REFERAT
Agustus, 2017
“ STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME “
Disusun Oleh
Desi Dwi Cahyanti N 111 17 047
PEMBIMBING KLINIK dr. Seniwaty Ismail, Sp.KK, FINSDV
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2017
BAB I PENDAHULUAN
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S.) pertama kali dilaporkan oleh Ritter von Rittershain pada tahun 1956 dan dikenal sebagai penyakit Ritter von Rittershain dan sering disingkat menjadi penyakit Ritter saja. Sinonimnya
ialah dermatitis eksfoliativa neonatorum. Istilah ini umumnya digunakan pada neonatus. Pada waktu itu belum dikenal istilah S.S.S.S. Kemudian Lyell pada tahun 1956 memasukkannya ke dalam Nekrolisis Epidermal Toksis (N.E.T.). barulah pada GLASCOW dengan model tikus dan berkat berbagai penyelidikan klinis dan histopatologik sindrom ini menjadi jelas dan ternyata berbeda dengan N.E.T.1 Staphylococcal scalded skin syndrome (S.S.S.S.) merupakan kelainan kulit ditandai dengan eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi superfisial. Kelainan ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan strain Staphylococcus aureus.2 Pasien S.S.S.S. memiliki gejala klinis berupa demam dan malaise yang timbul beberapa hari setelah infeksi staphylococcal . Perkembangan lesi dapat berupa erupsi kemerahan pada kulit yang menyebar dengan bula berdinding kendur. Lapisan atas kulit akan mengelupas, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri. Dengan perawatan tepat, erosi dapat mengering dengan cepat dan deskuamasi akan terjadi dalam beberapa hari. 2,3 Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi ET, dan hasil biopsi. Prognosis pada anak biasanya baik, tetapi pada dewasa diperlukan pemantauan yang ketat.3 Tujuan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan mengenai manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, hingga tatalaksana yang tepat dalam menangani kasus S.S.S.S. Informasi tersebut diharapkan nantinya dapat membantu dokter layanan primer untuk bertindak secara cepat dan tepat dalam menghadapi kasus SSSS.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (S.S.S.S.) dihitung sebagai salah satu infeksi kulit yang utama. Pada infeksi ini, permukaan kulit sebagian besar terkelupas dan terlihat seperti kulit terbakar dengan cairan panas. S.S.S.S. juga disebut sebagai penyakit Ritter von Ritterschein, penyakit Ritter, penyakit Lyell dan necrolysis staphylococcal epidermis. Penyakit ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir karena memiliki tampakan kulit seperti melepuh yang luar biasa pada permukaan kulit yang dangkal yang disebabkan oleh racun eksfoliatif yang dilepaskan dari Staphylococcus aureus.4 S.S.S.S. merupakan suatu bentuk penyakit kulit yang berat dan disebabkan oleh eksotoksin eksfoliatif yang dihasilkan S. aureus fage grup II dan ditandai oleh pembentukan bula dan eksfoliasi yang generalisata. 5
B. Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun tetapi jarang ditemukan pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal, defisiensi imun dan penyakit kronik. Diantara kasus yang pernah dilaporkan, lelaki cenderung lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2:1. Prevalensi pada anak kurang dari 2 tahun sebesar 62% dan hampir seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun (98%), serta 50% kasus terjadi sebelum usia 50 tahun. 6 Manusia merupakan reservoir utama dan orang dewasa umumnya merupakan karier (15-40%). Nasofaring anterior, aksila, perineum, dan vagina merupakan lokasi karier yang umum. Epidemi sering disebabkan oleh strain spesifik, beberapa lebih virulen daripada lainnya. 7
C. Etiologi
Etiologinya ialah di antaranya Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55, dan/atau faga 71. 1 Strain Staphylococcus penyebab penyakit umumnya
2
adalah Staphylococcus aureus dengan koagulase positif (kokus Gram-positif), yang menghasilkan eksfoliatin toksin A (ETA) dan eksfoliatin toksin B (ETB). Eksfoliatin toksin ini bersifat epidermolitik.3,4 Penularannya melalui kontak dengan pasien atau karier, sering melalui tangan yang terkontaminasi; jalur indirect jarang terjadi.7
D. Patogenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga. Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin) yang beredar di seluruh tubuh, sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan, karena epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab. 1 Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin. Pada anak-anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna, karena itu umumnya penyakit ini terdapat golongan usia tersebut. Jika penyakit ini menyerang orang dewasa diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau terdapat gangguan imunologik, termasuk yang mendapat obat imunosupresif.1 Masuknya kuman ke dalam kulit biasanya terjadi setelah robekan atau sumbatan
folikel
rambut.
Multiplikasi
menyebabkan
inflamasi
dan
pembentukan pus. Banyak toksin dan faktor seluler yang membantu terjadinya infeksi seperti koagulase, hialuronidase, lipase.7 Kulit adalah organ terbesar dalam tubuh manusia yang mengandung lima lapisan yaitu: Stratum korneum, Stratum lucidum, Stratum granulosum, Stratum
spinosum,
Stratum
germinativum
(Gambar
1).
Desmosom
merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Desmosom adalah struktur lokal yang disusun secara sistemik pada ujung lateral membran sel. Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis. Tindakan utama desmosom adalah untuk melawan kekuatan geser dan ditemukan epitel
3
skuamosa simpleks dan stratified. Sehubungan dengan S.S.S.S., desmosom ditemukan di jaringan otot untuk bertindak mengikat sel otot satu sama lain. 4
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan celah pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang tampak pada bagian atas epidermis yaitu antara stratum spinosum dan granulosum sehingga menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah, memperlihatkan Nikolsky sign positif.8,9 Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin secara hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga grup II (subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan III.3, 6 Adanya keterlibatan desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus foliaseus.8,9 Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS (Gambar.2). Desmosom adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih. 9 Desmoglein (Dsg) merupakan komponen transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel tetapi juga pada morfogenesis sel epitel.10 Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Dsg 2 terdapat
4
pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat. 10,11
Gambar 2. Desmoglein merupakan target pada SSSS ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi pemisahan intradesmosomal. Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1). Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan oleh toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin tersebut. ETs juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik. 10
5
E. Faktor Risiko
Neonatus dan anak-anak dari kelompok umur kurang dari 5 tahun umumnya berisiko tinggi terhadap S.S.S.S. Untuk melawan S.S.S.S, di masa kanak-kanak, tubuh memperoleh kekebalan tubuh seumur hidup dalam bentuk antibodi terhadap eksotoksin strain stafilokokus. Kekurangan kekebalan tubuh terhadap eksotoksin bakteri dan kegagalan fungsi ginjal yang tidak sempurna meningkatkan kemungkinan S.S.S.S pada neonatus. Alasan dibalik fakta tersebut meliputi bahwa eksotoksin dibersihkan melalui ginjal. Ini menunjukkan bahwa terlepas dari usia dan jenis kelamin, orang dengan gangguan imunologik dan pasien gagal ginjal berisiko t erkena S.S.S.S. 4
F.
Manifestasi klinis
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi, malaise, gelisah, dan nyeri disertai infeksi di saluran napas bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul mendadak pada muka, leher, ketiak, dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding kendur. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberi tanda Nikolskiy positif . Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah-daerah
erosif.
Akibat
epidermolisis
tersebut,
gambarannya
meninggalkan mirip kombustio yang lembab, merah dan nyeri. Daerahdaerah tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa yang tidak mengelupas terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai, tetapi mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.1
6
A
B
Gambar 3.(A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan badan bayi penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar
Gambar.4 Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan bakteriologi Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas dapat dilakukan pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai tipe kuman, karena S.S.S.S. disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu. Pada kulit, seperti telah disebutkan, tidak didapati kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin.1
7
2. Histopatologi Pada S.S.S.S. terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum. 8 Pembentukan dataran pemisah di epidermis atas, di stratum granulosum, dan pemisahan lapisan epidermis oleh cairan edema yang membentuk bula. Pada epidermis dan dermis terdapat reaksi radang ringan. 5
Gambar.5 Histopatologi S.S.S.S., dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial, tepatnya dibawah stratum korneum 11
H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan konfirmasi laboratorium melalui isolasi Staphylococcus aureus dari kulit dan nasofaring. 7 Serta temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi ET, hasil biopsi, dan dengan Nikolsky’s sign positif (Gambar.6) dan nyeri tekan. 3
Gambar 6. Nikolsky’s sign positif pada penderita S.S.S.S.
8
I.
Diagnosis banding
1. Nekrolisis Epidermal Toksik (N.E.T) Penyakit ini sangat mirip dengan N.E.T. Perbedaannya, S.S.S.S. umumnya menyerang anak di bawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit di muka, leher, aksila dan lipat paha; mukosa umumnya tidak dikenai, alatalat dalam tidak diserang, dan angka kematiannya lebih rendah. Kedua penyakit tersebut agak sulit dibedakan, oleh karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan histopatologik secara frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip terapi kedua penyakit tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada letak celah, pada S.S.S.S. di stratum granulosum, sedangkan pada N.E.T di subepidermal. Perbedaan lain, pada N.E.T. terdapat sel nekrosis di sekitar celah dan banyak terdapat sel radang.1
Gambar 7. Nekrosis epidermal toksik. Epidermolisis di punggung 2. Impetigo Bulosa Staphylococcal
scalded
skin
syndrome dan
impetigo
bulosa
merupakan penyakit kulit melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa, ET hanya terdapat pada area infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada S.S.S.S., ET tersebar secara hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian tempat terjauh.6 Pemeriksaan kultur bula yang intak pada S.S.S.S. biasanya steril (tidak ditemukan staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran toksin secara hematogen berasal dari fokus infeksi yang jauh. Sedangkan pada impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram menunjukkan adanya staphylococcus.8
9
Gambar 8. Impetigo bulosa yang disebabkan oleh S. Aureus
3. Selulitis Selulitis terjadi pada lapisan dermis dan subkutan. Etiologi paling sering disebabkan oleh S. pyogens, S.aureus dan GAS. Selain itu, bakteri streptokokus grup B juga bisa menyerang bayi dan bakteri basil gram negatif bisa menyerang orang dengan tingkat imun yang rendah. Selulitis mempunyai gejala yang sama dengan erisipelas yaitu eritema dan sakit, tetapi dapat dibedakan dengan batas lesi yang tidak tegas, terjadi di lapisan yang lebih dalam, permukaan lebih keras dan ada krepitasi saat dipalpasi. Selulitis dapat berkembang menjadi bulla dan nekrosis sehingga mengakibatkan penggelupasan dan erosi lapisan epidermal yang luas. 12
Gambar 9. Selulitis pada ekstremitas bawah disertai bengkak, melepuh dan berkrusta.
Gambar 10. Selulitis pada ekstremitas bawah tampak eritema dengan vesikelvesikel yang sudah pecah.
10
4. Epidermolisis Bulosa Epidermolisis Bulosa (E.B.) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma ringan. Seperti diketahui pada kulit bayi lebih mudah terjadi bula, sehingga trauma ringan di jalan lahir sudah cukup menyebabkan terjadinya bula. Pemeriksaan histopatologik dapat melihat letaknya bula terhadap stratum basal. Klasifikasi bula berdasarkan jaringan parut, yaitu E.B. nondistrofik (bula terletak di atas stratum basal) dan distrofik (bula terletak di bawah stratum basal). Kunci utama diagnosis E.B. secara klinis didasarkan lokalisasi bula yang terbentuk, yaitu ditempat yang mudah mengalami trauma, misalnya trauma dijalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-kadang hemoragik, selain kulit biasanya mukosa ikut terkena.1 Meskipun sangat jarang, kelainan ini merupakan kelompok kelainan yang penting. Pada kelainan ini, bayi-bayi dilahirkan dengan kulit yang rapuh yang dapat menjadi lepuhan bila terjadi kontak. Diagnosis epidermolisis bulosa memerlukan pemeriksaan mikroskop elektron untuk menentukan derajat lepuhan. 13
Gambar 11. Epidermolisis bulosa pada ekstremitas bawah tampak bula, ekskoriasi, dan krusta di tempat-tempat yang mudah terkena trauma.
11
5. Sindrom Stevens-Johnson Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan-berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Penyebab utama ialah alergi obat yang tersering ialah analgetik/antipiretik, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi. Penyakit ini sama dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokkan. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma.1
Gambar 12. Sindrom Stevens-Johnson Terdapat makula hiperpigmentosa, banyak vesikel di muka; erosi, ekskoriasi krusta kehitaman di bibir, dan konjungtivitis J.
Penatalaksanaan
Berbeda dengan pengobatan pada N.E.T., maka kortikosteroid tidak perlu diberikan. Pengobatannya ialah antibiotik , jika dipilih derivat penisilin hendaknya yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase, misalnya kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa sehari per os. Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari per os. Obat lain yang dapat diberikan ialah klindamisin dan
12
sefalosporin generasi I . Topikal dapat diberikan sufratulle atau krim
antibiotik. Selain itu juga harus diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit.1 Terapi untuk S.S.S.S. harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus. Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik anti-staphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat diberikan sebagai pengganti setelah beberapa hari. Kerusakan fungsi perlindungan kulit yang luas pada lesi S.S.S.S., menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit. Pemantauan cairan ditunjang penggunaan antibiotik yang tepat serta perawatan kulit, sangat berguna untuk mempercepat penyembuhan. Penggunaan baju yang meminimalkan gesekan juga dapat membantu mengurangi terjadinya pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres daerah lesi untuk membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis. Salep antibiotik muporicin diberikan beberapa kali dalam sehari pada area lesi termasuk pada sumber infeksi sebagai tambahan terapi antibiotik sistemik.8 K. Pencegahan
1.
Mencuci tangan dengan menggunakan sabun antibakteri/antiseptik.
2.
Menggunakan handuk bersih untuk mengeringkan tangan dan pakaian bersih huntuk mengeringkan badan.
3.
Pakaian harus dicuci dengan air panas.
4.
Kuku jari harus pendek untuk menghindari kontaminasi.
5.
Sekolah dan tempat penitipan anak harus dihindari dari infeksi menular.
6.
Barang kebersihan pribadi tidak boleh dibagi.
7.
Cuci tangan sebelum menyentuh kulit yang rusak atau pecah.
8.
Dalam kasus infeksi ringan, koloni bakteri dapat dicegah di dalam lubang hidung dan di bawah kuku jari kaki dengan menggunakan krim antibiotik seperti asam fusidat atau dengan menggunakan petroleum jelly dalam beberapa kali sehari, selama seminggu atau bahkan setiap bulannya.4
13
L. Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah setahun, yang berkisar antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis.1 Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan kejadian sepsis. 8
M. Komplikasi
Meskipun
S.S.S.S.
dapat
sembuh
spontan,
dapat
pula
terjadi
komplikasi, misalnya: 1. Selulitis Hal ini terjadi saat penyebaran infeksi sampai ke lapisan kulit yang lebih dalam. Menghasilkan gejala termasuk kulit kemerahan dan meradang dengan rasa sakit. Situasinya biasanya bisa diobati dengan antibiotik dan analgesik untuk mengurangi rasa sakit. 2. Septikemia Septicemia adalah sejenis infeksi bakteri pada darah. Hal ini menyebabkan diare, dingin, kulit basah, demam, muntah, hipotensi, kebingungan, lemah, pusing dan kehilangan kesadaran. 3. Post-streptococcal glomerulonephritis (PSG) PSG adalah infeksi yang berhubungan dengan pembuluh darah kecil di ginjal. Gejala PSG adalah warna urine kemerahan, pembengkakan perut dan pergelangan kaki, hematourea, berkurangnya jumlah urine. Pasien yang menderita PSG memerlukan perawatan medis segera dan tekanan darah mereka harus dipantau dengan hati-hati. PSG bisa berakibat fatal pada orang dewasa, namun kasus anak sangat jarang terjadi.4 Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien S.S.S.S. adalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang sering terjadi berupa dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis. 8
14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan:
1. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome adalah merupakan suatu penyakit epidermolisis
yang
disebabkan
oleh
ET
(ETA
dan
ETB)
dari
Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri khas ialah adanya epidermolisis. 2. Kasus terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun, dan dewasa pria lebih banyak dari wanita 3. Serangan lisis terjadi pada stratum granulosum, namun tidak ada sel sel nekrosis di sekitar celah dan tidak terdapat sel radang 4. Gejala berupa kemerahan meluas pada kulit diikuti terbentuknya benjolan benjolan berisi cairan, mudah pecah, dan tampak seperti terbakar. 5. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi ET, dan hasil biopsi. 6. Terapi untuk S.S.S.S. bertujuan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus dengan pemberian antibiotik, jika di pilih derivat penisilin, clyndamisine dan sefalosporin generasi 1, pemantauan cairan, dan perawatan kulit 7. Prognosis pada anak lebih baik dibandingkan dewasa karena jarang terjadi sepsis. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis merupakan komplikasi S.S.S.S. yang sering terjadi.
B. Saran:
1. Perlu
dilakukan
penanganan
segera
kegawatdaruratan
untuk
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, seperti halnya pada pasien luka bakar 2. Pengobatan antibiotik sebaiknya digunakan golongan selain penisilin pada daerah yang terkenal resisten terhadap obat ini.
15
DAFTAR PUSTAKA
1.
Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
2.
Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW. Development and Evaluation of Detection System for Staphylococcal Exfoliative Toxin a Responsible for Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol. 2013; 39: 2050-54
3.
Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong Dermatology & Venereology Bulletin. 2015 ; 10 (1): 25.
4.
Mishra, A.K, et all. A. A Systemic Review on Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS): A Rare and Critical Disease of Neonatus. The Open Microbiology Journal . Vol.10; 150-159; 2016. Diakses pada 30 Juli 2017. From < http://www.benthamopen.com/TOMICROJ/>
5.
Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit .Jakarta: Penerbit Hipokrates; 2015
6.
Randall W King, MD, et all. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome in Emergency Medicine. Vol.03. No.01; 2017. On July 30, 2017. Cited at : .
7.
Mandal, B.K. dkk. Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008
8.
Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin Production. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1710-19.
9.
Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin-Mediated Scalded Skin and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases Clinicopathologic Atlas and Text. Cleveland: Springer; 2015. p. 133-6.
10. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andi C, Stanley JR. Toxin in Bullous Impetigo and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1. Nat Med . 2014; 6: 1275-7.
16
11. Stanley, JR, Masayuki, M. Pemphigus, Bullous Impetigo, and teh Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. The New England Journal of Medicine. N ENGL J MED. 2016; 355: 1800-10 12. Saavedra A,Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Chapter 179 Soft Tissue Infections : Erysipelas, Cellulitis, Gangrenous Cellulitis, and Myonecrosis. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7 th Ed. McGraw Hill Medical . United State of America. 2008. P.1720-1722 13. Brown, RG., Burns, T. Lecture Notes on Dermatologi. Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008
17