1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Telinga luar berfungsi menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari luar. Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna auricularis), saluran telinga (canalis auditorius externus) yang mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar sebasea sampai membran timpani. (Liston L, 1997) Liang telingan atau saluran telinga merupakan saluran yang berbentuk seperti hurus S. Pada 1/3 paroksimal memiliki kerangka tulang rawan dan 2/3 distal memiliki kerangka tulang sejati. Saluran telinga mengandung rambutrambut halus dan kelenjar lilin. Rambut-rambut halus erfungsi untuk melindungi saluran telinga dari kotoran, debu dan serangga, seentara kelenjar sebasea berfungsi menghasilkan serumen. Serumen adalah hasil produksi produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Kelenjar sebasea terdapat pada kulit liang telinga. (Hafil AF, 2007) Pemeriksaan radiologi merupakan alat penunjang diagnostik yang penting dalam diagnosis penyakit telinga. Setelah memperoleh riwayat lengkap dan pemeriksaan telinga tengah dan mastoid yang cermat dengan otoskop, maka dapat diputuskan perlu tidaknya pemeriksaan radiologis. (Paparella MM, 1997) Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh karena, tulang temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan beberapa struktur tulang tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur yang unik karena ukurannya yang kecil yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi yang ekstensif. Oleh karena densitas berlainan dari komponen tulangnya dan ruang yang berisi udara dan cairan disekeliling dan didalamnya, tulang temporal memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini dapat dibuat dengan pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi yang khas. (Valvassori, GE & Becker W, 1994)
2
Banyaknya kelainan yang didapat pada telinga bagian luar, sehingga bisa lakukan juga dengan pemeriksaan penunjang untuk melihat bentuk dari kelainan yang ada pada bagian bagian telinga yang mengalami kelainan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI TELINGA Telinga sebagai indera pendengar terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga seperti diperlihatkan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur anatomi telinga ( Fox S. 2011) 2.1.1 Telinga Bagian Luar Telinga luar berfungsi menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari luar. Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna auricularis), saluran telinga (canalis auditorius externus) yang mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar sebasea sampai membran timpani. (Liston L, 1997) Daun telinga terdiri atas tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-bagian daun telinga lobula, helix, anti helix, tragus, dan antitragus.
4
Liang telinga atau saluran telinga merupakan saluran yang berbentuk seperti hurus S. Pada 1/3 paroksimal memiliki kerangka tulang rawan dan 2/3 distal memiliki kerangka tulang sejati. Saluran telinga mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar lilin. Rambut-rambut halus erfungsi untuk melindungi saluran telinga dari kotoran, debu dan serangga, seentara kelenjar sebasea berfungsi menghasilkan serumen. Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Kelenjar sebasea terdapat pada kulit liang telinga. (Hafil AF, 2007) 2.2 Radiologi Telinga Pemeriksaan radiologi merupakan alat penunjang diagnostik yang penting dalam diagnosis penyakit telinga. Setelah memperoleh riwayat lengkap dan pemeriksaan telinga tengah dan mastoid yang cermat dengan otoskop, maka dapat diputuskan perlu tidaknya pemeriksaan radiologis. (Paparella MM, 1997) Pemeriksaan radiologi pada telinga berfungsi untuk menentukan: a. Struktur anatomi tulang mastoid, meliputi sel udara mastoid, diploe dan sklerotik mastoid. b. Mendeteksi adanya perubahan patologis seperti perselubungan pada sel mastoid, erosi pada tulang dan pembentukan kavitas. c. Keadaan telinga dalam, kanalis auditorius interna, kanalis semisirkularis dan nervus fasialis. d. Keadaan tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah. Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh karena, tulang temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan beberapa struktur tulang tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur yang unik karena ukurannya yang kecil yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi yang ekstensif. Oleh karena densitas berlainan dari komponen tulangnya dan ruang yang berisi udara dan cairan disekeliling dan didalamnya,
5
tulang temporal memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini dapat dibuat dengan pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi yang khas.(Valvassori, GE & Becker W, 1994) A. Pemeriksaan Rontgen Pemeriksaan radiologi konvensional pada tulang temporal mempunyai nilai penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan pyramid tulang petrosa. Dengan pemeriksaan radiologi konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal kearah tulang temporal.8 Hal ini bermanfaat untuk mempelajari mastoid, telinga tengah, labirin dan kanalis akustikus internus. (Paparella MM, 1997) Beberapa proyeksi radiologik meliputi (Valvassori, GE & Becker W, 1994): 1. Posisi Schuller Posisi ini menggambarkan penampakan lateral mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan sinar-X ditujukan dengan membentuk sudut 30o cephalo-caudad. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis. 2. Posisi Owen Posisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid dan proyeksi dibuat dengan kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 30o menjauhi film dan berkas sinar-X ditujukan dengan sudut 30-40o cephalo-caudal. Umumnya posisi owen dibuat untuk memperlihatkan kanalis auditorius eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran dan sel udara mastoid.
6
3. Posisi Stenvers Kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 45o menjauhi film dan berkas sinar-X Posisi Stenvers memperlihatkan sumbu panjang pyramid petrosus dengan kanalis akustikus internus, labirin dan antrum.
Gambar: posisi stenvers (Vogl TJ,1999)
B. Computed Tomography Pemeriksaan tomografi komputerisasi diperlukan untuk dapat melakukan penilaian struktur kecil dari tulang temporal yang memerlukan ketajaman yang tinggi dan irisan yang tipis, serta dapat menentukan detil-detil tulang yang jelas seperti osikel, fenestra ovale dan kanalis fasialis. Adapun proyeksi CT tulang temporal adalah dengan potongan aksial, potongan koronal dan potongan sagital. (Kumar de S, Valvassori, & Kim SK: 1966)
C. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
7
MRI merupakan teknik imaging yang tidak menggunakan radiasi, dengan keunggulan MRI dapat menilai jaringan lunak lebih jelas. Sudut pengambilan MRI sama dengan CT Scan, aksial dan koronal. Peran MRI untuk menunjukkan patologi di telinga tengah sangat terbatas, namun untuk menunjukkan kolesteatom lebih baik dari pada CT Scan, serta lebih memberikan keterangan tentang terkenanya n.fasialis. Kekurangan MRI adalah kurang memberikan informasi tentang keadaan tulang. (Helmi, 2004) 2.3 Radiologi Kelainan Telinga Luar 2.3.1 Keratosis Obturan Keratosis obturan adalah akumulasi atau penumpukan deskuamasi lapisan keratin epidermis pada liang telinga, berwarna putih seperti mutiara, sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta kurang pendengaran. Penyakit ini tidak mengenai bagian kartilagenous meatus auditorius eksternus. Secara khas, lesi ini hanya sebatas meatus, tanpa menyebabkan destruksi tulang. Bila tidak ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi kulit dan destruksi bagian tulang meatus auditorius eksternus. keratosis obturans sebenarnya telah diperkenalkan oleh Wreden pada tahun 1874 untuk membedakannya dengan impaksi serumen. ETIOLOGI Keratosis obturans hingga saat ini belum diketahui. Namun, mungkin disebabkan akibat dari eksema, seboroik dan furonkulosis. Penyakit ini kadang-kadang dihubungkan dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik. PATOGENESIS Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal epitel pada lapisan kulit liang telinga. Secara normal, epitel dari permukaan membran timpani pars flaksida bermigrasi turun ke pars tensa dan kemudian bergerak secara inferior melewati membran timpani. Namun, pergerakan sel epitel pada penyakit ini nampak terbalik. Kegagalan migrasi ini atau adanya obstruksi pada saat migrasi
8
yang disebabkan oleh lapisan keratin menyebabkan akumulasi debris epitel pada meatus bagian dalam. Hal ini sesuai dengan studi tentang kulit normal pada telinga luar yang dilakukan oleh Alberti (1964) menunjukkan bahwa secara normal terdapat migrasi epitel dari membran timpani ke meatus auditorius eksternus. GEJALA KLINIS Gejala klinis dapat timbul pada penyakit ini adalah tuli konduktif ringansedang, nyeri telinga yang hebat, liang telinga ang lebih lebar, membran timpani yang utuh lebih tebal dan tinitus serta jarang ditemukan otorea. Gangguan pendengaran dan nyeri hebat disebabkan oleh desakan gumpalan epitel berkeratin diliang telinga. Keratosis disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik serta bilateral. DIAGNOSIS Anamnesis Gejala paling umum pada keratosis adalah kehilangan pendengaran, otalgia yang hebat, otorea dan tinnitus yang bilateral disertai dengan bronkiekstasis dan sinusitis kronik. Pemeriksaan Fisis Selain pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan otologi menjadi perhatian khusus. Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya penilaian demam, perubahan status mental dan penilaian lainnya yang dapat memberikan petunjuk kearah komplikasi. Pada inspeksi, tampak terlihat adanya obstruksi di sepanjang membran timpani pada meatus auditorius eksternus oleh gumpalan debris keratin berwarna putih berisi serumen berwarna coklat bagian tengah. Adanya gumpalan keratin dalam meatus auditorius eksternus meningkatkan tekanan pada dinding meatus sehingga terjadi remodeling tulang. Hal ini menyebabkan pelebaran tulang pada MAE yang disertai oleh inflamasi epithelium. Tes Rinne dan Weber dengan
9
menggunakan garputala 512 Hz dilakukan untuk mengetahui tuli konduksi dan dibandingkan dengan pemeriksaan audiometri. PEMERIKSAAN PENUNJANG - Radiologi: Pada CT-Scan tulang temporal dapat memperlihatkan erosi dan pelebaran meatus.
Gambar 2.2 Coronal CT image of keratosis obturans demonstrates a soft-tissue plug in the external canal ( ∗ ), with mild expansion of the canal but no bone erosion. (Piepergerdes MC, 1980) Go to publication
- Patologi: Sumbatan keratin pada keratosis obturans terlihat seperti garis geometric di dalam meatus auditorius eksternus yang terlihat seperti gambaran onion skin. Gambaran patologi ini dihubungkan denagan adanya hyperplasia di bawah epithelium dan adanya inflamasi kronik pada jaringan subepitelium. PENATALAKSANAAN Pengobatan pada Keratosis obturan berupa pengangkatan desquamated squamous epithelium. Selain itu, dapat dilakukan operasi dengan general anestesi untuk debridement, canal plasty dan timpano mastoidektomi dapat dilakukan untuk mencegah berlanjutnya erosi tulang.
10
Penyakit ini biasanya dapat dikontrol dengan melakukan pembersihan liang telinga secara periodik setiap 3 bulan, mengurangkan akumulasi debris. Pemberian obat tetes telinga dari campuran alkohol atau gliserin dalam peroksid 3%, tiga kali seminggu seringkali dapat menolong. Pada pasien yang telah mengalami erosi tulang liang telinga,
sering
kali
diperlukan tindakan bedah dengan melakukan tandur jaringan ke bawah kulit untuk menghilangkan gaung di dinding liang telinga. Yang penting ialah membuat agar liang telinga berbentuk seperti corong, sehingga pembersihan liang telinga secara spontan lebih terjamin.
2.3.2 Otitis Eksterna Maligna ETIOLOGI Organisme penyebab otitis eksterna maligna adalah Pseudomonas aeruginosa menempati 80-85 %. Organisma penyebab yang lainnya seperti Streptococcus aureus, golongan Proteus, serta golongan Aspergillus. (Elfiaty AS, 2007) PATOFISIOLOGI Otitis eksterna maligna merupakan infeksi yang menyerang meatus akustikus
eksternus
dan
tulang
temporal.
Organisme
penyebabnya
adalah Pseudomonas aeruginosa, dan paling sering menyerang pasien diabetik usia lanjut. Pada penderita diabetes, pH serumennya lebih tinggi dibanding pH serumen non diabetes. Kondisi ini menyebabkan penderita diabetes lebih mudah terjadi
otitis
eksterna.
Akibat
adanya
faktor immunocompromize dan
mikroangiopati, otitis eksterna berlanjut menjadi otitis eksterna maligna. Infeksi dimulai dengan otitis eksterna yang progresif dan berlanjut menjadi osteomielitis pada tulang temporal. Penyebaran penyakit ini keluar dari liang telinga luar
11
melalui
Fisura
Santorini
dan
osseocartilaginous
junction.(Elfiaty
AS,
2007,Grandis JR, 2004) Otitis eksterna maligna menyebar melalui Fisura Santorini untuk sampai ke dasar tulang tengkorak. Data histopatologi menunjukkan bahwa infeksi menyebar sepanjang vaskuler. Di bagian anterior dapat mempengaruhi fossa mandibula dan kelenjar parotis. Di sebelah anteromedial infeksi, dapat menyebar ke arteri karotis. Selain itu juga dapat menyebar melalui tuba eustachius untuk sampai ke fossa infratemporal dan nasofaring. Hipestesia ipsilateral dapat terjadi jika saraf kelima dilibatkan. Penyebaran ke intrakranial dapat menyebabkan meningitis, abses otak, kejang dan kematian. Bagian posteroinferior dapat menyebabkan flebitis dan trombosis supuratif bulbus juguler dan sinus sigmoid. Ini dapat menyebabkan mastoiditis dan kelumpuhan saraf fasial. Penyebaran secara inferior dapat menyebabkan paralisis saraf glosofaringeal (IX), vagus (X), hipoglosus (XI), dan aksesorius (XII), menyebabkan disfagia, aspirasi dan suara serak. (Matthew J,2008)
Gambar 3. Gambaran anatomi tempat terjadinya infeksi pada otitis eksternal maligna. (Askaroellah, 2006)
12
Manifestasi Klinis Gejala otitis eksterna maligna adalah: rasa gatal di liang telinga yang dengan cepat diikuti dengan nyeri, sekret yang banyak serta pembengkakan liang telinga. Kemudian rasa nyeri tersebut akan semakin hebat, liang telinga tertutup oleh jaringan granulasi yang cepat tumbuhnya. Saraf fasialis dapat terkena, sehingga menimbulkan paresis atau paralisis fasial. (Elfiaty AS,2007) Kelainan patologik yang penting adalah osteomielitis yang progresif, yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas aeroginosa. Penebalan endotel yang mengiringi diabetes mellitus berat, kadar gula darah yang tinggi yang diakibatkan oleh infeksi sedang aktif, menimbulkan kesulitan pengobatan yang adekuat. (Elfiaty AS,2007) DIAGNOSIS Diagnosis otitis eksterna nektrotikan dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Empat gejala yang menonjol adalah otalgia yang menetap lebih dari 1 bulan, otore purulen dan menetap dengan adanya jaringan granulasi dalam beberapa minggu, riwayat diabetes mellitus, status imun yang rendah dan usia lanjut, dan adanya gangguan saraf kranial. 1. Anamnesis Pasien yang menderita otitis eksterna maligna umumnya usia lanjut, menderita diabetes. Adanya otalgia, sakit kepala temporal, otore purulen dapat ditemukan pada pasien ini. Kadang – kadang pasien mempunyai riwayat penggunaan antibiotik dan obat tetes telinga pada otitis eksterna tanpa adanya perubahan gejala yang bermakna.
13
2. Pemeriksaan Fisis Pada
pemeriksaan
inspeksi
dapat
ditemukan
adanya
kulit
yang
mengalami inflamasi, hiperemis, udem dan tampak jaringan granulasi pada dasar meatus akustikus eksternus. Biasanya disertai dengan kelumpuhan saraf fasial, dan perlu memeriksa saraf kranial V – XII.
Gambar 2.4 Gambaran otitis eksterna maligna dengan adanya pus yang keluar dari liang telinga yang sudah nekrosis. Kelihatan aurikula membengkak dan kehilangan bentuk di daerah yang terdiri dari kartilago. (Nussebaum B, 2013)
Pemeriksaan Penunjang: a. Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan adanya peningkatan jumlah leukosit, laju endap darah dan gula darah sewaktu. Pemeriksaan kultur yang diperoleh dari sekret liang telinga sangat diperlukan untuk sensitivitas antibiotik. Penyebab utamanya adalah P. aeruginosa. Organisme ini merupakan bakteri aerob, dan gram negatif. Pseudomonas sp. mempunyai lapisan yang bersifat mukoid yang digunakan pada saat fagositosis. Eksotoksin dapat menyebabkan jaringan mengalami nekrosis dan beberapa golongan lainnya menghasilkan neurotoksin yang dapat menimbulkan neuropati. (Hanzel O,2003. Grandis JR,2004. Nussebaum B, 2013)
14
b. Radiologi Pemeriksaan tambahan dapat berupa foto X-ray mastoid (foto Schuller ). Pada foto X-ray ini ditemukan adanya perselubungan air cell mastoid dan destruksi tulang.
Gambar 2.5. Foto Schuller kanan tampak gambaran mastoiditis kroni k. (Matthew J,2008)
CT-Scan dapat menunjukkan adanya dekstruksi tulang di sekitar dasar tulang tengkorak dan meluas ke intrakranial. Pemeriksaan dengan teknik nuklir baik digunakan pada stadium awal. Scan Technetium methylene diphosphonate menunjukkan area yang mengalami osteogenesis dan osteolisis. Sedangkan Gallium menunjukkan jaringan lunak yang mengalami inflamasi. (Duvvi S, 2004)
15
Gambar 2.6. CT-Scan kepala yang menunjukkan kerusakan jaringan lunak pada MAE kiri, tulang mastoideus kiri, fossa infra-temporalis dan dasar tulang tengkorak (anak panah). (Tandrous PJ, 2007)
3. Histopatologi Mekanisme invasi liang telinga berhubungan dengan nekrosis tulang. Proses infeksi meluas ke submukosa dan terdapat destruksi tulang. pada gambaran histologi juga dapat terlihat rusaknya jaringan menunjukkan luasnya nekrosis pada lapisan epidermis dan dermis disertai infiltrate PMN. Kartilago dikelilingi oleh jaringan inflamasi dan tampak destruksi. Pada dinding pembuluh darah menunjukkan hialinisasi. Tulang mastoid menunjukkan adanya sel – sel inflamasi akut. (Tandrous PJ, 2007) Pemeriksaan biopsi granulasi MAE perlu dilakukan untuk membedakan dengan otitis eksterna maligna dengan keganasan meatus akustikus eksterna atau osteomielitis karena Aspergillus. Pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kuman penyebab dan menentukan jenis antibiotik yang tepat. (Matthew J,2008)
16
3.1.3 Atresia Liang Telinga Atresia liang telinga kongenital merupakan salah satu kelainan kongenital pada telinga yang sering ditemukan. Kelainan ini tidak hanya terjadi pada bentuk telinga tetapi juga sering terjadi bersamaan dengan kelainan fungsi telinga. Atresia liang telinga kongenital dapat terjadi bersamaan dengan mikrotia ataupun gangguan pembentukan kraniofasial lainnya serta sering disertai dengan anomali pada telinga tengah. Kelainan ini terjadi akibat adanya gangguan pada proses embiogenesis saat kehamilan ataupun akibat adanya mutasi genetik karena pengaruh lingkungan. Jahrsdoerdoer et al mendefinisikan atresia liang telinga sebagai kelainan pada liang telinga luar dengan diameter liang kurang dari 4 mm. Atresia
liang
telinga
kongenital
melibatkan
beberapa
derajat
kelainan
perkembangan liang telinga luar dan merupakan kelainan telinga yang didapatkan sejak lahir (Nagato T et al, 2012).
Angka kejadian atresia telinga kongenital dilaporkan mencapai 1 diantara 10.000 sampai 20.000 kelahiran. Angka kejadian atresia telinga kongenital mencapai 1:3000 sampai 1:10.000 kelahiran dengan malformasi kongenital berat ditemukan pada 1:10.000 sampai 1:20.000 kelahiran. Insiden malformasi kongenital telinga mencapai 1:6000 sampai 1:6830. Salah satu penyebab utama terjadinya atresia telinga kongenital adalah adanya mutasi genetik, dimana mutasi ini juga dapat ditemukan dalam berbagai sindrom yang melibatkan atresia telinga, misalnya sindrom Treacher Collins, Goldenhar dan Klippel & Feil (Kosling S, 2009).
17
DIAGNOSIS Diagnosis dari atresia telinga kongenital dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan
penunjang.
Sebagian
besar
kasus
atresia/stenosis liang telinga tidak berhubun gan dengan penyakit lain, namun anamnesis dan pemeriksaan lengkap tetap harus dilakukan. Data prenatal dan perinatal, infeksi, trauma, penggunaan obat, riwayat kehamilan ibu (alkoholisme dan penyalahgunaan obat-obatan), riwayat kejadian pada keluarga, pendengaran, kesulitan bicara dan psikologis harus ditanyakan. Pemeriksaan harus dilakukan secara menyeluruh untuk memastikan tidak ada kelainan kongenital lainnya. Fokus utama orang tua, pada saat melihat kelainan pada telinga adalah masalah pendengarannya. Pemeriksaan pendengaran dengan Brainstem Evoked Response Audiometric Test (BERA) dapat dilakukan segera setelah lahir, dan lebih baik dilakukan dalam keadaan tidur alami tanpa sedasi. Pada kelainan telinga kongenital unilateral seringkali telinga yang berbentu k normal tidak memiliki gangguan pendengaran,
tetapi hal ini tetap harus dibuktikan. Telinga yang
mengalami kelainan biasanya mengalami tuli konduktif maksimum 60 dB dan kadang-kadang gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural yang ditemukan pada 10-15% kasus. Pada mikrotia bilateral dengan tuli konduktif, penggunaan alat bantu dengar hantaran tulang dapat membantu perkembangan bicara dan bahasa (El-hoshy et al 2008 dan Suutarla et al, 2007 ). PEMERIKSAAN PENUNJANG -
CT – Scan
18
Gambar 2.7 Ct-Scan atresia liang telinga dengan potongan axial (Chakeres DW, 1985)
PENATALAKSANAAN Pada anak-anak dengan atresia liang telinga unilateral dengan pendengaran normal pada telinga kontralateral tidak diperlukan intervensi medis segera, karena tidak memiliki manfaat yang cukup besar. Pada pasien atresia liang telinga digunakan alat bantu dengar hantaran tulang (BAHA). Bila liang telinga hanya mengalami stenosis, maka lebih dipilih alat bantu dengar hantaran udara karena lebih baik secara kosmetik, stimulasi hanya pada satu koklea, respons frekuensi luas,distorsi bunyi lebih sedikit dan lebih nyaman. Pemakai an alat bantu dengar
19
lebih awal dibutuhkan pada atresia liang telinga bilateral ( Papul et al, 2012 dan jain S et al , 2012). Sebagian besar ahli otologi menyarankan untuk menunda operasi rekonstruksi atresia unilateral sampai mencapai usia dewasa, sehingga pasien dapat mengambil keputusan sendiri dengan mempertimbangkan semua resiko dan manfaat. Operasi rekonstruksi atresia harus mempertimb angkan derajat ketulian, prediksi kenaikan pendengaran setelah rekonstruksi dan resiko cedera nervus fasialis. Peningkatan ambang dengar 25 dB atau lebih akan meningkatkan kualitas hidup penyandang atresia liang telinga, namun diperkirakan hanya 50% pasien yang dapat mencapai kenaikan seperti ini. Rekonstruksi atresia telinga bilateral tidak banyak menimbulkan dilema. Tujuan dari tindakan ini adalam memperbaiki fungsi pendengaran. Telinga yang lebih dulu dioperasi adalah telinga yang lebih baik berdasarkan gambaran tomografi komputer. Rekonstruksi atresia liang telinga bilateral dianjurkan saat anak memasuki usia sekolah (Helmi, 2005).
20
BAB III KESIMPULAN Pemeriksaan radiologi merupakan alat penunjang diagnostik yang penting dalam diagnosis penyakit telinga. Setelah memperoleh riwayat lengkap dan pemeriksaan telinga tengah dan mastoid yang cermat dengan otoskop, maka dapat diputuskan perlu tidaknya pemeriksaan radiologis. Radiologi kelainan telingan eksterna ini sendiri bisa melihat banyaknya penyakit yang curigai pada penyakit telinga itu sendiri, seperti penyakit otitis eksterna maligna, keratosis obturan, dan atresia meatus eksterna. Banyak penyakit telinga lainnya yang juga bisa dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan radiologi.