REEFERAT REHABILITASI MEDIK PADA POST ROI UNION FRAKTUR SHAFT FEMUR
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik Pembimbing : dr. Komang Kusumawati, Sp. KFR
Disusun Oleh : Afdelina Rizky Amalia, S.Ked
J510165025
Kiky Putri Anjany, S.Ked
J510165033
M. Teguh Hadinata, S.Ked
J510165030
KEPANITERAAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK RUMAH SAKIT ORTOPEDI PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018
REEFERAT REHABILITASI MEDIK PADA POST ROI UNION FRAKTUR SHAFT FEMUR
Yang diajukan Oleh :
Afdelina Rizky Amalia, S.Ked
J510165025
Kiky Putri Anjany, S.Ked
J510165033
M. Teguh Hadinata, S.Ked
J510165030
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Medik
Pendidikan
Profesi
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing Nama
: dr. Komang Kusumawati, Sp. KFR KFR
(.................................) (.................................)
Dipresentasikan di hadapan Nama
: dr. Komang Kusumawati, Sp. KFR KFR
ii
(.................................) (.................................)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................... ................................................................. ............................................ ......................... ...
i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................ ................................................................... .................................... .............
ii
DAFTAR ISI ............................................ .................................................................. ............................................ .................................... .............. iii BAB I
pendahuluan .......................................... ................................................................ ........................................ ..................
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ........................................... ................................................................ .....................
5
a. Anatomi femur ............................................ ................................................................... ............................. ......
5
b. tahap Penyembuhan tulang ............................................ ...................................................... ..........
6
c. fraktur shaft femur .......................................... ................................................................. ......................... ..
8
d. tahap Penyembuhan tulang ............................................ ...................................................... ..........
5
BAB III
REHABILITASI MEDIK ............................................ .............................................................. .................. 19 a. Definisi .......................................... ................................................................ ........................................... ..................... 19 b. Goal ........................................... ................................................................. ............................................ ......................... ... 19 c. Problem ............................................ .................................................................. ........................................ .................. 20 d. Rehabilitasi Medik .......................................... ................................................................. ......................... .. 21 e. Edukasi.......................................... ................................................................ ........................................... ..................... 30
BAB IV
KESIMPULAN.......................................... ................................................................. .................................... ............. 31
DAFTAR PUSTAKA .......................................... ................................................................ ............................................ ......................... ... 31
3
BAB I PENDAHULUAN
Femur merupakan tulang terpanjang pada tubuh manusia. Hal ini me nyeba bk an perkembangan yang sesuai pada bagian proksimal dan distal sehingga
memungkinkankoordinasi
aktifitas
musculoskeletal
pada
pa ngg ul da n lut ut . Perk em ban ga n pa da femu r proksimal khususnya pada epifisis dan fisis adalah sangat kompleks di antara region pertumbuhan skeletal apendikular. Fraktur femur adalah salah satu jenis fraktrur yang sering terjadi. Insidden terjadinya fraktur femur di USA diperkirakan 1 orang setiap 10.000 pendudk setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Unit Pelaksana Teknis Terpadu Fakultas Kedokteran Universits Indonesia pada tahun 2006 di Indonesia dari 1.690 kasus kecelakaan lalu lintas 249 kasus atau 14,7 %nya mengalami fraktur femur. Pada penanganan rehabilitasi medik union fraktur shaft femur merupakan proses pemulihan ke bentuk atau fungsi yang normal setelah terjadi luka atau sakit, atau pemulihan pasien yang sakit atau cedera pada tingkat fungsional optimal di rumah dan masyarakat, dalam hubungan dengan aktivitas fisik, psikososial, kejuruan dan rekreasi. Jika seseorang mengalami luka, sakit, atau cedera pada femur maka tahap yang harus dilewati adalah penyembuhan terlebih dulu. Setelah penyembuhan atau pengobatan dijalani maka masuk ke tahap pemulihan. Tahap pemulihan pada pos remove inplant inilah yang disebut dengan rehabilitasi.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Femur
Gambar 1. Tulang Femur (Sobotta, 2010)
Femur atau tulang paha, adalah tulang (paling dekat dengan tubuh) yang paling proksimal kaki dalam vertebrata yang mampu berjalan atau melompat, Femur merupakan tulang terbesar dalam tubuh. Kepala femur berartikulasi dengan acetabulum.. Anatomi manusia, femur adalah tulang terpanjang dan terbesar dalam tubuh. Os femur laki-laki dewasa rata-rata adalah 48 cm (18,9 in) panjang dan 2,84cm (1,12 in) dengan diameter di pertengahan poros, dan memiliki
5
kemampuan untuk mendukung hingga 30 kali berat dewasa. Secara morfologi femur (os longum) terdiri dari bagian-bagian : 1. Epiphysis proximal 2. Diaphysis 3. Epiphysis distalis
B. Tahap-tahap Penyembuhan tulang 1. Tahap Hematoma dan Inflamasi.
Apabila tejadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli dalam system haversian mengalami robekan dalam daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah kedalam jaringan lunak. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cidera kemudian akan diinvasi oleh magrofag (sel darah putih besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. 2. Tahap Proliferasi Sel.
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi,
dan
invasi fibroblast dan osteoblast .
Fibroblast
dan
osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang.
6
Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak sruktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi penambahan jumlah dari sel – sel osteogenik yang memberi penyembuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologist kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah radioluscen. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8. 3. Tahap Pembentukan Kalus.
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis fargmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. Bentuk tulang ini disebut moven bone. Pada pemeriksaan radiolgis kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur. 4. Tahap Penulangan Kalus (Osifikasi).
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan – lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pada fase 3 dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan berakhir pada minggu ke 8 – 12 setelah terjadinya fraktur. Pembentukan kalus mulai
7
mengalami penulangan dalam dua sampai tiga minggu patah tulang, melalui proses penulangan endokondral. Patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat bulan. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif.
5. Tahap Menjadi Tulang Dewasa (Remodeling).
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun – tahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus – stres fungsional pada tulang. Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru akan membentuk bagian yang meyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini perlahan – lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetapi terjadi osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan – lahan menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi system haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk susmsum. Pada fase terakhir ini, dimulai dari minggu ke 8 – 12 dan berakhir sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur. Tulang kanselus mengalami penyembuhan
dan remodeling lebih
cepat
daripada
tulang
kortikal
kompak, khususnya pada titik kontak langsung (Sylvia, 2006).
C. Fraktur Femur 1. Definisi Fraktur Femur (Shaft Femur)
Shaft femur adalah tulang femur yang dibagi menjadi tiga bagian yang sama kemudian diambil bagian yang tengah (Dorland, 1995). Jadi
8
fraktur shaft femur adalah suatu diskontinuitas tulang yang mengenai bagian sepertiga tengah dari tulang femur. 2. Etiologi
a. Trauma Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada tempat yang terkena, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada. Pada benturan keras (sering berupa kombinasi kekuatan langsung dan tidak langsung) fraktur mungkin bersifat kominutif atau tulang dapat patah pada lebih dari satu tempat (fraktur segmental). Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu: 1) Trauma langsung: Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut. 2) Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
3. Mekanisme Fraktur
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 2001). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi
9
sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang (Apley, A. Graham, 2001). 4. Klasifikasi Fraktur Femur
a. Berdasarkan dengan dunia luar 1) Fraktur tertutup Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak menonjol melalui kulit dan relatif lebih aman. 2) Fraktur terbuka Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, sehingga fraktur terbuka potensial terjadi infeksi osteomielitis. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade, yaitu:
Grade 1: terobeknya kulit dengan sedikit kerusakan jaringan
Grade 2: seperti grade 1 dengan memar pada kulit dan otot
Grade 3: luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, saraf, otot dan kulit.
b. Berdasarkan bentuk patah tulang 1) Fraktur complete yaitu pemisahan tulang menjadi 2 fragmen 2) Fraktur incomplete yaitu patah bagian dari tulang tanpa adanya pemisahan. 3) Fraktur comminate yaitu fraktur lebih dari 1 garis fraktur, fragmen tulang patah menjadi beberapa bagian. 4) Impacted fraktur yaitu salah satu ujung tulang menancap ke tulang didekatnya. c. Berdasarkan garis patahnya 1) Green stick yaitu pada anak-anak. 2) Transverse yaitu patah tulang pada posisi melintang. 3) Longitudinal yaitu patah tulang pada posisi memanjang 4) Oblique yaitu garis patah miring 5) Spiral yaitu garis patah melingkar tulang
10
5. Manifestasi Klinis
a. Look
Bengkak timbul oleh karena pecahnya pembuluh darah arteri disekitar fraktur
Eritema, adanya warna kemerahan pada kulit daerah yang terfiksasi, disebabkan pembengkakan jumlah cairan darah secara berlebihan akibat kerusakan pembuluh darah.
Deformitas
(penonjolan
yang
abnormal,
angulasi,
rotasi,
pemendekan) mungkin terlihat jelas, jika kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka. Kakik pada fraktur shaft femur biasanya berotasi keluar dan mungkin memendek dan mengalami deformitas. b. Feel
Nyeri timbul karena rangsangan respon sensorik tubuh oleh karena kerusakan jaringan
Peningkatan suhu lokal
c. Move
Keterbatasan Lingkup Gerak Senid (LGS) terjadi di sendi penggerak tubuh disesbabkan oleh reaksi proteksi yaitu penderita berusaha menghindarigerakan yang menyebabkan nyeri.
Penurunan kekuatan otot terjadi karena pembengkakan sehingga timbul nyeri dan keterbatasan gerak serta aktivitas terganggu dan tejadi penurunan kekuatan tungkai yang fraktur (Apley & Solomon, 2001).
6. Penatalaksanaan Fraktur Femur a. Reduksi
Tidak boleh ada keterlambatan dalam menangani fraktur. Pembengkakan
bagian
lunak
selama
12
jam
pertama
akan
mempersulit reduksi. Tetapi terdapat beberapa situasi yang tidak memerlukan reduksi yaitu jika pergeseran tidak banyak, jika
11
pergeseran
tidak berarti
(fraktur
klavikula)
dan jika reduksi
diperkirakan tidak berhasil (fraktur kompresi vertebrae). 1) Reduksi tertutup Fraktur batang femur sulit direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang sangat kuat dan membutuhkan traksi yang lama. Umumnya redusi tertutup digunakan untuk semua fraktur dengan pergeseran minimal dan sebagian besarpada fraktur anakanak yang dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. 2) Reduksi terbuka Reduksi terbuka merupakan penanganan fraktur dengan pendekatan pembedahan dimana fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Indikasi reduksi terbuka meliputi: (1) bila reduksi gagal, baik karena kesukaran mengendalikan fragmen atau karena terdapat jaringan lunak diantara fragmen-fragmen tersebut; (2) bila terdapat fragmen artikular besar yang perlu ditempatkan secara tepat; (3) bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah. Tetapi biasanya reduksi terbuka hanya merupakan langkah pertama untuk fiksasi internal (Apley & Solomon, 2001). b. Imobilisasi
Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau internal. Fiksasi eksternal meliputi traksi kontinui, pembebatan dengan gips, bidai. Fiksasi internal dapat
12
dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai inerna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intratrohanterik 10-12 minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu (Apley & Solomon, 2001). 1) Traksi Pada femur terdapat otot yang sangat kuat sehingga reposisi tidak dapat dilakukan seklaigus. Untuk itu diperlukan reposisi sekaligus
imobilisasi
dengan
traksi
yaitu
mempertahankan
sebagian besar fraktur dalam alignment (penjajaran) yang memadai dan mobilitas sendi dapat terjamin dengan latihan aktif. Traksi dapat berupa traksi kulit ataupun traksi skeletal. Setiap traksi harus disertai kontraksi. Kontraksi biasanya sesuai dengan berat badan pasien itu sendiri
yaitu dengan cara meninggikan bagian
ekstremitas yang ditraksi. Lama traksi baik traksi kulit maupun traksi skeletal tergantung pada tujuan traksi. Ada dua macam traksi yaitu: a)
Traksi kulit Biasanya
menggunak
plester
yang
direkatkan
sepanjang ekstremitas yang kemudian dibalut, ujung plester dihubungkan dengan tali untuk ditarik. Penarikan biasanya dilaksanakan dengan katrol dan beban. Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg. Bila lebih dari 5 kg maka kulit akan mengalami nekrosis akibat tarikan karena iskemik kulit. b)
Traksi skeletal Orang dewasa membutuhkan traksi skeletal dengan pen atau kawat Kirschner yang diikat kuat-kuat dibelakang tuberkel tibia.
2) External Fixation
13
Fiksasi eksternal kadang digunakan untuk fraktur terbuka yang tidak cocok untuk fiksasi internal dan sulit dipertahankan dengan traksi dan pembebatan. Indikasi fiksasi eksternal yaitu : a) Fraktur yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat dimana luka dapat dibiarkan terbuka untuk pemeriksaan, pembalutan atau pencangkokan kulit. b) Fraktur yang disertai dengan kerusakan saraf atau pembuluh darah. c) Fraktur yang sangat kominutif dan tidak stabil. d) Fraktur yang tidak menyatu, yang dapat dieksisi dan dikompresi. e) Fraktur yang terinfeksi, dimana fiksasi internal mungkin tidak cocok. f) C i d e r a
m u l tipel yang berat, bila stabilisasi lebih awal mengurangi risiko komplikasi yang berbahaya. Gambar 3. Fiksasi Eksternal
3) Intramedullary Nail Fixation Intramedullary nail dapat digunakan untuk hampir semua fraktur pada batang femur. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak
14
cukup
kuat
untuk
mengontrol
rotasi. Intramedullary
nail
merupakan penanganan yang terbaik dan lebih banyak dipilih karena
merupakan
tindakan
perkutaneus
sehingga
hanya
membutuhkan sedikit insisi pada kulit.
4) Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Fragmen tulang dapat diikat dengan sekrup, pen atau paku pengikat, plat logam yang diikat dengan sekrup, paku intramedular nail yang panjang dengan atau tanpa sekrup pengunci circum ferential bands, atau kombinasi dari metode ini (Philips, 1990 cit Maryani, 2008). Indikasi ORIF yang biasanya dengan plate and screw sering menjadi bentuk terapi yang paling diperlukan. Indikasi utamanya : 1)
Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi
2)
Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran kembali setelah reduksi, (misalnya fraktur pertengahan batang pada lengan bawah dan fraktur pergelangan kaki yang bergeser). Selain itu juga fraktur yang cenderung tertarik atau terpisah oleh kerja otot (misalnya fraktur melintang pada patella atau olekranon).
3)
Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan-lahan terutama pada fraktur leher femur.
4)
Fraktur patologik dimana penyakit tulang dapat mencegah penyembuhan.
5)
Fraktur multiple bila fiksasi dini (dengan fiksasi internal atau luar) mengurangi risiko komplikasi umum dan kegagalan organ pada berbagai sistem.
6)
Faktur pada pasien yang sulit perawatannya (penderita paraplegia, pasien dengan cedera multiple dan sangat lanjut usia). (Phillips, 1990 cit Maryani, 2008).
15
E. Post Operasi 1. Problem post operasi
Pada kondisi post fraktur femur 1/3 medial dengan pelepasan plate and screw maka akan timbul problem setelah operasi sebagai berikut : a. Nyeri, adanya luka bekas operasi serta adanya oedem di dekat daerah fraktur, menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan interstitial sehingga akan menekan nocireceptor, lalu menyebabkan nyeri. b. Bengkak, timbul oleh karena pecahnya pembuluh darah arteri yang menyertai pelaksanaan operasi sehingg aliran darah menuju jantung tidak lancar, maka timbul bengkak disekitar luka incisi. c. Eritema, adanya warna kemerahan pada kulit pada daerah yang fiksasi hal ini disebabkan pembengkakkan, jumlah cairan darah dibawa secara berlebihan akibat rusaknya pembuluh darah. Pada pemasangan internal fiksasi dengan plate and screw saat operasi akan terjadi kerusakan tulang, otot, pembuluh darah dan jaringan lunak. Kerusakan ini menimbulkan reaksi inflamasi (radang). d. Peningkatan suhu lokal, dalam keadaan normal suhu kira-kira 36 0 C kaki pada daerah yang ada fiksasi atau bekas operasi suhu sama dengan kaki kanan (sehat). e. Keterbatasan LGS, ini terjadi di sendi penggerak tubuh (tungkai kiri) disebabkan oleh reaksi proteksi yaitu penderita berusaha menghindari gerakan yang menyebabkan nyeri. f.
Penuruanan kekuatan otot, terjadi karena adanya pembengkakkan sehingga timbul nyeri dan keterbatasan gerak serta aktifitas terganggu dan terjadi penurunan kekuatan tungkai kiri sehingga dalam waktu yang lama akan menyebabkan disuse atrophy.
g. Fuctional Limitation, adanya oedem dan nyeri menyebabkan pasien mengalami penurunan kemampuan fungsionalnya, seperti transfer, ambulasi, jongkok berdiri, naik turun tangga, keterbatasan melakukan Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK). Hal ini
16
disebabkan adanya nyeri, oedem, dan karena penyambungan tulang oleh callus yang belum sempurna, sehingga pasien belum mampu menumpu berat badan dan melakukan aktifitas sehari-hari secara optimal. h. Permasalahan pada saluran pernapasan. Anastesi yang digunakan saat operasi bersifat sebagai zat iritan, reflek batuk tertekan dan karenanya pengeluaran sekresi menjadi sulit, sering juga terjadi sekresi yang sulit dikeluarkan, karena lemahnya reflek batuk dan sistem sekresi akibat tindakan pembiusan menyebabkan pasien mengantuk dan lemah sehingga proses pembuangan sekresi terganggu (Apley & Solomon, 2001). 2. Komplikasi
a. Komplikasi Lanjut 1) Stiff joint (kaku sendi) Kekakuan sendi terjadi akibat oedem dan fibrasi pada kapsul, ligamen dan otot sekitar sendi, atau perlengketan dengan jaringan lunak satu sama lain. Keadaan ini bertanbah lunak satu sama lain. Keadaan ini bertambah parah jika immobilisasi berlangsung lama dan sendi dipertahankan dalam posisi ligament terpendek, tidak ada latihan yang akan berhasil sepenuhnya merentangkan jaringan ini dan memulihkan gerakan yang hilang. 2) Penyatuan lambat dan non union Fraktur femur akan menyatu dalam 100 harim plus atau minus 20 hari. Kalau sinar X menunjukan bahwa ujung tulang mengalami sklerosis, tentu saja diperlukan fiksasi internal yang kaku dan ditambah cangkokan kanselosa. 3) Malunion Pada oranng dewasa, angulasi tidak boleh lebih dari 15 derajat. Kalau malunion tempak jelas, efek mekanik pada pinggul atau lutut dapat menyebabkan predisposisi terhadap osteoartritis sekunder (Apley& Solomon, 2001).
17
4) Infeksi Pada cidera terbuka, setelah fiksasi internal selalu terdapat risiko infeksi. Risiko kejadian osteomyelitis dapat terjadi pada kasus ini. 3. Prognosis
Penderitafraktur femur 1/3 medial setelah pemasangan internal fiksasi plate and screw tanpa komplikasi bila mendapat tindakan fisioterapi sejak dini dan tepat maka kapasitas fisik dan kemampuan fungsional akan kembali normal (baik). Tetapi bias menimbulkan keadaan yang jelek dari penyembuhan apabila terjadi komplikasi yang menyertai dan umumnyausia lanjut (Apley, 2001).
18
BAB III REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR SHAFT FEMUR A. Definisi Menurut WHO, Rehabilitasi Medik adalah ilmu pengetahuan kedokteran yang mempelajari masalah atau semua tindakan yang ditujukanuntuk mengurangi atau menghilangkandampak keadaan sakit, nyeri, cacat dan atauhalangan serta meningkatkan kemampuanpasien mencapai integrasi sosial.
B. Goal
1.
Mobilisasi segera untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama pada post ROI fraktur shaft femur Sinistra
2.
Mencegah disabilitas post ROI fraktur shaft femur Sinistra. Terapis okupasi juga berperan penting pada perawatan pasca operasi pasien ini, dengan berfokus pada latihan aktivitas sehari-hari dan melakukan penilaian pada lingkungan rumah pasien untuk memastikan kemudahan dalam membantu pasien hidup mandiri
3.
Memperbaiki ROM femur dan hip pada pasien post ROI fraktur shaft femur Sinistra.
4.
Meningkatkan penyerapan udem yang masih ada pada pasien post ROI fraktur shaft femur Sinistra.
5.
Melunakkan dan meregangkan jaringan fibrosa pada pasien post ROI fraktur shaft femur Sinistra.
6.
Meningkatkan gerak sendi dan kekuatan otot pada pasien post ROI fraktur shaft femur Sinistra.
7.
Mempertahankan kemampuan fungsional sebelum terjadinya fraktur pada pasien post ROI fraktur shaft femur Sinistra.
8.
Menormalkan pola gait pasien post ROI fraktur shaft femur Sinistra.
9.
Meningkatkan kualitas hidup post ROI fraktur shaft femur Sinistra.
C. Problem
19
1. Nyeri Pasien post operasi merasakan nyeri akibat dari luka robek yang terjadi pada sekitar muskuloskeletal 2.
Edema Terjadi karena adanya proses inflamasi
3.
Keterbatasan gerak
4.
Gangguan fungsional dalam ADL ( Activity Daily Live)
D. Rehabilitasi Medik 1. Terapi Latihan (exercise therapy) aktif dan pasif
Terapi latihan adalah petunjuk gerakan tubuh untuk memperbaiki penurunan fungsi, meningkatkan fungsi musculoskleletal dalam keadaan yang baik (Kotte, 1991). Terapi latihan merupakan tindakan fisioterapi dan dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerak tubuh yang baik secara aktif maupun pasif untuk mengatasi permasalahan kapasitas-kapasitas fisik dan kemampuan fungsional yang ada. Terapi ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi sekaligus memberi penguatan dan pemeliharaan gerak agar bisa kembali normal atau setidaknya mendekati kondisi normal. Kepada anak, akan diberikan latihan memegang maupun menggerakkan tangan dan kakinya. Setelah mampu, akan dilanjutkan dengan latihan mobilisasi, dimulai dengan berdiri, melangkah, berjalan, lari kecil, dan seterusnya. Latihan-latihan yang diberikan bertujuan mempertahankan kekuatan otototot dan kemampuan fungsionalnya dengan mempertahankan sendi-sendinya agar tak menjadi kaku. Hal ini perlu dilakukan karena kaki patah yang dipasangi gips umumnya
akan mengalami pengecilan otot,
sehingga
kekuatannya
pun
berkurang. Lewat terapi yang dilakukan sambil bermain akan kelihatan bagian mana yang mengalami penurunan fungsi.
Jenis dan terapi latihan di sini ada beberapa macam antara lain : a. Latihan passive movement Adalah suatu latihan yang digunakan dengang erakan. Yang dihasilkan oleh tenaga/ kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot
20
atau aktifitas otot. Semua gerakan dilakukan sampai batas nyeri atau toleransi pasien. Efek pada latihan ini adalah mempelancar sirkulasi darah, relaksasi otot, memelihara dan meningkatkan LGS, mencegah pemendekan otot, mencegah perlengketan jaringan. Tiap gerakan dilakukan sampai batas nyeri pasien. Gerakan passive movement ini dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Relaxed passive movement. Adalah gerakan yang terjadi oleh kekuatan dari luar tanpa diikuti kerja otot dari bagian tubuh itu sendiri. Dosis latihan 2x8 hitungan tiap gerakan (Kisner, 1996).
21
1) Passive movement Adalah gerakan yang terjadi oleh karena kekuatan dari luar tanpadi ikuti kerja otot tubuh itu sendiri tetapi pada akhirnya gerakan diberikan penekanan. Gerakan ini bertujuan : a) Mencegah pembentukan perlengketan jaringan lunak b) Menjaga elastisitas jaringan c) Mencegah kontraktur d) Mengurangi nyeri (Kisner, 1996). Latihan passive pada sendi panggul ini posisi pasien tidur terlentang dan posisi terapis disamping pada sisi yang sakit. Tangan kanan terapis pada daerah hamstring dan tangan kiri pada gastrocnemius sebagai support, kemudian digerakkan kearah flexiextensi, abduksi, adduksi pada sendi panggul. Kemudian untuk gerakan ankle terapis fiksasi pada pergelangan kaki. Telapak kaki digerakkan plantar-dorsal flexi, inversi-eversi dan rotasi serta gerakan jari-jari kaki. Dosis terapi 2x8 hitungan tiap gerakan. b. Latihan Active Movement Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh itu sendiri (Kisner, 1996). Gerak yang dalam mekanisme pengurangan nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan secara sadar dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup gerak penuh dan diikuti relaksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri. Salah satu modalitas fisioterapi yang dapat diaplikasikan untuk mengurangi ketegangan jaringan lunak termasuk otot dengan rileksasi jaringan tersebut. Rileksasi dapat dilaksanakan sendiri oleh pasien dengan teknik ressisted active exercise. 1) Assisted Active Movement.
22
Gerakan ini terjadi oleh karena adanya kerja otot melawan gravitasi dan dibantu gerakan dari luar kecual gaya gravitasi. Setiap gerakan dilakukan sampai batas nyeri pasien. Efek dari gerakan ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang rileksasi propioseptif, mengembangkan koordinasi dan keterampilan untuk aktifitas fungsional. Latihan ini dilakukan bisa berupa bantuan alat atau terapis dengan posisi telentang, tangan terapis memfiksasi pada pergelangan kaki dan tangan satunya memegang tumit. Dosis latihan 2x8 hitungan tiap gerakan.
2) F r e e
A c t ive Movement
23
Gerakan ini terjadi akibat adanya kontraksi otot melawan pengaruh gravitasi tanpa adanya bantuan dari luar. Gerakan ini dilakukan oleh pasien sendiri dengan bantuan terapis. Tiap gerakan dilakukan 8x1 hitungan, efek dari gerakan ini untuk memelihara dan meningkatkan LGS, meningkatkan kekuatan otot, koordinasi gerakan. Dosis latihan 2x8 hitungan tiap gerakan. 3) Resisted Active Movement Latihan ini merupakan latihan aktif dimana otot bekerja melawan tahanan. Tahanan ini dapat berupa dorongan yang berlawanan dengan terapis. Tiap gerakan dilakukan 8x1 hitungan. Efek dari latihan ini dapat meningkatkan tekanan otot, dimana latihan ini akan meningkatkan rekrutment motor unit-motor unit sehingga akan semakin banyak melibatkan komponen otot-otot yang tahanan yang diberikan dengan penurunan frekuensi pengulangan (Kisner, 1996).
Dosis latihan 2x8 hitungan tiap
gerakan.
4) Stretching Tendon Achiles Latihan ini diberikan untuk mencegah terjadinya kontraktur otot yang melengket/ menghambat pergerakan persendian, posisi pasien tidur telentang, posisi terapis berdiri disamping pasien. Fiksasi pada ankle dan kalkaneus, kemudian pasien diminta untuk mendorong lengan bawah fisioterapis pada saat mendorong lengan
24
bawah tersebut pasien sambil tarik nafas dalam-dalam dan saat hembuskan nafas bersamaan itu fisio terapi memberikan stretching (penguluran). Dosisl atihan 8-10 kali gerakan.
Gambar 11. Streatching tendo achilles
5) Hold Rileks Hold rileks adalah suatu teknik di mana otot atau grup antagonis yang memendek dikontraksikan secara isometris dengan kuat (optimal) yang kemudian disusul dengan relaksasi otot atau grup otot tersebut. Posisi pasien, terapis, pegangan dan fiksasi dengan
gerakan
harus
tepat.
Gerakannya:
pasien
disuruh
mendorong tahanan yang diberikan, terapis melawan gerakan pasien, kemudian rileks, saat rileks terapis menggerakkan sendi kea rah gerakan yang diinginkan sampai full ROM. Efek dari gerakan ini untuk rileksasi otot-otot yang mengalami spasme sehingga dapat
dilakukan
penguluran
yang
maksimal
yang
dapat
menurunkan nyeri-spasme. Dosis latihan 2x8 hitungan tiap gerakan. 6) Statik kontraksi Statik kontraksi merupakan kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang pendek otot dan LGS. Latihan ini dilakukan pada malam hari pertama post operasi. Statik kontraksi ini dapat
25
meningkatkan “ pumping action” yaitu suatu rangsangan yang menyebabkan dinding kapiler yang terletak pada otot melebar sehingga sirkulasi darah lancar sehingga nyeri akan ikut berkurang. Latihan gerak fungsional ini bertujuan untuk mempersiapkan aktivitas kesehariannya seperti duduk, berdiri, jalan sehingga penderita mampu secara mandiri dapat melakukan perawatan diri sendiri. Pelaksanaannya yaitu pasien tidur terlentang posisi terapis berdiri di samping pasien. Kemudian pasien diminta untuk menekan m. quadriceps dan m. gastrocnemius ke bed. Dosis latihan 8-10 kali gerakan.
2. Latihan Gerak Fungsional
a. Latihan duduk Selama kurang lebih 3 hari post operasi pasien mulai pertama beri latihan duduk tetapi pasien diposisikan half lying ± 300 atau setengah duduk. Apabila pasien dalam posisi half lying mengalami gangguan yaitu masih terasa pusing maka posisi
half lying
dikembalikan seperti semula (diturunkan lagi). Latihan dilanjutkan lagi dan dilakukan setiap hari. Tahap berikutnya melihat pasien agar duduk ongkang-ongkang di tepi bed yang akan diuraikan pelaksanaannya. Posisi pertama pasien tidur terlentang (half ± 30 0) kemudian lutut yang sehat ditekuk ± 45 0 juga, kemudian tangan pasien menarik tubuhnya
26
dibantu terapis sampai tepi bed dalam posisi duduk ( half lying ± 300) ongkang-ongkang. Fiksasi fisioterapi pada tungkai yang sakit yaitu pada ankle dengan posisi selalu ekstensi.
Latihan strengthening m. quadriceps dimulai hari ke-4 dengan posisi pasien duduk half lying 450. Fiksasi fisioterapi pada knee dan ankle. Penderita diminta untuk menggerakkan ke arah ekstensi kemudian terapis member tahanan. Dosis latihan 8-10 kali gerakan.
b. Latihan berdiri Setelah
pasien
berada
dalam
posisi
ongkang-ongkang
kemudian dilanjutkan dengan turun dari bed. Adapun pelaksanaannya pasien turun dari bed dengan hati-hati, sedangkan terapis memfiksasi tungkai yang sakit agar dalam posisi abduksi eksternal rotasi dan
27
ekstensi. Setelah mendirikan pasien perlu sekali dilakukan koreksi postur atau koreksi sikap badan. Sikap berdiri yang dikoreksi adalah: 1) berat nadan bertumpu pada salah satu tumit, 2) tulang punggung sedikit condong ke depan dengan kedua tangan berpegangan pada hand crutch, 3) kedua crutch berada disisi anterolateral, 4) kepala lurus tegak ke depan, 5) tungkai yang sakit harus berada dalam posisi abduksi eksternal rotasi dan saat latihan berdiri tidak ditapakkan. Lama berdiri pasien tergantung pada berat tidaknya kondisi yang dialaminya. Pasien bisa berdiri di atas kakinya selama 2 menit atau mungkin 10 menit pada hari pertama. Lama waktu berdiri bisa ditingkatkan secara bertahap, karena hal ini sangat penting agar memungkinkan peredaran darahnya mampu beradaptasi dengan efek rasa sakit yang diderita oleh pasien tersebut. c. Latihan berjalan Setelah memulai beberapa latihan barulah pasien diajarkan pola untuk jalan tindakan yang dilakukan pertama kali melangkah ke depan dengan dua crutch dan diikuti dengan kaki yang sakit dengan metode NWB ( Non Weight Bearing ) yaitu tanpa penumpuan berat badan selanjutnya kaki yang sehat melangkah ke depan dan seterusnya. Fiksasi terapis pada panggul pasien dan terapis sedekat mungkin dengan pasien untuk mencegah pasien terjatuh atau gerakan ini memerlukan keseimbangan yang baik. Pasien diperbolehkan berjalan Non-Weight Bearing mulai dari ke-7 sampai 10 selama 4-6 minggu, kemudian Partial Weight Bearing 6 minggu berikutnya. Full weight bearing diperbolehkan setelah 12 minggu. Operasi pengangkatan fiksasi interna dilakukan paling cepat setelah 12 bulan bila konsolidasi telah sempurna dan bila diperlukan dapat ditunggu sampai 2 tahun (Rae, 2002 cit Hanafiah, 2007).
28
3. Edukasi
Pasien post ROI fraktur shaft femur merupakan pasien yang sebelumnya memiliki activity daily live yang sudah baik. Sehingga proses rehabilitasi medik pada pasien secepat mungkin sanat penting untuk dilakukan, untuk mecegah terjadinya kekakuan dan atrophy pada otot pasien. Oleh karena itu, untuk mengembalikan pada kondisi sebelumnya pasien diberi pengertian tentang kondisinya dan harus berusaha mencegah cidera ulang atau komplikasi lebih lanjut dengan cara aktifitas sesuai kondisi yang telah diajarkan oleh terapis. Di samping itu juga peran keluarga sangatlah penting untuk membantu dan mengawasi segala aktifitas pasien di lingkungan masyarakatnya. Pasien diberi pengertian juga tentang kontraindikasi dari kondisi pasien itu sendiri agar tidak menapakkan kakinya terlebih dahulu sebelum 2-3 minggu, serta dosis latihan ditingkatkan.
29
BAB III KESIMPULAN
Penanganan rehabilitasi medik pada pasien post ROI fraktur shaft femur sinistra seperti fisioterapi harus segera dilakukan sehingga komplikasi yang sifatnya menetap dapat dicegah. Penanganan fisioterapi berupa meningkatkan kekuatan otot, menambah lingkup gerak sendi dengan modalitas terapi berupa latihan. Dimulai deri gerakan isometric, dilanjutkan gerakan isotonic secara bertahap berupa ROM exercise dan latihan gerak fungsional berupa latihan duduk, latihan berdiri, dan latihan berjalan dengan teknik non weight bearing , kemudian Partial Weight Bearing dan Full Weight Bearing diperbolehkan setelah 12 minggu.
30