RASHOMON PADA suatu senja, seorang Genin„(tidak disebutkan namanya, mngkin krn ini adalah cerita ttg samurai rendahan yg memang tidak penting untuk sekedar menulis namanya, jd penulis tetap menulisnya sbgai genin) berteduh menunggu hujan reda di bawah Rashomon ( pintu gerbangpada zaman Heian (794-1185), Pentingnya samurai dan pengaruh tumbuh selama Periode Heian , ketika pemilik tanah disewa prajurit pribadi yang kuat untuk melindungi properti mereka. Menjelang akhir Periode Heian, dua klan militer, Minamoto dan Taira , telah tumbuh begitu kuat sehingga mereka merebut kontrol atas negara itu dan berperang untuk supremasi terhadap satu sama lain. sekarang terletak di Perfektur(daerah setingkat provinsi) Nara. Mon berarti
gerbang. Ketika itu ibukota Jepang terletak di Nara) Selain dia tidak ada seorang pun di bawah gerbang yang luas itu. Hanya ada seekor belalang yang bertengger tiang bulat besar wama merah yang sudah mengelupus di sane-sini. Karena Rashomon terletak di jalan besar Shujaku, mestinya paling tidak ada dua—tiga orang mengenakan Ichimegasa atau Momieboshi yang berteduh di situ. Tapi tidak ada orang lain selain lelaki itu.(ichimegasa adl topi caping yg biasa digunakan rakyak jelata, dan momieboshi adlah topi yg diapakai para bangsawan, itu tandanya keadaan sedang genting sehingga tidak ada lg batasan antara bangsawan dan rakyat jelata)
Kota Kyoto sesepi itu karena beberapa tahun silam didera bencana beruntun, mulai dari gempa bumi, angina puyuh, kebakaran, dan panceklik. Karena itu Kyoto jadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk dipinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Karena kondisi Kyoto seperti itu, maka perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, juga para pencoleng, memanfaatkan reruntuhan sebagai tempat tinggal. Akhirnya, Iazim membawa dan membuang mayat tak dikenal ke gerbang itu. Karena bila senja telah tiba suasananya menjadi menyeramkan,tidak ada orang yang berani mendekat.(pada kondisi sperti ini sulit mempercayai orang lain)
Sebagai gantinya, burung—burung gagak berdatangan dari berbagai penjuru. Di siang hari burung-burung itu terbang mengitari shibi sambil berkoak-koak. Seiring memerahnya langit
di atas gerbang karena senja menjelang, kawanan burung gagak itu tampak seperti taburan butiran-butiran wijen. Tentu saja mereka datang untuk menyantap daging mayat-mayat yang ada di tempat itu. Tapi hari itu tak tampak seekor gagak pun, barangkali karena sudah terlalu Iarut.tidak ada gagak yang datang, di luar kebiasaan. Hanya saja di beberapa bagian tangga batu yang mulai rusak dan di sela-selanya ditumbuhi rumput tinggi tampak bercak-bercak putih, ceceran kotoran gagak. Genin, yang berpakaian lusuh warna biru tua, duduk di anak tangga ketujuh, paling atas, termangu menatap hujan sambil mengopek-ngopek jerawat besar di pipi kanannya. Mungkin mengopek ngopek jerawat adalah kebiasaannya saat sedang bosa, dan untuk membunuh waktu. Tadi pengarang mengungkapkan bahwa Genin itu sedang menunggu hujan reda. Namun, kalaupun hujan reda ia tidak tahu harus berbuat apa. Biasanya, tentu ia harus kembali ke rumah tuannya, tapi ia telah dipecat empat lima hari lalu. Sebagaimana telah diungkapkan di depan, pada saat itu Kyoto mengalami kemunduran yang cepat. Genin itu, yang dipecat oleh seorang tuan yang telah mempekerjakannya selama bertahun-tahun, tidak lain merupakan riak kecil kemunduran itu. Maka ketimbang mengatakan “Genin manunggu hujan reda", Iebih tepat mengatakan "Ganin yang terkurung hujan tak tahu harus pargi ke mana". Lagi pula cuaca hari itu sangat mempengaruhi batin Genin. Hujan yang turun sejak sekitar pukul empat sore belum ada tanda-tandamau reda. Sementara itu, sambil mangikuti pikirannya yang mengembara tak meenantu karena khawatir dan tak berdaya atas nasibnya Esok hari,tanpa sengaja ia mendengarkan tetes hujan yang turun di Jalan Shujaku.
Hujan menyelimuti Rashomon, dari kejauhan terdengar suara hujan yang semakin deras. Senja semakin kelam, dan ketika ia inendongak tampaklah ujung ranting yang mencuat dari atap gerbang menyangga awan berat kehitaman. Genin tak punya waktu untuk memilih cara menyelesaikan satu masalah yang tak mungkin dipecahkan. Kalaupun bisa memilih, yang ada hanyalah mati kelaparan di emperan atau di tanah pinggiran jalan. Kemudian mayatnya dibawa ke atas gerbang ini dan dicampakkan saperti seekor anjing. Seandainya tidak memilih... setelah pikirannya berputar-putar akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan untuk menjadi pencuri. Tapi, "seandainya" ini sampai kapanpun tetap saja "seandainya". Meskipun yakin dirinya tidak punya pilihan, untuk memecahkan masalah "seandainya" tadi, tidak muncul keberanian dalam dirinya untuk
dengan tegas membenarkan pikiran yang muncul belakangan bahua "tidak ada yang bisa dilakukannya selain menjadi pencuri". Mencuri adalah pilihan terakhir, krn bgmn pun juga ia adalah seorang samurai, jadi pilihan itu adlah tanpa plihan baginya. Setelah bersin dengan keras ia pun bangkit perlahan.Dinginnya senja di Kyoto menjadikan dia rindu hangatnya tungku arang. Angin menyelinap semaunya di antara tiang-tiang gerbang bersama gelap malam. Belalang yang tadi bertengger di tiang merah pun sudah pargi entah ke mana. Genin memandang ke sekeliling gerbang sambil mengerutkan lehernya, dan mengangkat bagian pundak pakaian birunya yang menutupi baju dalam tipis warna kuning. Ia memutuskan untuk melewati malam di situ jika ada tempat yang terlindung dari angina dan hujan, dan tak terlihat oleh siapapun. Beruntung ia menemukan tangga lebar berpernis merah yang menuju ke menara di atas gerbang. Ia berpikir, kalaupun ada orang di atas paling juga hanya mayat. Kakinya yang bersandal jerami menginjak anak tangga paling bawah, sambil berhati-hati menjaga agar pedang di pinggangnya tidak terlepas dari sarungnya.
Ketika mencapai pertengahan tangga menuju menara beberapa menit kemudian, ia mengintai keadaan di atas sambil menahan napas dan mengendap-ngendap seperti seekor kucing. Seberkas cahaya dari atas menara menerpa pipi kanannya. Pipi dengan jerawat merah bernanah di antara cambangnya yang pendek. Sejak samula Genin mengira paling-paling hanya mayat saja yang ada di dalam menara. Tapi setelah menaiki dua atau tiga anak tangga, ia malihat seberkas api yang dinyalakan oleh saseorang, dan sapertinya orang itu menggerakkannya ke sana-kemari. Ia langsung mengetahuinya karena cahaya kuning suram bergoyang-goyang menyinari langit-langit yang dipenuhi jaring laba-laba. Orang yang menyalakan api di atas Rashomnon di malam hari dan hujan ini tentu bukan sembarangan.wajar saja genin curiga karena pada kondisi seperti sekarang ini sulit membedakan mana orang jahat dan baik
Genin merayap seperti seekor cicak di anaktangga terjal tanpa rnengeluarkan suara. Akhirnya ia mancapai anak tangga teratas. Sambil berusaha tetap tiarap, ia menjulurkan Iehar sebisanya, mencoba mengintip ke dalam manara dengan perasaan Takut-takut. Sebagaimana desas-desus yang didengarnya selamaini, terlihat beberapa mayat buangan bergelimpangan di dalam
menara. Tapi ia tidak tahu jumlahnya karena cahaya temaram. la hanya melihat samar-samar ada yang telanjang, dan ada pula yang berpakaian. Tentu saja di antara mayat-mayat itu, selain mayat lelaki, ada mayat perempuan. Mereka berserakan di lantai, mirip boneka-boneka dari tanah, ada yang mulutnya menganga atau tangannya terentang, sampai-sampai tak terbayangkan bahwa sabelumnya mereka adalah manusia yang pernah hidup. Bagian tubuh yang lebih tinggi, separti bahu dan dada, diterpa cahaya temaram, sadangkan bagian lainnya lenyap ditelan bayangan, dan diam bagai bisu abadi.
Tanpa sadar Genin menutup hidung karena tercium bau menyengat mayat-mayat yang membusuk itu. Tapi, beberapa saat kemudian ia sudah lupa menutup hidung dangan tangannya. Dorongan parasaan yang kuat menjarah perhatiannya dan mengalahkan indera penciumannya. Saat itu, untuk pertama kalinya, Genin melihat sesosok manusia berjongkok di antara mayat-mayat. Sosok itu adalah seorang perempuan tua, berbaju kecoklatan, tubuhnya pandek, kurus, berambut putih, mirip seekor monyet. Dengan oncor dari potnngan kayu cemara di tangan kanannya, perempuan tua itu memandangi wajah sesosok mayat.
Karena rambutnya panjang, mungkin mayat itu mayat seorang perampuan. Karena labih dikuasai rasa takut ketimbang rasa ingin tahu, beberapa saat lamanya bahkan untuk bernapas sekalipun ia tak ingat. Meminjam istilah para penulis zaman dulu, ia merasa rambut di kepala dan tubuhnya meremang.kondisi ini membuat genin waspada terhadap apa saja. Perempuan tua itu menancapkan oncor kayu cemara di celah lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat yang sejak tadi dipandanginya.mungkin memastikan denyut nadinya atau menekan nya dengan pertimbangan agar tidak bs bangun lagi Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai, persis seperti seekor monyet sedang mencari kutu di tubuh anaknya. Sepertinya rambut itu tercabut oleh gerakan tangannya. Tidak ada yg tahu berapa lama mayat itu tergeletak disana, jd wanita tua itu sekedar memastikan dengan memeriksa denyut nadinya. Dengan keadaan mayat yg kehujanan mungkin akar rambutnya tidak sekuat dulu sehingga mudah bagi wanita tua sepertinya untuk mencabut helai demi helai rambut mayat itu.
Seiring dengan tercabutnya rambut helai demi helai, perasaan takut dalam diri Genin sedikit demi sedikit lenyap, dan bersamaan dengan itu pula kebenciannya terhadap nenek itu memuncak. Mungkin tidak tepat lagi jika dikatakan bahwa kebencian itu hanya terhadap si nenek, melainkan terhadap segala tindak kejahatan yang semakin menderas menit demi menit. Jika saat itu seseorang bertanya kepadanya apakah ia memilih mati kelaparan atau menjadi pencuri, sebagaimana yang muncul di benak lelaki di bawah gerbang tadi, sangat boleh jadi ia akan memilih mati kelaparan. Kebenciannya terhadap kejahatan membara bagai potongan kayu cemara yang ditancapkan oleh si nenek ke lantai. Jiwa samurai dalam diri genin bangkit begitu melihat itu.
Tentu saja Genin tak tahu kenapa nenek itu mencabuti rambut mayat. Jadi secara rasional ia tak tahu harus menilai baik atau buruk perbuatan itu. Tapi bagi Genin, perbuatan mencabuti rambut mayat di Rashomon pada malam hujan itu sudah merupakan kejahatan tak termaafkan. Pasti ia sendiri lupa bahwa beberapa saat yang lalu terlintas benaknya untuk menjadi pencuri.
Genin lantas menghimpun tenaga pada kedua kakinya, serta merta melompat dari tangga. Sambil menggenggam gagang pedang ia menghampiri nenek tua itu dengan langkah lebar. Si nenek terkejut bukan kepalang. Sekilas ia melihat ke arah Genin, dan saking kagetnya seketika itu pula ia terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.
"Hei... mau ke mana kau?" hardik Genin seraya mencengkeram tangan si nenek yang bermaksud melarikan diri, dan saking paniknya tersandung mayat yang ada di situ.Ia masih berusaha kabur, namun Genin mendorongnya kembali.nenek itu kabur karena terancam dengan keberadaan genin yang dengan tiba-tiba muncul di hadapannya sambil mengacungkan pedang, bisa juga karena dia merasa tindakannya itu adalah kejahatan. Beberapa saat mereka bergumul di antara mayat-mayat tanpa mengeluarkan kata-kata. Tapi tentu saja sejak awal sudah jelas siapa yang lebih unggul. Akhirnya Genin mencengkeram lengan si nenek, kemudian memelintir dan menghempaskannya dengan paksa ke lantai. Lengan nenek itu kurus-kering tinggal tulang-belulang, seperti kaki ayam.
"Apa yang sedang kau lakukan? .Iawab...! Kalau tak mau mengaku .... "
Genin melepaskan cengkeramannya, seraya msnghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata si nenek. Tapi, nenek kurus itu tetap bungkarn. Kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya, dan bungkam seribu bahasa seperti orang bisu. Melihat hal ini, untuk pertama kalinya, dengan jelas Genin menyadari bahwa hidup-mati nenek itu berada dalam genggamannya. Kesadaran ini, tanpa disadari, telah membuat reda kemarahannya yang membara, dan yang tersisa hanyalah perasaan puas dan bangga yang menyejukkan hati. Karena genin yang entah bernama siapa itu adalah samurai dengan kelas rendah mungkin dia jarang mendapati situasa seperti ini, Sambil menatap nenek itu, Genin berkata dengan nada suara sedikit lebih lunak.nada suaranya melunak karena timbul perasaan iba di hatinya.
“Aku bukan patugas Badan Kaamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikat atau melakukan tindakan apapun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini.“ini membuktikan kalau genin ini punya hati, dia tidak serta merta menghakimi nenek, Nenek itu lalu membuka matanya labih lebar lagi, menatap tajam ka arah wajah Genin bagai burung pemakan daging. Si nenek menggerakkan bibirnya yang hampir menyatu dangan hidung karena kerut, saperti mengunyah sesuatu. Terlihat jakunnya yang lancip bargerakgerak pada tenggorokannya yang kurus. Dari tenggorokannya itu kaluar suara seperti suara burung gagak sambil terengah-engah.
“Aku mencabuti rambut .... Aku mencabuti rambut, untuk membuat cemara (wig)."
Genin kecewa dengan jawaban sederhana dan di luar dugaannya itu.dia tidak mengira atas alasan yang sederhana itu nenek itu rela mencabuti rambut mayat di malam yang hujan dan dingin, jadi mungkin dia tinggal tak jauh dari sana. Bersamaan dengan rasa kacewa yang muncul, perasaan benci dan terhina yang menyengat melesap masuk ke dalam dadanya. Dia merasa malu pada tindakannya yang terlalu spontan mengira yang bukan bukan. Barangkali rasa gusarnya dapat ditangkap oleh nenek itu. Sebelah tangan nenek itu masih memegang rambut panjang yang dicabutinya dari kepala-kepala mayat, dan separti bergumam ia berkata dangan suara parau. Genin terlihat sekali jarang menjalankan tugasnya sebagi samura karena wajah dan ekspresinya terlihat jelas pada wajah dan perilakunya.
“„Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati mungkin bagimu merupakan kejahatan besar. Tapi, mayat·mayat yang ada di sini samuanya pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mangatakannya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati kanena terserang wabah panyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pangawal katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Parbuatannya tidak dapat disalahkan, karena kalau tidak melakukan itu ia akan mati kalaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang aku lakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak aku pun akan mati kalaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat memahami pula apa yang kulakukan sekarang ini."terlihat bahwa nenek ini mengenal dengan baik wanita ini sebelum dia meninggal, karena dia dengan jelas dapat menyebutkan perkiraan ukuran wanita itu memotong ular keringnya, karena itu pula tadi dia terlihat memilah dan memandangi mayat itu sebelum
memutuskan untuk
mencabuti rambut untuk diapaki sebagai wig. Genin menyarungkan pedangnya. Ia mendengarkan ocehan nenek itu dengan dingin sambil menggenggam gagang padang.dia menyarungkan pedangnya karena akhirnya dia merasa jawaban nenk itu cukup beralasan. Tangan kanannya terus saja sibuk mangopek jerawat merah besar dan bernanah di pipinya. Namun, ketika mendengarkan omongan itu di batin Genin muncul suatu kaberanian yang belum pernah dirasakannya ketika duduk di bawah garbang baberapa saat lalu. Keberanian yang dirasakannya saat ini samasekali bertoIak belakang dengan keberanian yang dirasakannnya ketika naik ke menara dan kemudian menangkap si nenek. Itu berrarti ini tindakan yang tidak dengan mudah dilakukannya, dan
tidak dengan mudah dipikirknnyaBukan berarti ia tidak ragu lagi untuk menjadi pencuri atau mati kelaparan. Saat itu, hampir tak terbersit dalam hati Ganin untuk mati kelaparan . Ia membuang jauh-jauh pikiran itu.
“Kau yakin begitu?" tanya Genin dengan nada engejek, ketika nenek tua itu selesai bicara. Ia maju selangkah seraya menarik tangan kanannya dari jerawat, Ialu sambil mencengkeram leher baju perempuan tua itu ia berkata geram.
"Kalau begitu jangan salahkan aku jika aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tidak melakukan-nya." Dangan cepat Genin merenggut pakaian yang dikenakan percmpuan tua itu.genin bisa dengan mudah merenggut pakain nenk itu karena mungkin yang disebutnya sebagai pakaian adalah selambar kain yang hanya di sampirkan di tubuh. Lalu dengan kasar mnenarik tangan perempuan yang bemsaha mencengkeram kakinya, dan menyepaknya hingga jatuh menerpa mayat-mayat. Hanya lima Iangkah saja untuk mencapai mulut tangga. Dengan mengempit pakaian kekuningan hasil rampasannya, dalam sekejap Genin sudah menuruni tangga curam menembus kegelapan malam.
Tubuh telanjang nenek tua yang roboh seperti orang mati itu belum bisa bangkit dari onggokan mayat-mayat beberapa jam kemudian. Sambil menggerutu dan mengerang ia merangkak mencapai mulut tangga dibantu cahaya obor yang masih menyala. Dari tempat itu ia melongok ke bawah gerbang dengan ubannya yang pendek menjuntai.
Di Iuar hanya ada kelam malam. Tak ada yang tahu ke mana Genin pergi.
1. Genin: Samurai kelas rendah. 2. Rashomon sering dikaitkan dengan Rajomon, pintu gerbangpada zaman Heian (7941185), sekarang terletak di Perfektur(daerah setingkat provinsi) Nara. Mon berarti gerbang. Ketika itu ibukota Jepang terletak di Nara. 3. Ichimegasa: Topi dari kulit bambu. awalnya dikenakan olehperempuan pedagang peda zaman Heian. Bentuknya mirip caping. 4. Momieboshi: sejenis topi berwarna hitam, biasa dikenakan oleh kaum bangsawan. 5. Shibi: Hiasan pada tepian atap yang terbuat dari batu atau genteng, bentuknya mlrip ekor Ikan. 6. Dalam teks aslinya disebutkan ao (襖}. pakaian yang biasa dikenakan olah samurai golongan empat ke bawah.
PEREMPUAN itu berjongkok di antara mayat-mayat yang hampir membusuk dalam menara Rashomon. Perempuan yang tua, berbaju kecoklatan, bertubuh pendek dan kurus, berambut putih dan mirip seekor monyet. Dengan oncor dari potongan kayu cemara di tangan kanannya, perempuan itu memandangi wajah sesosok mayat. Mayat seorang perempuan dengan rambut panjang. Bagaimana bisa ada tumpukan mayat dalam menara Rashomon, baiknya kuceritakan dulu. Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun—kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat. Perempuan itu sebatang kara, tak mempunyai keluarga. Perempuan itu tak menikah sebab tak ada lelaki yang ingin menikah dengan perempuan berwajah buruk seperti monyet. Apalagi ia bukan seorang kaya atau turunan bangsawan. Dulu, ia bekerja sebagai pelayan di rumah bangsawan Kyoto. Bertahun-tahun ia bekerja dengan baik dan tak pernah mengeluhkan gaji yang terlalu sedikit. Majikannya menyayanginya. Ia merasa bahagia. Dan sepertinya tak bakal ada alasan bagi majikannya untuk memberhentikannya. Ia sudah seperti keluarga saja dengan keluarga majikannya. Karena perlakuan seperti itulah ia tak terlalu bersedih sewaktu bapak ibunya meninggal terkena wabah penyakit. Namun ia keliru. Kondisi Kyoto pada waktu seperti ini mengalami kemunduran yang teramat cepat. Dan majikannya yang baik itu juga merasakan dampak kemunduran itu. Majikannya memecatnya. Majikannya bilang tak mampu lagi membayar gajinya yang tak banyak dan memberinya makan. Majikannya tak sekaya dan sebaik yang ia sangka ternyata. Kemudian ia pergi dari rumah majikannya. Dan karena ia tak mempunyai sanak famili untuk menumpang tinggal, juga rumah orangtuanya yang sempit telah lama dijual untuk biaya pengobatan mereka, maka ia melantung, tidur di emper rumah penduduk atau meringkuk di relung-relung reruntuhan bangunan yang banyak terdapat di seantero Kyoto bersama pencoleng dan orangorang buangan. Awalnya ia kebingungan bagaimana bekerja dan mendapat uang untuk menopang kehidupannya. Ia tak punya keahlian apa-apa selain menyiapkan teh dan membikin sushi, menyapu rumah dan mencuci pakaian. Ia tahu, tak bakal ada yang mau menerimanya sebagai pelayan. Semenjak krisis berkepanjangan ini, orang-orang kaya tak lagi mencari pelayan baru, sebagian besar malah memecat pelayan mereka. Dan para istri saudagar atau bangsawan mesti belajar menanak nasi, membersihkan rumah dan merawat kebun. Krisis berlangsung terlalu panjang dan menimbulkan akibat yang teramat hebat. Pemecatan perempuan tua itu dan pelayan-pelayan lainnya barangkali hanya sekadar riak kecil saja dari kemunduran itu.
Dalam kebingungan seperti itu, perempuan tua itu berpikir untuk menjadi pencuri. Ia kelaparan. Daripada mati kelaparan lebih baik ia mencuri. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menopang hidupnya selain dengan mencuri. Namun belum sempat menjalankan pikiran itu, kesadarannya timbul. Tubuhnya sudah lemah dimakan usia, ia tak bakal bisa berlari cepat menyelamatkan diri bila terpergok pemilik rumah. Ia akan mudah tertangkap dan menjadi bulan-bulanan penduduk Kyoto. Itu akan sangat memalukan. Memang, seringkali rasa malu lebih penting dari perut yang kelaparan. Hingga pada suatu ketika, ia sampai di Rashomon. Dengan menaiki beberapa anak tangga, ia menuju menara yang teduh untuk beristirahat. Alangkah terkejut ia dan hampir saja semaput demi dilihatnya dalam menara itu bertumpuk mayat-mayat. Sebagian mayat-mayat itu berpakaian, sebagian lagi telanjang. Sebagian mayat laki-laki dan sebagian lagi perempuan. Mayat-mayat itu berserakan dan bertumpuk di lantai, serupa boneka-boneka dari tanah. Ada yang mulutnya menganga dan tangan terentang. Sulit baginya membayangkan bahwa mayatmayat mengerikan itu pernah hidup sebelumnya. Perempuan tua itu nyaris berlari balik ke arah darimana ia datang, ke jalan yang tadi ia tempuh. Namun secepat ia berbalik badan, secepat itu pula terbersit pikiran untuk mendapatkan uang dari mayat-mayat itu. Barangkali di saku baju mayat-mayat yang masih berpakaian ada barang berharga yang tertinggal, barang berharga yang bisa dijual. Tapi mayat-mayat itu adalah mayat buangan. Bagaimana bisa ada barang berharga dari mayatmayat semacam itu. Tentu orang yang membuang mayat-mayat itu telah lebih dulu mengambilnya. Namun ia menemukan ide yang lebih cemerlang. Dulu, sewaktu masih kanak-kanak, bapaknya pernah mengajarinya membuat cemara palsu dari bahan rambut. Itu bisa dijual. Dan kini di hadapannya, tersedia banyak sekali rambut untuk membuat cemara. Rambut mayat-mayat itu. Ia tinggal mencabutinya. Kemudian ia putuskan untuk tinggal dalam menara itu, tidur bersama tumpukan mayat-mayat itu. Senja ini, hujan mengguyur Kyoto. Perempuan tua itu tak peduli. Ia merasa nyaman dan terlindung dalam menara itu. Tadi siang seseorang melempar mayat baru ke dalam menara itu. Mayat perempuan dengan rambut panjang yang lembut, perempuan yang seperti ia kenal, atau paling tidak pernah ia jumpai, hanya saja ia tak tahu persisnya di mana dan kapan. Ia tak tahu kenapa wanita itu mati dan dibuang ke dalam menara. Tak ada bekas luka di tubuh mayat itu, karena itulah ia menyimpulkan perempuan itu meninggal karena wabah penyakit. Tapi itu tak menjadi pikiran yang penting dan perlu berlama-lama direnungkan. Ia juga tak peduli siapa yang membuang mayat perempuan itu. Yang penting baginya adalah sesegera mungkin mencabuti rambut di kepala wanita itu untuk membuat cemara. “Alangkah bagus rambut ini. Tentu bakal jadi cemara yang bagus dan berharga mahal nantinya,” bisiknya pada diri sendiri. Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya. Pada waktu itulah, ia teringat siapa perempuan yang kini menjadi mayat dan tengah ia cabuti rambutnya itu.
Ia terlalu bersemangat mencabuti rambut mayat itu sampai tak tahu bahwa sedari tadi seseorang tengah mengamatinya. Seorang Genin, samurai kelas rendah. Genin itu tiba-tiba saja melompat dari tangga. Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar. Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel. “Hei, mau ke mana kau?” hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri. Ia masih meronta-ronta dengan hebat. Namun sehebat apa pun rontaan dari tubuhnya yang lemah, tetap saja tak mampu membuatnya lolos dari cengkeraman Genin itu. “Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku….” Genin itu melepaksan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya. Genin mengerti perempuan tua itu tengah ketakutan. “Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini.” “Aku mencabuti rambut. Aku mencabuti rambut untuk membuat cemara.” Genin itu merasa kecewa dan kaget dengan jawaban sederhana dan di luar dugaannya itu. Perempuan tua itu melanjutkan, “Ya, memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan hering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini.” Genin menyarungkan pedangnya kembali. Ia mendengar ocehan perempuan tua itu dengan dingin. “Kau yakin begitu?” tanyanya dengan nada mengejek ketika perempuan itu telah selesai bicara. Lalu sambil mencengkeram leher baju perempuan itu, ia berkata geram. “Kalau begitu, jangan salahkan aku bila aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tak melakukannya.” Dengan kasar, lelaki itu merenggut pakaian si perempuan tua, menarik tangan dan menyepak tubuh ringkih itu hingga jatuh menerpa tumpukan mayat-mayat. Dengan mengempit pakaian hasil rampasan, Genin itu menuruni tangga dan hilang di ujung jalan. Beberapa saat kemudian, tubuh perempuan tua yang telanjang itu menggeliat di antara tumpukan mayat-mayat. Ia pandang berlama-lama tumpukan tubuh tak bernyawa itu sambil
memijit-mijit bagian tubuhnya yang sakit karena ditendang dan jatuh tadi. Ia memandang jasad-jasad itu seperti tak pernah memandang sebelumnya. Tiba-tiba ia bergumam, “Alangkah damai mayat-mayat itu, alangkah tenang mereka yang tak lagi berurusan dengan perkara lapar, dengan perkara duniawi.” Pada waktu itu, ia ingin menjadi mayat. Terlentang di tempat itu. Tak lagi berpikir apa-apa. Tak lagi merasa sedih sewaktu ada seseorang yang datang mencabut rambut atau mengiris sekerat dagingnya. (*)
Akutagawa Ryunosuke (1892 - 1927) Penulis cerpen, penyair, dan penulis esai, salah satu dari penulis modernis Jepang pertama yang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Akutagawa tak pernah menulis novel panjang. Dia seorang perfeksionis dalam gaya bahasa, dan menyukai tema-tema yang mengerikan. Cerpennya, „Rashomon,‟ menjadi inspirasi film klasik besutan sutradara Akira Kurosawa pada 1950-an. Pada 1935, kawannya sesama penulis, Kikuchi Kan mendirikan Akutagawa Prize, yang secara umum dianggap sebagai salah satu penghargaan karya sastra paling berwibawa untuk para penulis yang bagus di Jepang. “Dia [Akutagawa] adalah penggemar cita rasa pujangga yang muncul sejak masa Edo; dari tradisi pujangga Edo ini muncullah cita rasanya terhadap cara berpakaian, ketidaksukaannya terhadap ketidaksopanan, penghargaan tertentu terhadap ketelitian dan, yang lebih penting, pengetahuannya yang luas tentang sastra Cina dan Jepang serta sensitivitas yang tinggi atas bahasa.” (Shuichi Kato dalam A History of Japanese Literature, vol. 3, 1983). Akutagawa Ryonosuke lahir di Tokyo pada 1 Maret 1892 dari keluarga yang turun temurun hidup di distrik shitamachi Tokyo. Distrik ini terkenal karena tradisi budayanya. Tak lama setelah dia lahir ibunya, Fuku, menjadi gila. Ayahnya, Binzo Shinhara, seorang saudagar, tak mampu merawat anaknya. Akutagawa kemudian diadopsi oleh pamannya, Michaki Akutagawa. Pada 1913 Akutagawa masuk ke Universitas Imperial Tokyo. Di sana dia mempelajari sastra Inggris, dan lulus dengan tesis tentang William Morris. Bersama kawannya, Kikuchi Kan dan Kume Masao, Akutagawa mendirikan majalah sastra, Shin Shicho. Saat masih kuliah, Akutagawa mulai rajin menulis cerpen karena dorongan novelis Natsume Soseki, yang secara khusus terkesan dengan „Rashomon‟ (1915), yang diterbitkan dalam sebuah majalah universitas. Kisah itu, dengan latar belakang Kyoto abad ke 12, menggambarkan sebuah tempat yang hancur, di mana seorang bekas pelayan berusaha bertahan hidup dan harus memilih antara imoralitas dengan kebajikan. Akutagawa akrab dengan sastra Eropa dan Cina. Dia adalah pengunjung tetap Maruzen, boohoo berbahasa asing di Tokyo, dan tertarik dengan penulis-penulis Barat seperti Strindberg, Merimee, Nietzsche, Dostoevsky, Baudelaire dan Tolstoy, yang semua karya penulis itu dia baca melalui terjemahan Inggrisnya. Walaupun tak pernah mengunjungi Barat, tetapi pemahamannya tentang sastra Barat sangat mendalam. Dalam karya otobiografinya Akutagawa juga memperlihatkan ketertarikannya pada perdebatan tentang sosialisme dan kelas-kelas sosial. Dalam esainya “What is Proletarian Literature,” yang ditulis pada 1927 dia meramalkan bahwa kaum borjuis cepat atau lambat akan menyerahkan kedudukannya kepada proletariat. Selama karirnya yang singkat Akutagawa menulis hampir semua cerita utamanya dalam waktu sepuluh tahun sebelum dia bunuh diri. Sebagai seorang penulis, Akutagawa pertama kali terkenal karena ceritanya yang berjudul „The Nose‟ (1916), yang mengisahkan seorang pendeta Budha yang merasa bahwa hidupnya menjadi sulit karena hidungnya yang terlalu besar. Akutagawa menulis sekitar 150-an cerita dan beberapa diantaranya telah difilmkan. „Rashomon‟ dan „In a Grove‟ menjadi dasar film Akira Kurosawa yang terkenal, yang di daur ulang tapi tak sukses di Holywood dengan judul “Outrage.” Banyak cerita karya Akutagawa di tempatkan pada situasi Jepang kuno namun ia membawanya pada sudut pandang psikologi modern. Cerpen „Autumn‟ (1920), „The Garden‟ (1922) dan „The House of Genkaku‟ (1927) merepresentasikan pergeserannya ke arah realisme. Dia kerap menggambarkan arus pikiran yang gelap dan menyukai tema-tema yang mengerikan. Misalnya, dalam „Hell Screen‟ Akutagawa memaparkan kreativitas artistik dan mengajukan pertanyaan apa yang terjadi jika
seseorang siap untuk melanggar semua aturan moral dalam rangka memenuhi tujuan artistiknya, yang dalam kasus ini adalah membunuh. “Hell Screen” diceritakan dalam diri orang pertama oleh karakter lain, seorang saksi mata dari peristiwa. Kisahnya tentang Yoshihide, tokoh protagonisnya, yang bertemperamen buruk tetapi dia seniman besar. Putri semata wayangnya, Yuzukui, adalah anak yang lembut dan patuh kepada ayahnya. Dia bekerja sebagai pelayan Tuan Horikawa, yang meminta Yoshihide untuk melukis gambar neraka. Seniman ini bekerja keras siang dan malam dan murid-muridnya terus-terus menerus berada dalam keadaan tegang karena perilakunya yang ganjil. Akhirnya dia mengatakan kepada bangsawan itu bahwa dia tak dapat menggambar lagi karena modelnya kurang dan satu bagiannya tak terselesaikan, yakni: seorang perempuan istana yang menggeliat kesakitan, rambutnya terurai berantakan di tengah kobaran api. Beberapa hari kemudian disajikanlah pemandangan itu [untuk dijadikan model gambarnya] dihadapan sang seniman; dan dibakarlah seorang perempuan, tetapi yang dibakar adalah Yuzukui, putrinya sendiri. Sebulan kemudian selesailah lukisan pemandangan neraka itu dan Yoshihide menggantung diri di studionya. Pada masa paling aktif di tahun 1921, Akutagawa pergi ke Cina. Dalam ceritanya yang terakhir Akutagawa membahas karyanya sendiri dan membuatnya terkenal di dunia sebagai sastrawan. Tetapi cerita-cerita itu tak lebih sukses daripada cerita-ceritanya yang terdahulu. Akutagawa bunuh diri pada 24 Juli 1927, pada usia tiga puluh lima tahun. Dia menderita halusinasi visual dan dalam catatan bunuh dirinya yang bertajuk “Catatan untuk Seorang Kawan Lama” ia menulis: Duniaku sekarang adalah dunia sakit jiwa, bening seperti es. Kematian sukarela ini pasti memberi kita kedamaian, jika bukannya kebahagiaan. Nah sekarang aku telah siap, aku mencari alam yang lebih indah daripada yang pernah ada, meski ini mungkin terdengar paradoksal. Aku telah menyaksikan mencintai dan memahami lebih banyak daripada orang lain. Karya otobiografi Akutagawa antara lain “The Early Life of Daidoji Shinsuke” (1925), yang dibiarkan tak selesai, “A Fool‟s Life” (1927) dan “Cogwheels” (1972). Karya penting terakhirnya, Kappa (1927) menggambarkan makhluk air dongengan (Kappa), yang sangat dikenal dalam cerita rakyat. Dalam kisah itu seorang penghuni rumah penampungan orang gila menceritakan perjalanannya di negeri Kappa. Beberapa cerpennya yang lain diantaranya adalah „Absorbed I Letters‟ (1917); „From Withered Fields‟ (1918); „Death of a Christian‟ (1918); „The Story of St Christopher‟ (1919); „The Ball‟ (1920); „Hina‟ (1923); „Words of a Dwarf‟ (1923-1925); „The House of Genkaku‟ (1927); dan lain-lain.