Jurnal Ilmiah AgrIBA AgrIBA No.1 Edisi Edisi Maret Tahun 2013
PROSPEK USAHA BUDIDAYA UDANG ORGANIK SECARA POLIKULTUR Oleh : Muhammad Yasin. Dosen Fak. Ekonomi Universitas Universitas Alkhairaat Alkhairaat Palu.
Abstrak Industri udang Indonesia mengalami masa pasang surut, terutama setelah merebaknya serangan “White Spot ” salah satu jenis virus virus yang menghancurkan usaha budidaya udang windu di sebagian besar wilayah wi layah Indonesia, terutama pantai utara Jawa yang menerapkan pola intensif. Intensifikasi tambak udang windu dilakukan sebagai usaha untuk tetap mempertahankan kontribusi komoditas udang sebagai penyumbang devisa terbesar (lebih 50 %) sektor perikanan . Masalah pokok yang menjadi perhatian dalam tulisan tulisan singkat ini ini (1) (1) menguraikan secara secara deskriptif deskriptif bagaimana metode metode pengelolaan budidaya udang di Indonesia dan dampaknya, (2) bagaimana prospek pengelolaan budidaya udang organik secara polikultur. Tulisan ini dimaksudkan d imaksudkan sebagai tambahan referensi bagi pelaku bisnis udang termasuk di dalamnya pembudidaya udang (petambak). Selain itu, diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang tertarik meneliti lebih lanjut tentang budidaya udang Kesimpulan yang dapat diambil adalah : 1. Ekstensifikasi dan intensifikasi yang tidak terkendali pada budidaya udang di tambak akan bermuara pada krisis ekologi khususnya pada hutan mangrove. 2. Budidaya udang organik secara polikultur, selain mencegah krisis ekologi juga akan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petambak selaku produsen dan masyarakat umum selaku konsumen, dan secara tidak langsung akan dapat mencegah terjadinya eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali. Kata Kunci: Industri Udang, Ekstensifikasi Udang, Ekstensifikasi dan intensifikasi, polikultur. po likultur.
PENDAHULUAN
Berdasarkan potensi perikanan yang dimiliki, industri perikanan Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan perikanan tangkap lebih ditekankan pada usaha penangkapan di laut, sedangkan pengelolaan perikanan budidaya lebih ditekankan pada kegiatan di perairan payau, perairan tawar, dan perairan pantai. Komoditas yang banyak dibudidayakan antara lain: udang, ikan bandeng, nila, kerapu, dan rumput laut (DPK,2002).
Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state) terdiri dari 17.508 buah pulau, memiliki luas wilayah perairan laut sekitar 5,8 juta km persegi, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (BPPT – Wanhakamnas, 1996). Sumberdaya perairan tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu penggerak utama roda pembangunan nasional, melalui pemanfaatan potensi perikanan yang terkandung di d i dalamnya. 86
I SSN SSN : 2303 - 1158 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
Tabel 1. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Udang Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor, Tahun 2005-2011 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jepang Volume Nilai (ton) (US$.1.000) 45.951 50.380 40.334 39.582 38.528 36.712 17.712
373.874 419.895 334.982 337.681 333.056 351,402 186.495
AS
UE
Volume (ton)
Nilai (US$.1.000)
Volume (ton)
50.489 60.973 60.399 80.479 63.592 58.277 33.779
327.364 418.175 420.720 550.773 426.995 443.220 293.780
27.775 31.016 28.845 26.825 23.689 13.383 9.265
Nilai (US$.1.000) 161.308 190.125 178.195 177.855 146.597 100.549 81.973
Lainnya Volume (ton) 29.691 26.960 27.967 26.397 25.180 36.720 14.536
Sumber: http://repository.ipb.ac.id (akses 12 Februari 2013)
Pasar ekspor udang Indonesia meliputi Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa. Selama ini negara tujuan utama ekspor udang Indonesia adalah Jepang sekitar 60 persen dari total ekspor. Pada tahun 1998 Jepang mengimpor udang 238.900 ton, dan Indonesia sebagai pemasok utama dengan pangsa pasar 22,48 persen. Adapun volume dan nilai ekspor udang Indonesia sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2007, secara terinci dapat dilihat pada Tabel 1.1
Di sejumlah daerah sentra produksi komoditas udang masih tetap diusahakan, karena masih tetap menguntungkan bagi petambak, bahkan pada saat krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998 – 1999, terjadi lonjakan harga jual produk udang cukup tinggi mencapai Rp 150.000 per kg. Meskipun terjadi resesi ekonomi, ternyata kurang berpengaruh terhadap perkembangan harga udang dunia, dan permintaan atas komoditas tersebut cenderung meningkat. Pada tahun 1987, ekspor udang Indonesia baru mencapai 23.843 ton atau 2,66 persen dari permintaan dunia. Tahun 2005 produksi udang Indonesia mencapai 300.000 ton, dan diekspor sebesar 145.400 ton dengan nilai US $ 1 miliar, tahun 2007 nilai ekspor 155.250 (DKP, 2008).
Di antara produk perikanan dan kelautan, udang merupakan komoditas primadona yang berpotensi ekspor dan menghasilkan devisa bagi negara. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan (2008), bahwa lebih dari 50 persen devisa dari sektor perikanan berasal dari komoditas udang (dari berbagai jenis). Namun demikian, komoditas ini sering mengalami pasang surut, baik produksi maupun pemasarannya.
Industri udang Indonesia mengalami masa pasang surut, terutama setelah merebaknya serangan “White salah satu jenis virus yang Spot ” menghancurkan usaha budidaya udang windu di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama pantai utara Jawa yang menerapkan pola intensif. 87 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
Intensifikasi tambak udang windu dilakukan sebagai usaha untuk tetap mempertahankan kontribusi komoditas udang sebagai penyumbang devisa terbesar (lebih 50 %) sektor perikanan.
putih) yang banyak menyerang tambak dengan padat penebaran tinggi. Tambak udang yang banyak diserang bintik putih adalah udang windu. Sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi Indonesia sebagai produsen dan eksportir udang di dunia, serangkaian penelitian dan percobaan terus dilakukan, dan akhirnya melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.41/2001, pada tanggal 12 Juli 2001 pemerintah secara resmi melepas udang Vannamei (Vaname) sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di Indonesia. Kelebihan udang vannamei antara lain lebih tahan terhadap virus bintik putih, pertumbuhan lebih cepat, tahan terhadap fluktuasi kondisi lingkungan, waktu pemeliharaan relatif pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus, tingkat survival rate (SR) atau derajat kehidupannya tergolong tinggi (Amri dkk, 2008).
Intensifikasi budidaya udang juga merupakan respons dari dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) No. 39 tanggal 1 Juli Tahun 1980. Maksud dari Kepres tersebut adalah melarang kapal-kapal penangkap udang menggunakan pukat harimau (trawl) yang dapat merusak kelestarian sumber daya perairan. Sebelum dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut, produksi udang Indonesia 6070 persen berada dari hasil tangkapan di laut. Dan sekitar 30 persen berasal dari usaha budidaya (tambak). Udang windu, merupakan udang yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama setelah dikeluarkannya SK Menteri Pertanian No. 5/SK/Mentan/Bimas/IV/1984 tanggal 4 Juni 1984. Sebagai andalan dalam intensifikasi tambak yang dapat meningkatkan produksi, pendapatan, dan devisa negara, jenis komoditas yang layak dibudidaya pada air payau adalah (a) udang windu dan (b) ikan bandeng.
Kehadiran varietas udang vaname tidak hanya menambah pilihan bagi petambak, tetapi juga menopang kebangkitan usaha budidaya udang di Indonesia dan diharapkan dapat membuat investasi di bidang pertambakan udang bergairah kembali. Udang vaname merupakan komoditas pengganti udang windu yang sensitif terhadap beberapa jenis virus. Bila kondisi tambak di Indonesia sudah normal (bebas serangan virus bintik putih), udang windu akan dibudidayakan
Namun demikian, beberapa tahun yang lalu industri udang Indonesia secara keseluruhan baik yang dikelola secara tradisional maupun intensif mengalami penurunan produksi sangat drastis akibat serangan penyakit yang mematikan yaitu “white spot ” (bintik 88
I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
kembali, karena udang windu merupakan andalan ekspor Indonesia tiga dasawarsa terakhir (Haliman, dkk, 2006).
Masalah pokok yang menjadi perhatian dalam tulisan singkat ini (1) menguraikan secara deskriptif bagaimana metode pengelolaan budidaya udang di Indonesia dan dampaknya, (2) bagaimana prospek pengelolaan budidaya udang organik secara polikultur.
Selain serangan virus bintik putih, ada beberapa masalah lain yang kerap melanda industri udang di Indonesia mulai dari hulu sampai hilir. Salah satu contoh adalah adanya penolakan terhadap produk udang Indonesia di sejumlah negara Eropa karena terkait masalah lingkungan. Mereka mensinyalir tambak udang Indonesia sebahagian besar dibangun dengan mengorbankan hutan mangrove dan nipa. Penolakan terhadap produk udang lainnya dilakukan oleh Jepang karena terkait dengan isu kesehatan, diduga udang Indonesia mengandung sisa zat kimia akibat penggunaan pestisida yangt tidak terkontrol.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai tambahan referensi bagi pelaku bisnis udang termasuk di dalamnya pembudidaya udang (petambak). Selain itu, diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang tertarik meneliti lebih lanjut tentang budidaya udang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Hutan Mangrove Berkelanjutan Seiring dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk dan pembangunan, maka fungsi lingkungan pantai di beberapa daerah telah menurun atau rusak. Hal ini diindikasikan oleh adanya proses erosi/abrasi pantai, interusi air laut dan degradasi hasil perairan. Mengingat letaknya yang strategis, banyak kepentingan yang menyebabkan kawasan mangrove mengalami perlakuan yang melebihi kemampuannya untuk mengadakan permudaan alami, misalnya konversi status peruntukannya.
Dari sekian banyak alasan penolakan terhadap komoditas udang tersebut, secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama, yakni; tentang lingkungan, kebersihan, dan kesehatan. Ketiga isu tersebut dapat menjadi hambatan non-tarif bagi produk udang Indonesia di pasaran internasional. Hambatan non-tarif ini mencakup persoalan perizinan ekspor, sertifikasi kesehatan, standar sanitasi, dan standar mutu (Yasin Muhammad, 2006). Hal ini hendaknya menjadi perhatian serius baik pemerintah, petambak, maupun para pengusaha/pedagang udang (pelaku bisnis).
Saat ini, hutan mangrove di dunia hanya tersisa sekitar 17 Juta hektar, dan sekitar 22 Persen dari luas tersebut terdapat di Indonesia. Namun demikian, 89 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
hutan mangrove juga telah mengalami banyak kerusakan, bahkan sebagain besar telah berubah status peruntukannya (Arief, Arifin, 2003 : 9)
mencapai 48 persen (dengan rata-rata pertumbuhan 7 persen per tahun). Pada tahun-tahun selanjutnya laju perkembangan luas areal tambak berjalan lebih cepat lagi seiring dengan program budidaya udang nasional yang telah ditetapkan sebagai prioritas utama.
Beberapa ahli mengatakan bahwa konversi hutan mangrove ke dalam peruntukan lain dapat memberikan dampak positif ditinjau dari segi ekonomi dan lingkungan, jika dikerjakan dengan tahapan yang tidak terlalu cepat, hati-hati, dan penyebaran geografis yang seimbang.
Ada beberapa faktor pendorong sehingga tambak menjadi prioritas pengembangan setelah dikeluarkannya Kepres No. 33/1980 tersebut antara lain. Lahan ekosistem mangrove sangat ideal untuk usaha budidaya udang. Dilihat dari sektor pertanian, kondisi lingkungan di daerah pasang surut sepanjang pesisir terdiri dari air payau/asin, dan kurang cocok untuk usaha tanaman pangan. Lingkungan air payau sangat cocok untuk pemeliharaan jenis-jenis jasad maupun akuatik curyhaline stenohalin. Kondisi hidrologi daerah pasang surut sangat ideal untuk pengairan (pengisian dan pengeringan) tambak secara alami dengan gravitasi tanpa penambahan usaha ekstra, sehingga secara ekonomi sangat menguntungkan. Tambak merupakan media di mana komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (udang, kakap, baronang, bandeng, nila, kepiting, rumput laut) dapat dibudidayakan. Jenis komoditas yang dapat dibudidayakan akan terus berkembang, seiring dengan berkembangnya teknologi budidaya dan permintaan pasar.
Potensi lahan mangrove ditinjau dari sudut pandang daerah yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk budidaya (tambak), maka Indonesia mempunyai potensi terbesar di antara negara-negara di Asia dengan luas 3.740.000 hektar, Filipina 448.000 hektar, Malaysia 650.000 hektar, dan Thailand 368.100 hektar.
Peranan tambak udang semakin menonjol di Indonesia setelah adanya Kepres No. 33/1980 dan ditetapkannya komoditas udang sebagai primadona ekspor non migas. Sehingga dibutuhkannya adanya pembukaan lahan-lahan baru untuk pertambakan. Ekosistem lahan mangrove di kawasan pesisir sangat ideal untuk dikonversi menjadi tambak, maka mulailah hutan mangrove banyak dilirik oleh masyarakat dan pengusaha di wilayah pesisir. Den gan demikian, laju perluasan areal tambak (ekstensifikasi) dinilai cukup cepat. Dalam kurun waktu tujuh tahun saja (1976-1983) peningkatan
90 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
Ekstensifikasi Tambak Udang dan Dampaknya
Di beberapa daerah seperti di Jawa Barat, Aceh Utara, Sulawesi Selatan, banyak sawah-sawah yang sudah dialih fungsikan menjadi tambak, karena usaha tambak dinilai lebih menguntungkan. Hasil penelitian Departemen Sosial Ekonomi IPB menegaskan bahwa usaha tambak memberikan income tertinggi dibandingkan dengan jika hutan mangrove hanya diusahakan untuk menghasilkan kayu, arang dan produk hutan lainnya. Usaha budidaya tambak merangsang pertumbuhan usaha “hatchery”, dan kebutuhan benur untuk budidaya sepenuhnya bisa di supply dari hatchery. Nampaknya faktor yang paling menonjol justru masalah sosial, di mana desakan pertambahan penduduk memaksa perlunya penyediaan lapangan kerja. Usaha budidaya udang tambak sangat besar perannya dalam menanggulangi masalah lapangan kerja. Selain itu, budidaya udang tambak merupakan satu alternatif usaha yang mudah bagi kebanyakan penduduk golongan petani kecil.
Ekstensifikasi tambak udang di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1979-an, dengan rata-rata 7 persen pertahun. Hal ini dilakukan petambak untuk meningkatkan produksi udang, pada waktu itu produksi udang budidaya masih sangat rendah dibandingkan dengan hasil tangkapan di laut. Tingginya produksi/hasil tangkapan udang di laut disebabkan karena setiap saat penangkapan bisa dilakukan, apalagi dengan menggunakan pukat harimau (trawl) yang mampu menyumbang 60-70 persen produksi udang nasional. Penangkapan udang dengan menggunakan trawl ternyata dapat mengancam kelestarian sumber daya perairan seperti terumbu karang menjadi rusak, semua jenis ikan dapat terjaring mulai ikan kecil hingga yang ukurannya besar. Hal yang lebih mengkhawatirkan yakni timbulnya keresahan di kalangan nelayan tradisional, karena pengoperasian kapal-kapal motor yang menggunakan trawl tersebut seringkali melanggar jalur penangkapan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Sebetulnya masih banyak hal yang menjadi faktor penyebab usaha tambak menjadi prioritas pengembangan. Demikian halnya dengan komoditas yang cocok dikembangkan (dibudidayakan) di tambak, sebagian masih dalam penelitian.
Keresahan nelayan tradisional mendapat apresiasi dari pemerintah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39/1980 tentang Pelarangan Penggunaan Trawl. Dampak dari Surat Keputusan tersebut ialah turunnya produksi udang secara tajam. 91 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
Ini berarti peluang emas bagi petambak untuk meningkatkan keterampilan dalam usaha budidaya udang di tambak.
pelapukan (detritus), yang kemudian menjadi sumber makanan bagi hewan yang lebih besar, (2) sebagai kawasan pemijah (nursery ground ) bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya, (3) sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain, (4) sebagai sumber plasma muftah dan sumber genetika, (5) sebagai habitat alami bagi berbagai biota darat dan laut lainnya. 4) Fungsi Ekonomi, meliputi : (1) penghasil kayu, (2) penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetika, dan zat pewarna, (3) penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, dan madu. 5) Fungsi Lain (wanawisata), meliputi : (1) sebagai kawasan wisata alam pantai, (2) sebagai tempat pendidikan, konservasi dan penelitian. (Arief, Arifin, 2003 : 14-15)
Namun upaya untuk meningkatkan produksi udang tambak oleh petambak tidak dilakukan dengan meningkatkan keterampilan budidaya, melainkan dengan perluasan areal tambak. Dan yang menjadi sasaran adalah hutan-hutan mangrove, sehingga banyak yang dialih fungsikan menjadi tambak. Akibat dari ekstensifikasi yang tidak terkendali, maka hilang pula fungsi dan manfaat hutan mangrove. Ada lima fungsi utama dari hutan mangrove yaitu : 1) Fungsi fisik meliputi : (1) menjaga garis pantai agar tetap stabil, (2) melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin dari laut, (3) menahan sedimen sampai terbentuk lahan baru, (4) sebagai penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar. 2) Fungsi Kimia, meliputi : (1) sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen, (2) sebagai penyerap karbondioksida, (3) sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapalkapal di lautan. 3) Fungsi Biologi, meliputi : (1) sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan bagi invertebrate kecil pemakan bahan
Intensifikasi Tambak Udang dan Dampaknya Penurunan produksi udang yang tajam akibat dikeluarkannya Surat Keputusan tentang pelarangan trawl, diantisipasi pemerintah dengan mempercepat pengembangan budidaya udang tambak khususnya jenis udang windu. Dalam usaha memacu pelaksanaan budidaya udang tambak untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan Surat Keputusan Menteri Pertanian /Ketua Badan Pengendali Bimas No. 05/SK/Mentan/Bimas/IV/1984 tanggal 4 92 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
Juni 1984 yang berisi program intensifikasi tambak udang/bandeng yang disebut “intam” dengan teknologi budidaya tambak yang dikenal dengan istilah “pancausaha tambak”, meliputi : (1) perbaikan saluran pengairan, (2) pengolahan tanah, (3) pemakaian pupuk, (4) pemberantasan ham, dan (5) penyediaan benih yang cukup.
Dengan menerapkan teknologi intensif, tambak semakin dipacu agar dapat berproduksi lebih besar lagi. Mereka menggunakan pakan buatan yang semakin tidak terkendali, dan tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan, akibatnya, sisa-sisa makanan yang menumpuk di dasar tambak mempengaruhi kualitas air menyebabkan udang menjadi stress. Ketika udang di tambak stres, saat yang bersamaan daya tahannya juga akan semakin menurun sehingga mudah terserang penyakit.
Kelima macam kegiatan pada pancausaha tambak, kemudian disempurnakan lagi menjadi tujuh macam kegiatan pokok (Saptausaha Tambak) meliputi : (1) perbaikan kontruksi tambak, (2) penyediaan dan pengaturan air sesuai dengan keperluan, (3) penyediaan tanah, pemupukan, dan pemberian makanan tambahan, (4) perlindungan udang dan bandeng dari hama penyakit yang merugikan, (5) penyebaran benih unggul , (6) pengolahan d an pemasaran hasil, dan (7) manajemen usaha yang baik. Tahun 2002, disempurnakan dengan “Intensivikasi Budidaya Ikan = Inbudkan Udang”, meliputi saptausaha tambak ditambah dengan kemitraan.
Penyakit yang menyerang udang windu di Indonesia ialah White Spot Syndrome Virus (WSSV), ini terjadi pada pertengahan tahun 1990 an sampai awal tahun 2000 an, menyebabkan industri udang windu Indonesia terutama yang menerapkan teknologi intensif rontok satu persatu. Ketika petambak di Teluk Naga ditanya “Apa yang menyebabkan Bapak kaya pada tahun 1980 an dan apa yang menyebabkan Bapak miskin pada tahun 1990 an ?” maka mereka akan serentak menjawab “udang windu” Ini hanya merupakan ilustrasi batapa dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan.
Melalui intensifikasi tambak, para petambak mulai merasakan manfaat dengan semakin meningkatnya produksi setiap musim panen. Sehingga memancing minat para pemodal besar untuk ikut dalam usaha tambak udang (terutama udang windu) yang menjadi ciri khas udang Indonesia.
Diversifikasi Tambak Udang sebagai Solusi
Pemodal besar terjun dalam usaha budidaya udang tambak dengan menerapkan pola TIR (Tambak Inti Rakyat). Sebagai contoh, ialah PT. Dipasena di Lampung yang memiliki ribuan petambak plasma. Pada pertengahan tahun 1990-an, industri udang Indonesia berkembang pesat.
Percepatan peningkatan produksi udang dilakukan dengan mempercepat pengembangan budidaya udang tambak, baik dengan pola ekstensifikasi, intensifikasi, maupun diversifikasi. Dua metode telah diuraikan secara singkat
93 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
dan mengungkap sebagian dampak dari masing-masing metode.
ada perusahaan yang berani menerapkan pola diversivikasi secara besar-besaran.
Diversifikasi adalah salah satu metode budidaya yang sudah lama dipraktekan oleh petambak. Namun demikian, karena kurangnya pemahaman dan rendahnya penguasaan sumberdaya dan teknologi serta kurangnya keterpaduan antarpetambak menyebabkan metode ini belum mendatangkan hasil yang dapat meningkatkan taraf hidup petambak itu sendiri. Bahkan metode ini belum diminati oleh pemodal besar.
Diverifikasi tambak udang dalam hal ini polikultur, mungkin bukanlah pilihan yang terbaik bila ditinjau dari sudut pandang ekonomi. Akan tetapi bila ditinjau dari sudut pandang penyelamatan lingkungan dan keberlanjutan usaha, serta upaya menciptakan harmoni kehidupan dalam bingkai “simbiosis mutualisma”. Maka tentu saja metode ini perlu mendapat apresiasi dari segenap pemerhati dan pelaku bisnis udang (tambak udang), termasuk dari kalangan pengambil kebijakan.
Ada empat jenis teknologi yang dianjurkan pada program Intensifikasi Tabak (Intam) yakni : A1 = merupakan teknologi sederhana dengan mengusahakan tambak udang secara tunggal (monokultur) A2 = menerapkan teknologi menengah (madya) dengan mengusahakan tambak udang secara tunggal (monokultur) B1 = menerapkan teknologi sederhana dengan mengusahakan tambak udang secara ganda (polikultur, yakni udang dengan bandeng). B2 = menerapkan teknologi menengah (madya) dengan mengusahakan tambak udang secara ganda (polikultur) yakni udang dengan bandeng. (Soetono, Moch, HA., 2002 : 5)
Sekilas tentang Polikultur Organik Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa diverifikasi merupakan metode budidaya yang ramah lingkungan. Dalam budidaya udang di tambak, metode diversifikasi sering pula disebut dengan polikultur. Polikultur merupakan metode budidaya yang digunakan untuk memelihara banyak komoditas dalam satu lahan, seperti udang, bandeng, dan rumput laut. Melalui sistem ini, diperoleh manfaat, yaitu tingkat produktifitas lahan yang tinggi. Polikultur organik merupakan sistem budidaya yang mengandalkan bahan alami dalam siklus produktivitasnya. Namun tidak sekedar memanfaatkan bahan alami. Teknik ini juga memperhitungkan karakteristik produk sehingga ketersediaan bahan alami akan terus mencukupi kebutuhan produk yang yang dipelihara. Simbiosis mutualisma atau hubungan yang saling menguntungkan antara udang windu, bandeng, dan gracilaria dimaksimalkan
Sebetulnya masih ada jenis teknologi yakni teknologi intensif yang banyak diusahakan oleh para pemodal besar. Dan biasanya dikelola oleh perusahaan besar dengan penguasaan lahan tambak yang sangat luas dan proses pengelolaannya biasanya berbentuk TIR. Namun demikian, sampai saat ini belum 94
I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
sehingga tidak dibutuhkan faktor dari luar seperti pemberian pakan buatan maupun pestisida yang berbahaya.
penderita anemia yang bisa berlanjut ke leukemia (http://finance.detik.com). Sementara itu Penolakan ekspor komoditi perikanan termasuk udang Indonesia ke Amerika Serikat disebakan oleh adanya bakteri pathogen, filthy, bahan kimia, dan misbranding. Penyebab terbesar adalah adanya kontaminasi bakteri pathogen (Salmonella) yang menunjukan masih adanya kelemahan dalam pengawasan selama proses produksi produ-produk perikanan di Indonesia (Rinto, 2010).
Dalam budi daya organik, penambahan obat-obatan dan pestisida harus diminimalkan. Tujuannya tidak lain agar produk yang dihasilkan bebas dari pengaruh residu bahan-bahan kimia yang dikhwatirkan dapat mengganggu kesehatan. Setiap teknik di dalamnya diusahakan selalu menggunakan teknikteknik alami dan ramah lingkungan, mulai dari pemberian pakan, penanganan lokasi budaya, hingga pencegahan hama dan penyakit.
Penolakan pasar ekspor Jepang terhadap udang vannamei merupakan suatu bukti bahwa dunia internasional semakin kritis terhadap produk-produk yang mengandung bahan kimia, tidak terkecuali produk udang yang nota bene menjadi primadona ekspor subsektor perikanan Indonesia. Seperti diketahui, bahwa penolakan ekspor udang tersebut disebabkan adanya isu penggunaan antibiotik chloramphenicol.
Isu-isu lingkungan juga menjadi prasyarat bisa diterimanya produk perikanan udang oleh negara importir. Beberapa waktu yang lalu ekspor udang Indonesia tidak bisa masuk Amerika Serikat dengan alasan perahu nelayan tidak dilengkapi dengan turtle excluded device (TED) pada jaring udangnya. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat di Uni Eropa yang dimotori oleh Global Aquaculture Alliance mengadakan kampanye penolakan udang tambak dari negara-negara yang merusak lingkungan dengan cara membabat hutan bakau menjadi lahan tambak (http://budidayaukm.blogspot.com).
merupakan antibiotik yang biasa digunakan dalam pakan untuk menanggulangi infeksi bakteri anaerobic, seperti aeromonas, pseudomonas, mycoplasma, dan enterobacteriaceae. Chloramphenicol mempunyai efek membunuh mikroorganisme dalam pakan agar lebih awet, serta mampu memperbaiki sistem pencernaan pada ikan (termasuk udang) sehingga nafsu makan ikan atau udang meningkat. Namun, residu tersebut dapat chloramphenicol menyebabkan kematian kepada
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masayarakat pada kesehatan, lingkungan dan isu-isu lainnya, permintaan produk-produk organik seperti udang, bandeng, dan rumput laut pun ikut meningkat. Produk organik diperoleh dari sistem budidaya yang menggunakan metode bebas bahan kimia atau bahan tambahan lain yang dapat berakibat pada terkontaminasinya produk oleh senyawa kimia yang berbahaya. Oleh sebab itu, produk organik sangat mendapat tempat dalam daftar permintaan konsumen.
Potensi dan Prospek Budidaya Udang Organik Secara Polikultur
Chloramphenicol
95 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
Sistem budidaya secara organik, tidak menggunakan pakan tambahan selain pakan alami. Kalaupun diberikan pakan tambahan, pakan harus berupa pakan organik. Produk pakan organik bersertifikat masih diproduksi oleh Belanda dan belum tersebar secara meluas. Oleh karena itulah, produk udang organik masih sangat terbatas. Namun, keterbatasan jumlah tersebut diikuti oleh harga yang sangat tinggi. Untuk kasus harga yang berlaku di Babelan, Bekasi (tahun 2006), harga udang windu organik mencapai Rp 70.000/Kg. Keistimewaan bagi udang organik diberikan sesuai ketentuan internasional yang mewajibkan penambahan harga sebesar US$ 1 untuk setiap transaksi udang organik per kilogramnya.
diusahakan oleh pemiliknya. Minat petambak yang cukup tinggi untuk mengaplikasikan pola budidaya organik secara polikultur sangatlah wajar. Dapat dibayangkan, bila dengan sistem monokultur, petambak hanya dapat memanen satu produk perikanan dalam satu musim. Namun dengan polikultur, hasil panen dalam satu lahan akan bertambah. Dengan pemanfaatan lahan berluasan sama, masyarakat dapat menambah penghasilannya dari panen produk lain. Hal ini tentu saja sangat membantu peningkatan penghasilan petambak. Selain memenuhi kebutuhan udang organik bagi konsumen. Kebutuhan konsumen pada produk organik lainnya juga dapat dipenuhi. Polikultur yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah produk tambak yaitu udang windu, bandeng, dan rumput laut jenis gracilaria. Ketiga produk ini menjadi pilihan karena ketiganya mempunyai sifat yang relatif sama, yakni bersifat euryhalin, yaitu tahan pada rentang salinitas, pH, dan suhu yang cukup tinggi.
Sementara itu, sistem polikultur mulai diminati oleh para petambak. Hingga saat ini, tambak budi daya udang organik telah tersebar di daerah Bekasi (Jawa Barat), Brebes (Jawa Tengah), dan Sidoarjo (Jawa Timur). Khusus di Sidoarjo, pola tambak organik telah dimulai pada tahun 1997 dengan luasan 1.100 ha dan telah mendapat pengakuan secara internasional pada tahun 2002.
Keseimbangan Ekosistem dalam Sistem Polikultur Organik Perlu diketahui bahwa polikultur organik berusaha untuk menghindari sebisa mungkin masuknya unsur buatan yang berasal dari luar yang bersifat racun. Seperti halnya yang telah dilakukan para petambak di Babelan, Bekasi, Lalu, bagaimana udang windu, bandeng, dan gracilaria saling mendukung dalam hal penyediaan pakan dan kebutuhan lainnya ? Setelah memahami karakteristik udang windu, bandeng dan gracilaria maka dapat diketahui hubungan simbiosismutualisma antara ketiga produk perikanan tersebut. Untuk lebih
Melihat pasaran udang organik di dunia cenderung tanpa batas, perluasan tambak udang organik mulai dipacu sejak tahun 2006. Pada tahun 2006, tambak udang organik diperluas dari 500 ha menjadi 8.157 ha, tahun 2007 seluas 10.587 ha, tahun 2008 seluas 13.373, dan tahun 2009 menjadi 42.810 ha dengan produksi minimal 50.200 ton atau senilai 2,5 miliar. Tentu saja perluasan lahan ini bukan lahan baru akibat pembabatan hutan mangrove, melainkan lahan tambak yang selama ini banyak terbengkalai karena tidak 96
I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
memudahkan pemahaman, berikut disajikan fungsi gracilaria dan bandeng dalam budi daya udang organik.
batang semu gracilaria yang mati akibat muncul di atas permukaan air juga menjadi sumber terbentuknya kelakap. Kelekap yang membusuk dapat mencemari perairan dan mengganggu pertumbuhan gracilaria. Oleh sebab itu, kehadiran bandeng dan udang windu membantu membersihkan perairan.
a. Gracilaria Pada siang hari, gracilaria menjadi penyuplai oksigen di perairan. Dengan begitu, jumlah oksigen terlarut dalam air dapat terjaga. Gracilaria juga merupakan tempat yang nyaman bagi udang untuk bersembunyi. Percabangannya yang lebat memungkinkan tanaman ini menjadi tempat peristirahatan udang pada siang hari dan menyembunyikan diri dari pemangsa ketika mengalami pergantian kulit. Selain itu, gracilaria merupakan tempat berkumpulnya plankton yang menjadi pakan udang.
Selain kelakap, sumber pakan lain bagi bandeng adalah alga. Alga banyak ditemui menempel pada gracilaria. Kelebatan alga dapat mengganggu udang windu. Tak sedikit kasus ditemukannya udang yang mati karena terbelit alga dan tidak dapat bergerak. Selain itu, alga hijau akan menjadi pesaing bagi udang windu, bandeng, dan gracilaria dalam memperoleh oksigen di malam hari. Jumlah alga dan plankton yang membludak (booming) sangat berbahaya bagi kehidupan udang windu. Bila terjadi kematian massal, busukan plankton akan menimbulkan senyawa kimia yang berbahaya. Kehadiran bandeng di tambak membantu pembersihan alga dalam rangka mengendalikan jumlahnya agar tidak melimpah.
Selain sebagai tempat berkumpulnya plankton dan tempat persembunyian yang aman bagi udang maupun bandeng, rumput laut ini juga berfungsi sebagai filter pada tambak. Hal tersebut dapat dilihat pada satu areal perairan yang sama, di mana kumpulan gracilaria hidup tampak lebih jernih dibandingkan yang tidak ditumbuhi gracilaria. Namun, tanaman tingkat rendah ini juga memiliki keterbatasan dalam menyaring hara yang ada pada perairan. Melimpahnya hara (yang terlihat dari keruhnya air) yang tidak diimbangi dengan jumlah gracilaria justru akan mengganggu kelangsungan hidup gracilaria.
Selain sebagian pengontrol jumlah kelekap dan alga dalam perairan tambak, bandeng juga mengeluarkan kotoran yang berfungsi untuk menyuburkan perairan. Kesuburan perairan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan gracilaria.
b. Bandeng Bagian perairan tambak dengan kedalaman 30-50 cm dan bersalinitas 2830 ppm merupakan tempat yang sangat baik untuk menumbuhkan kelekap. Seperti telah diketahui, kelekap merupakan sumber pakan bagi udang windu dan bandeng. Bagian thalus atau
Budidaya udang organik secara polikultur tersebut, bila dikelola dengan baik oleh para petambak, tentunya akan mendatangkan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi yang justru banyak menguras tenaga, modal, 97 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
DAFTAR PUSTAKA
dan banyak merusak lingkungan. Dan yang lebih penting adalah bahwa metode ini tentunya lebih ramah lingkungan.
Arief, Arifin, 2003, Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta, Kanisius.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Ekstensifikasi dan intensifikasi yang tidak terkendali pada budidaya udang di tambak akan bermuara pada krisis ekologi khususnya pada hutan mangrove. 2. Budidaya udang organik secara polikultur, selain mencegah krisis ekologi juga akan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petambak selaku produsen dan masyarakat umum selaku konsumen, dan secara tidak langsung akan dapat mencegah terjadinya eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali.
Firdaus, Muhammad, 2008, Manajemen Agribisnis. Jakarta, Bumi Aksara. Haliman, RW., Adijaya S. Dian, 2002, Udang Vannamei. Jakarta, penebar Swadaya. Jomo F.W., 1986, Membangun Masyarakat . Bandung, Alumni. Rinto, 2010, “Kajian Penolakan Ekspor Produk Perikanan Indonesia ke Amerika Serikat, (Studi Import Refusal Report US FDA)”. Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Soetono, Moch. HA, 2002, Teknik Budidaya Udang Windu. Bandung, Sinar Baru Algesindo.
Saran 1. Mengingat kemungkinan pembatasan luas areal tambak sulit dikendalikan, maka efisiensi penggunaan sumberdaya alam hutan mangrove perlu dilakukan. Hal ini dapat diwujudkan dengan semakin memperluas pengelolaan budidaya udang organik secara polikultur. 2. Perluasan pengelolaan budidaya udang organik secara polikultur perlu ditunjang oleh tersedianya saprokan yang memadai. 3. Menjaga kelestarian hutan mangrove perlu dibuat program yang lebih terarah dan lebih matang tentang konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, melalui sosialisasi yang intensif dan mendorong timbulnya kelompok-kelompok masyarakat konservasi di wilayah pesisir.
Sumardi, 2008, Perlindungan Lingkungan : Sebuah Perspektif dan Spiritual Islam. Bandung Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran. Syahid M. Subhan Ali, Armando Roclim, 2006, Budidaya Udang Organik secara Polikultur . Jakarta, Penebar Swadaya. Tohir, Kaslan A, 1991, Seuntai Pengetahuan Usahatani Indonesia. Jakarta, PT. Rineka Cipta.
98 I SSN : 2303 - 1158
Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013
Yasin, Muhammad, 2006, Domestic Support dan Kebijakan Perdagangan Produk Udang Indonesia. Dipublikasikan pada Jurnal Ichsan Gorontalo ISSN : 1907-5324 Volume 1 No. 2 Juni-September 2006. http://finance.detik.com , “ Udang Asal Cilacap Ditolak Ekspor ke Jepang” (akses 12 Februari 2013). http://repository.ipb.ac.id ,” Perkembangan kuantitas dan Nilai Ekspor Udang Indonesia”.(akses 12 Februari 2013). http://budidayaukm.blogspot.com,”Beter nak Udang”. (akses 12 Februari 2013)
99 I SSN : 2303 - 1158