BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia terletak di pertemuan antara plat tektonik Australia, Eurasia, Philippines dan Pasific yang bertemu di kepulauan Maluku. Hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi sismotektonik di Indonesia. Dengan kondisi tersebut, maka sebagian besar wilayah Indonesia terutama yang padat penghuni adalah rawan gempa. Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia yang terletak pada lintasan patahan yang memang rawan gempa. Menurut Kepala Badan Geologi Bambang Dwiyanto, wilayah Yogyakarta terletak di atas patahan (sesar) yang masih aktif. Pergeseran sesar inilah yang berpotensi menimbulkan gempa bumi. Selain pulau Jawa merupakan zona subduksi. Kondisi tanah di wilayah Yogyakarta terdiri dari endapan kuarter berupa endapan alluvial, endapan alluvial pantai, endapan batu gamping, serta endapan gunung api yang bersifat urai lepas. Endapan itu belum terkonsolidasi serta memperkuat efek goncangan dan getaran gempa bumi (sinar Harapan, 2006) Akibatnya, ketika terjadi gempa bumi potensi terjadinya kerusakan bangunan cukup tinggi dan mengakibatkan presentasi jumlah korban besar. Peristiwa gempa di Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006 yang lalu merupakan peristiwa yang bersejarah bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat Yogyakarta. Menurut data dari Dinas Kimpraswil tercatat per tanggal 14 Desember 2007, gempa 27 Mei 2006 di Yogyakarta menyebabkan banyaknya korban jiwa dan harta benda. Lebih dari 5.048 orang tewas, luka berat lebih dari 19.000 orang, cacat tetap lebih dari 1.500 orang, 296 orang diantaranya lumpuh. Lebih dari 400.000 rumah rusak, 176.000 rumah roboh total/rusak berat. Bangunan dan fasilitas pendidikan tercatat 2.375 unit bangunan rusak, 45 unit kantor pemerintah rusak berat/roboh dan beberapa fasilitas umum, tempat wisata serta tempat usaha masyarakat mengalami kerusakan (Dinas Kimpraswil, 2007 1
dalam Bawono, 2009). Begitu juga yang terjadi pada gempa Padang tanggal 30 September 2009, bahwa bangunan yang rusak akibat gempa bukan hanya bangunan nonengineered saja melainkan bangunan – bangunan engineered seperti gedung perkantoran, gedung pendidikan, bahkan gedung rumah sakit atau gedung fasilitas kesehatan lainnya. Berikut adalah contoh bangunan – bangunan runtuh dibeberapa kota akibat gempa :
Gambar 1.1 Bangunan fasilitas pendidikan yang runtuh akibat gempa Yogyakarta 2006.
Gambar 1.2 Bangunan fasilitas umum yang runtuh akibat gempa Padang 2009. 2
Gambar 1.3 Bangunan Masjid yang runtuh akibat gempa Aceh 2013.
Gambar 1.4 Bangunan Masjid yang runtuh akibat gempa Banyumas 2014.
Bangunan -
bangunan gedung mempunyai factor keutamaan yang
bergantung pada tingkatan penting atau tidaknya suatu bangunan. Pada saat itu telah berkembang suatu konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based design) yang merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan. Ditinjau dari fungsinya, suatu bangunan akan mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda untuk fungsi yang berbeda dengan parameter tingkat kinerja atau level of 3
performance bangunan setelah terkena terkena gempa. Dengan berpedoman pada performance based design, maka bangunan dievaluasi sesuai dengan tingkatan kinerja pada bangunan tersebut. Menurut FEMA 302 (1997) berdasarkan fungsi bangunan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok kegunaan atau seismic use group, yaitu kelompok III, II, dan I. Kelompok kegunaan III, yaitu bangunan – bangunan dengan fasilistas penting (lifeline facilities) yang sangat dibutuhkan pada masa tanggap darurat sesaat setelah terjadi gempa, atau bangunan - bangunan yang berisi bahan – bahan berbahaya dengan jumlah yang besar. Bangunan – bangunan yang termasuk dalam daftar “lifeline facilities” untuk prioritas dilakukan evaluasi terhadap bahaya gempa adalah bangunan yang digunakan untuk rumah sakit, pemadam kebakaran, gedung markas besar polisi, pusat siaga tanggap darurat, pusat pembangkit listrik, hangar pesawat, pusat komunikasi, dan fasilitas pengolahan air minum. Kelompok kegunaan III ini harus memiliki tingkat kinerja fully operational yaitu harus dapat beroperasi secara penuh setelah terjadi gempa. Kelompok kegunaan II memiliki tingkat kinerja immediate occupancy , yaitu harus dapat tetap beroperasi walaupun tidak secara penuh, kerusakan struktur bangunan ringan, sehingga aman untuk langsung di huni kembali, antara lain adalah gedung pendidikan, penjara, perkantoran, pusat perawatan dll. Kelompok kegunaan I, yaitu bangunan yang tidak termasuk pada kelompok kegunaan III dan II. Kelompok kegunaan I memiliki tingkat kinerja life safety dan collapse prevention setelah terjadi gempa. Dari hasil tinjauan lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar bangunan-bangunan nonengineered dan engineered rusak berat dan runtuh karena bangunan-bangunan tersebut mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi (Satyarno, 2007). Secara umum kerentanan bangunan ditentukan oleh kekuatan, kekakuan, redaman, dan daktilitas yang dimiliki (FEMA 172, 1992), yang secara dominan ditentukan oleh kualitas bahan, kekuatan yang disediakan, kualitas pendetailan struktur, dan konfigurasi bangunannya (Satyarno, 2010). Kerentanan bangunan juga dipengaruhi karena desain spektra bangunan tersebut tidak memenuhi peraturan yang terbaru, biasanya ini terjadi pada bangunan – bangunan lama karena pada saat melakukan desain menggunakan peraturan lama atau pada saat itu. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi kinerja struktur 4
khususnya pada bangunan-bangunan lama sebelum tahun terbitnya peraturan terbaru 2012, banyak terdapat perbedaan antara peraturan 2002 dengan peraturan 2012. Sehingga bangunan lama yang tidak memenuhi peraturan terbaru 2012 dan dari evaluasi kegempaan secara rinci diketahui bahwa bangunan tersebut mempunyai kerentanan karena tidak dapat memenuhi kinerja yang disyaratkan sesuai dengan fungsi atau kelompok kegunaannya, maka perlu dilakukan suatu tindakan dalam rangka mitigasi (Satyarno, 2010). Beberapa macam pilihan tindakan yang dapat dilakukan pada bangunan yang rentan karena tidak bisa memenuhi kinerja yang diharapkan apabila dilanda gempa. Tindakan yang pertama adalah melakukan perbaikan atau retrofitting, yang kedua merubah fungsi bangunan dari kelompok bangunan III menjadi II atau I. Jika bangunan tidak memenuhi bahkan kelompok kegunaan I dan tidak dilakukan perbaikan karena dirasa tidak ekonomis maka gedun tersebut sebaiknya diruntuhkan atau demolished untuk digani dengan yang baru (Satyarno, 2010). Jika hal ini dilakukan pada setiap bangunan yang ada di Yogyakarta khususnya maka seluruh bangunan akan menjadi jelas status kerentanannya khususnya bangunan-bangunan yang penting yang termasuk dalam kelompok kegunaan III. Perbandingan spektra desain SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa 2002 mana spektra desain SNI 2012 diambil berdasarkan perangkat lunak desain spektra Indonesia, yang dapat dilihat pada situs http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain _spektra_indonesia_2011/. Dalam SNI Gempa 2002, walaupun notasi Sds dan Sd1 tidak dikenal, diambil padanan: a) bagian datar nilai C pada SNI Gempa 2002 sebagai Sds, dan b) angka pada bagian lengkung di T = 1 detik pada SNI Gempa 2002 sebagai nilai Sd1. Dengan pendekatan padanan ini maka khusus untuk tanah lunak dalam SNI 2002 nilai SDS akan sama dengan SD1. Perbandingan spektra desain dilakukan untuk 15 kota besar di Indonesia untuk kondisi klas situs SC (tanah keras), SD (tanah sedang), SE (tanah lunak) dibandingkan dalam suatu grafik untuk melihat peubahannya (Arfiadi dan Satyarno, 2013).
5
Gambar 1.5 Perbandingan spektral percepatan desain pada periode pendek untuk tanah keras (Arfiadi dan Satyarno, 2010).
Untuk klas situs SC (tanah keras) nilai-nilai SDS untuk 15 kota besar ditunjukkan pada Gambar 1.1. Tampak bahwa ada kota-kota yang, dengan berlakunya SNI Gempa 2012, nilai spectra respons percepatan pada perioda pendek SDS bertambah besar ada pula yang menjadi kecil. Nilai SDS SNI Gempa 2012 untuk 10 kota yang lain lebih besar dari nilai SDS SNI Gempa 2002. Pertambahan nilai yang terbesar terjadi untuk kota Semarang dan Palu yang bertambah
menjadi 2,18 kali nilai pada SNI Gempa 2002. Setelah itu kota
Yogyakarta, Surabaya dan Bandung naik berturut-turut menjadi 1,79; 1,68 dan 1,64 kali. Kota lainnya yaitu Banda Aceh, Jayapura, Padang, Surakarta dan Jakarta naik berturut-turut menjadi 1,5; 1,43; 1,28; 1,22 dan 1,14 kali SDS SNI Gempa 2002 (Arfiadi dan Satyarno, 2013). Berikut adalah peta gempa maksimum menurut SNI 2012 yang dipertimbangkan risiko tertarget (MCER) parameter-parameter gerak tanah Ss, dan S1, kelas situs SB. Peta Gempa SNI 2012 ini lebih rinci dan detail untuk setiap lokasi.
6
Gambar 1.2 Parameter nilai percepatan respon spektral gempa MCER risikotertarget pada periode pendek teredam 5 persen.
Dalam penelitian ini kami menggunakan sample gedung perkuliahan di salah satu Universitas Swasta Yogyakarta. Spektrum respons yang dimiliki pada lokasi objek ini setelah kita memasukkan koordinat lokasi objek penelitian pada http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/
adalah sebagai
berikut :
Gambar 1.3 Respons spektrum lokasi objek penelitian (sampel gedung perkuliahan disalah satu Universitas Swasta Yogyakarta) 7
Gedung ini didesain menggunakan peraturan SNI 2002 yang menetapkan bahwa gedung pendidikan masuk dalam kelompok kegunaan II atau kategori resiko immediate occupancy, yaitu tingkat kinerja bangunan-bangunan kelompok kegunaan II ini setelah terjadi gempa harus bisa tetap beroperasi walaupun tidak secara penuh. Pada tingkat kinerja ini ada kerusakan sebagian yang terjadi pada bagian-bagian mekanikal, elektrikal, serta arsitektural dengan kerusakan struktur bangunan ringan sehingga aman untuk langsung dihuni kembali Tingkat kinerja bangunan-bangunan kelompok kegunaan II ini setelah terjadi gempa harus bisa tetap beroperasi walaupun tidak secara penuh. Pada tingkat kinerja ini ada kerusakan sebagian yang terjadi pada bagian-bagian mekanikal, elektrikal, serta arsitektural dengan kerusakan struktur bangunan ringan sehingga aman untuk langsung dihuni kembali. Secara struktural bangunan-bangunan kelompok kegunaan
II
seharusnya
mempunyai
respon
plastis
yang
kecil.
Kerusakan¬kerusakan yang terjadi dapat segera diperbaiki agar bangunan dapat kembali beroperasi secara penuh (FEMA 302, 1997). Pada permasalahan ini gedung akan dievaluasi kembali secara struktural menggunakan peraturan SNI 2012 kemudian membandingkan antara keduanya apakah desain level kinerja pada gedung tersebut masih memenuhi desain level kinerja bangunan dengan menggunakan peraturan SNI 2012, yaitu kelompok kegunaan IV atau kategori resiko fully operational yang mengandung pengertian harus bisa tetap beroperasi secara penuh setelah terjadi gempa, yaitu tidak ada kerusakan yang terjadi pada bagian struktur, mekanikal, elektrikal, serta arsitektural bangunan. Secara struktural bangunan-bangunan kelompok kegunaan IV seharusnya mempunyai respon elastik pada saat terjadi gempa dan bagian-bagian mekanikal, elektrikal dan arsitekturalnya dirancang sesuai dengan persyaratan agar tetap operasional. Level kinerja berdasarkan kelompok kegunaannya atau seismic use group menurut SNI 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini.
8
Tabel 1.1 Kategori risiko bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa
9
1.2 RUMUSAN MASALAH Sesuai dengan fungsi bangunan yang termasuk kategori fully operational atau kelompok kegunaan IV, akan dilakukan evaluasi terhadap struktur bangunan sampel gedung perkuliahan di salah satu Universitas Swasta Yogyakarta : 1. Bagaimana hasil evaluasi secara rapid visual screening pada bangunan sesuai dengan FEMA 154 dan FEMA 310? 2. Apakah gedung ini mampu memenuhi level kinerja fully operational sesuai dengan kategori resiko pada peraturan SNI 1726 2012? 3. Dimana prediksi letak kerusakan yang dapat terjadi pada struktur serta alternatif tindakan manakah yang paling tepat yang akan dipilih untuk kondisi kerusakan struktur pada gedung ini? 4. Apakah penelitian ini bisa dijadikan langkah mitigasi bencana yang diterapkan pada setiap bangunan tua di Yogyakarta?
1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian diuraikan sebagai berikut ini : 1. Evaluasi struktur bangunan dengan menggunakan (RVS) Rapid Visual Screening sesuai FEMA 154 dan FEMA 310 pada kondisi existing terhadap bahaya gempa. 2. Mengetahui apakah setelah terkena gempa bumi gedung perkuliahan ini memenuhi level kinerja bangunan menurut kategori resiko pada peraturan SNI 1726 2012. 3. Mengetahui daerah yang mengalami sendi plastis, serta alternatif tindakan yang paling tepat agar bangunan tetap memenuhi level kinerja yang disyaratkan sesuai dengan fungsi atau kelompok kegunaannya. 4. Menetapkan konsep langkah mitigasi bencana yang diterapkan pada setiap bangunan tua di Yogyakarta dengan menggunakan acuan penelitian ini.
10
1.4 BATASAN PENELITIAN Untuk memberikan arah dalam melaksanakan penelitian dan agar tidak terjadi pengembangan masalah menjadi lebih komplek, maka dilakukan pembatasan – pembatasan sebagai berikut ini : 1. Bangunan yang diteliti adalah sampel gedung perkuliahan disalah satu Universitas Swasta Yogyakarta yang beralamat di Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. 2. Komponen yang akan dievaluasi pada RVS adalah komponen struktur dan sebagian komponen non-struktur. Kemudian pada analisis linier dan nonlinier hanya akan dievaluasi pada bagian komponen struktur saja. 3. Penelitian difokuskan untuk evaluasi kinerja pada kondsisi existing terhadap gempa bumi. Yaitu demand capacity ratio (DCR), drift ratio dan level performance bangunan. 4. Pondasi dan kondisi tanah tidak dievaluasi. 5. Denah bangunan disesuaikan denah structural drawing pada gedung sampel perkuliahan yang menjadi objek penelitian. 6. Elemen struktur mutu bangunan meliputi : a. mutu Beton pada kolom dan balok (f’c) = 20 Mpa, b. mutu Beton pada pelat (f’c) = 25 Mpa, dan c. mutu baja tulangan (fy) = 400 MPa. 7. Analisis pada penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Gedung dianalisis secara 3 dimensi. b. Tumpuan yang digunakan dalam pemodelan numerik adalah sendi. c. Pemodelan numerik dibuat sebagai open frame. d. Balok dan kolom diasumsikan sebagai frame e. Plat lantai dimodelkan shell. f. Pembebanan yang digunakan dalam analisis sesuai pada PPPURG 1987 g. Tidak dilakukan peninjauan redistribusi momen. h. Daktilitas bangunan dianggap elastik, dengan faktor reduksi gempa (R) = 8. i. Jumlah tingkat yang dianalisis adalah 5 tingkat. j. Gaya lateral yang ditinjau adalah beban gempa horizontal. 11
k. Pengaruh beban angin hanya diperhitungkan pada atap. l. Analisis linier (Tier 2) dan non linier (Tier 3) struktur menggunakan program SAP2000 versi 14. m. Analisis yang digunakan pada Tier 2 adalah analisis linier dengan level pembebanan yang digunakan dalam analisis adalah elastik dan jenis perilaku material bersifat linier. n. Analisis linier yang dilakukan dalam evaluasi adalah analisis linier statik dan jenis perilaku material bersifat linier. o. Analisis yang digunakan pada Tier 3 adalah analisis non linier. p. Analisis non linier yang dilakukan dalam evaluasi adalah analisis non linier statik (pushover analysis). q. Lokasi gedung di wilayah gempa 4 jenis tanah sedang (sesuai SNI 031726-2012). r. Analisis statik pushover yang digunakan sesuai prosedur pada ATC-40 dan FEMA 356 yang telah built-in dalam program SAP2000. s. Analisis momen- curvature balok dan kolom sebagai input dalam properti sendi untuk mendefinisikan perilaku non linier dilakukan secara auto pada program SAP2000. t. Analisis kapasitas momen penampang balok dan kolom menggunakan program “Aplikasi rekayasa konstruksi dengan visual basic 6.0 – Analisis dan Desain Penampang Beton Bertulang sesuai SNI 03-28472013”. 8. Peraturan yang digunakan adalah sebagai berikut. a. Evaluasi menggunakan pedoman FEMA 310 Handbook for the Seismic Evaluation of Building- A prestandard. b. Evaluasi secara rapid visual screening juga mengacu pada FEMA 154Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazard : A Handbook. c. Evaluasi kinerja struktur mengacu pada ATC-40 dan FEMA 345Prestandard and Commentary for The Seismic Rehabilitation of Buildings.
12
d. Evaluasi komponen non-struktur mengacu pada FEMA 302- NEHRP Recommended Provisions for Seismic Regulation for New Buildings and Other Structures dan FEMA 356- Prestandard adn Commentary for The Seismic Rehabilitation of Buildings. e. Perhitungan dan analisis beban gempa mengacu pada Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 031726-2012). f. Kombinasi pembebanan mengacu pada Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2012). g. Analisis penampang balok dan kolom mengacu pada Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2013). h. Pembebanan pada analisis menagcu pada Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2012).
1.5 MANFAAT PENELITIAN Dengan adanya penelitian ini diharapkan: 1. Hasilnya dapat dijadikan masukan dalam evaluasi bangunan dalam mitigasi bencana gempa bumi secara cepat (visual) dengan menggunakan metode RVS. 2. Untuk mengetahui apakah bangunan ini memenuhi desain level kinerja (performance based design) sesuai dengan peraturan SNI 2012. 3. Hasil evaluasi dapat menjadikan acuan dalam perencanaan perbaikan, perkuatan, dan rehabilitasi struktur agar mampu bertahan pada saat terjadi gempa. 4. Mendapatkan langkah mitigasi bencana gempa yang diterapkan pada bangunan – bangunan tua di Yogyakarta.
13
1.6 DEFINISI OPERASIONAL Definisi umum dari operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Kinerja Struktur, Kinerja Struktur didapat dari kombinasi antara level kinerja struktur dan nonstruktur. Sasaran kinerja bangunan terdiri dari kejadian gempa rencana (hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level) dari banfunan terhadap kejadian gempa tersebut. Menurut FEMA 273 (1997) kategori level kinerja struktur antara lain adalah sebagai berikut : a) Operasional Level b) Immediate Occupancy Level c) Life Safety Performance Level d) Collapse Prevention Level Pada peneleitian ini, jenis bangunan yang digunakan dalam evaluasi dikategorikan sebagai Operational Level (OL).
2.
Kekuatan Struktur, Kekuatan Struktur adalah kemampuan atau kapasitas struktur bangunan dalam menerima beban, baik beban struktur itu sendiri maupun beban gempa. Pada penelitian ini, dilakukan cek kekuatan struktur antara lain kuat lentur balok dan kolom (momen nominal dan momen kapasitas), gaya geser kolom dan balok, dan memperhitungkan Demand Capacity Ratio (DCR) dari kekuatan struktur yang tersedia bangunan tersebut.
3.
Immediate Occupancy, Immediate Occupancy adalah kondisi level bangunan dimana pada saat terjadi gempa terdapat kerusakan pada struktur tetapi kerusakan tersebut tidak terlalu berarti, maksudnya kekuatan dan kekakuan masih hampir sama dengan kondisi sebelum gempa. Kondisi komponen nonstruktur masih berfungsi dan berada atau tersedia ditempatnya. Paad level ini, bangunan masih bisa digunakan tanpa terganggu pada masalah perbaikan kerusakan 14
bangunan tersebut. Risiko dari korban yang terjadi pada level kinerja ini sangat kecil.
4.
Kerusakan struktur, Kerusakan Struktur dapat dideteksi sedini mungkin karena suatu kerusakan dapat merembet, memicu, dan memperparah kerusakan lainnya. Pada umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama masa layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap kerusakan akibat berbagai hal. Beberapa penyebab kerusakan antara lain adalah karena : a) masalah durability akibat material yang kurang baik, b) kesalahan perencanaan dan pelaksanaan, c) lingkungan agresif yang belum diantisipasi saat perencanaan, d) overloading akibat kenaikan beban karena perubahan fungsi/pemakaian bangunan, e) kenaikan life-span, f) penyebab khusus dan beban berlebih seperti gempa, banjir, kebakaran, dan g) Life-span yang berbeda-beda antara bahan-bahan struktur dan non struktur. Pada penelitian Tesis ini akan dievaluasi kemungkinan kerusakan yang dapat terjadi pada suatu struktur akibat beban gempa.
5.
Faktor Daktilitas Daktilitas adalah kemampuan bangunan untuk merubah kekakuannya dan menyerap energi gempa untuk tetap menjaga integrasi struktur. Fungsi daktilitas untuk menjaga integrasi bangunan agar penghuni dapat menyelamatkan diri. Nilai faktor daktilitas suatu bangunan gedung () di dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas maksimum m yang 15
dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur bangunan gedung.
6.
Faktor Reduksi Beban Gempa Faktor reduksi beban gempa yaitu rasio antara beban gempa maksimum akibat pengaruh gaya gempa rencana pada struktur gedung elastik penuh dan beban gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana pada struktur gedung daktail, bergantung pada faktor daktilitas struktur gedung tersebut (μ). Faktor reduksi (R) digunakan untuk mempresentasikan pengaruh adanya daktilitas ketika terjadi gempa. Jika R semakin besar nilainya maka gaya gempa dasar rencana menjadi lebih kecil karena dianggap strukturnya lebih daktail. Oleh karena itu di dalam penelitian ini bangunan dianggap dalam kondisi elastis agar gempa dasar rencana yang dihasilkan menjadi lebih besar sehingga bangunan dapat di desain lebih aman terhadap gempa.
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kinerja struktur bangunan terhadap gaya gempa. Beberapa penelitian menggunakan analisis pushover untuk memprediksi kinerja struktur terhadap gempa. 2.1 PENELITIAN TERDAHULU Satyarno (2000), dalam penelitiannya menggunakan analisis pushover untuk memperkirakan resiko yang terjadi pada bangunan-bangunan tua pada suatu wilayah dengan karakteristik wilayah kegempaan tinggi. Bangunan yang dievaluasi diasumsikan terletak pada tiga kota di New Zealand dengan kondisi tanah yang berbeda yaitu tanah keras, sedang, dan lunak. Pada bangunan-bangunan lama (older building) memiliki resiko kerusakan yang lebih besar akibat gempa jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan baru. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan metode berbasis kekuatan (force-based method) atau metode berbasis perpindahan (displacement-based method) yang disarankan oleh NZNSEE (1996), dimana beban gempa ditentukan dari respon spectrum. Pada metode berbasis kekuatan, bangunan diharapkan mempunyai kinerja yang memuaskan selama gempa terjadi sama dengan spectrum respon jika daktilitas yang ada lebih besar daripada daktilitas yang dibutuhkan. Dalam metode berbasis perpindahan (displacement), bangunan diharapkan mempunyai kinerja yang memuaskan selama gempa terjadi sama dengan spectrum respon jika kapasitas perpindahan lebih besar daripada perpindahan yang dibutuhkan. Jika kapasitas terhadap beban gempa lebih kecil dibanding kebutuhannya, maka tahapan lebih lanjut yaitu dengan mengestimasi kala ulang gempa (return period) dimana struktur akan berkinerja secara memuaskan, sehingga penentuan aksi yang tepat bias dibuat. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi bangunan antara lain:
17
1. Periode getar alami, Ti (Fundamental period) 2. Kapasitas geser dasar, Vbase (Base shear capacity) 3. Periode efektif struktur, Teff (Effective period) 4. Kapasitas daktilitas struktur, µ (Structure’s ductility capacity) 5. Kapasitas displacement lateral struktur, δu (Structure’s lateral displacement capacity) Hasil evaluasi menggunakan analisis pushover menunjukan bahwa bangunan memiliki daktilitas yang sangat terbatas karena terjadi mekanisme respon yang tidak diinginkan yaitu kegagalan geser pada balok dan terjadi sendi plasitis pada kolom. Bangunan yang berada pada tanah keras dan sedang memberikan hasil yang lebih baik daripada bangunan yang berada di tanah lunak. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan melakukan retrofitting pada daerah kritis dengan menambahkan tulangan geser dengan diameter 8 mm dengan jarak 100 mm dan dibandingkan dengan penambahan tulangan diameter 10 mm dengan jarak 100 mm, detail tulangan longitudinal/pokok tetap seperti semula. Hasil analisis menunjukan bahwa penambahan tulangan geser diameter 8 mm dengan jarak 100 mm pada beberapa tempat tidak memadai untuk gempa dengan periode 450 tahun. Sebaliknya dengan tulangan geser diameter 10 mm dan jarak 100 mm cukup efektif dalam meningkatkan kapasitas seismic bangunan untuk gempa dengan periode 450 tahun. Ginsar dan Lumantarna (2004), mengatakan arah metode perencanaan tahan gempa beralih dari pendekatan kekuatan (force based) menuju pendekatan kinerja (performance based) dimana struktur direncanakan terhadap beberapa tingkat kinerja. Untuk mengetahui kinerja struktur, karena saat menerima beban gempa besar struktur akan mengalami pelelehan, maka dibutuhkan analisis nonlinier yang sederhana tetapi cukup akurat. Jamal (2011) Dalam Penelitian Evaluasi Kinerja Struktur Gedung Kuliah Umum “Prof. Dr. Sardjito” Universitas Islam Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi bangunan berdasarkan FEMA 154, FEMA 356, ATC-40, dan SNI 03-1726-2002 sebagai pedoman penelitian. Untuk permodelan struktur dan 18
analisis beban dorok statik nonlinier (Pushover) dilakukan menggunakan program SAP2000. Pada penelitian ini, analisis pushover dilakukan permodelan dengan tumpuan Sendi di fondasi, tumpuan jepit di pondasi dan penambahan jepit yang terletak di sloof. Dari hasil analisis nonlinier yang menggunakan analisis pushover dan Metode Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996), diperoleh bahwa rasio simpangan struktur (structural-drift ratio) yang terjadi masih lebih kecil dari batas simpangan yang disyaratkan oleh FEMA 356 dan ATC-40 untuk level Immediate Occupancy, yaitu 1%. Oleh karena itu, level kinerja struktur untuk periode ulang gempa 500 tahun adalah Immediate Occupancy. Pada saat kinerja struktur tercapai, terjadi plastifikasi dan kegagalan geser pada sebagian elemen struktur. Pada daerah tumpuan balok, persentase nilai DCR antara 0-1 sebesar 22,6%, antara 1-1,5 sebesar 22,1%, antara 1,5–2 sebesar 19,5% dan nilai DCR > 2 sebesar 35,9%. Pada daerah dalam sendi plastis kolom, persentase nilai DCR antara 0-1 sebesar 37,4%, 1-1,5 sebesar 13,7%, antara 1,5–2 sebesar 17,3% dan nilai DCR > 2 sebesar 31,7%. Plastifikasi banyak terjadi di elemen kolom pada tingkat 1. Sehingga dapat di prediksi bahwa kerusakan akan terjadi di beberapa elemen kolom di tingkat 1. Selain itu, juga terjadi kerusakan pada dinding pasangan bata (masonry) di seluruh tingkat bangunan. Zahrudin (2010) dalam penelitian Evaluasi Kinerja Bangunan Jogja Internasional Hospital Terhadap Risiko Gempa. Penelitian ini dilakukan di daerah Yogyakarta teraptanya di rumah sakit JIH bertujuan untuk melakukan evaluasi dengan standari FEMA 154 (2002), FEMA 310 (1998), memprediksi level kinerja (performance level) sesuai ATC-40 (1996) dan FEMA 356 (2000), serta memberikan rekomendasi dan saran-saran perbaikan dalam rangka mitigasi terhadap risiko bencana. Permodelan bangunan menggunakan SAP2000 dengan pendekatan pembebanan sesuai PPPURG 1987 dan beban horisontal (beban gempa) sesuai SNI 03-1729-2002. Dari hasil analisis linier pada struktur bangunan JIH baik statik maupun dinamik menghasilkan nilai Deman Capacity Ratio (DCR) lebih besar dari 2, sehingga perlu dilakukan analisis non linier untuk mengetahui level kinerja struktur. 19
Permodelan struktur infill walls pada analisis dinamik linier memberikan kontribusi kekuatan cukup besar dibandingkan dengan permodelan struktur open frame. Analisis statik nonlinier (pushover) berdasarkan metode spektrum kapasitas ATC 40 (1996) menghasilkan target simpangan sebesar 0.279 m dan 0.263 m akibat beban lateral arah X dan Y. Berdasarkan metode koefisien perpindahan FEMA 356 (2000) menghasilkan target simpangan sebesar 0.064 dan 0.080 m akibat beban lateral arah X dan Y. Level kinerja bangunan yang dihasilkan dari analisis statik nonlinier (pushover) untuk struktur immediate occupancy level yang berarti struktur masih dapat digunakan setelah gempa terjadi, sedangkan komponen nonstruktur yang berupa dinding pasangan bata mengalami kerusakan. Pranata (2006) Dalam penelitian Evaluasi Kinerja Gedung Beton Bertulang Tahan Gempa dengan Pushover Analysis, dilakukan evaluasi kinerja terhadap tiga gedung beton bertulang menggunakan pushover analysis dan analisis inelastik dinamik riwayat waktu (inelastic dynamic time history analysis). Evaluasi kinerja dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan target peralihan. Parameter ini yang akan digunakan dalam menentukan kriteria kinerja struktur. Beberapa metode yang digunakan adalah : SNI 03-1726-2002 sebagai syarat peralihan, ATC40 sebagai metoda capacity spectrum, kemudian FEMA 356 dan FEAM 440 sebagai metode displacement coefficient. Dalam penelitian ini analisis beban dorong menggunakan program ETABS dan analisis riwayat waktu menggunakan DRAIN-2D. Pada analisis riwayat waktu, beban gempa yang digunakan adalah El Centro 1940, Bucharest 1977, Florest 1992, dan Pacoima Dam 1971. Dari hasil analisis, dibandingkan hasil target peralihan dari empat metoda yang digunakan yaitu ATC-40, FEMA 356, FEMA 440, dan SNI 1726-2002 yang menunjukan bahwa kinerja batas yltimit menurut SNI 1726-2002 lebih besar daripada target peralihan yang dihitung menurut ATC-40, FEMA 356, dan FEMA 440. Kemudian dari hasil pushover analysis menurut riwayat waktu, peralihan yang diakibatkan oleh gempa EL Centro, Pacoima dan Flores belum melampaui target peralihan (pushover analysis). Sedangkan gempa bucharest telah melampaui target peralihan. Dari hasil analisis Gaya Geser Dasar vs Peralihan yang dinyatakan dalam kurva, menunjukkan bahwa gempa El Centro, Flores, dan Pacoima nilai maksmimum envelope peralihan belum melampaui target peralihan sesuatu hasil 20
dari analisis beban dorong, sedangkan untuk gempa Bucharest sudah melampaui. Kesimpulan dari hasil analisis didapatkan bahwa Gempa El Centro, Pacoima dan Flores apabila dibandingkan dengan analisis beban dorong, hasil peralihan, drift dan rotasi sendi plastis yang terjadi jauh lebih kecil, maka analisis beban dorong cukup rasional dan dapat diandalkan untuk evalusi perliku seismik. Afandi (2010) dalam skripsi berjudul Evaluasi Kinerja Seismik Struktur Beton Dengan Analisis Pushover Menggunakan SAP2000 (Studi Kasus : Gedung Rumah Sakit di Surakarta), dalam penelitian ini dilakukan evaluasi bangunan pada bangunan rumah sakit yang terdiri dari 5 lantai dan 2 lantai basement dengan dinding geser untuk mengetahui pola keruntuhan gedung setelah dianalisis dengan pushover dan perilaku gedung apakah linier atau menjadi nonlinier. Kriteria kinerja seismik struktur bangunan ditentukan menggunakan code ATC-40 dan kemudian untuk mengetahui pola keruntuhan bangunan sehingga diketahui joint-joint yang mengalami kerusakan dan mengalami kehancuran. Setelah dilakukan analisis mengunakan program SAP2000, gedung yang termasuk dalam level kinerja immediate Occupancy terdapat kerusakan pada struktur dimana kekuatan dan kekakuannya hampir sama dengan kondisi sebelum gempa dan gedung dapat digunakan kembali. Dari kurva arah Y memberikan gambaran perilaku struktur dari tahap kondisi elastis, in-elastis kemudian mengalami keruntuhan yang ditunjukkan kurva dengan penurunan tajam, kemudia konsep desai\n strong column weak beam telah dipenuhi yang ditunjukkan terbentuknya sendi plastis diawali dari elemen balok yang kemudian pada saat mencapai performance point mayoritas elemen balok terbentuk sendi plastis kemudian pada bagian elemen balok mencapai kondisi batas in-elastis.
21
2.2 KEASLIAN PENELITIAN Penelitian mengenai evaluasi kinerja gedung terhadap gempa saat ini sudah cukup banyak mengingat intensitas gempa yang terjadi di wilayah Indonesia semakin mengingkat dan berkembang. Penelitian tersebut dikukan dengan menggunakan program SAP2000 dan ETABS dengan berbagai jenis permodelan pada kinerja struktur bangunan. Keaslian penelitian diperlukan sebagai bukti agar tidak adanya plagiarisme antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan. Sepengetahuan penulis, penelitian evaluasi kinerja bangunan sampel gedung perkuliahan disalah satu Universitas Swasta Yogyakarta yang beralamat di Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Keaslian pada penelitian ini yaitu pada : 1. fungsi dan model bangunan, 2. pemakaian code/pedoman yang menggunakan SNI terbaru, yaitu SNI 2012. Pada penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan SNI 1991 dan SNI 2002. Perbedaan antara SNI 2012 dengan SNI sebelumnya terlihat jelas pada kategori bangunan dan nilai faktor keutamaan bangunan, dan 3. metode evaluasi lebih bervariasi seperti metode RVS dengan FEMA 154 dan FEMA 310, metode deman vs capacity, dan membandinkan hasil analisis nonlinier pada SAP terhadap perhitungan manual berdasarkan FEMA 356. Peneltian ini diharapkan dapat digunakan untuk perbaikan dan melengkapi dari penelitian sebelumnya sehingga keaslian penelitian ini dapat dijaga.
22
BAB III LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang digunakan sebagai pedoman dasar pada penulisan tesis ini. Landasan teori pada penelitian ini antara lain adalah Teori Evaluasi dan Mitigasi Bangunan Gedung Terhadap Bencana Gempa, Filosofi Bangunan Tahan Gempa, Theory Capacity Design, Desain Kinerja Struktur Tahan Gempa (Performance Based Design), Jenis Respon Struktur, Prosedur Evaluasi Kekuatan Struktur Bangunan Existing Mengacu pada FEMA 310, Rapid Visual Screening (RVS), Evaluasi Tahap 2, Evaluasi Analisis Statik Non Linier, dan Sendi Plastis.
3.1 TEORI EVALUASI DAN MITIGASI BENCANA GEMPA PADA BANGUNAN GEDUNG 3.1.1 Teori Evaluasi Menurut Wirawan (2010), Secara umum evaluasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu obyek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan suatu tolak ukur untuk memperoleh suatu kesimpulan. Untuk memperoleh informasi yang tepat dalam kegiatan evaluasi dilakukan melalui kegiatan pengukuran. Pengukuran merupakan suatu proses pemberian skor atau angka-angka terhadap suatu keadaan atau gejala berdasarkan aturan-aturan tertentu. Dengan demikian terdapat kaitan erat antara pengukuran (measurement) dan evaluasi (evaluation) kegiatan pengukuran merupakan dasar dalam kegiatan evaluasi. Menurut Yunalia Muntafi (2012), Perancangan bangunan terhadap beban gempa setelah tahun 2000-an mulai menggunakan perancangan bangunan berbasis kinerja. Dalam hal ini, perancangan tidak hanya berdasarkan gaya-gaya yang bekerja tetapi juga memperhatikan besarnya deformasi yang terjadi untuk mengurangi kerusakan pada komponen non struktur. Di sisi lain, bangunanbangunan lama yang telah dirancang dengan peraturan perencanaan sebelum tahun 23
2000-an, belum menggunakan sistem perencanaan berbasis kinerja. Pada umumnya, gaya gempa yang digunakan dalam desain bangunan relatif kecil dengan nilai reduksi beban gempa R yang relatif besar (maksimum 8,5). Seiring waktu, intensitas gempa dapat dikatakan semakin besar, bahkan hasil dari rencana peta hazard gempa Indonesia 2010 menunjukkan sebagian besar wilayah di Indonesia mengalami kenaikan nilai PGA (g). Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap bangunan-bangunan yang didesain sebelum tahun 2000-an. Seiring berjalannya operasional suatu bangunan gedung, maka diperlukan evaluasi terhadap existing building tersebut yang menyangkut kelayakan keamanan serta kenyamanan dari segi teknis. Terjadinya alih fungsi bangunan, faktor umur bangunan, perubahan lingkungan bahaya kebakaran, dan perubahan beban beban luar seperti gempa atau penambahan alat atau mesin, akan berakibat berubahnya kinerja bangunan secara langsung (Santosa B, 2012). Menurut Wiryanto Dewobroto (2006), keamanan dan keselamatan bangunan tidak hanya bergantung pada tingkat kekuatan, tetapi juga pada tingkat deformasi dan energi terukur pada kinerja struktur. Trend terbaru perencanaan maupun evaluasi bangunan terhadap gempa saat ini adalah perencanaan berbasis kinerja yang dikenal dengan Performance Based Earthquake Engineering (PBEE). Konsep perencanaan berbasis kinerja merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan. Konsep PBEE dapat digunakan untuk mendesain bangunan baru (Performance Based Seismic Design) maupun mengevaluasi bangunan yang sudah ada (Performance Based Seismic Evaluation). Dalam perkembangannya, analisis statik nonlinier yang lebih dikenal dengan istilah pushover analysis merupakan pilihan yang menarik dalam mengevaluasi bangunan karena menggunakan konsep PBEE sehingga dapat diketahui kinerja seismik strukturnya. Prosedur pushover analysis sesuai konsep PBEE telah ada pada dokumen ATC-40 (capacity spectrum method) serta FEMA 356 dan FEMA 440 (displacement coefficient method). Pada umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama masa layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap kerusakan akibat berbagai hal. Setiap kerusakan diusahakan dapat dideteksi sedini mungkin, sebab suatu kerusakan dapat merembet, memicu, dan memperparah kerusakan lainnya. Beberapa penyebab kerusakan antara lain (Triwiyono, 2005). 24
1. Masalah durability akibat material yang kurang baik 2. Kesalahan perencanaan dan pelaksanaan 3. Lingkungan agresif yang belum diantisipasi saat perencanaan 4. Overloading akibat kenaikan beban karena perubahan fungsi/pemakaian bangunan 5. Kenaikan life-span 6. Penyebab khusus dan beban berlebih: gempa, banjir, kebakaran 7. Life-span yang berbeda-beda antara bahan-bahan struktur dan non struktur. Evaluasi kinerja bangunan dapat dijadikan sebagai landasan perlu dilakukannya perbaikan kinerja bangunan atau justru diperlukan bangunan baru, karena kinerja bangunan lama yang tidak memungkinkan lagi secara teknis digunakan untuk mengantisipasi kinerja akibat fungsi baru atau perubahan beban. Hal ini bisa muncul akibat terjadinya perubahan standar tata cara desain bangunan, seperti bangunan pada saat desain menggunakan Pedoman Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung SKBI 1987, maka perlu dievalusi ketahanan gempanya berdasarkan SNI 03-1726-2012 tentang Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Gedung. Evaluasi bangunan dapat dilakukan dengan dua metode yakni penyelidikan secara visual, configuration check, strength check, dan performance based design. 1.
Penyelidikan secara visual Evaluasi bangunan existing secara visual merupakan tahapan awal yang
harus dilakukan apakah bangunan tersebut layak untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut atau tidak. Penyelidikan secara visual atau bisa disebut dengan Rapid Visual Screening (RVS) ini dapat mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh FEMA 154 dan FEMA 310, penyelidikan dilakukan dengan melakukan cek struktur dan non struktur. 2.
Configuration check Configuration check adalah tahapan lanjutan dari penyelidikan secara visual
pada bangunan. Cek konfigurasi bangunan dilakukan pengamatan pada bentuk bangunan apakah bangunan tersebut berbentuk reguler atau irreguler, terdapatnya 25
kolom pendek, soft story, bangunan bersebelahan, dan set back pada bentuk bangunan tersebut. Misalnya, bangunan perlu di evaluasi apabila memiliki denah yang irreguler (tidak beraturan) karena diduga akan terdapatnya momen puntir.
Gambar 3.1 Plan Irregularity bangunan (Sumber : FEMA 154) Cek konfigurasi dilakukan dengan pengecekan secara cepat (quick check), dilakukan untuk mengetahui potensi kelemahan pada bangunan. Hasil dari quick check kemudian dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam FEMA 310 (1998). Beberapa parameter yang dicek antara lain kekakuan tingkat, tegangan geser balok dan kolom pada struktur beton, dan gaya aksial kolom akibat gaya guling. 3.
Strength check Cek kekuatan bangunan dilakukan dengan melakukan analisis struktur
bangunan baik dengan analisis linier statik elastik maupun analisis linier statik dinamik elastik. Dari hasil analisis tersebut, maka akan dilakukan cek demand capacity ratio dari hasil kapasitas momen, gaya geser, serta gaya aksial dari elemenelemen pada bangunan tersebut. 4. Performance based design Saat ini perencanaan struktur untuk bangunan tahan gempa sudah mulai populer digunakan perencanaan yang berbasis kinerja (Performance Based Seismic Design) dimana kinerja struktur dijadikan sebagai sasaran perencanaan. Pada
26
perencanaan ini disyratkan suatu level kinerja yang diinginkan. Lever kinerja tersebut menurut FEMA 356 (2000), adalah sebagai berikut: a) Operational Performance Level b) Immediate Occupancy Level c) Life Savety Level d) Collpse Prevention Level Dengan membandingkan antara kapasitas struktur dan tuntutan kinerja, analisis kinerja dapat dilakukan. Demand atau tuntutan kinerja merupakan representasi dari pergerakan tanah akibat gempa sehingga parameter yang digunakan adalah perpindahan struktur, sedangkan kapasitas struktur merupakan representasi dari kemampuan struktur untuk memikul seismic demand. Kinerja struktur akan diperoleh jika kapasistas struktur lebih besar dari pada seismic demand. Matrik Desain Tujuan Batas Kinerja seperti yang ditunjukan pada Gambar 3.2 dibawah, yang telah diusulkan untuk bangunan oleh Vision 2000 Committee dan sekarang ini telah digunakan secara luas oleh para komunitas pakar kegempaan (Bertero dan Bertero, 2002).
Gambar 3.2. Matrix hubungan Level desain gempa dengan Level Kinerja Bangunan. (sumber : Bertero, R.D dan Bertero, V.V, 2002) 27
Evaluasi kinerja struktur bangunan dapat dilakukan dengan perhitungan analisis struktur dengan bantuan program analisis struktur seperti SAP2000 dan ETABS. Tahapan evaluasi ini berpedoman pada SNI 03-1726-2012, FEMA 356, dan ATC-40. Evaluasi bangunan atau pemeriksaan bangunan pasca bencana dilakukan dengan beberapa tahapan yang nanti diperlukan untuk kebutuhan data dan akan mengemukakan permasalahan yang ada pada bangunan tersebut, berikut adalah tahapan-tahapan pemeriksaan bangunan: 1) Pemeriksaan dengan melakukan pengamatan visual terhadap bagian-bagian bangunan yang mengalami gejala kerusakan, kemudian akan dicatat jenis kerusakan, tingkat kerusakan, dan pola kerusakannya. 2) Setelah pengamatan visual, maka dilakukan pengelompokkan jenis kerusakan berdasarkan bagian apa saja yang rusak dan bagian apa saja yang tidak rusak, bagian yang mengalami kerusakan akan ditandai agar memudahkan utnuk pemeriksaan selanjutnya. 3) Dari berbagai pengamatan kerusakan sebelumnya, akan ditetapkan metode pemeriksaan yang nantinya akan dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi daerah yang mengalami kerusakan. Sangat memungkinkan dilakukannya re-design bangunan jika diperlukan. Setiap pemeriksaan bangunan gedung diperlukan untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan eksisting. Pada pemeriksaan sampai pada tahap pemeriksaan detil, tingkat keandalan ditentukan berdasarkan hasil evaluasi struktur. Penentuan tingkat keandalan diperoleh melalui tahap evaluasi struktur setelah mengetahui kualitas bahan bangunan eksisting. Kualitas bahan bangunan eksisting dilakukan melalui serangkaian pengujian baik destruktif maupun non destruktif. Dari hasil pengujian dapat diketahui kualitas bahan beton baik mengenai kuat tekan beton, kualitas homogenitas beton, dan kualitas baja tulangan. Data kualitas bahan beton bertulang eksisting kemudian diguanakan sebagai input dalam analisis struktur bangunan. Hasil akhir dari analisis struktur diperlukan untuk mengetahui apakah setiap komponen struktural eksisting masih mampu memikul beban rencana.
28
3.1.2 Mitigasi Bencana Gempa Pada Bangunan Gedung Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).
Bencana sendiri adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat berupa kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir, longsor, badai tropis, dan lainnya. Kegiatan mitigasi bencana di antaranya: a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana; b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; c. pengembangan budaya sadar bencana; d. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana; e. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; Salah satu dari kegiatan mitigasi bencana adalah perencanaan dan identifikasi. Perencanaan dalam mitigasi bencana gempa pada bangunan gedung dimaksudkan bahwa gedung yang direncanakan harus memenuhi kriteria desain sesuai dengan peraturan yang berlaku baik itu dari segi Force Based Design maupun Performance Based Seismic Design sehingga bangunan tersebut sesuai dengan fungsi kegunaannya. Setelah bangunan tersebut teridentifikasi level kinerjanya maka pemantauan resiko bencana dapat dilakukan. Pada umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama masa layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap kerusakan akibat berbagai hal. Setiap kerusakan diusahakan dapat dideteksi sedini mungkin, sebab satu kerusakan dapat merembet, memicu, dan memperparah kerusakan lainnya. Beberapa penyebab kerusakan antara lain (Triwiyono, 2005). Identifikasi untuk level kinerja bangunan dimaksudkan agar bangunan tersebut dapat disesuaikan dengan kegunaannya. Sehingga apabila terjadi bencana gempa bumi dapat diinformasikan apakah bangunan tersebut dapat langsung dipakai tanpa 29
mengalami kerusakan struktur dan non struktur (level fully operational), mengalami kerusakan struktur dan non struktur ringan namun masih bisa langsung dihuni kembali (level immediate occupancy), atau mengalami kerusakan parah sehingga bangunan tidak layak untuk dihuni kembali pasca gempa bumi (level Near Collapse atau Collapse Prevention).
3.2 FILOSOFI BANGUNAN TAHAN GEMPA Struktur / bangunan tahan gempa adalah struktur yang tahan (tidak rusak dan tidak runtuh) apabila terlanda gempa. Bukan struktur yang semata-mata sudah diperhitungkan (dalam perencanaan) dengan beban gempa (beban horizontal) (Kardiyono, 2008). Adapun prinsip-prinsip disain filosogi bangunan tahan gempa adalah (ATC 1978, Key, Murty 2002, Widodo 2007): 1. Pada gempa kecil (light, atau minor earthquake) yang sering terjadi, maka struktur utama bangunan harus tidak rusak dan berfungsi dengan baik. Kerusakan kecil yang masih dapat ditoleransi pada elemen non struktur masih diperbolehkan 2. Pada gempa menengah (moderate earthquake) yang relative jarang terjadi, maka struktur utama bangunan boleh rusak/retak ringan tetapi masih dapat diperbaiki. Elemen non struktur dapat saja rusak tetapi masih dapat diganti dengan yang baru 3. Pada gempa kuat (strong earthquake) yang jarang terjadi, maka bangunan boleh rusak tetapi tidak boleh runtuh total (totally collapse). Kondisi seperti ini juga diharapkan pada gempa besar (great earthquake), yang tujuannya adalah melindungi manusia/penghuni bangunan secara maksimum.
30
3.3 THEORY CAPACITY DESIGN Pada saat terjadi gempa, suatu struktur mengalami getaran gempa dari lapisan tanah di bawah dasar bangunannya secara acak dalam berbagai arah. Apabila struktur tersebut sangat kaku atau dengan kata lain mempunyai waktu getar alami T, yang mendekati nol detik, maka besarnya gaya inersia F yang timbul akibat gempa dan yang bekerja pada titik massa adalah F = m x ag ………………………………………………………………………. (3.1) dimana : -
m : massa bangunan
-
ag : percepatan getaran gempa
Dalam hal ini struktur memberikan respon percepatan yang sama besar dengan percepatan getaran gempa pada tanah di dasar bangunan. Namun umumnya struktur-struktur bangunan mempunyai nilai kekakuan lateral yang beraneka ragam dan dengan demikian memiliki waktu getar alami, T yang berbeda-beda pula. Oleh karenanya respon percepatan maksimum struktur tidak selalu sama besar dengan percepatan getaran gempa. Gambar 3.3 memperlihatkan respon percepatan maksimum berbagai struktur berderajat kebebasan tunggal yang terletak di atas suatu lapisan tanah dan mengalami getaran gempa tertentu. Kurva- kurva diatas lazim disebut sebagai spektrum respon percepatan yang merupakan hasil idealisasi atau smothing dari respon sesungguhnya yang biasa berbentuk tidak teratur. Tampak dalam Gambar 3.3 suatu struktur dapat mengalami gaya inersia gempa yang beberapa kali lebih besar dari berat bangunannya (sebesar 1.0 mg dengan m : massa bangunan dan g : percepatan gravitasi). Mengingat kemungkinan besarnya gaya inersia gempa yang bekerja pada titik pusat massa bangunan, maka telah diterima sebagai suatu kenyataan, bahwa tidaklah ekonomis untuk merencanakan struktur-struktur umum sedemikian kuatnya, sehingga tetap berperilaku elastis saat dilanda gempa kuat.
31
Gambar 3.3. Spektrum Respon Percepatan Elastis Struktur dengan Berbagai Waktu Getar Alami dan Tingkat Damping
Berbagai peraturan perencanaan bangunan terhadap gempa, termasuk pedoman perencanaan yang berlaku di Indonesia menetapkan suatu taraf beban gempa rencana yang menjamin suatu struktur agar tidak rusak oleh gempa-gempa kecil atau sedang, tetapi saat dilanda gempa kuat yang jarang terjadi, struktur tersebut mampu berperilaku daktail dengan memencarkan energi gempa dan sekaligus membatasai beban gempa yang masuk ke dalam struktur. Seperti diilustrasikan pada Gambar 3.4 saat terjadi gempa kuat struktur yang direncanakan berperilaku elastis harus dapat memikul beban gempa sebesar OA. Bila struktur ternyata mampu berperilaku daktail dengan membentuk sendi plastis, maka taraf pembebanan gempa cukup ditentukan sebesar OB yang beberapa kali lebih kecil dari OA. Berbagai peraturan perencanaan bangunan terhadap gempa, termasuk pedoman perencanaan yang berlaku di Indonesia menetapkan suatu taraf beban gempa rencana yang menjamin suatu struktur agar tidak rusak oleh gempa-gempa kecil atau sedang, tetapi saat dilanda gempa kuat yang jarang terjadi, struktur 32
tersebut mampu berperilaku daktail dengan memencarkan energi gempa dan sekaligus membatasai beban gempa yang masuk ke dalam struktur. Seperti diilustrasikan pada Gambar 3.4 saat terjadi gempa kuat struktur yang direncanakan berperilaku elastis harus dapat memikul beban gempa sebesar OA. Bila struktur ternyata mampu berperilaku daktail dengan membentuk sendi plastis, maka taraf pembebanan gempa cukup ditentukan sebesar OB yang beberapa kali lebih kecil dari OA.
(a).Respon dengan Defleksi Maksimum Sama
(b).Respon dengan Energi Potensial Sama
Gambar 3.4. Respon Struktur Berperilaku Elastis dan Elastoplastis saat Terjadi Gempa Kuat (a). Serangkaian hasil analisis dinamis menunjukkan bahwa struktur daktail dengan waktu getar alami T yang relatif panjang cenderung untuk memiliki respon elastoplastis dengan defleksi maksimum yang sama besar
dengan defleksi
maksimum respon elastisnya. Besarnya faktor pembatasan beban gempa R sama dengan besarnya daktilitas struktur μ, yang merupakan rasio antara defleksi maksimum maks dan defleksi saat leleh pertama y, sedangkan struktur dengan waktu getar alami, T yang relatif pendek cenderung berperilaku elastoplastis dengan energi potensial yang sama besar dengan energi potensial respon
33
elastisnya. Besarnya faktor beban R, dalam hal ini sama dengan
√(2𝜇 − 1).
Dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa, terbentuknya sendi-sendi plastis, yag mampu memencarkan energi gempa dan membatasi besarnya beban gempa yang masuk ke dalam struktur harus dikendalikan sedemikian rupa agar struktur berperilaku memuaskan dan tidak sampai runtuh saat terjadi gempa kuat. Pengendalian terbentuknya sendi-sendi plastis pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan lebih dahulu dapat dilakukan secara pasti terlepas dari kekuatan dan karakteristik gempa. Filosofi perencanaan seperti ini disebut dengan Konsep Desain Kapasitas. Untuk menghadapi gempa kuat yang mungkin terjadi dalam periode tertentu, misalnya 500 tahun, maka mekanisme keruntuhan suatu portal rangka terbuka beton bertulang dipilih sedemikian rupa sehingga memencarkan energi gempa terjadi secara memuaskan dan keruntuhan yang bersifat katastropik dapat dihindarkan. Gambar 3.5 memperlihatkan dua mekanisme yang khas dapat terjadi pada portal-portal rangka terbuka.
(a). Sendi Plastis pada Balok Tidak Menyebabkan Keruntuhan (Mekanisme Keruntuhan yang Diinginkan)
34
(b). Sendi Plastis pada Kolom Tidak Menyebabkan Keruntuhan Lokal pada Satu Tingkat (Mekanisme Keruntuhan yang Tidak Diinginkan) Gambar 3.5. Mekanisme Khas yang Dapat Terjadi pada Portal Rangka Terbuka
Mekanisme goyang dengan pembentukan sebagian besar sendi plastis pada balok-balok lebih dikehendaki daripada mekanisme dengan pembentukan sendi plastis yang terpusat hanya pada ujung-ujung kolom suatu lantai (soft story mechanism), karena beberapa alasan sebagai berikut : 1.
Pada mekanisme pertama (Gambar 3.5.a) pemencaran energi gempa terjadi di dalam banyak unsur, sedangkan pada mekanisme kedua (Gambar 3.5.b) pemencaran energi terpusat pada sejumlah kecil kolomkolom struktur
2. Pada mekanisme pertama, bahaya ketidakstabilan akibat efek P- jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang mungkin terjadi pada mekanisme kedua (soft story mechanism) 3.
Daktilitas kurvatur dituntut pada balok untuk menghasilkan daktilitas struktur terentu, misalnya μ = 5.2 untuk struktur dengan daktilitas penuh, dimana terjadi redistribusi gaya-gaya secara luas.
Guna menjamin terjadinya mekanisme goyang dengan pembentukan sebagaian besar sendi plastis pada balok, Konsep Desain Kapasitas diterapkan untuk merencanakan agar kolom-kolom lebih kuat dari balok-balok portal (strong 35
column-weak beam). Keruntuhan geser pada balok yang bersifat getas juga diusahakan agar tidak terjadi lebih dahulu dari kegagalan akibat beban lentur pada sendi-sendi plastis balok setelah mengalami rotasi-rotasi plastis yang cukup besar. Pada prinsipnya, dengan konsep desain kapasitas, elemen-elemen utama penahan beban gempa dapat dipilih, direncanakan dan didetail sedemikian rupa, sehingga mampu memencarkan energi gempa dengan deformasi inelastis yang cukup besar tanpa runtuh, sedangkan elemen-elemen lainnya diberi kekuatan yang cukup, sehingga mekanisme yang telah dipilih dapat dipertahankan pada saat terjadi gempa kuat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar mekanisme ni dapat dijamin tercapai adalah : 1.
Faktor peningkatan kuat lentur balok sebagai elemen utama pemencar energi gempa. Mengetahui secara tepat kuat lentur daerah sendi plastis balok, yang sengaja direncanakan sebagai bagian yang lemah, merupakan hal yang sangat penting untuk memastikan kolom-kolom lebih kuat dan kegagalan getas akibat beban geser tidak terjadi lebih awal dari terbentuknya sendi-sendi plastis dengan deformasi lentur yang cukup besar.
Namun kenyataannya sangatlah sulit untuk memperkirakan secara cukup akurat, kuat lentur balok saat mengalami deformasi inelastis akibat gempa kuat. Umumnya kuat lentur akibat balok dapat dipastikan lebih besar dari kuat nominalnya. Faktorfaktor penyebab meningkatnya kuat lentur balok secara garis besar dapat ditunjukkan sebagai berikut : a. Kuat leleh aktual tulangan baja (fy) umumnya lebih besar dari nilai nominalnya yang ditentukan dalam standar tata cara perencanaan. b. Pengaruh “strain hardening” pada tulangan baja tidak diperhiungkan dalam perencanaan seperti diilustrasikan pada Gambar 3.6. c. Kemungkinan bertambah besarnya tegangan tekan dan regangan tekan maksimum beton akibat adanya pengekangan yang baik seperti terlihat pada gambar 3.7.
36
Gambar 3.6. Hubungan Tegangan Regangan Tulangan Baja
Gambar 3.7. Hubungan Tegangan Regangan Tekan Beton Dengan dan Tanpa Pengaruh Pengekangan.
Guna memperhitungkan adanya kemungkinan peningkatan kuat lentur penampang balok di daerah sendi plastis, SNI 03-2847-2002 menentukan faktor penambahan kekuatan (over strength factor) φo sebesar 1.25 untuk fy < 400 Mpa dan φo sebesar 1.4 untuk fy > 400 Mpa. Selanjutnya kapasitas lentur penampang balok dapat diperkirakan sebesar M kap, b = φo Mnak, b Dimana : Mnak,b : kuat lentur nominal balok yang dihitung berdasarkan luas tulangan yang sebenarnya ada pada penampang yang ditinjau. 37
2.
Faktor pengaruh beban dinamis pada kolom Pada mekanisme daktail yang dikehendaki untuk portal rangka terbuka,
sebagian besar sendi plastis terjadi pada ujung-ujung akhir bentang balok. Bila daerah sendi plastis ini sudah direncanakan penulangannya, maka momen kapasitas balok dapat diperhitungkan sebagai momen rencana yang bekerja pada kolom. Masalahnya, penentuan besarnya bagian momen rencana yang harus diterima oleh kolom sebelah atas dan kolom sebelah bawah balok tidak mudah dilakukan. Pola pembagian momen dari hasil analisis elastis akibat beban statik ekuivalen hanya benar bila yang dominan ialah ragam pertama vibrasi struktur. Namun, akibat terjadinya plastifikasi pada sebagian besar pada sebagian besar elemen-elemen struktur, maka ragam-ragam vibrasi yang lebih tinggi menjadi cukup dominan, sehingga pola distribusi momen yang diperoleh dari hasil analisis elastis akan mengalami perubahan yang cukup besar. Adapun nilai kuat lentur kolom harus memenuhi persamaan sebagai berikut : 6
Ʃ M e 5 Ʃ M g Dimana : Ʃ M e : Jumlah momen pada pusat hubungan balok kolom, sehubungan dengan kuat lentur nominal kolom yang merangka pada hubungan balok kolom tersebut. Ʃ M g : Jumlah momen pada pusat hubungan balok kolom, sehubungan dengan kuat lentur nominal balok-balok yang merangka pada hubungan balok kolom tersebut.
Perlu pula diketahui, bahwa meskipun penampang kolom mungkin menjadi lebih besar kebutuhan tulangan memanjang bertambah sebagai konsekuensi penerapan persamaan diatas., namun dengan adanya jaminan tidak akan terbentuknya sendi plastis pada ujung0ujung kolom di atas lantai dasar, beberapa keuntungan dapat diperoleh antara lain : a. Kolom yang lebih sulit diperbaiki daripada balok, kini dilindungi dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi terhadap bahaya kerusakan.
38
b. Penyambungan tulangan longitudinal kolom sebenarnya dapat dilakukan segera di atas lantai berikutnya, tidak perlu lagi di rencanakan di tengah- tengah kolom. c. Karena respon inelastik bolak-balik tidak terjadi pada daerah ujung kolom, maka kontribusi beton terhadap kuat geser penampang dapat diperhitungkan, sehingga kebutuhan tulangan geser (sengkang atau spiral) menjadi lebih sedikit d. Tuntutan daktilitas pada daerah ujung kolom di atas lantai dasar menjadi sangat kecil, bahkan dapat diabaikan, sehingga tidak lagi diperlukan sengkang atau spiral untuk pengekangan daerah sendi plastis kolom dan ini berarti tingkat kerapatan tulangan di daerah pertemuan balok kolom dapat berkurang secara drastis. e. Pencegahan terhadap lelehnya tulangan longitudinal kolom menyebabkan pertemuan balok kolom berperilaku lebih baik. f. Sedikit
lebih
besarnya
penampang
kolom
justru
memperbaiki
pengangkuran tulangan lentur balok yang seringkali sulit terpenuhi di daerah pertemuan balok kolom.
3.
Redistribusi Momen Dari hasil superposisi momen akibat beban gravitasi dan momen akibat
beban lateral akan diperoleh momen tumpuan (negatif) yang bertambah besar dan momen lapangan (positif) yang relatif jauh lebih kecil. Di samping itu, dapat pula terjadi perbedaan momen pada muka tumpuan balok di samping kanan dan kiri kolom interior. Tidak berimbangnya momen lentur di daerah tumpuan dan lapangan seringkali dapat menyebabkan tinggi balok tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memperoleh kuat lentur yang diperlukan. Momen tumpuan yang terlalu besar dan adanya perbedaan momen tumpuan balok di samping kiri dan kanan kolom interior dapat mengakibatkan diperlukannya tulangan lentur pada balok secara berlebihan dari yang benar-benar dibutuhkan. Hal ini mengingat bahwa balok sebenarnya mampu meredistribusi momen melalui aksi inelastis. Tulangan lentur balok yang berlebihan membawa konsekuensi pada pembesaran momen rencana kolom dan pondasi. Guna mengatasi masalah-masalah tersebut dapat digunakan teknik redistribusi momen dalam proses perencnaan dengan tujuan :
39
a. Mengurangi besarnya momen maksimum tumpuan dan mengalihkan ke lapangan, sehingga didapatkan distribusi kekuatan lentur yang lebih rata. b. Menyamakan momen akibat beban gempa bolak-balik yang bekerja pada balok menerus di kiri dan kolom interior. c. Memanfaatkan secara penuh tulangan lentur positif di daerah tumpuan yang jumlahnya disyaratkan minimum 50% dari jumlah tulangan lentur negatif, sehingga perencanaan menjadi lebih ekonomis. d. Mengurangi besarnya momen yang “masuk” dalam kolom Tujuan melakukan redistribusi momen adalah : 1. Prinsip keseimbangan statis terpenuhi. 2. Kemampuan portal dalam menahan beban lateral tidak berubah. 3. Tidak terjadi sendi plastis pada ujung-ujung kolom di atas lantai dasar. Di samping itu perlu pula diperhatikan pembatasan besar momen yang boleh diredistribusi sebab redistribusi momen yang terlalu jauh berbeda dari hasil analisis elastik struktur dapat mengakibatkan retak yang berlebihan pada struktur saat struktur dilanda gempa kecil dan SNI 03-2847-2002 menyatakan nilai maksimum redistribusi momen adalah :
(1 −
−′ ) 𝑏
20% …………………………………………………………………. (3.2)
dimana : - ’ < 0.5 b
: rasio tulangan tarik ′ : rasio tulangan tekan b : rasio tulangan tarik dalam kondisi seimbang (balance) b =
0.85 1 𝑓𝑐′ 𝑓𝑦
(
600 600+𝑓𝑦
)
4. Kualitas Pendetailan Konsep desain Kapasitas hanya akan berhasil menjamin struktur untuk berperilaku memaskan saat terjadi gempa kuat apabila disertai dengan pendetailan 40
yang baik pada elemen-elemen struktur dan join-joinnya. Daerah- daerah sendi plastis perlu didetail secara khusus agar mampu derdeformasi secara inelastis cukup besar sesuai dengan daktilitas yang dituntut. Namun daerah-daerah di luar sendi plastis harus diusahakan agar sedapat-dapatnya tetap elastis, tergantung dari intensitas gempa yang terjadi. Pada daerah- daerah di luar sendi plastis ini tidak perlu dilakukan pendetailan khusus. Sumber utama pemencaran energi suatu portal beton bertulang rangka terbuka adalah sendi-sendi plastis pada balok-balok di seluruh lantai dan pada penampang kolom terbawah yang berhubungan dengan pondasi. Ragam keruntuhan portal dapat dilihat pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8. Mekanisme Plastis yang Diharapkan Terjadi Dari Suatu Portal Rangka Terbuka Bertingkat Tinggi dan Daerah-daerah Elastis yang Memerlukan Perhatian Khusus Sedangkan respon dari penampang-penampang lainnya seperti penampang tengah bentang, kolom-kolom di atas kolom-kolom dasar dan join balok kolom harus masih dalam keadaan elastis. Perencanaan dengan ragam keruntuhan yang telah ditentukan dan tempat-tempat sumber pemencaran energi yang telah dipilih, sedangkan penampang-penampang lainnya direncanakan lebih kuat dari sendisendi plastis yang dapat terjadi, disebut Perencanaan Kapasitas atau Capacity Design.
41
3.4 DESAIN KINERJA STRUKTUR TAHAN GEMPA (PERFORMANCE BASED DESIGN) Setelah struktur beton bertulang tahan gempa didesain sesuai dengan SNI 03-2847-2002 dengan tingkat daktilitas tertentu, maka perlu diperiksa dengan analisis pushover untuk verifikasi desain. Analisis pushover adalah analisis lateral statik
non
linier
dimana
struktur
dibebani
oleh
gaya
lateral
(untuk
mempresentasikan gaya gempa) dengan distribusi sesuai dengan asumsi design, sampai struktur runtuh akibat gaya lateral tersebut. Beban lateral diberikan secara bertahap (incremental) sehingga proses urutan sendi plastis pada struktur dapat terbentuk secara bertahap pula. Urutan terjadinya sendi plastis merupakan verifikasi dalam desain. Pada umumnya sendi plastis pada balok terbentuk terlebih dahulu dan urutan terakhir adalah sendi plastis pada kolom dasar, sehingga daktilitas maksimum struktur tercapai. Bila ternyata perilaku struktur tidak seperti yang diharapkan pada desain maka desain struktur harus diulang sedemikian rupa sehingga terjadi proses iterasi pada desain sampai iterasi konvergen. Hasil akhir dari analisis pushover adalah berupa plot anatara Gaya Geser Dasar (Base Shear) dan deformasi atap struktur (Xroof). Pada peraturan SNI 03-1726-2003 besaran yang harus diverifikasi antara lain : 1. Daktilitas Struktur (μ) 2. Faktor Reduksi Gempa (R) 3. Faktor kuat lebih f1, f2, Ω. Faktor f1, f2, Ω diperlukan untuk mendesain pondasi agar pondasi harus tetap berperilaku elastis selama sendi plastis terbentuk pada kolom dasar. Parameter yang diperiksa sesuai dengan ketentuan SNI 03-1726-2002 adalah parameter pada saat struktur pada kondisi tepat sebelum runtuh. Kondisi ini tidak selalu berhubungan dengan gempa kuat rencana. Pada saat gempa kuat rencana terjadi, struktur dapat mengalami baik kondisi “under predict” atau “over predict”. “Under predict” berarti struktur sudah runtuh pada saat gempa kuat rencana terjadi karena masalah “under design”, sedangkan “over predict” terjadi sebaliknya yaitu struktur “over design”. Untuk mengetahui parameter struktur dengan mekanisme pembentukan sendi plastis pada saat terjadinya gempa kuat rencana, perlu dikembangkan Metoda Kinerja Struktur yang merupakan “state-of-the art”. 42
Desain Kinerja Struktur adalah proses kontrol desain untuk mengetahui kinerja struktur pada saat gempa kuat rencana terjadi dimana struktur tidak boleh, mengalami “under design”. ATC-40 dan NEHRP membagi kinerja struktur dalam beberapa kategori sesuai dengan parameter rasio antara deformasi atap struktur terhadap tinggi total struktur pada titik “performance point”. “Performance point adalah titik potong antara “Demand Spectrum” sebagai representasi dari spektrum gempa kuat dan “Capacity Spectrum” sebagai representasi dari perilaku kekakuan dan kekuatn struktur atau disebut dengan istilah kurva kapsitas (Capacity curve), seperti yang terlihat pada Gambar 3.9.
Gambar 3.9. Performance Point “Capacity curve” dihitung berdasarkan hasil dari analisis pushover yang dimodifikasi dari sistem “Multi Dgree of Freedom System” menjadi “Single Degree of Freedom System”. Baik ATC-40 dan NEHRP membagi kinerja struktur seperti Tabel 3.1 dan Gambar 3.10. Dengan mengetahui kinerja struktur maka proses iterasi menuju desain yang ekonomis dapat dilakukan sampai konvergen
43
Tabel 3.1. Deformation Limit ATC 40 Performance Level Interstory Drift Limit
Immediate Occupancy (elastis)
Damage Control
Life Safety
Max. Total Drift
0.01
0.01-0.02
0.02
Max. Inelastic Drift
0.005
0.005-0.015
No limit
Structural Stability (Collapse Prevention Stage) V 0.33 i Pi No limit
* Vi : Lateral Load (Story Shear) ; Pi : Ultimate Axial Load
Gambar 3.10. Klasifikasi Kinerja Struktur Daktail
Kinerja bangunan didapat dari kombinasi antara level kinerja struktur dan nonstruktur. Sasaran kinerja bangunan terdiri dari kejadian gempa rencana (hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level) dari banfunan terhadap kejadian gempa tersebut. Menurut FEMA 273 (1997) kategori level kinerja struktur dijelaskan dalam Tabel 3.2 sebagai berikut.
44
Tabel 3.2 Kategori Level Kinerja Struktur FEMA 273 (1997) Kategori
Keterangan
S-1
Immadiate Occupancy level
S-2
Damage Cantrol Performance Range (extends between Life Safety and Immadiate Occupancy performance Level
S-3
Life Safety Performance Level
S-4
Limited Safety Performance Range (extends between Life Safety and Collapse Prevention Level)
S-5
Collapse Prevention Level
Sedangkan untuk kategori level kinerja nonstruktur, dibedakan menjadi 4 kondisi dalam Tabel 3.3 sebagai berikut. Tabel 3.3 Kategori Level Kinerja Nonstruktur FEMA 273 (1997) Kategori
Keterangan
N-A
Operational Performance Level
N-B
Immadiate Occupancy Performance Level
N-C
Life Safety Performance Level
N-D
Hazard Rduced Performance Level
Dari kategori level kinerja struktur dan nonstruktur, didapatkan hubungan antara level kinerja struktur yang dinotasikan angka dengan level kinerja nonstruktur yang dinotasikan dengan huruf. Level kinerja tersebut diuraikan sebagai berikut ini (FEMA 273, 1997). 1. Operasional Level (1-A) Pada level ini bangunan tidak ada kerusakan berarti pada struktur dan nonstruktur. Bangunan masih berfungsi meskipun terdapat beberapa kerusakan kecil seperti kerusakan pada instalasi listrik, jaringan air, dan beberapa utilitas lainnya. Kondisi level kinerja bangunan seperti ini ditunjukan pada Gambar 3.11 (a),
45
2. Immediate Occupancy Level (1-B) Terdapat kerusakan pada struktur tetapi kerusakan tersebut tidak terlalu berarti, maksudnya kekuatan dan kekakuan masih hampir sama dengan kondisi sebelum gempa. Kondisi komponen nonstruktur masih berfungsi dan berada atau tersedia ditempatnya. Pada level ini, bangunan masih bisa digunakan tanpa terganggu pada masalah perbaikan kerusakan bangunan tersebut. Risiko dari korban yang terjadi pada level kinerja ini sangat kecil. Kondisi level kinerja bangunin seperti ini ditunjakan pada Gambar 3.11 (b), 3. Life safety Level (3-C) Pada level ini bangunan mengalami kerusakan pada struktur dan kekakuan berkurang dari kondisi struktur sebelum mengalami kerusakan, tetapi masih memiliki kemampuan yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen nonstruktur mengalami kerusakan dan tidak berfungsi lagi. Bangunan dapat digunakan kembali apabila sudah dilakukan perbaikan pada bagian struktur yang mengalami kerusakan, tetapi perbaikan yang dilakukan dapat dianggap tidak praktis secara ekonomi. Kondisi bangunan pada level ini seperti ditunjukan pada Gambar 3.11 (c). 4. Structural Stability/Collapse Preventian (5-E) Kondisi bangunan mengalami kerusakan yang cukup parah baik komponen struktur maupun nonstruktur. Bangunan secara keseluruhan hampir mengalami keruntuhan akibat kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang banyak. akibat rusak atau runtuhnya material sangat memungkinkan terjadinya korban jiwa, dan bangunan mengalami kerugian yang cukup besar secara ekonomi. Kondisi level kinerja bangunan ini ditunjukan seperti Gambar 3.11 (d). Apabila struktur menghalami gempa dengan beban gempa yang lebih kecil dari gempa rencana, maka elemen struktur masih dalam kondisi elastik. Setelah titik leleh pertama beban gempa terus ditingkatkan hingga elemen struktur dalam kondisi plastis. Setelah batas maksimum kekuatan struktur terlewati, jika beban gempa terus bertambah, maka struktur mengalami degradasi hingga tidak mampu lagi menahan beban gempa, tetapi masih mampu menahan beban gravitasi. Apabila beban ditingkatkan maka struktur akan runtuh. Dari penjelasan masing-masing 46
level kinerja bangunan akibat beban gempa dan simpangan struktur dapat diilustrasikan pada Gambar 3.11. (b) Immediate Occupancy (a) Operasional (d) Collapse Prevention
(c) Life Safety
Gambar 3.11 Performance Level (FEMA 451, 1997 dalam PBE Design) Hubungan antara level kinerja struktur dengan simpangan (drift) pada elemen vertikal dari sistem pemikul beban lateral berupa struktur rangka beton bertulang (concrete frames) dapat dilihat pada Tabel 3.4. Nilai simpangan pada tabel tersebut merupakan nilai-nilai tipikal yang diberikan untuk menjelaskan respon struktur keseluruhan yang sesuai dengan berbagai level kinerja struktur. Tabel 3.4 Batasan simpangan untuk level kinerja struktur (FEMA 356,2000) Level Kinerja Struktur
Drift (%)
Keterangan
Immidiate Occupancy
1,0
Transient
2,0
Transient
1,0
Permanent
4,0
Transient atau permanent
Live Safety Collapse Prevention
47
Gambar 3.12 Simpangan pada atap dan rasio simpangan pada atap (ATC40,1996) Sementara itu, ATC-40 (1996) memberikan batasan deformasi untuk berbagai level kinerja struktur gedung seperti ditunjukkan pada Tabel 3.5. Simpangan total maksimum didefenisikan sebagai simpangan antar tingkat pada perpindahan titik kinerja. Simpangan inelastis maksimum didefenisikan sebagai bagian dari simpangan total maksimum dibawah titik leleh. Tabel 3.5 Batasan drift untuk berbagai level kinerja struktur (ATC-40, 1996) Level kinerja struktur
Batasan simpangan antar tingkat Simpangan total Maksimum Simpangan inelastis maksimum
Immediate
Damage
Occupancy
Control
0,01
0,01-0,02
0,005
0,005-0,015
Live Savety
Structural stability
0,02
0,33Vi/Pi
Tidak
Tidak
dibatasi
dibatasi
Level kinerja struktur secara kualitatif dapat dijelaskan pada Gambar 3.11. Dalam gambar terlihat bahwa level kinerja struktur diwakili oleh suatu kurva hubungan antara gaya geser dasar dengan perpindahan pada titik kontrol (titik berat distribusi gaya lateral). Selain itu, ditunjukkan juga bagaimana prilaku keruntuhan struktur secara menyeluruh terhadap pembebanan lateral. Kurva tersebut diperoleh dari hasil analisa statik non linier atau analisis pushover. Konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based design) merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan. Konsep tersebut dapat 48
digunakan untuk perencanaan bangunan baru maupun rehabilitasi bangunan yang sudah berdiri dengan mempertimbangkan resiko keselamatan (life), kesiapan pakai (occupancy) dan kerugian harta benda (economic loss) yang mungkin terjadi akibat gempa yang akan terjadi. Aspek tahanan berkaitan dengan tingkatan ancaman bencana (hazard level) pada suatu bangunan, yakni earthquake design level. Sedangkan aspek layan berkaitan dengan performance level dalam perencanaan berbasis kinerja dapat diilustrasikan pada gambar matriks desain tujuan batas kinerja, yang telah diusulkan untuk bangunan menurut FEMA 356 (2000) pada Gambar 3.13.
Gambar 3.13 Matriks rehabilitation objectives, hubungan tingkat resiko gempa dengan level kinerja bangunan (FEMA 356, 2000) Penjelasan sasaran rehabilitasi pada Gambar 3.13 adalah sebagai berikut : k+p
= basic safety objective
k + p + a, c, l, b, f, j atau n
= enhanced objective
o atau m atau n
= enhanced objective
k atau p
= limited objective
c, g, d, h, l
= limited objective
49
Setiap kolom pada matrik pada Gambar 3.13 menggambarkan sasaran rehabilitasi. Dari matrik pada Gambar 3.13, dapat dilihat bahwa arti pentingnya dari target kinerja suatu bangunan sesuai dengan filosofi bangunan tahan gempa yakni menjaga struktur maupun non struktur tetap utuh pada gempa yang sering terjadi (gempa kecil), bagian struktur dan nin struktur boleh rusak ringan tetapi bias diperbaiki pada gempa yang relative kadang terjadi (gempa sedang), dalam tingkat kinerja life safety dapat dijamin keamanannya tetapi biaya untuk perbaikan mungkin lebih besar pada gempa sedang dan bangunan tidak boleh runtuh total (totally collapse) pada gempa yang jarang terjadi ( gempa kuat).
3.4.1
Hazard Level Tingkat resiko berbahaya (hazard level) merupakan ancaman dari luar yang
dapat memberikan dampak terhadap struktur bangunan.Secara umum, bahaya digambarkan sebagai parameter ukuran kemungkinan terhadap sesuatu hal yang melampaui ambang batas pada suatu periode waktu tertentu. (Widodo,2008). Ancaman yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah getaran gempa bumi. Jadi seismic risk/hazarad level didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya gempa dengan intensitas dan periode ulang tetentu selama suatu masa layan bangunan (N tahun), hubungan antara resiko gempa, masa layan bangunan dan periode ulang kejadian gempa dapat dirumuskan pada persamaan 3.3 sebagai berikut : 1 N
Po = 1 – {1 − T } R
...................................................................(3.3)
Keterangan ; Po
= resiko gempa
TR
= periode ulang gempa
N
= masa layan bangunan Contoh perhitungan resiko gempa untuk periode ulang gempa dan masa
layan bangunan tertentu menurut Persamaan 3.3, dapat dilihat pada Tabel 3.6.
50
Tabel 3.6 Probability of exceedence N
TR (Retrun periode of earthquake)
Life time
(Year)
(Year)
5
10
20
50
100
200
500
10
89
65
40
18
10
5
2
1
0.4
30
100
96
79
45
26
14
6
3
1
50
100
99
92
64
39
22
10
5
2
100
100
100
99
87
63
39
18
10
4
1000 2500
Dari Tabel 3.6 terlihat bahwa dengan peridode ulang gempa yang sama dan penggunaan masa layan bangunan semakin lama maka probabilitas resiko kerusakan yang terjadi semakin besar dan begitu juga sebaliknya. Pebedaan fungsi bangunan berpengaruh pada penentuan sasaran rehabilitasi suatu bangunan sehingga akan berpengaruh terhadap periode ulang gempa rencana yang digunakan. Pada saat ini peraturan internasional untunk bangunan tahan gempa menggunakan peta hazard kegempaan dengan resiko terlampaui (Probability of exceedence) sebesar 10% dan 2% selama masa layan bangunan 50 tahun atau periode ulang gempa 475 tahun dan 2475 tahun. Peta hazard kegempaan merupakan peta kontur/zonasi percepatan tanah maksimum pada suatu wilayah. Peta hazard kegempaan pada SNI 1726-03-2002 menggunakan periode ulang gempa 500 tahun.
3.5. JENIS RESPON STRUKTUR Pada analisis struktur terdapat beberapa jenis respon struktur yang harus pahami. Pada pembebanan dinamik, jenis respon struktur tergantung dari banyak aspek, yaitu (1) level pembebanan dan (2) jenis material. Level pembebanan terdiri dari elastic dan in elastic (plastis).Sedangkan jenis material yaitu linier dan non linier. (Widodo, 2007).
51
Beberapa jenis respon struktur antara lain seperti terlihat pada Gambar 3.14 sebagai berikut.
Gambar 3.14 Jenis respon struktur (Widodo, 2007)
3.6.
PROSEDUR EVALUASI KEKUATAN STRUKTUR BANGUNAN EXISTING MENGACU PADA FEMA 310 Menurut FEMA 310 (1998), prosedur evaluasi kekuatan strutur bangunan
existing meliputi 3 tahapan yaitu screening phase (Tier 1), evaluation phase (Tier 2), dan detailed phase (Tier 3). Berikut adalah penjelasan dari tahapan evaluasi kekuatan struktur bangunan menurut FEMA 310 (1998).
3.6.1 Tier (Tahap) 1: Screening Phase Pada tahap screening dilakukan secara cepat (Rapid visual screening-RVS) untuk mendapatkan potensi kelemahan bangunan. Prosedur RVS ini telah diformulasikan untuk menidentifikasi, menginventaris, dan merangking gedunggedung yang berpotensi terhadap resiko gempa. Prosedur RVS dapat dijalankan relatif cepat dan tidak mahal untuk membuat daftar gendung-gedung yang berpotensial beresiko tanpa biaya yang mahal dari detail analisis kegempaan masing-masing gedung. Prosedur RVS ini didisain untuk digunakan tanpa perhitungan analisis kinerja struktur. Prosedur RVS tersebut menggunakan sebuah system penilaian yang dibutuhkan pengguna untuk (1) mengidentifikasi system tahanan beban lateral pada struktur primer dan (2) mengidentifikasi komponen sekunder pada gedung yang dapat merubah perkiraan kinerja akibat gempa pada sistem tahanan beban lateral. 52
Screening phase ini dapat mengacu pada pedoman FEMA 154 (2002) yakni evaluasi struktur dengan rapid visual screening (RVS) serta dapat dilakukan screening lebih detail dengan melakukan eheklis evaluasi tier 1 sesuai FEMA 310 (1998). Formulir harus diisi dengan lengkap untuk mengetahui kelemahan (deficiencies) dan untuk melakukan evaluasi lanjutan yang perlu dilakukan. Proses pada tahap satu dapat dilihat pada Gambar 3.15 dan Gambar 3.16.
3.6.2 Tier (Tahap) 2: Evaluation Phase Pada tahapan dua, terdiri dari dua analisis yakni (1) analisis secara lengkap pada bangunan terhadap deficiencies yang diidentifikasi pada tahap (tier) 1 atau 2 analisis pada deficiencies saja. Pada tahap 2 juga dilakukan analisis dan evaluasi kemampuan sistem gaya lateral yang terjadi pada bangunan. Analisis struktur pada tahapan ini adalah analisis linear elastik baik statik maupun dinamik. Pada tahapan ini struktur dianggap masih pada kondisi elastik. Analisis kinerja komponen dilakukan sesuai prosedur FEMA 356 (2000).
3.6.3 Tier (Tahap) 3: Detailed Evaluation Phase Jika diidentifikasi terdapat deficiencies (kelemahan) pada tahap 2, maka dilakukan evaluasi pada tahapan 3. Evaluasi detail terdiri dari analisis dengan metode non linier untuk analisis statik dan dinamik pada struktur bangunan tersebut. Kinerja dapat dievaluasi dengan membangingkan gaya yang akan terjadi dengan kapasitas yang dimiliki oleh struktur tersebut. Pada analisis non linear ini menempatkan struktur pada kondisi pasca elastik (inelastic). Analisis yang akan digunakan adalah analisis nonlinear inelastic.
53
Gambar 3.15 Tahapan proses evaluasi (FEMA 310, 1998)
54
Gambar 3.16 Tahap proses evaluation (FEMA 310, 1998)
55
3.7.
RAPID VISUAL SCREENING (RVS)
3.7.1
RVS dengan pada FEMA 154 (2002) Rapid Visual Screening (RVS) menurut FEMA 154 (2002) dapat diterapkan
relatif cepat dan murah untuk mengetahui potensi kelemahan dari suatu bangunan apabila terkena gempa bumi. Dari nilai akhir (final score) yang diperoleh dari pengisiam formulir RVS dapat diketahui apakah bangunan tersebut perlu evaluasi lebih lanjut atau tidak. Terdapat tiga jenis formulir dalam FEMA 154 (2002) yang didasarkan pada daerah kegempaan (region of seismicity). Pengklasifikasian tersebut dibedakan menjadi daerah kegempaan rendah (Low Seismicity), daerah kegempaan sedang (Moderate Seismicity) dan daerah kegempaan tinggi (High Seismicity). Salah satu contoh formulir RVS untuk daerah kegempaan sedang dapat dilihat pada Gambar 3.15.
A. Pelaksanaan RVS menurut FEMA 154 (2002) RVS dilakukan dengan mengevaluasi bagian struktur, non struktur dan pondasi dengan mengisi formulir yang dipilih sesuai daerah seismisitas gedung yang dievaluasi. Pengumpulan data bangunan, untuk menentukan peraturan yang digunakan pada saat pembuatan bangunan (misal :benchmark building criteria). Pada formulir pengumpulan data tersebut, meliputi tempat untuk dokumentasi informasi identifikasi gedung, termasuk penggunaan dan ukuranya, gambar gedung tersebut, sketsa, dan dokumentasi dari data yang berhubungan yang dihubungkan terhadap performa kegempaan, termasuk penmgembangan dari nilai kerusakan gempa secara numerik.Nilai trsebut berdsarkan rata-rata perkiraan tingkat goncangan tanah untuk daerah gempa dan juga disain kegempaan dan kebiassaankebiasaan konstruksi didaerah itu. Pelakasanaan RVS menggunakan formulir pada FEMA 154 (2002) adalah sebagai berikut: 1.
Mengumpulkan informasi identitas gedung,
2.
Mengidentifikasi ukuran, bentuk, menggambar sketsa dan menetukan elevasi bangunan pada formulir pengumpulan data,
3.
Menentukan kepemilikan bangunan, 56
4.
Menentukan jenis tanah,
5.
Menentukan tipe bangunan,
6.
Menidentifikasi potensi resiko pada bagian non structural,
7.
Identifikasi sistem yang dapat menahan gaya lateral akibat gempa pada bangunan,
8.
Identifikasi dan memperkirakan gaya gempa yang sesuai,
9.
Menentukan nilai yang akhir, dan
10. Pemotongan bangunan dan memasang dalam formulir. Pada prosedur Rapid visual screning (RVS) menurut FEMA 154 (2002) terdapat 15 tipe bangunan yang didefinisikan untuk menentukan nilai skor yang akan digunakan dalam mengevaluasi suatu bangunan. Tipe-tipe bangunan tersebut diberi kode secara alpha-numerik, yaitu : a. Light wood-frame residential and commercial buildings (W1) b. Light wood-frame building (W2) c. Steel moment-resisting frame buildings (S1) d. Braced steel frame buildings (S2) e. Light metal building (S3) f. Steel frame buildings with cast-in-place concrete shear walls (S4) g. Steel frame buildings with unreinforced mansonry infill walls (S5) h. Concrete moment-resisting frame buildings (C1) i. Concrete shear-wall building (C2) j. Concrete frame buildings with unreinforced mansonry infill walls (C3) k. Tilt-up building (PC1) l. Precast concrete frame buildings (PC2) m. Reinforced mansonry buildings with flexible floor and roof diaphragms (RM1) n. Reinforced mansonry buildings with rigid floor and roof diaphragms (RM2) o. Unreinforced mansonry bearing-wall buildings (URM) Ketentuan pengisian formulir RVS ini telah diatur dalam FEMA 154 (2002), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.17 dan Gambar 3.18 sebagai berikut.
57
Gambar 3.17 Ketentuan Pengisian Form RVS (FEMA 154, 2002)
58
Gambar 3.18 Contoh Formulir Pengumpulan data RVS (kondisi gempa sedang), FEMA 154 (2002)
59
B.
Hasil akhir (Final score, S) dari RVS menurut Fema 154 (2002) Hasil akhir (Final score, S) dari pengisian formulir FEMA 154 (2002)
ditentukan dari penjumlahan nilai pada masing – masing kolom yang telah ditentukan sesuai tipe bangunan yang dievaluasi. Batas skor (cutting off score) menurut FEMA 154 (2002) untuk menentukan evaluasi lebih rinci adalah 2. Apabila hasil evaluasi menghasilkan nilai final score (S) lebih dari 2 yaitu di atas cut-off score yang ditetapkan, maka bangunan tersebut dianggap memiliki kemampuan yang memadai dalam menahan beban gempa. Sebaliknya apabila bangunan memiliki nilai final score (S) kurang dari 2, maka bangunan perlu di evaluasi lebih lanjut.
3.7.2
RVS dengan formulir pada FEMA 310 (1998) Menurut FEMA 310 (1998), formulir (cheklis) yang digunakan untuk
mengevaluasi bagian-bagian bangunan yang diteliti berdasarkan tingkat kinerja bangunan dan wilayah kegempaan bangunan. Cheklis ini terdiri dari cheklis wilayah kegempaan, cheklis untuk evaluasi struktur dasar, cheklis untuk evaluasi struktur tambahan, cheklis untuk evaluasi kondisi geologi dan pondasi, cheklis untuk evaluasi komponen nonstruktur dasar dan cheklis untuk evaluasi komponen nonstruktur tambahan. Cheklis dan penjelasan cheklis evaluasi tier 1 FEMA 310 selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3. Dengan memperhatikan atau mempelajari gambar – gambar pelaksanaan, cheklis evaluasi pada Lampiran 3 harus di isi seluruhnya dengan melingkari pernyataan OK atau NG. OK menunjukan kriteria dalam cheklis sudah terpenuhi dan NG (No Good) menyatakan pendapat sebaliknya. Evaluasi tier 1 untuk komponen struktur menurut FEMA 310 (1998) terdiri dari evaluasi system bangunan dan penahan gaya leteral, serta perhitungan atau chek cepat (quick check), untuk mengetahui kekuatan dan kekakuan dari komponen bangunan. Hal ini menentukan apakah bangunan tersebut telah memenuhi kriteria evaluasi atau tidak. Formulir cheklis yang akan digunakan dalam screening evaluasi tier menurut FEMA 310 ditentukan berdasarkan Tabel 3.7 berikut. 60
Tabel 3.7 Formulir yang harus digunakan pada evaluasi tahapan 1 (FEMA 310, 1998)
A. Wilayah kegempaan bangunan Penentuan wilayah kegempaan pada FEMA 310 (1998) ditentukan berdasarkan nilai spectrum percepatan (Sa) pada lokasi yang di tinjau. Dalam penelitian ini nilai spektrum percepatan di ambil dari SNI 03-1726-2012. Dalam dokumen FEMA 302 (1997) penentuan nilai spektrum percepatan pada periode pendek 0.2 detik (SDS) dan spectrum percepatan pada 1.0 detik pertama (SDT) mengacu pada ketentuan yang disajikan dalam Gambar 3.19.
Gambar 3.19 Desain respon spectrum FEMA 302 (1997) Menurut FEMA 302 (1997), nilai spectral acceleration (Sa) dapat dihitung menggunakan rumus pada Persamaan 3.4 Sa =
𝑆𝐷1 𝑇
.…………………………………………….. (3.4) 61
Nilai Sa tidak boleh lebih dari nilai SD1 SD1 = 3 𝐹𝑣 . 𝑆1
2
…………………………………………….... (3.5)
2
…………………………………………….... (3.6)
SDS = 3 𝐹𝑎 . 𝑆𝑣
Adapun Sa dan S1 adalah parameter percepatan respon periode pendek dan percepatan respon spectra pada periode 1 detik, berturut-turut untuk Maximum Considered Earthquake (MCE). Nilai Fv dan Fa merupakan site coefficient yang ditentukan dari Table 3.8 dan Tabel 3.9 sesuai dengan site class dan nilai parameter percepatan respon Ss dan S1. Site class pada bangunan ditentukan sesuai Tabel 3.8. Nilai Sds dan SD1 kemudian dimasukin ke dalam Tabel 3.9 untuk mengetahui daerah kegempaan. T adalah periode fundamental dari getaran yang terjadi dalam ruangan. T dihitung mengunakan Persamaan 3.7 dan Persamaan 3.8. 3/4
T = 𝐶𝑡 ℎ𝑛
…………………………………………….... (3.7)
Keterangan ; T = periode fundamenteal Ct = 0.030 untuk bangunan tipe C1 rangka pemikul momen dengan beton bertulang) menurut FEMA 310 (1998) hn = tinggi bangunan (m) atau
T = 0.10 N
dimana,
N = jumlah tingkat
…………………………………………….. (3.8)
Respon spektrum menurut Persamaan 3.5 sampai dengan Persamaan 3.6 dengan nilai Fa dan Fv seperti pada Tabel 3.8 dan Tabel 3.9 adalah respon spektrum untuk SNI 03-1726-2012 yang hanya merupakan informasi tambahan dan tidak digunakan pada analisis ini.
62
Tabel 3.8 Nilai Fv sebagai fungsi site class dan mapped spectral acceleration pada periode 1 detik (S1) (FEMA 310, 1998) Site Class
Mapped spectral acceleration pada periode 1 detik S1 ≤ 0,1
S1 = 0,2
S1 = 0,3
S1 = 0,4
S1 ≥ 0,5
A
0,8
0,8
0,8
0,8
0,8
B
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
C
1,7
1,6
1,5
1,4
1,3
D
2,4
2,0
1,8
1,6
1,5
E
3,5
3,4
2,8
2,4
2,2
F
*
*
*
*
*
* Lihat Profil tanah Class F Tabel 3.9 Nilai Fa sebagai fungsi site dan mapped short-period spectral acceleration, (Ss) (FEMA 310, 1998) Site Class
Mapped spectral acceleration pada periode 1 detik S1 ≤ 0,1
S1 = 0,2
S1 = 0,3
S1 = 0,4
S1 ≥ 0,5
A
0,8
0,8
0,8
0,8
0,8
B
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
C
1,2
1,2
1,1
1,0
1,0
D
1,6
1,4
1,2
1,1
1,0
E
2,5
1,7
1,2
0,9
0,9
F
*
*
*
*
*
* Lihat Profil tanah Class F Tabel 3.10 Region of seismicity Definitions (FEMA 154, 2002)
Region of Seismicity
Low (rendah) Moderate (Sedang) High (Tinggi)
Spectral Acceleration
Spectral Acceleration
Response, Sa (Periode
Responde, Sa (Periode 1.0
pendek 0.2 dt, SDS)
dt pertama, SDI)
< 0,167 g
< 0,067 g
< 0,500 g
< 0,200 g
≥ 0,167 g
≥ 0,067 g
≥ 0,500 g
≥ 0,200 g 63
B. Tingkat kinerja yang ditentukan untuk bangunan yang di evaluasi. Tingkat kinerja untuk bangunan yang di evaluasi harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan evaluasi, FEMA 310 (1998) mempertimbangkan dua tingkat kinerja dalam evaluasi bangunan yakni Life Safety (SF) dan immediate occupancy (IO) berdasarkan gempa rencana. C. Penentuan jenis tanah Pada kajian ini, klasifikasi jenis tanah dilakukan dengan standard dari FEMA 302 (1997), FEMA 310 (1998) dan SNI-2012. Klasifikasi tanah didasarkan pada kecepatan gelombang geser rata – rata tanah dengan menggunakan parameter Vs, N-SPT ataupun Undrained Shear Strength (Sa) sampai kedalaman 30 m dari permukaan tanah, seperti terlihat pada Tabel 3.11 dan Tabel 3.12 berikut. Tabel 3.11 Klasifikasi Kelas Tanah menurut FEMA 302 (1997) dan FEMA 310 (1998) Soil Type
Description
Average Soil Parameters Vx (m/s)
N-sPT
Su (kPa)
SA
Hard Rock
> 1500
-
-
SB
Rock
760 < Vs ≤ 1500
-
-
360 < Vs ≤ 760
> 50
> 100
SC
Very Dense Soil and Soft Rock
SD
Stiff Rock
180 < Vs ≤ 360
15 < Vs ≤ 50
50 – 100
SE
Soft Rock
≤ 180
*PI > 20
< 24
SF
Soil Requiring Sitespecific Evaluastion
64
Tabel 3.12 Klasifikasi Kelas Tanah menurut SNI 03-1726-2012 Kelas Situs
Vs (m/detik)
SA (batuan keras) SB (batuan) SC (Tanah keras, sangat padat dan batuan lunak) SD (Tanah sedang)
N atau Nch
Su (kPa)
> 1500
N/A
N/A
750 sampai 1500
N/A
N/A
350 sampai 750
> 50
≥ 100
175 sampai 350
15 sampai 50
50 sampai 100
Parameter V, N, dan S, tersebut merupakan nilai rata – rata parameter pada 30 m lapisan teratas di lokasi yang dirinjau. Nilai parametertersebut dapat di hitung dengan Persamaan 3.9 sebagai berikut. Vs, N, Su =
∑𝑛 𝑖=1 𝑑𝑖 ∑𝑛 𝑖+1
𝑑𝑖 𝑑𝑖 𝑑𝑖 , , 𝑉𝑠𝑖 𝑁𝑖 𝑆𝑢𝑖
...........................................................................(3.9)
Nilai Vs, biasanya dikorelasikan dengan kuat geser tanah yang diperoleh dari tes laboratorium atau tes lapangan atau tes lapangan seperti nilai N-SPT dan qc sondir. Beberapa penelitian telah mengajukan korelasi Vs, dengan parameter tersebut. Pada evaluasi gedung kuliah umum ini, data penyelidikan tanah yag diperoleh berupa nilai qc dari data sondir. D. Evaluasi sistem bangunan dan sistem penahan gaya lateral Menurut FEMA 310 (1998), evaluasi yang dilakukan pada system bangunan dan system penahan gaya lateral antara lain : 1. Alur beban (load path) Struktur harus mempunyai sebuah alur beban untuk pengaruh gaya gempa dari segala arah horizontal yang berfungsi untuk menyalurkan gaya inersia dari massa bangunan ke pondasi (FEMA 310, 1998). Menurut Purwono dan Tavio (2010), alur beban yang umum adalah sebagai berikut : a) Gaya gempa yang menyeluruh pada bangunan diteruskan melalui sambungan-sambungans struktur ke diafragma horizontal.
65
b) Diafragma mendistribusikan gaya-gaya ini ke elemen-elemen penahan gaya lateral vertical seperti dinding geser dan rangka. c) Elemen-elemen vertical mentransfer gaya-gaya ke dalam fondasi. d) Dan fondasi mentransfer gaya-gaya ke dalam tanah yang mendukungnya Jika terdapat ketidaksinambungan dalam alur beban, bangunan tersebut tidak mampu untuk menahan gaya-gaya gempa tanpa memperdulikan kuat elemenelemen yang ada. Perencanaan harus waspada terhadap adanya jeda dalam alur beban. Alur beban yang lengkap merupakan sebuah persyaratan dasar untuk semua bangunan. Identifikasi alur beban yang lengkap merupakan langkah pertama yang diperlukan dalam evaluasi.
2. Bangunan bersebalahan Bangunan bersebelahan tidak boleh berada di dekat bangunan yang dievaluasi dengan jarak kurang dari 4% dari tinggi bangunan (FEMA 310, 1998). Ketentuan ini juga tercantum di SNI 1726 Pasal 8.2.3. Bangunan yang dibangun dengan tidak memperhatikan jarak minimum antar bangunan, dapat berakibat terjadinya tabrakan/berbenturan antar bangunan yang berdekatan (pounding) saat terjadi gempa. Benturan bangunan dapat merubah respon dinamis kedua bangunan tersebut, dan memberikan beban tambahan inersia pada kedua struktur. Bila bangunan mempunyai tinggi yang berbeda (Gambar 3.20), bangunan yang lebih rendah dapat bertindak sebagai penyangga bagi bangunan yang lebih tinggi. Bangunan yang lebih tinggi menderita dari ketidak sinambungan kekakuan yang besar yang merubah respons dinamisnya. Karena kedua bangunan dirancang untuk kondisi ini, maka ada potensi terjadinya kerusakan yang parah, atau bahkan keruntuhan (Purwono dan Tavio, 2010)
66
Gambar 3.20 Bangunan bersebelahan dengan tinggi yang berbeda (FEMA 310, 1998)
3. Mesanin Tingkat mesanin interior harus diperkaku (braced) dan bebas dari stuktur utama, atau harus diangkur dengan komponen struktur utama penahan gaya lateral (FEMA 310, 1998). Mesanin pada umumnya mempunyai kelemahan tidak sebagai suatu system penahan gaya lateral. Mesanin seringkali di abaikan oleh pemilik bangunan. Mesanin bergoyang (unbraced) berpotensi terhadap bahaya keruntuhan dan harus diperiksa terhadap stabilitasnya (Purwono dan Tavio, 2010).
4. Tingkat lemah (weak story) Kekuatan system penahan gaya lateral disemua tingkat harus tidak kurang dari 80% kekuatan tingkat yang berdekatan di atas atau di bawahnya (FEMA 310, 1998). Kuat tingkat adalah kuat total semua elemen penahan gaya lateral di suatu tingkat tertentu untuk arah yang ditinjau. Jika kolom telah dikendalikan oleh lentur, kuat geser merupakan geser yang sesuai dengan kuat lenturnya. Tingkat lemah biasanya dijumpai bilamana terdapat ketidaksinambungan, atau bilamana ukuran komponen struktur atau tulangan telah direduksi. Oleh karena itu, perlu untuk menghitung kuat semua tingkat serta membandingkannya. Tingkat lemah akan mengakibatkan terjadinya konsentrasi perilaku inelastis yang dapat mengakibatkan keruntuhan sebagian atau total tingkat tersebut (Purwono dan Tavio, 2010).
67
5. Tingkat lunak (soft story) Kekakuan sistem penahan gaya lateral di semua tingkat harus tidak kurang dari 70% kekakuan di tingkat yang berdekatan di atas atau di bawahnya atau kurang dari 80% kekakuan rata-rata tiga tingkat di atas atau di bawahnya (FEMA 310, 1998). Kolom-kolom pada tingkat lunak jika dirancang tanpa mempertimbangkan simpangan antar tingkat, dapat berpotensi mengakibatkan terjadinya keruntuhan (Purwono dan Tavio, 2010). Penjelasan defleksi apda soft story dijelasakan pada Gambar 3.21 berikut.
Gambar 3.21 Defleksi pada Soft Story (FEMA 310, 1998) 6. Geometri Tidak boleh ada perubahan dimensi horizontal dari system penahan gaya lateral lebih dari 30% pada suatu tingkat relative terhada tingkat-tingkat yang berdekatan, kecuali untuk
penthouse satu
lantai (FEMA 310, 1998).
Ketidakteraturan geometri geometri biasanya ditentukan dengan pemeriksaan variasi dimensi antar tingkat system penahan gaya lateral. Contoh dari bangunan dengan geometri yang tidak teratur pada Gambar 3.22 berikut.
68
Gambar 3.22 Ketidakberaturan geometri (FEMA 310, 1998) 7. Ketidaksinambungan vertical Semua komponen struktur vertical pada sistem penahan gaya lateral harus menerus ke pondasi (FEMA 310, 1998). Jika terdapat elemen rangka yang tidak menerus ke dalam pondasi tetapi berhenti di tingkat atasnya, maka geser di tingkat ini akan ditransfer melalui diafragma ke kolom-kolom di bawahnya. Hal ini dikhawatirkan jika kapasitas geser pada elemen tersebut melampaui kapasitas kolom-kolomnya (Purwono dan Tavio, 2010). 8. Massa Tidak boleh ada perubahan massa efektif lebih dari 50% dari suatu tingkat ke tingkat berikutnya (FEMA 310, 1998). Penjelasan perbedaan massa pada salah satu lantai terdapat pada Gambar 3.23 sebagai berikut.
69
Gambar 3.23 Perbedaan massa pada salah satu lantai (FEMA 310, 1998) 9. Puntir Jarak antar pusat massa tingkat dan pusat kekakuan tingkat harus lebih kecil dari 20% lebar bangunan dalam kedua arah dimensi bangunan (FEMA 31, 1998). Bilamana terdapat puntir yang signifikan dalam bangunan, dikhawatirkan terjadi tambahan deformasi dan simpangan lateral yang dikenakan pada elemen-elemen vertikal oleh rotasi diafragma . Bangunan dapat dirancang untuk memenuhi gaya gempa nominal termasuk puntirnya, tetapi bangunan dengan puntir yang besar bias berperilaku kurang baik bila menghadapi gempa (Purwono dan Tavio, 2010). 10. Kolom pendek terkekang. Menurut FEMA 310 (1998), rasio tinggi/dalam kolom di suatu tingkat harus tidak kurang dari 75% dari rasio tinggi atau dalam nominal kolom tipikal di tingkat tersebut.
E.
Quick Check untuk kekakuan dan kekuatan Pengecekan secara cepat (quick check) dilakukan untuk mengetahui
potensi kelemahan pada bangunan. Hasil dari quick check kemudian dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam FEMA 310 (1998). Beberapa parameter yang dicek antara lain : 1. Kekakuan dan gaya geser tingkat Menurut FEMA 310 (1998), perhitungan kekakuan tingkat secara cepat dapat dilakukan dengan menghitung nilai drift terlebih dahulu dengan menggunakan Persamaan 3.11. 𝑘 +𝑘
ℎ
DR = ( 𝑘𝑏 𝑘 𝑐) (12𝐸) 𝑉𝑐 𝑏 𝑐
……………………………………...……. (3.11)
Keterangan ; DR
= drift ;
kb
= 1/L pada balok yang mewakili ;
kc
= 1/h pada kolom yang mewakili
h
= tinggi tingkat (in)
I
= Momen inersia (in4)
L
= Panjang bentang balok (in) 70
E
= Modulus elastisistas (ksi)
Vc
= gaya geser pada kolom (kips)
Menurut FEMA 310 (1998), gaya geser pada kolom (Vj) dihitung menggunakan rumus pada persamaan 3.12 berikut. 𝑛+𝑗
𝑊𝑗
Vj = (𝑛+1) ( 𝑊 ) 𝑉
………….....……………………………. (3.12)
Keterangan ; Vj
= Gaya geser pada tingkatan ke-j;
n
= Jumlah tingkat ;
j
= Tingkat yang ditinjau ;
Wj
= Jumlah berat pada semua lantai di atas tingkat ke-j;
W
= Berat total bangunan;
V
= Gaya lateral, dihitung menggunakan pers. 3.13 dan 3.14
V = C.Sa .W
…………………………………………. (3.13)
V = 0,75.W
…………………………………………. (3.14)
Keterangan ; V
= Gaya lateral
C
= Faktor modifikasi yang berkaitan dengan simpangan inelastik maksimum yang diharapkan untuk menghitung simpangan pada respon linier elastic. Nilai C di ambil dari Table 3.13.
Sa = Respon spectral percepatan (spectral acceleration) pada saat periode fundamental bangunan. W = Berat total bangunan.
71
Tabel 3.13 Faktor Modifikasi (FEMA 310, 1998) Number of stories
Building Type Wood (W1, W1A, W2) Moment Frame (S1, S3, C1, PC2A)
1
2
3
≥4
1.3
1.1
1.0
1.0
1.4
1.2
1.1
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
Shear Wall (S4, S5, C2, C3, PC1A, PC2, RMW, URMA) Braced Frame (S2) Unreinforced Masonsy (URM) Flexible Diaphragms (S1A, S5A, C2A, C3A, PC1, RM1)
2. Tegangan geser kolom pada struktur beton Menurt FEMA 310 (1998), kekuatan tingkat dapat diketahui dengan melakukan perhitungan cepat terhadap tegangan geser pada kolom menggunakan rumus pada persamaan 3.15. 1
Vavg = 𝑚 (𝑛
𝑉
𝑛𝑐
𝑐 −𝑛𝑓
) (𝐴 𝑗 ) 𝑐
.... .........…………..........…………………(3.15)
Keterangan ; Vavg = Tegangan geser rata-rata; nc
= Jumlah kolom ;
nf
= Jumlah rangka pada arah pembebanan ;
Ac
= Jumlah luas kolom seluruhnya ;
Vj
= Gaya geser dihitung menggunakan Persamaan 3.10 ;
m
= Faktor modifikasi komponen. Untuk bangunan dengan tingkat kinerja Life safety menggunakan nilai 2,0 dan untuk bangunan dengan tingkat kinerja immediate occupancy menggunakan nilai 1,3.
FEMA 310 (1998) menentukan batasan agar struktur aman, tegangan geser rata-rata (Vorg) dalam kolom yang tidak boleh melebih 100 psi atau 2√𝑓′𝑐.
72
3.
Gaya aksial pada kolom akibat gaya guling Menurut FEMA 310 (1998), perhitungan cepat untuk mengetahui gaya
aksial pada kolom akibat gaya guling dihitung menggunakan Persamaan 3.16. 1
2
𝑉.ℎ
Pot = 𝑚 (3) (𝐿.𝑛𝑓𝑛)
.......……….......………………………………. (3.16)
Dimana, Pot = Gaya aksial pada kolom ; V
= Gaya lateral ;
nf
= Jumlah rangka pada arah pembebanan ;
hn = Tinggi bangunan (feet) ; L
= Panjang bentang pada rangka (feet) ;
m
= Faktor modifikasi komponen. Untuk bangunan dengan tingkat kinerja Life safety menggunakan nilai 2,0 dan untuk bangunan dengan tingkat kinerja immediate occupancy menggunakan nilai 1,3.
FEMA 310 (1998) menentukan batasan agar struktur aman, tegangan aksial dalam kolom harus kurang dari 0,3 f’c
3.8.
EVALUASI TAHAP 2 Tahapan 2 pada FEMA 310 (1998) adalah evaluasi bangunan menggunakan
analisis linier. Analisis ini meliputi prosedur analisis statik linier elastik (Linier Elastic Static Procedur, LESP) dan prosedur analisis dinamik linier elastik (Linier Elastic Dinamic Procedur, LEDP) menggunakan respons spektrum . Spesial prosedur ini dilakukan pada bangunan reinforced masonry.
3.8.1
Analisis Statik Linier Elastik (Linier Elastic Static Procedur, LESP) Analisis menggunakan statik linier menempatkan bangunan masih dalam
kondisi linier elastic pada saat dibebani beban gempa. Kekakuan struktur bangunan hampir mendekati kondisi titik leleh. Gaya inersia yang bekerja pada suatu massa akibat gempa disederhanakan menjadi ekivalen beban statik. Desain gaya gempa pada analisis linier elastic dipresentasikan oleh gaya lateral pada setiap tingkat struktur bangunan Gambar 3.24. 73
W5
F5
W4 F4 W3 F3 W2 F2 W1 F1
Gambar 3.24 Gaya lateral pada setiap tingkat bangunan A. Gaya Geser Dasar (V) Menurut SNI 03-1726-2012 pasal 7.8.1, nilai gaya geser dasar nominal ekivalen beban gempa (V) dihitung menurut Persamaan 3.17. V=(
𝑆𝑑𝑠.𝐼 𝑅
………….......……………...…...………. (3.17)
) 𝑊1
Keterangan, Sds
= Parameter-parameter spektrum respons desain dalam rentang perioda pendek seperti ditentukan dalam SNI 03-1726-2012 pasal 6.3
W1
= Berat total gedung, termasuk beban hidup yang sesuai.
I
= Faktor keutamaan menurut Tabel 1 SNI 03-1726-2012
R
= Faktor reduksi gempa menurut Tabel 9 SNI 03-1726-2012
B. Distribusi beban horisontal pada tiap lantai (F) Beban geser nominal V menurut Persamaan 3.15 harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa niminal statik ekuivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat ke-i menurut Persamaan 3.18 sesuai SNI 03-1726-2012 pasal 7.8.4. 𝐹𝑖 =
𝑊𝑖.𝑍𝑖𝑘 𝑘 ∑𝑛 𝑖=1 𝑊𝑖.𝑍𝑖
𝑉
.............................................................................. (3.18)
74
Keterangan ; Wi = berat lantai tingkat ke-1, termasuk beban hidup yang sesuai Zi
= ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral
n
= nomor lantai tingkat paling atas
k
= eksponen yang terkait dengan perioda struktur sebagai berikut : untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 0,5 detik atau kurang k = 1 untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 2,5 detik atau lebih, k = 2 untuk struktur yang mempunyai perioda antara 0,5 dan 2,5 detik, k harus sebesar 2 atau harus ditentukan dengan interpolasi linier antara 1 dan 2.
C. Ketentuan Analisis Gaya dan Parameter Gempa untuk Gedung (F) 1.
Waktu getar alami (T) Dalam proses evaluasi struktur, untuk mencegah penggunaan struktur
gedung yang terlalu fleksibel, nilai waktu getar alami fundamental T1 dari struktur gedung harus dibatasi, bergantung pada kefisien ζ untuk Wilayah Gempa tempat struktur gedung berada dan jumlah tingkatnya n menurut Persamaan 3.19. T1 < ζ . n ...................................................................................................(3.19) Koefisien ζ ditetapkan menurut Tabel 8. SNI-1726-2012
2.
Koefisien gempa dasar (C) Koefisien gempa dasar (C) merupakan nilai faktor respon gempa yang
didapat dari respon spektrum. Koefisien gempa dasar tergantung pada frekuensi kejadian, mekanisme kejadian, ukuran gempa dan daya rusak gempa dan daya rusak gempa yang berbeda-beda pada tiap wilayah gempa, kondisi tanah setempat dan waktu getar alami struktur.
75
3.
Faktor keutamaan gedung (I) Untuk bebagai kategori gedung, bergantung pada probabilitas
terjadinya keruntuhan struktur gedung selama umur gedung dan umur gedung tersebut yang diharapkan, pengaruh Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu Faktor Keutamaan I menurut persamaan : I = I1 . I2 ...............................................................................................(3.20) Keterangan : I1 = Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang gempa berkaitan berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur gedung. I2 = Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut. Faktor-faktor Keutamaan I1, I2 dan I ditetapkan menurut Tabel 1. SNI-17262012. 4.
Faktor Reduksi Gempa (R) Faktor reduksi gempa yaitu rasio antara beban gempa maksimum akibat
pengaruh gaya Gempa Rencana pada struktur gedung elastik panuh dan beban gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung daktail, bergantung pada faktor daktilitas struktur gedung tersebut (μ).
76
Tabel 3.14 Parameter daktilitas struktur gedung (SNI-1726-2012 hal. 36)
5.
Arah Pembebanan Menurut SNI 03-1726-2012, arah pembebanan gempa harus dilakukan
sedemikian rupa dalam perencanaan struktur gedung agar meberikan pengaruh terhadap struktur gedung secara keseluruhan. Untuk mensimulasikan arah pengaruh gempa yang sembarang terhadap struktur gedung, pengaruh pembebanan gempa dalam arah utama harus dianggap efektif 100% dan harus dianggap terjadi bersamaan dengan pengaruh pembebanan gempa dalah arah tegak lurus pada arah utama pembebanan tadi, tetapi dengan efektifitasnya hanya 30%. Pada penelitian tesis ini, arah sudut datang gempa diambil 0̊ dan 90̊ dengan kombinasi 100% arah sumbu X (U1) dan 30% arah sumbu Y (U2) untuk masing-masing sudut gempa.
77
6.
Wilayah gempa dan spektrum respon Pembagian wilayah gempa Indonesia didasarkan atas percepatan
puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan periode 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap wilayah gempa.Penentuan wilayah gempa di Indonesia menurut SNI 03-1726-2012 ditentukan dalam situs online puskim.pu.go.id dengan memasukan data koordinat daerah yang akan ditinjau.
Gambar 3.25 Wilayah Gempa Indonesia (SNI 2012)
3.8.2 Analisis Dinamik Linier Elastik (Linier Elastic Dynamic Prosedur, LEDP) Menurut FEMA 310 (1998), analisis linier dinamik harus digunakan pada bangunan dengan ketentuan berikut yaitu bangunan dengan tinggi lebih dari 100 ft dan bangunan dengan massa, kekakuan, atau kondisi geometri yang tidak umum (irregularities). Analisis linier dinamik dalam Tesis ini menggunakan respon spektrum dari wilayah lokasi bangunan. Menurut Jamal A (2011), Response Spektrum adalah suatu diagram yang memberi hubungan antara percepatan response maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman waktu getar alami sistem SDK tersebut. Pada analisis linier dinamik ini menggunakan spektrum elastik, dimana spectrum didasarkan atas respon elastik struktur. 78
Menurut SNI 03-1726-2012, dalam melakukan analisis dinamik respon spektrum, ordinat Spektrum Respon tersebut harus dikoreksi dengan faktor koreksi I/R, dimana I adalah faktor keutamaan bangunan dan R adalah faktor reduksi gempa representatif dari struktur gedung yang bersangkutan. Hal ini dilakukan karena untuk memperhitungkan kategori gedung yang dihadapi dan untuk menjadikan beban gempa menjadi beban nominal, sesuai dengan daktilitas yang dipilih untuk struktur gedung tersebut. Menurut SNI 03-1726-2002 Pasal 7.2.2, analisis dinamik respon spektrum untuk bangunan tidak beraturan harus dilakukan dengan salah satu metode berikut: 1. Metode yang dikenal dengan Kombinasi Kuadratik Lengkap (Complete Quadratic Combination, CQC) untuk waktu getar alami yang berdekatan atau selisih nilainya kurang dari 15% 2. Metode yang dikenal dengan Akar Jumlah Kuadrat (Square Root of the Sum of Squares, SRSS) untuk waktu getar alami yang berjauhan. Dalam praktik perencanaan, terdapat tiga tipe response spektrum yang digunakan yaitu: 1. Response spektrum dari actual earthquake record Respons spektrum ini berasal dari catatan gempa langsung.
Biasanya hasil kurva respons
spektrum kasar dengan kurva yang tajam dan tidak teratur. 2. Smoothed design response spectra. Untuk mengurangi respon yang berlebihan dari suatu gerakan tanah, maka suatu respons spektra diperhalus. Puncak
yang tajam pada respon gempa diindikasikan sebagai akibat
resonansi pada saat periode alami mendekati periode dari fungsi gaya. 3. Site specific response spectra. Pada struktur khusus dimana kondisi tanah tidak memungkinkan untuk menggunakan respons gempa dengan klasifikasi umum, maka dilakukan studi khusus untuk mengetahui karakteristik daerah tersebut terhadap gempa. Dalam pemodelan ini, digunakan tipe response Smoothed design response spectra dengan data yang digunakan adalah data response gempa rencana sesuai dengan koordinat lokasi bangunan pada aplikasi desain spektra Indonesia dari situs www.puskim.go.id. 79
3.8.3 Batas Penerimaan untuk Prosedur Linier Statik dan Prosedur Linier Dinamik Apabila dimensi komponen struktur dan kualitas bahan sudah diketahui, maka kekuatan struktur dalam mendukung daya aksial, momen dan geser dapat dianalisis FEMA 356 menyebutkan nilai dan distribusi dari kebutuhan inelastik pada komponen utama dari hasil analisis linier statik elastik dan analisis linier dinamik elastik ditentukan melalui nilai DCR (Demand-capacity ratios), menurut pada Persamaan 3.21.
DCR = Dimana,
QUD QCE
................................................................................................(3.21)
QUD = Kuat perlu akibat beban gravitasi dan beban gempa QCE = Kuat yang diharapkan opada setiap komponen
Kuat yang diharapkan (QCE) adalah sama dengan kapasitas (kuat nominal) dikalikan 1,25. Kuat perlu akibat beban grafitasi dan beban gempa (QUD) dihitung berdasarkan kombinasi beban dengan faktor beban γ, sesuai dengan ketentuan SNI 03-2847-2013 kuat perlu yang diperhitungkan pada Persamaan 3.22 dan Persamaan 3.23 QUD = 1,2D + 1,0L + 1,0E
......................................................................(3.22)
QUD = 0,9D + 1,0E
......................................................................(3.23)
Dimana,
D = beban mati L = beban hidup yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung 1987 E = beban gempa ditetapkan berdasarkan SNI-1726-2012
DCR harus dihitung pada setiap komponen primer dalam mendukung gaya aksial momen dan geser. FEMA 356 menyatakan bahwa prosedur analisis linier dapat digunakan apabila : 1.
Jika nilai DCR pada setiap komponen ≤ 2,0 , prosedur analisis dapat digunakan 80
2.
Jika pada satu atau lebih komponen, nilai DCR > 2,0 dan tidak terdapat adanya ketidak-beraturan (irregularities) pada struktur, maka prodsedur analisis linier dapat digunakan.
3.
Jika pada satu atau lebih komponen, nilai DCR > 2,0 dan terdapat adanya ketidak-beraturan (irregularities) pada struktur, maka prosedur analisis linier tidak dapat digunakan.
3.8.4 Analisis Kekuatan Komponen Balok A. Analisis lentur balok Untuk penampang balok bertulang rangkap, seperti terlihat pada Gambar 3.18, dimana apabila semua tulangan telah leleh atau ƒs = ƒ’s = ƒy, akan dieproleh resultan gaya-gaya dalam sebagai berikut. Gaya tekan pada beton : Cc = 0,85 ƒ’c . a . b
.....................................................................................(3.24)
Gaya tekan pada tulangan : Cs = A’s . ƒy
......................................................................................(3.25)
Dimana A’s adalah luas tulangan tekan Gaya tarik pada tulangan : T = As . ƒy
......................................................................................(3.26)
Dimana As adalah luas tulangan tarik.
Gambar 3.26 Penampang balok bertulang rangkap pada saat tegangan lentur tercapai Persamaan kesetimbangan C = C c + Cs = T
..............................................................(3.27) 81
0,85 ƒ’c . a . b + A’s . ƒy = As . ƒy
..............................................................(3.28)
Diperoleh : (As - A’s). ƒy
DCR =
.............................................................(3.29)
0,85 ƒ’c . a . b
Diagram regangan selanjutnya digunakan untuk memeriksa apakah tulangan telah leleh apa belum. Tulangan akan mengalami leleh apabila regangannya melebihi fy/Es. Regangan pada tulangan dihitung sebagai berikut : ε's =0,003 ε's =0,003
c – d’
= 0,003
c d-c
= 0,003
c
a – β1 d’ a β1 d - a a
.................................................(3.30)
.................................................(3.31)
Diperoleh, f’s = fy =0,003
fs = fy =0,003
a – β1 d’
≥
a β1 d - a
≥
a
fy Es fy Es
.......................................................(3.32)
.......................................................(3.33)
Apabila kondisi tersebut terpenuhi, berarti anggapan bahwa semua tulangan telang leleh sudah sesuai. Dengan menggunakan momen terhadap tulangan tarik, maka kapasitas momen nominal balok adalah : 𝑎
Mn = 0,85 . f’c . a . b (𝑑 − 2) + A’s . fy (d – d’) .................................................(3.34)
a=
As ƒs - A’s. ƒ’s 0,85 ƒ’c . b
..................................................................................(3.35)
Dimana dari diagram regangan diperoleh : f’s = ε's . Es = 0,003 fs = ε's . Es = 0,003
a - β1 d’ a β1 d - a a
Es atau fy
.........................................(3.36)
Es atau fy
.........................................(3.37)
82
Kemudian diperoleh nilai Mn sebagai berikut : 𝑎
Mn = 0,85 . f’c . a . b (𝑑 − 2) + A’s . f’s (d – d’) ..............................................(3.38) B. Analisis geser balok Kekuatan geser nominal balok ditentukan dengan memperhitungkan kontribusi beton dan konstribusi tulangan geser (sengkang), diperoleh : Vn = Vc + Vs
..........................................................................(3.39)
dimana : Vc
= kuat geser yang disumbangkan oleh beton
Vs
= kuat geser yang disumbangkan oleh tulangan geser
Menurut SNI 03-2874-2012, kuat geser yang disumbangkan oleh beton yang hanya dibebani oleh geser dan lentur adalah. √𝑓′𝑐
Vc =
bw d
.............................................................................(3.40)
6 Kuat geser yang disumbangkan oleh tulangan geser yang tegak lurus terhadap sumbu aksial komponen struktur adalah :
Vs =
Av fy d s
.............................................................................................(3.41)
Dimana Av adalah luas tulangan geser yang berada dalam jarak s.
3.8.5 Analisis kekuatan komponen kolom A. Kekuatan kolom pendek yang dibebani secara konsentrik Kekuatan kolom pendek yang dibebani secara konsentrik dihitung sebagai berikut : Po = 0,85. f’c (Ag – Ast) + Ast . fy
..............................................................(3.42)
Dimana : Ast
= Luas total tulangan baja, yaitu As + A’s
Ag
= Luas total penampang kotor
83
Gambar 3.27 Gaya Aksial konsentrik pada kolom
B. Kekuatan kolom yang dibebani secara eksentrik Pada analisis kolom terhadap beban eksentrk inim prinsip blok tegangan persegi yang digunakan pada analisis balok dapat pula diterapkan. Regangan pada tulangan dihitung sebagai berikut : ε's =0,003
c – d’
εs =0,003
c d-c c
.......................................................................................(3.43)
.......................................................................................(3.44)
Tegangan dapat dihitung sebagai berikut : f’s = ε's Es ≤ fy
......................................................................................(3.45)
fs = ε’s Es ≤ fy
......................................................................................(3.46)
Gaya-gaya dalam dihitung sebagai berikut : Cc = 0,85 . f’c. b . a
......................................................................................(3.47)
Cs = A’s . f’s
......................................................................................(3.48)
Ts = As . fs
......................................................................................(3.49)
Persamaan kesetimbangan mensyaratkan : Pn = Cc + Cs - Ts
......................................................................................(3.50)
Diperoleh Mn sebagai berikut : 84
𝑎
Mn = Pn . e = Cc (ŷ − 2) +Cs (ŷ − 𝑑′) – Ts (d – ŷ).......................................(3.51) Atau Pn = 0,85. f’c . a . b + A’s . f’s – As . fs
..................................................(3.52)
𝑎
Mn = Pn . e = 0,85. f’c . a . b (ŷ − 2) + A’s . f’s (ŷ − 𝑑′) – As . fs (d – ŷ) .....(3.53) Jenis keruntuhan yang terjadi pada kolom pendek adalah timbulnya leleh pada tulangan tarik dan keruntuhan tekan. Kondisi seimbang (balance) terpenuhi apabila keruntuhan terjadi secara bersamaan pada tulangan tarik dan beton tekan. Apabila Pn adalah beban aksial dan Pnb adalah beban aksial yang berkaitan dengan keruntuhan balance, maka : Pn < Pnb
: keruntuhan tarik
Pn = Pnb
: keruntuhan balance
Pn > Pnb
: keruntuhan tekan
C. Kuat kolom pada keruntuhan tarik Pada kondisi e > eb atau Pn < Pnb , keruntuhan taruk akan terjadi pada tulangan baja, sehingga fs = fy , pada kolom umumnya dipasang tulangan As’ = As untuk mencegah kekeliruan dalam penempatan tulangan tarik dan desak dalam pelaksanaan. Hal ini juga diperlukan apabila kemungkinan beban yang terbalik arah, misalnya akibat angin atau gempa. untuk kondisi keruntuhan fisik, dimana As = A’s dieproleh : Pn = 0,85. f’c . a . b
........................................................................(3.54) ℎ
𝑎
Mn = Pn . e = 0,85. f’c . a . b (2 + 2) + As . fy (ŷ − 𝑑′) ................................(3.55) ℎ
Dimana ŷ = 2 merupakan pusat geometri penampang. D. Kuat kolom pada keruntuhan tarik Kekuatan penampang yang dibebani gaya tarik aksial murni dihitung dengan menganggap bahwa penampang telah retak dan mengalami regangan tarik deragam melebihi regangan leleh ey. Akibat regangan leleh tersebut semua lapisan tulangan pada penampang akan mencap[ai tegangan leleh fy, sehingga : Pnt = ∑𝑛𝑖=1 − 𝑓𝑦. 𝐴𝑠1........................................................................................(3.56) 85
Dimana Pnt adalah kekuatan tarik nominal penampang.
E. Analisis geser balok Kekuatan geser nominal kolom ditentukan dengan memperhitungkan kontribusi beton dan kontribusi tulangan geser (sengkang), diperoleh : Vn = Vc + Vs..............................................................................................(3.57) Keterangan ; Vc
= Kuat geser yang disumbangkan ileh beton
Vs
= Kuat geser yang disumbangkan oleh tulangan geser
Kuat geser yang disumbangkan oleh beton yang hanya dibebani oleh tekan aksial adalah 𝑁𝑢
Vc = (1 + 14𝐴𝑔) (
√𝑓′𝑐 6
)bwd...............................................................................(3.58)
Kuat geser yang disumbangkan oleh tulangan geser yang tegak lurus sumbu aksial komponen struktur adalah : Vs =
Av fy d s
.............................................................................................(3.59)
Dimana Av adalah luas tulangan geser yang berada dalam jarak s.
3.9.
EVALUASI ANALISIS STATIK NON LINIER Analisis non linier meliputi analisis statik beban dorong (pushover analysis)
dan analisis dinamik non linier riwayat waktu (time history non linier analysis).
3.9.1
Analisis Beban Dorong Statik (Analisis Pushover) Menurut SNI 1726-2012, analisis beban dorong statik (static pushover
analysis) merupakan cara analisis statik 2-dimensi atau 3-dimensi linier dan nonlinier, dimana pengaruh gempa rencana dianggap sebagai beban-beban statik yang menangkap pada pusat massa masing-masing lantai, yang nilainya ditingkatkan secara berangsur-angsur sampai melampaui pembebanan yang 86
menyebabkan terjadinya pelelehan pertama (sendi plastis) di dalam struktur gedung, kemudian dengan peningkatan beban lebih lanjut mengalami perubahan bentuk pasca elastik yang besar sampai mencapai kondisi di ambang keruntuhan. Tujuan dari analisis pushover ini adalah untuk mengevaluasi perilaku keruntuhan dari suatu struktur akibat gempa, mendapatkan kurva hubungan gaya geser dan displacement, mendapatkan kurva kapasitas dan skema plastifikasi atau distribusi sendi plastis yang terjadi. Hal ini tentunya berbeda dengan analisis beban gempa statik ekuivalen, karena model analisisnya yang linier, maka analisis ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis kinerja struktur yang telah mengalami plastifikasi (non-liniear) di beberapa tempat, sehingga prilaku keruntuhan struktur juga tidak dapat diketahui. Analisis statik non-linier (pushover) merupakan usaha pendekatan yang dilakukan oleh para professional engineering untuk menghitung kekuatan yang nyata dari struktur dan menjanjikan untuk digunakan secara efektif sebagai alat untuk perencanaan berbasis kinerja. Pada FEMA 356 telah dijelaskan tentang kriteria deformasi yang terjadi dan prosedur analisis pada analisis pushover. Dokumen tersebut mendefinisikan kriteria deformasi-gaya untuk sendi (hinges) yang digunakan pada analisis pushover, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.28.
Gambar 3.28. Batas deformasi elemen atau komponen (FEMA 356, 2000)
87
Gambar di atas merupakan grafik yang berfungsi untuk mengetahui seberapa besar level kinerja dari suatu bangunan. Pada kondisi A-B bangunan dapat dikategorikan masih dalam kondisi elastik. Dalam kondisi tersebut bangunan yang telah diberi beban gempa masih dalam level Operasional. Pada titik tertentu yang terdapat kondisi leleh pada komponen bangunan, maka kondisi tersebut termasuk ke dalam level Immediate Occupancy. Kemudian jika bangunan terus dibebani dengan beban gempa yang lebih besar, maka komponen bangunan akan sampai pada titik C, dalam kondisi tersebut level kinerja bangunan pada kondisi Life Safety. Pada kondisi terakhir, bangunan yang dibebani dengan beban gempa yang lebih besar lagi akan sampai pada kondisi Collapse Prevention. Pada kondisi tersebut bangunan sudah tidak memungkinkan lagi untuk diadakan perbaikan. Mitigasi yang bisa diberikan yaitu dengan cara diruntuhkan (demolished). Ada beberapa cara menentukan target perpindahan untuk menetukan titik kinerja bangunan dengan analisis pushover. Dua cara yang cukup terkenal adalah Displacement Coeficient Method atau Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 273/274, FEMA 356/440) dan Capacity Spectrum Method atau Metode Spektrum Kapasitas (ATC 40). Karena banyaknya komponen yang harus dievaluasi, maka analisis pushover dilakukan dengan bantuan program komputer. Dua metode tersebut telah built-in dalam beberapa program analisis struktur, salah satunya adalah program SAP2000. Dalam evaluasi ini analisa pushover menggunakan metode Spektrum Kapasitas (ATC-40). A. Distribusi beban lateral Beban lateral harus diterapkan pada model matematik dan proporsional dengan distribusi gaya inersia pada setiap lantai diaphragma. Untuk analisis, FEMA 356 (2000) mensyaratkan penggunaan sedikitnya dua pola distribusi vertikal dari beban lateral. Salah satu pola dapat dipilih dari setiap 2 kelompok pola berikut ini: 1) Pola modal (modal pattern), terdiri dari : a) Distribusi vertikal yang proporsional dengan nilai Cvx pada Persamaan (3-13). Distribusi ini digunakan hanya jika lebih dari 75% dari total massa yang berpartisipasi dalam mode pertama dalam arah yang ditinjau.
88
b) Distribusi vertikal yang proporsional dengan bentuk mode pertama dalam arah yang ditinjau. Penggunaan distribusi ini berlaku hanya bila lebih dari 75% dari total massa yang berpartisifasi dalam mode ini. c) Distribusi vertikal yang proporsional dengan distribusi gaya geser tingkat yang dihitung dengan kombinasi respon modal dari analisis respon spektrum, termasuk mode yang cukup untuk mencakup sedikitnya 90% dari total massa bangunan, dan menggunakan spektrum gerakan tanah yang sesuai. Distribusi ini digunakan apabila waktu getar alami dari mode pertama melebihi 1 detik. 2) Pola kedua (second pattern), terdiri dari : a) Distribusi seragam yang terdiri dari gaya lateral pada setiap lantai yang proporsional dengan total massa dari setiap lantai. b) Distribusi beban adaptive, yang dimodifikasi dari distribusi beban awal dengan menggunakan suatu prosedur yang meninjau properti struktur yang telah leleh. Pada penelitian ini distribusi beban lateral menggunakan distribusi seragam.
B. Target perpindahan Evaluasi level kinerja struktur didasarkan pada gaya dan deformasi yang terjadi pada saat perpindahan pada titik kontrol sama dengan target perpindahan δt. Titik kontrol (control node) ini diletakkan pada pusat massa atap dari model struktur. Titik kontrol ini kemudian dievaluasi terhadap beban lateral yang ditetapkan. Target perpindahan (displacement target) dapat dihitung dengan beberapa metode, antara lain Metode Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996) dan Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356, 2000). Pada saat dilakukan analisis, target perpindahan ini diperbesar sampai minimal 150% untuk mendapatkan perilaku bangunan pada saat melebihi kondisi rencananya.
3.9.2
Analisis Dinamik Nonlinier Riwayat Waktu (time history analysis) Analisis dinamik non linier riwayat waktu atau analisis inelastik dinamik
riwayat waktu adalah suatu cara analisis untuk menentukan riwayat waktu respon dinamik struktur bangunan gedung yang berperilaku nonlinier terhadap gerakan 89
tanah akibat gempa rencana sebagai data masukan, di mana respon dinamik dalam setiap interval waktu dihitung dengan metode integrasi bertahap (step by step integration). Beban gempa adalah fungsi waktu, sehingga respon pada struktur juga tergantung dari waktu pembebanan. Akibat Gempa Rencana struktur berperilaku inelastis. Untuk mendapatkan respon struktur tiap waktu dengan memperhitungkan perilaku nonlinier, maka dilakukan analisis riwayat waktu nonlinier inelastis (Pranata, 2006). Untuk analisis dinamik non-linear riwayat waktu digunakan beban gempa sintetis dua arah yang didapatkan dari modifikasi gempa El Centro 18 Mei 1940 dengan komponen North-South dan East-West yang disesuaikan dengan respon spektrum gempa rencana. Contoh rekaman gempa El Centro seperti pada gambar berikut.
Gambar 3.29. Akselerogram gempa El Centro 1940
3.9.3
Metode Spektrum Kapasitas (ATC-40) Metode Kapasitas Spektrum (Capacity spectrum method) menyajikan
secara grafis dua buah grafik yang disebut spektrum, yaitu spektrum kapasitas (capacity spectrum) yang menggambarkan kapasitas struktur berupa hubungan gaya dorong total (base shear) dan perpindahan lateral struktur (biasanya ditetapkan di puncak bangunan), dan spektrum demand yang menggambarkan besarnya demand (tuntutan kinerja) akibat gempa dengan periode ulang tertentu. Dalam Metoda Spektrum Kapasitas proses dimulai dengan menghasilkan kurva hubungan gaya perpindahan yang memperhitungkan kondisi inelastis struktur. Proses tersebut sama dengan Metode Koefisien Perpindahan, kecuali bahwa 90
hasilnya diplot-kan dalam format ADRS (acceleration displacement response spectrum) (Dewabroto, 2005) A. Konversi Kurva Kapasitas ke Spektrum Kapasitas dalam format ADRS. Pada penggunakan Metode Spektrum Kapasitas, penting untuk mengubah kurva kapasitas (kurva pushover) yang masih dalam bentuk hubungan gaya geser dasar dan perpindahan atap ke bentuk Spektrum Kapasitas. Spektrum Kapasitas merupakan representasi dari kurva kapasitas dalam format AccelerationDisplacement Response Spectra (ADRS), yaitu dalam hubungan Sa dan Sd. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3.30. Persamaan-persamaan yang digunakan untuk mengubahnya adalah : Pfi
=[
𝑤 1 Ø1 ∑𝑁 𝐼=1 𝑔
𝑤1 Ø12 2 [∑𝑁 ] 𝐼=1 𝑔
]
.............................................................(3.60)
Modal effective weight kontribusi mode ke-1 sebagai berikut, α1
𝑤 1 Ø1 [∑𝑁 ] 𝐼=1
2
𝑔
=[
𝑤1 𝑁 𝑤1 Ø12 [∑𝑁 𝐼=1 𝑔 ][∑𝑖=1 𝑔
]
2
..............................................................(3.61)
]
Spektral akselerasi Sa dapat dihitung dengan, Sa
=
𝑉/𝑊 𝛼1
..............................................................(3.62)
Dengan demikian, spectral displacement SD dapat dihitung dengan, Sd
∆𝑟𝑜𝑜𝑓
= 𝑃𝐹𝑖 Ø𝑟𝑜𝑜𝑓 𝑖
..............................................................(3.63)
Keterangan ; PFi
= Faktor partisipasi ragam (modal participation factor) untuk ragam ke-1.
α1
= Koefisien massa ragam untuk ragam ke-1.
wi/g
= Massa lantai i.
Φi1
= Perpindahan pada lantai i pada ragam ke-1.
N
= Jumlah lantai.
V
= Gaya geser dasar.
W
= Berat struktur (akibat beban mati dan beban hidup tereduksi).
Δroof
= Perpindahan atap (yaitu yang digunakan pada kurva kapasitas). 91
Sa
= Spektrum percepatan.
Sd
= Spektrum perpindahan.
Gambar 3.30. Konversi Kurva Kapasitas ke Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996)
B. Konversi Spektrum Respon ke Spektrum Demand dalam format ADRS. Spektrum respon yang umumnya dinyatakan dalam satuan percepatan, Sa (m/det2) dan periode struktur, T (detik), dirubah ke dalam format ADRS menjadi spektrum demand, yaitu dalam satuan percepatan, Sa (m/det2) dan perpindahan, Sd (m), seperti ditunjukkan pada Gambar 3.31. Untuk mengubah spektrum dari format standar Sa dan T ke format ADRS, maka perlu ditentukan nilai Sdi untuk setiap titik kurva, yaitu Sai dan Ti. Hal ini dapat dilakukan dengan persamaan berikut : 𝑇𝑖 2
Sdi = 4𝜋2 𝑆𝑎𝑖 𝑔
........................................................................(3.64)
Gambar 3.31 Konversi Spektrum Respon ke Spektrum Demand (ATC-40, 1996)
92
C. Penentuan Titik Kinerja (Performance Point) Titik kinerja (performance point) merupakan perpotongan antara kurva spektrum kapasitas dan spektrum demand. Titik kinerja ini merupakan suatu kondisi dimana seismic capacity struktur gedung sama dengan seismic demand yang ditentukan pada struktur akibat gerakan tanah dasar. Oleh karena itu, titik kinerja ini merupakan representasi dari dua kondisi, yaitu sebagai representasi dari kekuatan struktur pada suatu nilai perpindahan tertentu dan menunjukkan bahwa kekuatan struktur dapat memenuhi demand beban yang diberikan. Dalam hal analisis dengan program SAP2000 dengan Metode Spektrum Kapasitas, SAP2000 secara otomatis akan menentukan titik kinerja dari struktur yang ditinjau.
Gambar 3.32 Performance Point pada Capacity Spectrum Method (sumber : Dewobroto, 2006)
Penentuan
level
kinerja
struktur
(structural
performance
levels)
didasarkan melalui kriteria structural drift ratio yang diperoleh pada saat titik kinerja tercapai. Structural drift ratio tersebut kemudian dibandingkan dengan persyaratan drift ratio yang ditetapkan oleh FEMA 356 (2000) pada Tabel 3.3 dan ATC-40 (1996) pada Tabel 3.4. Berikut adalah kurva kapasitas tipikal penentuan performance level dari hasil kurva pushover pada Gambar 3.33.
93
Gambar 3.33 Typical Capacity Curve (ATC-40)
A. Performanced Point dengan perhitungan manual Dalam perhitungan performance point dan penentuan performanced level secara manual sesuai pada grafik di Gambar 3.32, performanced point merupakan perpotongan antara persamaan garis spektrum kapasitas dengan spectra demand. Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penentuan performance point pada umumnya membutuhkan suatu iterasi. Proses iterasi dilakukan untuk mendapatkan nilai Redaman β0 dan βeff, kemudian dilanjutkan pada perhitungan reduced of spectrum deman SRA dan SRV untuk mendapatkan nilai global drift ratio performance criteria. Redaman yang terjadi pada saat struktur dalam batas inelastis dapat dianggap sebagai kombinasi redaman viskous yang terdapat pada struktur dan redaman histeretik (hysteretic damping). Redaman histeretik ini berhubungan dengan area di dalam loops yang terbentuk pada saat gaya geser dasar diplot terhadap perpindahan struktur. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.34 berikut
94
Gambar 3.34. Penentuan Energy Dissipated dari redaman, Ed (ATC-40, 1996) Redaman viskous ekuivalen, βeq, yang berhubungan dengan perpindahan maksimum dpi dapat diperkirakan dengan persamaan berikut : βeq = β0 + 0,005
..........................................................................(3.65)
dimana : β0 = redaman histeretik yang direpresentasikan debagai redaman viskous ekuivalen. 0,005 = 5% redaman viskous yang terdapat dalam struktur. Selanjutnya β0 dapat dihitung sebagai : β0 =
63,7 (𝑎𝑦 𝑑𝑝𝑖 −𝑑𝑦 𝑎𝑝𝑖
..........................................................................(3.66)
𝑎𝑝𝑖 𝑑𝑝𝑖
Sehingga diperoleh : βeq = β0 + 5 =
63,7 (𝑎𝑦 𝑑𝑝𝑖 −𝑑𝑦 𝑎𝑝𝑖 𝑎𝑝𝑖 𝑑𝑝𝑖
+5
..............................................................(3.67)
Redaman viscous efektif, β eff, kemudian dirumuskan sebagai berikut : βeff = Kβ0 + 5 =
63,7 (𝑎𝑦 𝑑𝑝𝑖 −𝑑𝑦 𝑎𝑝𝑖 𝑎𝑝𝑖 𝑑𝑝𝑖
+5
..................................................(3.68)
dimana k merupakan faktor modifikasi redaman yang nilainya ditentukan sesuai dengan Tabel 8.1 ATC-40 (1996). Untuk menuju kearah spektrum inelastik maka dipakai konsep reduced spectrum demand untuk periode pendek SRA dan untuk periode panjang SRV. 95
Nilai-nilai tersebut akan dipengaruhi oleh global hysteretic energy βeff yang nilainilai selengkapnya adalah sebagai berikut. (Widodo, 2012) SRV
=
SRA
=
3,21−0,68.Ln(βeff)
..............................................................(3.69)
2.12 2,51−0,41.Ln(βeff)
..............................................................(3.70)
1,65
Tabel 3.15 Global drift ratio performance criteria (ATC 40) Performanced level Global drift
Immediate Occupancy
Damage Control
Live Savety
Yroof / H
0,01
0,01-0,02
0,02
Inelastic drift
0,005
0,005-0,015
No limit
B. Daktilitas Struktur Nilai daktilitas struktur dapat diperoleh dari kurva kapasitas yang dihasilkan dari analisis statik nonlinier (pushover) dengan terlebih dahulu menentukan simpangan pada saat kondisi ultimit (δu) dengan simpangan pada kondisi leleh pertama (δy). Nilai daktilitas struktur didefinisikan sebagaimana Persamaan 3.71 dan Gambar 3.35 berikut. 𝛿
µ = 𝛿𝑢 𝑦
......................................................................................(3.71)
dimana : 𝛿u = Perpindahan (displacement) lateral ultimit 𝛿y = Perpindahan lateral pada saat leleh
96
Gambar 3.35. Diagram beban-simpangan (diagram V-d) struktur gedung
Nilai daktilitas struktur tersebut kemudian digunakan untuk menentukan redaman (β) pada penentuan titik kinerja (performanced point) dalam metode spektrum kapasitas ATC-40 (1996). Dalam menentukan nilai redaman yang digunakan untuk penentuan tutuk kinerja telah didefinisikan secara grafis oleh NZNSEE (1996) seperti yang disajikan dalam Gambar 3.36 sebagai berikut.
Gambar 3.36. Grafik Hubungan daktilitas (µ) dengan redaman (β) (NZNSEE, 1996)
C. Faktor Reduksi Gempa Aktual (R) Menurut Aguirre (2004), faktor reduksi kekuatan memiliki dua komponen faktor yaitu faktor yang berkaitan dengan rasio daktilitas struktur dan faktor yang
97
berkaitan dengan kekuatan lebih struktur (overstrength). Faktor reduksi gempa aktual (R) dapat diperoleh dengan pendekatan melalui persamaan berikut. 𝑄𝑦
𝑄
𝑅𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 = 𝑄𝑒 . 𝑄 = 𝑅𝜇 . 𝛺 𝑦
𝑄
𝑆
𝑄𝑦
𝑅𝑐𝑜𝑑𝑒 = 𝑄𝑒 . 𝑄 . 𝑄 𝑦
𝑆
𝑄𝑆 𝑐𝑜𝑑𝑒
= 𝑅𝜇 . 𝛺. 𝛾
............................................................. (3.72)
............................................................. (3.73)
Dimana: Qe = gaya geser elastik struktur Qy = gaya geser pada titik leleh QS = gaya geser pada saat terjadi pelelhan pertama Rμ = daktilitas struktur 𝛺 = faktor reduksi karena overstrength 𝛾 = faktor reduksi dari pelelehan pertama ke code Secara teoritis nilai minimum faktor reduksi karena overstrength adalah perkalian faktor beban dan faktor bahan yang dipakai dalam perencanaan beban dan kuat terfaktor, yaitu 1,05 x 1,15 = 1,2. Namun dalam kenyataanya selalu terjadi kekuatan unsur-unsur struktur yang berlebihan, karena jumlah tulangan atau profil terpasang yang lebih besar daripada yang diperlukan, sehingga pada umumnya faktor reduksi karena overstrength > 1,2.
Gambar 3.37 Penentuan Faktor Reduksi Kekuatan (Aguirre, 2004)
98
D. Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356) Metode koefisien perpindahan merupakan metode dalam FEMA 356 yang digunakan untuk prosedur statik nonlinier. Penyelesaian dilakukan dengan memodifikasi C0, C1, C2, dan C3 sehingga diperoleh perpindahan global maksimum (elastis dan inelastis) yang disebut “target perpindahan” (δT). Proses dimulai dengan menetapkan waktu getar efektif (Te), yang memeperhitungkan kondisi inelastis bangunan.
Gambar 3.38 Skematik Prosedur Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356, 2000)
𝑇
2
𝑒 𝛿1 = 𝐶0 . 𝐶1 . 𝐶2 . 𝐶3 . 𝑆𝑎 . (2.𝜋 ) .𝑔
..............................................................(3.74)
Keterangan, Te
= waktu getar alamai efektif yang memperhitungkan kondisi inelastis
C0
= koefisien faktor bentuk, untuk mengubah perpindahan spektral menjadi perpindahan atap, umumnya memakai faktor partisipasi ragam yang pertama (first mode participation factor) atau berdasarkan Tabel 3-3 dari FEMA 356, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.15.
C1
= faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastik maksimum dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastik linier. = 1,0 untuk Te ≥ Ts 99
𝑇 [1+(𝑅−1) 𝑒 ] 𝑇𝑠
=
𝑅
, untuk Te < Ts
Tabel 3.16 Nilai untuk Faktor Modifikasi 𝐶01 (FEMA 356, 2000) Jumlah
Bangunan Geser
Bangunan
Tingkat
Lainnya Triangular Load
Uniform Load Pattern
Any Load
Pattern (1.2,1.2,1.3)
(2.1)
Pattern
1
1.0
1.0
1.0
2
1.2
1.15
1.2
3
1.2
1.2
1.3
5
1.2
1.2
1.4
10+
1.3
1.2
1.5
1. Interpolasi linier harus digunakan untuk menghitung nilai tengah-tengah. 2. Untuk seluruh lantai pada bangunan, interstory drift menurun dengan bertambahnya tingkat/lantai.
TS
= waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respons spektrum pada titik dimana terdapat transisi bagian akselerasi konstan ke bagian kecepatan konstan.
R
= rasi “kuat elastik perlu” terhadap “koefisien kuat leleh terhitung : R=
Sa
𝑆𝑎 𝑉𝑦 /𝑊
𝐶𝑚
............................................................... (3.75)
= akselerasi respons spektrum yang berkesesuaian dengan waktu getar alami efektif pada arah yang ditinjau
Vy
= gaya gser pada saat leleh, dari idealisasi kurva pushover menjadi bilinier
W
= total beban mati dan beban hidup yang dapat direduksi
Cm
= faktor massa efektif yang diambil dari Tabel 3-1 dari FEMA 456, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3.15
C2
= koefisien untuk memperhitungkan efek “pinching” dari hubungan beban deformasi akibat degradasi kekakuan dan kekuatan, berdasarkan Tabel 3-3 dari FEMA 356 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.16 100
1 Tabel 3.17 Nilai untuk Faktor Massa Efektif 𝐶𝑚 (FEMA 356, 2000)
Number Concrete Concrete Concrete of story
Moment
Shear
Pier-
Frame
Wall
Sprandel
Steel
Steel
Steel
Other
Moment Concentric Eccentric Frame
Braced
Braced
Frame
Frame
1-2
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
3 or
0.9
0.8
0.8
0.9
0.9
0.9
1.0
more Cm harus diambil sebesar 1.0 jika waktu getar alami (T) lebih besar dari 1.0 detik
Tabel 3.18 Nilai Faktor Modifikasi C2 (FEMA 356, 2000) T ≤ 0.1 detik3
Level Kinerja
T ≥ Ts detik3
Tipe
Tipe
Tipe
Tipe
Rangka 11
Rangka 22
Rangka 11
Rangka 22
Immediate Occupancy
1.0
1.0
1.0
1.0
Life Safety
1.3
1.0
1.1
1.0
Collapse Prevention
1.5
1.0
1.2
1.0
Struktur
1. Struktur dengan lebih dari 30% pada geser tingkat disetiap level ditahan oleh beberapa kombinasi antara komponen, elemen atau rangka. 2. Semua rangka yang tidak termasuk Tipe Rangka 1. 3. Interpolasi linier harus digunakan untuk nilai Tengah T.
C3
= koefisien untuk memperhitungkan pembesaran lateral akibat adanya efek P-∆. Koefisien diperoleh secara empiris dari studi statistik analisa riwayat waktu non-linier dari SDOF dan diambil berdasarkan pertimbangan engineering judgement, dimana perilaku hubungan gaya geser dasar – lendutan pada kondisi pasca leleh kekakukannya positif (kurva meningkat) maka C3 = 1, sedangkan jika perilaku pasca lelehnya negatif (kurva menurun) maka 𝐶3 = 1.0 +
|𝛼|(𝑅−1)3/2 𝑇𝑒
................................................. (3.76)
101
α
= rasio kekakuan pasca leleh terhadap kekakuan elastik efektif, dimana hubungan gaya lendutan diidealisasikan sebagai kurva bilinier
g
= percepatan gravitasi 9,81 m/det2
Gambar 3.39 Perilaku Pasca Leleh Sistem Struktur (FEMA 356, 2000) E. Kriteria Penerimaan Komponen pada Prosedur Analisis Nonlinier Kriteria penerimaan komponen yang digunakan oleh FEMA 356 (2000) untuk prosedur non linier dan deformation controlled adalah deformasi pada titiktitik yang terdapat dalam alternatif kurva hubungan gaya (Q) dan deformasi (∆). Kurva tersebut diperoleh dari backbone curve dari data pengujian. Kriteria penerimaan untuk komponen primer adalah sebagai berikut. a.
Immediate Occupancy, adalah deformasi pada bagian yang permanen, yatu kerusakan yang tampak pada saat pengujian (experiments) tetapi tidak lebih besar dari 0,67 kali batas deformasi untuk Life Safety.
b.
Life Safety : 0,75 kali deformasi pada titik C dalam kurva.
c.
Collapse Prevention : deformasi pada titik C dalam kurva, tetapi tidak lebih besar dari 0,75 kali deformasi pada titik E. Kriteria penerimaan untuk komponen sekunder adalah sebagai berikut.
a.
Immediate Occupancy : penentunya sama dengan yang terdapat pada komponen primer.
b.
Life Safety : 75% dari deformasi pada titik E.
c.
Collapse Prevention : 100% dari deformasi pada titik C dalam kurva. Hubungan antara beban dan deformasi hasil analisis menggunakan pushover
terlihat pada Gambar 3.40.
102
Gambar 3.40 Hubungan Beban-Deformasi dan Kriteria Batas Penerimaan Deformasi pada Komponen (FEMA 356, 2000)
F. Waktu Getar Alami Efektif Struktur (Te) Waktu getar alami efektif struktur diperhitungkan pada saat struktur dalam kondisi in-elastis pada saat gempa maksimum. Waktu getar alami efektif struktur (Te) dapat diperoleh dengan bantuan kurva hasil analisa pushover. Kurva pushover diubah menjadi kurva bilinier untuk mengestimasi kekakuan lateral efektif bangunan (Ke) dan kuat leleh bangunan (Vy). Kekakuan lateral efektif dapat diambil dari kekakuan secant yang dihitung dari gaya geser dasar sebesar 60% dari kuat leleh. Karena kuat leleh diperoleh dari titik potong kekakuan lateral efektif pada kondisi elastis (Ke) dan kondisi inelastis (αKe), maka prosesnya dilakukan secara trial-error. Selanjutnya waktu getar alami efektif, Te dihitung sebagai: 𝐾𝑖
𝑇𝑒 = 𝑇𝑖 √
𝐾𝑒
......................................................................................(3.77)
Keterangan ; 𝑇𝑖
= periode alami awal elastis detik) pada arah yang ditinjau
𝐾𝑖
= kekakuan awal bangunan pada arah yang ditinjau
103
Gambar 3.41 Parameter Waktu Getar Fundamental Efektif dari Kurva Pushover (FEMA 356)
3.10
SENDI PLASTIS Apabila suatu elemen struktur sederhana dikenai sebuah gaya atau banyak
gaya, maka pada suatu tampang yang ditinjau akan terjadi tegangan-tegangan. Jika gaya-gaya yang dikenai ditingkatkan, maka tegangan-tegangan yang terjadi pada tampang juga akan meningkat. Pada suatu saat, gaya-gaya yang didukung sudah tidak dapat ditingkatkan lagi jika pada seluruh tampang telah tercapai tegangan lelehnya. Pada keadaan demikian, tampang akan terdefleksi atau berotasi terus (plastic flow) pada gaya yang konstan. Daerah dimana tampang sudah tidak mampu lagi menahan kenaikan gaya yang lebih besar disebut sendi plastis (plastic hinges) (Satyarno, 2012) Sendi plastis dapat terjadi pada suatu struktur portal berderajat kebebasan banyak MDOF (Multi Degree of Freedom). Ketika suatu gedung dilanda gempa yang cukup besar, akan timbul momen-momen pada balok atau kolomnya. Apabila besar dari momen-momen tersebut melampaui besar momen kapasitas balok atau kolom portal, maka terjadi sendi plastis pada balok atau kolom ditandai dengan melelehnya tulangan baja. Sendi plastis terjadi secara bertahap sampai bangunan gedung tersebut runtuh. (Ulfah ,2011).
104
Gambar 3.42 Kemungkinan pola terbentuknya sendi plastis ,Widodo (2007) dalam Ulfah (2011).
Ada dua kemungkinan pola terbentuknya sendi plastis, yaitu: a.
Sendi-plastis terjadi pada balok. Pola ini tidak begitu bahaya karena tidak ada efek P- (sangat kecil), sehingga diperlukan banyak sendi-plastis untuk mencapai taraf keruntuhan bangunan.
b.
Sendi-plastis terjadi pada kolom. Bila pola ini terjadi maka keadaan menjadi bahaya karena ada efek P- . Pada penelitian tesis ini, analisis momen plastis tampang sebagai input
data hinge properties dilakukan secara auto pada Program SAP2000. Pemodelan sendi digunakan untuk mendefinisikan perilaku non linier forcedisplacement dan atau momen rotasi yang dapat ditempatkan pada beberapa tempat berbeda sepanjang bentang balok atau kolom pemodelan sendi adalah rigid dan tidak memiliki efek prilaku linier pada member. Pada penelitian tesis ini, analisis momen plastis tampang sebagai input data hinge properties dilakukan secara auto atau default pada program SAP2000. Dalam analisa elemen kolom menggunakan tipe sendi default –PMM dengan mempertimbangkan kolom mendapat gaya aksial dan momen, sedangkan balok tipe sendi default M3 dengan mempertimbangkan balok menahan momen pada sumbu kuat (Gambar 3.43). Nlai yag tertera pada kriteria penerimaan untuk Immediate Occupancy, Life Safety, serta Collapse Prevention, merupakan nilai yang diambil berdasarkan FEMA 356 (2000).
105
Gambar 3.43 Default Sendi Plastis M3 dan P-MM
3.10.1 Prediksi Plastifikasi pada struktur Berdasarkan titik kinerja (performance point) yang diperoleh dari analisis pushover, maka dapat diketahui pada langkah (step) pushover keberapa titik kinerja tersebut dicapai dan jumlah elemen struktur yang telah mengalami kerusakan. Pada kondisi tertentu, analisis pushover akan berhenti dan tidak bisa dilanjutkan. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh ketidak-stabilan dari adanya sendi plastis yang terbentuk, meskipun demikian karena perpindahan pada kondisi fail (δfail) > 150% δt maka dianggap perilakunya masih dapat diterima. Posisi elemen-elemen yang telah mengalami plastifikasi yaitu sebagai indikator elemen telah mengalami kerusakan dapat dilihat pada Program SAP2000 melalui menu Display – Show Deformed Shape. Dari hasil display tersebut terlihat letak sendi plastis yang terjadi dari pembebanan pushover baik arah-X maupun arah-Y. Terdapat warna pada sendi plastis menunjukan secara grafis posisi dan tingkat kerusakan yang terjadi pada sendi plastis. Posisi elemen struktur yang mengalami kerusakan (sendi plastis) pada saat titik kinerja tercapai dapat terlihat dengan indikator warna tertentu.
106