LAPORAN PENDAHULUAN NON UNION FRAKTUR FEMUR
I.
Konsep Penyakit Non Union Fraktur Femur 1.1 Definisi Non union fraktur adalah tidak menyatunya atau tidak ada penyatuan pada tulang yang patah dalam waktu 6-8 bulan (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2002).Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007). 1.2 Etiologi 1. Trauma langsung/direct trauma Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang). 2. Trauma yang tak langsung/indirect trauma Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan. 3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis. 4. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. 1.3 Tanda Gejala Tanda gejala fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen f ragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot. 3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). 4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. 5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut. 1.4 Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur 1. Faktor Ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. 2. Faktor Intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang. 1.5 Pemeriksaan Penunjang 1. Sinar X (rontgen) Dapat melihat gambaran fraktur, deformitas, lokasi dan TANe. 2. Anteragram/menogram Menggambarkan arus vaskularisasi. 3. CT SCAN, MRI, SCAN Tulang, Tomogram Untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks. 4. Pemeriksaan Lab (DL) Untuk pasien fraktur yang perlu diketahui antara lain : HB, HCT (sering rendah karena perdarahan), WBC (kadang meningkat karena proses infeksi) 5. Creatinin Trauma otot meningkatkan beban creatinin untuk klirens ginjal 1.6 Komplikasi 1. Komplikasi Awal a. Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. b. Kompartement Syndrom Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan
paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna). c. Fat Embolism Syndrom Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie. d. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. e. Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban. f. Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. g. Osteomyelitis Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar 2. Komplikasi Dalam Waktu Lama a. Delayed Union (Penyatuan tertunda) Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang. b. Non union (tak menyatu) Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang-kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis. Non union dibagi menjadi 2 tipe yaitu : 1) Tipe 1 Fraktur non union dengan penyembuhan jaringan fibrosa yang mempunyai kemampuan untuk menyambung bila dilakukan fiksasi internal yang baik dan mencegah faktor lokal yang mengganggu penyembuhan fraktur. 2) Tipe 2 Menggerakan bagian fraktur secara kontinu akan memacu pembentukan sendi palsu yang disertai jaringan menyerupai kapsul. c. Malunion Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran. 1.7 Penatalaksanaan 1. Reposisi/setting Tulang Berarti pengambilan Fragmen tulang terhadap kesejahteraannya. a. Reposisi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya dengan memanANulasi dan traksi manual. b. Reposisi terbuka dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direposisi. 2. Imobilisasi
Untuk mempertahankan reposisi sampai tahap penyembuhan. a. Konservatif fiksasi eksterna Alatnya : GANs, Bidai, Traksi b. ORIF (Open reduction Internal fictation) Alatnya : Pen, flat screw. 3. Rehabilitasi Pemulihan kembali / pengembalian fungsi dan kekuatan normal bagian yang terkena. 1.8 Pathway
H. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Non Union Fraktur Femur 2.1 Pengkajian 2.1.1 Riwayat Kesehatan 1. Riwayat kesehatan sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,yang artinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain. 2. Riwayat kesehatan dahulu Pada kajian ini di temukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi pentujuk berapa lama tulang tersebut akan menyabung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker ntulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat berisiko terjadi osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang. 3. Riwayat penyakit keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah faktor predisposisiterjadnya fraktur,seperti diabetes, osteoprosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,dan kanker tulang yang cendrung diturunkan secara genitik. 2.1.2 Pemeriksaan Fisik: Data Fokus Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. 1. Gambaran Umum Perlu menyebutkan: a. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti: 1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2)
Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. 3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin 1) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan. 2) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala. 3) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada. 4) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. 5) Mata Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
6)
Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. 7) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. 8) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. 9) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. 10) Paru a) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. c) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. d) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. 11) Jantung a) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung. b) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. c) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. 12) Abdomen a) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. b) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. c) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. d) Auskultasi Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit. 13) Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. 2. Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: a. Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: 1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). 2) Cape au lait spot (birth mark). 3) Fistulae. 4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi. 5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan halhal yang tidak biasa (abnormal). 6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) 7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) b. Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: 1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary Refill Time (Normal < 3 detik) 2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. 3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. 2.1.3 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: a. Bayangan jaringan lunak. b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti: a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. 2. Pemeriksaan Laboratorium a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 3. Pemeriksaan lain-lain a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. 2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul Diagnosa 1: Hambatan Mobilitas Fisik 2.2.1 Definisi Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu ekstermitas atau lebih (Wilkinson dan Ahern, 2011). 2.2.2 Batasan karakteristik
Penurunan waktu reaksi
Kesulitas membolak-balik posisi tubuh
Dispnea saat beraktivitas
Pergerakan menyentak
Keterbatasan untuk melakukan keterampilan motorik halus
Keterbatasan melakukan keterampilan motorik kasar
Keterbatasan rentang pergerakan sendi
Tremor yang diiduksikan oleh pergerakan
Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas kehidupan sehari-hari) Melambatnya pergerakan
Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi 2.2.3 Faktor yang berhubungan
Gangguan kognitif
Penurunan kekuatan, kendali, atau masa otot
Keterlambatan perkembangan
Ketidaknyamanan
Intoleransi aktivitas dan penurunan kekuatan dan ketahanan
Kaku sendi atau kontraktur
Hilangnya integritas struktur tulang
Gangguan muskuloskeletal
Gangguan neuromuskular Nyeri Gangguan hidup yang kurang gerak atau melemah
disuse
atau
Gangguan sensori persepsi Diagnosa 2: Nyeri Akut 2.2.4 Definisi Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti (International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan (Wilkinson dan Ahern, 2011). 2.2.5 Batasan karakteristik
Mengomunikasikan deskriptor nyeri (misalnya rasa tidak nyaman, mual, berkeringat malam hari, kram otot, gatal kulit, mati rasa, dan kesemutan pada ekstermitas)
Menyeringai
Rentang perhatian terbatas
Pucat
Menarik diri 2.2.6 Faktor yang berhubungan Agen-agen pnyebab cidera (misalnya biologi, kimia, fisik, dan psikologis) 2.3 Perencanaan Diagnosa 1: Hambatan Mobilitas Fisik 2.3.1 Tujuan dan Kriteria Hasil ( outcomes criteria ): berdasarkan NOC
Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika diperlukan Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dengan alat bantu
Menyangga berat badan
Berpindah dari dan ke kursi atau kursi roda
Menggunakan kursi roda secara efektif 2.3.2 Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC
Promosi latihan fisik (latihan kekuatan): memfasilitasi pelatihan otot resisitif secara rutin untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot. Terapi latihan fisik (ambulasi): meningkatkan dan membantu dalam berjalan untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi tubuh autonom dan volunter selama pengobatan dan pemulihan dari kondisi sakit atau cedera. Terapi latihan fisik (keseimbangan): menggunakan aktivitas, postur, dan gerakan tertentu untuk mempertahankan, meningkatkan, atau memulihkan keseimbangan. Terapi latihan fisik (mobilitas sendi): menggunakan gerakan tubuh aktif atau pasif untuk mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas sendi. Terapi latihan fisik (pengendalian otot): menggunakan aktivitas spesifik atau protokol latihan yang sesuai untuk meningkatkan atau mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali. Pengaturan posisi: mengatur penempatan pasien atau bagian tubuh pasien secara hati-hati untuk meningkatkan kesejahteraan fisiologi dan psikologis.
Bantuan perawatan diri (berpindah): membantu individu untuk mengubah posisi tubuhnya. Diagnosa 2: Nyeri Akut 2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria ): berdasarkan NOC
Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
Mempertahankan tingkat nyeri atau mengurangi.
Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis.
Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, atau tekanan darah. 2.3.4 Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC
Pemberian analgetik: menggunakan agen-agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri. Manajeman medikasi: memfasilitasi penggunaan obat resep atau obat bebas secara aman dan efektif. Manajeman nyeri: meringankan atau mengurangi nyeri sampai tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien. Manajemen sedasi: memberikan sedatif, memantau respon pasien, dan memberi dukungan fisiologis yang dibutuhkan
selama prosedur diagnostik atau terapeutik.
III.
Daftar Pustaka Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawtan Medikal Bedah, Edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 6 . Jakarta: EGC Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta. Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta. Wilkison, J.,M. & Ahern N.,R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Preseptor Akademik,
Banjarmasin, 24 Desember2016 Preseptor Klinik,
(Era W Syahrir, S.kep., Ns)
(Abdul Wahab, S.Kep., Ns)