13
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO) Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2013). DM tipe 2 adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemi puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun - tahun mendahului m endahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (pada gangguan glukosa puasa dan gangguan tes toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes (Schteingart, 2013). WHO, memprediksi saat ini sekitar 387 juta orang di dunia mengidap diabetes melitus. Dan diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta pada tahun 2035 (IDF, 2014). Secara keseluruhan, tingkat tertinggi terlihat pada penduduk asli Amerikadan Kepulauan Pasifik, diikuti oleh Hispanik atau Meksiko Amerika, India, Asia Tenggara, dan Afrika-Amerika. Peningkatan prevalensi diabetes tipe 2 telah merambah ke orang dewasa muda dalam kelompok usia 20 sampai 30 tahun. Bahkan anak- anak sekarang terjebak dengan epidemik ini. Di antara anak-anak jepang diabetes melitus tipe 2 lebih umum dari pada diabetes tipe 1. Peningkatan
14
spektakuler pada diabetes tipe 2 ini sejajar dengan peningkatan obesitas, yang merupakan salah satu faktor resiko utama DM tipe 2. Karena hubungan yang erat ini Ziv dan Shahfir menyarankan istilah “diabesity “ diabesity”” (Lindarto, 2014). Berdasarkan data IDF 2014, saat ini diperkiraan 9,1 juta orang penduduk didiagnosis sebagai penyandang DM. Dengan angka tersebut Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan data IDF tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang penyandang DM (PERKENI, 2015). Prevalensi DM pada untuk kota Medan 2.7% dan prevalensi Diabetes Melitus untuk propinsi Sumatera Utara 2,3%, sementara data terakhir yang dikeluarkan oleh Depkes RI menyatakan prevalensi DM pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik adalah 6,9% (Riskesdas, 2013). Selama beberapa dekade diagnosis diabetes berdasarkan kriteria glukosa plasma, baik glukosa puasa (≥126 mg/dl) atau 2 jam dengan tes toleransi toler ansi glukosa glukosa oral 75 g (TTGO≥200 mg/dl). Pada tahun 2009, komite internasional yang terdiri dari American Diabetes Asosiation (ADA), International Diabetes Federation Federation (IDF), European Assosiation for the Study of Diabetes Diabetes (EASD) merekomendasikan penggunaan A1c untuk mendiagnosis diabetes, dengan nilai ambang batas >6,5% ,dan ADA mengadopsi kriteria ini pada tahun 2010 (Lindarto, 2014). Pemeriksaan HbA1c perlu dipertimbangkan sebagai pemeriksaan untuk skrining dan diagnosis diabetes. Manfaat dari HbA1c selama ini lebih banyak dikenal untuk menilai kualitas pengendalian indeks atau kadar glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas terapi, namun beberapa studi terbaru mendukung pemanfaatan HbA1c yang lebih luas, bukan hanya untuk pemantauan, tetapi teta pi juga bermanfaat dalam diagnosis ataupun skrining DM tipe 2 (PERKENI, 2015). HbA1c merupakan molekul glukosa berikatan dengan hemoglobin yang disebut hemoglobin terglikosilasi. Pembentukan Hb A1 terjadi dengan lambat yaitu 120 hari, sesuai dengan rentang hidup sel darah merah, HbA1c terdiri dari tiga molekul hemoglobin yaitu HbA1a,HbA1b dan HbA1c. Sebesar 70% Hba1c terglikosilasi (mengabsorbsi glukosa). Jumlah hemoglobin yang terglikosilasi
15
tergantung pada jumlah glukosa darah yang tersedia. Jika kadar glukosa darah meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan glukosa; menghasilkan glikohemoglobin. Hemoglobin terglikosilasi mewakili kadar glukosa darah selama rata-rata 1 sampai 4 bulan (Kee, 2007). American Diabetes Association merekomendasikan Association merekomendasikan tujuan terapi diabetes nilai HbA1c <7% , dan harus melakukan tindakan perawatan bila nilai HbA1c >8%. Untuk memahami makna klinis Glycated hemoglobin hemoglobin (HbA1c), DCCT telah menetapkan kenaikan kenaikan 1% pada HbA1C HbA1C mengakibatkan perubahan konsentrasi konsentrasi glukosa plasma sekitar 2 mmol / L (35 mg /dL ). Peningkatan HbA1c dianggap sebagai faktor risiko independen untuk penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke pada orang dengan atau tanpa diabetes. diabetes. Keadaan
resistensi insulin mempengaruhi metabolisme dalam tubuh
diantaranya terjadi perubahan proses produksi dan pembuangan lipoprotein plasma. Di jaringan lemak terjadi penurunan efek insulin sehingga lipogenesis berkurang dan lipolisis meningkat. Hal ini akan memicu terjadinya glucotoxicity disertai lipotoxicity yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar LDL kolesterol. LDL-C merupakan pembawa utama kolesterol di dalam darah. Dalam keadaan hipergikemia, oksidasi LDL-C berlangsung lebih cepat. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan kadar glukosa darah kronis. Pada pasien DM yang tidak terkontrol, terjadinya glikasi LDL lebih cepat. Struktur LDL-C pada DM menjadi termodifikasi, teroksidasi, glikasi, menjadi kecil dan padat sehingga makin bersifat aterogenik (Noviyanti et all, 2011). Partikel yang sangat aterogenik ini mudah melewati barier endotel dan mudah teroksidasi, yang kemudian diambil oleh scavender receptor . Setiap kenaikan kolesterol LDL sebanyak 1% meningkatkan kejadian koroner sebesar 2% (Lim et all, 2014). Pemeriksaan HbA1c digunakan secara rutin untuk kontrol glikemik jangka panjang dan dapat digunakan sebagai penanda dari kadar profil lipid. Karna HbA1c yang tinggi maka kadar LDL kolesterol juga tinggi, yang mengakibatkan terjadi peningkatan resiko kardiovaskular (Muraliswaran et all, 2016).
16
Melihat latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara kadar HbA1c dengan kadar LDL-C pada pasien diabetes melitus tipe 2.
1.2 Rumusan Masalah
“Apakah terdapat hubungan antara kadar HbA1c dengan kadar LDL-C pada Diabetes Melitus tipe 2 ?” ?”
1.3 Tujuan penelitian
1. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara kadar HbA1c dengan kadar LDL-C pada penderita DM tipe 2. 2. Tujuan khusus Untuk mengetahui pengukuran kadar HbA1c dan kadar LDL-C pada penderita diabetes melitus tipe 2.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagi institusi Hasil penelitian dimanfaatkan oleh pihak institusi/pendidikan sebagai tambahan
bacaan
yang
akan
digunakan
oleh
mahasiswa/i
yang
berkepentingan. 2. Bagi masyarakat Memberikan informasi dan pengetahuan kepada pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengikuti penelitian ini, mengenai bahaya peningkatan kadar HbA1c dan kadar LDL-C 3. Bagi Peneliti a. Digunakan sebagai pengalaman dalam menyusun rencana dan melaksanakan penelitian.
17
b. Sebagai kesempatan untuk mengintegrasi ilmu yang telah didapat di bangku kuliah dalam bentuk melakukan penelitian ilmiah secara mandiri. c. Digunakan untuk mengikuti lomba – lomba – lomba lomba karya tulis ilmiah. 4. Bagi Peneliti Lain Dapat digunakan sebagai bahan informasi bila ingin melakukan penelitian yang lebih luas.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus (DM) 1.1.1. Defenisi
Diabetes adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia
akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Hiperglikemia kronik pada diabetes akan menyebabkan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan organ yang berbeda, terutama pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah ( ADA, 2014, Schteingart, 20013).
1.1.2. Epidemiologi
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa mendatang. Menurut WHO, jumlah penduduk di dunia meningkat sebesar 37% antara tahun 2000-2030 dan jumlah penderita diabetes akan meningkat sebesar 114% dari perkiraan tahun 2012 yang telah lebih dari 370 juta orang (IDF,2012). Secara keseluruhan, tingkat tertinggi terlihat pada penduduk asli Amerika dan Kepulauan Pasifik, diikuti oleh Hispanik atau Meksiko Amerika, India, Asia Tenggara, dan Afrika-Amerika. Peningkatan prevalensi diabetes tipe 2 telah merambah ke orang dewasa muda dalam kelompok usia 20 sampai 30 tahun. Bahkan anak- anak sekarang terjebak dengan epidemik ini. Di antara anak-anak jepang diabetes melitus tipe 2 lebih umum dari pada diabetes tipe 1. Peningkatan spektakuler pada diabetes tipe 2 ini sejajar dengan peningkatan obesitas, yang merupakan salah satu faktor resiko utama DM tipe
19
2. Karena hubungan yang erat ini Ziv dan Shahfir menyarankan istilah “diabesity” diabesity” (Lim, 2014).
1.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetic Association Association 2014 (ADA 2014), dibagi dalam: a. Diabetes Melitus Tipe 1 Sering disebut insulin-dependen diabetes, diabetes melitus tipe 1, atau diabetes onset anak-anak, terjadi karna adanya destruksi sel beta pankreas yang disebabkan autoimun dan untuk bertahan hidup biasanya memerlukan insulin. Metabolisme seseorang dengan DM Tipe 1 adalah normal sebelum penyakit ini nyata secara klinis, dan proses kerusakan sel dapat dideteksi lebih dini dengan pemeriksaan autoimun tertentu. Biasanya tanda autoimun DM Tipe 1 adalah antibodi : anti-GAD, anti-islet cell , atau anti-insulin, yang menyebabkan kerusakan sel- sel-. Seseorang yang memiliki salah satu atau lebih dari antibodi ini dapat disubklasifikasikan sebagai jenis A1. b. Diabetes Melitus Tipe 2 Sering disebut Non-Insulin-Dependent diabetes, diabetes melitus tipe 2, atau diabetes onset dewasa. Dan merupakan bentuk paling umum dari diabetes. Hal ini ditandai dengan gangguan aksi dan sekresi insulin. Meski etiologi spesifik tidak diketahui, autoimun dari sel-β sel-β tidak terjadi. Pasien dengan DM tipe 2 biasanya memiliki resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif bukan absolut. Pada saat diagnosis diabetes ditegakkan dan sepanjang hidupnya, umumnya tidak memerlukan insulin untuk bertahan hidup, meskipun akhirnya banyak yang memerlukan insulin untuk kontrol glikemik. Pada DM tipe 2 ini kegagalan sel-β sel- β yang progresif berhubungan dengan lama diabetes. Ketoadosis jarang terjadi secara spontan, tetapi dapat timbul akibat stres yang berhubungan dengan penyakit lain seperti infeksi. Kebanyakan DM tipe 2 mengalami obesitas, hal ini memperburuk resistensi insulin. DM tipe 2 sering baru terdiagnosis selama bertahun- tahun karena
20
hiperglikemia berkembang secara bertahap dan tidak jelas gejala klasiknya. Namun, pasien tersebut sudah mengalami peningkatan risiko komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Tingkat insulin yang beredar bisa normal atau meningkat, tetapi tidak cukup untuk mengontrol kadar glukosa darah dalam kisaran normal karena resisten insulin. Dengan demikian mereka memilki insulinopenia relatif bukan absolut. DM tipe 2 sering pada wanita yang memiliki diabetes gestasional dan dengan karakteristik lain dari sindrom resistensi insulin seperti hipertensi atau dislipidemia. DM tipe 2 menunjukkan hubungan familial yang kuat, sama risiko seperti obesitas, hipertensi, dislipidemia atau riwayat diabetes gestasional.
c. Diabetes Melitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi inf eksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
d. Diabetes Melitus Gestasional DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.
1.1.4. Patogenesis Patogenesis Diabetes Melitus Tipe II
Pada Dm tipe II terjadi 2 defek fisiologis yaitu abnormalitas sekresi insulin dan gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ target terutama hati dan otot. Pada DM tipe 2 terjasi 3 fase urutan klinis. Pada fase pertama, gangguan metabolisme glukosa diawali oleh sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini menimbulkan dampak buruk
21
terhadap
homeostasis
glukosa
darah.
Yang
pertama
terjadi
adalah
hiperglikemia akut postpradial (HAP) (HAP) yaitu peningkatan KGD segera (10-30 menit) setelah beban glukosa. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karna proses pemanfaat
yang tidak sempurna pada akhirnya akan seing
menimbulkan abnormalitas pada kadar lipid dalam darah. Tidak adekuatnya fase ke-1 kemudian diikuti peningkatan kinerja pada fase ke-2 sekresi insulin. Pada fase ini mekanisme kompensasi tidak adekuat tubuh mengalami defisiensi yang mungkin relatif menimbulkan toleransi glukosa terganggu atau terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial disebut juga prediabetic state. Kemudian pada tahap ke-3 resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi TGT menjadi DMT2 (Manaf, Soegondo 2014). Resistensi insulin menyebabkan asam lemak bebas mengaktifkan beberapa protein kinase yang kemudian meningkatkan fosforilasi serin pada reseptor insulin (normalnya adalah peningkatan fosforilasi tirosin pada reseptor insulin). Di hati terjadi penurunan sintesis glikogen hepatik disebabkan oleh penurunan aktifitas glikogen sintase dan peningkatan glukoneogenesis
hepatik.
Peningkatan
produksi
glukosa
hepatik
memperparah hiperglikemia. Di otot terjadi penurunan sintesis glikogen otot disebabkan oleh penurunan translokasi GLUT-4 (Glucose ( Glucose Transporter Tipe 4), yang berfungsi sebagai pembawa glukosa darah ke otot, menyebabkan terjadi hiperglikemia lanjut (Ndraha,2014)
1.1.5. Gejala Klinis
Manifestasi diabetes melitus 2 bervariasi dari pasien ke pasien. Gejala yang paling sering dialami oleh adalah gejala yang berkaitan dengan hiperglikemia (poliuria, polodipsia, polifagia), tapi kejadian yang mungkin terjadi berupa dekompensasi metabolik akut yang menyebabkan koma diabetik. Terkadang juga berupa penyulit degeneratif seperti neuropati tanpa hiperglikemia bergejala. Manifestasi lain yang mungkin terjadi adalah:
22
Glukosuria Turunnya berat badan Lemah Kesemutan atau gatal Mata kabur Disfungsi ereksi Candidiasis vagina, dll (Greenspan and Gardner, 2009)
1.1.6. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko terjadinya DM tipe 2 menurut ADA dengan modifikasi terdiri atas : A. Faktor risiko mayor : 1) Riwayat keluarga DM; 2) Obesitas; 3) Kurangnya aktivitas fisik; 4) Ras/Etnik; 5) Sebelumnya teridentifikasi sebagai IFG ( Impaired ( Impaired Fasting Glucose) Glucose) / KGD Puasa terganggu ; 6) Hipertensi; 7) Tidak terkontrol kolesterol dan HDL; 8) Riwayat DM pada kehamilan; 9) Sindroma Ovarium. B. Faktor risiko lainnya : 1)Faktor nutrisi; 2) Konsumsi alkohol; 3) Kebiasaan mendengkur; 4) Faktor stress; 5) Kebiasaan merokok; 6) Jenis kelamin; 7) Lama tidur; 8) Intake zat besi; 9) Konsumsi kopi dan kafein; 10) Paritas; 11) Intake zat besi (Alfiyah, 2010).
1.1.7. Diagnosis
Menurut PERKENI 2015 diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
23
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis DM menurut PERKENI 2015 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Pemeriksan glukosa plasma ≥200mg/dl setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5 % dengan metode terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). Program (NGSP). Tabel 2.1.1: Kriteria diagnosis DM (Sumber: PERKENI, 2015). Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM yaitu: 1) Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor ris iko sebagai berikut: a. Aktivitas fisik yang kurang. b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga). c. Kelompok ras/etnis tertentu. d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG). e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi). f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL. g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
24
h. Riwayat prediabetes. i.
Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j.
Riwayat penyakit kardiovaskular.
2) Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas. Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
1.1.8. Komplikasi
DM jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, dan saraf. Dengan penanganan yang baik, berupa kerjasama yang erat antara pasien dan petugas kesehatan, diharapkan komplikasi kronik DM tipe 2 dapat dicegah, setidaknya dihambat perkembangannya (Schteingart, 2013). a. Komplikasi akut yaitu:
Hipoglikemia Keadaan penurunan KGD. Biasanya disebabkan oleh peningkatan kadar insulin yang kurang tepat atau asupan karbohidrat yang kurang. Ditandai dengan gejala berupa gelisah, tekanan darah turun, lapar, mual, lemah, lesu, keringat dingin bahkan sampai koma.
Hiperglikemia Keadaan dimana KGD berlebihan yang merupakan dekompensasi metabolik pada pasien diabetes tanpa disertai ketoasidosis. Gejalanya berupa dehidrasi berat dan penurunan kesadaran.
Ketoasidosis Metabolik Keadaan peningkatan senyawa keton yang bersifat asam dalam darah yang berasal dari asam lemak bebas hasil dari pemecahan sel-sel lemak jaringan yang terutama diakibatkan oleh defisiensi insulin absolut atau insulin relatif. Ditandai dengan gejala berupa nafsu makan meningkat,
25
banyak minum dan merasa haus, banyak kencing, napas bau keton, penurunan kesadaran bahkan koma koma (Irianto, 2014). b. Komplikasi kronis 1. Mikrovaskular
Retinopati diabetikum Manifestasi
dini
dari
retinopati
diabetikum
adalah
mikroaneurisma (pelebaran sakular yang keci) dari arteriola retina. Mengakibatkan terjadi perdarahan, neovaskularisasi, dan jaringan parut pada retina sehingga menyebabkan kebutaan. Selain itu peningkatan glukosa menyebabkan penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga menyebabkan katarak dan kebutaan. Nefropati diabetikum Buruknya mikrosirkulasi pada ginjal menyebabkan terjadinya perubahan struktrur dan fungsi awal berupa hipertrofi ginjal, penebalan membran
basal
kapiler
glomerulus,
peningkatan
GFR,
mikroalbuminuria dan hipertensi. Peningkatan mikroalbumin ini adalah penanda bahwa adanya kerusakan kerusakan pada ginjal. Neuropati diabetikum Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan terjadinya neuropati. Perubahan biokimia pada jaringan saraf akan mengganggu sel-sel scwhan dan menyebabkan hilangnya akson. Kemudian akan timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar, gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks tendon, kelemahan otot dan atrofi. 2. Makrovaskular Penyempitan pembuluh darah atau penumpukan lemak ini tidak hanya diakibtkan oleh pola makan tapi juga oleh kontrol metabolisme karbohidrat di hati yang tidak normal. Perubahan metabolisme ini juga menyebabkan
peningkatan
kadar
LDL
dan
Trigliserida
serta
menurunkan kdar HDL. Sementara kadar HDL ini diperlukan untuk melindungi dinding pembuluh darah dari proses penyempitan atau
26
penymbatan. Penyakit makrovaskular mengacu
pada atreroskresis
dengan berkembangnya penyakit arteri koronaria, stroke, penyakit pembuluh darah perifer dan meningkatnya meningkatnya resiko infeksi. 3. Neuropati perifer Merupakan penyebab penting terjadinya ulcerasi yang sulit dikontrol pada kaki penderita diabetes. Gangguan atau hilangnya sensasi menyebabkan hilangnya rasa nyeri dengan kerusakan kulit akibat trauma dan penekanan dari sepatu yang sempit. Penyakit vaskuler dengan berkurangnya suplai darah juga berperan dalam berkembangnya lesi, dan lazim terjadi infeksi dapat menyebabkan ganggren pada pasien DM (Schteingart, 2013; Mahendra et all, 2008).
2.2 2.2.1
HbA1c Defenisi
HbA1c atau A1c adalah komponen utama dari hemoglobin terglikosilasi, suatu bentuk ikatan nonenzimatik karbohidrat dengan hemoglobin yang menggambarkan kondisi glukosa darah berupa kadar glukosa darah selama 2-3 bulan (Suryaatmadja M, 2010).
2.2.2
Karaktristik HbA1c
Hemoglobin A (Hb A) terdiri dari 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin total. Molekul glukosa berikatan dengan Hb A1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A. Molekul glukosa berikatan dengan dengan Hb A1 yang disebut hemoglobin terglikosilasi. Pembentukan Hb A1 terjadi dengan lambat yaitu 120 hari, sesuai dengan rentang hidup sel darah merah, HbA1 terdiri dari tiga fraksi yaitu HbA1a, HbA1b dan HbA1c. Sebesar 70% Hba1c terglikosilasi (mengabsorbsi glukosa). HbA1c ini merupakan ikatan antara glukosa dengan hemoglobin sedangkan fraksi-fraksi yang lain merupakan ikatan antara hemoglobin dengan heksosa yang yang lain.
Jumlah hemoglobin yang
terglikosilasi tergantung pada jumlah glukosa darah yang tersedia. Jika kadar
27
glukosa darah meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan glukosa; menghasilkan glikohemoglobin. Nilai normal HbA1c adalah <5,7; prediabetes 5,7-6,4; dan diabetes >6,5 (Kee, 2007). Hubungan antara A1c dan glukosa plasma adalah kompleks. Kadar HbA1c lebih tinggi didapatkan pada individu yang memiliki kadar glukosa darah tinggi sejak lama, seperti pada diabetes mellitus. Banyak penelitian menunjukkan bahwa A1C adalah indeks rata-rata kadar glukosa selama beberapa minggu sampai bulan sebelumnya (Sutanpur et all, 2010). Penggunaan HbA1c dapat menghindari masalah variabilitas nilai glukosa sehari-hari. Kadar gula darah berfluktuasi dari menit ke menit, jam ke jam, dan hari ke hari. Sedangkan tingkat HbA1c tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harian dalam konsentrasi glukosa darah tapi mencerminkan kadar glukosa rata-rata selama sebelum enam sampai delapan minggu. sehingga dapat digunakan untuk mengetahui ‘kualitas’ dari kontrol gula darah. Pada penderita diabetes, kadar glukosa cenderung mudah meningkat dibandingkan kondisi normal, menurun dengan olah raga, meningkat setelah makan, apalagi setelah makan makanan manis, sehingga sulit untuk dikontrol. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan setiap 3 bulan sekali atau 4 kali dalam setahun (Stopler and William, 2016). HbA1C tidak dapat dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal (PERKENI, 2015).
Gambar 2.2.1 : Pembentukan HbA1c
28
(Sumber : Gough, 2010). Kadar HbA1c 6% sama dengan konsentrasi glukosa rata-rata 126 mg/dl dan setiap peningkatan kadar HbA1c 1% sama dengan peningkatan kadar glukosa rata-rata 29 mg/dL (Tabel 2.2.1).
Tabel 2.2.1 : Hubungan antara HbA1c dengan rata – rata rata glukosa plasma (Sumber : ADA, 2011).
2.2.3
HbA1c sebagai Kontrol Diabetes
Hemoglobin A1c telah digunakan secara luas sebagai indikator kontrol glikemik, karena mencerminkan konsentrasi glukosa darah 2-3 bulan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah. Hemoglobin A1c merupakan alat pemantauan yang penting dalam penatalaksanaan pasien dengan diabetes melitus (Greci et all, 2013). Pengendalian metabolisme glukosa yang buruk ditandai dengan kadar glukosa dalam darah terus meningkat atau hiperglikemia. Tingkat HbA1c yang buruk menunjukkan ketidak patuhan pasien dalam menjalani terapi diabetik. Terapi diabetik merupakan terapi yang diberikan pada pasien DM untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai pegangan penyesuaian diet, latihan jasmani, dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin, dan terhidar
29
dari keadaan hiperglikemia atau hipoglikemia. Efektif atau tidaknya terapi diabetik dapat dilihat dari hasil pemeriksaan HbA1c (Monneir and Collette, 2009). Studi observasional yang yang dilakukan Selvin et al, mendapatkan hubungan hubungan antara glikemia, diukur dengan kadar HbA1c dengan penyakit kardiovaskuler. Penilaian dengan HbA1c lebih baik daripada glukosa puasa untuk risiko jangka panjang penyakit jantung koroner. Hasil metaanalisis dari 13 studi observasional mendapatkan kenaikan HbA1c dengan kejadian penyakit kardiovaskuler dimana didapatkan setiap peningkatan satu persen HbA1c pada pasien dengan DM tipe 2 dan tipe 1, risiko relatif penyakit kardiovaskuler meningkat sebesar 1.18 atau setara dengan 18% (Lim H, 2014).
2.3
Lipid dan Lipoprotein
Di dalam darah ditemukan tiga jenis lipid yaitu kolesterol, trigliserid, dan fosfolipid. Lipid – Lipid – lipid lipid ini memerlukan modifikasi dengan bantuan protein untuk dapat diangkut dalam sirkulasi darah karena sifatnya yang tidak larut dalam air (Adam, 2014). Semua lipoprotein plasma yang beredar adalah protein kompleks dan asam lemak rantai panjang yang terikat dengan albumin. Lipoprotein bertanggung jawab untuk transport lipid yang dihasilkan dari metabolisme endogen dan diet. Partikel lipoprotein berbentuk bulat dengan diameter 5-1200 µm, terdiri dari inti hidrofobik, berisi triasilgliserol dan kolesterol ester. Lipoprotein dikelilingi oleh fosfolipid yang hidrofilik, kolesterol nonesterifikasi dan apolipoprotein (gambar 2.3.1).
30
Gambar 2.3.1: komposisi lipoprotein (sumber: Erez F. Scapa et all, 2014)
Ada lima jenis lipoprotein yaitu kilomikron, very low density lipoprotein (VLDL), intermediate density lipoprotein lipoprotein (IDL), low density lipoprotein lipoprotein (LDL), dan high density lipoprotein lipoprotein (HDL). Lipoprotein ini berbeda ukuran, mobilitas elektroforesis, komposisi lipid dan apolipoprotein. Kilomikron disintesa oleh selsel mukosa usus kecil dan bertindak sebagai kendaraan untuk pengangkutan trigliserida dan kolesterol dari makanan. VLDL yang berasal dari endogen, disintesa dan disekresi oleh hati. IDL terbentuk sebagai trigliserida dari VLDL. LDL adalah pembawa utama kolesterol didalam plasma, dan berasal dari katabolisme VLDL. HDL terutama terbentuk di hati sebagai partikel yang miskin lipid. Fungsi utama HDL adalah mengangkut kolesterol dari perifer ke hati, kemudian dikeluarkan sebagai asam empedu. Selain lipoprotein di atas, lipoprotein-a (Lp-a) juga ditemukan dalam plasma. Konsentrasinya sekitar 0,2 mg/dl-120 mg/dl (Lim et all, 2014)
2.3.1
LDL-C
Low density Lipoprotein Lipoprotein (LDL) adalah pembawa utama kolesterol di dalam plasma, dan berasal dari katabolisme VLDL. Ukuran partikel LDL-C bervariasi, partikel yang mengandung lebih banyak trigliserida dan sedikit kolesterol ester membuat LDL-C lebih kecil dan padat. Partikel ini sangat aterogenik karna mudah melewati barier endotel, mudah teroksidasi, dan diambil scavender receptor. Jumlah dan ukuran partikel LDL-C berhubungan dengan aterogenisitas. Nilai normal LDL-C yang optimal <100; mendekati optimal 100129; diinginkan 130-159; tinggi 160- 189; sangat tinggi ≥190. Setiap kenaikan kolesterol LDL sebanyak 1% meningkatkan kejadian koroner sebesar 2% (Lim et all, 2014).
2.3.1.1
Struktur LDL-C
LDL-C tersusun oleh lapisan hydrophilic surface dari fosfolipid, kolesterol bebas dan hepatically-derived apo B100 untuk kestabilan partikel LDL-C. Bagian
31
inti tersusun oleh kolesterol ester, TG dengan FA di ekor dari fosfolipid (gambar 2.3.2).
Gambar 2.3.2: struktur LDL-C (sumber: Gough, 2010).
2.3.1.2 Metabolisme kolesterol LDL
Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hati dan disekresi ke dalam sirkulasi sebahgai lipoprotein VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam VLDL adalah apolipoprotein B100. Dalam sirkulasi, trigliserid dalam VLDL akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL), dan VLDL berubah menjadi IDL yang juga akan mengalami hidrolisis dan berubah menjadi LDL. Sebagian dari VLDL, IDL, dan LDL akan mengangkut kolesterol kolesterol ester kembali ke hati. LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol di LDL LDL
akan di bawa ke hati dan jaringan
stredoigenik lainnya seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor untuk kolesterol LDL. Sebagian lagi dari kolesterol akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger -A -A (SR-A) di makrofag dan akan menjadi sel busa ( foam cell ). ). Makin banyak kadar kolesterol LDL dalam plasma makin banyak yang akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag. Jumlah kolestreol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar kolesterol yang terkandung di LDL. Beberapa keadaan yang mempengaruhi tingkat oksidasi seperti:
Meningkatnya jumlah LDL kecil padat ( small dense dense LDL) seperti pada sindrom metabolik dan diabetes melitus
32
Kadar kolesterol HDL, makin tinggi kadar kolesterol HDL akan bersifat protektif terhadap oksidasi LDL (Adam,2014). (Adam,2014).
Gambar 2.3.3 Metabolisme LDL-C (Sumber: Kwiterovich, 2000)
2.3.1.3 Faktor-faktor Faktor-faktor yang mempengaruhi mempengaruhi LDL-C
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya LDL-C yaitu latihan fisik, strees, strees, diet lemak, diet tinggi karbohidrat, alkohol dan obat-obatan yang dapat meningkatkan (kontrasepsi oral, estrogen) atau menurunkan kadar lipoprotein (asam askorbat, klofibrat, fenformin, metformin). Beberapa penyakit tertentu yang dapat meningkatkan LDL-C antara lain kelainan tiroid, malnutrisi, hipertensi, sindroma nefrotik, penyakit autoimun, obesitas, familial hiperlipidemia dan sebagainya (Kee,2009).
2.3.1.4 Hubungan LDL-C dengan Aterosklerosis Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah suatu proses penebalan dan pengerasan dinding pembuluh darah arteri berukuran sedang dan besar yang berlangsung secara progresif sebagai akibat dari timbunan ti mbunan lemak (plak) pada lapisan pembuluh darah, yang dapat menghambat menghambat atau membatasi aliran darah.
Aterosklerosis adalah
penyebab utama penyakit kardiovaskuler. Arteri normalnya terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan intima, lapisan media, dan lapisan adventitia. Tunika intima
33
terdiri dari sel endotel tunggal yang mengatur tonus pembuluh darah, tunika media terdiri dari sel-sel otot polos, dan lapisan adventitia terdiri dari jaringan ikat longgar, ujung saraf, sel mast dan vasa vasorum (jaringan pembuluh darah kecil yang memasok dinding arteri yang lebih besar) (gambar 2.3.3). Peningkatan kadar LDL-C di lapisan intima merupakan awal dari aterosklerosis. Peningkatan permeabilitas endotel menyebabkan me nyebabkan peningkatan retensi intima, LDL-C memiliki peranan yang penting dalam dalam proses ini.
Patogenesis Patogenesis Aterosklerosis Aterosklerosis
Proses diawali dengan berubahnya LDL-C menjadi lebih aterogenik setelah proses oksidasi dan berubah menjadi LDL-C yang teroksidasi (ox-LDL). LDL nativ yang tidak diambi oleh makrofag untuk membentuk sel busa, tetapi lipid dengan apo B-100 yang termodifikasi mempunyai peranan dalam pembentukan sel busa. Di endotel, LDL-C berdifusi ke matrix subendotelian, bertumpuk dalam dinding pembuluh darah dan berinteraksi dengan matrix proteoglikan. LDL-C yang aterogenik (Ox LDL) akan tertahan dan berubah menjadi bersifat sitotoksik, proinflamasi, khemotaktik, dan proaterogenik (Lim et all, 2014; Adi, 2014). Karna pengaruh aterogenesis dan stimuli inflamasi tersebut endotel menjadi aktif. Kemudian endotel akan mengeluarkan sitokin. NO (nitrogen monoksida) yang dihasilkan endotel menjadi berkurang, selain itu juga akan mengeluatrkan sel-sel adesi (Vascular Cell Adhesien Molecule-1, Inter Celular Adhesien Molecule-1, E selectin, P selectin) selectin) dan menangkap monosit dan sel T. Monosit akan berubah menjadi makrofag yang berhubungan dengan ekspresi dari SR seperti SR-A dan CD-36. Fungsi lain dari scavenger-A (SR-A) scavenger-A (SR-A) adalah menangkap Ox-LDL dan berubah menjadi sel busa ( foam ( foam cell). Akumulasi sel busa pada dinding pembuluh darah merupakan langkah awal patogenesis aterosklerosis dari pembentukan lemak yang di di sebut fatty sebut fatty streak streak (Lim (Lim et all, 2014; Adi, 2014). 2014). Fatty streak kemudian berkembang membentuk plak fibrosa melalui perubahan seluler dan biokimia. Sel otot polos mensintesis protein matriks ekstraseluler untuk membentuk lesi fibrous lesi fibrous cap padat cap padat tersebut, menonjol ke lumen arteri dan menutupi inti makrofag, sel otot polos, T-limfosit, matrix ekstraseluler, dan sel busa. Ketidakstabilan ini dapat menyebabkan plak menjadi pecah dan
34
terjadi trombus, trombus, yang pada akhirnya dapat menyebabkan oklusi arteri. Serangan jantung (miocard infark , oklusi koroner, atau trombosis koroner) terjadi ketika sumbatan arteri koroner menghalangi oksigen dan nutrisi jantung. Di sisi lain penyumbatan pada pembuluh darah diotak menyebabkan stroke (Lim (Lim et all, 2014).
35
2.4
Kerangka Teori
Diabet Diabetes es Melitus Melitus Ti e II
Resistensi Insulin
Kerusakan Sel β Pankreas
Kadar Glukosa Darah
Saturasi Hemoglobin A + Glukosa
Kolesterol LDL teroksidasi
Disfungsi Endotel HbA1c Kadar Nitric Oxide ↓
SC-A mengubah Ox-LDL menjadi sel foam
Penumpukan Fatty Streak
Aterosklerosis
Komplikasi Kardiovaskular -Mikrovaskular -Makrovaskular
36
2.5 Kerangka Konsep
Diabetes Melitus
Hiperglikemia
Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan LDL-C
HbA1c ↑
LDL-C LDL-C ↑
Penyakit Kardiovaskular : -Aterosklerosis -PJK -Stroke
2.6 Hipotesis
Terdapat kolerasi antara kadar HbA1c dengan kadar LDL-C pada penderita DM tipe 2.
37
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitan
Penelitian ini merupakan penelitian obsevasional analitik dengan pendekatan cross-sectional study. study. Desain yang digunakan adalah sekat silang (Cross Sectional Study), Study ), yaitu penelusuran sesaat, artinya subjek diamati hanya sesaat atau satu kali pada saat pemeriksaan tersebut. Maka pada study cross sectional ini, ini, peneliti tidak melakukan tindak lanjut terhadap pengukuran pengukuran yang dilakukan. Penelitian ini dilakukan terhadap sekumpulan objek, dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar HbA1c dengan kadar LDL-C pada penderita DM tipe 2.
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian
Subjek pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia S. Parman No. 17/223 G Medan. Waktu penelitian dilakukan setelah selesai seminar proposal.
3.3
Populasi dan Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi
Yang dimaksud dengan populasi dalam penelitian adalah sejumlah sumber besar subjek yang mempunyai karakteristik karakte ristik tertentu. Subjek penelitiian berupa manusia, hewan percobaan, data rekam medis, laboratorium, dan lain – lain, dan karakteristik subjek ditemukan sesuai dengan ranah tujuan peelitian. Dibagi menjadi dua, yakni (1) populasi target (2) populasi terjangkau (Sastroasmoro, 2014). a. Populasi target Populasi target adalah keseluruhan subjek yang dibatasi oleh karakteristik klinis dan demografi yaitu pria/wanita yang menderita DM tipe 2 . b. Populasi terjangkau Populasi terjangku atau populasi sumber adalah bagian dari
38
populasi target yang dibatasi oleh tempat dan waktu yaitu yaitu semua pasien DM tipe 2 yang berada di Medan.
3.3.2 Subjek
Subjek yang dikehendaki merupakan bagian dari populasi terjangkau yang direncanakan untuk diteliti langsung. Mareka adalah subjek yang memenuhi kriteria pemilihan, yakni kriteria inklusi dan ekslusi, dan terpilih sebagai yang akan diteliti (Sastroasmoro, 2014).
3.4
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria inklusi
Kriteria inklusi yang ditetapkan pada subjek subjek penelitian ini adalah adalah sebagai berikut: -
Pria/wanita dewasa > 18 tahun yang menyandang DM tipe 2
-
Pasien/keluarga
bersedia
memberikan
ijin
tertulis
setelah
diberi
penjelasan (informed (informed consent ) untuk mengikuti penelitian ini
3.4.2 Kriteria eksklusi
Kriteria ekslusi yang ditetapkan pada subjek penelitian ini adalah sebagai berikut: -
Pasien dalam keadaan sakit berat atau tidak memungkinkan mengikuti penelitian ini.
-
3.5
Pasien tidak kooperatif.
Teknik Sampling
Cara pemilihan sample yang dipakai adalah pemilihan tidak berdasarkan peluang (non-probability sampling) sampling) tetapi dengan menggunakan teknik consecutive sampling dengan cara setiap anggota populasi sumber yang memenuhi kriteria inklusi akan dipilih sebagai subjek sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2014).
39
3.6 Besar Sampel
Karena penelitian ini termasuk uji hipotesis dengan koefisien korelasi maka untuk menentukan besar sampel tunggal minimal pada uji hipotesis dengan menggunakan menggunakan koefisien korelasi korelasi r yang dikemukakan dikemukakan oleh Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Srivenkeshwaraa Pududcherry penulis Muraliswaran dengan judul A Correlative Study Of HbA1c and Lipid Profile Parameters Among Type 2 Diabetic Population In a Rural Hospital In Puducherry didapati nilai r sebesar 0,773 maka diperlukan informasi : 1.
Perkiraan koefisien korelasi, r (Sastroasmoro, 2014)
2.
Tingkat kemaknaan, (ditetapkan peneliti)
3.
Power, atau Z Z (ditetapkan peneliti) Rumus yang digunakan adalah : n:
Zα +Zβ r)r) 0,5ln((−r) −r)
2
+3
Dimana : N = total besar sampel minimal Z =kesalahan tipe 1 berdasarkan nilai yang telah ditentukan ( = 0.05)
(Z (Z = 1,960)
Z = kesalahan tipe 2 berdasarkan nilai yang telah ditentukan ( = 0,2)
(Z (Z = 0.842)
r = perkiraan korelasi (r = 0,773) dengan p> 0,05 berdasarkan rumus diatas, besarnya sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : n:
n=
(0,5Zαln+Zβ((−r) r)r) −r) 1, 9 6+0, 8 4 0,5 ln,−,
)2 + 3
, 8 0 n= 0,5 ln( ln(,8) +3 n=[2,73] +3
+3
40
n=7,35+3 n=10,35 Dengan demikian, besar sampel minimal yang diperlukan 10,35 orang, dibulatkan menjadi 10 orang.
3.7
Rancangan Penelitian SUBJEK
DM TIPE II
Informed consent
UKUR NILAI HbA1c
KONTROL BAIK
< 6,5 %
KONTROL BURUK
UKUR NILAI LDL KOLESTEROL
KONTROL BAIK < 100 mg/dl
KONTROL BURUK
>8%
3.8
3.9
≥
130 mg/dl
Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (variabel independen)
: kadar HbA1c
2. Variabel terikat (variabel dependen)
: kadar LDL
Defenisi Operasional
DM Tipe 2 adalah keadaan umum dimana terjadi peningkatan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya kompensasi sel pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai resistensi insulin. Penurunan
41
sensitivitas insulin menganggu penggunaan dan penyimpanaan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan meransang peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Guyton, 2008). Pasien dengan DM tipe 2 yang sudah mendapat pengobatan biasanya mengkonsumsi obat diabetes sehingga gula darah dipertahankan dalam keadaan normal. Untuk mengetahui suatu metabolisme penyadang DM tipe 2 dapat dinilai dengan beberapa parameter antara lain : a. Kadar HbA1c Kadar HbA1c pada penderita DM tipe 2 menurut PERKENI dengan satuan %. - Baik
: < 6,5%
- Sedang
: 6,5 – 6,5 – 8 8 %
- Buruk
: > 8%
Skala Ukur : Nilai HbA1c dinyatakan dalam skala numerik. b. Kadar LDL-C Kadar LDL-C pada penderita DM tipe 2 menurut PERKENI dengan satuan mg/dl. •
Baik
: < 100 gr/dL
•
Sedang
: 100-129 gr/dL
•
Buruk
: ≥130gr/dL
Skala ukur : Nilai LDL-C dinyatakan dalam skala numerik.
3.10
Cara Kerja
1. Peneliti mengajukan pembuatan surat izin kode etik kepada ketua komite etika peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia untuk mendapatkan Ethical Clearance. 2. Setelah mendapat izin, peneliti mengajukan surat izin penelitian ke Laboratorium Klinik Prodia S. Parman No. 17 Medan. 3. Kemudian setelah mendapat izin, peneliti melakukan anamnese untuk mendapatkan keterangan tentang identitas subjek seperti usia, riwayat penyakit dan riwayat obat – obat – obatan. obatan.
42
4. Bila subjek memenuhi kriteria inklusi, subjek dapat dii kut sertakan sebagai sampel. 5. Selanjutkan peneliti menjelaskan secara garis besar tujuan penelitian ini. 6. Peneliti juga menjelaskan bahwa penelitian ini tidak dilakukan intervensi yang mewakili sampel ( Principle of Non Maleficence). Maleficence). 7. Selain itu peneliti juga menjelaskan manfaat apa yang akan didapatkan bila subjek mengikuti penelitian ini ( Principle Principle of Beneficence). Beneficence). 8. Peneliti juga menjelaskan bahawa identitas dan hasil setiap sampel akan dijaga kerahasiaannya ( Principle of Confidentiality). Confidentiality). 9. Bila subjek tersebut bersedia mengikuti penelitian ini, maka sampel harus menandatangani informed consent ( Principle of Autonomy and Respect ). ). 10. Setelah subjek bersedia dan menandatangani informed consent, maka peneliti akan mengirim pasien ke Laboratorium Klinik Prodia S. Parman No. 17/223 G untuk dilakukan pemeriksaan kadar HbA1c dan kadar LDLC. 11. Seluruh data yang diperoleh selanjutnya dianalisa menggunkan teknik analisis data yang telah dipilih.
3.11
Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah terkumpul dari hasil pengukuran dalam penelitian ini kemudian ditabulasi untuk kemudian diolah lebih lanjut dengan menggunkan program Statistical Product and Service Solution Solution (SPSS) dengan bantuan komputer. Data dianalisis melalui perhitungan statistik untuk melakukan uji hipotesis dengan metode uji Korelasi Pearson jika uji normalitas didapati data tidak berdistribusi normal maka uji hipotesis dapat dilakukan dengan uji Korelasi Spearman. Metode statistik ini digunakan untuk menunjukkan hubungan antara dua variabel berskala numerik (skala kontinu dan diskret). Analisis data diawali dengan menggambar diagram baur ( scatter plot ). ). Setelah didapatkan gambaran pola hubungan kedua variabel, analisis
43
dilanjutkan dengan menguji kekuatan hubungan antara HbA1c dan kadar LDL-C yang dinyatakan dengan koefisien korelasi pearson (r) yang didapat.
3.12
Masalah Etika
1. Semua biaya penelitian ditanggung oleh peneliti. 2. Setiap pasien yang dilakukan pemeriksaan diberikan informed consent . 3. Jika terjadi sesuatu atas diri pasien pada waktu pemeriksaan, segala biaya perawatan dan pengobatan ditanggung ditanggung oleh peneliti. 4. Adanya izin penelitian dari Komisi Kode Etik dari Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indoneisa.
D aftar ftar P usta ustaka
44
Adam, J.M.F (2014). Dislipidemia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, h:2549-2558. h:2549-2558. Adi, Pudji Rusmono(2014). Rusmono(2014). Pencegahan dan Penatalaksanaan Aterosklerosis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, h:1425-1435. h:1425-1435. Alfiyah, Widyati (2010). Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Diabetes Melitus pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang Tahun 2010. Tersedia dari: http://lib.unnes.ac.id/6373/1/7144_A.pdf. diakses http://lib.unnes.ac.id/6373/1/7144_A.pdf. diakses pada 22 November 2016. American Diabetes Association (ADA) (2013). Diagnosis And Classification Of Diabetes Melitus. Diabetes Care;34;s62-9. Charitha, Senghor A, Shivashekar M, William E. Glycated Hemoglobin as a dual marker: in control of glycemia status and diabetic dyslipidemia. IJPCR 2013;5(3):111-3. Tersedia dari: https://clindiabetesendo.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40842-0150004-6 . Diakses pada 22 November 2016. Depkes, 2014. Infodatin Diabetes. Tersedia dari: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatindiabetes.pdf. – Diakses Diakses 17 November 2016. Erez F scava, Keishi Kanno and David E Cohen. Lipoprotein metabolism. In textbook of Hepatology. Third Edition Edited Bt: Bt: juan Rodes. Blacwell Publishing registered trademark 2014. Page Page 133-141. Gough S, Manley S, Stratton I (2010). HbA1c in diabetes case studies using IFCC units. Tersedia dari: http://www.wiley.com/WileyCDA/WileyTitle/productCd-1444334441.html. Diakses pada: 29 November 2016. 2016. Greci LS, Kailasam M, Malkani S, Katz DL, et al. Utility of HbA1c levels for diabetes case fi nding in hospitalized patients with hyperglycemia. Diabetes Care 2003;26:1064-8. Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12663574. Diakses https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12663574. pada 28 November 2016. Greenspan and Gardner. Basic And Clinical Endocrinology. Sixth Edition. h:636673.
45
Guyton dan Hall (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Keduabelas. Jakarta: Saunders Elsevier. Internasional Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas, update 2010. 5th edn. Tersedia dari: http://www.idf.org/diabetesatlas/5e/Update201 http://www.idf.org/diabetesatlas/5e/Update2012 2 . - Diakses 17 November 2016. Irianto, Koes (2015). Memahami Berbagai Macam Penyakit. Bandung:Alfabeta. h:132-152. Kee, Joyce (2007). Laboratory and diagnostic test with nursing implications. ed 6. Delaware: Pearson Education. h:213-237 h:213-237 Kwiterovich PO,Jr. The methabolic pathways of high densitylipoprotein, low density lipoprotein, and trigliserides: A current review. Am j cardiol 2000;86:5L-10L Lindarto, Darma (2014). Diabetes Melitus. Dalam : Prinsip Farmakologi Endokrin-Infeksi. Edisi 1. Jakarta: Softmedia, h:73-92. h:73-92. Lim, Hadyanto et al (2014). Farmakologi Obat Antihiperlipidemia. Dalam : Prinsip Farmakologi-Endokrin-Infeksi. Edisi 1. Jakarta: Softmedia. h:93119. Mahendra, et all (2008). Care Yourself Y ourself Diabetes Mellitus. Jakarta:Penebar Plus. Hal:57-70. Manaf, Asman (2014). Insulin: Mekanisme Sekresi Dan Aspek Metabolisme. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. hal:2328-2335. hal:2328-2335. Monnier L, Collete C. Target for glycemic control concentrating on glucose. Diabetes Care 2009;32:199-203. Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2811454/. Diakses pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2811454/. 29 November 2016. Muraliswaran, P (2016). A correlative study of HbA1C and lipid profile parameters among type 2 diabetic population in a rural hospital in puducherry. IOSR-JDMS PP 59-63. Tersedia dari: http://www.iosrjournals.org/iosr-jdms/papers/Vol15-Issue%209/Version12/M1509125963.pdf. Diakses 12/M1509125963.pdf. Diakses pada 17 November 2016.
46
Ndraha S (2014). Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Dalam : Medicinus Vol. 27 No 2. Jakarta : Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta. Noviyanti, Finisia et all (2015). Perbedaan Kadar LDL-kolesterol pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan dan tanpa Hipertensi di RS Dr. M. Djamil Padang Tahun 2011. Tersedia dari: http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/297. Diakses 18 http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/297. november 2016. PERKENI (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015 Tersedia dari: http://pbperkeni.or.id/newperkeni/wp-content/plugins/ downloadattachments/includes/download.php?id=109... – Diakses 18 November attachments/includes/download.php?id=109. 2016. Sastroasmoro S (2014). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi kelima. Jakarta: Sagung Seto. Schteingart , David E (2013). Pankreas : Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. Dalam : Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Proses Penyakit ed. 6. Jakarta : EGC, h: 1059- 1073. Soegondo, Sidartawan (2014). Farmakoterapi Pada Pengendali Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. hal:2328-2335 hal:2328-2335 Stopler
and William (2016). Hemoglobin A1c Test. Tersedia dari: http://www.emedicinehealth.com/hemoglobin_a1c_hba1c/article_em.htm. Diakses pada: 29 november 2016. 2016.
Suryaatmadja, M (2013). Peran Pemeriksaan Kadar HbA1C Untuk Diagnosis Pradiabetes. Dalam:. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2013. Jakarta: Patologi Klinik FK UI. Hal:57-70. Sutanpur, et all (2010). Comprehensive review on HbA1c in Diagnosis of Diabetes Mellitus. Int J Pharm Sc Rev Resc. 2010;3:119-21. Tersedia dari: dari:http://www.globalresearchonline.net/journalcontents/Volume3issue2/ Article%20021.pdf . Diakses pada 29 November 2016.