BAB I PENDAHULUAN Sejak ditemukannya sinar X oleh Wilhem Rontgen pada tahun 1895 telah dilaporkan terjadinya
kerusakan
jaringan
tubuh
manusia
karena
radiasi.
Pada
permulaan
diperkenalkannya terapi radiasi, diketahui terjadinya hiperemis kulit dan terbakarnya jaringan kulit akibat radiasi. Dengan dikembangkannya teknik radiasi super voltase, kerusakan kulit akibat radiasi tidak lagi terjadi walaupun dengan dosis yang lebih tinggi. Namun, timbul masalah baru yaitu terjadinya kerusakan jaringan yang lebih dalam, termasuk saluran cerna. Di lain pihak, hamper 50% pasien kanker mendapatkan terapi radiasi dalam program pengobatannya baik secara tersendiri maupun dalam kombinasi dengan tindakan operasi atau kemoterapi.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi kolon dan rectum Kolon merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter kolon lebih besar daripada usus halus. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm), makin dekat anus diameternya makin kecil. 1,2 Kolon dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. 1,2 Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk “S”. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9 inci 1,2
Gambar 1 : Anatomi Kolon Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran- gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang
2
disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus. 1,2
Gambar 2 : Histologi Kolon Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memperdarahi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. 1,2 Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan hemorroid. 1,2
3
Gambar 3 : Vaskularisasi kolon Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui sisterna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis. 1,2
Gambar 4 : Pembuluh limfe pada kolon
4
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (meissner). 1,2 Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. 1,2
2.1 Fisiologi kolon dan rectum Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mucus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700- 1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi Terdapat sejumlah bakteri pada kolon, yang mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh. Bakteri juga memproduksi vitamin K dan juga gas, sehingga menimbulkan bau pada feses. 1,2
5
2.3 Kolitis 2.3.1 Definisi Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon yang berdasarkan penyebab dapat di klasifikasikan sebagai berikut:3,4 a. Kolitis infeksi, misalnya: shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain. b. Kolitis non-infeksi, misalnya: kolitis ulseratif, penyakit chron’s, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non spesifik (simple colitis) 1.
Kolitis Amebik (Amebiasis Kolon) Peradangan kolon yang disebabkan protozoa Entamoeba Histolytica. 3,4,5 Epidemiologi Prevalensi amebiasis di berbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi didaerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya melalui kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularan.3,6 Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang innvasif selain kista juga mengeluarkan trofozoid, namun bentuk trofozoid tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia. 3,5,6 Patofisiologi E.histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu: kista dan trofozoid yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Didalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoid yang akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang ditimbulkan bervariasi, sebagian besar asimtomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya ringan atau berat. 3,5,6 Berdasarkan pola isoenzimnya, E.histolytica dibagi menjadii golongan zymodeme patogenik dan non-patogenik. Walaupun mekanismenya belum seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoid menginvasi dinding usus dengan cara 6
mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti mengkonsumsi steroid memudahkan invasi parasit ini. Pelepasan bahan toksin menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses berlanjut timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined, kedalaman usus mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa diantara usus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi disemua bagian kolon, tersering disekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadangkadang apendiks dan ileum terminalis. 3,5,6 Akibat invasi amuba ke dinding usus timbul reaksi imunitas humoral dan imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden. 3,5,6 Gejala klinis Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa keadaan klinis pasien amebiasis adalah sebagai berikut: 3,5,6 1. Carier (cyst passer) : ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus , tanpa gejala atau hanya gejala ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri salam waktu satu tahun, sisanya (10%) berkembang menjadi kolitis ameba. 2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendi, keadaan umum pasien baik. 3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri spontan. 4. Disentri ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia. 5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan, diselingi dengan periode ringan tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, neurastenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam, atau makanan yang sukar dicerna.
7
Gambar 5 : Algoritma diagnosis kolitis amebik Diagnosis Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis-kolon, pertama kali diperiksa adanya eritrosi dalam tinja, bila positif pemeriksaan dapat dilanjutkan (lihat algoritma diagnosis). Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal pada 3 spesimen tinja yang terpisah, untuk mencari adanya bentuk trofozoit. Untuk identifikasi kistadilakukan pemeriksaan tinja dengan pengecatan trichrome, bila perlu dilakukan dengan tehnik konsentrasi tinja. 3,5,6 Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap ameba, positif pada 85-95% pasien dengan infeksi ameba yang invasif. 3,5,6 Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum terapi. Ulkus yang terjadi bentuknya khas berupa ulkus kecil, berbatas jelas dengan dasar yang melebar (undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa disekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan mikroskop setelah diberi larutan garam fisiologis. 3,5,6 Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambarannya sangat
8
bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling defect. 3,5,6
Diagnosis banding Kolitis amebik sangat perlu dibedakan dengan kolitis ulserosa atau kolitis chron’s karena pemberian kortikosteroid pada kolitis amebik menyebabkan penyebaran organisme lebih cepat dan dapat menimbulkan kematian pada pasien. 3,5,6 Diagnosis banding yang lain adalah karena infeksi shigella, salmonella, campylo bacter, Yersinia, E.coli patogen dan kolitis pseudomembran. 3,5,6 Komplikasi 1. Intestinal : berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur. 2. Ekstraintestinal : dapat terjadi abses hati, amebiasis kulit, amebiasis pleuropulmonal, abses otak, limpa, atau organ lain. Penatalaksanaan 1. Karier asimtomatik. Diberi obat yang bekerja dilumen usus (luminal agents) antara lain: Iodoquinol (dilodo-hidroxyquin) 600 mg tiga kali perhari selama 20 hari atau paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari. 3,5,6 2. Kolitis ameba akut. Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut diatas. 3,5,6 3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya: abses hati ameba). Metronidazole 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut diatas. Penggunaan 2 macam obat atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbuktu lebih efektif penggunaan dari satu macam obat. 3,5,6 Beberapa obat yang juga dapat digunakan untuk amebiasis ekstraintestinal antara lain: 1). Kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 19 hari. 2). Emetin 1 mg/KgBB/hari IM (maksimal 60 mg) selama 10 hari. Emetin merupakan obat yang efektif untuk membunuh trofozoid dijaringan atau yang berada didinding usus, tetapi tidak bermanfaat untuk ameba yang berada dilumen usus. Beberapa dasawarsa yang lalu emetin sangat populer namun saat ini tengah ditinggalkan karena efek toksiknya, yaitu dapat menimbulkan mual muntah, diare, kram perut, nyeri otot, takikardia, hipotensi, nyeri prekardial dan kelainan 9
EKG berupa inversi gelombang T dan interval QT memanjang, sedangkan aritmia dan interval QRS memanjang jarang ditemukan. Disarankan pasien yang mendapatkan obat ini dalam keadaan tirah baring dengan pemantauan EKG. Hindari penggunaan emetin bila terdapat kelainan ginjal, jantung, otot, sedang hamil atau pada anak-anak, kecuali bila dengan obat yang lain gagal. 3,5,6 2. Disentri Basiler ( Shigellosis) Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh Shigella. Epidemiologi Infeksi shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek, kurang air dan tingkat kebersihan lingkungab yang rendah. Didaerah endemik, infeksi Shigella adalah 10-15% persen penyebab diare pada anak. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relatif sedikit yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal-oral baik secara kontak langsung maupun akibat makanan atau minuman yang terkontaminasi. 3,5,6 Didaerah tropis termasuk indonesiadisentri biasanya meningkat pada musim kemarau dimana S.flexnerii merupakan penyebab penyakit terbanyak. Sedangkan dinegara Eropa dan Amerika serikat prevalensinya meningkat dimusim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii dinegara tersebut telah menurun sehingga saat ini S.sonnei adalah yang terbanyak. 3,5,6 Mikrobiologi Shigella merupakan kelompok bakteri enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif, anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan escherichia coli. Beberapa sifat yang membedakan kuman ini dengan E.coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam media glukosa dan pada umumnya laktosa negatif. 3,5,6 Dikenal 4 spesies Shigella dengan berbagai serotipe nya yaitu : S. Dysentriae (12 serotipe), S.flexnerii (14 serotipe), S.boydii (15 serotipe), dan S.sonnei (1 serotipe). Keempat spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebagai golongan A, B, C, D. 3,5,6
Patofisiologi 10
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair) disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukoit polimorfonuklear dan darah. Kolon merupakan tempat utama yang diserang shigella namun ileum terminalis dapat juga terserang. Pada kasus yang berat dan mematikan kuman dapat ditemukan juga pada lambung serta usus halus. 3,5,6 Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel disekitarnya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal yang menyertai cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan dan ulserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut, terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propria dengan abses pada kripta merupakan gambaran utama. 3,5,6 S.dysentriae, S.flexnerii dan S.sonnei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1, ShET2, toksin Shiga yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel epitel mukosa kolon dan memperberat gejala klinis. 3,5,6 Kuman Shigela jarang melakukan penetrasi ke jaringan dibawah mukosa sehingga jarang menyebabkan bakterimia. Walaupun demikian pada keadaan malnutrisi dan pasien immunocompromised dapat terjadi bakteremia. Selain itu dapat pula terjadi kolitis hemoragik dan sindrom hemolitik uremik (SHU). SHU diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh kuman Shigella. Infeksi Shigella menimbulkan imunitas humoral yang protektif untuk spesies yang sama. 3,5,6 Gejala Klinis Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis shigellosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baikdan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam bisa mencapai 40oC. Selanjutnya diare berkurang tapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan demam 11
tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan letargi. 3,5,6 Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang drai 4 minggu. Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri, dan dapat mengalami gejala shigelosis yang intermiten. 3,5,6 Diagnosis Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya kolitis namun pemeriksaan tersebut pada umumnya tidak diperlukan karena menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Indikasi sigmoidoskopi adalah bila segera diperlukan kepastian diagnosa apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau manifestasi akut kolitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi harus dikerjakan dalam waktu 4 harii dari saat gejala . pada fase akut tes serologi tidak diperlukan. 3,5,6 Diagnosis banding -
Salmonelosis
-
Sindrom diare karena enterotoksin E.coli
-
Kolera
-
Kolitis ulserosa
Komplikasi Komplikasi intestinal biasanya berupa megakolon toksik, perforasi intestinal, dehidrasi
renjatan
hipovolemik
dan
malnutrisi.
Sedangkan
komplikasi
ekstraintestinal yang telah dilaporkan cukup banyak diantaranya adalah batuk, pilek, pneumonia, meningismus, kejang, neuropati perifer, sindrom hemolitik uremik, trombositopenia, reaksi leukemoid dan arthritis (sindrom Reiter). 3,5,6 Penatalaksanaan a. Mengatasi gangguan cairan dan elektrolit dengan rehidrasi oral maupun intravena. b. Antibiotik. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah : a. Ampisilin 4 kali 500 mg per hari atau b. Kotrimoksazole 2 kali 2 tablet perhari; atau 12
c. Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari c.
Pengobatan simtomatik. Sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetikantipireik dan antikonvulsi
3. Escherichia Coli (Patogen) Infeksi kolon oleh serotipe Escherichia coli tertentu (0157:H7) yang menyebabkan diare berdarah atau tidak. 3,5,6 Epidemiologi Angka kejadian tidak diketahui pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar 21.000 orang terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat, E.coli (0157:H7) lebih sering diisolasi pada pasien diare dibandingkan dengan Shigella. Demikian juga pada pasien diare kronik di Jakarta. 3,5,6 Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1-8 hari. E.coli yang patogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada orang sehat (bukan flora normal pada manusia). 3,5,6 Patofisiologi Mekanisme terjadinya diare dan sindrom hemolitik uremik pada pasien yang terinfeksi E.coli patogen masih belum jelas. Diduga E.coli patogen melekat pada mukosa dan memproduksi toksin (Shiga-like toksin) yang bekerja secara lokal dan sistemik. Kerusakan pembuluh darah kolon akibat tokin tersebut menyebabkan lipopolisakarida dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh dan memicu terjadinya SHU. 3,5,6 Gejala klinis Manifestasi klinis sangat bervariasi, dapat berupa asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (haemorrhagic colitis), SHU, purpura trombositopenik sampai kematian. 3,5,6
Gejala klinik klasik adalah nyeri abdomen berat (severe abdominal cramp) diare yang diikuti berdarah dan sebagian pasien mengalami nausea dan vomiting. Pada umumnya suhu pasien sedikit meningkat atau normal sehingga dapat dikelirukan sebagai kolitis non-infeksi. 3,5,6 Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah namun pad asebagian pasien tidak ditemukan darah. 13
Pada pemeriksaan barium enema dapat terlihat gambaran thumbprinting pattern pada kolon ascenden dan atau transversum akibat adanya edema atau perdarahan submukosa. 3,5,6 Pada pemeriksaan koloniskopi didapatkan gambaran mukosa yang edematous dan hiperemis kadang-kadang ditemukan ulserasi superfisial. Dapat dijumpai pula pseudomembran segingga menyerupai infeksi C.difficile. 3,5,6 Pemeriksaan patologi menunjukan gambaran infeksi atau iskemik dengan pola patchy kadang-kadang dijumpai mikrotrombi fibrin. Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU pada sekitar 6% pasien antara 6-112 hari onset diare. SHU ditandai dengan adanya anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal, dan gejala sistem saraf sentral. Komplikasi neurologik berupa kejang, koma, dan hemiparesis terjadi pada sepermempat pasien SHU. Faktor resiko terjadinya SHU antara lain balita/manula, diare berdarah, febris, leukosit yang meningkat, pengobatan dengan obat anti motilitas. Prediktor keparahan SHU antara lain meningkatnya jumlah leukosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat timbuk anuria, usia dibawah 2 tahun. Mortalitas antara 3-5%.3,5,6 Diagnosis banding Kolitis pseudomembrann dan kolitis infeksi yang lain. 3,5,6 Penatalaksanaan Pengobatan infeksi E.coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan simtomatik dan suportif. Kompikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat antobiotik dan obat yang menghambat motilitas. Pemberian kotrimoksazole dilaporkan tidak mempunyai efek signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dan komplikasi SHU. 3,5,6
4.
Kolitis Tuberkulosa
Infeksi kolon oleh Mycobacterium tuberculosis. 3,4 14
Epidemiologi Lebih sering ditemukan dinegara berkembang dengan penyakit tuberkulosis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. 3,4 Patofisiologi Penyebab terbanyak Mycobacterium tuberkulosa biasanya lewat tertelannya sputum yang
mengandung
kuman.
Kadang-kadang
akibat
minum
susu
yang
tercemar
Mycobacterium bovis. Terdapat hubungan tingginya frekuensi tuberkulosis saluran cerna dengan beratnya tuberkulosis paru. Timbul 3 bentuk kelainan: 1) ulseratif pada 60% kasus, lesi aktif berupa tukak superfisial: 2) hipertrofik pada 10% kasus, bentuk lesinya berupa parut fibrosis, dan massa yang menonjol menyerupai karsinoma. 3) ulserohipertrofik pada 30% kasus terdapat ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk penyembuhan. Semua bagian disaluran cerna dapat terinfeksi namun lokasi tersering (85-90% kasus) adalah didaerah ileosekal. 3,4 Gejala Klinis Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat terjadi diare dengan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksia, demam ringan, penurunan berat badan atau ditemukan massa intraabdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tapi pada pasien tuberkulosis paru aktif ditemukannya kuman dalam tinja mungkin akibat dari kuman yang tertelan bersama sputum. 3,4
Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dari ditemukannya kuman tuberkulosis dalam jaringan baik dengan pemeriksaan mikroskopik langsung atau atas dasar hasil kultur biopsi jaringan. Sedangkan diagnosis dugaan adanya kolitis tuberkulosa adalah bila didapatkan tuberkulosis paru aktif dengan adanya kelainan ileosekal. 3,4 Pada pemeriksaan barium dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekuk mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip keganasan di cekum. Mungkin pula terbentuk fistula di usus halus. 3,4 Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang penting untuk membantu penegakan diagnosis kolitis tuberkulosa yang akan didapatkan visualisasi lesi secara langsung sekaligus 15
dilakukan biopsi untuk pemeriksaan kultur dan histopatologi. Pada tuberkulosis kolon biasanya ditemukan penyempitan lumen, dinding kolon kaku, ulserasi dengan tepi yang ireguler dan edematous. 3,4 Tes tuberkulin untuk menunjang diagnosis tuberkulosis paru didaerah endemik kurang bernilai. 3,4 Diagnosis banding Penyakit chron, amebiasis, divertikulitis dan carsinoma kolon. 3,4 Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi bisa perdarahan, perforasi, obstruksi intestinal, terbentuknya fistula dan sindrom malabsorpsi. Komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi (+30% kasus) intestinal. Mula-mula berupa obstruksi parsial yang kemudian berkembang menjadi obstruksi total. 3,4 Penatalaksanaan Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberkulosis seperti pada tuberkulosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat yang sering digunakan adalah: 3,4 •
INH 5-10 mg / KgBB atau 400 mg sekali sehari
•
Etambutol 15-25 mg / KgBB atau 900-1200 mg sekali sehari
•
Rifampisin 10 mg / KgBB atau 450-600 mg sekali sehari
•
Pirazinamid 25-35 mg / KgBB atau 1,5-2 gr sekali sehari
5. Kolitis Pseudomembran Definisi Peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudat (pseudomembran) yang melekat pada permukaan mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah menggunakan antibitotik. 3,4
16
Etiologi Walaupun umumnya timbul sebagai akibat dari penggunaan antibiotik, namun kolitis pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotik. Yang dianggap sebagai kuman penyebab adalah Clostridium difficile, toksin yang dikeluarkan menyebabkan kolitis. Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap C.difficile belum jelas. Penjelasan yang paling mungkin adalah penekanan flora normal usus oleh antibiotik memberikan kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi C.difficile disertai pengeluaran toksin. 3,4 Epidemiologi C.difficile ditemukan ditinja 3-5% pada orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun dikolon. Kolitis pseudomembran bisa mengenai semua tingkat umur. Kemungkinan tidak dilaporkannya kolitis pseudomembran karena untuk penegakan diagnosis diperlukan kolonoskopi dan pemeriksaan toksin kuman ditinja. Penularan bisa terjadi akibat kontak langsung dengan tangan, atau perantara makanan dan minuman yang tercemar. Semua jenis antibiotik kecuali aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan kolitis pseudomembran, namun paling sering adalah ampisilin, klindamisin, dan sefalosporin. 3,4 Patogenesis C.difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman mengeluarkan dua toksin utama yaitu toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelain yang terjadi, sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa yang masih utuh. Sebanyak 75% isolat C.difficile menghasilkan kedua toksin tersebut. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis maupun diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dari sediaan tinja, dengan metode ELISA masing-masing spesifitasnya 98,6% sampai 100%.3,4 Gejala klinis Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari menggunakan antibiotik, tapi mungkin pula baru timbul setelah 6 minggu antibiotik dihentikan. Gejala paling sering dikeluhkan adalah diare cair disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan tapi biasanya banyak sampai 10-20 kali dalam sehari. Mual muntah jarang ditemukan. Sebagian besar pasien mengalami demam walaupun dapat terjadi hiperpireksia, umumnya suhu tidak melampaui 38oC. Terdapat leukositosis sering melampaui 50.000/mm. Pada beberapa pasien hanya 17
diawali dengan demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul beberapa hari kemudian. Temuan lain meliputi nyeri tekan abdomen bawah, edema dan hipoalbuminemia. Yang lebih sering terjadi adalah kolitis ringan. Pada kasus yang berat dapat terjadi komplikasi berupa dehidrasi. Edema anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau perforasi kolon. Penggunaan narkotik atau antiperistaltik meningkatkan resiko megakolon. Tedesco (1982) melaporkan gejala klinis yang ditemukan pada kolitis pseudomembran dapat dilihat pada tabel 1. 3,4
Diagnosis Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu dipikirkan terjadi kolitis pseudomembran. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat dan akurat dibuat dengan melakukan kolonoskopi. Sensitivitasnya tinggi dan merupakan alat diagnostik definitif. Jika ditemukan lesi khas kolitis pseudomembran seyogyanya tetap dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Secara tipikal diawali dengan lesi kecil (2-5 mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul, mukosa diantaranya seringkali terlihat normal atau mungkin ditemukan berbagai derajat eritema, granularitas dan kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa dibawahnya mengalami ulserasi. 3,4 C.difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran yang terdiagnosis dengan kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostik karena pada pasien yang berada di rumah sakit tanpa kolitis ditemukan biakan c.difficile positif sebesar 10-25%. Sebagai standar baku adalah ditemukannya toksin B pada tinja sehubungan dengan efek sitopatik toksin B pada kultur jaringan. Karena pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal biasanya cukup memeriksa toksin A dengan ELISA. 3,4 Gambaran histopatologi kolitis pseudomembran bervariasi tergantung beratnya penyakit dan saat kapan biopsi dikerjakan. Price and Davies (1977) membagi lesi menjadi 3 tipe (tabel 2). Lesi tipe 3 yang ditandai dengan nekrosis total mukosa tidak khas karena
18
C.difficile dapat terjadi pula kasus berat lainnya misalnya kolitis iskemia. 3,4
Diagnosis banding Kolitis pseudomembran perlu dibedakan dengan kasus diare akibat patogen lain, efek samping penggunaan obat yang bukan antibiotik, kolitis non infeksi dan sepsis intra abdominal. 3,4 Penatalaksanaan Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga menjadi penyebab, juga obat yang mengganggu peristaltik dan mencegah penyebaran nosokomial. Pada kasus yang ringan keadaan sudah bisa teratasi dengan penghentian antibiotik disertai pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus dengan gejala-gejala yang lebih berat seyogyanya dilakukan pemeriksaan deteksi toksin C.difficile dan terapi spesifik per oral menggunakan metronidazole atau vankomisin. 3,4 Pada kolitis ringan sampai sedang digunakan metronidazole dengan dosis per oral 250-500 mg empat kali sehari selama 7-10 hari. Pada kasus dengan kolitis yang berat menggunakan vankomisin peroral dosisnya 125-500 mg empat kalo sehari selama 7-14 hari.alternatif pengobatan lainnya menggunakan kolestiramin untuk mengikat toksin yang dihasilkan C.difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin; diberikan peroral dengan dosis 4 gram tiga kali sehari selama 5-10 hari. 3,4 Pada kasus yang berhasil disembuhkan, ternyata dalam beberapa minggu atau bulan kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan setelah pengobatan spesifik diusahakan kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu. 3,4
2.4 Kolitis Radiasi 19
2.4.1 Definisi Peradangan kolon sebagai komplikasi abdominal dan pelvis akibat terapi radiasi terhadap terapi ginekologi (Ca servik), urologi (Ca prostat, Kandung Kemih dan testis) dan rectum.6,7,8 Walaupun kolon relatif radioresisten, namun insiden kerusakan jaringan akibat radiasi lebih tinggi dibanding segmen usus yang lain. Ini terjadi karena umumnya dosis yang diberikan untuk terapi tumor pada daerah ini lebih tinggi serta akibat rektum dan sigmoid relatif terfiksir (imobilitas) didaerah ini. 75% pasien tumor daerah pelvis dengan radioterapi akan beresiko mengakibatkan colitis radiasi. 6,8,9 2.4.2 Patofisologi dan faktor resiko Terjadinya klinis bergantung dari dosis radiasi yang diterima, cara dan frekuensi pemberian, keadaan nutrisi, umur dan adanya penyakit vaskular serta ada tidaknya operasi saluran cerna sebelumnya. Dosis radiasi adalah salah satu faktor yang berperan besar dalam menentukan toksisitas jaringan. Toksisitas terhadap gastrointestinal dilaporkan sebagai grade yang bervariasi dari asimtomatik sampai keadaan yang mengancam jiwa. Secara umum pada kolitis radiasi grade I dan II tidak membutuhkan terapi. Semakin besar lokasi radiasi semakin besar resiko terjadi nya kolitis radiasi. 6,8,9 Penyakit vaskular yang menjadi komorbiditas terjadinya kolitis radiasi diantaranya hipertensi, diabetes melitus dan aterosklerosis yang merupakan predisposisi iskemik dinding usus dan gangguan dari perbaikan jaringan. Proses mikroocclusive pada diabetes melitus merupakan predisposisi terjadinya iskemik jaringan gastrointestinal. Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa kolitis radiasi terjadi 34% lebih banyak pada pasien dengan diabetes melitus. 6,8,9 Operasi abdomen sebelumnya meningkatnkan resiko terjadinya kolitis radiasi karena terjadinya perubahan anatomik. Kemoterapi yang dikombinasi dengan radiasi juga dapat mengakibatkan meningkatnya resiko kolitis radiasi diduga dapat terjadi karena adanya perubahan siklus sel, perubahan replikasi sel, dan obat-obatan kemoterapi menyebabkan DNA lebih mudah untuk terjadi kerusakan. 8,9,10 Mekanisme kolitis radiasi bermula dari radiasi yang menyebabkan kerusakan pada DNA rantai ganda. Pertama-tama radiasi menyebabkan aktivasi signaling pathway yang mengaktivasi supresor tumor P53 yang akhirnya membuat sel mengalami apoptosis karena sel epitelial gastrointestinal cukup sensitif terhadap radiasi. Kolitis radiasi terjadi ketika
20
paparan zat radiasi mencapai ambang tertentu sehingga dapat merusak sel epitel gastrointestinal yang lain. Radiasi tersebut mengakibatkan respon inflamasi terkait sel T, makrofag, netrofil, yang akan mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi sel epitel. 6,7,10 Kerusakan lebih lanjut pada lapisan submukosa disebabkan oleh aktivasi leukosit yang mengeluarkan reaktif oksigen metabolit yang merusak protein, karbohidrat, lipid, DNA dan RNA. Proses inflamasi ini akan berlanjut, tetapi ketika radiasi dihentikan sel epitel akan beregenerasi seperti semula. Pada beberapa pasien proses inflamasi ini berlanjut lebih jauh dan menyebabkan ulserasi sehingga menjadi kronik serta menyebabkan fibrosis dan iskemik pada intestinal. 6,7,10
Gambar 6 : Grading gejala gastrointestinal pada kolitis radiasi
2.4.3 Efek radiasi pada kolon dan rektum 21
Pada radioterapi kolon dan rektum sering mngakibatkan kolitis karena secara anatomi kolon rdan rektum merupakan lokasi yang sering terkena radioterapi. Lokasi kolon, sekum dan rektum yang terfiksasi memiliki resiko yang lebih besar untuk mendapat dosis radiasi yang lebih tinggi. Kolitis radiasi akut menyebabkan gejala seperti sakit perut, diare, tenesmus dan perdarahan rektum. Kolitis radiasi kronik terjadi secara progresif, onset terjadi setelah beberapa bulan sampai tahun setelah radioterapi. 6,7,10 Suatu studi menunjukkan 15% insidensi kolitis radiasi kronik terjadi setelah radioterapi kanker serviks. Komplikasi yang dapat terjadi adalah fistula, sepsis, perforasi dan perdarahan. Gejala yang tibul diantaranya sakit perut, diare atau konstipasi. Konstipasi yang terjadi karena fibrosis dan pembentukan striktur pada kolon. Tidak seperti radiasi pada usus halus, radiasi pada kolon tidak menyebabkan penurunanal absorpsi makanan sehingga jarang terjadi gejala malabsorpsi. Radiasi menyebabkan peningkatan resiko kanker. Pasien yang mendapatkan radioterapi memiliki resiko lebih tinggi terhadap kanker terutama pasa lokasi radiasi.9,11,12 Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan atas kerusakan akibat whole body radiation dan localized iradiation. 7,12,13 Whole body Radiation Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad. Gejala awal berupa mual, muntah penurunan sekresi lambung, Dekstruksi difus mukosa sal cerna (usus halus), gangguan tulang belakang, terganggunya fungsi mukosa sal cerna, perubahan flora usus, kehilangan cairan elektrolit, sepsis (pertumbuhan mikroorganisme fakultatif). Jika dosis dradiasi < 150rad gejala dapat hilang dengan sendirinya. . 6,7,12,13 Localized irradiation Dalam fase akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dan sel2 endotel pembuluh darah saluran cerna yang diikuti dengan edema submukosa akibat terjadinya peningkatan permiabilitas kapiler. Dalam fase akut jarang ditemukan ulkus. Jika dosis yang diberikan relatif kecil, semua kerusakan ini akan reversibel tanpa sekuele. 7,13,14 Dengan meningkatnya dosis radiasi dalam fase lanjut akan terjadi ulserasi yang ekstensif dan persisten serta terjadi pelebaran ireguler dari pembuluh darah kecil yang disebut sebagai teleangiektasia. Dapat terjadi perubahan epitel yang progresif sssehingga terjadi atrofi, fibrosis bahkan bisa timbul striktur serta trombosis yang mengakibatkan iskemi jaringan. Pada kasus-kasus tertentu dapat terjadi fistula bahkan perforasi. Sebagian penulis melaporkan timbulnya efek karsinogenesis sebagai akibat lanjut dari terapi radiasi 22
namun mekanismenya belum diketahui.15,16 Manifestasi klinis kolitis radiasi dibagi atas gejala akut dan gejala kronik. Gejala akut dapat berupa mual, muntah, diare dan tenesmus. Umumnya dapat terjadi dalam kurun waktu 6 minggu setelah selesai radiasi. Sanagat jarang terjadi perdarahan pada fase akut ini. Keluhan umumnya berkurang dengan pengurangan dosis atau frekuensi pemberian serta hilang dalam waktu 2-6 bulan. Gejala kronik biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama pasca radiasi, umumnya 6-9 bulan setelah terapi radiasi selesai. Pada beberapa pasien gejala timbul setelah lebih dari sepuluh tahun pasca radiasi. Gejala yang timbul biasanya berupa hematoskezia, diare, kolik, tenesmus. 17,18 Pasien dengan perdarahan minimal umumnya tidak memerlukan transfusi darah, 70% diantaranya mengalami remisis spontan. Hanya kira-kira 5% yang memerlukan tindakan pembedahan. Namun pada pasien dalam kondisi lebih berat memerlukan tindakan transfusi darah, angka remisi spontan kecil sekali (0-20%) 50% diantaranya memerlukan tindakan pembedahan dengan tingkat kematian yang tinggi (60%). 16,17 Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan patofisiologi timbulnya keluhan dan gejala kolitis radiasi yaitu nekrosis mukus dan kerusakan vaskular submukosa. Keluhan ini biasanya disebabkan kerusakan mukosa, tetapi sebagian lagi dapat diakibatkan oleh perubahan sfingter ani interna karena kerusakan pada pleksus mienterikus. 6,7
2.5 Diagnosis dan Penatalaksanaan Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, endoskopi saluran cerna (rektosigmoidoskopi/kolonoskopi) dan pemeriksaan histopatologi. Jika pemeriksaan endoskopi sulit dilakukan (oleh karena striktur hebat atau fistula), dilakukan pemeriksaan barium enema. 6,7 Pada pemeriksaan kolonoskopi dapat ditemukan adanya gambaran teleangektasia, edema, ulkus, striktur bahkan fistula, mukosa yang kaku serta mudah berdarah. 6,7 Klasifikasi Kottmeier Derajat I keluhan ringan, kelainan mukosa minimal Derajat II diare yang sering + mucus & darah, kolonoskopi jar nekrosis, ulkus/ stenosis sedang
23
Derajat III stenosis berat sehingga dibutuhkan kolonostomi Derajat IV terdapat fistula Penatalaksanaan kolitis radiasi terutama dengan kerusakan yang berat,sampai saat ini masih merupakan masalah. Pada umumnya terapi dimulai dengan pemberian steroid enema, sulfasalazin/mesalazin serta sukralfat enema. Suatu studi prospektif menunjukkan beberapa keuntungan klinis bila sulfasalazin oral dikombinasikan dengan steroid enema dibandingkan dengan pemberian sukralfat enema sendiri. Hasil pengobatan akan lebih baik bila sulfasalazin oral dikombinasikan dengan steroid enema dan sukralfat enema. Akhir-akhir ini dilaporkan tentang efektifitas terapi oksigen hiperbarik, instilasi formalin serta ablasi laser per-endoskopi. Saclaiders dan kawan-kawan (1995) melaporkan bahwa pemakaian formalin secara topikal cukup aman dan efektif untuk pengobatan proktitis hemoragik akibat radiasi. 6,7
Gambar 7 : Perbedaan tatalaksana colitis radiasi akut dan kronik Terapi hyperbaric oksigen Hypervaric okssigen dinilai sangat efektif pada kolitis radiasi kronik dan luka yang sulit sembuh pada regio anorektal. Mekaniasme terapi oksigen hiperbarik adalah peningkatan gradien oksigen pada jaringan hipoksia yang menstimulasi terbentuknya pembuluh darah baru yang mengurangi iskemik dan nekrosis jaringan. 6,7
24
Kontrol perdarahan Kontrol perdarahan pada kolitis radiasi dapat menggunakan terapi koagulasi argon plasma yang dinilai sebagai prosedur yang simpel dan aman. Jika terapi ini gagal dapat diberikan terapi pemberian formalin lokal. Cara kedua untuk menghentikan perdarahan adalah dengan diebrikan talidomid dosis rendah yang mencegah angiogenesis. 6,7 Pembedahan Pada sepertiga pasien dengan kolitis radiasi kronik membutuhkan operasi dengan indikasi obstruksi, perforasi, fistula dan perdarahan hebat. 6,7 Pada pengalaman di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RUPN Cipto Mangunkusumo, pasien-pasien kolitis radiasi derajat I dan II memberikan respon yang cukup baik pada pengobatan dengan steroid enema dikombinasikan dengan sukralfat enema dan mesalazin enema. 6 Pada pasien dengan kerusakan berat umumnya pengobatan medikamentosa menemui kegagalan sehingga tidak jarang harus mengalami pembedahan karena perdarahan yang tidak dapat dikendalikan, stenosis atau fistula. 6
25
BAB III KESIMPULAN
Kolitis radiasi adalah peradangan kolon sebagai komplikasi abdominal dan pelvis akibat terapi radiasi terhadap terapi ginekologi (Ca servik), urologi (Ca prostat, Kandung Kemih dan testis) dan rectum. Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis radiasi yang diterima, cara dan frekuensi pemberian, keadaan nutrisi, umur dan adanya penyakit vaskular serta ada tidaknya operasi saluran cerna sebelumnya. Toksisitas terhadap gastrointestinal dilaporkan sebagai grade yang bervariasi dari asimtomatik sampai keadaan yang mengancam jiwa. Dua mekanisme yang dapat menjelaskan patofisiologi timbulnya keluhan dan gejala kolitis radiasi yaitu nekrosis mukus dan kerusakan vaskular submukosa. Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, endoskopi saluran cerna (rektosigmoidoskopi/kolonoskopi) dan pemeriksaan histopatologi. Penatalaksanaan kolitis radiasi dimulai dengan pemberian steroid enema, sulfasalazin/mesalazin serta sukralfat enema, terapi hyperbaric oksigen, kontrol perdarahan menggunakan terapi koagulasi argon plasma dan pembedahan
26
DAFTAR PUSTAKA 1. Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. 2. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta:EGC. 3. Niezam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.4thed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. P378-380 4. Kumar N, Govil A, Puri AS, Gulati R, lain M. Rawal KK, Gupta R. Tuberculosis in ulcerative colitis : bird in the bush. Trop Gastroenterol. 2005 ; 15 ; 219 5. Haque R Huston CD. Hughes M, et al. Amebiasis. N Engl J Med. 2006 ; 348 : 1565 6. Makmun, Dadang. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.4thed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. P381 7. Abobakr K Shadad, Frank J Sullivan, Joseph D Martin, Laurence J Egan. Gastrointestinal radiation injury: Symptoms, risk factors and mechanisms. World Journal of Gastroenterology. 2013. Diakses pada 6 Mei 2013 8. Yamada T. Textbook of Gastroenterology. In: Cohen SBS,editor. Radiation injury in the gastointestinal tract. 4 ed. Lippincott: Williams & Wilkins, 2003: 2760-2771 9. Coia LR, Myerson RJ, Tepper JE. Late effects of radiation therapy on the gastrointestinal tract. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1995; 31: 1213-1236 10. Emami B, Lyman J, Brown A, Coia L, Goitein M, Munzenrider JE, Shank B, Solin LJ, Wesson M. Tolerance of normal tissue to therapeutic irradiation. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1991; 21: 109-122 11. Henderson A, Andreyev HJ, Stephens R, Dearnaley D. Patient and physician reporting of symptoms and healthrelated quality of life in trials of treatment for early prostate cancer: considerations for future studies. Clin Oncol (R Coll Radiol) 2006; 735-743 12. Classen J, Belka C, Paulsen F, Budach W, Hoffmann W, Bamberg M. Radiationinduced gastrointestinal toxicity. Pathophysiology, approaches to treatment and prophylaxis. Strahlenther Onkol 1998; 174 13. Martin E, Pointreau Y, Roche-Forestier S, Barillot I. Normal tissue tolerance to external beam radiation therapy: small bowel. Cancer Radiother 2010; 14: 350-353 14. Andreyev J. Gastrointestinal complications of pelvic radiotherapy: are they of any importance? Gut 2005; 54: 1051-1054 15. Kountouras J, Zavos C. Recent advances in the management of radiation colitis. World J Gastroenterol 2008; 14: 7289-7301’ 16. Willett CG. Technical advances in the treatment of patients with rectal cancer. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1999; 45:1107-1108 17. Gunnlaugsson A, Kjellén E, Nilsson P, Bendahl PO, Willner J, Johnsson A. Dosevolume relationships between enteritis and irradiated bowel volumes during 5fluorouracil and oxaliplatin based chemoradiotherapy in locally advanced rectal cancer. Acta Oncol 2007; 46: 937-944 18. Minsky BD, Conti JA, Huang Y, Knopf K. Relationship of acute gastrointestinal toxicity and the volume of irradiated small bowel in patients receiving combined modality therapy for rectal cancer. J Clin Oncol 1995; 13: 1409-1416
27