REFERAT KOLELITHIASIS DENGAN IKTERIK
Pembimbing: dr. Raya Henri Batubara Sp.B.KBD Penyusun: Ivan Januartten 030.12.134
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 27 FEBRUARI 2017 – 6 MEI 2017
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Batu empedu di Indonesia merupakan penyakit yang sering menyerang saluran
pencernaan. Namun penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari penderitanya karena minimnya gejala yang tampak pada penderitanya. Pasien-pasien yang memiliki batu empedu jarang mengalami komplikasi. Walaupun demikian, bila batu empedu telah menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Sekitar 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau-ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Perjalanan batu empedu belum sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimptomatik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Kolelitiasis Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu. Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena kava. Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung empedu. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu, sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke kantong empedu. Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan yang berada di kantong empedu mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih sering timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.
2.2
Anatomi Sistem Bilier
2.2.1
Kandung Empedu Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk seperti buah pear,
panjangnya 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Ketika terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi: fundus, corpus, infundibulum dan leher. Fundus berbentuk bulat, dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan corpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk Hartmann’s pouch. Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan corpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu di bedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit. Arteri cystica yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri cystica dapat bervariasi tetapi hampir selalu di temukan di segitiga hepatocystica, yaitu area yang di batasi oleh Ductus cysticus, Ductus hepaticus communis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika arteri cystica mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar cystica menuju vena porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian leher. Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang
hepatik dari nervus vagus memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan hepar
2.2.2
Duktus Biliaris Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepaticus kanan dan kiri,
Ductus hepaticus communis, Ductus cysticus dan Ductus choledochus. Ductus choledochus memasuki bagian kedua dari duodenum lewat suatu struktur muskularis yang disebut Sphincter Oddi. Ductus hepaticus kiri lebih panjang dari yang kanan dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk berdilatasi sebagai akibat dari obstruksi pada bagian distal. Kedua Ductus tersebut bersatu membentuk Ductus hepaticus communis. Panjang Ductus hepaticus communis umumnya 1-4 cm dengan diameter mendekati 4mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri hepatica. Ductus hepaticus communis dihubungkan dengan Ductus cysticus membentuk Ductus choledochus. Panjang Ductus cysticus bervariasi. Dapat pendek atau tidak ada karena memiliki penyatuan yang erat dengan Ductus hepaticus. Atau dapat panjang, di belakang, atau spiral sebelum bersatu dengan Ductus hepaticus communis. Variasi pada Ductus cysticus dan titik penyatuannya dengan Ductus hepaticus communis penting secara bedah. Bagian dari Ductus cysticus yang berdekatan dengan bagian leher kandung empedu terdiri dari lipatan-lipatan mukosa yang disebut Valvula Heister.
Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan diameter 5-10 mm. Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas dari ligamen hepatoduodenal, disebelah kanan Arteri hepatica dan di anterior Vena porta. Bagian retroduodenal berada di belakang bagian pertama duodenum, di lateral Vena porta dan Arteri hepatica. Bagian terbawah dari Ductus choledochus (bagian pankreatika) berada di belakang caput pankreas dalam suatu lekukan atau melewatinya secara transversa kemudian memasuki bagian kedua dari duodenum. Ductus choledochus bergabung dengan Ductus pancreaticus masuk ke dinding duodenum (Ampulla Vateri) kira-kira 10 cm distal dari pylorus. Kira-kira 70% dari Ductus ini menyatu di luar dinding duodenum dan memasuki dinding duodenum sebagai single ductus. Sphincter Oddi, yang merupakan lapisan tebal dari otot polos sirkuler, mengelilingi Ductus choledochus pada Ampulla Vateri. Sphincter ini mengontrol aliran empedu, dan pada beberapa kasus mengontrol pancreatic juice ke dalam duodenum.
2.3
Fisiologi
Fungsi kandung empedu, yaitu: a) Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati. b) Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu. Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati. Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke duodenum. Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid. Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh. Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam feses. 2.4
Gambaran Klinis Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu tidak masuk
ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung duktus sistikus barulah dapat menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu kecil, ada kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati duktus koledokus dan masuk ke duodenum. Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun. Gejalanya mencolok: nyeri saluran empedu cenderung hebat, baik menetap maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu, sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi dan intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan lain-lain. 2.5
Komplikasi Kolelitiasis
2.5.1
Kolesistitis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu. 2.5.2
Kolangitis Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi
yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu. 2.5.3
Empiema Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera. 2.6
Tipe Batu Empedu Ada 3 tipe batu empedu, yaitu:
2.6.1
Batu Empedu Kolesterol Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah
kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti buah murbei. Batu Kolesterol terjadi kerena konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Penyebab lain adalah pengosongan cairan empedu di dalam kantong empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa cairan empedu di dalam kantong setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi pengendapan. 2.6.2
Batu Empedu Pigmen Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu
pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecilkecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), pengendapan garam bilirubin kalsium dan akibat penyakit infeksi. 2.6.3
Batu Empedu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan terdiri atas kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium. Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque. 2.7
Patogenesis Kolelitiasis Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan
kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam empedu. Hati berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu; sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal kolesterol monohidrat yang padat. Etiologi
batu
empedu
masih
belum diketahui
sempurna.
Sejumlah
penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin kalsium. Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah. 2.8
Ikterus
2.8.1
Definisi Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Pernumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning dalam plasma darah
yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang
memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk kalau
produksinya
dari
heme
melampaui
metabolisme
dan
ekskresinya.
Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L) atau sekitar 2 kali batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.0 mg/d.
2.8.2
Patofisiologi Ikterik Patofisiologi ikterik dibagi menjadi 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, dan
pascahepatik. Ikterik terjadi apabila minimal salah satu dari 3 fase tersebut mengalami kelainan. 1) Fase Prehepatik Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh halhal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah). a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang oleh sel sel retikuloendotelial, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni. 2) Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin. a. Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk. 3) Fase Pascahepatik Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor. a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik.
2.9
Faktor Resiko Faktor risiko untuk kolelitiasis, yaitu: a) Usia Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan: 1) Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan. 2) Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya usia. 3) Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah. b) Jenis Kelamin Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya selalu pada wanita.
c) Body Mass Index Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu. d) Makanan Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. e) Aktifitas Fisik Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi. 2.10
Diagnosis
2.10.1 Anamnesis Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. 2.10.2 Pemeriksaan Fisik Apabila
ditemukan
kelainan,
biasanya
dengan
berhubungan
dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, empiema kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas. Batu saluran empedu juga tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dL, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empdu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis. 2.10.3 Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan radiologis USG merupakan pemeriksaan standard, yang sangat baik untuk menegakkan diagnosa Batu Kantong Empedu. Kebenaran dari USG ini dapat mencapai 95% di tangan Ahli Radiologi. Foto polos abdomen juga dapat membantu diagnosis. Kadangkadang diperlukan CT Scan apabila batu berada di saluran empedu. b) Pemeriksaan laboratorium Batu kandung empedu yang asimptomatik, umumnya tidak menunjukkan kelainan laboratorik. Kenaikan ringan bilirubin serum terjadi akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. 2.11
Penatalaksanaan
2.11.1 Penatalaksanaan Non Bedah a) Disolusi Medis Disolusi medis adalah upaya melisiskan batu dengan obat-obatan. Metode ini sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik paten. Namun cara ini jarang digunakan mengingat umumnya hanya bermanfaat pada batu jenis kolesterol dan secara statitstik memiliki tingkat kekambuhan yang cukup tinggi. b) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya adalah disintegrasi batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi partikel yang lebih kecil. Pemecahan batu menjadi partikel kecil bertujuan agar kelarutannya dalam asam empedu menjadi meningkat serta pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan kontraksi kandung empedu juga menjadi lebih mudah. 2.11.2 Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektomi Terbuka Operasi ini diindikasikan untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. b) Kolesistektomi Laparoskopik Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.
BAB III
KESIMPULAN Kolelitiasis merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita, orang dengan BMI tinggi, diet tinggi lemak, dan aktivitas kurang. Umumnya penderita kolelitiasis tidak memberikan gejala sehingga seringkali tidak terdiagnosis pada fase-fase awal penyakit. Untuk mendiagnosis kolelitiasis dilakukan anamnesis dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang radiologi dan pemeriksaan penunjang laboratorium. Penatalaksanaan bisa dengan non bedah ataupun dengan pembedahan namun umumnya tetap dilakukan pembedahan dan metode yang paling baik adalah kolesistektomi laparoskopik karena tidak memerlukan luka sayatan yang besar.
DAFTAR PUSTAKA 1. Price, S, Lorraine, M., 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta 2. Hadi, S., 2002. Gastroenterologi. Penerbit PT Alumni. Bandung 3. Lesmana, L., 2006. Penyakit Batu Empedu. Edisi ke IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
4. Lesmana L. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384. 5. Suratun, L., 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem
Gastrointestinal. Penerbit Trans Info Media. Jakarta 6. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9. 7. Sabiston David C. Jr.. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.2010.115-128 8. Tjandra J. J. A.J. Gordon. Dkk. Textbook Of Surgery.Third Edition. New Delhi:Blackwell Publishing.2006.