REFERAT “FRAKTUR DAN DISLOKASI”
Disusun Oleh : NISA UTAMI IKA PERMATASARI 1102012197
Pembimbing : dr. Ricky Hutapea, Sp. OT
KEPANITERAAN KLINIK BEDAH PERIODE 16 OKTOBER – 17 DESEMBER 2017 FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI – RSUD PASAR REBO JAKARTA
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .........................................................................................
i
DAFTAR ISI .....................................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
iii
BAB 1
PENDAHULUAN ........................................................................
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
2
1.
ANATOMI TULANG .........................................................
2
2.
HISTOLOGI TULANG .......................................................
4
3.
FISIOLOGI TULANG ........................................................
7
4.
FRAKTUR ........................................................................... 20
5.
DISLOKASI ........................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 61
ii
iii
BAB I PENDAHULUAN Fraktur orthopedi merupakan masalah kesehatan akut sehari- hari yang sering kita jumpai. Terapi awal yang salah pada fraktur dapat meningkatkan morbiditas jangka panjang yang signifikan dan, berpotensi meningkatkan mortilitas.1 Menurut World Health Organization, kasus fraktur terjadi di dunia kurang lebih 13 juta orang pada tahun 2008, dengan angka prevalensi sebesar 2,7%. Sementara pada tahun 2009 terdapat kurang lebih 18 juta orang mengalami fraktur dengan angka prevalensi 4,2%. Tahun 2010 meningkat menjadi 21 juta orang dengan angkat prevalensi sebesar 3,5%. Terjadinya fraktur tersebut termasuk di dalamnya insiden kecelakaan, cedera olahraga, bencana kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya. Fraktur adalah pecah atau rusaknya kontinuitas struktur dari tulang. Hal ini dapat saja hanya sekedar retak, remahan atau pecahan dari cortex; seringkali pecahnya komplit dan pecahan tulang tergusur. Fraktur dapat disebabkan karena adanya cedera, penekanan dan dapat juga terjadi secara patologis.2 Fraktur juga dapat terjadi dengan dislokasi. Dislokasi terjadi saat tulang tergelincir dari sendi, khasnya terjadi karena sendi mengalami penekanan tidak stabil tiba- tiba. Dislokasi berarti tulang tidak lagi berada di tempat yang semestinya, hal ini termasuk kegawatdaruratan yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan pada ligamen, nervus, dan pembuluh darah.3
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. ANATOMI TULANG Tulang
diklasifikasikan
menurut
bentuknya: tulang panjang, tulang pipih, tulang pendek, atau ireguler. Struktur dari tulang panjang menjadi suatu acuan untuk menjelaskan stuktur tulang.4 Struktur
tulang
dilihat
secara
makroskopis, terdiri dari kortikal atau tulang kompakta dan tulang spongiosa (Spongy
and
Metabolisme ditandai Gambar 1. Bentuk Tulang
Trabecular dari
dengan
tulang
Bone). kompakta
rendahnya
laju
pergantian tulang dan tingginya Young’s modulus
(derajat kekakuan material padat). Hal ini berlaku sebaliknya untuk tulang spongiosa yang lebih elastis dan mempunyai laju pergantian sel yang tinggi untuk remodelling berdasakan tekanan yang melewati tulang. Struktur dari tulang kompakta terdiri dari kelompok osteon atau Haversian systems, yaitu osteon, kanal pembuluh darah dan lamelae interstisial. Sedangkan struktur dari tulang spongiosa menopang jaringan secara longgar sehingga meningkatkan porositas tulang dalam osteoporosis.5 Struktur tulang dari tulang panjang terdiri dari diafisis, atau batang dari tulang, umumnya terdiri dari tulang kompakta, namun mengandung tulang spongiosa juga. Ujung dari tulang panjang kebanyakan terdiri dari tulang spongiosa dengan lapisan luar tulang kompakta. Diantara sendi, ujung dari tulang panjang dilapisi oleh kartilago hyaline/ articular cartilago.4 Pada saat formasi dan pertumbuhan tulang, tulang terbentuk dari pusat osifikasi. Pusat osifikasi primer terletak di diafisis. Epifisis adalah bagian dari tulang panjang yang berkembang dari pusat osifikasi yang bukan di diafisis. Setiap tulang lengan bawah, lengan atas, paha, dan tungkai mempunyai satu atau lebih epifisis pada setiap ujung tulang. Setiap tulang dari tangan dan kaki
2
mempunyai satu epifisis, yang terletak pada proximal atau distal ujung dari tulang.4 Plate epifisis atau growth plate, memisahkan epifisis dari diafisis. Pemanjangan dari tulang panjang terjadi pada plate epifisis. Oleh karena itu, pemanjangan dari tulang lengan atas, lengan bawah, paha, dan tungkai terjadi pada kedua ujung diafisis, dimana pemanjangan dari tulang tangan dan kaki terjadi pada satu ujung diafisis. Saat tulang berhenti memanjang, plate epifisis terosifikasi dan dikenal dengan nama garis epifisis.4
Gambar 2. Struktur Tulang Panjang
Sebagai tambahan pada ruang kecil diantara tulang spongiosa dan tulang kompakta, diafisis dari tulang panjang dapat mempunyai ruang internal besar yang dikenal dengan nama kavitas medularis. Kavitas dari tulang
3
spongiosa dan kavitas medularis ini diisi oleh sumsum atau marrow. Red marrow adalah tempat formasi sel darah, dan yellow marrow, kebanyakan adalah jaringan adiposa. Pada fetus, ruangan di dalam tulang terisi oleh red marrow. Perubahan red marrow menjadi yellow marrow terjadi beberapa saat sebelum lahir dan berlanjut sampai masa dewasa.4 Periosteum adalah membran jaringan ikat yang melapisi bagian luar tulang. Lapisan luar fibrosa atau periosteum adalah jaringan ikat padat iregular yang mengandung pembuluh darah dan nervus. Tendon dan ligamen terhubung dengan tulang melalui ikatan jaringan ikatnya dengan periosteum. Beberapa serat kolagen dari tendon dan ligamen memasuki periosteum ke dalam bagian luar tulang, dikenal dengan nama perforating fibers, atau Sharpey fibers, dan mereka memperkuat ikatan tendon dan ligamen dengan tulang. Bagian dalam dari tulang atau endosteum adalah lapisan tunggal yang terdiri dari sel tulang, termasuk osteoblast, osteoclast, dan osteochondral progenitor cells.4 Tulang pipih terdiri dari interior framework dari tulang spongiosa yang dihimpit oleh dua lapisan tulang kompakta. Tulang pendek dan tulang ireguler mempunyai komposisi mirip dengan epifisis tulang panjang, yaitu permukaan tulang kompakta yang mengelilingi pusat tulang spongiosa dengan celah yang biasanya diisi sumsum. Tulang pendek dan tulang ireguler tidak memanjang karena tidak memiliki diafisis. Walaupun begitu, beberapa bagian dari tulang ini, seperti processus mempunyai plate pertumbuhan epifisis dan maka dari itu mempunyai sedikit epifisis. Beberapa tulang pipih dan ireguler dari tulang tengkorak mempunyai ruang yang terisi udara yang dikenal dengan nama sinus, yang dilapisi oleh membran mukosa.4 2. HISTOLOGI TULANG 2.1. Matrix Tulang Secara beratnya, matrix tulang yang matur berisi 35% material organik dan 65% material inorganik. Material organik umumnya terdiri dari kolagen dan proteoglycan. Material inorganik umumnya terdiri dari kristam kalsium fosfat yang dikenal dengan nama hydroxyapatite.4
4
Kolagen mengisi 90% dari komponen organik, umumnya kolagen tipe I yang memberikan kekuatan tarikan. Proteoglycan terdiri dari komplex glycosaminoglycan dan protein, bertanggung jawab dalam memberikan kekuatan tekanan dan inhibisi mineralisasi. Matrix protein termasuk didalamnya protein non-kolagen yang berfungsi dalam mineralisasi dan formasi tulang. Terdapat 3 macam protein utama dalam matrix tulang, yaitu osteocalcin, osteonectin dan osteopontin.6 Osteocalcin merupakan komponen protein non-kolagen terbanyak, diproduksi oleh osteoblast matur dan berfungsi dalam mineralisasi dan formasi tulang, osteocalcin juga berperan langsung dalam regulasi densitas tulang melalui partisipasi nya dalam menarik sinyal osteoclast. Hal ini distimulasi oleh 1,25 dihydroxyvitamin D3 dan diinhibisi oleh PTH. Osteocalcin juga dapat menjadi marker dalam menilai pergantian tulang, dapat diukur dalam urin dan serum.6 Sedangkan osteonectin yang disekresi oleh trombosit dan osteoblast diyakini mempunyai fungsi dalam regulasi kalsium atau mengatur mineral dalam matrix. Osteopontin berfungsi sebagai cell-binding protein. Selain komponen- komponen diatas, matrix juga mengandung komponen organik seperti sitokin dan growth factor walaupun hanya sedikit, berperan dalam diferensiasi sel, aktifasi, pertumbuhan, dan pergantian.6 Komponen inorganik pada matrix termasuk Kalsium Hydroxyapatite yang memberikan kekuatan kompresi dan Osteokalsium fosfat.6 Kolagen dan mineral bertanggungjawab dalam karakteristik utama tulang. Jika semua mineral dihilangkan dari tulang panjang, kolagen menjadi bahan utama dan tulang pun menjadi terlalu flexibel. Sebaliknya, jika kolagen dihilangkan, mineral menjadi bahan utama dan tulang pun menjadi rapuh.4 2.2. Sel Tulang Sel tulang dikategorikan menjadi osteoblast, osteosit, dan osteoclast. Setiap sel mempunyai fungsi dan asal yang berbeda- beda. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang, memiliki retikulum endoplasma yang luas dan ribosom yang banyak. Osteoblast berasal dari osteochondral progenitor cells, stem cells yang berada di lapisan dalam perikondrium dan dalam lapisan jaringan ikat yang menutupi tulang (periosteum dan endosteum), osteochondral progenitor cells dapat menjadi osteoblast maupun chondroblast.4
5
Osteoblast memproduksi kolagen dan proteoglikan yang dikemas menjadi vesikel oleh Golgi apparatus dan dilepaskan dari sel dengan eksositosis. Osteoblast juga melepaskan vesikel matrix, kantung terikat membran yang terbentuk saat membran plasma menguncup, atau terlempar keluar, dan menggentas. Vesikel matrix mengkonsentrasikan kalsium dan fosfat dan membentuk kristal seperti jarum bernama hydroxyapatite. Saat kristal ini dilepaskan dari vesikel matrix, mereka bertindak sebagai template, atau “benih”, yang menstimulasi formasi
template, atau “benih”, yang
menstimulasi formasi hydroxyapatite lebih lanjur dan mineralisasi dari matrix.4 Osifikasi, atau osteogenesis, adalah formasi tulang oleh osteoblast. Osifikasi terjadi dengan pertumbuhan aposisional pada permukaan tulang ataupun tulang rawan yang ada sebelumnya. Prosesus sel yang memanjang dari osteoblast menghubungkan prosesus sel osteoblast yang lain melalui gap junction. Matrix tulang yang diproduksi oleh osteoblast menutupi permukaan tulang sebelumnya dan mengelilingi badan sel dan processus dari osteoblast. Hasil akhirnya adalah lapisan baru dari tulang.4 Osteoblast yang sudah dikelilingi matrix tulang, disebut osteosit. Osteosit menjadi relatif tidak aktif, dibanding dengan kebanyakan osteoblast, namun masih mungkin untuk memproduksi komponen yang dibutuhkan untuk mempertahankan matrix tulang.4 Celah yang diisi oleh badan sel osteosit disebut lakuna, dan celah yang diisi oleh prosesus dari osteosit disebut kanalikuli. Dalam arti, sel dan prosesnya membentuk "cetakan" di mana matriks terbentuk. Tulang berbeda dari tulang rawan karena prosesus dari sel tulang bersentuhan satu sama lain melalui kanalikuli. Alih-alih menyebar melalui matriks mineral, nutrisi dan gas dapat melewati sejumlah kecil cairan yang mengelilingi sel-sel di kanalikuli dan lakuna atau berpindah dari satu sel ke sel melalui gap junction yang menghubungkan prosesus sel.4 Osteoclast adalah sel penghancur tulang yang melakukan, atau pemecahan, dari tulang yang melakukan mobilisasi krusial ion kalsium dan fosfat dalam berbagai proses metabolik. Sel ini besar dan berinti banyak, mereka berasal dari garis monosit/ makrofag red bone marrow. Prekursor ini
6
menempel pada matrix tulang dimana kontak langsung dengan osteoblast dibutuhkan untuk dilakukannya maturasi menjadi osteoclast fungsional.4 Osteoclast matur membawa reabsorpsi tulang melalui beberapa proses. Pertama, osteoclast harus mengakses matrix tulang. Teori saat ini menerangkan bahwa lining osteoblast pada jaringan ikat di sekeliling tulang mengatur pergerakan osteoclast ke area remodelling. Saat osteoclast sudah menyentuh permukaan tulang, mereka membuat struktur ikatan melalui interaksi dengan cell-surface protein yang dinamakan integrin. Setelah itu, struktur
bernama
membentuk
podosome
kompartemen
berkembang tertutup
dan
dibawah
osteoclast. Membran sel dari osteoclast lalu Gambar 3. Struktur Osteoclast
berdiferensiasi menjadi bentuk yang sangat terlipat dinamakan ruffled border.4 Ruffled border
adalah area spesifik khusus
reabsorpsi dari membran. Vesikel asam menyatu dengan membran dari ruffled border, sementara pompa H+ yang ditenagai ATP, dan protein-digesting enzyme dimasukan ke dalam membran dari ruffled border. Sekresi dari H+ membuat lingkungan yang asam dalam kompartemen tertutup tersebut, yang menyebabkan dekalsifikasi dari matrix tulang. Proteindigesting enzyme disekresi ke dalam kompartemen tertutup tersebut dan mencerna protein organik dari matrix tulang. Setelah dihancurkannya matrix, degradasi produk dibuang dengan mekanisme trancytosis, dimana produk masuk ke dalam osteoclast dan berpindah ke sitoplasma di sisi lain. Disitu, degradasi produk disekresi ke ruang ekstraseluler, masuk ke dalam aliran darah, dan digunakan di tempat lain dalam tubuh.4 3. FISIOLOGI TULANG 3.1.Perkembangan Tulang Saat perkembangan janin, pembentukan tulang terjadi dengan 2 cara, yaitu osifikasi intramembranosa dan osifikasi endokondral. Osifikasi intramembranosa terjadi dalam membran jaringan ikat dan osifikasi endokondral terjadi dalam kartilago. Keduanya sama- sama mengawali pembentukan tulang dengan woven bone, yang lalu akan di remodelling.
7
Setelah remodelling, tulang yang terbentuk baik secara intramembranosa ataupun endokondral tidak akan bisa dibedakan.4 Osifikasi intramembranosa bermula pada minggu ke-8 perkembangan embrio dan selesai saat umur 2 tahun. Banyak tulang tengkorak, beberapa bagian mandibula, dan diafisis dari klavikula terbentuk dengan osifikasi intramembranosa.4 Lokasi pada membran tempat osifikasi dimulai disebut pusat osifikasi. Pusat osifikasi meluas untuk membentuk tulang dengan secara bertahap mengeraskan membran.4 Tahap- tahap osifikasi intramembranosa adalah sebagai berikut:4 1) Osifikasi intramembranosa bermula saat beberapa sel mesenkim pada membran menjadi sel osteokondral progenitor, yang akan menjadi osteoblast. Osteoblast memproduksi matrix tulang yang mengelilingi serat kolagen dari membran jaringan ikat, dan osteoblast menjadi ostecyte. Hasil dari proses ini, banyak trabekula kecil dari woven bone yang berkembang. 2) Tambahan osteoblast berkumpul pada permukaan trabekula dan membentuk lebih banyak tulang, sehingga menyebabkan trabekula menjadi lebih besar dan panjang. Tulang spongiosa membentuk seiring
trabekula
bergabung
bersama,
menghasilkan
jaringan
trabekula yang saling berhubungan, dipisahkan oleh celah. 3) Sel di dalam celah dari tulang spongiosa berguna untuk membentuk red bone marrow, dan sel yang mengelilingi tulang berkembang untuk membentuk periosteum. Osteoblast dari periosteum meletakkan matrix tulang untuk membentuk permukaan luar dari tulang kompakta. Demikian, hasil akhir dari formasi tulang intramembranosa adalah tulang dengan permukaan luar tulang kompakta dan tulang spongiosa di tengahnya. Remodelling merubah woven bone menjadi lamellar bone dan berkontribusi dalam pembentukan akhir dari tulang.4 Formasi dari kartilago dimulai kira- kira pada akhir minggu ke-4 dari perkembangan embrio. Osifikasi endokondral dari beberapa kartilago dimulai saat kurang lebih 8 minggu dari perkembangan embrio, namun proses ini tidak terjadi pada kartilago lain sampai akhir dari umur 18
8
sampai 20 tahun. Tulang dari dasar tengkorak, bagian dari mandibula, epifisis dari klavikula, dan sistem skeletal yang lain berkembang melalui osifikasi endokondral.4 Tahap- tahap dalam osifikasi endokondral adalah sebagai berikut:4 1) Osifikasi endokondral dimulai saat sel mesenkim agregasi di daerah yang akan terjadi formasi tulang. Sel mesenkim menjadi sel ostekondral progenitor yang nantinya akan menjadi kondroblast. Kondroblast memproduksi model kartilago hyalin. Jika kondroblast sudah dikelilingi matrix kartilago, mereka menjadi kondrosit. Model kartilago dikelilingi perikondrium, kecuali di tempat dimana sendi akan terbentuk dan menghubungkan tulang dengan tulang yang lain. Perikondirum adalah jaringan kontinu yang akan menjadi kapsul sendi. 2) Saat pembuluh darah menginvasi perikondrium yang mengelilingi model kartilago, sel osteokondral progenitor di dalam perikondrium menjadi osteoblast. Perikondrium menjadi periosteum saat osteoblast mulai
memproduksi
tulang.
Osteoblast
memproduksi
tulang
kompakta pada permukaan dari model kartilago, membentuk bone collar. Model kartilago membesar dari hasil pertumbuhan interstisial dan apositional dari kartilago. Kondrosit di tengah model kartilago mengabsorpsi matrix kartilago dan hipertofi, atau membesar. Kondrosit juga melepaskan vesikel matrix, yang akan mengawali pembentukan dari kristal hydroxyapatite dalam matrix kartilago. Pada saat ini, kartilago disebut dengan calcified cartilage. Kondrosit pada area yang mengeras ini pada akhirnya akan mati, menghasilkan lakuna yang besar dalam dinding tipis dari matrix yang sudah mengeras. 3) Pembuluh darah tumbuh ke dalam lakuna yang membesar dari kartilago yang mengeras. Osteoblast dan osteoclast migrasi ke dalam area kartilago yang mengeras dari periosteum dengan cara seperti jaringan ikat mengelilingi bagian luar dari pembuluh darah. Osteoblast memproduksi tulang pada permukaan kartilago yang mengeras, membentuk trabekula tulang, yang merubah calcified
9
cartilage dari diafisis menjadi tulang spongiosa. Area dari pembentukan tulang ini dinamakan pusat osifikasi primer. 4) Pada proses perkembangan tulang, model kartilago terus tumbuh, lebih banyak lagi perikondrium yang menjadi periosteum, dan bone collar menebal dan meluas sepanjang diafisis. Kartilago tambahan dalam diafisis dan epifisis mengeras. Remodelling merubah woven bone menjadi lamellar bone dan mengkontribusi pada bentuk hasil akhir dari tulang. Osteoclast menghancurkan tulang dari pusat diafisis untuk membentuk kavitas medula, dan sel di dalam kavitas medula akan membentuk red bone marrow. 5) Pada tulang panjang, diafisis dari pusat osifikasi primer, dan tempat osifikasi lain, yang disebut pusat osifikasi sekunder, muncul di epifisis. Hal yang terjadi di pusat osifikasi sekunder sama dengan pusat osifikasi primer, kecuali celah di epifisis nya tidak membesar untuk membentuk kavitas medula seperti di diafisis. Pusat osifikasi primer muncul saat awal perkembangan janin, dimana pusat osifikasi sekunder muncul di proximal epifisis femur, humerus, dan tibia sekitar 1 bulan sebelum bayi lahir. 6) Penggantian kartilago oleh tulang berlanjut pada model kartilago sampai semua sudah terganti oleh tulang kecuali di plate epifisis dan permukaan kartilago. Saat semua tulang sudah berhenti tumbuh, plat epifisis menjadi “luka” yang disebut garis epifisis. 7) Pada tulang yang matur, spongy dan tulang kompakta telah berkembang sepenuhnya, dan plate epifisis telah menjadi garis epifisis. Satu- satunya kartilago yang ada adalah kartilago artikular pada ujung tulang. Semua perikondrium yang mengelilingi model kartilago sudah menjadi periosteum. 3.2.Remodelling Tulang Remodelling tulang adalah proses pergantian tulang yang lama dengan yang baru. Pada proses ini, osteoclast menghilangkan tulang yang lama dan osteoblast menaruh tulang yang baru. Remodelling tulang mengganti woven bone menjadi lamellar bone dan terlibat dalam beberapa fungsi penting, termasuk pertumbuhan tulang, perubahan
10
dalam bentuk tulang, penyesuaian tulang terhadap stres, repair tulang, dan regulasi ion kalsium dalam tubuh.4 Remodelling tulang melibatkan BMU atau basic multicellular unit, tempat perkumpulan sementara dari osteoclast dan osteoblast yang berjalan melewati permukaan tulang, menghapus matrix tulang yang lama dan menggantinya dengan yang baru.4 Pada tulang kompakta, osteoclast dari BMU memecah matrix tulang, membentuk sebuah terowongan. Lamellae interstisial adalah sisa osteon yang tidak terhapus saat BMU membentuk terowongan tersebut. Pembuluh darah tumbuh ke dalam terowongan, dan osteoblast dari BMU masuk ke dalam dan menaruh lapisan tulang pada dinding terowongan, membentuk lamella yang konsentrik. Lamella yang konsentrik pun dibentuk lebih banyak, mengisi terowongan dari luar ke dalam, sampai osteon terbentuk, dengan pusat dari terowongan menjadi kanal berisi pembuluh darah. Pada tulang spongiosa, BMU menghapuskan matrix tulang dari permukaan trabekula, membentuk kavitas, yang nantinya BMU akan isi dengan matrix tulang yang baru.4 Jumlah stres yang diaplikasikan pada tulang dapat memodifikasi kekuatan tulang melalui remodelling, pembentukan tulang tambahan, perubahan dalam penyelarasan trabekuler untuk memperkuat lipatan, atau perubahan lainnya. Tekanan mekanis yang diterapkan pada tulang meningkatkan
aktivitas
osteoblast
dalam
jaringan
tulang,
dan
penghilangan tegangan mekanik menurunkan aktivitas osteoblast.4 Dalam kondisi stres yang berkurang, seperti ketika seseorang terbaring di tempat tidur atau lumpuh, aktivitas osteoclast berlanjut pada tingkat yang hampir normal namun aktivitas osteoblas menurun, sehingga mengurangi kepadatan tulang. Selain itu, tekanan pada tulang menyebabkan perubahan listrik yang meningkatkan aktivitas osteoblas; Karena itu, menerapkan bobot (tekanan) pada tulang yang patah bisa mempercepat proses penyembuhan. Pulsasi lemah arus listrik terkadang diaplikasikan penyembuhan.
pada
tulang
4
11
yang
patah
untuk
mempercepat
3.3.Repair Tulang Perbaikan tulang yang alamiah terjadi dengan pembentukan calus. Hal ini terjadi saat tidak adanya fixasi yang rigid. Perbaikan tulang dengan calus terjadi dalam 5 tahap:2 1) Destruksi jaringan dan pembentukan hematom Pada tahap ini pembuluh darah terobek dan hematoma terbentuk di sekitar ataupun di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur kehilangan suplai darah, mati sebanyak 1 ataupun 2 mm. 2) Inflamasi dan proliferasi sel Dalam 8 jam setelah fraktur, reaksi inflamasi akut terjadi dan sel inflamasi bermigrasi, proliferasi dan diferensiasi dari sel mesenkim dimulai dari periosteum, kanal medula yang terkena dan otot di sekitarnya. Sejumlah besar mediator inflamasi (sitokin dan berbagai macam growth factor) terlibat dalam hal ini. Hematoma yang menggumpal perlahan di absorpsi dan kapiler baru tumbuh ke dalam area tersebut. 3) Formasi calus Sel
stem
yang
berdiferensiasi
menyediakan
populasi
sel
chondrogenic dan osteogenic yang akan membentuk tulang dan, pada beberapa kasus, kartilago. Populasi sel ini mulai terdapat osteoclast (kemungkinan dari pembuluh darah baru), yang mulai menyapu tulang yang mati. Masa seluler tebal, dengan pulau tulang dan kartilago imatur, membentuk kalus pada permukaan periosteum dan endosteum. Seiring dengan woven bone yang menjadi padat karena mineralisasi, pergerakan pada area fraktur mulai berkurang secara progresif dan pada saat 4 minggu setelah cedera fraktur sudah mulai menyatu. 4) Konsolidasi Dengan melanjutnya aktifitas osteoclast dan osteoblast, woven bone berubah menjadi lamellar bone. Sistem ini sekarang sudah kokoh untuk membiarkan osteoclast menggali debris pada garis fraktur, dan menutupnya. Osteoblast mengisi sisa celah diantara fragmen dengan tulang baru. Hal ini merupakan proses yang lama dan dapat
12
terjadi sampai beberapa bulan sampai tulang benar- benar kuat untuk mengangkat beban normal. 5) Remodelling Fraktur sudah terjembatani oleh tulang yang padat. Setelah beberapa bulan, atau tahun, pernyambungan yang mentah ini akan dibentuk kembali oleh proses berkelanjutan dari resorpsi dan formasi tulang. Lamellae yang lebih tebal akan terbentuk di tempat dengan stres yang tinggi, penopang yang tidak diinginkan dibuang dan kavitas medula dibentuk kembali. Pada akhirnya, dan khususnya pada anakanak, tulang kembali seperti hampir pada awalnya Studi klinis dan experimen telah membuktikan bahwa callus adalah respon dari gerakan pada letak fraktur. Fraktur terbentuk untuk menstabilkan fragmen secepat mungkin dalam rangka penyambungan tulang. Jika letak fraktur benar- benar imobile seperti pada fraktur impaksi di tulang spongiosa atau fraktur yang di imobilisasi dengan metal plate, tidak terjadi stimulus pembentukan callus. Yang terjadi adalah, formasi tulang baru dari osteoblast diantara fragmen. Jarak diantara
permukaan
fraktur
dimasuki
kapiler
baru
dan
sel
osteoprogenitor tumbuh dari dalam pada kedua ujung, tulang yang baru ditaruh pada permukaan yang terkena. Dimana retak sangat sempit (kurang dari 200 mikrometer), osteogenesis memproduksi lamellar bone; celah yang lebih besar akan diisi dulu oleh woven bone, yang nantinya akan berubah menjadi lamellar bone. Pada minggu ke-3 sampai ke-4, fraktur akan cukup padat untuk membiarkan penetrasi dan penyatuan dari area oleh bone remodelling unit (osteoclastic ‘cutting cones’ diikuti dengan osteoblast). Dimana permukaan fraktur yang terekspos sangat dekat dan terpegang secara kokoh dari awal, penyatuan internal mungkin akan terjadi tanpa stadium intermediate (contact healing).2 Penyembuhan fraktur dengan cara ini berarti tidak adanya callus dan ada waktu panjang dimana tulang benar- benar tergantung pada metal implant untuk integritasnya. Implan mengalihkan stres dari tulang, yang dapat menjadikannya osteoporotik dan tidak sembuh sempurna sampai metal dilepas.2
13
Proses dari penyembuhan fraktur sedikit berbeda pada tulang kortikal dari batang tulang panjang dengan tulang spongiosa dari metafisis tulang panjang atau badan dari tulang pendek. Penyembuhan pada fraktur tulang kortikal (tulang diafis) (tulang tubular) bermula saat fraktur pada batang tulang panjang, pembuluh darah kecil mengarah melewati kanalikui dari sistem Haversian terputus. Setelah beberapa saat terjadi perdarahan internal, pembekuan terjadi pada pembuluh darah kecil ini dan meluas beberapa jarak dari letak fraktur untuk mengintakan anastomosis pembuluh darah dalam tulang. Oleh karena itu, osteosit dalam lakuna untuk beberapa milimeter dari letak fraktur kehilangan suplai darah dan mati; maka dari itu selalu terdapat ring avaskular, tulang mati pada setiap permukaan fraktur tidak lama setelah terjadinya cedera. Segmen tulang mati ini pada akhirnya akan digantikan oleh tulang hidup melewati proses yang stimultan dari resorpsi dan deposisi tulang.7 Sel repair dari penyembuhan fraktur adalah sel osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus external, dan endosteum untuk membentuk kalus internal. Saat periosteum terputus dengan buruk, penyembuhan harus melewati fase diferensiasi dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi yang terdapat di jaringan sekitar periosteum.7 Pada akhir minggu- minggu pertama, kalus fraktur berisi masa berenvelope yang tebal dari jaringan osteogenik. Pada masa ini kalus tidak mengandung tulang dan maka dari itu akan terlihat radioulsen pada pemeriksaan radiografi. Fraktur kalus awalnya soft dan hampir berkonsistensi seperti cairan, akan menjadi lebih tegas seperti lem dengan hasil fraktur akan menjadi lebih menempel dan lebih tidak mobile. Secara histologis, tahap maturasi kalus ini ditandai dengan formasi tulang baru pada kalus osteogenik, awalnya pada tempat yang jauh dari fraktur dimana periosteum masih mendapatkan suplai darah yang baik dan pergerakan minimal. Sel osteogenik berdiferensiasi menjadi osteoblast, dan woven bone primer akan terbentuk. Untuk letak yang dekat dengan fraktur dimana suplai darah kurang baik dan
14
pergerakan masih banyak, sel osteogenik berdiferensiasi menjadi kondroblast dan maka dari itu kartilago lah yang terbentuk.7 Saat kalus fraktur sudah menjadi tegas sehingga pergerekan tidak lagi terjadi pada tempat fraktur, fraktur dapat dikatakan menyatu secara klinis atau sering disebut clinical union. Pada tahap ini kekuatan tulang belum kembali seutuhnya. Pemeriksaan radiografi akan memperlihatkan bukti adanya tulang dalam kalus namun garis fraktur masih terlihat. Secara histologis, beragam jumlah dari woven bone primer, begitu juga dengan kartilago sedang mengalami osifikasi endokondral.7 Seiring waktu berjalan, kalus sementara diganti secara bertahap dengan lamellar bone yang matur dan sisa kalus secara bertahap diserap. Beberapa bulan setelah fraktur, saat semua tulang imatur dan kartilago dari kalus temporer sudah diganti dengan lamelar bone yang matur, fraktur dapat dikatakan sudah terkonsolidasi atau sering disebut radiographic union.7 Penyembuhan fraktur pada tulang kortikal dengan internal fixasi artinya tempat fraktur terbebas dari stres dan tulang pun tidak akan tahu kalau telah terjadi fraktur. Dalam hal ini tidak terjadi stimulus untuk produksi kalus external dari periosteum maupun kalus internal dari endosteum dan artinya penyembuhan fraktur terjadi langsung diantara kortex suatu fragmen dan kortex fragmen lainnya. Hal ini dinamakan oleh ahli bedah fraktur AO/ ASIF sebagai primary bone healing, berlainan dengan penyambuhan yang melibatkan kalus atau dinamakan secondary healing.7 Pada area dengan kontak yang jelas (dibawah kompresi) osteoklastik “cutter heads” melewati tempat fraktur mikroskopik dan diikuti dengan jembatan baru osteon. Bahkan saat ada celah kecil, penyembuhan terjadi langsung dengan formasi dari osteon yang baru yang akan menjadi berorientasi melewati remodelling Haversian ke axis tulang. Selama alat metal, seperti plate rigid, masih terpasang maka tulang akan terbebas dari stres karena stres dialihkan ke alat ini. Maka dari itu tulang pada bagian yang terpasang alat cenderung menjadi osteoporosis karena disuse. Untuk alasan ini, saat fraktur sudah menyatu, plate dan screw harus dilepas. Pada beberapa bulan, tulang yang sembuh harus
15
dilindungi dari stres yang berlebihan sampai mendapatkan fungsi normalnya kembali.7 Penyembuhan pada tulang spongiosa (tulang metafisis dan kuboid) berbeda dengan penyembuhan pada tulang kompakta karena tulang ini terdiri dari lattice seperti spons dari trabekula halus yang saling berhubungan dan ortex yang mengelilingi relatif tipis. Penyembuhan dari fraktur pada tulang spongiosa terjadi dari formasi kalus internal dari endosteum, walaupun formasi kalus external juga berperan pada anakanak. Karena kayanya suplai darah untuk trabekula yang tipis pada tulang spongiosa, nekrosis pada fraktur hanya terjadi sedikit dan penyatuan pun terjadi lebih cepat. Sel repair osteogenik dari endosteum yang menyelimuti trabekula berproliferasi untuk membentuk woven bone primer dalam hematoma internal dari fraktur. Akhirnya celah terbuka pun terisi dan cepat menyebar ke tempat fraktur dimana terdapat kontak yang baik.7 Maka dari itu penyembuhan fraktur awal pada tulang spongiosa terjadi pada tempat dimana kontak langsung terjadi antara permukaan fraktur dibantu oleh kalus endosteum; namun setelah penyatuan terjadi pada titik kontak, fraktur sudah menyatu secara klinis dan penyatuan akan menyebar ke sepanjang lebar tulang. Kemudia, woven bone diganti dengan lamellar bone seiring fraktur terkonsolidasi; akhirnya pola trabekular dibuat kembali oleh remodelling “internal” dari tulang.7 Penyembuhan fraktur pada kartilago artikular sangatlah terbatas dalam kemampuannya untuk menyembuhkan atau regenerasi. Fraktur pada kartilago artikular sembuh dengan luka jaringan fibrosa atau gagal untuk sembuh. Jika berhasil, luka tipis yang ada akan menyebabkan arthritis degeneratif. Jika terdapat celah, jaringan fibrosa yang datang untuk mengisinya tidak akan mampu menopang dan robekan dari fungsi sendi dan masalah perubahan degeneratif yang lebih luas akan muncul.7 Waktu yang dibutuhkan dalam penyembuhan fraktur yang tidak mempunyai komplikasi dapat diestimasikan dengan memperhatikan faktor penting sebagai berikut:7
16
1) Usia Pasien Pada sat lahir, penyembuhan fraktur sangatlah cepat, lalu menjadi semakin melambat per tahun nya dalam masa kanak- kanak. Pada dewasa sampai usia tua, waktu penyembuhan fraktur relatif konstan. Contoh lama penyembuhan fraktur pada batang femur; pada saat lahir union akan terjadi dalam 3 minggu, usia 8 tahun akan terjadi dalam 2 bulan, usia 12 tahun akan terjadi 3 bulan; dan dari usia 20-an sampai usia tua akan terjadi union kira- kira 5 bulan. 2) Letak dan konfigurasi dari fraktur Fraktur dari tulang yang dikelilingi otot sembuh lebih cepat dibanding fraktur pada porsi tulang yang letaknya subkutan atau diantara sendi. Fraktur pada tulang spongiosa sembuh lebih cepat dibanding tulang kompakta. Fraktur oblique panjang dan spiral dari batang femur walaupun permukaannya lebar akan sembuh lebih cepat dibanding fraktur transverse. 3) Displacement pada awal fraktur Fraktur yang undisplaced, dengan periosteal sleeve yang intak akan sembuh dua kali lebih cepat dibanding fraktur displaced. Semakin besar displacement awal, semakin luas robeknya periosteal sleeve dan berarti semakin lama penyembuhan fraktur akan terjadi. 4) Suplai darah untuk fragmen fraktur Jika kedua fragmen fraktur mempunyai suplai darah yang baik dan yang berarti tetap hidup, fraktur akan sembuh jika tidak ada komplikasi. Namun jika satu fragmen telah kehilangan suplai darah yang berarti telah mati, fragmen yang hidup harus menyatu dengan fragmen yang mati, union akan terjadi lambat dan imobilisasi yang kokoh dari fraktur dibutuhkan. Jika kedua fragmen avaskular, union tidak akan terjadi sampai adanya revaskularisasi walaupun diberikan imobilisasi yang kokoh. Pemeriksaan pada penyembuhan fraktur perlu dapat dilakukan dengan cara meminta pasien untuk melakukan gaya menekuk, memutar dan menekan pada fraktur untuk menentukan adanya atau tidak adanya pergerakan. Jika sudah tidak ada pergerakan, fraktur dapat dikatakan sudah mencapai clinical union.7
17
Pada masa clinical union, permeriksaan radiografi akan memperlihatkan bukti adanya tulang pada kalus, namun garis fraktur masih terlihat. Pada masa ini, imobilisasi sudah tidak diperlukan namun penyembuhan tulang belum mencapai kekuatan normal; maka dari itu masih dibutuhkan proteksi dari stres sampai konsolidasi terjadi yang akan ditandai dengan gambaran kalus yang sudah terosifikasi sempurna yang menjembatani fraktur dan lenyapnya garis fraktur.7 Penyembuhan dari fraktur dapat terjadi abnormal dalam 3 cara dibawah ini:7 a) Fraktur dapat sembuh dalam waktu yang diharapkan namun posisi tidak memuaskan degan adanya deformitas sisa dari tulang (malunion) b) Fraktur dapat sembuh pada akhirnya namun memakan waktu lebih lama dengan yang sudah diharapkan (delayed union) c) Fraktur dapat gagal sepenuhnya untuk sembuh oleh tulang dengan bentuk yang dihasilkan adalah fibrous union atau false joint (pseudoarthritis). 3.4.Homeostasis Kalsium Tulang memainkan peranan penting dalam mengatur kadar kalsium darah. Fungsi kalsium adalah sebagai potensial membran dan untuk kontraksi otot. Tulang merupakan tempat penyimpanan terbesar dari kasium. Homeostasis kalsium diatur oleh 2 hotmon yaitu Parathyroid (PTH) dan Kalsitonin. PTH merupakan regulator utama kadar kalsium darah. Saat kadar kalsium darah rendah akan terjadi stimulasi sekresi PTH, lalu PTH akan menstimulasi osteoblast untuk melepaskan enzim yang menghancurkan lapisan matrix yang belum termineralisasi pada tulang dan menjadikannya matrix yang sudah termineralisasi untuk osteoclast.4 Jumlah osteoclast diatur oleh interaksi osteoblast dan stem sel red bone marrow monosit atau makrofag; mereka lah yang mempunyai reseptor untuk PTH. PTH menduduki reseptor ini dan osteoblast akan memproduksi RANKL (receptor activator of nuclear factor kappaB ligand). RANKL diexpresikan pada permukaan osteoblast dan bercampur dengan RANK (receptor activator of nuclear factor kappaB)
18
yang ada di permukaan sel stem prekursor osteoclast. Produksi osteoclast dihambat oleh OPG (osteoprotegerin) yang disekresi oleh osteoblast dan sel lain. OPG menghambat produksi osteoclast dengan cara menempel pada RANK dan mencegah RANKL menempel pada reseptornya di stem sel prekursor osteoclast. Meningkatnya PTH akan menyebabkan turunnya sekresi OPG dan meningkatnya RANKL sehingga aktifitas osteoclast pun meningkat.4 PTH juga mengatur kadar kalsium darah dengan meningkatkan uptake kalsium dalam usus. PTH yang meningkat akan mengaktifasi vitamin D di ginjal menjadi kalsitriol; berguna untuk absorpsi kalsium pada usus. PTH juga meningkatkan reabsorpsi kalsium dalam urin di ginjal yang akan menurunkan banyaknya kalsium yang hilang dalam urin. 4 Dan
sebaliknya,
naiknya
kadar
kalsium
dalam
darah
akan
mengakibatkan sekresi PTH yang menurun, turunnya aktifitas osteoclast, menurunnya pelepasan kalsium dari tulang, dan pada akhirnya turunnya kadar kalsium dalam darah.4 Kalsitonin disekresikan dari kelenjar tiroid saat kadar kalsium darah tinggi, menurunkan aktifitas osteoclast dengan menempel pada reseptor di osteoclast.4
Gambar 4. Homeostasis Kalsium
19
4. FRAKTUR 4.1.Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural dari tulang. Hal ini dapat saja hanya berupa retakan atau serpihan dari kortex, namun lebih sering putusnya kontinuitas ini komplit dan fragmen tulang berpindah.2 4.2.Etiologi Fraktur dapat terjadi karena 3 hal: (1) cedera; (2) stres yang berulang; atau (3) patologis. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh gaya yang tibatiba dan berlebihan, yang dapat terjadi secara langsung (direct force) ataupun tidak langsung (indirect force). Dengan direct force tulang putus pada titik impaksi; jaringan lunak pun ikut rusak. Dengan indirect force tulang putus dengan jarak dari tempat impaksi; kerusakan jaringan pada area fraktur tidak dapat dihindari.2 Walaupun kebanyakan fraktur terjadi karena kombinasi gaya (twisting, bending, compressing atau tension), pola x-ray dapat memberitahu mekanisme yang paling dominan:2 •
Twisting menyebabkan fraktur spiral
•
Bending menghasilkan fraktur dengan fragmen triangular ‘butterfly’
•
Compression menyebabkan fraktur obliq yang pendek
•
Tension cenderung menyebabkan tulang putus secara transverse; pada beberapa situasi hal ini dapet mengalvusi fragmen kecil dari tulang di tempat insersi ligamen atau tendon
Gambar 5. Mekanisme Cedera
20
Fraktur karena stress berulang terjadi pada tulang normal yang menjadi subjek tumpuan berat berulang, seperti pada atlet, penari, atau anggota militer yang menjalani program berat. Beban ini menciptakan perubahan bentuk yang memicu proses normal remodeling, kombinasi dari resorpsi tulang dan pembentukan tulang baru menurut hukum Wolff. Ketika pajanan terjadap stress dan perubahan bentuk terjadi berulang dan dalam jangka panjang, resorpsi terjadi lebih cepat dari pergantian tulang, mengakibatkan daerah tersebut rentan terjadi fraktur. Masalah yang sama terjadi pada individu dengan pengobatan yang mengganggu keseimbangan normal resorpsi dan pergantian tulang; stress fracture meningkat pada penyakit inflamasi kronik dan pasien dengan pengobatan steroid atau methotrexate.2 Fraktur patologis dapat terjadi pada tekanan normal jika tulang telah lemah karena perubahan strukturnya (seperti pada osteoporosis, osteogenesis imperfekta, atau Paget’s disease) atau melalui lesi litik (contoh: kista tulang, atau metastasis).2 a. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif. b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri. c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah. 4.3.Klasifikasi Pembagian fraktur menjadi tergantung pada:7 1) Site -
Diafisis
-
Metafisis
-
Epifisis
-
Intra-articular
2) Extent
Komplit 21
-
Inkomplit o crack, atau hairline fracture o buckle fracture o greenstick fracture
3) Configuration Jika hanya mempunyai 1 garis fraktur: -
Transverse
-
Oblique
-
Spiral
Jika mempunyai lebih dari 1 garis fraktur, dan dengan demikan lebih dari 2 fragmen: -
Comminuted
4) Hubungan antara fragmen fraktur -
Displaced
-
Undisplaced o Shifted o Angulated o Rotated o Distracted o Overriding o Impacted
5) Hubungan fraktur dengan dunia luar -
Closed Dikatakan fraktur tertutup jika kulit masih intak. Terdapat klasifikasi Tscherne untuk fraktur tertutup yaitu:2 o Grade 0
: fraktur sederhana dengan sedikit atau tidak ada sama sekali cedera jaringan lunak
o Grade 1
: fraktur dengan abrasi superfisial atau memar pada kulit dan jaringan subkutan
o Grade 2
: fraktur yang lebih berat dengan kontusio dan pembengkakan pada jaringan lunak dalam
o Grade 3
: cedera berat dengan tanda kerusakan 22
jaringan lunak yang jelas dan ancaman terjadi sindroma kompartemen -
Open Dikatakan fraktur terbuka jika ada kontak dengan dunia luar, dapat karena fragmen fraktur telah melewati kulit dari dalam ataupun karena benda tajam yang telah menembus kulit ke dalam fraktur tulang. Fraktur terbuka membawa risiko serius untuk sampai menjadi infeksi. Terdapat klasifikasi Gustilo-Anderson untuk fraktur terbuka yaitu:2 o Tipe I
: luka biasanya kecil, penusukan tulang bersih. Terdapat sedikit kerusakan jaringan lunak tanpa penekanan dan fraktur tidak comminuted.
o Tipe II
: luka biasanya lebih dari 1cm, namun tidak ada flap kulit. Tidak banyak jaringan lunak yang rusak dan penekanan atau comminution dari fraktur sedang.
o Tipe III
: terdapat laserasi besar, kerusaan pada kulit dan jaringan lunak yang mendasar luas dan, pada contoh berat, terdapat gangguan vaskular. Cedera diakibatkan oleh high-energy transfer ke tulang dan jaringan lunak. Kontaminasi terlihat jelas.
§
IIIa : tulang fraktur dapat cukup ditutup dengan jaringan lunak walaupun ada laserasi
§
IIIb : terdapat stripping periosteal yang luas dan menutupi fraktur tidak mungkin tanpa menggunakan flap lokal ataupun yang jauh
§
IIIc : terdapat cedera arteri yang perlu diperbaiki dan banyaknya kerusakan jaringan lunak
23
6) Komplikasi -
Complicated Komplikasi dari fraktur dapat secara lokal ataupun sistemik dan dapat berkaitan dari cidera aslinya ataupun pengobatannya.
-
Uncomplicated
4.4.Diagnosis Dari riwayat pasien, gejala yang paling sering adalah nyeri yang terlokalisir yang memberat dengan pergerakan, dan menurunnya fungsi dari bagian yang terkena. Pasien juga mungkin mendengan tulang yang patah atau bisa merasakan keujung tulangnya memberikan suara (krepitus).7 Pada pemeriksaan fisik, dengan inspeksi dapat terlihat expresi wajah pasien yang kesakitan dan bagaimana cara dia melindungi bagian yang terkena. Inspeksi lokal dapat memperlihatkan adanya bengkak, deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan), atau gerakan abnormal. Bengkak, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tapi yang penting adalah untuk menentukan apakah kulit intak atau tidak; jika kulit tidak intak maka luka berhubungan dengan dunia luar dan dikatakan fraktur terbuka. Perhatikan juga postur dari ekstremitas bagian distal dan warna kulitnya (hal ini untuk menjadi petunjuk dari kerusakan pembuluh darah dan nervus).2 Diskolorasi pada kulit karena extravasasi subkutan dari darah (ekimosis) biasanya muncul setelah beberapa hari.7 Tanda lokal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:2 -
Perhatikan bagian yang paling jelas cedera
-
Test untuk kerusakan artery dan nervus
-
Cek apakah ada cedera yang berkaitan disekitarnya
-
Cek apakah ada cedera yang berkaitan di bagian yang jauh dari tempat fraktur
Saat palpasi, dapat ditemukan adanya nyeri yang tajam dan terlokalisisr pada tempat fraktur dan peningkatan nyeri serta spasme otot saat penggerakan dari bagian yang cedera. Krepitus juga dapat terjadi.7 Pemeriksaan untuk mencari krepitus tidak wajib dilakukan, karena selain
24
memberikan rasa sakit kepada pasien juga tidak begitu bermakna saat ada x-ray sebagai opsi lain.2,7 Pada pemeriksaan radiologi, sebaiknya pasien diberi bidai yang akan tampil radiolusen demi kenyamanannya.7 Pemeriksaan x-ray adalah wajib; terdapat aturan yang dinamakan rule of two pada pemeriksaan x-ray: 1) Two views Fraktur atau dislokasi dapat tidak terlihat dalam satu foto saja, jadi diperlukan 2 foto yaitu anteroposterior dan lateral.2 Untuk beberapa fraktur, terutama pada tulang kecil dan vertebra, foto oblique kadang- kadang diperlukan.7 2) Two joints Sendi pada atas dan bawah fraktur harus dimasukan.2 3) Two limbs Foto pada bagian yang tidak terkena fraktur juga diperlukan untuk perbandingan. 2 4) Two injuries Gaya yang kuat sering mengakibatkan cedera pada lebih dari 1 tingkat. Maka dari itu, fraktur dari calcaneum atau femur penting juga untuk dilakukan foto pelvis dan spine.2 5) Two occasions Beberapa fraktur tidak langsung terdeteksi setelah cedera pada radiografi, tapi foto 1- 2 minggu setelah kejadian mungkin akan memperlihatkan lesi. Contohnya adalah fraktur undisplaced dan fraktur impaksi.2 Untuk fraktur di spine dan pelvis yang sulit divisualisasi oleh radiografi konvensional dapat dilakukan CT Scan.7 MRI dapat menjadi satu- satunya cara untuk menunjukan apakah fraktur vertebra mengancam akan mengkompresi medula spinalis.2 Radioisotope scanning berguna dalam mendiagnosa fraktur stres atau fraktur undisplaced.2 4.5.Terapi Tujuan khusus dari terapi fraktur adalah:7 1) Untuk meringankan nyeri
25
Tulang pada umumnya insensitif, nyeri yang ada umumnya berasal dari cidera jaringan lunak yang terkena seperti periosteum dan endosteum. Nyeri muncul oleh gerakan dari fragmen fraktur, berkaitan dengan spasme otot dan bengkak yang progresif di ruangan tertutup. Maka dari itu, nyeri dari fraktur bisa
diringankan
dengan
imobilisasi
area
fraktur
dan
menghindari bidai ataupun gips yang terlalu ketat. Pada awal terjadinya fraktur, analgesik mungkin dibutuhkan. 2) Untuk mendapatkan dan menjaga posisi yang pas dari fragmen fraktur Fraktur dapat undisplaced, ataupun displaced sehingga mungkin tidak semua perlu dilakukan reduksi. Reduksi dari fraktur berguna untuk mendapatkan posisi yang pas yang diindikasikan hanya
saat
sekiranya
reduksi
dapat
membantu
dalam
mendapatkan fungsi yang baik, untuk mencegah penyakit sendi degeneratif selanjutnya atau untuk mendapatkan penampakan klinis yang baik, tapi tidak perlu untuk sampai mendapatkan penampakan radiologis yang sempurna. 3) Untuk mendorong terjadinya union dari tulang Pada kebanyakan fraktur, union akan terjadi dengan sendirinya. Namun pada beberapa fraktur, seperti yang terdapat robekan berat dari periosteum dan jaringan lunak sekitarnya atau adanya nekrosis avaskular di satu atau kedua fragmen, union harus dibantu dengan penggunaan alat/ bone graft. 4) Untuk mengembalikan fungsi optimal tidak hanya dari tungkai/lengan atau tulang belakang yang terkena namun juga untuk pasien secara keseluruhan. Saat periode imobilisasi selama proses penyumbuhan fraktur, disuse atrophy dari otot di sekitarnya harus dicegah dengan active static exercise dari otot yang mengontrol imobilisasi sendinya dan active dynamic exercise dari semua otot pada tungkai ataupun lengannya. Setelah imobilisasi selesai, active exercise harus dilanjutkan secara lebih intensif.
26
Terapi pada fraktur meliputi manipulasi untuk memperbaiki posisi fragmen, diikuti dengan splintage
untuk menahannya sampai menyatu;
sementara itu pergerakan sendi dan fungsi harus dijaga. Penyembuhan fraktur didorong oleh loading fisiologis dari tulang, jadi aktifitas otot dan weightbearing dini harus didorong. Tujuan ini diliputi oleh 3 aturan, yaitu: 1.
Reduce
2.
Hold
3.
Exercise Terdapat beberapa situasi dimana reduksi tidak dibutuhkan seperti saat
terdapat sedikit atau tidak ada sama sekali displacement, saat displacement tidak bermakna pada awalnya (contohnya pada fraktur clavicula), saat reduction tidak memungkinkan untuk berhasil (contohnya kompresi pada fraktur vertebra). Reduction harus selalu bertujuan mendapatkan posisi yang pas dan alignment yang normal dari fragmen tulang. Semakin besar area permukaan kontak diantara fragmen maka semakin memungkinkan untuk pentembuhan terjadi. Celah diantara ujung fragmen adaah penyebab yang umum dari delayed union atau non-union. Fraktur yang melibatkan permukaan artikular harus direduksi sampai mendekati sempurna karena iregulitas sekecil apapun akan menyebabkan distribusi beban yang abnormal diantara permukaan dan mempredisposisikan perubahan degenaratif di kartilago artikular.2 Terdapat 2 cara untuk melakukan reduksi, yaitu closed dan open. Pada closed reduction, diperlukan anestesi yang memadai dan relaxasi otot lalu dilakukan three-fold manoeuvre: (1) bagian distal dari tungkai/ lengan ditarik pada garis tulang; (2) seiring fragmen terlepas, mereka akan tereposisi kembali (dengan membalikan arah awal dari gaya jika bisa diberikan); (3) alignment dibenarkna pada setiap bidang. Hal ini paling efektif saat periosteum dan otot pada satu sisi dari fraktur masih intak; jaringan lunak yang mengikatnya mencegah over-reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi. 2
27
Gambar 6. Closed Reduction
Beberapa fraktur sulit untuk direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang kuat dan mungkin memerlukan traksi yang diperpanjang. Traksi kulit atau skeletal untuk beberapa hari akan membuat ketegangan jaringan lunak berkurang dan allignment yang lebih baik bisa didapat; hal ini membantu untuk fraktur batang femur dan tibia dan bahan fraktur supracondylar humerus pada anak- anak.2 Pada umumnya, closed reduction dipakai untuk minimally displaced fractures, untuk fraktur pada anak dan fraktur yang stabil setelah reduksi dan dapat dilakukan dalam bentuk splint atau cast. Fraktur yang tidak stabil juga dapat direduksi menggunakan metode closed reduction sebelumnya saat akan dilakukan internal atau external fixasi. Hal ini menghindari manipulasi langsung dari letak fraktur dengan open reduction, yang merusak suplai darah lokal dan dapat menyebabkan waktu penyembuhan yang lama; makin banyak ahli bedah yang beralih ke manoeuvres reduksi yang menghindari pajanan pada letak fraktur, bahkan saat tujuannya untuk dilakukan internal atau external fixasi.2
28
Operasi
untuk
reduksi
fraktur
dengan
pengawasan
langsung
diindikasikan jika: (1) saat closed reduction gagal, baik karena kesulitan mengontrol fragmen atau karena jaringan lunak yang ada diantaranya; (2) saat terdapat fragmen artikular besar yang membutuhkan posisi akurat atau (3) untuk traksi (avulsi) fraktur dimana fragmen dibersamakan. Sebagai aturan, bagaimanapun, open reduction hanyalah tahap pertama dari fixasi internal.2 Hold reduction atau sering digunakan kata imobilisasi bertujuan untuk mencegah displacement. Beberapa halangan gerak dibutuhkan untuk penyembuhan jaringan lunak dan untuk memungkinkan gerakan bebas pada bagian yang tidak terkena. Beberapa metode hold reduction adalah sebagai berikut:2 a) Continuous traction Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal fraktur, supaya melakukan suatu tarikan yang terus-menerus pada poros panjang tulang itu. Cara ini sangat berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblik atau spiral yang mudah bergeser oleh kontraksi otot. Traksi tidak dapat menahan fraktur tetap diam; traksi dapat menarik tulang panjang secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi reduksi yang tepat kadangkadang sukar dipertahankan. Dan sementara itu pasien dapat menggerakkan sendi-sendinya dan melatih ototnya. Traksi cukup aman, asalkan tidak berlebihan dan berhati-hati menyisipkan pen traksi. Masalahnya adalah kecepatan: bukan karena fraktur menyatu secara perlahan-lahan tetapi karena traksi tungkai bawah akan menahan pasien tetap di rumah sakit. Maka dari itu, segera setelah fraktur menempel traksi harus digantikan dengan bracing, jika metode ini dapat dilaksanakan. Macam-macam traksi : §
Traksi dengan gaya berat Cara ini hanya berlaku pada lengan. Karena pemakaian wrist sling, berat dari lengam memberikan traksi yang terus menerus ke humerus. Untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama pada fraktur transverse, plaster U-slab dapat dibalutkan atau, lebih baik lagi, removable plastic sleeve dari axilla sampai sedikit diatas siku ditahan dengan Velcro.
29
§
Traksi kulit Dapat menahan tarikan yang tak lebih dari 4 atau 5 kg. Strapping Holland atau Elastoplast ditaruh pada kulit yang sudah dicukur dan ditahan dengan plaster. Malleolus dilindungi oleh Gamgee tissue, dan tali atau pengerat digunakan untuk traksi.
§
Traksi skeletal Stiff wire atau pin dimasukan – biasanya dibelakang tuberkel tibia untuk cedera panggul, paha dan lutut, atau melewati calcaneus untuk fraktur tibia – dan tali diikatkan ke tempat tersebut untuk mengaplikasikan traksi. Baik traksi dilakukan oleh kulit atau skeletal, fraktur direduksi dan ditahan dengan 3 cara berikut; fixed traction, balanced traction, dan combined traction.
Gambar 7. Metode Traksi
Komplikasi traksi : o Hambatan sirkulasi o Cedera pada nervus o Infeksi pada tempat masuknya pin b) Cast splintage
30
Plaster of Paris masih banyak digunakan sebagai splint, terutama untuk fraktur tungkai bagian distal dan kebanyakan fraktur anak- anak. Dia cukup aman, selama praktisi memperhatikan bahaya ketatnya casting dan tekanan pada luka dicegah. Walau begitu, sendi yang terkena plaster tidak dapat bergerak dan mudah kaku. Saat bengkak dan hematom terselesaikan, lekatan dapat terbentuk dan menyambungkan serat otot dengan serat lainnya dan tulang; pada fraktur artikular, plaster menutupi permukaan yang ireguler terus menerus (closed reduction jarang sempurna) dan tidak mempunyai kesempatan untuk bergerak menghambat penyembuhan defek kartilago.2 Kekakuan dapat dikurangi dengan: (1) delayed splintage – dengan menggunakann traksi sampai gerak didapat lalu baru memberikan plaster; atau (2) memulai dengan cast konvensional tetapi, setelah beberapa minggu, saat tungkai dapat dihandle tanpa ketidaknyamanan yang berarti, mengganti cast dengan bracing fungsional yang memberikan kesempatan untuk pergerakan sendi.2 Komplikasi dari cast splintage sendiri adalah: (1) cast yang kencang – contohnya saat timbul pembengkakan saat cast sudah terpasang; (2) sakit karena tekanan cast splintage itu sendiri; (3) abrasi atau laserasi kulit – dalam komplikasi ini plaster harus dilepas; (4) cast yang longgar – seperti ketika proses bengkak sudah mereda saat terpasang cast.2
31
Gambar 8. Cast Splintage
c) Functional bracing Functional bracing dapat menggunakan plaster of Paris ataupun material thermoplastic yang lebih ringan, penggunaan functional bracing dapat menjegah kekakuan sendi sementari masih dapat membiarkan splintage dan loading dari fraktur. Segmen dari cast diberikan hanya pada batang tulang, membiarkan sendi bebas; segmen dari cast dihubungkan oleh metal atau hinge plastik yang membiarkan gerak dalam satu bidang. Functional bracing tidak begitu kokoh, maka biasanya hanya dipakai saat fraktur sudah mulai menyatu, contohnya 36 minggu setelah traksi atau pemakaian plaster konvensional.2
Gambar 9. Functional Bracing
32
d) Internal fixation Pada fixasi internal, fragmen tulang dapat diperbaiki dengan screw, metal plate yang ditopang screw, long intramedullary rod atau nail (dengan atau tanpa locking screw), circumferential band atau kombinasi dari semua ini. Jika dipasang dengan benar, fixasi internal dapat menopang fraktur dengan aman sehingga gerak dapat dimulai sejak itu; dengan gerak yang dapat dimulai dini, kekaukan dan edema dapat dicegah. Walaupun begitu, perlu diingat bahwa fraktur belum menyatu namun gerak dapat dilakukan karena adanya jembatan metal dan dalam hal ini unprotected weighbearing masih belum aman dilakukan. 2 Risiko dari fixasi internal yang paling besar adalah sepsis. Resiko infeksi bergantung pada: (1) pasien – jaringan yang terkena, luka kotor dan pasien yang tidak fit tidaklah aman dilakukan fixasi internal; (2) ahli bedah; (3) fasilitas. 2 Indikasi dari internal fixasi yang paling utama adalah: 2 1. Fraktur yang tidak dapat direduksi selain dengan operasi 2. Fraktur yang tidak stabil dan cenderung dapat redisplace setelah dilakukannya reduksi (contohnya fraktur pada tengah batang dari lengan atas dan fraktur displaced pergelangan kaki). Juga termasuk fraktur yang mungkin ditarik oleh gerakan otot (seperti fraktur transverse dari patella atau olecranon). 3. Fraktur yang menyatu secara butuk dan lambat, terutama fraktur dari leher femur 4. Fraktur
patologis
dimana
penyakit
tulang
menghambat
penyembuhan 5. Fraktur multiple dimana fixasi dini (baik dengan fixasi internal ataupun
external)
menurunkan
resiko
komplikasi
dan
late
multisystem organ failure 6. Fraktur pada pasien dengan kesulitan perawatan seperti pasien dengan paraplegia, cedera yang banyak dan lansia Tipe dari fixasi internal:2 • Intergragmentary screws
33
• Wires (transfixing, cerclage dan tension-band) • Plates and screws • Intramedullary nails
Gambar 10. Fixasi Internal
Komplikasi dari fixasi internal:2 1) Infeksi 2) Non-union 3) Implant failure 4) Refracture e) External fixation Fraktur dapat ditopang dengan transfixing screw atau tensioned wires yang melewati tulang keatas dan kebawah dari fraktur dan terpasang ke external frame.2 Indikasi fixasi external: 1. Fraktur yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak yang
buruk
(termasuk
fraktur
terbuka)
atau
yang
terkontaminasi, dimana fixasi internal berisiko dan akses berulang dibutuhkan untuk inspeksi luka, dressing atau bedah plastik. 2. Fraktur disekitar sendi yang butuh internal fixasi namun jaringan lunaknya terlalu bengkak untuk operasi yang aman;
34
disini, bentangan fixasi external memberikan stabilitas sampai kondisi jaringan lunak membaik. 3. Pasien dengan cedera multiple, terutama jika ada fraktur femur bilateral, fraktur pelvis dengan perdarahan hebat, dan dengan tungkai dan cedera yang berhubungan dengan dada atau kepala. 4. Fraktur yang tidak menyambung, yang bisa dipotong atau dikompresi; terkadang ini dikombinasikan dengan pemanjangan tulang untuk mengganti segmen yang dipotong. 5. Fraktur
yang
terinfeksi,
dimana
fixasi
internal
tidak
memungkinkan. Komplikasi fixasi internal: 1.
Kerusakan pada struktur jaringan lunak
2.
Overdistraction
3.
Pin-track infection
EXERCISE Terapi pada Fraktur Terbuka Semua fraktur terbuka, tak peduli sebebrapa ringannya harus dianggap terkontaminasi, penting untuk mencegah terjadinya infeksi. 4 hal yang dapat dilakukan :
35
1. Pembalutan luka dengan segera 2. Profilaksis antibiotika 3. Debridement Luka secara dini 4. Stabilisasi fraktur Penangan dini Luka harus tetap ditutup hngga pasien tiba di kamar bedah. Antibiotic diberikan secepat mungkin, tak peduli seberapa kecil laserasi itu, dan dilanjutkan hingga bahaya infeksi terlewati. Pada umumnya pemberian kombinasi benzilpenisilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam akan mencukupi; kalau luka amat terkontaminasi dapat menambahkan gentamisin atau metronidazol dan melanjutkan terapi selama 4 atau 5 hari. Pemberian profilaksis tetanus juga penting, toksoid diberikan pada mereka yang sebeblumnya sudah diimunisasi, kalau belum beri antiserum manusia. Debridemen Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik diseluruh bagian itu. Dalam anastesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan kulit disekelilingnya di bersihkan dan di cukur. Kemudian bantalan itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis, irigasi akhir dapat disertai obat antibiotic misalnya basitracin. Hanya sedikit kulit yang dieksisi dari tepi luka, pertahankan sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai, setelah diperbesar pembalut dan benda asing lain dapat dilepas. Penutupan luka Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa jam setelah cedera, setelah debridemen, dapat dijahit ( asalkan ini dapat dilakukan tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka yang lain harus dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah terlewati. Luka itu dibalut sekadarnya dengan kassa steril dan diperiksa setelah 5 hari. Kalau bersih luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit (penutupan primer tertunda).
36
Stabilisasi fraktur Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi kemungkinan infeksi. Untuk luka tipe I atau tipe II yang kecil dengan fraktur yang stabil, boleh menggunakan gips yang dibelah secara luas atau untuk femur digunakan traksi pada bebat. Tetapi pada luka yang lebih berat, fraktur perlu difiksasi secara lebih ketat. Metode yang paling aman adalah fiksasi eksterna. Pemasangan pen intramedula dapat digunakan untuk femur atau tibia. Sebaiknya janganmelakukan pelebaran luka (remaining) karena dapat meningkatkan risiko infeksi. Plat dan sekrup dapat digunakan untuk fraktur metafisis atau artikular dengan syarat ahli bedah itu berpengalaman dalam menggunakannya dan keadaan ideal. Perawatan sesudahnya Tungkai ditinggikan diatas tempat tidur dan sirkulasi diperhatikan.Syok mungkin masih membutuhkan terapi. Kemperapi dilanjutkan, dilakukan kultur dan jka perlu diberikan penggantian antibitotik. Jika luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari.Penjahitan primer tertunda sering aman atau jika terdapat banyak kehilangan kulit, dilakukan pencangkokan kulit.Jika toksemia atau septicemia terus terjadi meskipun telah diberikan kemoterapi, luka tersebut di drainase. 4.6.Komplikasi Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik. a. Komplikasi umum Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu
akan
terjadi
gangguan
metabolisme,
berupa
peningkatan
katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren. b. Komplikasi Lokal •
Komplikasi dini Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.
37
- Tulang 1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka. 2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union. Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi. - Jaringan lunak 1. Lepuh Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema.Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik. 2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol. - Otot Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu.Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau thrombus. - Pembuluh darah Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan. Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme.Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.
38
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya.Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot. Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis. - Saraf Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson).Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus. •
Komplikasi lanjut Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan. − Delayed union Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur. Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu). − Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting. Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang
39
berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama. Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis). − Mal union Penyambungan
fraktur
tidak
normal
sehingga
menimbukan
deformitas.Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi. − Osteomielitis Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot. − Kekakuan sendi Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama,
sehingga
terjadi
perlengketan
peri
artikuler,
perlengketan
intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi.Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap.
5. DISLOKASI 5.1 Definisi Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi). Atau dislokasi adalah suatu keadaan keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Bila terjadi patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi)
40
5.2 Etiologi Dislokasi disebabkan oleh: 1. Trauma: jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktur dislokasi. •
Cedera olahraga Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
•
Terjatuh Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
2. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga • Kongenital Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi pangkal paha. Pada keadaan ini anak dilahirkan dengan dislokasi sendi pangkal paha secara klinik tungkai yang satu lebih pendek dibanding tungkai yang lainnya dan pantat bagian kiri serta kanan tidak simetris. Dislokasi congenital ini dapat bilateral (dua sisi). Adanya kecurigaan yang paling kecil pun terhadap kelainan congenital ini mengeluarkan pemeriksaan klinik yang cermat dan si anak diperiksa dengan sinar X, karena tindakan dini memberikan hasil yang sangat baik. Tindakan dengan reposisi dan pemasangan bidai selama beberapa bulan, jika kelainan ini tidak ditemukan secara dini, tindakannya akan jauh sulit dan diperlukan pembedahan. •
Patologis Terjadinya ‘tear ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang.
5.3 Klasifikasi Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Dislokasi kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
41
2. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi, misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang. 3. Dislokasi traumatik : merupakan kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular.Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi: 1. Dislokasi Akut : Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi. 2. Dislokasi Kronik 3. Dislokasi Berulang : Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan. 5.4 Diagnosa a. Anamnesis Perlu ditanyakan tentang : •
Rasa nyeri
•
Adanya riwayat trauma
•
Mekanisme trauma
•
Ada rasa sendi yang keluar
•
Bila trauma minimal dan kejadian yang berulang, hal ini dapat terjadi pada dislokasi rekurrens
b.
Pemeriksaan klinis a. Deformitas
•
Hilangnya penonjolan tulang yang normal
•
Pemendekan 42
•
Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu
b. Bengkak c. Terbatasnya gerakan atau gerakan yang abnormal c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologi untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur.Pemeriksaan
diagnostik
dengan
cara
pemeriksaan
sinar
–X
(pemeriksaan X-Rays). 5.5 Komplikasi Komplikasi yang dapat menyertai dislokasi antara lain : 1. Komplikasi Dini : •
Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut.
•
Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.
•
Fraktur disloksi
2. Komplikasi lanjut : •
Kekakuan sendi bahu: Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi
•
Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
•
Kelemahan otot
5.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan dislokasi sebagai berikut : o
Lakukan reposisi segera.
o
Dislokasi sendi kecil dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi, misalnya : dislokasi siku, dislokasi bahu, dislokasi jari pada fase syok), sislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anestesi loca; dan obat penenang misalnya valium.
o
Dislokasi sendi besar, misalnya panggul memerlukan anestesi umum. 43
o
Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
o
Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi.
o
Sendi kemudian diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi
o
Memberikan
kenyamanan
dan
melindungi
sendi
selama
masa
penyembuhan 5.7 Macam Dislokasi I.
Dislokasi Sendi Siku Jatuh pada tangan dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior. Reposisi dilanjutkan dengan membatasi gerakan dalam sling atau gips selama tiga minggu untuk memberikan kesembuhan pada sumpai sendi.
Gambar 10. Dislokasi radius
II.
Dislokasi Regio Bahu (Shoulder Dislocation)
Pada regio bahu terdapat beberapa sendi yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yaitu sendi sternoklavikular, sendi akromioklavikular, dan sendi glenohumoral. Hubungan skapulothorakal bukan merupakan sendi melainkan suatu hubungan muskuler antara dinding thoraks dan skapula. Melalui keempat hubungan ini yang terdiri atas tiga persendian dan satu hubungan muskular ini terjadi gerakan ke segala arah di gelang bahu. Dislokasi regio bahu (sendi glenohumoral) merupakan 50 % kasus dari semua dislokasi. 80 % dari dislokasi regio bahu ini adalah tipe dislokasi bahu anterior. Stabilitas sendi bahu tergantung dari otot - otot dan kapsul tendon yang
44
mengitari sendi bahu. Sedangkan hubungan antara kepala humerus dengan cekungan glenoid terlalu dangkal. Oleh karena itu pada sendi glenohumoral sering terjadi dislokasi, baik akibat trauma maupun pada saat serangan epilepsi. Melihat lokasi kaput humeri terhadap glenoidalis, dislokasi paling sering ke arah anterior dan lebih jarang ke arah posterior. Pada waktu terjadinya dislokasi yang pertama mengalami kerusakan atau avulasi dari fibrocarltilage antara kapsul sendi dengan glenoidalis di bagian anterior dan inferior. Dengan adanya robekan tadi, maka sendi bahu akan mudah mengalami dislokasi ulang bila mengalami cedera lagi. Hal ini disebut sebagai recurrent dislokasi. Tanda-tanda korban yang mengalami dislokasi sendi bahu yaitu: • Sendi bahu tidak dapat digerakakkan • Korban mengendong tangan yang sakit dengan yang lain • Korban tidak bisa memegang bahu yang berlawanan • Kontur bahu hilang, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya III.
Dislokasi Acromioclavicularis Kekuatan sendi akromioklavikular disebabkan oleh simpai sendi dan ligament korakoklavikular. Dislokasi sendi akromioklavikular tanpa disertai rupturnya ligament korakoklavikuar, biasanya tidak menyebabkan dislokasi fragmen distal ke cranial dan dapat diterapi secara konservatif dengan mitela yang disertai latihan dan gerakan otot bahu. Bila tidak berhasil atau adanya robekan ligament korakoklavikula kadang dilakukan operasi reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi interna.
IV.
Dislokasi Sternoclavicular Dislokasi sternoklavikular ini jarang terjadi dan bisa terjadi akibat trauma langsung klavikula kearah dorsal yang menyebabkan dislokasi posterior atau retrosternal. Atau bisa terjadi akibat tumbukan pada bagian depan bahu sehingga bagian medial dari klavikula tertarik kearah depan dan menyebabkan lepasnya sendi sternoklavikular kearah anterior. Pengobatan konserfatif dengan reposisi dan imobilisasi bisa berhasil dan bila gagal perlu dilakukan operasi. Yang terpenting ialah latihan otot supaya tidak terjadi hipotrofik pada otot bahu.
45
V.
Dislokasi bahu anterior Sering terjadi pada usia dewasa muda, kecelakaan lalu lintas ataupun cedera olah raga. Dislokasi terjadi karena kekuatan yang menyebabkan gerakan rotasi ekstern (puntiran keluar) dan ekstensi sendi bahu. Posisi lengan atas dalam posisi abduksi. Kaput humerus didorong ke depan dan menimbulkan avulsi simpai sendi bagian bawah dan kartilago beserta periosteum labrum glenoidalis bagian anterior. Lesi ini disebut bankart lesion. Karena terjadi robekan kapsul, kepala humerus akan keluar dari cekungan glenoid ke arah depan dan medial, kebanyakan tertahan di bawah coracoideus. Mekanisme lain terjadinya disloksi adalah trauma langsung. Pederita jatuh, pundak bagian belakang terbentur lantai atau tanah. Gaya akan mendorong permukaan belakang humerus bagian proksimal ke depan.
Gambar 11. Dislokasi bahu anterior Klinis Pasien merasakan sendinya keluar dan tidak mampu menggerakkan lengannya, dan lengan yang cedera ditopang oleh tangan sebelah lain. Pundak terasa sakit sekali, bentuk pundak asimetris, posisi badan pendeita miring ke arah sisi yang sakit, bentuk deltoid pada sisi yang cedera tampak mendatar, hal ini disebabkan kepala humerus sudah keluar dari cekungan glenoid ke depan. Pada palpasi daerah subacromius jelas teraba cekungan. Pemeriksaan penunjang Dengan pembuatan X – ray foto, umumnya dengan proyeksi AP sudah dapat terdiagnosis adanya dislokasi sendi bahu.
46
Gambar 12. X – ray foto dislokasi bahu anterior Penatalaksanaan Keadaan ini memerlukan reposisi segera. Ada beberapa indikasi untuk melakukan reposisi, yaitu : tidak adanya fraktur, tidak adanya defisit neurologi oleh karena itu sebelum melakukan reposisi sebaiknya dilakukan beberapa pemeriksaaan 1. Nervus axillary : 8% terjadi kelumpuhan - innervasi m. Deltoideus : tidak di tes - Sensoris: dibawah m. Deltoideus 2. Nervus Radialis: extensi tangan 3. Artery brachialis: denyut nadi radialis
Gambar 13. Pre reduction examination Terdapat 3 cara untuk mereposisi dislokasi bahu anterior, yaitu : 1. Cara Stimson Cara ini mudah dan tidak memerlukan anestesia. Penderita tidur tengkurang di atas meja, lengan yang cedera dibiarkan tergelantung ke bawah. Lengan diberi beban seberat 5 – 7 ½ kg. Pada saat otot bahu dalam keadaan relaksasi, diharapkan terjadi reposisi akibat berat lengan yang
47
tergantung di samping tempat tidur tersebut. Hal ini dilakukan selama 20 – 25 menit.
Gambar 14. Cara Stimson 2. Cara Hippocrates Bila cara stimson gagal maka dilakukan cara hippocrates. Penderita tidur terlentang di atas meja, lengan penderita pada sisi yang sakit ditarik ke distal, posisi lengan sedikit abduksi. Sementara itu kaki penolong ditekankan ke aksila untuk mengungkit kaput humerus ke arah lateral dan posterior. Setelah reposisi, bahu dipertahankan dalam posisi endorotasi dengan penyangga ke dada selama paling sedikit 3 minggu.
Gambar 15. Cara Hippocrates 3. Cara Kocher Penderita ditidurkan di atas meja. Penolong melakukan gerakan yang dapat dibagi dalam 4 tahap. •
Tahap pertama, dalam posisi siku fleksi penolong menarik lengan atas ke arah distal
•
Tahap kedua, dilakukan gerakan eksorotasi dari sendi bahu
•
Tahap ketiga, melakukan gerakan adduksi dan fleksi pada sendi bahu
•
Tahap ke empat, melakukan gerakan endorotasi sendi bahu. 48
Setelah tereposisi sendi bahu difiksasi dengan dada, dengan verband dan lengan bawah digantung dengan sling. Immobilisasi cukup 3 minggu. Cara ini paling sering dilakukan di klinik.
Gambar 16. Cara Kocher Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi dislokasi bahu anterior, yaitu : §
Cedera plexus brachialis dan n. Axillaris yang menyebabkan kumpulnya m. deltoid sehingga bahu tidak dapat diangkat abduksi
§
Robeknya muskulus tendineus cuff (cuff rotator)
§
Patah tulang humerus
§
Rekurrens dislokasi bahu anterior
Hal ini disebabkan terjadinya celah robekan fibrocartilago di daerah bannkart yang menetap. Trauma yang ringan saja seperti mengenakan baju atau menutup jendela akan terjadi posisi abduksi dan eksternal rotasi yang akan mengakibatkan dislokasi kembali. Kalau terjadi lebih dari 3 x, dianjurkan untuk dilakukan operasi. Metode operasi yang dipakai yaitu, Bristow, Bannkart, dan Putti plat. Tujuan dari operasi ini untuk melakukan rekonstruksi struktur bagian anterior sendi. VI.
Dislokasi bahu posterior Dislokasi ini jarang terjadi, mekanisme biasanya penderita jatuh dimana posisi
lengan atas dalamkedudukan adduksi atau internal rotasi.
49
Gambar 17. Dislokasi bahu posterior Klinis Sangat sakit di daerah bahu. Posisi lengan dalam kedudukan adduksi dan internal rotasi. Terdapat penonjolan kaput di daerah posterior. Pemeriksaan Radiologi Proyeksi AP kadang sulit dilihat, Kalau perlu dilakukan proyeksi aksial. Penatalaksanaan Keadaan ini memerlukan reposisi tertutup segera alam narkosis umum dengan melakukan rotasi ekstern pada bahu dan kaput humerus didorong ke depan. Setelah reposisi, dipasang gips spika bahu dalam posisi abduksi 30
0
selama 3 minggu. VII.
Dislokasi bahu inferior (Luxatio Erecta) Kaput humerus terperangkap dibawah kavitas glenoidale sehingga terkunci dalam posisi abduksi. Karena robekan kapsul sendi lebih kecil dibanding kepala humerus, maka sangat susah kepala humerus ditarik keluar, hal ini disebut sebagai “efek lubang kancing (Button hole effect)”
Gambar 18. Dislokasi bahu inferior
50
Penatalaksanaan Lakukan traksi berlawanan dengan arah dislokasi. Awalnya lakukan tarikan ke arah dislokasi, yaitu ke arah atas, lanjutkan tarikan semakin lama semakin ke bawah (counter abduksi), dan akhirnya arahkan lengan ke sisi penderita.
Gambar 19. Counter abduksi VIII.
Dislokasi Regio Panggul (Hip Dislocation) Dislokasi panggul lebih jarang dijumpai daripada dislokasi bahu atau siku. Mekanisme terjadinya dislokasi yaitu saat kaput yangterletak di belakang asetabulum, kemudian segera berpindah ke dorsum illium. Biasanya juga mengalami cedera serius misalnya trauma benturan depan mobil akibat tabrakan mobil frontal. Penderita mungkin mengalami syok berat dan tidak dapat berdiri. Tungkainya terletak dalam posisi tinggi yang sesuai dengan paha difleksikan, dan dirotasikan ke interna. Tungkai pada sisi yang cedera lebih pendek daripada sisi yang normal. Lututnya bersandar pada paha yang berlawanan dan trokantor mayor dan pantat menonjol secara abnormal. Dislokasi hip joint adalah suatu kejadian/peristiwa menyakitkan di mana komponen peluru/bola/caput humeri tulang paha keluar dari tempatnya/acetabulum. Sehingga penderita mengalami rasa nyeri, karena caput humeri bergerak/bekerja bukan pada tempatnya lagi. Pemeriksaan fisik Seperti halnya korban trauma besar, penilaian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi sangat penting primer.Selama survei sekunder, pemeriksaan dari korset panggul dan pinggul adalah wajib. Pemeriksaan harus terdiri dari inspeksi, palpasi, aktif/ pasif rentang gerak, dan pemeriksaan neurovaskular.
51
- Inspeksi: Dalam prakteknya, ini penampilan dapat diubah dengan adanya dislokasi atau fraktur-kelainan tulang lainnya
-
•
Posterior: hip adalah tertekuk, terputar ke dalam, dan adduksi.
•
Anterior: hip tertekuk minimal, terputar ke luar dan abduksi
Palpasi: Meraba panggul dan ekstremitas bawah untuk cacat tulanglangkah kotor atau off. Dalam sebuah dislokasi hip anterior, kadangkadang pada femoralis teraba hematoma. Hal ini menunjukkan cedera vaskular.
-
Range of motion: Pasien dengan dislokasi hip memiliki jangkauan sangat terbatas gerak. Mengevaluasi apa pasien dapat dilakukan dengan nyaman. Jangan paksa melakukan berbagai gerakan pada pasien yang tidak bisa mentolerir manipulasi normal,. Rentang nyeri gerak hampir tidak termasuk dislokasi hip. Pemeriksaan Neurovaskular: Tanda-tanda cedera nervus ischiadicus meliputi: •
Hilangnya sensasi di kaki belakang dan kaki
•
Kehilangan dorsiflexion (cabang peroneal) atau fleksi plantar (cabang tibial)
•
Kehilangan refleks tendon dalam (DTRs) di pergelangan kaki
Tanda-tanda cedera saraf femoralis adalah sebagai berikut: •
Hilangnya sensasi atas paha
•
Kelemahan dari paha depan
•
Kehilangan DTRs di lutut
Tanda-tanda cedera vaskuler meliputi:
•
Hematoma
•
Loss of pulses
•
Muka pucat
52
Gambar 20 . Dislokasi panggul Tanda-tanda klinis terjadinya dislokasi panggul: •
Kaki pendek dibandingkan dengan kaki yang tidak mengalami dislokasi
•
Kaput femur dapat diraba pada panggul
•
Setiap usaha menggerakkan pinggul akan mendatangkan rasa nyeri
Pengobatan Hip Dislokasi Pengobatan untuk dislokasi hip termasuk: •
Penurunan dislokasi hip: o
Penataan kembali tulang
•
Bedah untuk patah tulang panggul
•
Istirahat
•
Terapi fisik untuk hip dislokasi
•
Nonsteroidal anti-inflammatory obat untuk sakit o
Ibuprofen ( MotrinAdvil )
o
Naproxen ( Anaprox, Naprosyn, Aleve )
o
Ketoprofen ( Orudis )
•
Anti nyeri narkotika
•
Hip dislokasi uji klinis Dislokasi panggul ada 3 macam, yaitu dislokasi panggul posterior,
dislokasi panggul anterior, dan dislokasi panggul central. a.
Dislokasi panggul posterior Dislokasi posterior hip joint biasa disebabkan oleh trauma. Ini terjadi pada
axis longitudinal pada femur saat femur dala keadaan fleksi 900 dan sedikit adduksi. Pemeriksaan pada penderita dislokasi posterior hip joint akan menunjukkan tanda yang abnormal. Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan sedikit
53
fleksi, internal rotasi dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang karena kaput femur terkunci pada bagian posterior asetabulum. Salah satu bagian pemeriksaan adalah memeriksa kemampuan sensorik dan motorik ekstremitas bawah dari bagian bawah hingga ke panggul yang mengalami dislokasi, karena kurangnya kepekaan saraf pada panggul merupakan suatu komplikasi masalah yang tidak lazim pada kasus dislokasi hip joint. Dislokasi panggul posterior biasa disebabkan oleh trauma. Ini terjadi pada axis longitudinal pada femur saat femur dalam keadaan fleksi 90o dan sedikit adduksi. Gejala klinis Pemeriksaan pada penderita dislokasi panggul posterior akan menunjukkan tanda yang abnormal. Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan sedikit fleksi, internal rotasi dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang karena kaput femur terkunci pada bagian posterior asetabulum.
Gambar 21. Dislokasi panggul posterior Mekanisme trauma pada dislokasi posterior karena kaput femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi panggul dalam posisi fleksi atau semifleksi. Trauma biasanya tejadi karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan keras yang berada di bagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat juga terjadi sewaktu mengendarai motor.50% persen dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar. Klasifikasi menurut Thompson Epstein (1973) yang penting untuk rencana pengobatan: •
Tipe I: dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang kecil.
54
•
Tipe II: dislokasi dengan fragmen tulang yang besar pada bagian posterior asetabulum.
•
Tipe III: dislokasi dengan fraktur bibir asetabulum yang komunitif.
•
TipeIV: dislokasi dengan fraktur dasar asetabulum.
•
Tipe V: dislokasi dengan fraktur kaput femur. Pada kasus yang jelas, diagnosis mudah dilakukan: kaki pendek, adduksi,
rotasi internal dan sedikit fleksi. Tetapi kalau salah satu tulang panjang mengalami fraktur, biasanya femur, cedera panggul dengan mudah dapat terlewat.Pedoman yang terbaik adalah memotret pelvis dengan sinar X pada tiap kasus cedera yang berat, dan pada fraktur femur, pemeriksaan sinar X harus mencakup panggul.Tungkai bawah harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda cedera saraf ischiadikus.Pada foto anteroposterior kaput femoris terlihat di luar mangkuknya dan di atas asetabulum.Segmen atap asetabular atau kaput femoris mungkin telah patah dan bergeser; foto oblik berguna untuk menunjukkan ukuran fragmen itu. Kalau fraktur ditemukan, fragmen tulang yang lain (yang mungkin perlu dibuang) harus dicurigai. CT scan adalah cara terbaik untuk menunjukkan fraktur asetabulum atau setiap fragmen tulang.Keadaan dislokasi panggul merupakan tindakan darurat karena reposisi yang dilaksanakan segera mungkin dapat mencegah nekrosis avaskuler kaput femur.Makin lambat reposisi dilaksanakan makin tinggi kejadian nekrosis avaskuler.Reposisi tertutup dilakukan dengan pembiusan umum menurut beberapa cara : metode Bigelow, metode Stimson, dan metode Allis. Metode Allis merupakan metode yang lebih mudah. Pemeriksaan Salah satu bagian pemeriksaan adalah memeriksa kemampuan sensorik dan motorik extremitas bawah dari bagian bawah hingga ke panggul yang mengalami dislokasi, karena kurangnya kepekaan saraf pada panggul merupakan suatu komplikasi masalah yang tidak lazim pada kasus dislokasi panggul. Pemeriksaan penunjang dengan pembuatan X – ray foto, umumnya dengan proyeksi AP.
55
Gambar 22 . X – ray foto dislokasi panggul posterior Penatalaksanaan Terapi untuk mengembalikan keadaan ini ada dua cara : 1. Metode Allis : penderita dalam posisi terlentang di lantai, pembantu menahan panggul dan menekannya. Ahli bedah melakukan fleksi pada lutut sebesar 900 dan tungkai diadduksi ringan dan rotasi medial. Lengan bawah ditempatkan dibawah lutut dan dilakukan traksi vertikal dan kaput femur diangkat dari bagian posterior asetabulum. Panggul dan lutut diekstensikan secara hati-hati. Syarat terpenting dalam melakukan reposisi adalah sesegera mungkin dan dilakukan dengan pembiusan umum disertai relaksasi yang cukup. Pada tipe II setelah reposisi maka fragmen yang besar difiksasi dengan screw secara operasi. Pada tipe III biasanya dilakukan reduksi tertutup dan apabila ada fragmen yang terjebak dalam asetabulum dikeluarkan melalui tindakan operasi. Tipe IV dan V juga dilakukan reduksi secara tertutup dan apabila bagian fragmen yang lepas tidak tereposisi maka harus direposisi dengan operasi.Pasca reposisi dilakukan traksi kulit selama 4-6 minggu, setelah itu tidak menginjakkan kaki dengan jalan mempergunakan tongkat selama 3 bulan. 2. The Bigelow Maneuver : Tempatkan penderita di lantai (telentang). Amati (dislokasi) secara cermat dan suruh seorang asisten mendorongnya ke anterosuperior pada SIAS. Fleksikan lutut penderita dan panggulnya, dan rotasikan tungkainya pada posisi netral. Tarik tungkainya ke atas secara terusmenerus dengan lembut. Saat masih dilakukan traksi (penarikan) sesuai arah femur, rendahkan tungkainya ke lantai. Reduksi biasanya jelas dirasakan tetapi
56
perlu didukung dengan sinar-X. Jika metode tersebut gagal mereduksi dislokasi, minta asisten meneruskan penekanan secara kuat pada SIAS. Dengan lutut sebagian difleksikan, tarik tungkai sesuai dengan deformitas. Fleksikan panggul perlahan hingga 90o dan rotasikan secara lembut ke internal dan eksternal untuk melepaskan kaput dari struktur-struktur yang menahannya. Kembalikan kaput pada tempatnya dengan rotasi interna dan eksterna lebih lanjut, atau rotasi eksterna dan ekstensi. Bila masih terpengaruh anestesi, periksa lutut, apakah terdapat ruptur ligamentum cruciatum posterior.
Gambar 23. Bigeleu manuver Segera setelah penderita dianestesi, tempatkan ia dengan wajah menghadap ke meja, sehingga paha yang cedera terkatung ke bawah dengan lututnya pada 90o dan kakinya bersandar pada lutut anda. Suruh seorang asisten memegang paha yang normal secara horizontal, agar pelvis tidak menjadi miring.Tekan terus menerus ke arah bawah pada lutut yang difleksikan hingga otot-ototnya berelaksas dan kaput femoris dapat masuk ke asetabulum.Jika perlu goyangkan lututnya.Jika metode ini gagal, rujuk untuk dilakukan reduksi terbuka. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi dislokasi panggul posterior, yaitu •
Lesi n. Ischiadicus
•
Nekrosis avaskuler terjadi 1 -2 tahun pasca trauma
•
Artrosis degeneratif Komplikasi dapat berupa komplikasi dini yaitu kerusakan nervus skiatik,
kerusakan pada kaput femur, kerusakan pada pembuluh darah, dan fraktur diafisis femur. Komplikasi lanjut dapat berupa nekrosis avaskuler, miositis osifikans, osteoartritis.
57
b.
Dislokasi panggul anterior Pada cedera ini pederita biasanya terjatuh dari suatu tempat tinggi dan
menggeserkan kaput femur di depan asetabulum. Pemeriksaan dislokasi anterior, kaki dibaringkan eksorotasi dan seringkali agak fleksi. Dalam posisi adduksi tapi tidak dalam posisi menyilang. Penderita tidak dapat bergerak fleksi secara aktif ketika dalam keadaan dislokasi. Kaput femur jelas berada di depan triangle femur. Gejala klinis dan Pemeriksaan Pemeriksaan dislokasi panggul anterior, kaki dibaringkan eksorotasi dan seringkali agak fleksi. Dalam posisi adduksi tapi tidak dalam posisi menyilang. Penderita tidak dapat bergerak fleksi secara aktif ketika dalam keadaan dislokasi. Kaput femur jelas berada di depan triangle femur. Penatalaksanaan Terapi dilakukan dengan membaringkan penderita di lantai, dan lakukan anestasi seperti pada penanganan dislokasi panggul posterior. Dengan melakukan pengamatan secara cermat, suruh seorang asisten menarik pelvisnya dengan kuat sepanjang manuver pada SIAS. Pegang tungkai penderita dan bengkokkan panggul dan lutut sampai 90o. Rotasikan tungkainya ke posisi netral. Hal ini akan mengubah dislokasi panggul anterior menjadi posterior. Tarik tungkai penderita terus menerus ke atas agar dapat mengangkat kaput femur ke dalam asetabulum. (3,7,8) Jika panggul tidak dapat direduksi, turukan tungkainya ke lantai ketika sedang mempertahankan reduksi. Jika panggul masih tidak dapat direduksi, maka gunakan traksi sesuai dengan arah deformitas (fleksi dan adduksi). Saat mempertahankan traksi, angkat tungkainya pada posisi vertikal agar dapat membawa kaput femur pada tepi anterior asetabulum. Sekarang, dengan masih mempertahankan traksi, rotasikan tungkai ke internal dan turunkan pahanya menjadi posisi yang diekstensikan. Jika panggul masih tidak dapat direduksikan, suruh seorang asisten terus memegang pelvis dengan kuat. Suruh asisten kedua berdiri di depannya dan menarik dengan kuat sesuai dengan arah femur. Abduksikan panggul yang normal dan letakkan tumit anda tanpa sepatu pada tempat kaput femur yang anda pikirkan. Kemudian tekan ke arah posterolateral hingga kaput masuk ke dalam socket dengan bunyi debam. Jika gagal, rujuk untuk dilakukan reduksi terbuka. Setelah dilakukan reduksi diperlukan perawatan lebih lanjut, pertahankan penderita di tempat tidur hingga ia dapat mengontrol panggulnya kembali. Kemudian biarkan ia berdiri dan menahan beban
58
berat. Amati kaput femur terhadap nekrosis aseptik, sama seperti dislokasi panggul posterior. c.
Dislokasi panggul central / obturator Dislokasi obturator ini sangat jarang ditemukan. Dislokasi obturator
disebabkan karena gerakan abduksi yang berlebih (hiper-abduksi) dari panggul yang normal yang disebabkan karena trokantor mayor bergerak berlawanan dengan pelvis untuk mengungkit kaput femur keluar dari asetabulum. Gejala Klinis dan pemeriksaan Panggul akan sangat terlihat dalam posisi abduksidan tidak dapat dibawa ke posisi normal tanpa penyesuaian dari pelvis. Kelainan saraf sangat jarang terlihat pada kasus seperti ini. Penatalaksanaan Terapi pada dislokasi obturator, yang terjadi akibat sobeknya capsul inferior, adalah sangat memungkinkan untuk mengubah dislokasi ini menjadi dislokasi panggul anterior maupun posterior, dan kemudian dapat direduksi dengan cara yang tepat. Bagaimanapun juga traksi abduksi pada tungkai dengan traksi yang berlawanan dengan pelvis sangat diperlukan. Berikan tekanan kuat, lalu letakkan pada sisi medial kaput femur dengan melakukan sedikit gerakan internal dan eksternal rotasi. Adduksikan ke posisi normal. Selama kaput femur yang mengalami dislokasi tidak bergerak ke arah yang dapat mengganggu suplay darah, penderita dapat mulai berjalan dengan tongkat ketiak tanpa beban pada tungkainya setelah beristirahat di tempat tidur selama beberapa hari. Penderita harus berjalan dengan tongkat ketiak selama 6 minggu dan melakukan pemeriksaan dengan sinar-X dengan interval 2 sampai 3 bulan untuk tahun pertama dan 6 bulan untuk tahun kedua. Kemungkinan terjadi avascular necrosis sangat kecil karena arah dislokasi ini.
IX.
Dislokasi Sendi Lutut Dislokasi pada sendi lutut biasanya terjadi pada trauma yang berat ,yang langsung mengenai sendi lutut. Subluksasio dapat terjadi secara sekunder pada penyakit degeneratif ataupun pada penyakit infeksi yang sudah berlangsung cukup lama. Tulang tibia dapat menjadi dislokasi ke ventral , dorsal ataupun ke setiap sisi . Dapat juga terjadi rotasi yang abnormal pada
59
femur.Mekanisme terjadinya dislokasi pada sendi lutut biasanya melalui hiperekstensi dan torsi pada sendi lutut.Dislokasi akut pada sendi lutut sering disertai dengan kerusakan pada pembuluh darah ataupun persarafan pada popliteal space.Gambaran klinis dijumpai adanya trauma pada daerah lutut disertai pembengkakan, nyeri dan hamartrosis serta deformitas.
Gambar 24. Dislokasi patella Pengobatan, tindakan reposisi dengan pembiusan harus dilakukan sesegera mungkin dan dilakukan aspirasi hemartrosis dan setelahnya dipasang bidai gips posisi 10o-l5o selama 1 minggu kemudian dipasang gips sirkuler d iatas lutut selama 7-8 minggu, bila ternyata lutut tetap tak stabil (varus ataupun valgus) maka harus dilakukan operasi untuk erbaikan pada ligamen.
60
DAFTAR PUSTAKA 1. Buckley Richard. General Principles of Fracture Care. Medscape. 2015 Jan 25. Available from https://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview 2. Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 9th ed. London: Hodder Arnold; 2010. 3. Dock Elly. Dislocations. Healthline. 2017 September 14. Available from https://www.healthline.com/health/dislocation#overview1 4. Vanputte Cinnamon, Regan Jennifer, Russo Andrew. Seeley’s Anatomy and Physiology. 10th ed. New York: McGraw Hill; 2014. 5. Patel
Anay.
Types
of
Bone.
Ortho
Bullets.
2017.
Available
from
Available
from
https://www.orthobullets.com/basic-science/9001/types-of-bone 6. Jones
Tracy.
Bone
Matrix.
Ortho
Bullets.
2017.
https://www.orthobullets.com/basic-science/9003/bone-matrix 7. Salter Robert B. Textbook of the Disorders and Injuries of the Musculosceletal System. 3rd ed. Pennsylvania: Lippincott William and Wilkins; 1999. 8. Duckworth T and Bluncell C M. Orthopaedics and Fractures. 4th ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2010.
61