis untuk ekskresi zat besi, regulasi absorpsi zat besi di dalam usus sangatlah penting. Sel-sel kriptus duodenum akan mengalami maturasi untuk menjadi enterosit dengan fungsi absorpsi zat besi akan akan mencerminkan status zat besi yang ada pada saat maturasi tersebut. Nilai pH getah lambung yang rendah membantu melarutkan zat besi yang tercerna dan memudahkan reduksi enzimatik zat besi dari bentuk ferri menjadi ferro yang dilakukan oleh enzim brushborder ferrireduktase. Namun demikian, bagaimana pengaturan mekanisme absorpsi zat besi masih belum jelas benar. Simpanan zat besi dalam tubuh dan status hemoglobin individual menentukan presentase absorpsi rendah, wanita dan anak-anak menyerap zat besi dari makanan dengan proporsi lebih tinggi. Pada kehamilan, dengan berkurangnya simpanan zat besi terjadi bersamaan gestasi, penyerapan besi secara berangsur dan mantap menjadi lebih efisien. Sebaliknya simpanan zat besi yang besar dalam tubuh pria akan mengurangi presentase zat besi yag diserap dan keadaan ini melindungi tubuh terhadap kelebihan muatan zat besi. Sekitar dua per tiga total zat besi tubuh terdapat di dalam sel darah merah. Penghancuran atau produksi sel darah merah bertanggung jawab terhadap proses pergantian zat besi. Kebanyakan zat besi pada sel darah merah yang dihancurkan digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Zat besi banyak terkandung dalam daging merah, telur, sayuran, dan sereal, tetapi kosentrasinya di dalam susu, buah, dan produk nabati lainnya sangat rendah. Kandungan zat besi sendiri dalam setiap makanan tidak banyak, berarti karena absorpsi
36
zat besi bervariasi secara luas. Ada dua tipe zat besi dalam makanan, zat besi non heme yang terdapat pada makanan nabati serta jaringan tubuh hewan, dan zat besi heme yang berasal dari hemoglobin serta mioglobin pada produk hewani. Zat besi heme mewakili 30-70% dari jumlah total zat besi dalam daging yang rendah lemak dan selalu dapat diserap dengan baik. Zat besi non heme dari daging merah dan makanan nabati memasuki sumber gabungan zat besi non heme yang umum di dalam getah lambung. Di sumber gabungan zat besi non heme, jumlah zat besi yang diabsorpsi sebagian besar bergantung pada keberadaan zat di dalam makanan yang meningkatkan serta menghambat absorpsi dan pada status zat besi orang tersebut. Besi heme diperoleh terutama dari daging merah, unggas, dan ikan, serta jenis ini diserap sedikitnya dua hingga tiga kali lebih baik dari pada zat besi non heme. Sebagian besar zat besi non heme berasal dari produk nabati dan susu. Lebih dari 85% zat besi dalam makanan merupakan jenis besi non heme. Ada beberapa faktor yang diketahui dapat meningkatkan atau menghambat absorpsi besi. Absorpsi besi non heme sangat dipengaruhi oleh adanya inhibitor absorpsi besi dan fasilitator (enhancer) kelarutan zat besi pada usus halus bagian prosimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi besi sebagai berikut :
37
2.3.3
Tabel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Zat Besi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Zat Besi
1. Tipe makanan yang dikonsumsi 2. Interaksi antar bahan pangan 3. Mekanisme regulasi dalam mukosa usus 4. Bioavailabilitas (penggunaan besi yang dikonsumsi untuk fungsi metabolik) 5. Jumlah simpanan zat besi 6. Kecepatan produksi sel darah merah Sumber: (vijayaraghavan, 2004). 2.2.4 Fasilitator Absorpsi Zat Besi Fasilitator absorpsi zat besi yang paling terkenal adalah asam askorbat (vitamin C) yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi non heme secara signifikan. Jadi, buah kiwi, jambu biji, dan jeruk merupakan produk pangan nabati yang meningkatkan absorpsi besi. Faktor-faktor yang ada di dalam daging juga memudahkan absorpsi besi non heme (vijayaraghavan, 2004). 2.2.5 Penghambat Abosorpsi Zat Besi Penghambat zat besi meliputi kalsium fosfat, bekatul, asam fitat, dan polifenol. Asam fitat banyak terdapat dalam sereal dan kacang-kacangan merupakan faktor utama yang bertanggung jawab atas buruknya ketersediaan hayati zat besi dalam jenis makanan ini. Karena serat pangan sendiri tidak menghambat absorpsi besi, efek penghambat pada bekatul semata-mata disebabkan oleh keberadaan asam fitat. Perendaman, fermentasi,
38
dan perkecambahan biji-bijian yang menjadi produk pangan akan memperbaiki absorpsi dengan mengaktifkan enzim fitase untuk menguraikan asam fitat. Polifenol (asam fenolat, flavonoid, dan produk polimerisasi) terdapat dalam teh, kopi, dan anggur merah. Tanin yang terdapat dalam teh hitam merupakan jenis penghambat paling paten dari semua inhibitor di atas. Kalsium yang dikonsumsi dalam produk susu seperti susu atau keju juga dapat menghambat absorpsi besi. Namun demikian, komponen lainnya, terutama fasilitator absorpsi besi dan khususnya santapan yang kompleks, dapat mengimbangi efek penghambat pada polifenol dan kalsium (vijayaraghavan, 2004). 2.2.6 Dampak Anemia Anemia memiliki dampak yang cukup serius apabila tidak ditanggulangi secara serius. Adapun klasifikasi dari dampak anemia sesuai dengan umurnya (Depkes RI, 2003) : 1.
Anak-anak :
a. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar. b. Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan otak. c. Meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena daya tahan tubuh menurun. 2.
Wanita :
a. Anemia akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit. b. Menurunkan produktivitas kerja. c. Menurunkan kebugaran.
39
3.
Remaja putri :
a. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar. b. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal. c. Menurunkan kemampuan fisik olahragawati. Mengakibatkan muka pucat. 2.2.7 Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Zat Besi Ada beberapa pendekatan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencegah atau mengurangi terhadap kejadian kekurangan zat besi, usaha-usaha yang dilakukan tersebut antara lain: 1.
Meningkatkan konsumsi makanan bergizi dengan diet tinggi zat besi dan vitamin C.
2.
Menambah pemasukkan zat besi ke dalam tubuh dengan minum Tablet Tambah Darah (TTD).
3.
Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia seperti: kecacingan, malaria, dan TBC (Depkes RI, 1998) Mengingat unsur mineral ini terdapat dalam makanan dengan jumlah yang relative
kecil, cara efektif untuk mengatasi anemia defisiensi besi segera setelah diketahui adalah dengan pemberian zat besi dalam bentuk preparat. Apabila terdapat kesalahan pada kebiasaan makan ikut memainkan peranan penting dalam menimbulkan keadaan anemia, kebiasaan ini harus dikoreksi untuk mencegah timbulnya kembali anemia da pasien harus melihat cara-cara memilih makanan yang bervariasi dan baik (E. Beck, 2000). Makan makanan yang bergizi yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani (daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati (sayuran berwarna hijau tua, kacang-kacangan, dan tempe). Sayuran dan buah yang mengandung
40
vitamin C (daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk, dan nanas) sangat bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus (Depkes RI, 1998). 2.3
Metode Penentuan Kadar Haemoglobin Salah satu cara yang digunakan untuk menentukan kadar Hb seseorang adalah
dengan metode cynmetheglobin. Cara ini cukup teliti dianjurkan oleh international committe for standaridization in haematology (ICSH). Penentuan kadar Hb dengan cara ini memerlukan spectophotometer yang harga dan biaya pemeliharaannya mahal, sehingga cara ini belum dipakai secara luas di masyarakat. ada dua cara menggunakan metode tersebut yaitu, secara langsung darah diambil dengan menggunakan pipet sahli sebanyak 0.02 ml. Darah kemudian dimasukkan ke dalam pereaksi Drabkin yang telah disiapkan, selanjutnya dibaca dengan menggunakan spectophotometer. Cara kedua yaitu, tidak langsung, darah diambil dengan pipet sahli sebanyak 0.02 ml disimpan di kertas saring yang kemudian dilarutkan di laboratorium dengan pereaksi Drubkin, selanjutnya dibaca dengan menggunakan spectophotometer. Cara penentuan Hb yang dianggap paling teliti samapai saat ini ialah cara cyanmethemoglobin (WHO, 1968). Cara ini paling tepat untuk dipakai dalam penelitian gizi. Kelemahan cara ini ialah mahalnya dan sukarnya pemeliharaan photometer, sukarnya mendapatkan standar Hb yang harus didatangkan dari luar negeri secara periodik, pemakaian reaksi yang membahayakan kesehatan karena mengandung sianida dan banyaknya perlengkapan yang harus dibawa bila bekerja di lapangan (Muhilal dan Sukati, 1980).
41
2.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia Remaja Putri Menurut Junadi (1995), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya
anemia, yaitu : 1. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan zat besi dan infeksi penyakit. Kurangnya zat besi dalam tubuh disebabkan karena kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup, namun bioavailabilitas rendah, serta makanan yang dimakan mengandung zat penghambat absorpsi besi. Infeksi penyakit yang umumnya memperbesar resiko anemia adalah cacing dan malaria. 2. Sebab tidak langsung, yaitu rendahnya perhatian keluarga terhadap wanita, aktifitas wanita tinggi, pola distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu dan anak wanita tidak menjadi prioritas. 3. Sebab mendasar yaitu masalah ekonomi, antara lain rendahnya pendidikan, rendahnya pendapatan, status sosial yang rendah dan lokasi geografis yang sulit. Menurut Depkes (2003), penyebab anemia pada remaja putri dan wanita adalah : a. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja putri dan wanita tinggi, dibanding makanan hewani sehingga kebutuhan Fe tidak terpenuhi. b. Sering melakukan diet (pengurangan makan) karena ingin langsing dan mempertahankan berat badannya. c. Remaja putri dan wanita mengalami menstruasi tiap bulan yag membutuhkan zat besi tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki.
42
2.4.1 Sosial Ekonomi 1. Pengetahuan Gizi Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengalaman penelitian menyatakan ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih baik daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Menurut Lunandi (1984), pengetahuan yang didapat oleh seseorang menyebabkan seseorang tersebut memiliki keterampilan. Keterampilan serta material yang tersedia akan mengarahkan seseorang pada perubahan perilaku. Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut didalam tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan. Tingkat pengetahuan gizi seseorang dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan (Irawati, 1992). Kelompok remaja masih berada pada proses belajar sehingga lebih mudah menyerap pengetahuan sebagai bekal di masa datang (Saraswati, 1997). Penelitian Dadin (2006) menguatkan teori diatas, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri dengan pengetahuan gizi rendah memiliki resiko 2,86 kali menderita anemia dibandingkan dengan remaja putri yang pengetahuan gizinya baik.
43
2. Pendidikan Orangtua Pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah (Permaesih, 2005) Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku hidup sehat. Pendidikan yang lebih
tinggi
memudahkan
seseorang
dalam
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khusunya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita, 2004). Tingkat pendidikan ibu terutama dapat menentukan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam menentukan makanan keluarga. Peranan ibu biasanya peling banyak berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan anak, karena ibulah yang mempersiapkan makanan mulai mengatur menu, berbelanja, memasak, menyiapkan makanan, dan mendistribusikan makanan. Pendidikan dan pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap kualitas hidangan yang disajikan, pengetahuan gizi berkembang secara bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makanan. Semakin tinggi pengetahuan gizi ibu, maka makin positif sikap ibu terhadap kualitas gizi makanan, sehingga makin baik asupan gizi keluarga (Suhardjo, 1989).
44
Achmad Djaeni (1996)
yang menyatakan bahwa pendidikan ibu merupakan
modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga, juga berperan dalam menyusun makanan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan rendah dikhawatirkan akan lebih sulit menerima informasi kesehatan khususnya bidang gizi, sehingga tidak dapat menambah pengetahuan dan tidak mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan semakin tinggi pula tingkat pendidikan kesehatannya, karena tingkat pendidikan kesehatan merupakanbentuk intervensi terutama terhadap faktor perilaku kesehatan. Menurut Sariningrum (1990), ada dua kemungkinan hubungan antara tingkat pendidikan orangtua dan pola konsumsi makanan dalam keluarganya, yaitu : a. Tingkat pendidikan orangtua secara langsung dan tidak langsung menentukan kondisi rumah tangga dimana kondisi rumah tangga sangat mempengaruhi konsumsi keluarga. b. Pendidikan istri, disamping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian keluarga juga berperan dalam penyusunan pola makan keluarga. Hasil penelitian analisis sekunder yang dilakukan oleh Basuki (1996) pada remaja putri SMU di Kabupaten Bandung, diketahui bahwa kejadian anemia lebih banyak terjadi pada responden yang mempunyai ibu dengan pendidikan rendah (tidak tamat SD) yaitu 67,4 %, sedangkan responden dengan pendidikan ibu yang tinggi (tamat SD) proporsi anemia hanya 32,6 %, maka dapat dikatakan semakin tinggi pendidikan ibu, maka kejadian anemia akan semakin rendah. .
45
3. Pekerjaan Orangtua Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu juga lamanya waktu yang dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam dan di luar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi makanan dalam keluarganya (Khumaidi, 1989). Kunanto (1992) mengemukakan bahwa orangtua dengan mata pencaharian tetap, sekalipun rendah jumlahnya tetapi setidaknya memberikan jaminan sosial keluarga yang lebih aman jika dibandingkan dengan pekerjaan tidak tetap dengan penghasilan tidak tetap. 4. Pendapatan Orangtua Menurut Soekirman (1993) pola konsumsi pangan secara makro berhubungan dengan hukum ekonomi, semakin meningat pendapatan keluarga maka semakin beraneka ragam pola konsumsinya. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. apabila penghasilan meningkat, biasanya penyediaan lauk pauk yang bermutu akan meningkat juga. Menurut Berg (1985) jumlah pengeluaran orangtua yang mungkin diketahui secara pasti oleh anak dicerminkan melalui uang saku yang diberikan oleh orangtuanya. Yayuk Farida, dkk (2004) yang menyatakan bahwa perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli, yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat gizi, salah satunya tidak
46
terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat besi, sehingga dapat berdampak timbulnya kejadian anemia. Berdasarkan penelitian Rani (2004), terdapat hubungan antara pendapatan orangtua dengan kejadian anemia pada remaja putri, yang mana remaja putri yang pendapatan orangtuanya rendah, memiliki resiko 2,729 kali menderita anemia dibandingkan remaja putri yang pendapatan orantuanya tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik penelitian Gunatmaningsih (2007) menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian anemia di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes (p= 0,035). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan tingkat pendapatan keluarga yang rendah memiliki risiko 1,707 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia. 2.4.2 Status Gizi Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari zat gizi dalam bentuk variabel tertentu. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi (Supariasa, 2002). Menurut Riyadi (2003), IMT merupakan indeks berat badan seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi dalam satuan meter kuadrat. Menurut Thompson (2007) dalam Arumsari (2008), status gizi mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi Hemoglobin, artinya semakin buruk status gizi seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya. Berdasarkan penelitian Permaesih (2005), ditemukan hubungan yang bermakna antara IMT anemia, yang mana remaja putri dengan IMT tergolong kurus memiliki resiko 1,4 kali menderita anemia dibandingkan
47
remaja putri dengan IMT normal. Berdasarkan hasil uji statistik penelitian Gunatmaningsih (2007) menunjukkan ada hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes (p= 0,002). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan status gizi tidak normal mempunyai risiko 2,175 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia. 2.4.3 Perdarahan (Kehilangan Darah) 1. Penyakit Infeksi Menurut Junadi (1995), penyebab langsung terjadinya anemia adalah penyakit infeksi, yaitu cacingan, TBC, dan malaria. Menurut Husaini (1989), anemia gizi dapat diperberat oleh investasi cacing tambang. cacing tambang yang menempel pada dinding usus dan menghisap darah. Darah penderita sebagian akan hilang karena gigitan dan hisapan cacing tambang. Setiap hari 1 ekor cacing dapat memakan darah 0,03 ml sampai 0,15 ml, sehingga untuk menyebabkan anemia diperkirakan harus ada 2000 ekor cacing. Disamping cacing tambang, cacing gelang secara langsung maupun tidak langsung juga dapat menimbulkan kekurangan zat besi, karena berkurangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan karena memendeknya permukaan villi usus. Berdasarkan penelitian Lestari (1996), remaja putri dengan investasi cacing memiliki resiko 4.47 menjadi anemia dibandingkan responden yang tidak terinvestasi cacing. Pada tahun 2006, penelitian Wijiastuti pada remaja putri di Tsnawiyah Negeri Cipondoh-Tangerang mendapatkan hubungan yang bermakna antara investasi cacing dengan kejadian anemia. Hal yang sama juga didapatkan dari hasil penelitian oleh Kaur, et al di pedesaan Wardha, India tahun 2006, remaja putri dengan investasi cacing
48
memiliki resiko menderita anemia 4,11 kali dibandingkan dengan remaja putri yang tidak memiliki investasi cacing. 2. Siklus Mentruasi Siklus menstruasi adalah suatu bentuk keseimbangan yang rumit antara tubuh, pikiran dan emosi. Diatur oleh hormon-hormon dan bulan siklus mentruasi bisa menjadi suatu sumber kesehatan menyeluruh (membantu untuk menyeimbangkan tubuh dan emosi dan berperan sebagai sebuah kompas bagi kehidupan wanita) atau sumber dari ketidaknyamanan dan penderitaan utama. Ketidakseimbangan hormon-hormon yang berperan dalam siklus mentruasi bisa menimbulkan sejumlah masalah sebagai berikut: 1. Pendarahan terlalu sedikit atau terlalu banyak 2. Masa berlangsungnya menstruasi (perdarahan) yang terlalu singkat atau terlalu lama 3. Siklus menstruasi terlalu pendek atau terlalu panjang Sejumlah masalah siklus dan perdarahan pada menstruasi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. POLIMENORE Polimenore adalah terjadinya perdarahan yang kurang lebih sama atau lebih banyak dari volume perdarahan menstruasi normal dengan panjang siklus menstruasi kurang dari 21 hari per siklusnya. Penyebabnya adalah gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan pada proses ovulasi. 2. OLIGOMENORE Oligomenore adalah volume perdarahan yang lebih sedikit dari volume
49
perdarahan menstruasi normal dengan panjang siklus menstruasi lebih dari 35 hari per siklusnya. 3. AMENORE Amenore adalah berhentinya/tidak terjadinya perdarahan haid, minimal 3 bulan berturut-turut dengan siklus haid memanjang dari siklus haid klasik (oligomenore). 4. HIPERMENORE Hipermenore adalah terjadinya perdarahan haid yang terlalu banyak dan berlangsung lebih lama dari normalnya (lebih dari 8 hari). Penyebabnya adalah tumor uterus (mioma uteri), gangguan kontraksi uterus, polip endometrium uteri, gangguan pelepasan lapisan endometrium uteri pada saat terjadinya perdarahan haid. 5. HIPOMENORE Hipomenore adalah perdarahan haid yang lebih sedikit dari biasanya, tetapi tidak mengganggu fertilitasnya. Penyebabnya adalah gangguan hormonal endokrin dan kelainan uterus (Hendrik, 2009). 3. Lama Haid Lama haid adalah waktu yang dialami oleh seorang wanita selama berlangsungnya proses haid. Lama haid biasanya berlangsung 3-6 hari. Ada yang 1-2 hari dan diikuti dengan darah yang keluar sedikit-sedikit tetapi ada yang sampai 7 hari (Derek L-Jones 1996 dalam Qomariah, 2006). Pada wanita biasanya lama haid itu tetap.
50
2.4.4 Hubungan pola haid dengan status Anemia Remaja Putri Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan (deskuamase) endometrium (Prawirohardjo Sarwono, 1994:103 dalam Amaliah, 2002) Penelitian ini menunjukkan bahwa presentase anemia lebih tinggi (53,8%) pada remaja putri yang memiliki lama haid lebih dari 6 hari dengan yang lama haidnya normal (31,1%) dan menunjukkan hubungan yang bermakna. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Nugraheni (1998) yang mendapatkan presentasi anemia lebih tinggi (65,7%) pada kelompok yang pola haidnya tidak beresiko (3-6 hari) yaitu, sebesar 16%. 2.4.5 Kebiasaan makan Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau kelompok dalam memilih pangan dan konsumsinya sebagai reaksi terhadap fisiologis, psikologis, psikososial dan budaya (Herman, 2001). Kebiasaan makan ada yang baik dan ada yang buruk. Kebiasaan makan yang baik adalah kebiasaan makan yang dapat mendorong terpenuhinya kecukupan zat gizi, sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan makan yang dapat menghambat terpenuhinya kecukupan zat gizi. Kebiasaan makan terbentuk dalam diri seseorang sebagai akibat dari proses yang diperoleh dari lingkungan yang meliputi aspek kognitif, afeksi, dan psikomotorik (Berg 1986 dalam Siagian, 2004). Menurut beberapa kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari (Khomsan 2003 dalam Phujiyanti, 2004). Orang dewasa dengan pola makan yang teratur mempunyai kecenderungan lebih langsing dan sehat dibanding orang yang makan secara
51
tidak teratur (skipping meal) (Niklas, Tom, Karen & Gerald 2001 dalam Phujiyanti, 2004). Bahan makanan penunjang kebutuhan zat besi adalah daging, ayam, ikan, bahan makanan dari laut dan vitamin C. Sedangkan zat-zat yang menghambat adalah teh, kopi. Diperkirakan zat besi yang dapat diabsorpsi oleh tubuh dari makanan antara 1-40% (Guthrie 1989 dalam Qomariah, 2006). Selain teh dan kopi, cara konsumsi buah dan sayur dengan benar juga menjadi faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi. Asam fitat dan asam oksalat yang terkandung dalam sayuran akan mengikat zat besi, sehingga mengurangi penyerapan zat besi. Karena hal inilah, bayam meski tinggi kandungan zat besinya bukan merupakan sumber zat besi yang baik. Oleh karena itu, jika hendak mengonsumsi bayam dan sayuran lain, sebaiknya disertai dengan mengonsumsi buah-buahan yang tinggi kandungan vitamin C nya. Seperti jambu biji, jeruk, nanas. Namun lebih dianjurkan untuk meminumnya dalam bentuk jus. Sebab jika dalam bentuk buah segar, yang kandungan seratnya masih tinggi, juga akan menghambat penyerapan zat besi (Murbawani, 2006) Disamping itu penyerapan sumber non heme juga dipengaruhi adanya MPF factor (meat, poultry and fish) yaitu, apabila makanan sumber herwani dikonsumsi bersama-sama sumber nabati, maka absorpsi Fe dari makanan tersebut meningkat dari 2,3% menjadi 8%. Karena asam amino yang dilepas selama makanan dicerna akan berubah bentuk chelete. Pangan hewani umumnya mengandung ”heme iron” yang lebih mudah diserap oleh usus yaitu, berkisar antara 7-22%, sedangkan pangan nabati banyak
52
mengandung ”non heme iron” yang lebih sulit untuk diserap yaitu berkisar antara 1-6% (Guthrie, 1989). Absorpsi sumber non heme sangat dipengaruhi oleh faktor peningkat penyerapan Fe (Qomariah, 2006). Zat besi yang berasal dari makanan belum tentu menjamin ketersediaan zat besi yang memadai karena jumlah zat besi yang diabsorpsi sangat dipengaruhi oleh jenis makanan sumber zat besi dan ada atau tidaknya zat penghambat maupun yang meningkatkan absorpsi besi dalam makanan (Muhilal, 1993 dalam Amaliah, 2002). Tabel 2.4.5 Kandungan Zat Besi dan Vitamin C dalam Buah Kandungan dalam 100 gr Vit. C Fe (mg) (mg) 1.1 87 0.2 6 1.1 35 0.3 24 0.8 10 1.7 78
Nama Buah Jambu Biji Mangga Belimbing Nanas Pisang Raja Pepaya Sumber : DKBM
Salah satu metode survei konsumsi makanan adalah Food Frequency Questionaire (FFQ). Metode FFQ dirancang untuk memperoleh data kualitatif yang menggambarkan atau memberikan informasi tentang frekuensi konsumsi bahan makanan. Food Frequency mengukur frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi selama periode waktu tertentu (Gibson 1990 dalam Qomariah 2006) Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden (Supariasa, 2001)
53
2.4.6 Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia Dari hasil penelitian Herman (2001) proporsi remaja putri yang menderita anemia berdasarkan pengukuran kebiasaan makan sangat bervariatif, dimana diperoleh anemia paling tinggi terjadi pada remaja putri dengan frekuensi makan <3 kali sehari (35,7%). Remaja putri dengan kebiasaan makan sayur, sumber protein hewani dan makan buah tidak setiap hari, kebiasaan minum teh setiap hari (50%) dan kebiasaan makan sumber protein nabati setiap hari (21,7%) menujukkan presentase anemia tertinggi. Setelah dianalisis diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara anemia dengan beberapa pengukuran kebiasaan makan antara lain, diet, kebiasaan makan sumber protein hewani dan kebiasaan minum teh 2.4.7 Hubungan Kebiasaan Minum Teh dengan Status Anemia Linder (1989) mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi zat besi diantaranya adalah tanin yang terdapat dalam teh dan daun-daun sayuran tertentu yang dapat menurunkan absorpsi zat besi. Ditambahkan oleh Guthrie (1989) bahwa konsumsi kopi atau teh satu jam setelah makan akan menurunkan absorpsi zat besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh karena terdapat suatu zat polyphenol seperti tanin yang terdapat pada teh. Menurut muhilal (1983) penyerapan zat besi oleh teh dapat menyebabkan banyaknya besi yang diserap turun sampai menjadi 2%, sedangkan penyerapan tanpa penghambatan teh sekitar 12% (Leginem, 2002) Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amaliah (2002) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola konsumsi sumber penghambat penyerapan Fe dengan status anemia remaja putri. Kejadian anemia lebih
54
tinggi pada remaja putri yang sering mengkonsumsi makanan/minuman sumber penghambat penyerapan Fe (54,2%) dibanding dengan yang jarang mengkonsumsi sumber penghambat (26,9%). Dan penelitian Leginem (2002) juga menyatakan ada hubungan antara kebiasaan minum teh dengan status anemia. 2.5
Kerangka Teori
2.6
Kerangka Teori Berdasaran telaah kepustakaan dari berbagai sumber, kerangka teori dapat dilihat
pada Gambar 2.5 di bawah ini : Gambar 2.5 Kerangka Teori Asupan Zat Gizi Perilaku Makan/Minum
-
Zat besi
-
Energi
-Frekuensi makan
-
Protein
-Perilaku minum teh/kopi
-
Vitamin C
-
Vitamin B12
-
Folat
ANEMIA
Kehilangan Darah (Perdarahan) -Infeksi
Status Gizi
Sosial Ekonomi -Pendapatan ayah/ibu
-Investasi cacing -Pendidikan ayah/ibu -Investasi parasit -Pekerjaan ayah/ibu
-Menstruasi -Pengetahuan
Sumber : Husaini (1989), Junadi (1995), Permaesih (2005), Satyaningsih (2007).
55
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian anemia remaja putri. Untuk mencapai tujuan tersebut maka disusun kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan modifikasi dari teori-teori Husaini (1989), Junadi (1995), Permaesih (2005), Satyaningsih (2007). Pada penelitian ini variabel sosial ekonomi, status gizi, dan penyakit infeksi (termasuk investasi cacing dan parasit) tidak diteliti karena keterbatasan peneliti. Sehingga disusunlah kerangka konsep yang terdiri dari variabel dependen yaitu, anemia remaja putri. Variabel independen meliputi perdarahan (lama haid), perilaku makan diurai menjadi, frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (buah-buahan), kebiasaan makan protein hewani, kebiasaan makan protein nabati, dan kebiasaan minum teh. Dalam kerangka konsep ini perilaku makan diurai menjadi frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (buah-buahan), kebiasaan makan protein hewani, kebiasaan makan protein nabati, dan kebiasaan minum teh.
56
57
3.2
Definisi Operasional
No. 1.
Variabel Anemia
Definisi Operasional
Cara Ukur
remaja kondisi kesehatan remaja putri Metode
putri
yang ditentukan oleh kadar
cyanmethemo
Hb dalam darah dengan
globin
Alat Ukur
Hasil Ukur
spectophoto
1. anemia (Hb
meter
<12gr/dl)
Skala Ordinal
2. normal (Hb >
ambang batas berdasarkan
12gr/dl)
kriteria WHO 2001
2.
Perdarahan,
Ordinal
diukur berdasarkan Lama haid adalah waktu yang wawancara Lama Haid
Kuesioner
1. tidak normal
dialami oleh seorang wanita
(> 7 hari)
selama berlangsungnya proses
2. normal (< 7 hari)
haid. Lama haid biasanya
(Derek L-Jones,
berlangsung 3-6 hari
1996)
(Derek L-Jones, 1996) 3.
Frekuensi makan
Berapa kali remaja putri
wawancara
makan dalam sehari
FFQ
1.tidak baik (<3 kali Ordinal sehari) 2. baik (>3 kali sehari) (karyadi dan muhilal 1995 dalam
58
Qomariah, 2006) 4.
5.
Kebiasaan makan
Frekuensi konsumsi makanan
wawancara
sumber heme
sumber heme dalam satu
(< 7kali/mgg)
minggu seperti: ayam, daging,
2.baik
ikan, udang, cumi, dll
(> 7 kali/mgg) wawancara
FFQ
FFQ
1.tidak baik
Kebiasaan makan
Frekuensi konsumsi makanan
1. tidak baik
sumber non heme
sumber non heme dalam satu
(> 7 kali/mgg)
minggu seperti: sayur-
2.baik
sayuran, tempe, kacang-
(< 7 kali/mgg)
Ordinal
Ordinal
kacangan, dll 6.
7.
Kebiasaan makan
Frekuensi sumber peningkat
wawancara
sumber peningkat
penyerapan Fe dalam satu
(< 7 kali/mgg)
penyerapan Fe
minggu sepeti: jambu biji,
2. baik
jeruk, mangga, belimbing, dll
(> 7 kali/mgg)
makanan sumber wawancara
FFQ
Kebiasaan minum
Frekuensi
teh
penghambat penyerapan Fe
(> 7 kali/mgg)
dalam satu minggu seperti:
2.baik
teh, kopi
(< 7 kali/mgg)
59
FFQ
1.tidak baik
1.tidak baik
Ordinal
Ordinal
3.3
Hipotesis 1. Ada hubungan antara perdarahan (lama haid) dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 2. Ada hubungan antara frekuensi makan dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 3. Ada hubungan antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 4. Ada hubungan antara kebiasaan makan sumber non-heme dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 5. Ada hubungan antara kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor 6. Ada hubungan antara kebiasaan minum teh dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor.
60
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional. Tujuannya untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor pada Bulan Januari 2010. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1
Populasi Populasi adalah kumpulan individu dimana hasil suatu penelitian akan dilakukan
generalisasi. Anggota populasi dimana pengukuran dilakukan tersebut sebagai unit elementer (Ariawan, 1998). Populasi dalam penelitian ini adalah siswi kelas X, kelas XI dan kelas XII Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor 4.3.2
Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Karakteristik sampel pada penelitian ini, adalah: a. Siswi kelas X, kelas XI, dan kelas XII Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor b. Jenis kelamin perempuan.
61
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode proportional random sampling. Penghitungan besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian menggunakan rumus uji beda 2 proporsi.
z Rumus: n
1 / 2
n
2 P 1 P z1 P1 1 P1 P2 1 P2
P1 P2 2
2
= jumlah sampel
z1 / 2 = 1.96 (derajat kemaknaan 95%/confident interval dengan α= 5%)
z1
= 1.28 (kekuatan uji sebesar 80%)
P1
= 0.42 (remaja putri yang menderita anemia berdasarkan penelitian Herman (2001) di SMUN 1 Cibinong Kab. Bogor)
P2
=0.22 (remaja putri yang tidak menderita anemia)
Pada penelitian ini menggunakan confident interval (CI) 95% (1.96), dan kekuatan uji sebesar 80% (1.28) dan uji 2 sisi, maka didapatkan n= 113 , dengan penghitungan sebagai berikut:
n
[1.96 2 0.321 0.32 1.28 0.421 0.42 0.221 0.22]2
0.42 0.222
= 113 x 2 = 226 siswi
62
Untuk
mengantisipasi
adanya
kemungkinan
hilangnya
data
atau
ketidaklengkapan pengisian kuesioner, maka penghitungan sampel ditambahkan 10% dari jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya. n2 = n1 + 10% . n1 = 226 + 22.6 = 248.6 = 249 siswa Pada penelitian ini jumlah responden adalah 249 orang yang diambil dari siswa kelas X, XI dan XII dengan perincian sebagai berikut: Jumlah siswa kelas X sebanyak 82 siswi, kelas XI 84 siswi, dan kelas XII sebanyak 83 siswi. Jumlah keseluruhan siswi sebanyak 249 siswi; Siswi kelas X=
245 249 82.2 82 742
Siswi kelas XI=
250 249 83.9 84 742
Siswi kelas XII=
247 249 82.8 83 742
Pengambilan sampel di setiap kelas terdiri 8-10 orang, dengan perincian; Kelas X
= 82 siswi : 9 kelas = 9.1 9
Kelas XI
= 84 siswi : 9 kelas = 9.3 10
Kelas XII
= 83 siswi : 10 kelas = 8.3 8
4.4 Instrumen Penelitian Instrumen merupakan suatu alat ukur pengumpulan data agar memperkuat hasil penelitian. Alat ukur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan form FFQ yang disusun secara terstruktur berdasarkan teori dan berisikan pertanyaan yang harus dijawab responden. Instrumen ini terdiri dari 3 bagian yaitu data
63
demografi meliputi inisial nama, umur, dan kelas. Bagian kedua kuisioner untuk gambaran perdarahan (lama haid). Bagian ketiga kuesioner adalah form FFQ. 4.5 Pengumpulan data Untuk keperluan analisis data, peneliti memerlukan sejumlah data pendukung yang berasal dari dalam dan luar lapangan. Untuk itu peneliti menggunakan cara pengumpulan data yaitu teknik wawancara. Adapun tahap pengumpulan data penelitian ini: 1. Mengurus perizinan ke Dinas Kesehatan Kota Bogor, Puskesmas Bogor Timur, dan sekolah yang bersangkutan. 2. Menyusun frame sampling berdasarkan absensi seluruh siswa dengan mengeluarkan nama-nama siswa hingga tersisa nama-nama siswi saja. Dari 1.175 siswa ada 739 siswi. Jumlah populasi siswi dari masing-masing angkatan berjumlah 242 siswi kelas X, 250 siswi kelas XI, dan 247 siswi kelas XII. Jumlah sampel yang diambil di tiap angkatan berjumlah 82 siswi kelas X, 84 siswi kelas XI, dan 83 siswi kelas XII. 3. Dari sejumlah sampel yang ada, nomor siswi kemudian dipilih secara acak sesuai jumlah yang diperlukan dalam setiap kelas. 4. Nama-nama dari nomor yang telah terpilih kemudian dipanggil dan diminta kesediaannya untuk ikut serta dalam penelitian.
64
4.6 Pengolahan Data Dalam proses pengolahan data, ada beberapa kegiatan yang dilakukan peneliti, yaitu: 1. Editing Kegiatan pengecekan isian formulir atau kuesioner apakah jawaban yang di kuesioner sudah: Lengkap
: semua pertanyaan sudah ada jawaban
Jelas
: jawaban pertanyaan apakah tulisannya cukup jelas dibaca
Relevan
: jawaban yang tertulis relevan dengan pertanyaan
Konsisten : apakah antara beberapa pertanyaan yang berkaitan isi jawaban konsisten 2. Coding Kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka. Kegiatan Coding ini dilakukan untuk mempermudah analisis data dan mempercepat entry data. 3. Entry data Meng-entry data dari kuesioner dengan menggunakan program komputer. 4. Cleaning data Kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak. Tahapan cleaning data terdiri dari : a. Mengetahui missing data b. Mengetahui variasi data c. Mengetahui konsistensi data
65
4.7
Analisis Data Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah univariat dan bivariat.
4.7.1
Analisis Univariat Pada analisis univariat, data yang diambil memakai uji statistik deskriptif untuk
melihat distribusi (perdarahan) lama haid, frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (buah-buahan), kebiasaan makan protein hewani, kebiasaan makan protein nabati, dan kebiasaan minum teh. Hasil dari analisis tersebut digambarkan dalam bentuk tabulasi. 4.7.2
Analisis Bivariat Analisis bivariat pada penelitian ini dilakukan untuk melihat suatu hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji chi square, untuk mengetahui suatu korelasi (hubungan) antar variabel independen dengan variabel dependen. Dimana bila nilai P value (< 0.05) dinyatakan ada hubungan yang bermakna dan P value (> 0.05) dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna. Tujuan dari analisis ini adalah mengukur keeratan hubungan diantara hasil-hasil pengamatan dari populasi yang memiliki dua varian (bivariat).
66
BAB V HASIL
5.1
Profil Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor Madrasah Aliyah (MA) adalah lembaga pendidikan umum menengah tingkat atas
yang diselenggarakan oleh Depatemen Agama setara dengan SMA. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 18 ayat 3. Keunggulan pendidikan MA adalah diberikannya pendalaman materi ajar Agama Islam: Qur’an Hadits, Bahasa Arab, Fiqh, Aqidah Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Madrasah Aliyah Negeri 2 (MAN 2) Kota Bogor merupaka Madrasah Aliyah alih fungsi dari Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Bogor. Dalam perkembangannya, PGAN Bogor berubah menjadi MAN Bogor 2, berdasarkan SK Menteri Agama RI no. 64 tahun 1990 dan disempurnakan dengan SK no. 43 tahun 1992 mengubah MAN Bogor 2 menjadi MAN 2 Kota Bogor sampai sekarang. 5.1.1
Visi dan Misi MAN 2 Kota Bogor Man 2 Kota Bogor memiliki visi, “terwujudnya Sumber Daya Manusia yang
berkualitas tinggi dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menguasai IPTEK, menguasai ekstakulikuler, berakhlakul karimah dan mampu mengaktualisasikan di masyarakat serta terbentuknya pribadi muslim yang kaaffah.”
67
Misi MAN 2 Kota Bogor : 1. Menyiapkan calon pemimpin masa depan yang mengusai IPTEK, kreatif, inovatif, mempunyai landasan iman dan takwa, serta akhlakul karimah yang kuat dan penglaman ajaran agama sehari-hari. 2. Mengembangkan pelayanan profesional dalam semangat kerjasama guna meningkatkan prestasi kerja dan prestasi belajar peserta didik. 3. Menjadikan semangat, aktivitas, inovatif, dinamis, komitmen, konsekwen, dan konsisten sebagai budaya hidup. 4. Menjadikan MAN 2 Kota Bogor sebagai pusat pengembangan MA yang ada di wilayah KKMnya. 5.1.2
Kurikulum Kurikulum yang digunakan di MAN 2 Kota Bogor, sama dengan kurikulum yang
digunakan di SMA, yaitu kurikulum tahun 2006 atau KTSP, yang ditambah dengan pendalaman materi pendidikan agama. Pada tahun pelajaran 2007-2008 terdapat tiga program studi yaitu, bahasa, IPA, IPS. Hal ini sesuai dengan minat dan bakat siswa. Dalam
bidang
non-akademik
MAN
2
Kota
Bogor
mengembangkan
Ekstrakulikuler, yakni : Pramuka, PMR, Marching Band, PASSUS, Olah raga (basket, futsal, voli, dll), KIR, Bela diri, UKS, Jurnalistik, Kopsis, dan Kesenian (teater, nasyid, marawis,dll). Kegiatan Unit Kesehatan Siswa (UKS) di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor terbilang cukup bagus. Kegiatan UKS bekerja sama antara pihak sekolah dengan Puskemas Bogor Timur. Di awali dengan kegitan penyuluhan kesehatan pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS) yang diisi dengan berbagai materi tentang pengetahuan
68
kesehatan. Kemudian dilanjutkan dengan penjaringan kesehatan pada Bulan Agustus yang meliputi pemeriksaan kesehatan umum, pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, tes buta warna, dan penjaringan Hb bagi siswi. Kemudian setiap satu tahun sekali diadakan pelatihan peer counselor bagi siswa yang ingin ikut serta dalam kegiatan kesehatan lainnya. 5.1.3
Fasilitas Belajar Adapun fasilitas belajar yang dimiliki oleh MAN 2 Kota Bogor sampai saat ini
adalah : 1. Memiliki 30 ruangan belajar yang representatif. 2. Perpustakaan dengan luas 270 m2 memiliki 6412 judul buku, dan ruang baca yang nyaman. 3. Laboratorium Fisika, Kimia, Biologi, dan Agama yang berstandar nasional dan mandiri. 4. Laboratorium Bahasa yang modern. 5. Laboratorium Komputer 6. Ruang Multimedia sebagai sarana pembelajaran yang variatif. 7. Lapangan Olah Raga dan Upacara yang luas dan representatif. 8. Kantin sekolah yang cukup luas 5.2
Prestasi Dalam pertumbuhannya MAN 2 Kota Bogor telah meraih banyak prestasi,
beberapa diantaranya adalah : 1. MAN berprestasi ke-3 tingkat Nasional 2007
69
2. MAN berprestasi ke-1 tingkat Jabar 2007 (untuk ketiga kalinya, yang sebelumnya tahun 2003 dan 2004) 3. Semi finalis lomba Wawasan Kebangsaan, MPR RI tahun 2007 di Jakarta 4. Peserta Pesta Sains Tingkat Nasional bidang Kimia rangking ke-27, bidang Biologi rangking ke -31 dari 80 peserta Fakulutas MIPA IPB tahun 2007 5. LCC Matematika ke-VII MA se-Jabodetabek, Juara 1 di UIN tahun 2006 6. Festival MTQ putri tk. MA/SMU/Ponpes, Juara 1 tahun 2006 di PTIQ Jakarta 7. Walikota Cup tk. SMA se-Kota Bogor, Juara 1 Catur putra tahun 2006 8. Lomba Marching Band tk. Propinsi Banten, Juara 1 tahun 2005 9. Lomba Marching Band Nasional, Juara 1 Drum Mayoret di TMII tahun 2004 10. Lomba Riset Fisika tk. Nasional, juara 1 PLN di Jakarta tahun 2004 5.3
Pelaksanaan Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan dua tahap, yang pertama pengisian
kuesioner pada Hari Senin-Selasa, tanggal 11-12 Januari 2010 dan pengambilan sampel darah dilakukan pada Hari Senin-Selasa tanggal 18-19 Januari 2010. pada pengumpulan data ini peneliti dibantu oleh 3 orang mahasiswa Kesehatan Masyarakat dan 1 orang analis dari Puskesmas Bogor Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan wawancara FFQ. Pengisian kuesioner dilakukan oleh seluruh siswi yang menjadi sample penelitian dari kelas X sampai dengan kelas XII MAN 2 Bogor. Sebelum melakukan pengisian kuesioner dilaksanakan, para siswi diberikan penjelasan mengenai maksud, tujuan, dan cara mengisi kuesioner. Diharapkan dengan penjelasan ini para siswi dapat menjawab isi kuesioner dengan lebih objektif. Selanjutnya pengambilan kuesioner tersebut dilakukan pada hari yang sama, dengan
70
melakukan pengecekan ulang terhadap jawaban kuesioner dihadapan masing-masing responden yang dalam hal ini adalah siswi MAN 2 Bogor. Tujuannya adalah agar jangan sampai ada pertanyaan yang tidak dijawab, karena bila tidak melakukan pengecekan ulang dihadapan masing-masing responden akan terjadi kesulitan dalam analisis. 5.4
Karakteristik Responden Responden pada penelitian ini terdiri atas siswa perempuan (siswi) kelas X, XI,
dan XII. Umur responden bervariatif antara 14 tahun sampai 18 tahun dengan presentase 0.8% (14 tahun), 25.2% (15 tahun), 34% (16 tahun), 32% (17 tahun), dan 8% (18 tahun). Namun, sebagian besar responden berumur 16 tahun (34%) dan 17 tahun (32%). 5.5
Analisis Univariat Tujuan dari analisis univariat pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan
mendeskripsikan setiap karakteristik dari masing-masing variabel. Data yang didapat dari penelitian ini adalah merupakan data primer yang dikumpulkan melalui pengisian kuesioner oleh 250 siswi. Data univariat terdiri dari perdarahan (lama haid) dan frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (sayur dan buah), kebiasaan makan protein hewani, kebiasaan makan protein nabati, dan kebiasaan minum teh.
71
5.5 Distribusi Responden Menurut variabel perdarahan (lama haid), frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (sayur dan buah), kebiasaan makan protein hewani, kebiasaan makan protein nabati, dan kebiasaan minum teh
No.
1.
Variabel yang diteliti
Kategori
Jumlah
Presentase
(n=250)
(100%)
Kejadian Anemia Remaja
1. Anemia
58
23.2%
Putri
2. Tidak
192
76.8%
100
40%
2. Normal
150
60%
1. Tidak baik
157
62.8%
2. Baik
93
37.2%
Kebiasaan Makan Sumber
1. Tidak baik
44
17.6%
Heme
2. Baik
206
82.4%
Kebiasaan Makan Sumber
1. Tidak baik
25
10%
Non-heme
2. Baik
225
90%
Kebiasaan Makan Sumber
1. Tidak baik
97
38.8%
Peningkat Penyerapan Fe
2. Baik
153
61.2%
Kebiasaan Minum Teh
1. Tidak baik
95
38%
2. Baik
155
62%
anemia 2.
Perdarahan (lama haid)
1. Tidak normal
3.
4.
5.
6.
7.
5.5.1
Frekuensi Makan
Kejadian Anemia Remaja Putri Distribusi frekuensi kejadian anemia remaja putri adalah anemia (hb < 12 gr/dl)
dan tidak anemia (hb > 12 gr/dl). Dengan frekuensi terbesar tidak anemia (hb > 12 gr/dl) sebanyak 192 responden (76.8%), sedangkan frekuensi terkecil anemia (hb < 12 gr/dl) sebanyak 58 responden (23.2%).
72
5.5.2
Perdarahan (Lama Haid) Distribusi perdarahan (lama haid) responden adalah tidak normal (>7 hari) dan
normal (<7 hari). Dengan frekuensi terbesar perdarahan
normal sebanyak 150
responden (60%), sedangkan frekuensi terkecil perdarahan tidak normal sebanyak 100 responden (40%). 5.5.3
Frekuensi Makan Distribusi frekuensi makan responden adalah tidak baik (< 3 kali makan per hari)
dan baik (> 3 kali makan per hari). Dengan jumlah terbesar adalah frekuensi makan tidak baik (< 3 kali per hari) sebanyak 157 responden (62.8%), sedangkan jumlah terkecil adalah frekuensi makan baik (> 3 kali per hari) sebanyak 93 responden (37.2%). 5.5.4
Kebiasaan Makan Sumber Heme Distribusi frekuensi kebiasaan makan sumber heme adalah tidak baik (<7 kali per
minggu) dan baik (>7 kali per minggu). Dengan frekuensi terbesar kebiasaan makan sumber heme baik (>7 kali per minggu) sebanyak 206 responden (82.4%), sedangkan frekuensi terkecil kebiasaan makan sumber heme tidak baik (<7 kali per minggu) sebanyak 44 responden (17.6%). 5.5.5
Kebiasaan Makan Sumber Non-Heme Distribusi frekuensi kebiasaan makan sumber non-heme adalah tidak baik (<7
kali per minggu) dan baik (>7 kali per minggu). Dengan frekuensi terbesar kebiasaan makan sumber non-heme baik (>7 kali per minggu) sebanyak 225 responden (90%), sedangkan frekuensi terkecil kebiasaan makan sumber non-heme tidak baik (<7 kali per minggu) sebanyak 25 responden (10%).
73
5.5.6
Kebiasaan Makan Sumber Peningkat Penyerapan Fe Distribusi frekuensi kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe adalah
tidak baik (<7 kali per minggu) dan baik (>7 kali per minggu). Dengan frekuensi terbesar kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe baik (>7 kali per minggu) sebanyak 153 responden (61.2%), sedangkan frekuensi terkecil kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe tidak baik (<7 kali per minggu) sebanyak 97 responden (38.8%). 5.5.7
Kebiasaan Minum Teh Distribusi frekuensi kebiasaan minum teh adalah tidak baik (>7 kali per minggu)
dan baik (<7 kali per minggu). Dengan frekuensi terbesar kebiasaan minum teh baik (<7 kali per minggu) sebanyak 155 responden (62%), sedangkan frekuensi terkecil kebiasaan minum teh tidak baik (>7 kali per minggu) sebanyak 95 responden (38%). 5.6 Analisis Bivariat Analisis bivariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran hubungan antar variabel-variabel yang mempengaruhi anemia dengan kejadian anemia remaja putri di 2 Bogor tahun 2010. Untuk mencari hubungan antara variabel perdarahan (lama haid) dan kebiasaan makan (frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (sayur dan buah), kebiasaan makan protein hewani, kebiasaan makan protein nabati, dan kebiasaan minum teh) dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi square dengan menggunakan CI 95%, derajat kemaknaan 5%.
74
5.6.1
Hubungan Antara Perdarahan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri Perdarahan (lama haid) Tidak Normal Normal
Kejadian Anemia Tidak Anemia Anemia n % n %
Total
P-value
n
%
16
16
84
84
100
100
42
28
108
72
150
100
0.028
Hasil analisis hubungan antara perdarahan dengan kejadian anemia diperoleh bahwa ada sebanyak 16 dari 100 (16%) responden yang mengalami perdarahan tidak normal dan memiliki Hb di bawah 12 gr/dl (anemia) . Sedangkan diantara responden dengan perdarahan normal, ada 42 dari 150 (28%) responden yang memiliki Hb di bawah 12 gr/dl (anemia). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.028 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara perdarahan dengan kejadian anemia remaja putri. 5.6.2
Hubungan Antara Frekuensi Makan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri
Frekuensi makan Tidak baik baik
Kejadian Anemia Tidak Anemia Anemia n % n % 34 21.7 123 78.3 24 25.8 69 74.2
Total n 157 93
% 100 100
P-value 0.452
Hasil analisis hubungan antara frekuensi makan dengan kejadian anemia diperoleh bahwa ada sebanyak 34 dari 157 (21.7%) responden memiliki frekuensi makan tidak baik dan mengalami anemia. Sedangkan diantara responden dengan yang memiliki frekuensi makan baik, ada 24 dari 93 (25.8%) responden yang mengalami
75
anemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.452 (>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan dengan kejadian anemia remaja putri. 5.6.3
Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri
Kebiasaan makan Heme Tidak baik baik
Kejadian Anemia Tidak Anemia Anemia
Total P-value
n
%
n
%
n
%
8 50
18.2 24.3
36 156
81.8 75.7
44 206
100 100
0.385
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia diperoleh bahwa ada sebanyak 8 dari 44 (18.2%) responden memiliki kebiasaan makan sumber heme tidak baik dan mengalami anemia. Sedangkan diantara responden dengan yang memiliki kebiasaan makan sumber heme baik, ada 50 dari 206 (24.3%) responden yang mengalami anemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.385 (>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri. 5.6.4
Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber non-Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri
Kebiasaan makan nonHeme Tidak baik baik
Kejadian Anemia Tidak Anemia Anemia n % n % 2 56
8 24.9
23 169
76
92 75.1
Total P-value n
%
25 225
100 100
0.058
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan makan sumber non-heme dengan kejadian anemia diperoleh bahwa ada sebanyak 2 dari 25 (8%) responden memiliki kebiasaan makan sumber heme tidak baik dan mengalami anemia. Sedangkan diantara responden dengan yang memiliki kebiasaan makan sumber heme baik, ada 56 dari 225 (24.9%) responden yang mengalami anemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.058 (>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber non-heme dengan kejadian anemia remaja _putri. 5.6.5
Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber Peningkat Penyerapan Fe dengan Kejadian Anemia Remaja Putri Kejadian Anemia Tidak Anemia Anemia
Keb. Makan peningkat penyerapan Fe
Total
n
%
n
%
n
%
Tidak baik baik
21 37
21.6 24.2
76 116
78.4 75.8
97 153
100 100
P-value
0.644
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe dengan kejadian anemia diperoleh bahwa ada sebanyak 21 dari 97 (21.6%) responden memiliki kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe tidak baik dan mengalami anemia. Sedangkan diantara responden dengan yang memiliki kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe baik, ada 37 dari 153 (24.2%) responden yang mengalami anemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.644 (>0.05), sehingga dapat disimpulkan
77
bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe dengan kejadian anemia remaja putri. 5.6.6
Hubungan Antara Kebiasaan Minum Teh dengan Kejadian Anemia Remaja Putri
Keb. Minum Teh Tidak baik baik
Kejadian Anemia Tidak Anemia Anemia n % n % 22 23.2 73 76.8 36 23.2 119 76.8
Total n 95 155
% 100 100
P-value 0.99
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan minum teh dengan kejadian anemia diperoleh bahwa ada sebanyak 22 dari 73 (23.2%) responden memiliki kebiasaan minum teh tidak baik dan mengalami anemia. Sedangkan diantara responden dengan yang memiliki kebiasaan minum teh baik, ada 36 dari 155 (23.2%) responden yang mengalami anemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.99 (>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan minum teh dengan kejadian anemia remaja putri.
78
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Bogor ini, peneliti mengumpulkan data primer dengan menyebar kuesioner dan melakukan tes Hb pada 250 siswi di MAN 2 Bogor. Rancangan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional (potong lintang). Pengukuran pada penelitian ini menggunakan variabel independen seperti perdarahan (lama haid), frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (sayur dan buah), kebiasaan makan sumber heme, kebiasaan makan sumber non heme, dan kebiasaan minum teh yang diukur secara bersamaan dengan variabel dependen yaitu, kejadian anemia remaja putri. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini antara lain : 1. Penelitian ini hanya menganalisis komponen besar saja seperti kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan fe, tidak spesifik tentang sumber makanan vitamin C atau B12 sehingga tidak terlihat hubungan secara statistik. 2. Pengukuran variabel perdarahan yang hanya diukur berdasarkan lamanya haid berlangsung, sehingga tidak diketahui secara pasti jumlah darah yang keluar.
79
3. Pada saat pengambilan sample darah responden tidak dimintai keterangan tentang status menstruasi (apakah pada saat sample darah diambil sedang mengalami menstruasi atau tidak) sehingga dapat terjadi bias. 6.2
Pembahasan Hasil Bivariat Dalam pembahasan hasil penelitian ini terdiri atas gambaran perdarahan (lama
haid), frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (sayur dan buah), kebiasaan makan sumber heme, kebiasaan makan sumber non heme, dan kebiasaan minum teh. 6.3
Kejadian Anemia Remaja Putri Anemia oleh orang awam dikenal sebagai kurang darah. Anemia adalah suatu
penyakit dimana kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal. Anemia berbeda dengan tekanan darah rendah (Depkes RI, 1998). Konsekuensi kesehatan yang ditimbulkan akibat defisiensi zat besi meliputi kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, infeksi, dan peningkatan resiko kematian. Belakangan akan terjadi gangguan pada perkembangan fisik dan kognitif yang mengakibatkan prestasi sekolah yang buruk. Pada ibu hamil, anemia karena defisiensi zat besi turut menyebabkan 20% dari semua kematian maternal (vijayaraghavan, 2004). Menurut WHO (2001) selama ini penanggulangan masalah anemia
lebih
difokuskan kepada ibu hamil. Padahal, jika ditelaah lebih lanjut, sebaiknya pencegahan anemia difokuskan sejak masih remaja putri. Apabila wanita
sejak remaja telah
mengalami kekurangan zat besi, maka kondisinya diperkirakan semakin berat pada saat wanita tersebut hamil (Qomariah, 2006).
80
Menurut SKRT Tahun 2007, pervalensi anemia pada wanita usia subur (WUS) usia 15-19 mencapai 26,5% (Gizi Dalam Angka, 2008). Di negara berkembang, terdapat 370 juta wanita yang menderita anemia karena defisiensi zat besi (vijayaraghavan, 2004). Angka kejadian dalam penelitian ini adalah 23.2% lebih rendah daripada penelitian yang dilakukan oleh Herman (2001) yang angka kejadiannya mencapai 42%. Perbedaan karakteristik responden dapat menjadi penyebab perbedaaan hasil angka kejadian anemia yang didapat. Kemungkinana lain, perbedaan hasil dari penelitian ini bisa dikarenakan variabel yang diteliti berbeda. Pada penelitian Herman (2001) variabel yang diteliti lebih banyak sehingga informasi yang tergali lebih banyak dan dapat diketahui lebih detail penyebab kejadian anemia dalam penelitian tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Herman (2001) menunjukkan bahwa sub. variabel kebiasaan makan, yang meliputi : diet, kebiasaan makan sumber protein hewani dan kebiasaan minum teh memiliki hubungan dengan kejadian anemia di SMUN 1 Cibinong Kab. Bogor. Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan kejadian anemia remaja putri di MAN 2 Bogor adalah perdarahan (lama haid), frekuensi makan, kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe (sayur dan buah), kebiasaan makan protein hewani, kebiasaan makan protein nabati, dan kebiasaan minum teh.
81
6.4
Hubungan Antara Perdarahan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri Lama haid adalah waktu yang dialami oleh seorang wanita selama
berlangsungnya proses haid. Lama haid biasanya berlangsung 3-6 hari. Ada yang 1-2 hari dan diikuti dengan darah yang keluar sedikit-sedikit tetapi ada yang sampai 7 hari (Derek L-Jones 1996 dalam Qomariah, 2006). Wanita dalam usia yang produktif akan mengalami kehilangan zat besi ketika menstruasi. Kehilangan rata-rata darah pada saat menstruasi adalah sekitar 30 ml/hari yang sama dengan kebutuhan tambahan 0.5 mg zat besi/hari. Kehilangan darah setiap hari ini dihitung dari kandungan zat besi dalam yang hilang selama menstruasi selama periode satu bulan. Sekitar 10% wanita akan kehilangan 80 ml darah yang setara dengan 1 mg besi per hari. Dengan mengambil nilai lebih tinggi (1mg/hari), kehilangan total zat besi (kehilangan basal dan menstruasi) pada wanita tersebut tidak akan mampu mempertahankan keseimbangan besi yang positif jika kebutuhan zat besinya berdasarkan kehilangan rata-rata saat menstruasi sebanyak 30 ml (Vijayaraghavan, 2004). Pada penelitian ini variabel perdarahan diukur dengan menggunakan pertanyaan yang berisi lama haid yang dialami, dengan harapan diketahuinya keadaan perdarahan normal atau tidak. Setelah analisis univariat dilakukan kemudian dilanjutkan dengan analisis bivariat yang menunjukkan bahwa hasil yang didapat pada penelitian ini dari uji chi square untuk variabel lama haid didapat p= 0.028 (<0.05) dimana terdapat hubungan yang bermakna antara perdarahan (lama haid) dengan kejadian anemia. Perdarahan memiliki hubungan dengan status anemia, karena kehilangan darah dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan defisiensi zat besi dalam tubuh bila
82
tidak diimbangi dengan asupan makanan yang sesuai. Ada 100 dari 250 responden yang mengalami perdarahan lebih dari 7 hari dalam dua bulan terakhir, dan 16 responden yang mengalami anemia dari 100 responden yang mengalami perdarahan tidak normal. Hal ini sangat mempengaruhi keseimbangan zat besi dalam tubuh jika tetap dibiarkan. Pada awalnya mungkin siswi akan mengeluhkan mudah lelah dan mengantuk yang semakin bertambah. Selanjutnya keluhan meningkat menjadi sulit untuk berkonsentrasi pada saat belajar dan prestasi belajar menurun. Dalam penelitian ini kebiasaan makan respoden dapat dibilang baik karena dari hasil analisis variabel yang berhubungan dengan konsumsi makanan tidak bermasalah tetapi perdarahan yang berlebihan juga dapat mengganggu kestabilan zat besi dalam tubuh sehingga cadangan zat besi dalam tubuh menurun. Perdarahan tidak normal atau berlangsung lebih lama dari normal (lebih dari 7 hari) disebut menorrhagia. Adapun beberapa penyebab menorrhagia antara lain, ketidakseimbangan hormon pada remaja, penggunaan obat tertentu, biasanya yang bersifat mencairkan darah seperi aspirin, dan faktor psikologis. Perdarahan lainnya juga disebut Hipermenore. Hipermenore adalah terjadinya perdarahan haid yang terlalu banyak dan berlangsung lebih lama dari normalnya. Penyebabnya bermacam-macam dan perlu pemeriksaan lebih lanjut antara lain, tumor uterus (mioma uteri), gangguan kontraksi uterus, polip endometrium uteri, gangguan pelepasan lapisan endometrium uteri pada saat terjadinya perdarahan haid. Namun, hal yang paling sering terjadi pada remaja adalah menorrhagia. Karena di usia tersebut adalah usia yang rentan dengan kondisi psikologis yang masih labil dan faktor hormonal yang masih berubah-ubah kecuali, bila memang ada penyakit tertentu seperti disebutkan di atas.
83
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2002) dalam penelitian ini menunjukkan bahwa presentase anemia lebih tinggi (53,8%) pada remaja putri yang memiliki lama haid lebih dari 6 hari dengan yang lama haidnya normal (31,1%) dan menunjukkan hubungan yang bermakna. 6.5
Hubungan Antara Frekuensi Makan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri Menurut beberapa kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari
(Khomsan 2003 dalam Phujiyanti, 2004). Orang dewasa dengan pola makan yang teratur mempunyai kecenderungan lebih langsing dan sehat dibanding orang yang makan secara tidak teratur (skipping meal) (Niklas, Tom, Karen & Gerald 2001 dalam Phujiyanti, 2004). Setelah analisis
univariat dilakukan kemudian dilanjutkan dengan analisis
bivariat didapat p=0.452 (>0.05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi makan dengan kejadian anemia. Dari sebagian besar responden yang memiliki frekuensi makan baik, yang mengalami anemia jumlahnya mencapai 25.8%. Namun, ada juga responden dengan frekuensi makan tidak baik yang mengalami anemia, jumlahnya mencapai 21.7%. Responden yang memiliki frekuensi makan baik tapi mengalami anemia, bisa dimungkinkan terjadi pada saat dilakukan pengambilan sampel darah responden sedang mengalami menstruasi sehingga mempengaruhi kadar Hb dalam darah. Frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari, ini berarti bahwa sarapan pagi hendaknya jangan ditinggalkan. Agar stamina siswa tetap fit selama mengikuti kegiatan sekolah maupun ekstrakulikuler, maka sarana utama dari segi gizi adalah
84
jangan meninggalkan sarapan pagi. Siswa yang tidak sarapan pagi akan mengalami kekosongan lambung sehingga kadar gula darah menurun yang merupakan energi utama bagi otak. Dampak negatifnya adalah ketidakseimbangan system syaraf pusat yang diikuti rasa pusing, badan gemetar atau rasa lelah. Dalam kondisi seperti ini siswa akan mengalami kesulitan untuk menerima pelajaran dengan baik, gairah belajar, dan kecepatan reaksi juga akan menurun yang akhirnya berdampak pada prestasi belajar menurun. Oleh karena itu, kegiatan sarapan pagi hendaknya diperhatikan kuantitas dan kualitas makanan yang akan dikonsumsi (Khomsan 2003 dalam Sartono 2007). Frekuensi makan sangat erat kaitannya dengan asupan zat gizi, semakin banyak makan maka asupan zat gizi akan lebih baik. Dalam penelitian ini ada 157 (62.8%) responden dari 250 siswi memiliki frekuensi makan tidak baik, peneliti berpendapat bahwa kegiatan makan yang paling sering dilewatkan adalah kegiatan makan di pagi hari/sarapan pagi. Hal ini bisa dilihat dengan seringnya para siswi pergi ke unit kesehatan siswa untuk meminta obat magh dan beristirahat di ruang kesehatan ketika jam pelajaran berlangsung atau pingsan pada saat upacara berlangsung. 6.6
Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau
kelompok dalam memilih pangan dan konsumsinya sebagai reaksi terhadap fisiologis, psikologis, psikososial dan budaya (Herman, 2001). Kebiasaan makan ada yang baik dan ada yang buruk. Kebiasaan makan yang baik adalah kebiasaan makan yang dapat mendorong terpenuhinya kecukupan zat gizi, sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan makan yang dapat menghambat terpenuhinya kecukupan zat gizi.
85
Hasil analisis bivariat menujukkan didapat p=0.385 (p>0.05) bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber heme terhadap kejadian anemia remaja putri. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang dikemukkan oleh Almatsier bahwa besi dan protein merupakan unsur utama dalam pembentuk Hb, yang seharusnya hubungan antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia memiliki hubungan yang signifikan. Hasil penelitian yang tidak ada hubungan ini juga bisa dikarenakan, ketidakterbukaan responden atau faktor ingatan reponden juga menjadi keterbatasan penelitian ini. Hal lain yang mungkin terjadi karena responden kurang bervariasi atau tidak memperhatikan aspek 4 sehat 5 sempurna dalam menyantap makanan karena interaksi zat-zat makanan dalam tubuh mempengaruhi kemaksimalan penyerapan zat besi. Dari 250 responden hanya 91 (36.4%) responden yang memperhatikan aspek 4 sehat 5 sempurna. Makanan yang bervariasi juga bisa berpengaruh pada penyerapan zat besi dalam sumber heme karena ada faktor meat, poultry and fish factor (MPF) yang membuat Fe menjadi lebih larut sehingga mudah diserap oleh tubuh. 6.7
Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber non-Heme dengan Kejadian Anemia Remaja Putri Pada analisa kebiasaan makan sumber non heme hasil yang didapat adalah 6.8%
pada responden yang mempunyai kebiasaan makan <7 kali seminggu dan 93.2% pada responden yang mempunyai kebiasaan makan > 7 kali seminggu. Bahan makanan sumber nabati (non-heme) tingkat absorpsinya dalam tubuh sedikit karena dipengaruhi oleh keberadaan zat penghambat absorpsi besi dalam makanan (muhilal, 1993 dalam Qomariah)
86
Diperkirakan zat besi yang dapat diabsorpsi oleh tubuh dari makanan antara 140%. Disamping itu penyerapan sumber non heme juga dipengaruhi adanya MPF factor (meat, poultry and fish) yaitu, apabila makanan sumber hewani dikonsumsi bersamasama sumber nabati, maka absorpsi Fe dari makanan tersebut meningkat dari 2,3% menjadi 8%. Karena asam amino yang dilepas selama makanan dicerna akan berubah bentuk chelete. Pangan hewani umumnya mengandung ”heme iron” yang lebih mudah diserap oleh usus yaitu, berkisar antara 7-22%, sedangkan pangan nabati banyak mengandung ”non heme iron” yang lebih sulit untuk diserap yaitu berkisar antara 1-6% (Guthrie, 1990). Absorpsi sumber non heme sangat dipengaruhi oleh faktor peningkat penyerapan Fe. Walaupun sumber nabati (sereal dan sayuran) banyak mengandung mineral yang dibutuhkan tubuh, seperti Fe. Namun, ada zat yang disebut asam fitat dan asam oksalat yang terkandung dalam sayuran yang dapat mengikat zat besi dan mengurangi penyerapannya. Oleh karena itu, ada beberapa cara dapat dilakukan, misalnya membuatnya menjadi tepung (menggiling), mengecambahkan (untuk serealia atau kacang-kacangan),
atau
dengan fermentasi
seperti
dalam tempe.
Atau bisa
mengkonsumsi bahan olahan tersebut yang banyak di jual bebas di pasaran. Atau dapat juga dikonsumsi berbarengan dengan sumber peningkat penyerapan Fe untuk memaksimalisasi penyerapannya. Namun, dari hasil analisis bivariat menujukkan p=0.058 (>0.05) tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber non-heme terhadap kejadian anemia remaja putri. Bertolak belakang dengan teori yang ada hal ini mungkin terjadi karena sumber non-heme dimakan tidak dibarengi dengan makanan sumber peningkat
87
penyerapan Fe yang bisa memaksimalisasi penyerapan Fe dalam makanan sumber nonheme. Sehingga penyerapan Fe ke dalam tubuh tidak maksimal. Karena interaksi antara vitamin C dengan Fe dapat meningkatkan kelarutan Fe, sehingga Fe mudah diserap oleh tubuh. Kemungkinan lain, responden sudah menyertai buah-buahan dalam menu makanannya. Namun, buah tersebut dikonsumsi secara langsung atau dalam bentuk buah segar sehingga kadar serat masih tinggi dan dapat menghambat penyerapan zat besi. Untuk itu, dianjurkan memakan buah dalam bentuk jus untuk diminum. Atau responden mengkonsumsi sumber non heme seperti kacang-kacangan bukan dalam bentuk olahan sehingga zat yang dapat menghambat penyerapan Fe yang terkandung dalam makanan tersebut malah mengikat Fe itu sendiri. Pada sayur mayur terdapat beberapa zat yang bemanfaat bagi tubuh baik itu Fe, vitamin C, ataupun seng. Zat-zat tersebut saling menopang satu sama lain, contohnya vitamin C yang terdapat dalam sayuran dapat membantu penyerapan Fe tetapi, vitamin C akan mengalami penguapan apabila terjadi pemanasan. Hal ini dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walaupun konsumsi banyak buah atau sayur yang mengandung vitamin C tapi salah dalam mengolahnya dapat mengurangi kemaksimalan penyerapan zat lain dalam tubuh seperti Fe. Sebab vitamin C yang telah mengalami pemanasan dapat hilang kandungannya sekitar 50% sehingga penyerapan Fe tidak maksimal. Hal ini kemungkinan sebab-sebab mengapa dalam penelitian ini kebiasaan makan sumber nonheme tidak berhubungan dengan kejadian anemia.
88
6.8
Hubungan Antara Kebiasaan Makan Sumber Peningkat Penyerapan Fe dengan Kejadian Anemia Remaja Putri Zat besi yang berasal dari makanan belum tentu menjamin ketersediaan zat besi
yang memadai karena jumlah zat besi yang diabsorpsi sangat dipengaruhi oleh jenis makanan sumber zat besi dan ada atau tidaknya zat penghambat maupun yang meningkatkan absorpsi besi dalam makanan (Muhilal, 1993 dalam Amaliah, 2002). Hasil bivariat menujukkan p=0.644 (>0.05) yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber peningkat Fe dengan kejadian anemia. Hal ini bisa dimungkinkan karena kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe yang tidak dibarengi pada saat mengkonsumsi sumber makanan non heme sehingga tidak memiliki dampak yang signifikan bagi ketersediaan zat besi dalam tubuh. Kemungkinan lain yang menyebabkan tidak berhubungan antara kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe dengan kejadian anemia adalah bentuk pada saat mengkonsumsi sumber peningkat penyerapan Fe apakah dalam bentuk buah segar atau jus. Karena kandungan serat yang masih tinggi pada buah segar juga dapat menghambat penyerapan zat besi. Hal ini juga menjadi keterbatasan pada penelitian ini karena dalam kuesioner tidak ditanyakan bentuk konsumsinya. Selain itu, kemungkinan besar responden tidak bisa membedakan jenis pisang, antara yang tertera di FFQ dengan yang di konsumsi, sebab kandungan dan besar antara jenis pisang satu dengan pisang lainnya berbeda. Kemungkinan lain, kuantitas yang dimakan dalam penelitian ini tidak tergambar jelas akibat kesalahan penggunaan FFQ semi kuantitatif oleh peneliti sehingga informasi yang didapat tidak sempurna yang
89
menyebabkan tidak terlihatnya hubungan yang signifikan antara kejadian anemia dengan kebiasaan makan sumber penigkat penyerapan Fe. 6.9
Hubungan Antara Kebiasaan Minum Teh dengan Kejadian Anemia Remaja Putri Linder (1989) mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi
absorpsi zat besi diantaranya adalah tanin yang terdapat dalam teh dan daun-daun sayuran tertentu yang dapat menurunkan absorpsi zat besi. Ditambahkan oleh Guthrie (1989) bahwa konsumsi kopi atau teh satu jam setelah makan akan menurunkan absorpsi zat besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh karena terdapat suatu zat polyphenol seperti tanin yang terdapat pada teh. Menurut muhilal (1983) penyerapan zat besi oleh teh dapat menyebabkan banyaknya besi yang diserap turun sampai menjadi 2%, sedangkan penyerapan tanpa penghambatan teh sekitar 12% (Leginem, 2002). Ada dua jenis teh, teh hitam dan teh hijau. Pada teh hitam senyawa polyphenol yang berperan sebagai antioksidan ternyata telah mengalami oksidasi, sehingga dapat mengikat mineral seperti Fe, Zn, dan Ca, serta dapat menyamak protein. Untungnya, pada teh hijau senyawa polifenolnya masih banyak, sehingga kita masih dapat meningkatkan peranannya sebagai antioksidan (Alsuhendra, 2002). Karena itu, jika ingin mengonsumsi teh, sebaiknya diberi jarak waktu sekitar 1 jam setelah mengonsumsi sayuran atau daging yang tinggi kandungan zat besinya. Langkah tersebut dimaksudkan agar zat besi dapat diserap terlebih dahulu oleh usus halus dan tidak terjadi tarik menarik antara zat besi dengan tanin yang akan menghambat penyerapan zat besi tersebut. Di Indonesia umumnya dan para siswi khususnya lebih
90
banyak mengkonsumsi teh hitam yang banyak di jual di pasaran dan ini mesti di waspadai. Hasil analisis bivariat didapat p=0.99 (>0.05) yang menujukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan sumber penghambat penyerapan Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Amaliah (2002) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola konsumsi sumber penghambat penyerapan Fe dengan status anemia remaja putri. Dari 58 responden yang mengalami anemia ada 22 (23.2%) yang mengkonsumsi teh lebih dari 7 kali per minggu. Kemungkinan yang membuat kebiasaan minum teh dalam penelitian ini tidak berhubungan adalah responden sisanya yang mengkonsumsi teh tetapi tidak anemia melakukan penjarakkan konsumsi. Sehingga konsumsi teh tidak mengganggu penyerapan zat besi yang masuk ke dalam tubuh. Kemungkinan lain responden gemar minum teh namun teh dalam kemasan atau teh instan yang telah mengalami beberapa proses yang mungkin kadar taninnya tidak setinggi kadar tanin dalam teh asli. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut tentang perbedaan kadar tanin yang terdapat dalam teh asli dan teh dalam kemasan atau instan.
91
BAB VII PENUTUP
7.1
Simpulan 1. Dari 250 siswi yang diteliti di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor, siswi yang mengalami anemia (23.2%) dan sisanya tidak mengalami anemia. 2. 40% mengalami perdarahan tidak normal, 60% lainnya mengalami perdarahan normal. 3.
62.8% memiliki frekuensi makan tidak baik, 37.2% lainnya memiliki frekuensi makan baik.
4. 17.6%
memiliki kebiasaan makan sumber heme tidak baik, 82.4% lainnya
memiliki kebiasaan makan sumber heme yang baik. 5. 10% memiliki kebiasaan makan sumber non-heme tidak baik, 90% lainnya memiliki kebiasaan makan yang baik 6. 38.8% memiliki kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe tidak baik, 61.2% lainnya memiliki kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe yang baik 7. 38.8% memiliki kebiasaan makan sumber penghambat penyerapan Fe tidak baik, 61.2% lainnya memiliki kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe yang baik 8. Ada hubungan yang bermakna antara perdarahan (lama haid) dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor
92
9. Tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor 10. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putrid di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor 11. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber non-heme dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor 12. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber peningkat penyerapan Fe dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor 13. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan minum teh dengan kejadian anemia remaja putri di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor 7.2
Saran Beberapa
saran
yang
dapat
direkomendasikan
untuk
mengatasi
atau
meminimalisasi kejadian anemia remaja putri adalah sebagai berikut :
7.2.1
Bagi Pihak Sekolah
1. Diadakan penyuluhan oleh Pembina UKS atau guru olah raga terkait tentang bahaya anemia untuk jangka panjang dan jangka pendek. 2. Bekerjasama dengan guru bimbingan konseling (BK) untuk secara rutin membina psikologis siswi agar tidak terlalu memikirkan masalah berlarut-larut dan stress yang akan berakibat pada keseimbangan hormonal dan psikologis siswi untuk mengantisipasi tidak terjadinya perdarahan menstruasi yang berlebihan.
93
3. Bekerjasama dengan pihak Puskesmas terkait bila terbukti ada siswi yang mengalami perdarahan berlebihan karena penyakit tertentu agar bisa di periksa lebih lanjut. 7.2.2
Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Agar menggunakan tehnik metode wawancara mendalam sehingga bisa menggali lebih dalam dan lebih detail tentang konsumsi makanan dan penyebab kejadian anemia remaja putri lainnya. 2. Agar meneliti faktor-faktor lain yang dianggap memiliki hubungan dengan kejadian anemia seperti, penyakit infeksi yang di derita (co: gastritis), diare, faktor perdarahan lain seperti kecelakaan, dan aktifitas fisik. Sehingga benarbenar didapatkan hubungan dengan kejadian anemia remaja putri. 3. Agar menggunakan metode penelitian yang lain, sehingga ada perbandingan antara metode pada penelitian ini dengan penelitian selajutnya.
94
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Alsuhendra.2002. Makan Nasi Jangan Minum Teh. mahasiswa Program Studi Pangan PascasarjanaIPB/INTISARI) http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1020739016,95399 Diakses tanggal 6 Februari 2010 jam 19:47 wib Amaliah, Lili. 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri Mahasiswa Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Serang tahun 2002. skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Ariawan, iwan. 1998. Besar dan Metode pada Sampel Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja dan Wanita Usia Subur. Depkes RI: Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan WUS. Depkes RI: Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2008. Gizi dalam angka. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI: Jakarta. Dewi, Gusti Kumala. 2008. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Santri terhadap Alat Kontrasepsi di Pondok Pesantren Daarul Uluum Kota Bogor Tahun 2008. skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. E. Beck, mery. 2000. Ilmu Gizi dan Diet. Yayasan Essentia Medika: Jakarta. Emilia, esi. 2003. Tiga Belas Pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang (Pugs) sebagai Pedoman untuk Hidup Sehat. http://rudyct.com/PPS702-ipb/07134/esi_emilia.htm. diakses pada tanggal 3 Agustus 2009 pukul: 18:10 Guthrie, H.A.1989. Introductory Nutrition. Mosby College Publishing: USA. Hendrik. 2009. Problema Haid, Femona Mengatur dan Menormalkan Siklus Menstruasi, Volume serta Masa Berlangsungnya Perdarahan. http://femona.com/detail_artikel.php?id=4. Di akses pada tanggal 28 okt’09 pukul 12:27. Herman, indah Indriawati. 2001. Hubungan Anemia dengan Kebiasaan Makan, Pola Haid, Pengetahuan Tentang Anemia dan Status Gizi Remaja Putri di SMUN 1 Cibinong Kabupaten Bogor. skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
95
Husaini, dkk.1989. Anemia Gizi Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang Kebijakan Nasional dan Pengembangan Program. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Depkes RI: Bogor. Irawati, A, dkk. 1992. Pengetahuan Murid SD dan SMP di Kodya Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Depkes RI: Bogor. Junadi,P. 1995. Strategi Operasional Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia. FKM UI: Depok. Khumaidi, M.1989. Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas Pangan Gizi IPB: Bogor. Leginem. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia pada mahasiswa Akademi Kebidanan Kota Banda Aceh tahun 2002. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Lestari, Sri Basuki Dwi. 1996. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Gizi Remaja Putri SMU di Kabupaten Bandung. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Muhilal dan Sukati Saidin. Departemen Kesehatan RI. 1980. Ketelitian Hasil Penentuan Hemoglobin dengan Cara Sianmetheglobin, Cara Sahli dan Sianmetheglobin-Tidak-Langsung. Penelitian Gizi dan Makanan, Jilid 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Murbawani, Etisa Adi. 2006. Anemia Defisiensi Besi, Kekurangan Zat Besi. http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/23/ragam02.htm. Diakses pada tanggal 7 Februari 2010 pukul 18:48.
Nugraheni, dwi herti. 1998. Faktor yang Berhubungan dengan Anemia Gizi pada Tenaga Kerja Wanita di PT Fans Brother sejati Kabupaten Dati II tangerang. Skripsi. FKM UI Phujiyanti, yustia. 2004. Identifikasi Gaya Hidup dan Kebiasaan Makan Mahasiswa IPB. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Purwaningrum, Nur Fadjria. 2008. Hubungan Citra Raga dengan Perilaku Makan Remaja Putri. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Qomariah, Nur. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Gizi pada Siswi SMU di Kecamatan Mauk Kab. Tangerang Tahun 2006. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
96
Saraswati, Edwi, dkk. 1997. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Anemia Remaja Putri Sekolah Menengah Umum Anemia dan Non Anemia di Enam Dati II Propinsi Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan RI: Bogor. Sariningrum, I. 1990. Tingkat Pendapatan dan Pengetahuan Gizi. Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI: Jakarta. Sartono, dkk. Hubungan Konsumsi Makanan dengan Kadar Hemoglobin (Hb) dengan Prestasi Belajar Siswa SLTP Kota Palembang. Jurnal Gizi Klinik Indonesia volume 4, no.1, juli 2007: 19-29. Siagian, christine mulianty. 2004. Kebiasaan Makan dan Konsumsi Serat Makanan pada Remaja SMU di Bogor. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sulaeman. 2007. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dengan Angka Kejadian Anemia Remaja Putri SMUN I Yogyakarta Tahun 2007. Supariasa, I dewa Nyoman, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Uyanto, stanislaus S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu: Yogyakarta. Vijayaraghavan, kamasamudram. 2004. Anemia Karena Defisiensi Zat Besi. Gizi Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 2009.
97