9
FILSAFAT ILMU
"Objektivisme dan Kontekstualisme"*
by Hery Sopari
PENDAHULUAN
Definisi
Pengetahuan adalah Persepsi subyek (manusia) atas obyek (riil dan gaib) atau fakta. Ilmu Pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar disusun dengan sistem dan metode untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji/diverifikasi kebenarannya. Ilmu Pengetahuan bukan satu, melainkan banyak (plural), bersifat terbuka (dapat dikritik), berkaitan dalam memecahkan masalah.
Jadi, Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu pengetahuan tertentu secara rasional. Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah Cabang filsafat yang mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu. Filsafat Ilmu Pengetahuan disebut juga Kritik Ilmu, karena historis kelahirannya disebabkan oleh rasionalisasi dan otonomisasi dalam mengeritik dogma-dogma dan tahayul.
Membangun Filsafat Ilmu Pengetahuan "Tertentu"
Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok atau intisari atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu tersebut.
Aspek Ontologi
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikirna barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologism, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat "yang ada" (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa asal-usul dari segala sesuatu itu adalah air.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas. Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada(being) itu. Paham idealisme atau spiritualisme, materialism, dualism, pluralism dan seterusnya merupakan paham ontologisme yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai dan ilmu itu.
Louis O. Kattsoff membagi ontologi dalam 3 bagian yaitu ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya dan diakatakan ontologi kualitatif juga bernagkat dari pertanyaan : apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontoligi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monism atau idealism.
Aspek ontologi dari ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan secara :
Metodis; Menggunakan cara ilmiah
Sistematis; Saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan
Koheren; Unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan
Rasional; Harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar (logis)
Komprehensif; Melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional – atau secara keseluruhan (holistik)
Radikal; Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya
Universal; Muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.
Aspek Epistemologis
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan. Terdapat 3 persoalan pokok dalam bidang epistemology antara lain: (1) Apakah sumber pengetahuan itu? Dari mana datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaiman cara mengetahuinya?; (2) Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengatahuinya; (3) Apakah pengetahuan itu benar(valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan.
Untuk menemukan kebenaran dilakukan sebagai berikut:
Menemukan kebenaran dari masalah
Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran
Pengamatan dan eksperimen untuk menemukan kebenaran
Falsification atau operasionalism (experimental opetarion, operation research)
Konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran
Metode hipotetico – deduktif
Induksi dan presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta
Untuk memperoleh kebenaran, perlu dipelajari teori-teori kebenaran. Beberapa alat/tools untuk memperoleh atau mengukur kebenaran ilmu pengetahuan adalah sbb. :
Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama untuk mencari kebenaran
Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan pengalaman indera sebagai pemegang peranan utama
Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan kesimpulan yang positif benar
Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang disepakati adalah kegunaannya untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.
Aspek Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri. Lebih dari itu , aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis. Pertanyaan mengenai aksiologi menuru Kattsoff dapat dijawab melalui 3 cara. Pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman mereka. Kedua, nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologisme namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan objektivisme logis. Ketiga, nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan yang demikian disebut objektivisme metafisik.
Tujuan dasar Aksiologi yaitu menemukan kebenaran atas fakta "yang ada" atau sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah.
Sains Modern dan Sains Baru
Kajian ini mengacu pada buku Kemandirian Lokal (Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru karya Prof. Dr.Eng. A. Mappadjantji Amien, DEA)
Sains Modern
Temuan Nicolas Copernicus (1473-1549) yang menggeser pandangan Geosentris yang merupakan ajaran suci gereja, ke pandangan Heliosentris merupakan pertanda dimulainya era baru, era dimana pemikiran rasional dapat melepaskan diri dari cengkraman teologi(filsafat keagamaan). Episode perpecahan ini digambarkan dengan sangat baik oleh lukisan klasik yang memperlihatkan Galileo yang berjubah terdakwa sedang berlutut dihadapan otoritas gereja untuk mengucapkan sumpah bahwa ia akan meninggalkan pendapat Copernicus yang dianggap sesat.
Walaupun Galileo telah dipaksa bersumpah, tetapi perkembangan sains tetap tidak dapat dihambat. Berikut adalah beberapa perkembangan sains:
Metode Empiris induktif telah disumbangkan oleh Francis Bacon (1561-1662) sebagai tandingan sekaligus serangan terhadap logika deduktifnya Aristotelian.
Doktrin Reduksionisme telah dikembangkan oleh Descartes (1596-1650), dia juga mengembangkan filsafat rasionalisme yang menjadi acuan metode Rasional Deduktif.
Isaac Newton(1642-1727) melakukan sintesis besar dari berbagai pemikiran ilmuwan para pendahulunya yang bermuara pada keberhasilannya merumuskan hukum-hukum dasar tentang gerak serta teori gravitasi. Karya Newton inilah yang mendorong perkembangan Sains Modern yang akhirnya dapat dilihat seperti saat ini.
Ada 3 pilar utama Sains Modern yang telah menggantikan sistem Aristotelian-Ptolemeus yang berbau mistik neoplatonis dan teologi kristiani, yaitu:
Reduksionisme, yaitu faham yang melihat segala sesuatu terdiri atas bagian-bagian. Menurut faham ini pemahaman terhadap setiap bagian akan memberikan gambaran komprehensif tentang sesuatu itu.
Determinisme, yaitu faham yang meyakini bahwa semesta bekerja menurut hukum sebab akibat yang pasti.
Objektivisme, yaitu faham yang meyakini kebenaran bersifat objektif, tidak tergantung kepada pengamat dan cara mengamati.
Sains Modern yang dikenal dengan Newtonian memandang alam semesta tidak lebih dari suatu sistem mekanis yang tunduk pada hukum-hukum matematika yang pasti. Semua hal dapat diprediksi secara kuantitatif, sehingga tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi pertimbangan-pertimbangan yang bernuansa kualitatif termasuk mental spiritual.
Di era sebelumnya akal dan rasio dijadikan pelayan bagi kepentingan iman kepercayaan, maka pada zaman ini keduanya berhasil membebaskan diri, menduduki posisi terhormat dan memilih alam untuk melayaninya. Pelayanan alam tersebut telah membuat manusia terlena, semakin asyik dengan menikmatinya, hal ini semakin melupakan kita dalam pencarian hakikat alam semesta. Disadari ataupun tidak kita telah mengulangi kesalahan abad pertengahan yang telah menyingkirkan upaya pencarian itu demi kepentingan iman kepercayaan.
Sains Modern telah memberikan sumbangan besar bagi peradaban manusia, namun dibalik itu semua dirasakan adanya kehampaan makna dan kekosongan bagi sebagian besar umat manusia. Peradaban yang dihasilkan dari Sains Modern tidak dapat dipungkiri telah sangat berhasil menggunakan secara optimal potensi rasio manusia, namun disisi lain Sains Modern telah menjauhkan diri dari hal lainnya yang lebih kaya dan bermakna.
Ilmu pengetahuan dan teknologi di era ini sangat begitu maju, namun disisi lain membuat manusia terasing dengan lingkungannya, bahkan tidak mengenal dengan dirinya sendiri. Hal ini mendorong manusia untuk kembali meneruskan pencariannya.
Sains Baru
Sains Modern sangat mencengangkan karena telah menyingkap banyak dari rahasia alam semesta, namun disisi lain banyak juga menghasilkan dampak negatif.
Beberapa penemuan sains telah memperingatkan kita untuk meninjau kembali /merevisi pilar-pilar paradigma Sains Modern. Teori Chaos memperingatkan kita bahwa kita harus memperhatikan perubahan-perubahan kecil karena memiliki potensi nyata untuk mengubah masa depan suatu sistem. Butterfly Effect (Efek sayap kupu-kupu), adalah istilah dalam "Teori Chaos" (Chaos Theory) yang berhubungan dengan "ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal" (sensitive dependence on initial conditions), dimana perubahan kecil pada satu tempat dalam suatu sistem non-linear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.
Semesta terbukti tidak linear dan saling terkait satu dengan yang lainnya secara dinamis. Semesta juga bersifat partisipatif sekaligus tertutup. Semesta hanya mau menjawab pertanyaan sesuai dengan cara yang kita ajukan, tetapi menyembunyikan yang lainnya. Fakta ini membuat metode penelitian membutuhkan revisi mendasar, meninggalkan pendekatan interogatif dan menggantikannya dengan pendekatan keterlibatan/dialogis. Pendekatan ilmiah pun sudah saatnya dilengkapi dengan pendekatan lain yang bersifat kualitatif, agar kita dapat memanfaatkan secara optimal potensi kemanusiaan kita, seperti emosi, intuisi, kemampuan spiritual dan kesadaran transendental.
Paradigma sains baru merupakan jawaban dari hasil temuan-temuan baru, diharapkan dapat menghadirkan dimensi baru yang akan memperkaya makna kehidupan serta mengantarkan kita untuk lebih dekat dengan hakikat realitas alam semesta.
Ada dua alternatif paradigma Sains Baru yaitu paradigma Holisme-Dialogis dan paradigma digitalis-informatisme.
Pada kesempatan ini akan difokuskan pada paradigma Holisme-Dialogis yang merupakan jawaban langsung dari runtuhnya paradigma Newtonian. 3 Pilar utama yang menunjang paradigma ini adalah:
Holisme-interkoneksitas
Probabilisme
Kontekstualisme
Perbandingan Sains Modern dan Sains Baru
Pilar Utama
Sains Modern
Sains Baru
3 Pilar utama
Reduksionisme
Determinisme
Objektivisme
Holisme-interkoneksitas
Probabilisme
Kontekstualisme
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai objektivisme dan kontekstualisme sebagai salah satu pilar paradigma Holisme-Dialogis.
Objektivisme dan Kontekstualisme
Objektivisme
Objektivisme merupakan konsekuensi logis paham dualisme yang membagi alam semesta menjadi subjek dan objek yang saling terpisah secara absolut. Subjek dalam hal ini manusia dapat mengamati, mengukur, dan memahami objek sebagaimana adanya, tanpa pengaruh atau dipengaruhi oleh objek. Hasil pengamatan itu sendiri bersifat objektif, dalam arti bukan merupakan hasil konstruksi mental manusia dan juga tidak dipengaruhi oleh proses pengamatan. Dengan demikian realitas atau kebenaran yang ditemukan bersifat absolut. Artinya jika sesuatu telah diterima atau dianggap benar, maka semua yang tidak sesuai atau serupa dengannya pastilah salah.
Agar dapat menghasilkan kebenaran ilmiah, proses pengamatan harus dilakukan berdasarakan metode ilmiah yang shahih. Jika tidak, hasil yang diperoleh harus ditolak. Inilah yang kemudian dikenal sebagai paham Materialisme-Saintisme (materialisme ilmiah) yang menjadi acuan dalam penelitian-penelitian yang memberikan kontribusi kepada kemajuan sains seperti yang kita lihat sekarang. Walaupun perlu digarisbawahi, bahwa tidak sedikit pula temuan ilmiah yang tidak diperoleh melalui metode ilmiah.
Doktrin objektivisme membuat manusia merasa terpisah atau bukan merupakan bagian dari alam lingkungan. Ini membuat manusia merasa bebas untuk mengamati semesta demi mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk memanipulasi, mengontrol dan memanfaatkannya. Dengan kata lain, objektivisme mendorong lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan dominasi manusia terhadap lingkungannya.
Dampak atau pengaruh lain dari doktrin ini adalah semakin berkembangnya paham Antroposentris yang memang merupakan ciri paradigma Newtonian. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dua pendiri penting paradigma ini yaitu Descartes dan Bacon, memang memandang semesta sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan dan mengabdi bagi kepentingan manusia. Paham ini membuat modus berpikir dalam Sains Modern sangat bernuansa Instrumentalisme yang melihat kebenaran ilmu pengetahuan hanya semata diukur dari kegunaannya dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan material manusia.
Kontekstualisme
Kontekstualisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa " kebenaran" tidaklah bersifat objektif. Kebenaran sangat tergantung pada pengamat dan cara mengamati. Artinya bersifat kontekstual. Doktrin ini mengantar kita kepada simpulan bahwa tidak ada kebenaran absolut karena semuanya tergantung kepada cara pandang atau paradigma yang kita anut.
Kontekstualisme merupakan salah satu pilar utama dari paradigm Holisme-Dialogis yaitu salah satu paradigma Sains Baru. Kontekstualisme sebagai pengganti dari objektivisme pada paradigma Newtonian.
Realitas sangat tergantung kepada posisi dan cara kita mengamatinya. Sebagai contoh, bola yang terletak di kejauhan akan terlihat sebagai cakram dua dimensi, namun setelah diamati pada jarak dekat, bola akan terlihat sebagai benda tiga dimensi. Pengamatan serupa tapi lebih rumit adalah pada pengamatan elektron yang sangat menggugah pemahaman baru manusia terhadap realitas semesta. Elektron menunjukkan penampakan yang senantiasa menyesuaikan diri terhadap peralatan yang kita gunakan untuk mengamatinya. Jika peralatan yang dipakai adalah untuk mengamati gejala gelombang, maka elektron akan menampakkan diri sebagai gelombang, dan sebaliknya jika peralatan yang digunakan adalah untuk mendeteksi partikel, maka elektron terdeteksi dalam wujud materi. Ini menunjukkan sifat "baru" alam semesta, bahwa alam semesta senantiasa menjawab pertanyaan sesuai dengan pertanyaan itu sendiri.
Hal ini membawa implikasi luar biasa, realitas yang tampak pada kita adalah senantiasa sesuai dengan apa yang kita inginkan atau bayangkan untuk mendapatkannya. Semesta ternyata sangat partisipatif. Cara kita bertanya, menentukan jawaban yang akan kita peroleh. Semesta adalah gelombang probabilitas. Ia mewujudkan dirinya sesuai peralatan yang kita gunakan. Wujud itupun selanjutnya akan kita interpretasikan sesuai dengan persepsi kita yang dibentuk oleh akumulasi pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Contoh fenomena elektron ini sekaligus memperlihatkan bahwa disamping bersifat partisipatif, alam sekaligus bersifat "tertutup". Ia hanya mau memperlihatkan sisi yang kita inginkan jawabannya, hanya menjawab apa yang kita tanyakan, tetapi pada saat yang sama menyembunyikan sisi lainnya.
Pelajaran yang dapat kita tarik dari fenomena elektron tadi adalah bahwa kita harus mampu menerima realitas yang sekilas terlihat bertentangan(paradox). Kita harus belajar hidup dalam kemenduaan karena alam semesta terdiri dari unsur-unsur yang bertentangan tapi saling melengkapi. Realitas ini sebenarnya bukan hal yang baru. Peradaban Cina kuno mengenalnya dengan Yin dan Yang sedangkan kebudayaan Yunani klasik melihatnya sebagai pasangan Gaia dan Chaos. Kedua kekuatan saling bertentangan itu sebenarnya bersifat komplementaris, saling melengkapi, khususnya dilihat dari perannya untuk menjaga keberlangsungan proses yang menjadi sifat dasar semesta.
Tidak terdapat kenyataan objektif yang menunggu untuk diungkapkan rahasianya. Tidak ada rumus yang tetap untuk menerangkan realitas. Yang ada hanyalah apa yang kita ciptakan melalui hubungan manusia dengan manusia dan dengan peristiwa. Dengan demikian segala sesuatu selalu baru dan unik (Wheatley, 1999). Dengan kata lain, kenyataan hanya akan mewujud jika ada pengamat. Tanpa kehadiran pengamat, tidak akan ada kenyataan. Kehadiran pengamat akan meruntuhkan gelombang probabilitas menjadi kenyataan tunggal.
Dengan demikian, penjelasan atau deskripsi ilmiah yang selama ini diyakini bersifat objektif yaitu terlepas dari manusia yang mengamati dan dari proses pengetahuan, tidak lagi dapat dipertahankan. Kesadaran baru terhadap adalah bahwa epistemologi, pemahaman atas proses ilmu pengetahuan, secara eksplisit tercakup ke dalam penjelasan terhadap fenomena alam. Ini menunjukan bahwa realitas tergantung pada cara pandang kita. Walaupun pada saat ini belum disepakati format epistemologi yang tepat, namun mulai dapat diterima bahwa epistemologi harus menjadi bagian integral dari setiap teori ilmiah(Capra, 1991).
Konsekuensi logis dari pergeseran yang dimaksudkan di atas adalah bahwa semua penjelasan ilmiah bersifat "perkiraan deskriptif" bukan merupakan "kebenaran absolut" sebagaimana yang diyakini dalam paradigma Newtonian. Paradigma lama didasarkan pada keyakinan bahwa pengetahuan ilmiah mampu mencapai kepastian yang mutlak dan final. Sedangkan dalam paradigma baru, diakui bahwa semua konsep, teori, dan hasil penyelidikan selalu terbatas dan hanya bersifat perkiraan.
Ilmu pengetahuan tidak akan pernah mampu memberikan pemahaman yang lengkap dan definitif terhadap realitas. Teori ilmiah tidak mampu membuat gambaran realitas secara lengkap dan pasti. Teori-teori tersebut selalu hanya merupakan perkiraan terhadap hakikat realitas sejati. Kisah tentang beberapa orang buta yang mendiskusikan wujud seekor gajah merupakan contoh yang sangat baik digunakan untuk menggambarkan keterbatasan ilmu dalam merefleksikan semesta. Orang buta yang memegang kaki gajah menjelaskan bahwa gajah sangat menyerupai batang pohon kelapa. Kemudian yang memegang ekornya menyimpulkan bahwa gajah adalah seutas cambuk. Yang memeriksa bagian tubuh yang lain memiliki kesimpulan yang lain pula. Semua kesimpulan itu benar karena dapat menggambarkan sebagaian dari realitas, tetapi sekaligus salah karena tidak menggambarkan sosok gajah yang sebenarnya.
Hak ini dapat mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa tidak ada bentuk pengukuran yang netral, karena disadari bahwa semua objek pengamatan, termasuk pengamatnya sendiri saling terkait dengan "objek" yang lainnya. Kontekstualisme merupakan kepekaan terhadap saling ketergantungan antara bagaimana segala sesuatu terlihat dan lingkungannya yang menyebabkannya tampak demikian.
Perbandingan antara objektivisme dan kontekstualisme
Unsur Filsafat Ilmu
Objektivisme
Kontekstualisme
Ontologi
Realitas berdasarkan objek. Kebenaran bersifat absolut
penjelasan atau deskripsi ilmiah yang selama ini diyakini bersifat objektif yaitu terlepas dari manusia yang mengamati dan dari proses pengetahuan
bahwa " kebenaran" tidaklah bersifat objektif. Kebenaran sangat tergantung pada pengamat dan cara mengamati. Artinya bersifat kontekstual
tidak ada kebenaran absolut karena semuanya tergantung kepada cara pandang atau paradigma yang kita anut
kenyataan hanya akan mewujud jika ada pengamat. Tanpa kehadiran pengamat, tidak akan ada kenyataan. Kehadiran pengamat akan meruntuhkan gelombang probabilitas menjadi kenyataan tunggal.
Epistemologi
Subjek dalam hal ini manusia dapat mengamati, mengukur, dan memahami objek sebagaimana adanya, tanpa pengaruh atau dipengaruhi oleh objek. Hasil pengamatan itu sendiri bersifat objektif, dalam arti bukan merupakan hasil konstruksi mental manusia dan juga tidak dipengaruhi oleh proses pengamatan.
Agar dapat menghasilkan kebenaran ilmiah, proses pengamatan harus dilakukan berdasarakan metode ilmiah yang shahih. Jika tidak, hasil yang diperoleh harus ditolak.
Realitas sangat tergantung kepada posisi dan cara kita mengamatinya
Wujud semesta/realitas di interpretasikan sesuai dengan persepsi manusia yang dibentuk oleh akumulasi pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki
Semesta sangat partisipatif
Aksiologi
Ini membuat manusia merasa bebas untuk mengamati semesta demi mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk memanipulasi, mengontrol dan memanfaatkannya. Dengan kata lain, objektivisme mendorong lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan dominasi manusia terhadap lingkungannya
alam semesta terdiri dari unsur-unsur yang bertentangan tapi saling melengkapi. Kedua kekuatan saling bertentangan itu sebenarnya bersifat komplementaris, saling melengkapi, khususnya dilihat dari perannya untuk menjaga keberlangsungan proses yang menjadi sifat dasar semesta.
Kontekstualisme memberikan pelajaran bahwa kita harus bisa menerima perbedaan sudut pandang, kebenaran tidak bersifat absolut karena tergantung sudut pandang, oleh karena itu tidak ada bentuk pengukuran yang netral, karena disadari bahwa semua objek pengamatan, termasuk pengamatnya sendiri saling terkait dengan "objek" yang lainnya. Kontekstualisme merupakan kepekaan terhadap saling ketergantungan antara bagaimana segala sesuatu terlihat dan lingkungannya yang menyebabkannya tampak demikian.
Sumber :
Kemandirian Lokal(Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains baru) Karya Prof. Dr. Eng. A. Mappadjantji Amien, DEA
Filsafat Ilmu Karya Prof. Dr. Endang Komara, M. Si
Wikipedia
Ket:* ) Individual Assignment for Master of Regional Planning and Development at Hasanuddin University
Supervised by Prof.Dr.Eng Dadang A. Suriamiharja,M.Eng