SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTA ELISABETH SAMBAS NOMOR : 2.010/RSSE-SK/DIR/VII/2018
TENTANG KEBIJAKAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG RASIONAL DI RSU SANTA ELISABETH SAMBAS
DIREKTUR RSU SANTA ELISABETH SAMBAS
Menimbang
:
a. Bahwa dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah Sakit perlu diatur penggunaan antibiotika yang disesuaikan dengan kriteria yang ditetapkan oleh Komite PPI. b. Bahwa pemberian antibiotik profilaksis disesuaikan dengan jenis operasi dan pedoman yang berlaku di tiap-tiap Departemen c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b perlu ditetapkan dengan surat keputusan direktur.
Mengingat dan memperhatikan: 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, tentang Kesehatan; 2. Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit; 3. SK Menkes Nomor : 382/Menkes/2009 tentang Pe doman PPI di Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan lainnya; 4. Buku Pedoman Departemen Kesehatan tahun 2008 tentang Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit 5. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011 6. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, Depkes RI, 2011.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : Pertama
:
KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTA ELISABETH SAMBAS TENTANG KEBIJAKAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG RASIONAL DI RSU SANTA ELISABETH SAMBAS.
Kedua
:
Kebijakan penggunaan antibiotik yang rasional di RSU Santa Elisabeth sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
Ketiga
:
Kebijakan ini mengatur bagaimana penggunaan antibiotik harus sesuai dengan pedoman dan kompetensi dokter.
Keempat
:
Keputusan ini berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkan, dan apabila kemudian hari terdapat terdapat kekeliruan dalam penetapan
ini akan ditinjau dan diperbaiki
sebagaimana mestinya.
DITETAPKAN
: DI SAMBAS
PADA TANGGAL
: 23 JULI 2018
DIREKTUR RSU.ST.ELISABETH SAMBAS
dr. Felix Tasbun NIK.000350/RSSE
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTA ELISABETH SAMBAS NOMOR
: 2.010/RSSE-SK/DIR/VII/2018
TENTANG
:KEBIJAKAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG RASIONAL DI RSU SANTA ELISABETH SAMBAS
PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG RASIONAL DI RSU SANTA ELISABETH SAMBAS BAB I PENDAHULUAN
Seiring
berkembangnya
penelitian
mengenai
obat-obatan,
saat
ini banyak
jenis antibiotik yang tersedia di pasaran. Hal ini terkadang membingungkan para dokter yang ingin menggunakannya. Selain itu, dengan adanya ”tekanan promosi” yang sangat gencar dari pabrik farmasi akan memicu pemakaian antibiotik yang menjurus ke arah ketidakrasionalan.1 Hingga kini belum ada kesepakatan antara dokter dan dokter, maupun rumah sakit dengan rumah sakit mengenai penggunaan antibiotika secara rasional. Padahal, untuk mendapatkan hasil optimal yang aman, efektif, dan efsisien dari terapi antibiotika diperlukan suatu persepsi yang sama mengenai penggunaan antibiotika untuk meminimalisasi efek samping bagi pasien. Komite medis dari tiap rumah sakit harus memiliki pedoman penggunaan antibiotika dan rutin melakukan aud it.2 Dalam penggunaan antibiotika yang rasional, terdapat beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan, seperti tepat indikasi, tepat penderita, tepat pemilihan jenis antibiotika, tepat dosis, tepat lama dan interval pemberian, efek samping m inimal, ekonomis, dan menggunakan kombinasi yang tepat bila diperlukan.3 Pemakaian antibiotika yang irasional merupakan penggunaan antibiotika dengan indikasi yang tidak jelas, dosis atau lama pemakaian yang tidak sesuai, cara pemakaian yang kurang tepat, status obat yang tidak jelas, dan pemakaian antibiotika secara berlebihan. Pemakaian antibiotika secara irasional dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotika tersebut, meningkatkan toksisitas, meningkatnya kejadian efek samping obat, serta biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi.3 Penggunaan antibiotika secara tidak rasional salah satunya dengan memberikan resep antibiotika pada penyakit yang tidak memerlukan an tibiotika. Dalam sebuah penelitian tahun 2004
tentang penyakit infeksi saluran pernafaan atas (ISPA) dan diare di empat provinsi mencakup Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat ditemukan telah terjadi peresepan antibiotika secara tidak rasional. Pada ISPA penggunaan antibiotika tidak rasional sebesar 94%, sedangkan pada diare sebesar 87 %. Penggunaan antibiotika secara tidak rasional ini juga akan memicu terjadinya pandemi antiresistensi mikroba. Selain pandemi, kebalnya pasien terhadap antibiotika akan menimbulkan biaya pengobatan yang lebih besar.4 Dalam
keadaan
ideal,
penyebab infeksi yang diketahui
pemilihan
antibiotika dapat
dengan pasti dari hasil
diseuaikan
dengan kuman
pembiakan dan tes sensitifitas
antibiotik. Terapi yang didasarkan atas pemeriksaan mikrobiologik tersebut merupakan terapi definitif. Namun, dalam keadaan sehari-hari pemeriksaan mikrobiologik tersebut seringkali tidak dapat dilaksanakan karena terbatasnya fasilitas, atau tidak mungkin ditunggu hasilnya sehingga antibiotika harus segera diberikan. Dalam keadaan ini dapat digunakan prinsip “educated guess” dengan mempertimbangkan organ atau sistem yang terkena infeksi dan kuman penyebab tersering, sehingga dapat diputuskan antibiotika yang paling sesuai.5 Terdapat beberapa hal penting mengenai antibiotika yang perlu diketahui sebelum memilih dan menggunakan antibiotika agar antibiotika dapat digunakan secara rasional, antara lain sifat aktifitasnya, spektrum, mekanisme kerja, pola resistensi, dan efek samping obat.3 Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai sifat-sifat antibiotik dan penggunaannya, agar para pembaca mendapatkan wawasan lebih dan dapat mengaplikasikan penggunakan antibiotika secara rasional.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN TATA LAKSANA
Perkembangan antibiotika merupakan salah satu hal yang penting dalam perkembangan terapeutika, baik sebagai pencegahan dan terapi agen infeksi maupun komplikasinya. Dalam pemilihan jenis antibiotika perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti; penemuan klinis, spesimen klinis sebagai diagnosis mikrobiologis, serta etiologi. Pemberian antibiotika initial biasanya bersifat empiris; yaitu sebelum ditemukannya agen infeksi. Alasan pemberian empiris karena infeksi bersifat akut dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas apabila pemberian antibiotika terlambat. Pemberian terapi empiris didasarkan atas pengalaman klinis yang mempertimbangkan lokasi anatomis infeksi, kemungkinan terbesar patogen penyebab, dan spektrum antibiotika. Diharapkan intervensi yang dini dapat meningkatkan prognosis kesembuhan pasien. Apabila etiologi telah ditemukan maka dapat dipertimbangkan apakah dapat diberikan agen dengan spektrum sempit sebagai terapi empiris atau pengkombinasian antibiotika,dengan dosis yang optimal dan cara pemberian yang sesuai. Dengan demikian terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik. Ketiga faktor tersebut adalah:
Faktor pejamu (pasien) Mencakup status imunitas, lokasi infeksi, penyakit penyerta, efek obat sebelumnya, gangguan eliminasi obat, usia, dan status kehamilan.
Faktor agen (mikrobiologis) Perlu dipertimbangkan kesensitifitasan bakteri terhadap jenis antibiotika tertentu.
Faktor farmakologis Mempertimbangkan faktor farmakodinamik (interaksi obat dengan mikroorganisme) dan farmakokinetik untuk efisiensi dan pencegahan resistensi.
2.1
Faktor Pejamu (Pasien)
2.1.1 Mekanisme Imunologi Manusia
Dalam merespon infeksi, tubuh memiliki beberapa pertahanan tubuh, misalnya sel darah putih. Sel darah putih dibagi menjadi dua kelompok, yaitu granulosit (mencakup
polimorfonuklear, yaitu neutrofil, basofil, dan eosinofil) dan agranulosit (seperti monosit dan limfosit) (Tabel 1).1 Pada keadaan infeksi, neutrofil tubuh akan bergerak dari aliran darah menuju jaringan untuk melawan patogen sehingga terjadi leukositosis. Selama infeksi, neutrofil imatur (mis. neutrofil batang) juga ikut dikeluarkan dari sumsum tulang ke aliran darah untuk membantu melawan infeksi, sehingga dikenal sebagai bandemia atau hitung jenis yang bergeser ke kiri (left shift ). Terkadang pada infeksi usia lanjut, jumlah sel darah putih menunjukkan nilai normal, namun hitung jenis bergeser ke kiri. Oleh karena itu, hitung jenis sel darah putih penting pada infeksi.2 Limfosit turut berperan dalam melawan infeksi. Berdasarkan fungsinya, limfosit terbagi menjadi dua. Limfosit T yang berperan dalam imunitas seluler dan limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral. Limfositosis biasanya terjadi pada infeksi virus akut, seperti Epstein Barr Virus dan sitomogelovirus, serta pada beberapa bakteri tertentu (mis. Brucellia sp.). Monositosis berhubungan dengan infeksi bakteri akut, walaupun keberadaanya terkait dengan respon terhadap jenis infeksi tertentu (mis. tuberkulosis) dan kemoterapi. Eosinifilia didapatkan pada infeksi parasit.1 Proses infeksi dapat disebabkan karena faktor endogen dan faktor eksogen. Infeksi endogen dikarenakan peningkatan flora normal tubuh atau gangguan terhadap mekanisme pertahanan tubuh (Tabel 2). Infeksi eksogen dapat terjadi melalui transmisi antar manusia, lingkungan, dan kontak dengan hewan. Infeksi mengacu pada adanya bakteri yang menyebabkan penyakit, sedangkan kolonisasi mengacu pada bakteri yang merupakan flora normal tubuh. Terapi antibiotika ditujukan terhadap infeksi bakteri yang menyebabkan penyakit, sedangkan kolonisasi flora normal dibiarkan intak. Hal ini penting karena antibiotika yang ditujukan untuk flora normal dapat menimbulkan resistensi bakteri.2
Tabel 1. Sel Darah Putih dan Fungsinya1,2 Tipe
Nilai Normal
Fungsi
Abnormalitas
(%)
Neutrofil
Segmen 40-60
Fagosit (melawan bakteri
Leukositosis
dan jamur)
- Infeksi bakteri - Infeksi jamur
Batang
- Stres fisik
3-5
- Cedera jaringan (misal: infark miokard) - Obat-obatan (misal kortikosteroid) Leukopenia
- Long standing infection - Kanker - Obat-obatan (misal kortikosteroid) Limfosit
20-40
Sel T (cell mediated
Limfositosis
immunity)
- Infeksi virus (misal mononukleosis)
- produksi antibodi
- Tuberkulosis
- antigen presenting cell
- Infeksi jamur
Sel B (humoral antibody
Limfopenia
response)
- HIV
- imunitas seluler melawan virus & tumor - regulasi sistem imun Monosit
2-8
Fagosit, prekursor
Monositosis
makrofag
- Tuberkulosis - Infeksi protozoa - Leukemia
Eosinofil
1-4
Reaksi antigen antibodi
Eosinofil
Respon alergi
- Reaksi hipersensitifitas, termasuk obat-
(perlawanan terhadap
Basofil
<1
obatan
parasit)
- Infeksi parasit
Respon alergi
Reaksi hipersensitifitas
2.1.2
Mendiagnosis Infeksi
Terdapat beberapa pemeriksaan yang digunakan klinisi dalam mendiagnosis infeksi. Walaupun tidak ada satu tes spesifik tertentu yang langsung dapat membuktikan pasien mengalami infeksi, bila dikombinasikan dengan temuan klinis, pemeriksaan penunjang akan membantu menegakan diagnosis infeksi.1
Tabel 2. Flora Normal Sesuai Lokasi Anatomis2 Kulit (105-107)
- Staphylococcus epidermidis - Staphylococcus aureus - Micrococci - Diphtheroids
Mulut (109-1011)
- Viridans streptococci - Oral anaerob
Infeksi Saluran Napas Atas (10 5-109)
- Oral anaerob - Streptococcus sp. - Staphylococcus sp. - Neisseria sp. - Diphtheroids - Haemophilus sp. - Streptococcus pneumoniae
Infeksi Saluran Napas Bawah
Steril
Lambung (<103)
- Streptococcus sp. - Lactobacillus
Usus kecil: - Duodenum / jejunum (10 3-105)
- Lactobacillus - Streptococcus sp. - Enterococcus sp. - Enterobacteriaceae - Diphtheroids - Beberapa anaerob
- Ileum (aerob 10 4-106, anaerob 105-107)
- Enterobacteriaceae - Enterococcus sp.
- Peptostreptococcus - Anaerob ( Bacteroides sp. & Clostridium sp.) Usus besar (aerob 10 4-106, anaerob 10 5-107)
- Enterobacteriaceae - Enterococcus sp. - Pseudomonas sp. - Streptococcus sp. - Anaerob ( Bacteroides sp. & Clostridium sp.)
Gambaran klinis demam merupakan salah satu respon tubuh terhadap toksin bakteri, namun demam tidak selalu dikarenakan infeksi bakteri. Demam dapat pula disebabkan infeksi lain (virus atau jamur), obat-obatan (mis. penisilin, sefalosporin, salisilat, dan fenitoin), trauma, atau kondisi medik (mis. penyakit autoimun, keganasan, emboli pulmoner, dan hipertiroid). Di sisi lain, beberapa pasien dengan infeksi dapat mengalami hipotermia (mis. pada pasien dengan infeksi berat). Pasien usia lanjut dapat mengalami afebris, seperti pasien yang men galami infeksi lokal (mis. infeksi saluran kemih). Sebaliknya, pada pasien lain, demam dapat menjadi satusatunya gejala infeksi. Misalnya, pasien neutropenia tidak mempunyai kemampuan respon imunitas yang normal terhadap infeksi, sehingga walaupun ditemukan infiltrat pada rontgen dada, pyuria pada urinalisis, dan eritema atau indurasi disekeliling kateter, kelainan yang dialami hanya demam.2 Diagnosis infeksi dapat dibantu melalui pemeriksaan penunjang, sepe rti foto rontgen untuk membantu mengidentifikasi lokasi anatomis infeksi, misalnya pada pneumonia. Pencitraan lain juga dapat dilakukan seperti CT-scan dan MRI untuk menunjang diagnosis. Selain pencitraan, pemeriksaan laboratorium juga diperlukan, seperti jumlah sel darah putih, hitung jenis sel d arah putih, laju endap darah (LED), dan kadar C-reactive protein (CRP). Jumlah sel darah putih umumnya meningkat sebagai respon pada infeksi, namun pada infeksi berat atau infeksi yang berlangsung lama, dapat terjadi hal sebaliknya.2 Selain karena infeksi bakteri, jumlah sel darah putih dapat meningkat pula karena beberapa hal lain, seperti stress, inflamasi (reumatoid artritis dan leukemia), dan respon terhadap beberapa obat (mis. kortikosteroid). Pada keadaan infeksi akut, LED dan CRP meningkat sebagai respon inflamasi. Namun, perlu diingat bahwa LED dan CRP merupakan penanda inflamasi nonspesifik, sehingga sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar diagnosis infeksi karena dapat meningkat pada inflamasi non-infeksi, seperti polymialgia rheumatic, reumatoid artritis, dan artritis temporal.
Namun LED dan CRP dapat digunakan dalam memantau respon terapi pasien osteomielitis dan infektif endokarditis.1
2.1.3
Cara Pemilihan Pemberian Obat
Dalam pemberian antibiotik, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dari segi keadaan pasien. Faktor-faktor tersebut antara lain: kegawatan atau bukan, usia pasien, insufisiensi ginjal, gangguan faal hati, gangguan pembekuan darah, gangguan granulositopenia, kehamilan, dan laktasi.3 Dalam suatu kegawatan yang mungkin didasari infeksi berat, diperlukan lebih dari satu jenis antibiotika. Sebaliknya, suatu keadaan yang tidak gawat dan baru mulai serta tidak jelas etiologinya, tidak memerlukan antibiotika kecuali dapat dibuktikan melalui pemeriksaan penunjang bahwa yang sedang dihadapi adalah suatu infeksi bakteri.3 Pasien usia lanjut sering memiliki patologi multipel dan lebih peka terhadap pemberian obat. Distribusi dan konsentrasi obat dapat berbeda dikarenakan adanya penurunan konsentrasi albumin darah dan fungsi ginjal.3 Antibiotika yang nefrotoksik seperti amfoterisin B tidak boleh diberikan pada insufisiensi ginjal berat. Aminoglikosida potensial nefrotoksik dan bila terjadi a kumulasi dapat juga bersifat neurotoksik. Beberapa antibiotik seperti bensilpenisilin dan gentamisin eksresinya hanya melalui ginjal, sedangkan yang lainnya masih memiliki mekanisme eksresi alternatif atau mengalami metabolisme dalam tubuh. Pada anuria, beberapa antibiotika dapat diberikan tanpa mengurangi dosis, antara lain kloramfenikol, eritromisin, rifampisin, dan kelompok penisilin (kecuali tikarsilin).3 Hati berperan dalam metabolisme dan detoksifikasi obat. Antibiotika yang tidak dapat didetoksifikasi karena terdapat gangguan faal hati akan memberikan efek samping yang serius. Kloramfenikol, asam nalidiksik, sulfonamida, dan norfloksasin dikonjugasi dengan asam glukuronida dalam hati untuk selanjutnya dieksresikan melalui urine. Antibiotika tersebut merupakan kontra indikasi pada penyakit hati yang berat, terutama bila terdapat gangguan fungsi hepatorenal. Demikian pula antibiotika yang dieksresikan melalui hepar ke dalam saluran cerna seperti siprofloksasin, sefoperason, seftriakson, dan eritromisin harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan hepatitis dan sirosis. Dosis tetrasiklin sebanyak 2-4 gram/hari dapat
menyebabkan distrofi hepar. Obat-obatan tuberkulostatika oral seperti rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid dapat juga menyebabkan gangguan fungsi hati.3 Bila terdapat dugaan gangguan pembekuan darah, obat-obatan antibiotika yang cenderung menyebabkan masalah perdarahan seperti latamoksef, tikarsilin, sefoperason, aztreonam, dan imipenem perlu dihindari. Pada keadaan granulositopenia, daya tahan tubuh sangat menurun sehingga perjalanan penyakit selanjutnya didominasi oleh infeksi berat kulit, selaput lendir, dan organ-organ tubuh. Daya tahan terhadap infeksi semakin menurun pada penggunaan kelompok sitostatik untuk keganasan. Setelah pengambilan spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi, kombinasi antibiotika tertentu perlu diberikan segera menurut protokol tertentu.3 Dalam trimester pertama kehamilan, semua antibiotika memiliki efek toksik, seperti kloramfenikol, kotrimoksasol, rifampisin, kuinolon, nitrofurantoin, nitromidazol, serta obat anti jamur, seperti amfoterisin B, flusitosin, dan griseofulfin. Dalam trimester kedua dan ketiga, antibiotika seperti tetrasiklin dan aminoglikosida perlu dihindari, kecuali pada keadaaan dimana jiwa pasien terancam. Dalam minggu terahkir kehamilan, sulfonamid, kotrimoksasol, dan nitrofurantoin merupakan kontra indikasi. Pada umumnya, penisilin, sefalosporin, dan eritormisin aman diberikan bila tidak terdapat alergi. Pada masa l aktasi, obat seperti metronidazol dan tetrasiklin sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan efek samping pada bayi.3 Dalam pemilihan obat, selain segi keadaan pasien perlu diperhatikan cara pemberiannya. Absorbsi antibiotika dipengaruhi aliran darah traktus digestivus, oleh karena itu pasien yang mengalami infeksi sistemik dengan tanda hipoperfusi dan hipotensi sebaiknya mendapatkan antibiotik intravena. Pada kebanyakan pasien yang tidak memiliki gangguan fungsi traktus digestivus dan tidak mengalami hipotensi, antibiotik dengan bioavabilitas tinggi seperti florokuinolon, flukonazol, dan linezolid dapat diberikan secara oral. Pada antibiotik dengan bioavabilitas sedang seperti golongan β-laktam, pemberian per oral bergantung pada keparahan penyakit dan lokasi anatomis infeksi. Bila infeksi yang terjadi menyebar di serluruh tubuh, diperlukan konsentrasi sistemik yang tinggi (mis. meningitis), atau bioavabilitas antibiotik rendah, pemberian antibiotik sebaiknya melalui intravena.2
2.2
Faktor Agen (Mikrobiologis)
Pada sebagian besar kasus infeksi, hubungan antara agen penyebab dengan gambaran tidaklah selalu sama. Oleh karena itu, pengambilan spesimen untuk identifikasi bakteri penyebab
merupakan hal yang sangat penting. Ketika spesimen sedang diuji di laboratorium, terapi dengan antibiotika empiris dapat dimulai berdasarkan best guess (tebakan terbaik). Jika bakteri penyebab infeksi telah dapat diidentifikasi, maka terapi antibiotika dapat diubah sesuai dengan kebutuhan. Tebakan terbaik terhadap bakteri penyebab didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) lokasi infeksi (seperti pneumonia, infeksi saluran urinarius); (2) usia pasien (meningitis pada neonatus, anak, atau dewasa); (3) tempat infeksi tersebut didapat (rumah sakit atau komunitas); (4) faktor predisposisi mekanis (kateter vaskular, kateter urin, respirator, paparan terhadap vektor); dan (5) faktor predisposisi inang (defisiensi imun, kortikosteroid, transplan, terapi kemoterapi kanker, dan lain-lain). Ketika agen kausatif dari infeksi klinis telah diketahui, obat pilihan bisa selalu dipilih berdasarkan pengalaman klinis (Tabel 3). Pada beberapa kasus, tes laboratorium untuk kepekaan terhadap antibiotika diperlukan untuk menentukan obat pilihan.
Tabel 3. Obat pilihan dan alternatif terhadap berbagai bakteri patogen Patogen
Obat Pilihan
Obat Alternatif
Moraxella
TMP-SMZ, cephalosporin (second- or third-
Erythromycin, quinolone,
(Branhamella)
generation)
clarithromycin,
Coccus Gram-negatif (aerob)
catarrhalis
azithromycin
Neisseria gonorrhoeae
Ceftriaxone, cefpodoxime
Spectinomycin, cefoxitin
Neisseria meningitidis
Penicillin G
Chloramphenicol, cephalosporin (thirdgeneration)
Basil Gram-negatif (aerob)
E coli, Klebsiella, Proteus Enterobacter, Citrobacter, Serratia
Cephalosporin (Generasi pertama atau kedua),
Quinolone,
TMP-SMZ
aminoglycoside
TMP-SMZ, quinolone, carbapenem
Antipseudomonal penicillin, aminoglycoside, cefepime
Shigella
Quinolone
TMP-SMZ, ampicillin, azithromycin, ceftriaxone
Salmonella
TMP-SMZ, quinolone, cephalosporin
Chloramphenicol,
(generasi ketiga)
ampicillin
Campylobacter jejuni
Erythromycin or azithromycin
Tetracycline, quinolone
Brucella species
Doxycycline + rifampin atau aminoglycoside
Chloramphenicol + aminoglycoside atau TMP-SMZ
Helicobacter pylori
Bismuth + metronidazole + tetracycline atau
Proton pump inhibitor
amoxicillin
+ amoxicillin or clarithromycin
Vibrio species
Tetracycline
Quinolone, TMP-SMZ
Pseudomonas
Antipseudomonal penicillin + aminoglycoside
Antipseudomonal
aeruginosa
penicillin + quinolone; cefepime, ceftazidime, imipenem, meropenem or aztreonam ± aminoglycoside
Burkholderia cepacia
TMP-SMZ
(dahulu Pseudomonas
Ceftazidime, chloramphenicol
cepacia) Stenotrophomonas
TMP-SMZ
maltophilia (dahulu
Minocycline, ticarcillinclavulanate, quinolone
Xanthomonas maltophilia) Legionella species
Azithromycin + rifampin or quinolone
Clarithromycin,
+ rifampin
erythromycin, doxycycline
Coccus Gram-positif (aerob)
Streptococcus pneumoniae
Penicillin
Doxycycline, ceftriaxone, cefuroxime, quinolones,
erythromycin, linezolid, ketolides Streptococcus pyogenes
Penicillin, clindamycin
(group A)
Erythromycin, cephalosporin (generasi pertama)
Streptococcus agalactiae
Penicillin (+ aminoglycoside)
Vancomycin
Penicillin
Cephalosporin (generasi
(group B) Viridans streptococci
pertama atau ketiga), vancomycin Staphylococcus aureus Beta-lactamase-
Penicillin
negative
Cephalosporin (generasi pertama), vancomycin
Beta-lactamase-positive
Penicillinase-resistant penicillin
As above
Methicillin-resistant
Vancomycin
TMP-SMZ, minocycline, linezolid, daptomycin, tigecycline
Enterococcus species
Penicillin ± aminoglycoside
Vancomycin + aminoglycoside
Basil Gram-positif (aerob)
Bacillus species (non-
Vancomycin
anthracis)
Imipenem, quinolone, clindamycin
Listeria species
Ampicillin (± aminoglycoside)
TMP-SMZ
Nocardia species
Sulfadiazine, TMP-SMZ
Minocycline, imipenem, amikacin, linezolid
Anaerobic bacteria
Gram-positive (clostridia, Peptococcus,
Penicillin, clindamycin
Vancomycin, carbapenems, chloramphenicol
Actinomyces, Peptostreptococcus) Clostridium difficile
Metronidazole
Vancomycin, bacitracin
Bacteroides fragilis
Metronidazole
Chloramphenicol, carbapenems, betalactam – beta-lactamaseinhibitor combinations, clindamycin
Fusobacterium,
Metronidazole, clindamycin, penicillin
Seperti untuk B fragilis
Mycobacterium
Isoniazid + rifampin + ethambutol + pyrazina
Streptomycin, quinolone,
tuberculosis
mide
amikacin, ethionamide,
Prevotella, Porphyromonas Mycobacteria
cycloserine, PAS, linezolid Mycobacterium leprae Multibaciller
Dapsone + rifampin + clofazimine
Paucibaciller
Dapsone + rifampin
Mycoplasma
Tetracycline, erythromycin
pneumoniae
Azithromycin, clarithromycin, quinolone, ketolide
Chlamydia trachomatis
Tetracycline, azithromycin
Clindamycin, ofloxacin
pneumoniae
Tetracycline, erythromycin
Clarithromycin, azithromycin, ketolide
psittaci
Tetracycline
Chloramphenicol
Doxycycline
Erythromycin,
Spirochetes
Borrelia recurrentis
chloramphenicol, penicillin Borrelia burgdorferi
Early
Doxycycline, amoxicillin
Cefuroxime axetil, penicillin
Late
Ceftriaxone
Leptospira species
Penicillin
Tetracycline
Treponema species
Penicillin
Tetracycline, azithromycin, ceftriaxone
2.2.1 Tes Kepekaan
Tes kepekaaan terhadap antibiotika diindikasikan terhadap beberapa keadaan: (1) ketika organisme penyebab tipe tertentu sering menimbulkan resistensi terhadap terapi antimikroba (seperti bakteri enteric Gram-negatif); (2) ketika proses infeksi itu kemungkinan besar dapat menyebabkan kematian jika tidak diobati dengan terapi spesifik (seperti meningitis, septikemia); (3) pada beberapa kasus infeksi di mana eradikasi bakteri penyebab infeksi harus dilakukan dengan obat yang bersifat bakterisidal cepat, tidak hanya sekedar bakteriostatik (seperti endokarditis infektif).
2.2.2 Spesimen
Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi studi mikroskopis terhadap sampel segar yang tak diwarnai dan sampel diwarnai serta kultur dengan kondisi yang seusia untuk pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme. Jika mikroorganisme ingin diisolasi, maka identifikasi lengkap akan dilakukan. Mikroorganisme itu juga akan diuji kepekaann ya terhadap obat-obat antibiotika. Ketika patogen diisolasi sebelum pengobatan, follow up pemeriksaan laboratorium dilakukan selama dan sesudah pengobatan. Pengambilan spesimen yang benar merupakan langkah yang paling penting dalam proses diagnosis infeksi karena hasil uji diagnostik pada penyakit-penyakit infeksius bergantung pada pemilihan, waktu, dan metode pengampilan spesimen. Bakteri tumbuh dan mati, peka terhadap zat kimia, dan dapat ditemukan pada lokasi yang berbeda pada tubuh, dan cairan tubuh serta jaringan selama perjalanan penyakit infeksi. Karena isolasi agen penyebab infeksi sangat penting dalam diagnosis, spesiemen harus didapatkan dari lokasi yang memiliki kemungkinan terbesar mengandung agen penyebab infeksi sesuai perjalanan penyakitnya pada waktu itu dan spesiemen harus diperlakukan dengan tujuan memepertahankan kehidupan dan pertumbuhan dari agen tersebut.
Peraturan-peraturan umum terhadap semua spesimen:
Kuantitas spesimen harus cukup.
Sampel harus representatif terhadap proses infeksi (seperti sputum, bukan saliva; pus dari lesi; swab dari kedalaman luka, bukan dari permukaannya).
Kontaminasi spesimen harus dihindari dengan hanya menggunakan peralatan steril dan kewaspadaan aseptik.
Spesimen harus segera dibawa ke laboratorium dan diperiksa secepat mungkin, media transpor khusus mungkin diperlukan.
Spesimen bermakna untuk mendiagnosis infeksi bakterial harus aman sebelum terapi antibiotika diberikan. Jika obat antibiotika diberikan sebelum pengambilan spesimen, maka terapi pengobatan harus dihentikan dan spesimen harus diambil ulang beberapa hari kemudian. Jenis spesimen yang diambil tergantung pada gambaran klinis pasien. Jika tanda dan gejala
menunjukkan kearah sistem organ tertentu, maka spesimen diambil dari sumber tersebut (Tabel 4). Jika tidak ada tanda-tanda fokus infeksi, kultur darah berulang dilakukan terlebih dahulu. Spesimen dari lokasi lain diambil kemudian dengan mempertimbangkan kemungkinan terbesar sistem organ yang terkena infeksi. Tabel 4. Jenis Spesimen berdasarkan Penyakit
Penyakit
Selulitis
Spesimen
Punch biopsy
Penyebab Tersering
Group A -hemolytic streptococci, Staphylococcus aureus
Impetigo
Swab
Seperti selulitis, jarang: Corynebacterium diphtheriae
Ulkus kulit
Punch biopsy; aspirasi kulit
Flora campuran
dalam atau biopsi Meningitis
LCS
Neisseria meningitidis Haemophilus influenzae Streptococcus pneumoniae Group B streptococci Escherichia coli dan Enterobacteriaceae lain Listeria monocytogenes
Abses otak
Pus
Infeksi campuran; anaerobik gram-positig dan gram-negatif cocci dan rods, aerobik gram positif cocci
Abses perioral
Pus
Flora campuran mulut dan faring
Faringitis
Swab
Group A streptococci C. diphtheriae
Batuk rejan
Swab
Bordetella pertussis
Epiglotitis
Swab
H. influenzae
Pneumonia
Sputum
S. pneumoniae
(pertusis)
S. aureus Enterobacteriaceae dan gram-negatif rods lain Aerob dan anaerob lain campuran Empyema dada
Pus
Seperti pneumonia, atau flora campuran
Abses hati
Pus
E coli; Bacteroides fragilis; campuran flora aerob dan anaerob
Kolesistitis
Empedu
Gram-negative aerob enterik, juga B. fragilis
Abses abdomen atau
Pus
Flora gastrointestinal
Darah, feses, urin
Salmonella typhi
Feces
Salmonella selain S. typhi
perirektal
Demam enteric, tifoid Enteritis, enterokolitis, diare
Shigella sp
bakterial,
Campylobacter jejuni
"gastroenteritis"
Vibrio cholerae Vibrio lain Yersinia enterocolitica
Colitis hemoragik dan sindrom uremik hemolitik
Feses
E coli O157:H7
Infeksi traktus
Urin (clean-catch midstream
urinarius
specimen atau dari kateterisasi
E coli; Enterobacteriaceae; gam negatif lain
kandung kemih atau aspirasi suprapubik) Uretritis/ servisitis
Swab
Neisseria gonorrhoeae Chlamydia trachomatis
Ulkus kelamin
Swab
Haemophilus ducreyi (chancroid) Treponema pallidum (syphilis)
Pus diaspirasi dari limfe
C. trachomatis (lymphogranuloma venereum)
tersupurasi Pelvic inflammatory
Swab serviks
disease
N. gonorrhoeae C trachomatis
Aspirasidari cul-de-sac atau
N. gonorrhoeae
dengan laparoskop
C trachomatis Flora campuran
Artitis
Aspirasi sendi, darah
S. aureus N. gonorrhoeae Lainnya
Osteomielitis
Pus atau spesimen tulang dari
Multipel; S aureus sering didapat
aspirasi atau operasi
2.3
Aspek Farmakologis
I. Farmakodinamik Mencakup kerentanan agen infeksi, aktivitas bakteriostatik atau bakteriosidal, serta sinergisme dan antagonisme obat. Secara umum agen yang bekerja dengan cara menghambat dinding sel bersifat bakterisidal dan yang menghambat protein bersifat bakteriostatik. Konsentrasi inhibitor agen yang bersifat bakteriostatik lebih rendah dibandingkan bakterisidal.Namun pengklasifikasian antibiotika seperti ini mempunyai beberapa keterbatasan karena terdapat beberapa agen yang mempunyai sifat yang berbeda pada
organisme yang berbeda. Selain itu antibiotika juga dapat bersifat tergantung konsentrasi (fluorokuinolon, aminoglikosida, dan metronidazol) dan tidak tergantung konsentrasi (beta laktam dan glikopeptida). Aktivitas antibiotika yang tergantung antibiotika meningkat apabila konsentrasi obat tersebut tinggi sedangkan pada obat yang tidak tergantung konsentrasi dapat meningkat efektifitasnya apabila dosis di atas Minimal Inhibitory Concentration.
II. Farmakokinetik Mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat di dalam tubuh. a. Cara pemberian Dapat secara oral dan parenteral. Absorpsi obat dipengaruhi oleh pembuluh darah saluran cerna. Apabila pasien datang dengan gejala infeksi sistemik seperti hipoperfusi dan hipotensi sebaiknya diberikan pemberian parenteral. Keuntungan pemberian obat oral adalah lebih ekonomis dan tidak invasif. Keuntungan pemberian parenteral : pada pasien kritis, meningitis atau endokarditis, gangguan absorpsi oral (muntah, nausea), dan jenis antibiotika yang diabsorpsi poor pada pemberian oral. b. Faktor yang dapat menganggu farmakokinetik obat dan toksisitas obat Pada pasien dengan gangguan hepar dan renal yang akan menganggu eliminasi obat dan dapat berakibat toksik
bagi pasien. Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh reaksi
imunologis dan sifat toksik obat. c. Konsentrasi obat pada cairan tubuh Mayoritas semua golongan antibiotika terdistribusi secara merata pada cairan dan jaringan tubuh, kecuali pada selaput otak. d. Dosis dan durasi antibiotika Regimen dosis pada obat yang sama dapat berbeda pada penyakit yang berbeda, seperti siprofloksasin pada infeksi traktus urinarius 2x 250 mg selama 3 hari namun pada infeksi traktur urinarius yang berkomplikasi 2x500 mg selama 7-14 hari. Sehingga kami mengambil keputusan bahwa durasi dari pemberian antibiotik tergantung dari diagnosis, respon pasien, dan pertimbanganan dokter, akan tetapi pihak rumah sakit akan mengevaluasi setiap 72 jam pemberian antibiotik. e. Harga
2.3.1 Penggolongan Antibiotika berdasarkan Target Sel dan Mekanisme Kerja
Golongan Antibiotika diklasifikasikan berdasarkan target sel dan mekanisme kerja yaitu, yang bekerja pada dinding sel, sintesis protein, sintesis DNA, dan metabolisme sel. Jenis-jenis antibiotika terlampir pada tabel 5 lampiran
Gambar 1. Mekanisme Kerja Antibiotika
2.3.2 Kombinasi Antibiotika
Kebanyakan infeksi dapat diterapi dengan antibiotika tunggal, namun pada praktek sehari-sehari banyak digunakan terapi kombinasi. Hal ini dapat meningkatkan risiko toksisitas, kenaikan harga, dan penurunan efek obat yang diakibatkan efek antagonis obat. Alasan penggunaan terapi kombinasi; -
Terapi empiris berspektrum luas pada kondisi pasien yang kritis.
-
Terapi infeksi polimikrobial seperti abses intraabdominal. Pemilihan kombinasi antibiotika harus mencakup penyebab agen yang terbanyak. Ketersediaan golongan antibiotika yang bersifat polimikrobial seperti beta laktam dapat menurunkan pemakaian kombinasi obat.
-
Untuk menurunkan resistensi kuman, contoh tuberkulosis.
-
Penurunan efek toksik dengan pengurangan masing-masing dosis obat.
Indikasi terapi kombinasi : -
Tuberkulosis
-
Mikobakterium avium kompleks diseminata
-
Helikobakter pilori
-
Endokarditis e.c streptokokus alfa hemolitikus
-
Vankomisin resisten enterokokus
-
Pertimbangan dokter umum ataupun spesialis sesuai kondisi klinis, diagnosis, dan ilmu pengetahuan terkini. Dalam pemberian kombinasi antibiotika, perlu pemahaman mengenai antagonism dan
sinergisme obat. Sinergisme adalah penggunaan dua antibiotika yang bersamaan mempunyai efek inhibitor yang lebih kuat dibandingkan penggunaan tunggal. Sinergisme dibuktikan dengan penurunan empat kali atau lebih Minimal Inhibitory Concentration atau Minimal Bactericidal Concentration. Hal ini dapat digunakan pada terapi endokarditis enterokokus dengan kombinasi penisilin dengan gentamisin, trimetorfin sulfametoksasol pada pneumositis jiroveci pneumonia. Mekanisme terjadi sinergisme adalah; blok sekuensial metabolik (contoh jalur asam folat pada trimetorfin sulfametoksasol); inhibisi inaktivasi enzimatik (contoh beta laktamase dengan inhibitor beta laktam); peningkatan uptake antibiotika, contoh penisilin dapat meningkatkan uptake aminoglikosida untuk enterokokus. Antagonisme terjadi apabila kombinasi obat mempunyai efek yang lebih rendah. Efek antagonisme jarang terjadi pada praktek klinis, kasus yang dilaporkan pada pasien dengan meningitis pneumokokus yang diterapi dengan penisilin dan klortetrasiklin. Mekanisme yang terjadi melalui; -
Inhibisi aktivitas sidal dengan agen statik; agen bakteriostatik seperti tetrasiklin dan kloramfenikol dapat mengantagonis agen bakterisidal yang menghambat dinidng sel dikarenakan dibutuhkan dinding sel yang aktif untuk dihambat.
-
Induksi inaktivasi enzimatik; contoh kombinasi antibiotika beta laktam yang merupakan agen penginduksi produksi beta laktamase dan dikombinasikan dengan piperasilin.
Bagan 1. Tata Laksana Pemilihan Terapi Antibiotika yang rasional di RSU Santa Elisabeth Sambas Anamnesis : riwayat penyakit sekarang, komorbiditas, alergi, medikasi, faktor risiko
Gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis infeksi, pasien akan menjalani prosedur operasi yang memerlukan antibitoik profilaksis
TIDAK TIDAK
MEMERLUKAN ANTIBIOTIK
YA
Jenis patogen sebelum terapi apakah diketahui atau tidak.
Tidak
Ya
Drug specific : Kondisi klinis pasien menunjang adanya infeksi bakterial dan pasien post operasi
Spektrum
Dosis
Terapi empiris spektrum luas
Farmakokinetik dan farmakodinamik Efek samping
Pertimbangan dokter Ketersediaan obat
Kombinasi
Patient specific :
Monitor terapi : efisiensi, durasi dan toksisitas.
Lokasi infeksi
Penyakit penyerta
Tata Laksana Pemilihan Terapi Antibiotika yang rasional di RSU Santa Elisabeth Sambas. 1. Penilaian pasien dengan anamnesis (riwayat penyakit sekarang, komorbiditas, alergi antibiotic, medikasi dan factor resiko) dilakukan oleh dokter 2. Penilaian kondisi pasien dengan pemeriksaan fisik (suhu, nadi, laju respirasi, tekanan darah, organ yang dicurigai mengalami infeksi) dilakukan oleh dokter, pemeriksaan penunjang laboratorium untuk mengetahui infeksi oleh petugas laboratorium atas instruksi dokter, dan penilaian oleh dokter apakah pasien memerlukan tindakan operasi. 3. Penilaian apakah jenis pathogen bisa diketahui sebelum pemberian antibiotic, karena keterbatasan sarana, tahap ini tidak bisa dilakukan di RSU Santa Elisabeth Sambas. 4. Pemberian terapi antibiotic empiris dengan mempertimbangkan spketrum, dosis, farmakokinetik, farmakodinamik, efek samping, koombinasi, ketersediaan obat, dan pertimbangan dokter. 5. Pemberian antibiotic empiris dengan mempertimbangkan lokasi infeksi dan penyakit penyerta 6. Monitoring terapi, dengan mengawasi efisiensi, durasi dan toksisitas dari pemberian antibiotic.
BAB III JADWAL DAN INSTRUMEN PROGRAM
1. Jadwal : Terlampir 2. Instrumen pelaksanaan program : a) Form pengawasan harian pasien dengan penggunaan antibiotik (terlampir). 3. Instumen monitoring program : a) Laporan bulanan pelaksanaan program. b) Laporan triwulan pelaksanaan program. 4. Intrumen evaluasi program : a) Notulensi rapat bulanan pelaksanaan program. b) Laporan triwulan pelaksanaan program.
BAB IV KESIMPULAN
Pemilihan dan penggunaan antibiotika ditentukan oleh berbagai faktor seperti keadaan klinis pasien, parameter mikrobiologis, dan parameter farmakologis. Dibutuhkan pendekatan yang sistematis dalam pemilihan antibiotika yaitu; pembuktian terjadinya infeksi dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik; identifikasi patogen dengan pengumpulan material, pewarnaan, kultur, dan pemeriksaan serologis; pemilihan terapi empiris berdasarkan faktor pejamu d an obat; serta onitor respons terapeutik dengan evaluasi klinis dan laboratorium. Terdapat berbagai macam golongan antibiotika dengan berbagai indikasi dan spektrum antibakterinya. Golongan antibiotika yang menghambat proses pembentukan peptidoglikan, yang merupakan salah satu komponen dinding sel bakteri adalah beta laktam (penisilin, sefalosporin, sefamisin, karbapenem, monobaktam) dan glikopeptida (vankomisin,teikoplanin). Spektrum bakteri pada beta laktam bervariasi dari bakteri gram positif sampai bakteir gram negatif sesuai kategori kelas obat sedangkan peptidoglikan untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif yang resisten atau pada pasien yang mempunyai alergi terhadap beta laktam. Aminoglikosida, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolid, linkosamid, streptogramin, oksazolidinon, dan asam fusidik bekerja dengan menghambat proses translasi mRNA tetapi pada proses yang berbeda. Aminoglikosida (gentamisin, tobramisin, kanamisin, amikasin, netilmisin,neomisin, streptomsin) bersifat bakterisidal dan efektif terhadap bakteri gram negatif. Tetrasiklin dan kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan spektrum luas. Makrolid (eritromisin) efektif terhadap bakteri gram positif dan pasien uang alergi terhadap penislin. Linkosamid (klindamisin) efektif terhadapa bakteri anaerob baik gram positif maupun gram negatif. Kuinolon mempunyai empat generasi berdasarkan spektrum antibakterialnya terhadap bakteri gram negatif, gram positing, pseudomonas, dan anaerob serta rifampisin bekerja sebagai inhibitor sintesis asam nukleat. Sulfonamid, trimetropin dan kotrimoksasol efektif terhadap bakteri gram.negatif yang bekerja dengan cara menghambat enzim-enzim yang dapat menjadi bahan dasar pembuatan asam nukleat. Polimiksin yang bekerja pada membrane sitoplasma bakteri gram negatif. Dengan pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian, dan penghentian obat yang benar serta aman pada pemakaian dan terjangkaunya harga pada pasien dapat menjadi dasar penggunaan antibiotika yang rasional dapat meminimalisasikan angka kejadian resistensi antibiotika.
DAFTAR PUSTAKA
Badan POM, 2011, Gunakan Antibiotik Secara Rasional untuk Mencegah Kekebalan Kuman, Info POM , 12 (2), 01-03.
PERMENKES RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Kementrian Kesehatan RI, Jakarta, 874.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011
Soemohardjo, S., 2009, Pemakaian Antibiotik Rasional, Rumah Sakit Biomedika Mataram, Mataram.
DITETAPKAN
: DI SAMBAS
PADA TANGGAL
: 23 JULI 2018
DIREKTUR RSU.ST.ELISABETH SAMBAS
dr. Felix Tasbun NIK.000350/RSSE