REFLEKSI KASUS EPILEPSI Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah dr.Soedjati Purwodadi
Disusun Oleh: Fara Cholidia 30101206824
Pembimbing:
dr. Kurnia Dwi Astuti, Sp.A
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2017
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFLEKSI KASUS EPILEPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD dr. R. Soedjati Purwodadi
Oleh : Fara Cholidia 30101206824
Purwodadi, April 2017 Telah dibimbing dan disahkan oleh,
Pembimbing,
(dr. Kurnia Dwi Astuti, Sp.A)
2
LEMBAR PENGESAHAN
REFLEKSI KASUS EPILEPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD dr. R. Soedjati Purwodadi
Oleh : Fara Cholidia 30101206824
Purwodadi, April 2017 Telah dibimbing dan disahkan oleh,
Pembimbing,
(dr. Kurnia Dwi Astuti, Sp.A)
2
LAPORAN KASUS I.
IDENTITAS PASIEN a. Nama b. Usia c. Jenis Kelamin d. Alamat e. Tanggal Masuk f. Tanggal Pulang
: An. A : 9 tahun 10 bulan : Laki-Laki : Ngabenrejo : 18-03-2017 : 21-03-2017
IDENTITAS ORANGTUA a. Nama Ayah : Tn. A. S b. Usia : 39 th c. Pekerjaan : Swasta d. Nama Ibu : Ny K e. Usia : 34 th f. Pekerjaan : ibu rumah tangga II.
ANAMNESIS Dilakukan secara allo-anamnesis dengan pasien dan ibu pasien pada tanggal 18 Maret 2017 di bangsal Boegenvile RSUD Purwodadi: a. Keluhan Utama Kejang 2X tadi pagi
b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD bersama orangtuanya dengan keluhan kejang 2 kali sejak pagi. Kejang pertama jam 3.30 saat itu pasien sedang tidur, tiba-tiba kejang selama kurang lebih 5 menit , kejang terjadi pada seluruh badan pasien, dengan tangan tegak lurus ke bawah, mata mendelik keatas dan mulut terkunci lalu kejang berhenti sendiri. setelah kejang selesai, pasien kembali sadar. Kejang kedua terjadi jam 7 pagi saat pasien sedang dibawa ke Puskesmas. Bentuk kejang yang dialami pasien sama seperti kejang yang pertama, berlangsung selama kurang lebih 5 menit , dan kembali sadar. Demam Demam (-), mual (-), muntah (-), BAB/BAK (+), riwayat trauma kepala (-) c. Riwayat Penyakit Dahulu • Kejang sebelumnya diakui. •
Kejang terjadi 2 bulan yang lalu dan dibawa ke dokter umum namun pasien lupa diberi obat apa, dan kejang 2 bulan yang lalu tidak disertai demam
d. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat kejang.
3
e.
Riwayat Sosial Ekonomi Ayah seorang wiraswasta. Ibu tidak bekerja. Menanggung 1 anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan ditanggung BPJS PBI. Pasien kelas 3
Kesan : Ekonomi cukup f.
Riwayat Kehamilan dan Pemeliharaan Prenatal Riwayat pemeriksaan : Ibu mengaku rutin memeriksakan kehamilan di bidan 1x setiap bulan sampai usia kehamilan 7 bulan. Saat usia kehamilan memasuki 8 bulan, ibu memeriksakan kehamilan di bidan 2x setiap bulan hingga lahir. Riwayat penyakit selama kehamilan : Ibu mengaku tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan Riwayat perdarahan selama kehamilan Disangkal Riwayat trauma selama kehamilan Disangkal Riwayat konsumsi obat : Minum obat tanpa resep dokter dan jamu disangkal. Obat – obatan yang diminum selama masa kehamilan adalah vitamin dan obat penambah darah. Kesan: riwayat kehamilan dan pemeliharaan prenatal baik.
g.
Riwayat Persalinan Anak Laki Laki lahir dari ibu G1P0A0, usia kehamilan 39 minggu, lahir secara normal di bidan, langsung menangis, berat badan lahir 3100 gram, panjang badan saat lahir (ibu lupa), lingkar kepala dan lingkar dada saat lahir ibu lupa. Kesan: neonatus aterm, lahir normal pervaginam. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak - Pertumbuhan BB lahir : 3100 gram PB lahir : Orang tua pasien lupa BB sekarang : 20 kg TB sekarang : 125cm Usia : 9 tahun BMI : 13.00 kg/m2
h.
4
5
6
-
Perkembangan : Mengangkat kepala
: 2 bulan
-
Memiringkan Badan
: 3 bulan
-
Tengkurap dan mempertahankan posisi kepala
: 4 bulan
-
Duduk
: 6 bulan
-
Merangkak
: 8 bulan
-
Belajar Berdiri
: 12 bulan
-
Berjalan
: 18 bulan
Kesan: pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai usia
i.
Riwayat Imunisasi Menurut ibu pasien, imunisasi dasar An. A. D. sudah lengkap. Imunisasi dilakukan di bidan terdekat. Kesan: Riwayat imunisasi sesuai umur, tanpa diser tai bukti KMS.
j.
Riwayat Makan dan Minum Anak
ASI diberikan sejak lahir sampai usia 6 bulan, ASI ekslusif sampai 6 bulan. Sejak usia 6 bulan diberikan makanan tambahan berupa bubur susu 3x sehari.Makan sayur seminggu 3-4 Kali dan Makan Buah Jarang Kesan: kualitas dan kuantitas makanan dan minuman cukup baik
III.
PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 18 Maret 2017, di bangsal Boegenvil RSUD dr. Soedjati Purwodadi: Keadaan Umum : baik Kesadaran : compos mentis a. Tanda Vital i. Nadi : 104 x/menit, reguler, isi tegangan cukup ii. Pernapasan : 36 x/menit, reguler, adekuat iii. Suhu : 37,2 0C
b. Status Generalis i. Kepala : kesan mesocephal, UUB datar, rambut hitam tidak mudah dicabut. ii. Mata : conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), reflek pupil (+/+), pupil isokor iii. Telinga : normotia, low set ear (-), discharge (-) iv. Hidung : secret (-) , napas cuping hidung (-) v. Mulut : bibir kering (-), lidah kotor (-), tepi hiperemis(-) lidah tremor, pernapasan mulut (-) vi. Kulit : hipopigmentasi (-), hiperpigmentasi (-) vii. Leher : pembesaran KGB (-), trachea terdorong (-)
7
viii. Thorax : Simetris, retraksi (-) Jantung Inspeksi : ictus cordis tak tampak Palpasi : ictus cordis teraba dengan 1 jari dari ICS 5 linea midclavikula 2 cm ke medial, pulsus parasternal (), pulsus epigastrium (-) Perkusi : Kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra Atas jantung : ICS 2 linea parasternal sinistra Pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra Kiri jantung : ICS 5 linea midclavicula 2 cm ke medial Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-) Kesan: Normal Paru Inspeksi : Pengembangan hemithoraks simetris Palpasi : Sterm fremitus simetris Perkusi : Sonor Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Rhonki (),Wheezing(-) ix. Abdomen Inspeksi : Datar. Auskultasi : Peristaltik (+), bising usus (+) normal Perkusi : Tymphani di seluruh kuadran Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba besar x. Ekstremitas Superior Inferior Edema -/-/Akral dingin -/-/Sianosis -/-/Capillary refill time < 2”/ < 2” < 2”/ < 2” c. Status Neurologis Rangsang Meningeal: Kaku kuduk : negatif o o Brudzinsky I – IV Neck sign : negatif Cheek sign : negatif Symphisis sign : negatif Leg sign : negatif o Kernig sign : negatif Pemeriksaan Ekstremitas Superior Gerakan Bebas Kekuatan 5 Refleks fisiologis (+) N / (+) N Refleks patologis (-) / (-) Tonus Normotonus/ Normotonus
Ekstremitas Inferior Bebas 5 (+) N / (+) N (-) / (-) Normotonus/ Normotonus
8
Klonus
(-) / (-)
d. Pergerakan Motorik Motorik Superior
Inferior
Pergerakan
Normoaktif / Normoaktif
Normoaktif / Normoaktif
Tonus
Normotonus / Normotonus
Normotonus / Normotonus
Trofi
Eutrofi / Eutrofi
Eutrofi / Eutrofi
REFLEK ekstremitas superior Dextra
Sinistra
Biceps
N
N
Triceps
N
N
Hoffman
-
-
Trommer
-
-
REFLEK ekstremitas inferior Dekstra
Sinistra
Patella
N
N
Achilles
N
N
Babinski
-
-
Chaddock
-
-
Kesan : pergerakan motorik & refleks fisiologis keempat ekstremitas Normal A. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hematologi (18 Maret 2017) Pemeriksaan Hasil Nilai Normal (anak)
Hemoglobin
12,6 gr/dl
12-16 gr/dl
Leukosit
16.320
4000-10.000/mm3
Eosinofil
-
1-5
9
Basofil
-
0-1
Batang
-
3-5
Segmen
-
37-50
Limfosit
-
25-40
Monosit
-
1-6
Trombosit
458.000
150 – 450 x 10 3/ul
Eritrosit
4.750.000
4,5- 5,5 juta
HT
-
%
GDS
-
74-110 mg/dl
K+
4,03
3,6 – 5,5 mm/L
Na+
134,9
135 – 155 mm/L
Cl-
95,2
95 – 108 mm/L
Ca+
-
2,2-2,9
Kesan : Leukositosis disertai hiponatremia
B. DAFTAR MASALAH Anamnesis - Kejang 2 kali: dirumah 2 kali berlangsung kurang lebih 5 menit - Kejang seluruh tubuh dan mata mendelik ke depan, mulut terkunci - Kejang tidak diawali demam tinggi - Riwayat kejang tanpa demam + (2 bulan yang lalu) Px. Penunjang
Laboratorium
: Leukositosis dan hiponatremia
C. DIAGNOSIS BANDING Epilepsi Kejang Demam Komplek Kejang psikogenik D. DIAGNOSIS SEMENTARA - Epilepsi E. INITIAL PLANNING Initial Plan Diagnosis: MRI Initial Plan Terapi: •
•
Non medikamentosa Mencegah resiko jatuh
10
•
•
Medikamentosa Infus RL
As. Valproat po Dosis 10 mg/KgBB/hr dibagi 2-4 dosis, max 40mg/KgBB/hr (2 kali 3 cc) inj Diazepam bila kejang Biasanya digunakan 20-30mg/kgBB/hari dengan monitoring Imunos 1 X 1 tab Chlorpromazin 30 mg
Initial Plan Monitoring Monitoring gejala klinis (kejang , muntah) Monitoring keadaan umum , TD, HR, RR, suhu pasien, renjatan kejang (frekuensi, lama, jenis kejang). Monitoring adanya gangguan neurologis Monitoring hasil laboratorium Monitoring respon terapi Initial Plan Edukasi Memberitahukan pada keluarga pasien tentang penyakit epilepsi Meyakinkan bahwa banyak jenis epilepsi umumnya mempunyai prognosis baik Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali Memberitahukan cara penanganan bila terjadi kejang kembali yaitu : a. Tetap tenang dan tidak panik. b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher. c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. d. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. e. Jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut meski lidah tergigit f. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang. g. Tetap bersama pasien selama kejang. h. Berikan diazepam rektal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti. i. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang menjadi lebih sering dan lebih lama dari biasanya - Menjelaskan mengenai penyakit yang diderita pasien kepada orang tua serta bagaimana pengobatannya - Keluarga diminta untuk lebih memperhatikan pasien, untuk mengetahui tanda-tanda awal kejang, pencetus, dan mengetahui bentuk dan durasi kejang - Mengedukasi orang tua pasien mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien kejang - Sigap untuk membawa pasien ke rumah sakit jika kejang tidak berhenti dengan pemberian diazepam, kejang yang berulang dalam sehari atau kejang yang tidak berhenti selama 15 menit. - Menjelaskan kepada orang tua untuk tidak memberikan makanan yang merangsang seperti berpengawet, berpemanis • •
• • •
11
-
Kompres hangat apabila anak panas.
F. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad sanam Quo ad fungsionam
: dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang ditandai oleh kejang berulang dalam waktu lebih dari 24 jam. Jika seorang anak mengalami kejang hanya satu kali, maka belum dapat disebut sebagai epilepsi. Namun, jika terjadi dua atau lebih kejang dalam waktu lebih dari 24 jam, maka anak dapat dinyatakan menderita epilepsi. Epilepsi terjadi akibat ketidakseimbangan rangsangan (eksitasi) dan hambatan (inhibitor) muatan listrik di neuron otak. Epilepsi dapat menimbulkan implikasi medis dan psikososial. Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Berdasarkan etiologi, epilepsi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, epilepsi simtomatik dan epilepsi idiopatik. Jika epilepsi terjadi setelah peristiwa tertentu (asfiksia, trauma kepala, meningitis), maka ini disebut sebagai epilepsi simptomatik. Namun, jika epilepsi terjadi tidak diketahui penyebabnya maka disebut sebagai epilepsi idiopatik. 2.2 EPIDEMIOLOGI
Epilepsi adalah penyakit kronis dengan tingkat prevalensi tinggi. Oleh karena itu setiap tenaga medis diharapakan lebih memperhatikan penderita dengan epilepsi dan menangani mereka dengan baik. Insiden epilepsi lebih tinggi di negara berkembang dibanding negara maju.11 Dari berbagai penelitian di beberapa negara, didapatkaan insiden epilepsi sebanyak 20-70 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya.11 Berdasarkan penelitian di British Colombia tahun 2002-2003, terdapat sebanyak 8125 anak menderita epilepsi dari 1.013.816 kunjungan anak yang datang berobat. Angka ini setara dengan 55 per 10.000 anak. Dari jumlah ini, kasus terbanyak terjadi pada anak dengan usia 0-4 tahun. Di Indonesia, setidaknya terdapat 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun. Dari jumlah ini, diperkirakan 40%-50% kasus terjadi pada anak. Insiden epilepsi dalam 4 tahun belakangan adalah 5,3% dari kasus yang berobat. Insiden terbanyak terjadi pada kelompok umur 1-5 tahun, sedangkan onset terbanyak pada kelompok umur <1 tahun. 2.3.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Epilepsi dicetuskan oleh inaktivasi sinaps inhibisi atau oleh stimulasi berlebihan sinaps eksitasi atau perubahan keseimbangan neurotransmitter. Ditinjau dari faktor etiologi, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: 1. Epilepsi Primer atau Epilepsi Idiopatik
13
Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Penderita tidak menunjukkan manifestasi patologi otak dan penyebab epilepsi tidak diketahui.15 Diduga terjadi mutasi gen pada sel otak. Mutasi gen pada epilepsi dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu mutasi gen ekspresi pada kanal dan mutasi gen pengkode non-kanal ion. Mutasi gen ekspresi pada kanal ion seperti gen SCN1A dan SCN2A dapat menyebabkan defek kanal ion natrium sehingga inaktifasi kanal ion tidak berfungsi dan terjadilah peningkatan eksitasi. Selain itu, mutasi gen pengkode non-kanal ion seperti neurotransmitter eksitasi glutamat atau inhibisi gama amino butyric acid (GABA) berperan serta dalam menimbulkan ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. 2. Epilepsi Sekunder atau Simtomatik Epilepsi sekunder atau simptomatik adalah epilepsi yang diketahui faktor penyebabnya seperti infeksi susunan saraf pusat, trauma kepala atau kelainan struktural otak. Selain itu, jika gangguan metabolisme (seperti hipokalsemia), infeksi (seperti meningitis), keracunan, atau penyebab lainnya tidak ditatalaksana dengan baik maka hal ini dapat memicu terjadinya epilepsi. Faktor risiko untuk menderita epilepsi dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun postnatal dan juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi. 1. Faktor Prenatal Salah satu faktor prenatal yang dapat menjadi pencetus epilepsi pada anak adalah keadaan asfiksia. Asfiksia akan menyebabkan hipoksia dan iskemia sehingga menimbulkan lesi pada daerah hipokampus yang mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya epilepsi di kemudian hari. Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu kehamilan dengan hipertensi dan eklamsia, kehamilan pada usia berisiko terjadinya komplikasi seperti prematuritas, penyulit persalinan dan partus lama.9,14
2. Faktor Natal Faktor natal yang menjadi faktor risiko epilepsi adalah bayi berat badan lahir rendah yang dapat menyebakan asfiksia, hipoglikemi dan perdarahan intraventikuler pada bayi. Selain itu, kelahiran prematur, postmatur, partus lama, dan persalinan dibantu alat seperti forcep dan vakum yang menyebabkan jejas pada otak juga dapat memicu terjadinya epilepsi. Penelitian Raharjo TB (2007) telah menunjukkan hubungan partus lama yang lebih dari 13 jam terhadap peningkatan insiden epilepsi pada anak. 3. Faktor Postnatal
14
Faktor-faktor yang menjadi pencetus epilepsi setelah masa natal adalah sebagai berikut : a.
Kejang Demam
Kejang akan mengakibatkan gangguan pada sel neuron. Gangguan ini dapat berupa gangguan fungsi dan metabolisme sel neuron sehingga berkembang menjadi fokus epileptik. Pada kejang demam, harus dibedakan antara kejang demam sederhana dan kejang demam komplek. Hal ini disebabkan oleh karena bentuk bangkitan menentukan risiko kemungkinan menjadi epilepsi. Kejang demam dapat menjadi epilepsi apajika kejang terjadi lebih dari 30 menit sehingga mengakibatkan kerusakan DNA dan protein sel yang menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisi-eksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang.
b.
Tumor Otak
Jaringan patologis seperti tumor tidak dianggap sebagai epileptogenik, tetapi neuron di sekitar tumor akan menjadi terganggu fungsinya sehingga akan menjadi fokus epileptik yang menyebabkan munculnya gejala epilepsi.
c.
Trauma Kepala / Cedera Kepala
Munculan kejang tergantung pada usia terjadinya kecelakaan. Sebagai contoh, trauma kelahiran akan memberikan kejang pada tahun pertama kehidupan. Tidak semua orang yang telah memiliki cedera kepala akan berkembang menjadi kejang. Kejang lebih sering terjadi pada cedera tembus, fraktur depresi tengkorak, hematoma intrakranial, atau terdapat amnesia pasca trauma yang lebih dari 24 jam. Lima puluh persen dari kejang pasca trauma berkembang pada tahun pertama setelah kecelakaan, dan 20% lainnya akan berkembang pada akhir tahun kedua,
d. Infeksi Susunan Saraf Pusat Ensefalitis virus berat dan meningitis dapat mengakibatkan terjadinya epilepsi. Sikatriks pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron dapat menjadi fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu 2 - 3 tahun kemudian menimbulkan epilepsi.
4. Faktor Heriditer (Keturunan) Jika salah satu orang tua memiliki epilepsi idiopatik risiko anak berkembang epilepsi adalah 4-6 %, dibandingkan dengan risiko 0,3-0,5 % pada populasi umum. Jika kedua orang tua memiliki epilepsi idiopatik,
15
risiko meningkat menjadi 12-20 %. Pada orang tua dengan gejala epilepsi, masih ada sedikit peningkatan dalam risiko hingga 2 %. 9 Faktor herediter memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa kasus epilepsi, Jika seseorang mengidap epilepsi pada masa kecil, maka saudara kandung memiliki risiko lebih tinggi menderita epilepsi. Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer kurang lebih 4%.14 Pada anak, faktor risiko untuk terjadi epilepsi juga dipengaruhi umur dan perkembangannya seperti terlihat pada grafik 2.1. Epilepsi akan lebih jarang pada anak prematur dibanding anak cukup bulan. Hal ini disebabkan karena perkembangan saraf pada anak prematur belum berkembang secara sempurna sehingga memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan eksitasi-inhibisi. Munculan gejala sering terjadi pada usia 4 bulan-4 tahun dengan frekuensi yang lebih tinggi. Selanjutnya, frekuensi munculannya akan menurun sampai remaja. 7,9
Grafik 1 Grafik penyebab epilepsi berdasarkan usia
Terjadinya bangkitan epilepsi membutuhkan beberapa faktor yang bekerja sama, seperti kelainan struktural otak atau jaringan abnormal pada otak dan juga faktor faktor pencetus yang mungkin akan berbeda pada setiap penderita seperti keadaan demam, hipoglikemia, alkalosis karena hiperventilasi, kurang tidur, emosional, dan stress. 2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981: I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) 1.
Dengan gejala motorik
2.
Dengan gejala sensorik
16
3.
Dengan gejala otonomik
4.
Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran) 1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran b. Dengan automatisme 2.
Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang a. Dengan gangguan kesadaran saja b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonikklonik, tonik atau klonik) 1.
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2.
Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3.
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A.
lena/ absens
B.
mioklonik
C.
tonik
D.
atonik
E.
klonik
F.
tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 : I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes Childhood epilepsy with occipital paroxysm
17
B. Simptomatik Lobus temporalis Lobus frontalis o o Lobus parietalis Lobus oksipitalis o II. Epilepsi Umum o
A. Idiopatik Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions Benign myoclonic epilepsy in infancy Childhood absence epilepsy Juvenile absence epilepsy Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal) Epilepsy with grand mal seizures upon awakening Other generalized idiopathic epilepsies B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik West’s syndrome (infantile spasms) Lennox gastaut syndrome Epilepsy with myoclonic astatic seizures Epilepsy with myoclonic absences C. Simtomatik Etiologi non spesifik Early myoclonic encephalopathy Specific disease states presenting with seizures 2.5. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) 18
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuronneuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuronneuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. 13
19
Silbernagl Atlas of
S.
Color
Pathophysiology. New York: Thieme. 2000 2.6 GEJALA
Kejang parsial simplek Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
“deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. - Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan ti dak dapat dijelaskan - Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih tertentu. - Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu - Halusinasi Kejang parsial ( psikomotor ) kompleks Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar ti dak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
-
20
Gerakan seperti mencucur atau mengunyah Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya - Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung - Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang - Berbicara tidak jelas seperti menggumam. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal). Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.14
-
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
21
1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi: - Pola / bentuk serangan - Lama serangan - Gejala sebelum, selama dan paska serangan - Frekuensi serangan - Faktor pencetus - Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang - Usia saat serangan terjadinya pertama - Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan - Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya - Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwa yat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang a. Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
22
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku ( spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b. Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan. 2.8 TERAPI Tatalaksana
Dampak epilepsi terhadap anak lebih luas cakupannya daripada dewasa. Efek jangka panjang yang akan terjadi pada anak baik dari segi kesehatan fisiknya dan juga efek terhadap kehidupan anak sehari-hari. Untuk itu terapi pada epilepsi ini bukan hanya medikamentosa, tetapi juga disertai dengan terapi motivasi terhadap anak dan keluarga.
23
Tatalaksana awal yang diberikan pada anak dengan kejang adalah penatalaksanaan emergensinya. Lalu dilanjutkan dengan mencari tahu penyebab dari serangan kejang. Manajemen yang dilakukan saat serangan terjadi adalah sebagai berik ut: -
Pindahkan dan jauhi penderita dari benda-benda yang dapat mencelakai seperti api, air, atau jalan raya
-
Jauhkan penderita dari benda-benda tajam
-
Longgarkan pakaian yang melekat pada penderita, dan lepaskan kacamata jika penderita mengenakan kacamata
-
Letakkan benda yang lembut pada kepala
-
Putar kepala penderita sehingga saliva dan mukus keluar dari mulut penderita
-
Jangan letakkan benda apapun kedalam mulut penderita
-
Jangan beri penderita minum
-
Jangan coba untuk menghentikan gerakan ataupun menahannya
-
Tetap berada didekat penderita sampai kesadaran penderita kembali
-
Biarkan penderita beristirahat dan melanjutkan aktivitas yang sedang dilakukannya.
Gambar 1. Memposisikan Penderita saat Serangan
Berdasarkan skema 1 pembagian kejang menurut waktu adalah: 1. 0 – 5 menit
24
-
Longgarkan pakaian penderita, dan miringkan. Jika perlu letakkan kepala lebih rendah dari kaki penderita agar tidak terjadi aspirasi
-
Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik, berikan oksigen jika ada.
-
Berikan diazepam rektal 0,5mg/kg (berat badan < 10 kg = 5mg, sedangkan berat badan > 10 kg = 10 mg) dosis maksimal adalah 10 mg/dosis.
-
Maksimal diberikan 2 kali dengan interval 5 menit.
2. 5 – 10 menit -
Jika masih kejang, dapat diberikan diazepam rektal dalam dosis yang sama.
-
Lakukan pemasangan akses intravena sekaligus mengambil darah untuk pemeriksaan darah rutin, glukosa, dan elektrolit.
-
Jika masih kejang berikan diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena (kecepatan 5 mg/menit).22
3. 10 – 30 menit -
Pada waktu ini cenderung menjadi status konvulsifus
-
Berikan fenitoin 20mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg fenitoin dengan 1 ml NaCl 0,9% dan diberikan dengan kecepatan 50mg/menit. Dosis maksimal adalah 1g fenitoin.
-
Jika kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20mg/kg intravena bolus perlahan-lahan dengan kecepatan 100mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan adalah 1000mg fenobarbital.
-
Jika kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2mg/kg diberikan
bolu
perlahan
dilanjutkan
dengan
dosis
0,02-
0,06mg/kg/jam yang diberikan secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa 3 ml midazolam diencerkan dengan
25
12 ml NaCl 0,9% menjadi 15 ml larutan dan diberikan perdrip dengan kecepatan 1ml/jam (1mg/jam).
4. > 30 menit -
Jika kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul kejang kembali, diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10mgkg intravena dengan pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5 – 7 mg/kg intravena dengan pengenceran diberikan 12 jam kemudian
-
Jika kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang kembali, diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10mg/kg intravena secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7 mg/kg intravena diberikan 12 jam kemudian.
-
Jika kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan f enitoin dan fenobarbital tetap diberikan.
-
Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang ada dan awasi tanda-tanda depresi pernafasan. Terdapat perbedaan antara penatalaksanaan kejang dari beberapa
negara dengan penatalaksanaan kejang di Indonesia. Dimana pada awal kejang, IDAI menyarankan untuk pemberian diazepam baru diikuti dengan pemberian fenitoin dan fenobarbital jika kejang ti dak berhenti. Sebaliknya, menurut guideline epilepsi dari Indian Pediatrik mengatakan seperti yang tergambar dalam skema berikut.
26
Skema 2. Penatalaksanaan emergensi penderita kejang
Kejang dapat terjadi lebih dari satu kali dan penyebab lain untuk kejang harus diidentifikasi sebelum dilakukannya pengobatan rutin antiepilepsi. Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk mencegah serangan kejang lebih lanjut baik sepenuhnya ataupun untuk mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan dengan sedikit mungkin efek samping. Obat antiepilepsi diberikan setiap hari selama bertahun-tahun atau terkadang seumur hidup sampai periode bebas kejang. Periode bebas kejang setidaknya dua tahun pada epilepsi idiopatik dan setidaknya tiga tahun pada epilepsi simtomatik. Setelah itu dosis dapat dikurangi secara bertahap sela ma berbulan-buln dan jika tidak kambuh lagi obat dapat dihentikan. Dalam kasus di mana epilepsi itu sangat berat sebelum pengobatan dimulai, atau jika terdapat lesi otak, lebih baik
27
untuk melanjutkan pengobatan lebih lama, karena kemungkinan kambuh dikemudian hari jauh lebih besar. Prinsip-prinsip bagaimana memulai pengobatan pada penderita yang baru didiagnosis diringkas sebagai berikut: -
Hati-hati dalam menegakkan diagnosis
-
Mulai pengobatan dengan satu jenis macam obat
-
Mulai pengobatan dengan dosis minimal
- Naikkan dosis secara bertahap sampai kejang terkontrol. Dosis ini merupakan dosis minimum pemeliharaan. -
Tujuan dari pengobatan adalah untuk mencapai dosis minimum pemeliharaan.
-
Pengobatan dengan menaikkan dosis secara bertahap menghasilkan terapi secepat inisiasi dengan dosis besar tetapi dengan efek samping minimum.
-
Efek samping berupa keracunan yang berat muncul pada awal pengobatan dengan dosis yang terlalu besar atau peningkatan terlalu cepat. Efek samping lainnya termasuk kelelahan, kebutuhan tidur yang berlebih, pusing, atau kesulitan belajar (ataksia).
-
Jika obat yang diberikan tidak ditoleransi dengan baik (efek samping timbul atau dosis maksimum tidak menghentikan kejang) maka obat digantikan dengan obat antikonvulsan lain yang juga lini pertama.
-
Antikonvulsan yang kedua harus ditambah secara bertahap dan antikonvusan pertama perlahan-lahan ditarik.
-
Dalam kasus acute withdrawal syndrom, kekambuhan kejang digunakan diazepam
-
Kepatuhan dalam meminum obat adalah kunci untuk mengontrol kejang dan konseling pada pada keluarga adalah faktor yang terpenting dalam kepatuhan9 Idealnya pemberian obat awal tergantung dari jenis epilepsi dan
jenis yang terjadi. Tetap dalam prakteknya kembali kepada ketersediaan dan
28
keterjangkauan obat. Karena pada awal kejadian kejang sulit menentukan jenis epilepsi yang terjadi, maka pengobatan biasanya dimulai sesuai dengan jenis kejang. Kejang yang umum terjadi adalah tonik-klonik. Terapi antiepilepsi yang digunakan untuk kejang ini ada empat jenis yang utama yakni fenobarbital, phenitoin, carbamazepin, dan valproate. Jika kita mampu membedakan antara kejang tonik-klonik primer dan sekunder, maka fenobarbital atau valproate digunakan untuk kejang tonik-klonik primer dan phenitoin atau carbamazepin untuk kejang tonik-klonik sekunder. 1. Fenobarbital Fenobarbital merupakan obat antikonvulsan yang efektif dan murah, tetapi penggunaan fenobarbital tidak lagi dianjurkan pada negara maju. Jika obat jenis ini satu-satunya obat yang ada, maka pengobatan semua penderita epilepsi dimulai dengan fenobarbital. Tetapi jika tidak ada perbaikan atau bahkan kondisi menjadi lebih buruk, penderita dirujuk ke pusat kesehatan lain yang memiliki obat antikonvulsan jenis lain.9 Efek samping utama fenobarbital adalah mengantuk terutama selama minggu pertama pengobatan dan perlahan-lahan menghilang, dan hanya berulang ketika dosis menjadi terlalu tinggi. Pada beberapa anak mungkin terdapat penurunan kinerja belajar atau perubahan perilaku, seperti hiperaktif dan kadang-kadang agresif. Fenobarbital memiliki waktu paruh yang panjang dan oleh karena itu akan memakan waktu beberapa minggu sebelum mencapai tingkat terapeutik dan efektif. Ini juga berarti bahwa obat ini dapat diberikan hanya sekali sehari, sebaiknya setelah makan malam sebelum tidur. Indikasi utama adalah epilepsi umum idiopatik. Tetapi juga cukup efektif dalam kejang umum lainnya dan kejang parsial. Hal ini tidak efektif dalam absen umum, dan mungkin memperburuk kejang malam hari, karena akan meningkatkan tidur. Ini adalah obat pilihan ketika pengobatan profilaksis yang ditunjukkan untuk kejang demam, namun jika diazepam rektal dapat dengan mudah diperoleh dengan
29
harga yang wajar maka obat ini bukan merupakan pengobatan profilaksis. 2. Fenitoin Phenitoin merupakan antikonvulsan yang sangat efektif untuk untuk kejang parsial, kejang tonik-klonik, dan kejang saat tidur. Tetapi phenitoin memiliki jarak yang kecil antara dosis terapeutik dan dosis toksik. Efek samping dari phenitoin adalah mengantuk, hipertropi gusi, dan hirsutisme. Jika dosis terlalu tinggi akan terjadi ataksia dan nistagmus. Jika gejala toksisitas telah muncul, dosis harus dihilangkan selama satu hari dan kemudian restart pada tingkat yang lebih rendah. Jika memungkinkan, mengganti obat ke antikonvulsan lain dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan lebih lanjut. Obat-obat dengan zat aktif yang sama banyak diproduksi dari pabrik yang berbeda. Dalam hal ini memungkinkan untuk terjadi perbedaan antara penyerapan obat satu dengan yang lainnya. Sebuah peningkatan dalam penyerapan dapat mengakibatkan efek toksik, sedangkan
menurunnya
sebuah
penyerapan
phenitoin
dapat
menyebabkan terulangnya kejang karena dosis terapeutik tidak tercap ai. 3. Carbamazepine Carbamazepine adalah obat yang dipasarkan setelah tahun 1960. Indikasi utama pemakaian carbamazepine adalah untuk kejang parsial kompleks. Tetapi juga efektif untuk kejang parsial lainnya dan untuk semua tonik-klonik. Hal ini tidak efektif untuk absen umum dan kejang mioklonik. Pada awal pengobatan biasanya akan terjadi efek seperti mengantuk dan pusing, dan terjadi lagi ketika dosis menjadi terlalu tinggi. Efek samping lain ada juga penglihatan ganda dan ataksia. Obat ini tidak memiliki waktu paruh yang lama dan karena itu tidak dapat diberikan sekali sehari. Obat ini harus diberikan dua kali sehari dan jika dikombinasikan dengan obat lain harus diberikan tiga kali sehari.
30
4. Valproate Valproatetelah dipasarkan sejak tahun 1966. Indikasi utama adalah absen umum, kejang mioklonik, dan serangan drop. Obat ini juga digunakan untuk kejang tonik-klonik. Jika perlu dapat digunakan untuk semua jenis kejang lainnya. Phenobarbitone tidak dapat digunakan sebagai profilaksis untuk kejang demam. Obat ini memiliki waktu paruh pendek. Walaupun farmakodinamik dalam sistem saraf pusat melebihi jumlah di serum, obat ini harus diberikan tiga kali sehari untuk menghindari konsentrasi puncak tinggi. Efek samping spesifik adalah peningkatan berat badan, rambut rontok, dan iritasi lambung. 5. Diazepam Diazepam digunakan untuk status epileptikus dan kejang demam. Diazepam harus diberikan secara intravena, tetapi jika tidak dapat akses intravena maka pemberian melalui rektum diperbolehkan.
Dosis yang diberikan untuk masing-masing obat dapat dilihat dalam tabel berikut.
Jenis Obat
Dosis (perhari)
Efek Samping
Fenobarbital
3-8 mg/kg
Hiperaktif, penurunan kinerja belajar, mengantuk
Fenitoin
5-15 mg/kg
Hipersutisme, ataxia,
31