REFERAT
Mieloma Multipel
Pembimbing:
dr. Rensa, Sp.PD
Penyusun:
Clarissa
2013-061-071
Marcelina Grace Tjondro Tjondro Putri Putri 2013-061-075
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta Periode 07 Juli 2014 – 20 20 September 2014
BAB I PENDAHULUAN
Mieloma multipel (MM) merupakan 1% dari seluruh keganasan dan memiliki prevalensi 10% dari seluruh keganasan hematologis sehingga merupakan keganasan hematologis tersering kedua di dunia setelah Limfona non-Hodgkin. Pada tahun 2010 di Amerika Serikat didapatkan lebih dari 20.180 kasus baru MM. MM lebih sering dijumpai pada kaum laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2,2 : 1,7, lebih tinggi prevalensinya pada ras Afrika-Amerika dibandingkan dengan ras Kaukasia. Penyakit ini meningkat prevalensinya seiring juga dengan peningkatan usia. Rata-rata usia penderita yang terdiagnosis MM adalah pada usia 68 tahun, 15 % terdiagnosis dibawah usia 60 tahun, dan hanya sebanyak 2 % terdiagnosis dibawah 40 tahun.1,2,3 Insidensi dari MM tertinggi dijumpai pada kepulauan Pasifik dan Afrika-Amerika, diikuti oleh Eropa dan Amerika Utara, dan terendah insidensinya pada negara-negara berkembang termasuk wilayah Asia. Hal ini diduga disebabkan karena di negara-negara maju, angka harapan hidupnya lebih panjang dan survailans medis yang lebih sering dilakukan. Perbedaan dari segi prevalensi dan insidensi dari MM di berbagai aspek ini tidak mempengaruhi karakteristik, respons terhadap terapi, dan prognosisnya di berbagai belahan dunia. Dewasa ini kemajuan terapeutik untuk penanganan MM sudah sangat berkemban g, meskipun demikian, MM tetap menjadi salah satu kondisi yang sangat sulit untuk ditangani, hal ini dibuktikan dengan angka kematian penderita MM yang tetap tinggi. Hal tersebut yang membuat MM menjadi menarik untuk dibahas dan dipelajari lebih lanjut agar pada kehidupan sehari-hari MM dapat dikenali lebih awal sehingga dapat diberikan penatalaksanaan yang lebih dini untuk mencegah perkembangan dari pen yakit ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Mieloma multipel 2.1
Definisi
MM menggambarkan kondisi proliferasi maligna dari sel plasma yang berasal dari klonus tunggal. Sebagai akibat dari tumor dan produknya, penjamu memiliki respon berupa berbagai disfungsi organ yang menimbulkan berbagai gejala, termasuk nyeri tulang dan fraktur, gagal ginjal, kerentanan untuk terkena infeksi, anemia, hiperkalsemia, gangguan atau abnormalitas pembekuan darah, gejala-gejala neurologis, dan manifestasi dari hiperviskositas.1 Pengertian MM menurut New England Journal of Medicine adalah kelainan neoplastik sel plasma yang memiliki karakteristik proliferasi klonal dari sel plasma maligna pada sumsum tulang dan adanya protein monoklonal pada darah dan urin serta adanya disfungsi organ.4 Plasmasitoma adalah “tumor” local yang terdiri dari sel plasma yang dapat tumbuh di dalam tulang (intramedulari) atau diluar tulang (ekstramedulari atau jaringan lunak). Saat plasmasitoma berjumlah multipel, maka kondisi ini juga disebut MM.5
2.2
Produksi Protein Monoklonal oleh Sel Mieloma
Salah satu karakteristik yang dimiliki oleh sel mieloma adalah kemampuan untuk memproduksi dan mensekresi protein monoklonal ke dalam darah dan/ urin. Jumlah dari protein monoklonal yang diproduksi oleh sel mieloma bervariasi dari satu pasien ke pasien lainnya. Dalam menilai derajat MM yang diderita oleh seorang pasien, penting untuk menentukan apakah jenis multiple yang dideritanya adalah jenis high producers, low producers, atau non-secretors yang artinya tidak ada paraprotein yang disekresikan ke darah maupun urin. Dengan diketahuinya hubungan antara kadar protein dan jumlah dari
sel mieloma di dalam sumsum tulang, maka sangat memungkinkan untuk mengetahui sejauh mana dampak yang timbul akibat MM ini. Monoklonal protein ini juga dikenal dengan M-protein, protein mieloma, paraprotein, atau protein spike. Protein monoklonal disebut juga protein spike karena pada elektropforesis protein, protein ini terlihat seperti gambaran spike.5
Gambar 2.1 Sel Mieloma yang memproduksi protein-M5
2.2.1
Protein
Monoklonal
adalah
Komponen
/
Fragmen
dari
Immunoglobulin
Sel mieloma mengalami mutasi pada satu atau lebih gen yang mengatur produksi dari immunoglobulin. Protein monoklonal memiliki sekuens asam amino dan struktur yang abnormal. Pada sebagian besar kasus, fungsi antibody yang normal akan hilang dan struktur tiga dimensional dari molekulnya juga abnormal. Peningkatan produksi dari immunoglobin yang abnormal memiliki beberapa dampak, yaitu:5
Kelebihan M-protein akan terakumulasi di aliran darah d an/ dieksresikan dalam urin.
Molekul M-protein yang abnormal ini bersifat adhesive satu sama lainnya dan/ pada sel lain seperti pada eritrosit, sel endotel, dan komponen darah lainnya.
Hal ini mengakibatkan terganggunya aliran darah dan sirkulasi, serta menyebabkan sindroma hiperviskositas.
Pada 30% kasus, rantai ringan diproduksi lebih banyak daripada kebutuhannya untuk menyatu dengan rantai berat untuk membentuk suatu molekul immunoglobin yang utuh. Kelebihan rantai ringan ini disebut Bence Jones Protein, yang memiliki ukuran 22.000 Dalton dan ukuran yang kecil ini menyebabkan Bence Jones Protein dapat keluar melalui urin.
Protein M yang abnormal juga memiliki dampak: o
Melekat pada faktor-faktor pembekuan sehingga menyebabkan gangguan pembekuan darah dan phlebitis.
o
Melekat pada saraf-saraf dan menyebabkan neuropati, atau pada hormon dalam sistem sirkulasi dan menyebabkan disfungsi metabolik.
Bence Jones Protein dapat menempel satu sama lain atau pada sel-sel lain di dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan amyloidosis, Light Chain Deposition Disease (LCDD), dan Monoclonal Immunoglobulin Deposition Disease (MIDD).
2.2
Etiologi
Penyebab dari MM belum diketahui. Berdasarkan data epidemiologis, MM banyak diderita oleh mereka yang mengalami ekspos dari radiasi nuklir pada Perang Dunia II setelah waktu laten 20 tahun. MM juga lebih tinggi prevalensinya pada kelompok petani, pekerja hutan, pekerja di bidang kulit, dan mereka yang terekspos dengan produk-produk petroleum. Beberapa perubahan kromosomal juga telah ditemukan pada penderita MM, yaitu delesi 13q14, delesi 17q13, translokasi pada t(11;14)(q13;q32) dan t(4;14)(p16;q32), dan berbagai gangguan pada rekombinasi (mekanisme genetik untuk mengubah isotip rantai berat antibody pada proses transformasi genetik), meskipun hal-hal ini telah diketahui, namun belum ada penjelasan yang pasti untuk patogenesis molekular yang mendasari hal tersebut. Proses neoplastik pada MM diduga melibatkan sel-sel awal pada diferensiasi sel B.
Interleukin-6 (IL-6) juga diduga memiliki peranan dalam menentukan proliferasi sel mieloma; sebuah fraksi sel mieloma yang terpapar IL-6 in vitro memiliki respons untuk melakukan proliferasi. Hubungan IL-6 dalam mempengaruhi mieloma hingga saat ini masih kontroversial karena sulit untuk membedakan plasma sel benigna d an maligna dalam batas kriteria morfologis dalam beberapa penelitian.1
Gambar 2.2. Sel Mieloma pada Sumsum Tulang1
2.3
Patogenesis
Sel-sel MM melekat via molekul sel adhesi permukaan pada sel stromal sumsum tulang (BMSC) dan matriks ekstraselular (ECM) yang menjadi trigger untuk pertumbuhan sel, survival, resistensi obat, dan migrasu pada daerah sumsum tulang. Efek-efek tersebut terjadi karena binding langsung antara sel MM dan BMSC, serta adanya rangsangan terhadap berbagai sitokin termasuk IL-6, insulin-like growth factor type 1 (IGF-1), vascular endothelial growth factor (VEGF), dan stromal cell-derived growth factor (SDF1). Pertumbuhan, resistensi obat, dam migrasi tersebut dimediasi oleh Ras/Raf/mitogenactivated protein kinase, PI3-K/Akt, dan protein kinase C signaling cascade.1
Gambar 2.3. Patogenesis Mieloma Multipel1
2.4
Manifestasi Klinis
Nyeri tulang adalah manifestasi klinis yang paling sering dijumpai pada MM, yang diderita oleh 70 % dari pasien. Nyeri ini juga melibatkan punggung dan daerah iga, dan berbeda dengan nyeri tipikal metastasis karsinoma yang seringkali memburuk saat malam hari, nyeri pada MM dicetuskan oleh adanya gerakan. Nyeri yang konstan d an terlokalisasi pada pasien MM biasanya menggambarkan adanya fraktur patologis. Lesi tulang disebabkan oleh proliferasi dari sel tumor, aktivasi dari osteoklas yang menghancurkan tulang, serta supresi dari osteoblast yang berfungsi untuk pembentukan sel-sel tulang baru. Peningkatan aktivitas dari osteoklas diperantarai oleh osteoclast activating factors (OAF) yang diproduksi oleh sel-sel mieloma (aktivitas dari OAF dapat diperantarai oleh beberapa sitokin seperti IL-1, limfotoxin, VEGF, activator reseptor NF-(RANK) ligand, macrophage inhibitpry factor (MIP)-1, dan tumor necrosis factor (TNF)].1 Lesi tulang pada MM bersifat litik. Pembentukan tulang baru melalui aktifitas osteoblast terganggu karena adanya dickhoff-1 (DKK-1) yang diproduksi oleh sel mieloma. Hal-hal tersebut menyebabkan pemeriksaan melalui radioisotopyc bone scanning efektifitasnya
lebih rendah dibandingkan dengan plain radiography. Proses lisis dari tulang ini menyebabkan keluarnya kalsium dari tulang dan hal ini dapat menyebabkan komplikasi akut maupun kronis dari hiperkalsemia yang serius. Pada pemeriksaan fisik, adanya lesi tulang setempat dapat teraba dalam palpasi, terutama pada daerah tulang tengkorak, klavikula, dan sternum, sementara lisis dari verterebrae dapat menyebabkan kompresi medulla spinalis.
Gambar 2.4. Lesi Mieloma Multipel pada Tulang Tengkorak 1
Lesi tulang pada MM memiliki gambaran khas yang dikenal dengan gambaran “ punched out” lesion. Lesi tersebut menggambarkan lesi osteolotik murni dengan aktivitas osteoblast minimal atau tanpa aktivitas osteoblast. Kondisi lain yang sering dijumpai pada pasien MM adalah kerentanan yang sangat tinggi terhadap infeksi bacterial. Infeksi yang paling sering dijumpai adalah infeksi pneumonia dan pyelonephritis dengan kuman patogen tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan Klebsiella pneumonia pada paru, dan Escherichia coli serta berbagai patogen gram negatif lainnya pada traktus urinarius. Pada 25 % pasien, infeksi ini menjadi infeksi yang serius sejak onset awalnya. Meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi pada pasien-pasien MM memiliki beberapa faktor yang mendasari. Pertama, pasien MM akan mengalami hipogammaglobulinemia yang ber akibat menurunnya produksi antibody dan meningkatnya destruksi dari antobodi. Selain itu sebagian pasien MM juga akan memproduksi sel-sel regulasi yang tujuannya merespon sel-sel mieloma namun berdampak pada supresu sintesis antibodi normal. IgG dipecah lebih cepat disbanding dengan orang normal karena laju kataboliknye mencapai 8-16 %, sementara pada orang normal hanya sebesar 2 %. Pasien-pasien ini memiliki respons terhadap antibody yang buruk, terutama untuk antigen polisakarida yang juga terdapat pada dinding sel bakteri. Fungsi sel T pada pasien MM adalah n ormal, namun terjadi penekanan pada jumlah sel CD4+, dan juga abnormalitas dari fungsi komplemen. Faktor-faktor tersebut menyebabkan kondisi imunodefisiensi pada pasien-pasien MM. Hal lain yang menyebabkan lemahnya sistem imun adalah karena sebagian pasien seringkali juga menggunakan agen terapeutik yang menekan sistem imun, seperti dexametason, yang akibatnya dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.