BAB I PENDAHULUAN Kelainan degeneratif adalah suatu penyakit yang muncul akibat kemunduran fungsi sel tubuh. Sehingga tubuh yang semula berfungsi secara normal dapat berkurang beberapa fungsi organ dan lainnya. Kelainan degeneratif terjadi karena adanya proses penuaan, biasanya terjadi saat usia bertambah tua. Proses menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang rentan dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit. Proses degenerasi bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang yang berusia lanjut, melainkan suatu hal yang normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan kematian. Namun, demikian kelainan kelainan degeneratif degeneratif lebih terlihat pada orang di atas usia 40 tahun. Kelainan degeneratif tulang adalah kelainan yang timbul akibat dari proses degenerasi sel tulang, berkurangnya massa otot dan menurunnya densitas tulang. Dimana hal ini akan menyebabkan beberapa penyakit pada tulang. Oleh karena itu, diperlukan beberapa pemahaman mengenai penyakit yang dapat terjadi pada saat tulang mengalami degenerasi.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. TULANG DAN SENDI 1.1 Anatomi dan Histologi Tulang Tulang terdiri dari beragam bentuk dan ukuran, ada yang panjang, ada yang pipih, ada yang bentuknya seperti biji. Secara garis besar tulang dapat di klasifikasikan berdasarkan bentuknya yang panjang, pendek, pipih dan tidak beraturan. a. Tulang panjang, yaitu tulang yang berbentuk silindris, yang terdiri dari difisis dan epifisis yang berfungsi untuk menahan berat tubuh dan berperan dalam pergerakan. b. Tulang pendek, yaitu tulang yang berstruktur kuboid yang biasanya ditemukan berkelompok yang berfungsi memberikan kekuatan dan kekompakkan pada area yang pergerakannya terbatas. Contoh tulang pergelangan tangan dan kaki c. Tulang pipih, yaitu tulang yang strukturnya mirip lempeng yang berfungsi untuk memberikan suatu permukaan yang luas untuk perlekatan otot dan memberikan perlindungan. Contoh sternum, scapulae, iga, tulang tengkorak. d. Tulang irreguler, yaitu tulang yang bentuknya tidak beraturan dengan struktur tulang yang sama dengan tulang pendek. Contoh tulang vertebrae dan tulang panggul. e. Tulang sesamoid, yaitu tulang kecil bulat yang masuk dalam formasi persendian yang bersambung dengan kartilago, ligamen atau tulang lainnya. Contoh patella.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. TULANG DAN SENDI 1.1 Anatomi dan Histologi Tulang Tulang terdiri dari beragam bentuk dan ukuran, ada yang panjang, ada yang pipih, ada yang bentuknya seperti biji. Secara garis besar tulang dapat di klasifikasikan berdasarkan bentuknya yang panjang, pendek, pipih dan tidak beraturan. a. Tulang panjang, yaitu tulang yang berbentuk silindris, yang terdiri dari difisis dan epifisis yang berfungsi untuk menahan berat tubuh dan berperan dalam pergerakan. b. Tulang pendek, yaitu tulang yang berstruktur kuboid yang biasanya ditemukan berkelompok yang berfungsi memberikan kekuatan dan kekompakkan pada area yang pergerakannya terbatas. Contoh tulang pergelangan tangan dan kaki c. Tulang pipih, yaitu tulang yang strukturnya mirip lempeng yang berfungsi untuk memberikan suatu permukaan yang luas untuk perlekatan otot dan memberikan perlindungan. Contoh sternum, scapulae, iga, tulang tengkorak. d. Tulang irreguler, yaitu tulang yang bentuknya tidak beraturan dengan struktur tulang yang sama dengan tulang pendek. Contoh tulang vertebrae dan tulang panggul. e. Tulang sesamoid, yaitu tulang kecil bulat yang masuk dalam formasi persendian yang bersambung dengan kartilago, ligamen atau tulang lainnya. Contoh patella.
2
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antar sel berkapur yaitu matriks tulang, dan 3 jenis sel yaitu osteosit, osteoblas, dan osteoklas Matriks tulang 50% dari berat matriks tulang adalah bahan anorganik, yang teristimewa dan banyak dijumpai adalah kalsium dan fosfor, namun bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium, dan natrium juga ditemukan . Bahan organik dalam matriks tulang adalah kolagen tipe I da substansi dasar, yang mengandung agregat proteoglikan dan beberapa glikoprotein struktural spesifik. Glikoprotein tulang bertanggung jawab atas kelancaran kalsifikasi matriks tulang. Jaringan lain yang mengandung kolagen tipe I biasanya tidak mengapur dan tidak mengandung glikoprotein tersebut. Karena kandungan kolagen tinggi, matriks tulang yang terdekalsifikasi terikat kuat dengan pewarna serat kolagen Gabungan mineral dan serat kolagen memberikan sifat keras dan ketahanan pada jaringan tulang. Setelah tulang terdekalsifikasi, bentuknya tetap terjaga, namun menjadi fleksibel mirip tendon. Walaupun bahan organik dari matriks tulang sudah menghilang, bentuk tulang masih tetap terjaga, namun menjadi rapuh, mudah patah dan hancur bila dipegang.
Osteoblas Osteoblas bertanggung jawab atas sintesis komponen organik matriks tulang (kolagen tipe I, proteoglikan, dan glikoprotein). Deposisi komponen anorganik dari tulang juga bergantung pada adanya osteoblas aktif. Osteoblas hanya terdapat pada permukaan tulang, dan letaknya berseblahan, mirip epitel selapis. Bila osteoblas aktif menyintesis matriks, osteoblas memiliki bentuk kuboid sampai silindris dengan sitoplasma basofilik. Bila aktivitas sintesisnya menurun seltersebut dapat menjadi gepeng dan sifat basofilik pada sitoplasmanya akan berkurang.
Osteosit Osteosit berasal dari osteoblas, terletak di dalam lakuna yang terletak di antara lamela-lamela matriks. Hanya ada satu osteosit di dalam satu lakuna. Bila dibandingkan dengan osteoblas, osteosit yang gepeng dan berbentuk kenari tersebut memiliki sedikit retikulum endoplasma kasar dan kompleks Golgi serta kromatin inti yang lebih padat. Sel-sel ini secara aktif terlibat untuk mempertahankan matriks tulang, dan kematiannya diikuti oleh resorpsi matriks tersebut.
Osteoklas Sel motil bercabang yang sangat besar. Bagian badan sel mengandung sampai 50 inti atau bahkan lebih. Pada daerah terjadinya resorpsi tulang, osteoklas terdapat di dalam lekukan yang terbentuk akibat kerja enzim pada matriks, yang dikenal dengan lakuna Howsip. Osteoklas berasal dari penggabungan sel-sel sumsum tulang belakang.Osteoklas mengeluarkan
3
kolagenase dan enzim proteolitik lain yang menyebabkan matriks tulang melepaskan substansi dasar yang mengapur.
Tulang bagian dalam dan luar di lapisi oleh pembentuk tulang dan jaringan ikat yang disebut periosteum dan endosteum. Periosteum Terdiri atas lapisan luar serat-serat kolagen dan fibroblas. Berkas serat kolagen periosteum memasuki matriks tulang dan mengikat periosteum pada tulang. Lapisan periosteum yang lebih banyak mengandung sel berpotensi membelah melalui mitosis dan berkembang menjadi osteoblas. Sel ini disebut sel osteoprogenitor dan sel ini berperan penting pada pertumbuhan dan perbaikan tulang.
Endosteum Melapisi semua rongga dalam di dalam tulang dan terdiri atas selapis sel osteoprogenitorgepeng dan sejumlah kecil jaringan ikat. Karenanya, endosteum lebih tipis daripada periosteum.
Fungsi utama periosteum dan endosteum adalah memberi nutrisi kepada jaringan tulang dan menyediakan osteoklas beru secara kontinu untuk perbaikan atau pertumbuhan tulang.
4
1.2
Anatomi Sendi Sendi merupakan perhubungan antar tulang sehingga tulang dapat digerakkan. Secara fungsional sendi dapat dibagi atas luas geraknya yaitu: a. Synarthrosis : sendi yang tidak bergerak sama sekali Articulatio fibrosa yaitu hubungan antar tulang dengan fibrous seperti pada sutura tengkorak. b. Ampiarthrosis: sendi yang bergeraknya sedikit Articulatio cartilaginea yaitu hubungan antar tulang disatukan oleh tulang rawan cartilago hyalin atau fibro cartilago seperti pada art.sacroiliaca. c. Diarthrosis: sendi yang bergerak bebas atau luas. Articulatio synovialis mempunyai karakteristik terdapat ruangan spesifik yang memungkinkan gerakan menjadi lebih bebas. Pada ruang ini terdapat cairan “Synovialis” yang berfungsi sebagai pelumas, yang dihasillkan oleh lapisan dalam pembungkus sendi (Capsule joint ) yang disebut membrana synovialis. Ujung-ujung tulang yang ditutupi tulang rawan dan di perkuat dibagian luarnya oleh kapsula sendi dan ligamentum. Kapsula sendi ada dua lapisan, yaitu: 1. Bagian luar disebut stratum (membrana) fibrosum. 2. Bagian dalam disebut stratum (membrana) synovialis. Klasifikasi sendi berdasarkan bentuk permukaan sendi: a. Sendi peluru atau art. Globaidea (ball dan socket). Sendi ini memberikan gerakan yang terbesar. Kepala sendi yang agak bulat dari tulang panjang masuk ke dalam rongga yang sesuai berbentuk cekung memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi, dan gerak panduan atau sirkumduksi. Jenis sendi ini digolongkan ke dalam sendi bersumbu tiga. Contoh sendi ini adalah art humeri dan art coxae. b. Sendi bujur telur atau art. Ellipsoidea (ellipsoid). Sendi ini merupakan modifikasi dari sendi peluru. Gerakan sedikit terbatas dan tergolong ke dalam sendi bersumbu dua. Meskipun dapat fleksi, ekstensi, abduksi dan adduksi, namun tidak rotasi. Sebagai contoh sendi-sendi metacarpophalangea dan jari-cari tangan (art. radiocarpal) c. Sendi geser (gliding, atrhrodial, plane). Permukaan-permukaan sendi berbentuk tak beraturan, biasanya datar atau sedikit lengkung. Satusatunya gerakan yang dapat dilakukan adalah menggeser, karenanya disebut nonaxial. Contoh-contoh terdapat dalam tulang – tulang tarsal dan carpal, dan juga processus articularis dari verterbrae. d. Sendi putar atau art. Trocoidea (trocoid). Gerakan pada sendi jenis ini terjadi di dalam bidang transversal dengan longitudinal. Contoh-contoh dari sendi ini ialah art.radioulna dan art. Atlanto epistrophica pada rotasi kepala. e. Sendi pelana atau art. Sellaris (sellar). Sendi ini berbentuk seperti pelana. Sendi bersumbu dua yang dapat bergerak fleksi, ekstensi, abduksi, dan adduksi, seperti pada art. Carpometacarpal dari ibu jari. 5
f. Sendi engsel atau art. Throchlearis (ginglysum/hing). Gerakan pada sendi ini ada di dalam bidang sagital dengan sumbu transversal. Fleksi dan ekstensi terjadi pada siku (art.cubiti), pergelangan kaki (art. talocrurales) dan sendi interphalangea.
2. KELAINAN DEGENERATIF TULANG 2.1 Osteoartritis 2.1.1 Definisi Osteoartritis Osteoartritis (OA) adalah gangguan sendi kronik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis rawan sendi serta matriks ekstraseluler, kondrosit dan tulang subkondral pada usia tua. Pada OA terjadi perubahan morfologi, biokimia, molekuler dan biomekanik baik pada sel kondrosit maupun matriks rawan sendi yang mengakibatkan perlunakan, ulserasi, hilangnya rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral, osteofit dan kista subkondral. Timbul rasa nyeri, nyeri tekan dan penurunan kisaran gerak sendi serta kekakuan sendi.
6
2.1.2
Etiologi Osteoartritis Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun perubahan lokal pada sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang ditengarai oleh faktor - faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA sekunder.
2.1.3
Klasifikasi Osteoartritis Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam pemeriksaan radiologis diklasifikasikan sebagai berikut: - Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda - tanda OA pada radiologis - Grade 1: Ragu - ragu, tanpa osteofit - Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar sendi - Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang cukup besar - Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi yang lebar dengan sklerosis pada tulang subkondral. American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan kesehatan seseorang berdasarkan derajat keparahan. Antara lain sebagai berikut: - Derajat 0: Tidak merasakan tanda dan gejala - Derajat 1: Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas cukup berat, tetapi masih bisa dilokalisir dengan cara mengistirahatkan sendi yang terkena osteoartritis. - Derajat 2: Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi, nyeri hampir selalu dirasakan, kaku sendi pada pagi hari, krepitus, membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga, tidak mampu berjalan jauh, memerlukan tenaga asisten dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. - Derajat 3-4: Osteofit sedang-berat, terdapat celah antar sendi, kemungkinan terjadi perubahan anatomis tulang, nyeri disetiap hari, kaku sendi pada pagi hari, krepitus pada gerakan aktif sendi, ketidakmampuan yang signifikan dalam beraktivitas.
2.1.4
Patofisiologi Osteoartritis OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodellingtulang, dan inflamasi. Terdapat fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi. - Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan 7
membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin - like growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor - faktor ini menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi. - Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF sehingga meningkatnya pro inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-1 (Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi memiliki dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan menghasilkankerusakan pada sendi. - Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot - otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling trabekula dan subkondrial. - Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi. Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan merangsang sintesis. 2.1.5
Manifestasi Klinis Osteoartritis OA dapat mengenai sendi - sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul, lutut. - Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat. 8
Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari ketika setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi. - Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan. - Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangansebagai nodus Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal (PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi yang progresif. - Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan lahan mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut.
-
2.1.6
-
Diagnosis Osteoartritis Diagnosis osteoartritis lutut American College of Rheumatology
Klinis dan laboratorium Nyeri lutut ditambah minimal 5 dari 9 keadaan dibawah ini : Umur > 50 thn Kaku < 30 mnt Krepitasi Nyeri tekan tulang Pembesaran tulang Perabaan tidak panas LED < 40 mm/mnt RF < 1/40 SF sesuai OA Sensitivitas 95% Spesifisitas 75
-
berdasarkan kriteria klasifikasi The
Klinis dan radiologis Nyeri lutut ditambah minimal 1 dari 3 keadaan dibawah ini : Umur > 50 tahun Krepitasi Osteofit Sensitivitas 91% Spesifisitas 80%
Klinis
Nyeri lutut ditambah minimal 3 dari 6 keadaan dibawah ini: - Umur > 50 tahun - Kaku < 30 menit - Krepitasi Nyeri tekan tulang Pembesaran tulang Teraba tidak panas - Sensitivitas 95% - Spesifisitas 69
Pemeriksaan Penunjang Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan pemeriksaan laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis OA walaupun sensivitasnya rendah terutama pada OA tahap awal. USG juga menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis OA karena selain murah, mudah diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI. - Radiologi Gambaran radiologi OA sebagai berikut: 9
Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang baru (semacam taji) yang terbentuk di tepi sendi. Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago akan menyebabkan penyempitan rongga sendi yang tidak sama. Badan yang longgar : badan yang longgar terjadi akibat terpisahnya kartilago dengan osteofit. Kista subkondral dan sklerosis: peningkatan densitas tulang di sekitar sendi yang terkena dengan pembentukan kista degeneratif Bagian yang sering terkena OA
2.1.7
Lutut : o Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada rongga sendi. o Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu menunjukkan penyempitan paling dini. Tulang belakang : Terjadi penyempitan rongga diskus. o Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara o vertebra yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar syaraf atau kompresi medula spinalis.Sklerosis dan osteofit pada sendi - sendi apofiseal invertebrata. Panggul : Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat o badan yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral dan asetabular. o Sklerosis dan pembentukan kista subkondral. o Penggantian total sendi panggul menunjukkan OA panggul yang sudah berat. Tangan: o Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama. o Sendi - sendi interfalang proksimal (nodus Bouchard) o Sendi - sendi interfalang distal (nodus Heberden)
Tatalaksana Osteoartritis Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi, serta memperlambat progresi osteoartritis. Spektrum terapi yang diberikan meliputi fisioterapi, pertolongan ortopedi, farmakoterapi, pembedahan, rehabilitasi. a. Terapi konservatif Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi kepada pasien, pengaturan gaya hidup, apabila pasien termasuk obesitas harus mengurangi berat badan, jika memungkinkan tetap berolah raga (pilihan olah raga yang ringan seperti bersepeda, berenang). 10
b. Fisioterapi Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching, akupuntur, transverse friction (tehnik pemijatan khusus untuk penderita OA), latihan stimulasi otot, elektroterapi. c. Pertolongan ortopedi Pertolongan ortopedi kadang - kadang penting dilakukan seperti sepatu yang bagian dalam dan luar didesain khusus pasien OA, ortosis juga digunakan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi d. Farmakoterapi
Analgesik / anti - inflammatory agents. COX-2 memiliki efek anti inflamasi spesifik. Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus selalu dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas. Contoh: Ibuprofen : untuk efek antiinflamasi dibutuhkan dosis 1200 - 2400mg sehari. Naproksen : dosis untuk terapi penyakit sendi adalah 2x250 - 375mg sehari. Bila perlu diberikan 2x500mg sehari. Glucocorticoids Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat menghilangkan efusi sendi akibat inflamasi. Contoh:Injeksi triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi hexacetonide 10 mg atau 40 mg Asam hialuronat
Kondroitin sulfat e. Operatif Indikasi dilakukan tindakan operatif bila: o Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi o Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penanganan medikamentosa dan rehabilitatif Terdapat dua tipe terapi pembedahan: 1. Realignment osteotomi Permukaan sendi direposisikan dengan cara memotong tulang dan merubah sudut dari weight bearing. Tujuannya adalah membuat kartilago sendi yang sehat menopang sebagian besar berat tubuh. Dapat pula dikombinasikan dengan ligamen atau meniscus repair. 2. Arthroplasty Artroplasti adalah prosedur rekonstruksi sendi sehingga pergerakannya lebih baik. Artroplasti eksisional adalah tindakan eksisi tulang untuk dibentuk menjadi sendi palsu baru, contohnya eksisi kaput femur lalu ruang sendi diisi dengan massa jaringan lunak seperti otot gluteus. Protesis juga dapat digunakan untuk mengganti sebagian atau seluruh sendi, contohny pada total knee replacement arthroplasty. Bila kerusakan hanya pada satu
11
kompartemen saja dilakukan hemiartriplasti, tetapi bila seluruh kompartemen rusak dilakukan artroplasti total. 2.2 Rheumatoid Artritis 2.2.1 Definisi Rheumatoid Artritis Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang beberapa sendi dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III). Proses inflamasi ini terutama mempengaruhi lapisan sendi (membran sinovial), tetapi dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago, sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak. Predileksi peradangan sinovium adalah persendian tangan dan kaki, lutut, bahu, leher, panggul.
2.2.2
Etiologi Rheumatoid Artritis Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. a. Genetik, berupa hubungan dengangen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA. d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. e. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok.
2.2.3
Patofisiologi Rheumatoid Artritis RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel - sel endotel kemudian terjadi 12
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel - sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.
Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan bagian dari sistem immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM, IgE, IgD. Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII SE) dan peptida pada antigen - presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam imunopatologisRA belum diketahi secara pasti. 2.2.4
Manifestasi Klinis Rheumatoid Artritis RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi.
13
Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan manifestasi ekstraartikular a. Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan. Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik. Sendi - sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi - sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun - tahun dari onset terjadinya.
b. Manifestasi ekstraartikular o Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan pada banyak 14
o
o
o
o
o
o
o
2.2.5
kasus terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi. Nodul, terjadi pada 30 - 40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru - paru, pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau xerostomia Paru (pulmonary), contohnyaadalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan penyakit paru interstitial Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri koreoner atau disfungsi diastol Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA yang sudah kronis Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2 - 4 kali lebih besar dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas.
Diagnosis Rheumatoid Artritis Pemeriksaan Fisik a. Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri atau deformitas, sementara tungkai yang nyeri akan lebih lama diletakkan dilantai, biasanya diikuti oleh gerakan lengan yang asimetris, disebut gaya berjalan antalgik. b. Sikap/fostur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan artikular pada sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendi tersebut senyaman mungkin, biasanya dalam posisi pleksi. c. Deformitas, akan lebih terlihat pada saat bergerak d. Perubahan kulit, kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi pada sendi. e. Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di daerah sendi tersebut f. Bengkak sendi, bisa disebabkan oleh cairan, jaringan lunak, atau tulang. g. Nyeri raba 15
h. Pergerakan, sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi pada semua arah. i. Krepitus, merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan struktur yang diserang. j. Atropi dan penurunan kekuatan otot k. Ketidakstabilan l. Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan normal, seperti bangkit dari kursi atau kekuatan menggenggam m. Nodul, sering ditemukan pada berbagai atropi, umumnya ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sacrum) n. Perubahan kuku, adanya jari tabuh, thimble pitting onycholysis atau serpihan darah Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck , dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa silikon.
Pemeriksaan Radiologis Foto polos sendi mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit, Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya (Suarjana, 2009). Setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya struktur rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel 16
Pasien RA menunjukkan adanya penebalan jaringan ikat dan penyempitan celah sendi interphalanx proksimal Gold Standart Diagnosis atau Kriteria Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis dapat berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association), yaitu: a. Kaku pagi hari di sendi dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal. b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) 3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan yang diobservasi oleh dokter. c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan. d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal). e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi dokter. f. Faktor rheumatoid serum positif, terdapat titer abnormal faktor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang membrikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa. g. Perubahan gambaran radiologis, perubahan gambaran radiologis yang khas pada AR pada pemeriksaan sinar X tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan sendi. Diagnosa AR, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ada minimal 6 minggu.
17
2.2.7
Tatalaksana Rheumatoid Artritis 1. Non-farmakologis a. Istirahat Perencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien rheumatoid arthritis karena penderita biasanya disertai dengan rasa lelah yang hebat. Kekakuan dan rasa kurang nyaman biasanya dapat diperingan dengan beristirahat. b. Latihan-latihan spesifik 1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, minimal dua kali dalam sehari. 2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini untuk mengurangi nyeri pada sendi. 3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini paling baik diatur dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang sudah mendapat latihan khusus, seperti fisioterapi atauterapis kerja. Latihan latihan ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi sendi 2. Farmakologis a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan b. Glukokortikoid Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari. Mekanisme kerja : untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan sendi. Pemberian glukokortikoid harus disertai pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU/hari (Suarjana, 2009). c. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs) Pemberian DMARD harus mempertimbangkan aspek : 1) Kepatuhan pasien 2) Beratnya penyakit 3) Pengalaman dokter 4) Adanya penyakit penyerta
DMARD
Mekanisme kerja
Dosis
Hidroksiklorokuin (Plaquenil), klorokuin fosfat
Menghambat sekresi sitokin, enzim lisosomal, dan fungsi makrofag Inhibitor dihidrofolat reduktase,
200-400 mg p.o. per hari 250 mg p.o. per hari 7,5-25 1-2 bulan mg p.o, IM atau
Methorexate (MTX)
Waktu timbulnya respon 2-6 bulan
Efek samping
Mual, sakit kepala, sakit perut, myopati, toksisitas pada retina Mual, diare, kelemahan, ulkus mulut, gangguan 18
sulfasalazin
hambat kemotaksis, efek anti inflamasi Menhambat respon sel B dan hambat angiogenesis
SC per minggu
fungsi hati, dll
2-3 p.o. hari
Mual, diare, leukopeni, gangguan fungsi hati, dll
gr 1-3 bulan per
Azathioprine(I muran)
Mengahambat sintesis DNA
50-150 mg p.o. per hari
2-3 bulan
Mual, leukopeni, sepsis, limfoma
cyclosporine
Menghambat sintesis IL-2 dan sitokin sel T lainnya
2,5-5 mg/kgB B p.o. per hari
2-4 bulan
Mual, parestesia, gangguan ginjal, hipertensi, sepsis, dll
d. Penatalaksanaan bedah Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila : 1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif 2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat 3) Ada ruptur tendon Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk meluruskan kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat dilakukan misalnya pada sendi panggul, lutut, jari-jari tangan. Artrodesis mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas yang berat. 2.3
Penyakit Degeneratif Vertebra Torakal dan Lumbal Penyakit yang disebut juga spondiloartritis, spondilosis, spondilo-artritis atau osteo artritis vertebra ini disebabkan antara lain oleh trauma sendi vertebra atau penyakit pada vertebra (penyakit Scheuermann). Daerah lumbal lebih sering terjadi dibandingkan torakal. Dan kelainan ini paling sering mengenai lansia.
19
2.3.1 Patologi dan patogenesis Penyakit degeneratif pada vertebra lumbal lebih sering ditemukan dimana terjadi kelainan degenerasi sendi intervertebral (antara kedua badan vertebra) serta faset posterior yang disebut osteoartritis. Pada sendi sentral terjadi degenerasi yang menyebabkan penyempitan diskus intervertebralis dan hipertrofi pada pinggir sendi dengan terbentuknya osteofit. Akibat lain yang ditimbulkan adalah terjadinya instabilitas, hiperekstensi dan penyempitan segmental dari vertebra. Juga dapat terjadi herniasi diskus intervertebralis. Osteofit yang terjadi dapat memberikan tekanan pada foramen intervertebralis yang memberikan tekanan pada saraf yang melewatinya. 2.3.2 Gambaran Klinis Osteoartritis lumbal dapat terjadi tanpa memberikan gejala – gejala jelas. Umumnya gejala – gejala berupa nyeri punggung bawah yang bertambah apabila penderita melakukan aktivitas. Juga terdapat rasa kaku pada daerah punggung bawah. Apabila terdapat jepitan pada saraf akibat penyempitan maka akan menimbulkan gejala nyeri radikuler. Pada pemeriksaan hanya ditemukan kelainan yang ringan, mungkin hanya berupa spasme ringan pada otot – otot punggungbawah serta gangguan pergerakan tulang belakang. 2.3.3 Diagnosis Kelainan degeneratif pada vertebra lumbal merupakan kelainan yang paling sering ditemukan sebagai penyebab nyeri punggung bawah pada orang tua. Pemeriksaan radiologis yaitu dengan foto rontgen didapatkan adanya kelainan berupa penyempitan ruangan intervertebralis serta adanya osteofit.
20
2.3.4 Tatalaksana Tujuan pengobatan adalah membantu penderita untuk mengetahui keadaan penyakitnya untuk memberikan dukungan psikologis, mengurangi nyeri, meningkatkn fungsi tulang belakang dan merehabilitasi penderita. Metode yang digunakan:
Pertimbangan psikologis
Pemberian obat – obat anti nyeri
Pemakaian korset
Fisioterapi
Manipulasi
Tindakan operasi
Rehabilitasi Sembilan puluh persen penderita dengan kelainan degeneratif tulang belakang akan mengalami pemulihan tanpa tindakan operasi, sehingga tindakan operasi dilakukan hanya pada indikasi tertentu seperti:
2.4
Hilangnya kontrol kandung kemih dan usus akibat herniasi diskus yang merupakan tindakan mendadak Nyeri yang berkelanjutan dan menetap dengan gejala – gejala iritasi akar saraf
Terdapat kelainan neurologis yang progresif
Adanya skiatika dan nyeri yang sangat menggangu
Penyakit Degeneratif Vertebra Servikal Penyakit degeneratif pada vertebra servikal biasa juga disebut spondilosis servikal. Kelainan ini juga bersifat degeneratif pada diskus dan persendian vertebra servikal. Kelainan degeneratif pada vertebra servikal lebih jarang ditemukan dibanding pada vertebra lumbal.
2.4.1
Patologi dan patogenesis Patologi dan patogenesis terjadinya kelainan seperti pada vertebra lumbal, dimana pada sendi faset posterior terjadi pembenukan osteofit dan kadangkala disertai dengan herniasi diskus intervertebralis. Kelainan terutama antara vertebra C-5/6 dan C-6/7.
2.4.2
Gambaran Klinis Penderita biasanya berumur > 50 tahun dengan gambaran degeneratif pada diskus atau pada sendi. Gejala – gejala terjadi pada leher sendiri dan pada anggota gerak atas, bersifat unilateral ataupun bilateral. Gejala – gejala pada leher umumnya berupa kekakuan pada leher dan menjalar ke bahu pada daerah otot trapezius. Terdapat perasaan kaku dan nyeri pada gerakan. Pada anggota gerak atas keluhan samar – samar berupa nyeri yang menjalar ke daerah persendian bahu atau gejala – gejala oleh karena iritasi saraf.
21
Iritasi akar saraf servikal biasanya karena jepitan oleh osteofit yang berada pada foramina intervertebralis atau karena herniasi dari diskus. Kompresi pada akar saraf servikal antara C-5/6 akan memberikan kelemahan pada otot deltoid dan otot bisep, hilangnya refleks bisep dan gangguan sensibilitas kulit pada ibu jari dan jari telunjuk. Sedangkan, tekanan pada vertebra C-6/7 akan memberikan kelemahan pada otot trisep, berukurangnya refleks trisep dan gangguan sensibilitas pada jari telunjuk dan jari tengah. 2.4.3
Diagnosis Dengan pemeriksaan radiologis ditemukan adanya penyempitan diskus intervertebralis disertai pembentukan osteofit di pinggir vertebra terutama pada bagian depan. Penekanan oleh osteofit pada foramen intervertebralis dapat dilihat dengan jelas pada proyeksi oblik. Kelainan ini harus dibedakan dari kelainan – kelainan yang menyebabkan nyeri pada leher serta nyeri pada anggita gerak atas. Nyeri pada leher dapat terjadi misalnya pada prolaps diskus, infeksi piogenik atau oleh tuberkulosis, tumor dari vertebra serta fibrositis. Sedangkan kelainan – kelainan pada anggota gerak atas misalnya karena tumor pada sumsum tulag belakang atau pada akar, spondilolistesis servikal. Juga kelainan – kelainan lain pada pleksus brakialis yaitu tumor, servikal rb, penyakit Paget, dan lain – lain.
2.4.4
Tatalaksana Gejala – gejala spondilosis servikal mempunyai kecenderungan menghilang secara spontan, tapi dapat juga menetap untuk beberapa bulan. Pengobatan yang dilakukan:
22
Menghilangkan nyeri dan mengistirahatkan leher dengan menggunakan kolar servikal Fisioterapi misalna pemberian sinar gelombang pendek (SWD) atau traksi Artrodesis vertebra servikal apabila nyeri berkelanjutan serta ada gejala – gejala neurologis yang menetap Laminektomi (pembedahan untuk membebaskan tekanan pada tulang belakang atau akar saraf tulang belakang yang disebabkan oleh stenosis tulang belakang) apabila ada herniasi diskus.
2.5 Frozen Shoulder 2.5.1 Definisi Frozen Shoulder Frozen shoulder, atau adhesive capsulitis adalah suatu kelainan di mana terjadi inflamasi pada kapsul sendi bahu, yaitu jaringan ikat disekitar sendi glenohumeral, sehingga sendi tersebut menjadi kaku dan terjadi keterbatasan gerak dan nyeri yang kronis.
2.5.2
Etiologi Frozen Shoulder Etiologi dari frozen shoulder masih belum diketahui dengan pasti. Adapun faktor predisposisinya antara lain periode immobilisasi yang lama, akibat trauma, over use, cidera atau operasi pada sendi, hyperthyroidisme, penyakit kardiovaskuler, clinical depression dan Parkinson (AAOS, 2000). Menurut American Academy Of Orthopedic Surgeon (2000), teori yang mendasari terjadinya frozen shoulder adalah sebagai berikut : 1. Teori hormonal Pada umumnya frozen shoulder terjadi 60 % pada wanita bersamaan dengan datangnya menopause. 2. Teori genetik Beberapa studi mempunyai komponen genetik dari frozen shoulder , contohnya ada beberapa kasus dimana kembar indentik pasti menderita pada saat yang sama. 3. Teori auto immun Diduga penyakit ini merupakan respon auto immun terhadap hasil-hasil rusaknya jaringan lokal. 4. Teori postur Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan postur tegap menyebabkan pemendekkan pada salah satu ligamen bahu.
2.5.3
Klasifikasi Frozen Shoulder a. Primer/ idiopatik frozen shoulder Merupakan frozen yang tidak diketahui penyebabnya. Frozen shoulder lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dan biasanya terjadi usia lebih dari 41 tahun. Biasanya terjadi pada lengan yang tidak digunakan dan
23
lebih memungkinkan terjadi pada orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan gerakan bahu yang lama dan berulang. b. Sekunder frozen shoulder Merupakan frozen yang diikuti trauma yang berarti pada bahu misalnya fraktur, dislokasi, ataupun luka bakar yang berat meskipun cedera ini mungkin sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya. 2.5.4
Patofisiologi Frozen Shoulder Patologinya dikarakteristikan dengan adanya kekakuan kapsul sendi oleh jaringan fibrous yang padat dan selular. Berdasarkan susunan intra articular adhesion, penebalan sinovial akan berlanjut ke keterbatasan articular cartilago. Berkurangnya cairan sinovial pada sendi sehingga terjadi perubahan kekentalan cairan tersebut yang menyebabkan penyusutan pada kapsul sendi, sehingga sifat ekstensibilitas pada kapsul sendi berkurang dan akhirnya terjadi perlekatan. Tendinitis bicipitalis, calcificperitendinitis, inflamasi rotator cuff, frkatur atau kelainan ekstra articular seperti angina pectoris, cervical sponylosis, diabetes mellitus yang tidak mendapatkan penanganan secara tepat maka kelama-lamaan akan menimbulkan perlekatan atau dapat menyebabkan adhesive capsulitis. Adhesive capsulitis dapat menyebabkan patologi jaringan yang menyebabkan nyeri dan menimbulkan spasme, degenerasi juga dapat menyebabkan nyeri dan dapat menimbulkan spasme. Frozen shoulder dapat pula terjadi karena ada penimbunan kristal kalsium fosfat dan karbonat pada rotator cuff . Garam ini tertimbun dalam tendon, ligamen, kapsul serta dinding pembuluh darah. Penimbunan pertama kali ditemukan pada tendon lalu kepermukaan dan menyebar keruang bawah bursa subdeltoid sehingga terjadi rardang bursa, terjadi berulang-ulang karena tekiri terus-menerus menyebabkan penebalan dinding bursa, pengentalan cairan bursa, perlengketan dinding dasar dengan bursa sehingga timbul pericapsulitis adhesive akhirnya terjadi frozen shoulder. Faktor immobilisasi juga merupakan salah satu faktor terpenting yang juga dapat menyebabkan perlekatan intra, ekstra selular pada kapsul dan ligamen, kemudian kelenturan jaringan menjadi menurun dan menimbulkan kekakuan. Semua organ yang disekeliling jaringan lunak, terutama tendon supraspinatus terlibat dalam perubahan patologi. Fibrotic ligamen coracohumeral cenderung normal dari tendon bicep caput longum juga rusak (robek). Keterlibatan tendon bicep berpengaruh secara signifikan dalam penyebaran nyeri ke anterior sendi glenohumeral yang berhubungan dengan adhesive capsulitis.
24
2.5.5
Manifestasi Klinis Frozen Shoulder Problematika pada frozen shoulder berupa nyeri dan keterbatasan gerak akan menyebabkan keluhan pada keterbatasan fungsi berupa ketidakmampuan untuk menggosok punggung saat mandi, menyisir rambut, kesulitan dalam berpakaian, mengambil dompet dari saku belakang, kesulitan memakai pakaian dalam bagi wanita dan gerakan- gerakan fungsional yang lain yang melibatkan sendi bahu. Menurut Kisner (1996) frozen shoulder dibagi dalam 3 tahap, yaitu : 1. Pain (Freezing ) : ditandai dengan adanya nyeri hebat bahkan saat istirahat, gerakan sendi bahu menjadi terbatas selama 2-3 minggu dan masa akut ini berakhir sampai 10-36 minggu. 2. Stiffness (Frozen) : ditandai dengan nyeri saat bergerak, kekakuan atau perlengketan yang nyata dan keterbatasan gerak dari glenohumeral yang diikuti oleh keterbatasan gerak scapula. Fase ini berakhir 4 -12 bulan. 3. Recovery (Thawing ) : pada fase ini tidak ditemukan adanya rasa nyeri dan tidak ada synovitis tetapi terdapat keterbatasan gerak karena perlengketan yang nyata. Fase ini berakhir 6-24 bulan atau lebih.
2.5.6
Diagnosa Frozen Shoulder Pada prinsipnya diagnosa frozen shoulder ditegakan berdasarkan manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologis hanya dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Pemeriksaan lab kadang dilakukan karena sering pada penderita frozen shoulder merupakan penderita diabetes yang tidak diketahui.
2.5.7
Tatalaksana Frozen Shoulder Pengobatan tergantung dari tingkat kerusakan yang terjadi: Tahap awal
Penggunaan mitela untuk mengistirahatkan sendi bahu
Pemberian analgesik
Injeksi intra-artikuler
Fisioterapi
25
Tahap lanjut
Fisioterapi
Terapi okupasional
Manipulasi dibawah narkose dan dilanjutkan dengan fisioterapi. Jika pergerakan bahu belum pulih dapat dilakukan operasi berupa perbaikan kontraktur serta melepaskan perlekatan kapsul dari tulang rawan sendi kapsul humerus.
2.6 Epicondylitis Lateralis (Tennis Elbow) 2.6.1 Definisi Epicondylitis Lateralis Tennis Elbow adalah penyakit degenerasi tendo yang paling sering mengenai siku. Kelainan ini menyebabkan rasa nyeri pada sisi lateral siku khususnya pada epikondilus lateralis dan otot ekstensor. Kelainan ini terutama terjadi pada pemain tenis atau pada mereka yang mempergunakan lengan bawah pada posisi pronasi secara berulang.
2.6.2
Etiologi Epicondylitis Lateralis Penyebab pasti penyakit ini masih belum diketahui tetapi proses degeneratif yangterjadi di duga akibat inflamasi kronik pada tendo otot – otot ekstensor lengan atau trauma lokal pada aktivitas otot ekstensor lengan. Juga dapat disebabkan oleh spondilosis servikal yang mengalami hiperastesia dan kepekaan pada bagian distal dari epikondilus lateralis.
2.6.3
Patofisiologi Epicondylitis Lateralis Selain akibat cedera stres repetitif, tennis elbow juga dapat terjadi karena trauma langsung. Kondisi ini sering ditemukan pada para pemain tenis, terutama pada mereka yang tidak profesional, dan belum memiliki teknik bermain tenis yang baik. Epikondilitis lateral terjadi karena kontraksi repetitif pada otot-otot extensor lengan bawah, terutama pada origo extensor carpi radialis brevis (ECRB), yang mengakibatkan robekan mikro lalu degenerasi tendon, perbaikan yang imatur,hingga menimbulkan tendinosis. Selain gaya mekanik yang mengakibatkan stres varus berlebihan pada ECRB, posisi anatomi tendon ECRB yang langsung berhimpitan dengan aspek lateral capitellum menyebabkan tendon tersebut mudah mengalami abrasi berulang selama proses extensi elbow. Hipovaskularitas permukaan bawah tendon juga berkontribusi dalam proses degenerasi dan tendinosis.
2.6.4
Manifestasi Klinis Epicondylitis Lateralis Gejala klinis epikondilitis lateral cukup jelas. Beberapa pasien menunjukkan lokasi nyeri biasanya sekitar insersio tendon ekstensor lengan bawah pada epikondilus lateral. Nyeri biasanya ti mbul dengan memberi tahanan pada pergelangan tangan pada posisi jari telunjuk ekstensi dan tangan posisi menggenggam. Posisi pergelangan tangan fleksi pasif dengan siku ekstensi
26
sering menimbulkan nyeri. Kurangnya fleksibilitas dan kekuatan sering tampak pada otot-otot ekstensor pergelangan tangan dan bahu posterior. Keluhan meliputi nyeri siku bagian distal yang menjalar ke lengan atas maupun ke sisi luar lengan bawah. Nyeri sering bertambah dengan pergerakan sendi siku; mengangkat benda ringan seperti cangkir kopi dengan lengan yang meregang dapat menyebabkan nyeri. Pada tenis, backhand swing biasanya memperberat keluhan, juga menggenggam atau aktivitas yang membutuhkan ekstensi pergelangan tangan dan gerakan lengan pronasi supinasi yang repetiti f. 2.6.5
Diagnosis Epicondylitis Lateralis Pada pemeriksaan didapatkan lokasi nyeri di depan dan di bawah epikondilus. Nyeri dapat menjalar ke proksimal atau distal. Kadang didapatkan pembengkakan di depan epikondilus. Pemeriksaan khusus:
Tes Cozen: Pemeriksa memegang siku dengan ibu jari di epikondilus lateral. Nyeri epikondilus lateral timbul jika pasien menggenggam, posisi lengan pronasi, ekstensi pergelangan tangan dan deviasi radial, melawan pemeriksa (tes ini lebih sensitif jika dilakukan pada siku dengan posisi ekstensi penuh). Ekstensi pasif pada siku dengan penekanan fleksi pergelangan tangan. Tes Cozen positif bila didapatkan nyeri pada epikondilus lateral atau kompartemen ekstensor lateral.
Tes Chair : Pasien diminta mengangkat kursi. Lengan ekstensi dengan lengan bawah pronasi. Tes Chair positif bila didapatkan nyeri pada epikondilus lateral dan tendon ekstensor lengan. Tes Bowden : Pasien diminta mempertahankan alat pengukur tekanan darah sekitar 30 mmHg yang dipegang tangan pasien. Tes Bowden positif bila didapatkan nyeri pada epikondilus lateral dan tendon ekstensor lengan. Tes Maudsley : Pasien diminta untuk melakukan extensi jari ketiga (jari tengah) tangan lalu pemeriksa menahan extensi tersebut sambil mempalpasi epikondilus lateral. Hal itu akan menimbulkan ketegangan pada otot extensor digitorum dan tendon. Hasil positif terjadi apabila pasien merasakan nyeri pada epikondilus lateral. Bila positif, berarti pasien menderita tennis elbow. 27
Tes Mill : Pemeriksa meminta pasien agar memfleksikan elbow dan pergelangan tangan, sambil memperhatikan tiap nyeri yang timbul pada epikondilus lateral. Hasil positif bila pasien merasakan nyeri pada epikondilus lateral.
Tes Motion Stress : Pasien duduk. Pemeriksa palpasi epikondilus lateral dengan pasien posisi fleksi siku, pronasi lengan bawah, dan siku posisi ekstensi dengan gerakan kontinu. Tes positif bila didapatkan nyeri pada epikondilus lateral dan/atau otot ekstensor lateral dengan gerakan tersebut.
Pada pemeriksaan radiologis didapatkan hasil yang normal, tetapi kadang – kadang ditemukan kalsifikasi pada origo tendo. 2.6.6
Tatalaksana Epicondylitis Lateralis Terapi Fase Akut
Untuk tennis elbow fase akut, maka harus memberlakukan regimen R.I.C.E seperti halnya cedera jaringan lunak lainnya. Hal tersebut melibatkan prosedur: - Rest (istirahat) - Ice (es) - Compression (kompres) - Elevation (elevasi) Terapi Konservatif Terapi konservatif yang dapat diberikan pada pasien tennis elbow antara lain: 1. NSAID (Non-steroidal anti-inflammatory drugs)
28
Ada banyak pilihan NSAID yang dapat digunakan yakni diclofenac, naproxen, ibuprofen, dan inhibitor siklooksigenase. Obat-obatan tersebut dapat digunakan secara topikal maupun sistemik. NSAID dapat menghambat inflamasi dengan cara menghambat sintesis prostaglandin. Namun penggunaan NSAID dalam jangka panjang tidak dianjurkan karena adanya efek samping pada traktus gastrointestinal dan ginjal. 2. Kortikosteroid Jenis kortikosteroid yang digunakan untuk terapi tennis elbow sebaiknya yang memiliki efek anti-inflamasi yang kuat seperti triamcinolone dan betamethasone. Dan pemberiannya harus dilakukan secara intraartrikuler untuk mengurangi efek sistemik.
Triamcinolone dan betametahsone dapat menurunkan inflamasi dengan cara menekan migrasi leukosit polimorfonuklear dan memperbaiki permeabilitas kapiler. Banyak dokter yang lebih suka menggunakan betamethasone karena agen ini tidak mengalami kristalisasi ketika dicampurkan dengan sediaan anestetik yang bebas paraben. Terapi Fisik Dengan cara memberikan stressing pada insersi ECRB melalui latihan gerakan eksentrik dan konsentrik. Diharapkan dengan terapi ini maka akan terbentuk jaringan kolagen yang padat pada area insersi ECRB, sehingga rasa nyeri akan tereliminasi. Penggunaan Ortosis atau Bebat Counterforce (Counterforce bracing) Penggunaan bebat counterforce dilakukan untuk mengurangi gaya tension (tegangan) pada tendon extensor pergelangan tangan, dan ortotik jenis ini lebih unggul dalam mengatasi tennis elbow jika dibandingkan dengan bebat biasa. Bebat ini harus diletakan kira-kira 10 cm di arah distal sendi elbow. Penggunaan bebat counterforce selama tiga minggu pada epikondilitis lateral, dapat menurunkan nyeri dan meningkatkan kekuatan genggaman. Terapi Pembedahan Ada dua jenis pembedahan untuk mengatasi tennis elbow, yakni operasi terbuka dan operasi dengan bantuan arthroskopi. - Operasi Terbuka Operasi terbuka merupakan jenis pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengatasi tennis elbow. 29
-
Operasi dengan Bantuan Artroskopi Keunggulan terapi ini adalah insisi yang dilakukan jauh lebih kecil dan perdarahannya lebih minimal jika dibandingkan dengan prosedur terbuka. Teknik ini menyerupai prosedur terbuka hanya saja visualisasi yang lebih baik hingga mencapai ruangan intra-artikuler, yang tidak mungkin bisa tercapai dengan prosedur terbuka.
2.7 Penyakit de Quervain (Tenovaginitis Stenosans) 2.7.1 Definisi Penyakit de Quervain Penyakit de Quervain merupakan penyakit dengan nyeri pada daerah prossesus stiloideus akibat inflamasi pembungkus tendo otot abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis dengan jepitan pada kedua tendo tersebut.
2.7.2
Etiologi Penyakit de Quervain Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi inflamasi tendon yang terjadi berhubungan dengan gesekan yang berlebihan / berkepanjangan antara tendon dan pembungkusnya, terjadi misalnya pada wanita yang pekerjaannya memeras kain.
2.7.3
Patofisologi Penyakit de Quervain Pada trauma minor yang bersifat repetitif atau penggunaan berlebih pada jari-jari tangan (overuse) menyebabkan malfungsi dari tendon sheath. Tendon sheath yang memproduksi cairan sinovial mulai menurun produksi dan kualitas cairannya. Akibatnya, pada penggunaan jari-jari selanjutnya terjadi pergesekan otot dengan tendon sheath karena cairan sinovial yang berkurang tadi berfungsi sebagai lubrikasi. Sehingga terjadi proliferasi jaringan ikat fibrosa yang tampak sebagai inflamasi dari tendon sheath. Proliferasi ini menyebabkan pergerakan tendon menjadi terbatas karena jaringan ikat ini memenuhi hampir seluruh tendon sheath. Terjadilah stenosis atau penyempitan pada tendon sheath tersebut dan hal ini akan mempengaruhi pergerakan dari kedua otot tadi. Pada kasus-kasus lanjut akan terjadi perlengketan tendon dengan tendon sheath. Pergesekan otot-otot ini merangsang nervus yang ada pada kedua otot tadi sehingga terjadi perangsangan nyeri pada ibu jari bila digerakkan yang sering merupakan keluhan utama pada penderita penyakit ini. Pembungkus fibrosa dari tendon abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis menebal dan melewati puncak dari prosesus stiloideus radius.
30
2.7.4
Manifestasi Penyakit de Quervain Gejala yang timbul berupa nyeri bila menggunakan tangan dan menggerakkan kedua otot tersebut yaitu bila menggerakkan ibu jari, khususnya tendon otot abduktor polisis longus dan otot ekstensor polisis brevis.
2.7.5
Diagnosis Penyakit de Quervain Pada pemeriksaan fisik, terdapat nyeri tekan pada daerah prosesus stiloideus radius, kadang-kadang dapat dilihat atau dapat teraba nodul akibat penebalan pembungkus fibrosa pada sedikit proksimal prosesus stiloideus radius, serta rasa nyeri pada adduksi pasif dari pergelangan tangan dan ibu jari. Tanda-tanda klasik yang ditemukan pada de Quervain’s syndrome adalah tes Finkelstein positif. Cara melakukannya adalah dengan menyuruh pasien untuk mengepalkan tanganya dimana ibu jari diletakkan di bagian dalam dari jari-jari lainnya. Pemeriksa kemudian melakukan deviasi ulnar pasif pada pergelangan tangan si pasien yang dicurigai di mana dapat menimbulkan keluhan utama berupa nyeri pergelangan tangan daerah dorsolateral. Lakukan tes Finskelstein secara bilateral untuk membandingkan dengan bagian yang tidak terkena.
2.7.6
Tatalaksana Penyakit de Quervain Pada terapi konservatif kasus-kasus dini, sebaiknya penderita menghindari pekerjaan yang menggunakan jari – jari. Hal ini dapat membantu penderita dengan mengistirahatkan (immobilisasi) kompartemen dorsal pertama pada ibu jari (polluks) agar edema lebih lanjut dapat dicegah. Idealnya, immobilisasi ini dilakukan sekitar 4 – 6 minggu. Kompres dingin pada daerah edema dapat membantu menurunkan edema (cryotherapy). Jika gejala terus berlanjut dapat diberikan obat-obat anti inflamasi baik oral maupun injeksi. 31
Beberapa obat oral dan injeksi yang diberikan sebagai berikut : Nonsteroid anti-inflammatory drug s Ibuprofen yang merupakan drug of choice untuk pasien dengan nyeri sedang. Bekerja sebagai penghambat reaksi inflamasi dan nyeri dengan jalan menghambat sintesa prostaglandin. Dosis dewasa 200 800 mg, sedangkan dosis untuk anak-anak usia 6-12 tahun 5-10 mg/kgBB/hari. Untuk anak > 12 tahun sama dengan dewasa. Adapun kontra indikasi pemberian obat ini adalah adanya riwayat hipersensitif, ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal atau perforasi, insufisiensi ginjal, atau resiko tinggi terjadinya perdarahan. Obat ini tidak aman diberikan untuk wanita hamil terutama kehamilan pada trimester ketiga (berpotensi untuk menyebabkan menutupnya duktus arteriosus). Kortikosteroid Digunakan sebagai anti inflamasi karena dapat mensupresi migrasi dari sel-sel polimorfonuklear dan mencegah peningkatan permeabilitas kapiler. Pada orang dewasa dapat diberikan dosis 20-40 mg metilprednisolon atau dapat juga diberikan hidrokortison yang dicampur dengan sedikit obat anestesi lokal misalnya lidokain. Campuran obat ini disuntikkan pada tendon sheath dari kompartemen dorsal pertama yang terkena. 2.8 Plantar Fasciitis 2.8.1 Definisi Plantar Fasciitis Plantar Fasciitis ( Policeman’s Heel) adalah nyeri tumit disebabkan oleh peradangan dari Plantar Fascia, yaitu suatu jaringan disepanjang bagian bawah kaki yang menghubungkan tulang tumit dengan ibu jari kaki kita. Berdasarkan kualifikasi penyakit rematik menurut American Rematism Association, Plantar Fasciitis termasuk golongan rematism non artikular, dimana akibat keluhan ini dapat mengganggu mobilitas dan aktifitas kehidupan sehari-hari penderitanya.
32
2.8.2
Etiologi Plantar Fasciitis a. Aktivitas fisik yang berlebihan dan pada pekerjaan yang memerlukan banyak berdiri atau berjalan . b. Sepatu yang tidak Ergonomis. Sepatu yang solnya tipis, longgar atau tidak ada dukungan untuk lengkung kaki atau tidak ada kemampuan untuk menyerap hentakan akan menyebabkan resiko terkena Plantar Fasciitis semakin tinggi. Jika sering memakai sepatu dengan tumit tinggi (high heels) maka tendon Achilles yakni tendon yang melekat pada tumit kita dapat berkontraksi/tegang dan memendek, menyebabkan strain pada jaringan di sekitar tumit yang juga akan menyebabkan resiko terkena Plantar Fasciitis semakin tinggi. c. Berat badan berlebihan. Berjalan-jalan dengan berat badan yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan lemak di bawah tulang tumit dan menyebabkan nyeri tumit. Orang-orang yang naik berat badannya dengan cepat dapat menderita Plantar Fasciitis, walaupun tidak selalu. d. Kehamilan. Berat badan yang bertambah dan pembengkakan yang dialami pada saat hamil dapat menyebabkan ligamen (jaringan pengikat) pada tubuh termasuk di kaki – untuk mengendur. Ini dapat menyebabkan permasalahan mekanikal dan peradangan. e. Kelainan anatomis kaki seperti telapak kaki leper/ceper (tanpa lengkung), atau sebaliknya, lengkungan berlebihan. Orang-orang dengan kaki datar mempunyai penyerapan kejutan yang kurang, yang mana hal ini meningkatkan peregangan dan tegangan pada plantar fascia. Orang-orang dengan lengkung kaki yang tinggi mempunyai jaringan plantar yang lebih ketat, yang juga menyebabkan penyerapan kejutan yang kurang. f. Pertambahan usia. Saat lengkungan mulai berkurang secara alamiah. Nyeri tumit cenderung lebih umum dijumpai oleh karena penuaan menyebabkan lengkung kaki mulai mendatar, menimbulkan stress pada plantar fascia.
2.8.3
Manifestasi Klinis Plantar Fasciitis Keluhan utama pada kasus ini adalah nyeri pada tumit. Plantar Fasciitis menyebabkan nyeri seperti ditusuk atau rasa terbakar yang terutama dirasakan waktu berdiri pada pagi hari, sewaktu penderita mulai menapakkan kaki beberapa langkah pertama, hal ini disebabkan karena fascia mengencang (berkontraksi) sepanjang malam. Segera setelah kita berjalan jalan beberapa saat, nyeri yang disebabkan oleh Plantar Fasciitis ini biasanya berkurang, tetapi mungkin akan terasa nyeri kembali setelah berdiri beberapa lama atau setelah bangun dari posisi duduk.
33
2.8.4
Diagnosis Plantar Fasciitis Pasien datang dengan keluhan pada pagi hari sering merasakan nyeri dibagian tumit setelah melangkah beberapa kali. Tetapi pada siang hari keluhan ini dirasakan agak berkurang bahkan pada waktu malam hari keluhan ini tidak dirasakan lagi. Tetapi keluhan ini terkadang kembali dirasakan apabila terlalu banyak melakukan aktivitas berjalan atau berdiri. Pemeriksaan palpasi
Penderita biasanya dapat menunjukkan letak rasa nyeri tersebut dirasakan (seperti pada gambar diatas). Pemeriksaan inspeksi
Pada umumnya pasien mulai berjalan jinjit karena nyeri tumit namun dengan berjalan (jinjit) atau dengan kaki bagian depan menyebabkan ketegangan pada plantar fascia yang lebih menarik tumit dan bisa membuat kondisi ini semakin memburuk (lihat pada gambar diatas). Foto Rotgen Foto rotgen ini awalnya untuk memastikan ada tidaknya “Calcaneous spur ”. Pada penderita plantar fascitis dengan calcaneous sering tebal pada bagian fascianya dua kali dari normal.
34
2.8.5
Tatalaksana Plantar Fasciitis Non Operatif a. Kompres es batu yang dibungkus dengan kain di daerah nyeri atau bekukan sebotol air dan urutkan di atas daerah yang nyeri selama 20 sampai 30 menit, 3 atau 4 kali sehari atau setelah melaksanakan aktivitas. b. Obat-obatan golongan NSAID. c. Kurangi Aktifitas olah raga. Alihkan aktivitas olah raga dengan pembebanan pada kaki hingga nyeri mereda. Untuk mempertahankan kondisi atlet sebaiknya dianjurkan melakukan bentuk-bentuk latihan alternatif, seperti aktivitas berenang ataupun bersepeda. d. Latihan peregangan berkala. Lakukan peregangan pada saat bangun tidur. Sebelum anda turun dari tempat tidur di pagi hari, regangkan otot-otot betis, lengkung kaki dan tendon Achilles dengan cara menyentuh ujung kaki anda dan secara perlahan-lahan melipat kaki anda. Jenis peregangan yang sering dilakukan untuk Plantar Fasciitis adalah dengan melakukan Calf stretch dan Plantar fascia stretch.
Calf Stretch Plantar Fascia – Spesific Stretching e. Ortosis. Koreksi sepatu atau sandal membantu mengurangi rasa nyeri pada tumit sewaktu menapak atau berjalan. Penyangga lengkungan kaki (Arch Support), yang bisa dipakai/diletakkan dalam sepatu, ataupun bidai yang digunakan pada malam hari yang disebut Night Splint, karena di gunakan saat tidur malam hari.
f. Ultrasound Diathermy (US). Untuk mengurangi nyeri pada Plantaris Fasciitis terapi Non Invasif yang sering digunakan adalah dengan modalitas Ultrasound Diathermy (US). US adalah diatermi berdasarkan konversi energi suara frekensi tinggi , dengan daya 35
tembus paling dalam (3-5 cm) diantara diatermi lainnya, gelombang suara ini selain memberikan efek panas/termal, juga ada efek non termal/mekanik yaitu Micromassage. Terapi ultrasound digunakan untuk kasus plantar fasciitis karena efek panas dan efek mekanik pada gelombang ultrasound menyebabkan peningkatan sirkulasi darah ke jaringan setempat. Radang pada plantar fascia ini terjadi karena adanya trauma atau strain, sehingga terjadi perubahan pembuluh darah dan perubahan sel leukosit. Pengaruh panas ultrasound juga dapat digunakan untuk mengurangi nyeri pada plantar fasciitis karena gelombang pulsed yang rendah intensitasnya dapat memberikan efek sedative dan analgesik pada ujung-ujung saraf sensorik. US efektif dalam mempercepat proses pembuangan infiltrat hasil inflamasi dan mengurangi perlengketan yang terjadi. Tindakan Operatif Jenis Operasi yang biasa dilakukan untuk mengatasi plantar fasciitis adalah dengan melakukan Gastrocnemius recession atau plantar fascia release. Komplikasi lainnya adalah terjadinya kerusakan pada syaraf dan terjadinya infeksi.
36