ANEMIA
I.
DEFINISI UMUM Anemia secara fungsional didefinisikan sebagi penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).
II.
KLASIFIKASI Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis A.
Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1. kekurangan bahan esensial pembentu eritrosit a. anema defisiensi besi b. anemia defisiensi asam folat c. anemia defisien vitamin B12 2. gangguan penggunaan (utilisasi) besi a. anemia akibat penyakit kronik b. anemia sideroblastik 3. kerusakan sumsum tulang a. anemia aplastk b. anemia mieloptisik c. anemia pada keganasan hematologi d. anemia diseritropeitik e. anemia pada sindrom mielodisplastik f. anemia akibat kekurangan eritropoetin; anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemorragi 1. anemia pasca perdarahan akut 2. anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik 1. anemia hemolitik intrakorpuskular
a. gangguan membran eritrosit (membranopati) b. gangguan enzim eritrosit (enzimopati); anemia akibat defisiensi G6-PD c. gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) -
thalassemia
-
hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dll
2. anemia hemolitik ekstrakorpuskular a. anemia hemolotik autoimun b. anemia hemolitik mikriangiopatik c. lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi I.
Anemia hipokromik mikrositer a.
anemia defisiensi besi
b.
thalassemia major
c.
anemia akibat penyakit kronik
d.
anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer a. anemia pasca perdarahan akut b. anemia aplastik c. anemia hemolitik didapat d. anemia akibat penyakit kronik e. anemia pada gagal ginjal kronik f. anemia pada sindrom mielodisplastik g. anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik
1. anemia defisiensi asam folat 2. anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa b. Bentuk non-megaloblastik 1. anemia pada penyakit kronik 2. anemia pada hipotiroidisme 3. anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia Defisiensi Besi ●
Definisi Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembenmtukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai leh anemia yang hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium menunjukkan cadangan besi kosong. ●
Metabolisme Besi Besi merupakn trace element vital yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hemoglobin, mioglobin, dan berbagai enzim. Dilihat dari segi evolusi penyerapan di usus, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi dari hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah diman sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, tetapi perangkat absorbsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga menimbulkan defisiensi besi. ●
Kompartemen Besi Dalam Tubuh
Besi terdapat dalm tubuh berupa : 1. Senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh. 2. Besi cadangan, besi yang dipersiapkan apabila asupan besi berkurang. 3. Besi transport, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Besi dalam tubuh tidak pernah dalam bentuklogam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Kandungan besi seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg A
Senyawa besi fungsional
Hemoglobin
2300 mg
Mioglobin
320 mg
Enzim-enzim
80 mg
B
Senyawa besi transportasi
Transferin
3 mg
C
Senyawa besi cadangan
Feritin
700 mg
Hemosiderin
300 mg
Total 3803 mg Jumlah besi pada perempuan umumnya lebih kecil oleh karena massa tubuh yang juga kecil. ●
Absorbsi Besi
Dibagi 3 proses :
Fase Luminal adalah besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap oleh duodenum.
Fase Mukosal adalah proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif.
Fase korperal meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi (sorage) oleh tubuh.
Mekanisme Regulasi Absorbsi Besi Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus : ✗
Regulator dietetik, absorbsi besi dipengaruhi oleh jenis diet dimana besi terdapat. Diet dengan bioavaibilitas tinggi yaitu besi heme, besi dari sumber hewani, serta adnya faktor enhancer akan meningkatkan absorbsi besi. Sedangkan besi dengan bioavaibilitas rendah adalah besi non heme, besi yang berasal dari sumber nabati dan banyak mengandung inhibitor akan disertai prosentase absorbsi besi yang rendah. Dan dikenal sebagai mucosal block.
✗
Regulator simpanan, penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh. Penyerapan besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Pada regulasi ini bekerj melalui crypt cell programing sehubungan dengan respon saturasi transferin plasma dengan besi.
✗
Regulator
eritropietik,
besar
absorbsi
besi
berhubungan
eritropoiesis.
Eritrhropoitic regulator mempunyai kemampuan regulasi absorbsi besi lebih
tinggi dibandingkan dengan stores regulator. Eriitropoiesis inefektif (peningkatan eritropoesis tetapi disertai penghancuran eritrosit dalam sumsum tulang), seperti misalnya pada thalassemia atau hemoglinopati lainnya, disertai peningkatan absorbsi besi lebih besardibandingkan dengan peningkatan eriitropoesis akibat destruksi eritrosit di darah tepi, seperti pada anemia hemolitik autoimun. Oleh karena itu hemokromatosis sekunder jauh lebih sering keadaan pertama dibandingkan dengan keadaan kedua. ●
Siklus Besi Dalam Tubuh
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang etrtutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sam melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan ertiropoesis sebanyak 24 mg perhari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis infektif (hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yan beredar, setelah mengalami proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg. ●
Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi
Deplesi Besi (iron depleted state) cadangan besi menurun tetapi penyediaanya besi untuk eritropoesis belum terganggu.
Eritropoesis Defisiensi Besi (iron deficient erithropoiesis) cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk ertropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
Anemia Defisiensi Besi cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.
Prevalensi Prevalensi Anemia Defisiensi Besi di Dunia Afrika
Amerika Latin
Indonesia
Laki dewasa
6%
3%
16-50 %
Wanita tak hamil
20 %
17-21 %
25-48 %
Wanita hamil
●
60 %
39-46 %
45-92 %
Etiologi Anemia defisiensi besi dapt disebabkan oleh rendanhya masukkan besi, gangguan absorbsi,
serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun : 1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari : i. Saluran cerna, akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemorid dan infeksi cacing tambang. ii. Saluran genitalia perempuan: menorhagia atau metrorrhagia. iii. Saluran kemih : hematuria iv. Saluran napas : hemoptoe 2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vit.c, dan rendah daging). 3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. 4. Gangguan absorbsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. ●
Patogenesis Perdarahan menahun menyebabkan kehilanagan besi sehingga cadangan besi semakin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjutterus menerus maka cadanagn besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient erthropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatanreseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus menerus eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun akibatnya terjadi anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada ssat ini juga terjadi kekurangan besi
pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring serta berbagai gejala lainnya. Perubahan Fungsional Non-Anemia Pada Defisiensi Besi Defisiensi besi selain menimbulkan anemia tetapi juga memberikan dampak negatif, seperti misalnya pada (1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan; (3) gagngguan imunoitas dan ketahanan terhadap infeksi; (4) gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes. Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase, menyebabkan gangguan glikoslisis yang berakibat penumpukan asam laktat sehingga mempercepat kelelahan otot. Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran jasmani, sedangkan pada buruh ini dapat dihilangkan dengan preparat zat besi. Defisiensi besi menimbulka ogangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak dan bayi sehingga dapat menurunkan kapasita belajar. Ini karena gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan penumpukan serotonin, serta enzim monoaminooksidaseyang menyebabkan penumpukan ketokelamin pada otak. Defisiensi besi mengakibatkan berkurangnya penyediaan besi pada bakteri sehingga memperhambat pertumbuhan bakteri yang berakibat ketahanan terhadap bakteri.. besi juga dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas selular. Defisiensi besi dihubungkan dengan resiko prematuroitas serta morbiditas dan mortalitas fetomaternal. Ibu hamil yang menderita anemia disertai peningkatan angka kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan sering mengalami gangguan partus. ●
Gejala Anemia Defisiensi Besi
Gejala anemia defisiensi besi digolongkan menjadi 3 golongan besar :
Golongan Umum Anemia Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada
anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mnedengung. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan dan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan
kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh berjalan baik. Anemia bersifat simptomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien ynag pi=ucat pada konjungtiva dan jaringan bawah kuku.
Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala khas yang dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah : ✗
Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung mirip seperti sendok.
✗
Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang.
✗
Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak pucat keputihan.
✗
Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
✗
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
✗
Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti : tanah liat, es, lem dan lain-lain.
Sindrom plummer vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kempulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
Gejala Penyakit Dasar
Pada anemia defisiensi zat besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi zat besi tersebut. Misalnya pada anemisa penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuningseperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala laintergantung dari lesi kanker tersebut. ●
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah : Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit : didapatka anemia hipokronik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan smapai berat. MCV dan MCH menurun. MCV<70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi dan thallasemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan awal defiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu
pemeriksaan dengan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis anemia ini sering tumpang tindih. Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakia angka <80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di bagian Penyakit Dalam UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah <78 flmemberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV, MCH, MCHCdan RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks eritrosit. indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Hapusan darah tepi (Gb.4) menunjukkan bahwa anemia hipokromik mikrositer, anisositosis dan poikilositosis. Makin berat derajat anemia makin hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thallasemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target. Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang ditemui eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode pendarahan akut. Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC (total iron binding capacity) Meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50µg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350µg/dl, dan saturasi transferin < 15%. Ada juga yang memakai saturasi transferin <16% atau <18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi. Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang Sangat baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka <12µg/l, tetapi ada juga yang memakai <15 µg/l. Untuk daerah tropik dimana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada suatu penelitian pada pasien anemia di rumah skit di Bali pemakaian feritin serum<12µg/l dan <20 µg/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%.
Sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mg/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%). Hecberg
untuk daerah tropik menganjurkan
memakai angka feritin serum <20mg/l sebagai kriteria arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60µg/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk didiagnosis IDA yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum diatas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi. Protoporfirin Merupakan Bahan Antara pada Pembentukan Heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30mg/dl. Untuk defisiensi besi prtoporfirin bebas adalah 100mg/dl. Keadaan yang sama juga didapat pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam. Kadar Reseptor Transferin dalam serum Meningkat pada Defisiensi Besi. Kadar normal dengan cara imunologi adalah 4-9µg/L. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor transferin dengan log eritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio < 1,5 sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik. Sumsum Tulang Menunjukkan Hiperlisa Normoblastik Ringan Sampai Sedang dengan Normoblas Kecil-kecil Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemsiderin negatif). Dalam keadaan normal 4060% normoblast mengandung granula seritin dalam sitoplasmanya, disebut sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis. Studi Ferokinetik Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. ada dua jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma, dan erythocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur pergerakan besi
dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian. Perlu Dilakukan Pemeriksaan untuk Mencari Penyebab Anemia Defisiensi Besi. Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantittatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut. ●
Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan an-amnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. terdapat tiga tahap diagnosis ADB. tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia terganttung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besib(tahap satu dan dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut: Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MHCH < 31% dengan salah satu dari a, b, c, atau:
Dua dari tiga parameter di bawah ini :
➢
Besi serum < 50 mg/dl
➢
TIBC > 350 mg/dl
➢
Saturasi transferin : <15%, atau
Feritin serum <20 mg/l atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif atau
Dengan Pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2g/dl
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber pendarahan yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya. Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari sumber pendarahan. dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi anamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak cukup dilakukan pemeriksan hapusan langsung(direct smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab utama ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau egg per gram faeces (EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada perempuan. Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan . Pada pemeriksan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia.
pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing
tambang dijumpai pada 3,3% pasien infeksi cacing tambang atau 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang dijumpai. Jika tidak ditemukan pendarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occuld blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan enoskopi saluran cerna atas atau bawah. ●
Diagnosis Differensial Anemia
Anemia
Trait
Anemia
Defisiensi Besi
karena
Thalassemia
Sideroblasti
Penyakit
k
Kronik Derajat anemia
Ringan-berat
Ringan
Ringan
Ringan-berat
MCV
Menurun
Menurun/N
Menurun
Menurun/N
MCH
Menurun
Menurun/N
Menurun
Menurun/N
Besi serum
Menurun <30
Menurun
Normal/
Normal/
<50 > Menurun < Normal/
Normal/
TIBC
Meningkat
Saturasi
360 Menurun <15%
300 Menurun/N
Meningkat
Meningkat
transferin
10-20 %
>20 %
>20 %
Besi
Positif
Positif kuat
Positif
sumsum Negatif
tulang
dengan ring sideroblast
Protoporfirin
Meningkat
Meningkat
Normal
Normal
Menurun
Normal 20- Meningkat
Meningkat
<20µg/l
200 µg/l
>50µgl
>50µl
N
N
Hb.A2
N
eritrosit Feritin serum
Elektrofoesis Hb ●
meningkat
Terapi
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah : ✗
Terapi kausal: terapi penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobtan menorhagia. Dan terapi ini harus dilakukan karena kalau tidak ini akan kambuh lagi.
✗
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh.
Terapi Besi Oral Preparat yang tersedia adalah ferousus sulphat (sulfas ferosus) mrupakan preparat pilihan
pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulafas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3x200mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg perhari. Dan dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal. Preparat lain : ferous gluconnate, ferous fumarat, ferous lactate, ferous
succinate.
Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektifitasden efek samping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan enterik coated yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah tetapi dapat mengurangi absorbsi besi.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan ada juga yang mengatakan sampai 12 bulan. Setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100-200mg. Jika tidak diberikan dosis pemeluiharaan, anemia sering kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat digunakan preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi.
Terapi Besi Parenteral
Indikasi terapi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu yaitu : i. Intoleransi terhadap pemberian besi oral. ii. Kepatuhan terhadap obat yang rendah iii. Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi. iv. Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi. v. Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral. Seperti misalnya pada herditary hemorrhagic talengaectasia. vi. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi. vii. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian ertirtopoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau akibat penyakit kronik. Preparat yang tersedia ialah iron dextram complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid complex dengan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengemblikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg.
Pengobatan Lain
Diet sebaiknya diberikan makanan bergizi dengantinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani.
Vitamin C, vitamin C diberikan 3x100 mg perhari untuk meningkatkan absorbsi besi.
Transfusi darah : ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah: ■
Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
■
Anemia yang sangat simptomatik.
■
Pasien yang memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat
ANEMIA APLASTIK PENDAHULUAN Anemia aplastik merupakan kegagalan hemapoiesis yang relative jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hematopoietik sumsum tulang. Selain istilah anemia aplastik yang paling sering digunakan, masih ada istilah-istilah lain seperti anemia hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisis dan anemia paralitik toksik. Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan antara keduanya bukan usia pasien, melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin membawa kelainan herediter yang muncul di usia dewasa. Dalam bab ini yang dibahas terutama adalah anemia aplastik didapat sedangkan sedikit penjelasan mengenai anemia aplastik herediter diberikan di akhir pembahasan ini.
EPIDEMIOLOGI Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian The International Aplastic Anemia and Agranulobytosis Study di awal tahun 1980-an menemukan frekuensi di Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1 juta penduduk. Penelitian di Perancis menemukan angka insidensi sebesar insidensi dilaporkan 0, 74 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan di Bangkok 3,7 kasus per 1 jta penduduk per tahun. Ternyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan Timur dunia daripada di sebelah Barat. Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15-25 tahun; puncak insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan Eropa umur sebagian besar pasien berkisar 15-24 tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia aplastik pada perempuan berumur di atas 50 tahun dan pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria ditemukan dua puncak yaitu 15-30 dan setelah umur 60 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan berumur di atas 60 tahun.
PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS Dahulu, anemia aplastik dihubungkan dengan paparan terhdap bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahan-bahan toksik seperti radiasi seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, obatan atau senyawa kimia tertentu. penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi anemia aplastik tercantum pada Tabel 2. Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan.obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan anemia aplastik adlah senyawa benzene. Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen, misalnya virus Epstein-Barr, influenza A, dengue, tuberculosis (milier). Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang. Infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang
berkembang menjadi AIDS dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien dengan defisiensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini, sindroma anemia aplastik dikaitkan dengan hepatitis walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah banyak studi dilakukan virus, virus yang pasti belum diketahui, namun diduga virus hepatitis non-A, non-B, dan non-C. Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh estrogen pada seseorang dengan presisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang hemapoiesis. Anemia aplastik sering kambuh setelah terminasi kehamilan dapat terjadi lagi pada kehamilan berikutnya. Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil terapi dan eksperimen laboratorium yang sistemik. Di akhir tahun 1960-an, Manthe et al memunculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem cell). Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan koloni hematopoietik alogenik dan autologus. Setelah ini, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memerantai destruksi sel-sel asal hematopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan darah tepi pasien anemia merupakan inhibitor langsung hemapoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34+. Klon sel-sel T immortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin Thelper-1 yang bersifat toksik langsung ke sel-sel CD34 positif autologus. Sebagian besar anemia aplastik didapat secara langsung patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons tersebut kadangkadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atau zat kimia tertentu. sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain, seperti toksitas langsung pada sel-sel asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Lagipula, derajat destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi kualitatif respons imun dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.
Kegagalan Hematopoietik Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tulang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau specimen care biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow cytometry. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive, yang disebut CD34. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel CD34 dideteksi secara flruosens satu persatu, sehingga jumlah CD34+ dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa selsel induk pembentuk koloni erytroid, myeloid, dan megakariositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitive dan “tenang” (quiescent) yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.
Destruksi Imun Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartement sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan hemapoiesis. Sel-sel ini memproduksi faktor-faktor penghambat yang akhirnya diketahui adalah interferon-γ. Adanya aktivasi respons sel T helper-1 (TH1) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan produksi interferon, tumor necrosis factor, dan interleukin-2 yang berlebihan. Deteksi interferon-γ intraseluler pada sampel pasien secara flow cytometry mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif dan dapat diprediksi relaps. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+ dan sel-sel induk (progenitor) hematopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik, erytroid, dan megakariositik) versifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung lomfosit umunya normal pada hamir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemapoiesis dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif. Jadi, sel-sel asal hematopoietik tampaknya masih ada pada sebagian besar pasien anemia aplastik.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya sel CD34 yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraseluler yang menyebabkan penghentian siklus sel (cell cycle arrest). Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hematopoietik dengan perilaku paling primitive tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atas FAS, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel anak. Jadi, 10% sel-sel CD34+ total, relative tidak terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel asal hematopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama sel-sel imun. Sel-sel asal hematopoietik primitive yang selamat dari serangan autoimun memungkinakan pemulihan hematopoietik perlahan-lahan yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan (berminggu-minggu atau berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan keretanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam. Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsy sumsum tulang. Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyikirkan hemoglobinuria noktural proksimal, dan karyotiping sumsum tulang dapat membatu menyingkirkan sindrom myeloidiopatik. Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia. Fanconi dengan memakai obat klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang tampak. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Tabel 3 terlibat bahwa perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan yang sering ditemukan.
PEMERIKSAAN FISIS Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-
macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah Tepi Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokron normositer. Kadang-kadang ditemukan pada makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bahwa bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemua (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bahwa bukan anemia aplastik. Laju Endap Darah Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama. Faal Hemostasis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal. Sumsum Tulang Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsy sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai kriteria diagnosis. Virus Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV, dan parvovirus dan sitomegalovirus. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.
Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenetik dengan flurosence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposeluler. Defisiensi Imun Adanya defisiensi imun melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T. Lain-lain Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoetin ditemukan pula meningkat pada anemia aplastik. PENATALAKSANAAN Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau translplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfuse harus dipertimbangkan untuk menentukan apakaj pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau TST. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian terapi imunosupresif. Pasien yang lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-500/ mm3, tampaknya lebih mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST. Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah cenderung lebih baik denganTST, karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi neutropenia (harus diingat bahwa pasien yang mendapat terapi imunosupresi mungkin baru membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menengah yang memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi harus dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit. Suatu algiritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Gambar 4).
TERAPI KONSERVATIF Terapi Imunosupresif Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG pada kegagalan sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui: Koreksi terhadap destruksi T-cell-immunomediated pada sel asal Stimulasi langusng atau tidak langsung terhadap hematipoiesis Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20mg/kg per hari selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5 mg/kg per hari selama 5 hari) plus CsA (12-15 mg/kg, bid) umumnya selama 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian pada pasien yang tidak merespons terhadap ATG kuda, ATG kelinci nampaknya sama efektif dengan ATG kuda. Mencari penyebab dan menghindari bila menemukannya. Hal ini hanya bisa ditemukan pada 50% kasus saja. Adapun tindakan suportif yang dapat dilakukan: a. Mencegah dan mengobati infeksi b. Pemberian antibiotik profilaksis tidak dianjurkan karena dapat merubah flora usus menjadi pathogen. Adanya infeksi dapat menyebabkan Hb, leukosit dan trombosit semakin rendah. c. Mencegah dan mengobati perdarahan d. Hindari pemakaian antiinflamasi nonsteroid karena dapat menimbulkan erosi hingga berdarah di saluran cerna bagian atas dan dapat mengganggu fungsi trombosit. Menoragi dapat dicegah dengan pemberian hormon yang menghambat menstruasi. e. Transfusi
Eritrosit (packed cell) : diberikan bila terdapat keluhan terhadap anemianya, hingga kadar Hb 7-8 gr %.
Leukosit : diberikan pada neutropenia berat (kurang dari 500/mm3), yang disertai infeksi yang tidak terkendali dengan pemberian antibiotika adekuat.
Trombosit : transfusi trmobosit berulang akan menimbulkan isoantibodi terhadap trombosit alogenik sehingga trombosit menjadi tidak efektif lagi. Transfusi trombosit diindikasikan pada :
-
Trombositopenia berat (kurang dari 10.000/mm3) terutama disertai perdarahan, dinaikkan hingga trombosit di atas 20.000/mm3.
-
Perdarahan masif saluran cerna, otak, retina dan purpura yang dapat meluas.
Kortikosteroid Khasiatnya tidak pasti, sedangkan efek sampingnya banyak. Kadang-kadang terdapat respons terhadp kortikosteroid dengan dos ekuivalen terhadap prednisone 1 mg/kg/hari. Kebanyakan tidak menggunakannya. Kortikosteroid boleh dicoba dengan cara lain atau pada tets in vitro yang telah terbukti bermakna. Kematian Kematian pada anemia aplastik terutama disebabkan oleh perdarahan.
ANEMIA MEGALOBLASTIK Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sisntesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Dinyatakan anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada golongan umur yang ada, yaitu:
Anak umur 6 bulan – 6 tahun
: 11g/100 ml
6 tahun-14 tahun
: 12g/100ml
Pria dewasa
Perempuan dewasa tak hamil
: 12 g/100ml
Perempuan dewasa hamil
: 11 g/100ml
: 13 g/100ml
Untuk anemia gizi, selain kadar HB ditambah tolak ukur kadar besi, asam folat dan Vit. B12. Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan dari rasio RNA terhadap DNA. Selsel awal/pendahulu eritroid megaloblastik cenderung dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang sering meingkat tetapi produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesis yang tidak efektif (ineffective erythropoeisis).
●
Klasifikasi Anemia Megaloblastik
Defisiensi kobalamin
Asupan tidak cukup: vegetarian (jarang)
Malabsorbsi
Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan : achlorhidrida gaster, gastrektomi, obat-obatan yeng menghalangi sekresi asam
Produksi faktor instriksik yang tidak mencukupi : anemia pernisiosa, gastrektomi total, abnormalitas fungsional atau tidak adanya faktor intrinsik yang bersifat kongenital.
Gangguan dari ileum terminalis : sprue topikal, enteritis regional, neoplasma, dan gangguan granulomatosa (jarang)
Kompetisi pada kobalamin :fish tapeworm (Dyphylobotrium latum)
Obat-obatan : p-aminosalicylic acid, kolkisin, neomisin
Lain-lain : NO (Nitrous Oxide) anesthesia, defisiensi transkobalamin
Defisiensi Asam Folat Asupan yang tidak adekuat. Diet yang tidak seimbang (sering pada peminum alkohol, usia belasan tahun, beberapa bayi) Keperluan yang meningkat : kehamilan, bayi, keganasan, peningkatan hematopoeisis (anemia hemolitik kronik), kelainan kulit aksfoliatif kronik, hemolisis. Metabolisme yang terganggu : penghambat dihydrofolat reduktase (metroteksat, pirimetamin, triamteren, pentamidin) ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12 Peran utama asam folat dan dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme inraseluler. Defisiensi kedua zat tersebut akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA pada tiap sel, dimana pembelahan kromosom sering terjadi. Jaringan-jaringan yang memiliki pergantian sel yang sangat cepat akan mengalami perubahan yang sangat dramatis, antara lain adalah sistem hematopoeisi yang sangat sensitif pada defisiensi dan menyebabkan anemia megaloblastik. Gangguan maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah karena defisiensi asam folat atau vitamin B12 disebabkan karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda dalam sumsum tulang.
Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk dari N5-metiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di dalam sel, gugus N5 metil dilepas ke dalam reaksi kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat di dalam sel Derifat Aktif atau bentuk kofaktor Kobalamin adalah vitamin yang mempunyai susunan komponen organometalik yang kompleks, di mana atom cobalt terletak dalam inti cincin, suatu struktur yang mirip bentuk porfirin darimana heme dibentuk. Tidak seperti heme, namun kobalamin tidak dapat dibentuk dalam tubuh manusia dan harus dipenuhi dari makanan. Sumber utama hanya dari daging dan susu. Keperluan minimum sehari untuk keperluan kobalamin kurang lebih 2,5 ug. Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin disimpan dalam hati, dan selian itu 2 mg disimpan di jaringan di seluruh tubuh. Dari sudut pandang keperluan harian minimal, kurang lebih 3 sampai 6 tahun diperlukan untuk individu normal menjadi kekurangan kobalamin bila absorbsi dihentikan. Di dalam sel tubuh manusia, kobalamin merupakan faktor yang esensial bagi dua enzim, yaitu metionin sintase dan metil malonil-koenzim A(CoA) sintase. Kobalamin ada dua bentu aktif metabolik, yang dikenal pada gugus alkil yang terikat pada enam posisi koordinasi dari atom cobalt, yaitu : metilkobalamin dan adenosilkobalamin (juga diseut vitamin B12). Metilkobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam perubahan homosistein ke metionin. Bila reaksi tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau; dan dalam kekacauan ini yang menjadi latar belakang kerusakan dalam sintesis DNA dan pada pasien dengan defisiensi kobalamin timbul adanya bentuk maturasi megaliblastik. Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi dari metilmalonil CoA menjadi succinyl CoA. Tidak adanya kofaktor ini yang berperan penting dalam peningkatan yang cukup besar dalam jaringan dari metil malonil CoA dan pendahulunya, yaitu propionil CoA. Defisiensi Kobalamin Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan sistem nervorum.Keluhan anemia dapat terungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang berkaitan dengan kegagalan jantung
kongestif. Tanda fisik dari pasien yaitu pucat dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan kadar bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat gandaan sel-sel eritroid dalam susmsum tulang. Nadi denyutnya cepat, dan jantung mungkin membesar, pada auskultasi biasanya terdengar bising sistolik. Manifestasi gastrointestinal karena defisiensi kobalamin akan ada keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampak papil lidah halus dan kemerahan. Keluhan lain yaitu anoreksia dengan turunnya berat badan, kemungkinan bersamaan dengan diare. Manifestasi gangguan neurologis, perubahan patologi yang awal adalah demielinisasi, kemudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan akhirnya kematian neuronal, dan stadium akhir dari perjalanan penyakit ini ialah tidak dapat pulih. Keluhan dan gejala termasuk mati rasa dan parastesia pada ekstrimitas, kelemahan dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan pada sfingter. Refleks-refleks mungkin hilang atau meningkat. Anemia pernisiosa Anemia pernisiosa dianggap yang paling lazim sebagai penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan tidak adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa maupun destruksi autoimun dari sel-sel parietal. Pasien anemia pernisiosa juga mempunyai antibodi dalam sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan penyakitnya, yaitu 905% mempunyai antibodi sel antiparietal, yang langsung melawan H+. K+-ATPase, sedangkan 60% mempunyai antibodi faktor intrinsik. Ciri khas yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin dari lambung, kecuali antrum. ●
Pengobatan Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka perlu memberikan terapi
spesifik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatarbelakangi. Misalnya adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskuler. Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin 1000 ug i/m, tiap minggu sampai 8 minggu, kemudian dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000ug tiap bulan dari sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin
B12 sejumlah 2 mg perhari; namun ketidakpatuhan lebih besar pada terapi oral dibanding terapi i.m. Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua yang diperlukan guna pengobatan dfisiensi kobalamin. Kadang-kadang pasien menunjukkan anemia yang berat disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan kardiovaskuler yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini perlu dilakukan dengan hati-hati, sebab pasien yang demikian dapat berkembang menjadi gagal jantung karena adanya kelebihan cairan. Folat terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa mengubah abnormalitas neurologik. Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin resikonya meningkat. Defisiensi kobalamin yang berat akan memberikan gejala neurologis dari pada gejala hematologis, dan beberapa ahli menyarankan pemberian kristalin kobalamin oral dengan dosis 0,1 mg per hari guna profilaksis pada usia di atas 65 tahun. Defisiensi folat Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah 1 mg per hari peroral, namun dosis tinggi sampai 5 mg perhari mungkin diperlukan pada defisiensi folat karena malabsorbsi. Penyebab lain anemia megaloblastik Anemia megaloblastik karena obat dapat diobati, bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat atau menyingkirkannya. Efek antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5-formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200 mg perhari, yang akan menghambat metabolisme folat dengan cara menyediakan suatu bentu folat yang dapat diubah menjadi 5,10-methylene THF. Untuk bentuk megaloblastik dari anemia sideroblastik yang tidak respon dengan piridoksin. Anemia megaloblastik ang refrakter perlu dipikirkan terapi suportif. ●
Kesimpulan Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh defek sintesis DNA
dalam sel-sel
terutama dari hematopoeitik.
Klasifikasi
anemia megaloblastik dapat
dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi asam folat dan sebab-sebab lain. Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme
intraseluler. Bila kedua zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA. Hematipoiesis sangat sensitif pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik, untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk pengganti atau menghilangkan defisiensi tersebut.
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN ●
Definisi Anemia hemolitik autoimun merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel
eritrosit sehingga umur eritrosit memendek ●
Patofisiologi Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya. Aktivasi Sistem Komplemen Secara keseluruhan aktivasi komplemen akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik Reaksi diawali dengan aktivasi C1 yang akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi kompleks C4b, 2b. C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformasional sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen. C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran SDM dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b23b yang akan memecah C5 menjadi C5a dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sebagai aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3 dan C3b yang akan berikatan dengan membran SDM. Faktor B kemudian akan melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah
molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran. Aktivasi Selular yang Menyebabkan Hemolisis Ekstravaskular Jika sela darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka SDM tersebut akan dihancurkan oleh RES. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis. ●
Etiologi Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena gangguan
central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autorektif residual. ●
Diagnosis Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit adalah sbb.
i.
Direct Coomb’s Test: sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
ii.
Indirect Coomb’s Test: untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terrjadinya aglutinasi.
Klasifikasi Anemia Hemolitik Imun
Anemia hemolitik auto imun 1. tipe hangat 2. tipe dingin
Paroxysmal cold hemoglobinuri
Anemia hemolitik auto imun atipik
Reaksi hemolitik transfusi
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat Gejala dan Tanda Awitan penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik, splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali pada 30% dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien.
Pemeriksaan Laboratorium Hb sering dijumpai di bawah 7g/dl. Pemeriksaan Coomb direct biasanya positif Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antige Rh. Terapi ✗
Kortikosteroid : 1-1,5 mg kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat tes coombs direk positif lemah- tes coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke--30 sampai hari ke 90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari. Terapi sreroid dosis <30mg/hari diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah. Namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt. maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
✗
Splenektomi.B ila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tappering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi.
✗
lmunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari (80 mg m2), siklofosfamid 50-150 mg/hari (60 mg/m2).
✗
Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari bersama steroid.
✗
Terapi transfusi, pada kondisi yang mengancam jiwa (misal, Hb ≤ 3 g/dl).
Anemia Hemolitik Imun Tipe Dingin Terjadinya hemolisis diperantarai annbodi dingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi DonathLandsrainer. Kelainan ini secara karakteristik memilki aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen I/i. Sebagian besar IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I i bertugas sebagai reseptor mikoplasma yang akan menyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B. aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis. Gambaran Klinis Sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis. dan splenomegali. Pemeriksaan Laboratorium Anemia ringan. Sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif. anti-I. anti-I. anti -Pr. anti- M. atau anti-P. Terapi
Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis, Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu. klorambusil 2-4 mg han, Plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi hemolisis. namun secara praktek, hal ini sukar dilakukan. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai. Hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoantibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37 C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain. Gambaran Klinis AIHA (2-5%). hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disenai urtikaria. Pemeriksaan Laboratorium Hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos. Tes Coombs positif. antibodi Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah Terapi Menghindari faktor pencetus. Glukokortikoid dan splenektomi tidak ada manfaatnya. Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu: hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander). induksi autoantr-bodi yang bereaksi terhadap erirosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan eritrosit. Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada pemrukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen lang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin). Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target antibodl dan alcivasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibbodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritosit. Beberapa antbodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau l/i. Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskularh hemoglobinemia dan
hemoglobmuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin. kuinidin, sulfonamid, sulfonilurea, dan tiazid. Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemeglobin. sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Gambaran Klinis Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau antibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemajanan dengan dosis tunggal. Pemeriksaan Laboratorium Anemia, retikulositosis, MCV tinggi, tes Coomb positif. Leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary. Terapi Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat. Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan oleh ketidaksesuaian ABO eritrosit yang akan memicu aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.
ANEMIA HEMOLITIK NON-IMUN ●
Etiologi dan Klasifikasi Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat teradi karena : 1). Defek molekular: hemoglobinopati
atau enzimopati; 2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi. Berdasarkan etiologinya, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi: Anemia Hemolisis Herediter, yang termasuk kelompok ini adalah:
Defek enzim/enzimopati o
o
Defek jalur Embden Meyerhof
Defisiensi piruvat kinase
Defisiensi glukosa fosfat isomerase
Defisiensi fosfogliserat kinase
Defek jalur heksosa monofosfat
Defisiensi G6PD
Defisiensi glutation reduktase
Hemoglobinopati o
Thalassemia
o
Anemia sickle cell
o
Hemoglobinopati lain
Defek membran (membranopati): sferositosis herediter Anemia Hemolisis Didapat, yang termasuk kelompok ini adalah:
1. Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi. 2. Mikroangiopati, TTP, SUH, KID, preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik. 3. Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium. Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi: 1). Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadianhemolisis. anemia hemolisis dikelompokkan menjadi:
Anemia Hemolisisis Imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau IgM yang spesifik unruk antigen eritrosit pasien (selalu disebut autoantibodi). Anemia Hemolisis Non Imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunogiobulin tetapi karena faktor defek molekular. abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. ●
Patofisiologi Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada patologi yang
rnendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskular jarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retiluloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag. ●
Manifestasi Klinis Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti.
Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran murrnur pada katup jantung. Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell. ●
Pemeriksaan Laboratorium Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis mencerminkan adanya
hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis Bandung retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan supresi eritropoeisis. Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya.
Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun: sel target pada talasemia, hemoglobinopati, penyakit hati; schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan lain-lain. Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan destruksi eritrosit. Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular, meningkatkan, katabolisme heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobin-haptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan simpanan protein ( feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif, ambang kapasitas absorpsi hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalam benruk hemoglobinuria.