LAPORAN PRAKTIKUM INSTRUMENTASI ANALITIK ANALISIS KUALITATIF MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS (GLC) (Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Prak. Instrumentasi Analitik)
NAMA PEMBIMBING NAMA MAHASISWA
: Dra. Endang Widiastuti, M.Si : Astri Fera Kusumah (131411004) (131411004) Desi Supiyanti (131411005) Fajar M. Ramadhan (131411006) Fitra Firmansyah H. (131411008) TANGGAL PRAKTIKUM : 12 Juni 2014 TANGGAL PENYERAHAN : 18 Juni 2014
PROGRAM STUDI DIII - TEKNIK KIMIA JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2014
I.
II.
Tujuan Praktikum Secara khusus mahasiswa diharapkan mampu :
Memilih jenis kolom yang akan digunakan untuk analisis kualitatif yang sesuai dengan jenis larutan baku dengan cuplikan
Menyalakan GC dan detector FID dengan tepat dengan benar sesuai SOP
Mengatur suhu kolom / oven, injector, dan detector pada GC
Mengatur parameter – parameter pada integrator yang dihubungkan ke GLC/GC
Menyuntikan larutan baku / standard an cuplikan secara tepat dan benar
Mengamati pengaruh suhu terhadap RT dan pemisahan
Membandingkan RT dari larutan baku dan cuplikan
Mengidentifikasi ada tidaknya alcohol dalam sampel
Dasar Teori Pengertian Kromatografi Gas Kromatografi Gas adalah metode kromatografi pertama yang dikembangkan pada jaman instrument dan elektronika yang telah merevolusikan keilmuan selama lebih dari 30 tahun. Sekarang GC dipakai secara rutin di sebagian besar laboratorium industri dan perguruan tinggi. GC dapat dipakai untuk setiap campuran yang komponennya atau akan lebih baik lagi jika semua komponennya mempunyai tekanan uap yang berarti pada suhu yang dipakai untuk pemisahan. Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya. Ada beberapa kelebihan kromatografi gas, diantaranya kita dapat menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi pemisahan yang tinggi. Gas dan uap mempunyai viskositas yang rendah, demikian juga kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat, sehingga analisis relatif cepat dan sensitifitasnya tinggi. Fase gas dibandingkan sebagian besar fase cair tidak bersifat reaktif terhadap fase diam dan zat-zat terlarut. Kelemahannya adalah teknik ini terbatas untuk zat yang mudah menguap. Proses kromatografi dalam alat GC dimulai dengan menyuntikkan sample ke dalam kolom. Mula-mula komponen-komponen di dalam kolom diuapkan, kemudian dielusi oleh gas pembawa untuk melalui kolom. Perbedaan laju migrasi masing-masing komponen dalam kolom disebabkan oleh perbedaan titik didih dan interaksi masingmasing komponen dengan fasa stasioner. Pendeteksian saat keluar dari kolom
dilakukan berdasarkan perubahan sifat fisika aliran gas yang disebabkan adanya komponen yang dikandungnya. Sifat fisika tersebut, misalnya daya hantar panas, absorpsi radiasi elektromagnetik, indeks refraksi, derajat terinduksi ion, dsb. Untuk analisa kualitatif, komponen-komponen yang terelusi dikenali dari nilai waktu retensi, TR. TR analit dibandingkan dengan TR standar pada kondisi operasi alat yang sama. Sedangkan untuk analisa kuantitatif, penentuan kadar atau jumlah analit dilakukan dengan membandingkan luas puncak analit dengan luas puncak standar. Efisiensi kolom ditentukan berdasarkan jumlah pelat teori (N) dalam kolom, melalui persamaan : N = 16 x (TR / WB)2 , dengan TR = waktu retensi dan WB = lebar dasar puncak.
a. Komponen-Komponen Kromatografi Gas
1. Gas Pembawa Gas
pembawa
harus
bersifat
inert
artinya
gas
ini
tidak
bereaksi
dengancuplikan ataupun fasa diamnya. Gas ini disimpan dalam silinder baja bertekanan
tinggi
sehingga
gas
ini
akan
mengalir
cepat
dengan
sendirinya.Karena aliran gas yang cepat inilah maka pemisahan dengan kromatografi gas berlangsung hanya dalam beberapa menit saja.Gas pembawa yang biasa digunakan adalah gas argon, helium,hidrogen dan nitrogen. Gas nitrogen memerlukan kecepatan alir yang lambat(10 cm/detik) untuk mencapai efisiensi yang optimum dengan HETP (HighEficiency Theoretical Plate) minimum. Sementara hidrogen dan helium dapatdialirkan lebih cepat untuk mencapai efisiensi optimumnya, 35 cm/detik untuk gas hidrogen dan 25 cm/detik untuk helium. Dengan kenaikan laju alir, kinerjahidrogen berkurang sedikir demi sedikit sedangkan kinerja nitrogen berkurangsecara drastis. Semakin cepat solut berkesetimbangan di antara fas a diam dan fasagerak maka semakin kecil pula faktor transfer massa. Difusi solut yang cepatmembantu mempercepat kesetimbangan di antara dua fasa tersebut, sehinggaefisiensinya meningkat (HETP nya menurun). Pada kecepatan alir tinggi, solut berdifusi lebih cepat melalui hidrogen dan helium daripada melalui nitrogen.Hal inilah yang menyebabkan hidrogen dan helium memberikan resolusi yanglebih baik daripada nitrogen. Hidrogen memiliki efisiensi yang relatif stabildengan adanya perubahan kecepatan alir. Namun, hidrogen mudah meledak jika terjadi kontrak dengan udara. Biasanya, helium banyak digunakan sebagai penggantinya.Kotoran yang terdapat dalam carrier gas dapat bereaksi dengan fasadiam. Oleh karena itu, gas
yang digunakan sebagai gas pembawa yang relatif kecil sehingga tidak akan merusak kolom. Biasanya terdapat saringan( molecular saeive ) untuk menghilangkan kotoran yang berupa air danhidrokarbon dalam gas pembawa . Pemilihan gas pembawa biasanyadisesuaikan dengan jenis detektor. 2. Sistem Injeksi Sampel Sampel dapat berupa gas atau cairan dengan syarat sampel harusmudah menguap saat diinjeksikan dan stabil pada suhu operasional (50°-300°C). Injektor berada dalam oven yang temperaturnya dapat dikontrol. Suhuinjektor biasanya 50° C di atas titik didih cuplikan. Jumlah cuplikan yangdiinjeksikan sekitar 5 µL. Tempat pemasukkan cuplikan cair pada kolom pak biasanya terbuat dari tabung gelas di dalam blok logam panas. Injeksi sampelmenggunakan semprit kecil. Jarum semprit menembus lempengan karet tebaldisebut septum yang mana akan mengubah
bentuknya
kembali
secara
otomatisketika
semprit
ditarik
keluar.(www.chem-is-try.org)Untuk cuplikan berupa gas dapat dimasukkan dengan menggunakanalat suntik gas ( gas-tight syringe ) atau kran gas ( gassampling valve).Alat pemasukan cuplikan untuk kolom terbuka dikelompokkan kedalam
dua kategori
yaitu injeksi
split
( split
injection)
dan injeksi
splitless( splitless injection). Injeksi split dimaksudkan untuk mengurangi volume 3. Oven Digunakan untuk memanaskan column pada temperature tertentu sehingga mempermudah proses pemisahan komponen sample. 4. Column Berisi stationary phase dimana mobile phase akan lewat didalamnya sambil membawa sample. Secara umum terdapat 2 jenis column, yaitu: a. Packed column, umumnya terbuat dari glass atau stainless steel coil dengan panjang 1 – 5 m dan diameter kira-kira 5 mm. b. Capillary column, umumnya terbuat dari purified silicate glass dengan panjang 10-100 m dan diameter kira-kira 250 mm. Beberapa jenis stationary phase
yang
sering
digunakan:
a)
Polysiloxanes
untuk
nonpolar
analytes/sample. b) Polyethylene glycol untuk polar analytes/sample. c) Inorganic atau polymer packing untuk sample bersifat small gaseous species. 5. Detector, berfungsi mendeteksi adanya komponen yang keluar dari column.
b. Aplikasi Kromatografi Gas
1. Analisis kualitatif Tujuan utama kromatografi adalah memisahkan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu campuran. Dengan demikian, jumlah puncak yang terdapat dalam kromatogram menunjukkan jumlah komponen yang terdapat dalam suatu campuran. Selain digunakan untuk keperluan pemisahan, kromatografi juga sering kali digunakan dalam analisis kualitatif senyawasenyawa yang mudah menguap. Misalnya, analisi komponen pestisida yang dipisahkan dengan kolom (panjang 1,5m dan diameter 6mm) yang berisi fasa diam 1,5% OV-17 dan dideteksi dengan detetktor ECD. Dari hasil pengukuran diperoleh kromatogram sebagai berikut: Berdasarkan kromatogram pada gambar 2 diatas, maka kita dapat mengidentifikasi setiap komponen yang menghasilkan puncak. Dari hasil analisis kualitatif, komponen-komponen yang menghasilkan puncuk A, B, C, D dan E berturut-turut adalah Aldrin, heptaklor, aldrin, dieldrin, dan DDT. Untuk mengidentifikasi tiap peak dalam kromatogram dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain: a.
Membandingkan waktu retensi analit dengan waktu retensi standar. Waktu retensi standar diperoleh melalui pengukuran senyawa yang diketahui pada
kondisi pengukuran
yang sama
dengan
sampel.
Misalnya,
menentukan untuk menentukan waktu retensi eldrin saja, atau DDT saja, kemudian dibandingkan dengan waktu retensi yang dihasilkan oleh sampel. Bila kedua waktu retensi tersebut sesuai, maka kita dapat mengidentifikasi puncak pada kromatogram. b.
Melakukan ko-kromatografi, yaitu dengan cara menambahkan larutan standar kepada cuplikan untuk kemudian diukur dengan menggunakan kromatografi gas. Bila luas area salah satu peak bertambah, maka dapat dipastikan bahwa analit tersebut identik dengan standar.
c.
Menghubungkan GC dengan detektor spektrometer massa atau IR. Dengan menghubungkan GC dengan spektra dari setiap peak dapat direkam secara menyeluruh.
d.
Setiap komponen yang telah keluar dari kolom kemudian dikondensasikan dan selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan
spektrometri NMR. Cara ini dapat dilakukan apabila detektor yang digunakan pada GC tidak bersifat dekstruktif, misalnya TCD.
2. Analisis kuantitatif Kromatografi gas juga dapat digunakan untuk keperluan analisis kuantitatif, yang didasarkan pada dua pendekatan, yaitu luas area dan tinggi puncak pada kromatogram. Pendekatan tinggi peak kromatogram dilakukan dengan cara membuat base line pada suatu peak dan mengukur tinggi garis tegak lurus yang menghubungkan
base line dengan peak. Pendekatan ini
berlaku jika lebar peak larutan standar dan analit tidak berbeda. Pendekatan luas area peak memperhitungkan lebar peak sehingga perbedaan lebar peak antara standar dengan analit tidak lagi menjadi masalah. Biasanya, kromatografi gas modern telah dilengkapi dengan piranti untuk menghitung luas area peak secara otomatis. Secara manual, luas area peak dihitung dengan menggambarkan segitiga pada peak tersebut, kemudian luas segitiga dihitung. Analisis kuantitatif dengan kedua pendekatan tersebut masih sangat kasar, sehingga diperlukan koreksi terhadap hubungan anatar luas/ tinggi area puncak dengan jumlah analit yang menghasilkan puncak tersebut, yang biasanya dinyatakan sebagai faktor respon detektor. Faktor respon detektor berhubungan dengan kemampuan detektor untuk mendeteksi setiap komponen yang terelusi dari kolom. III.
Alat dan Bahan Tabel 1. Alat yang digunakan Alat GC tipe HP 5890 A Integrator HP 3390 A Alat suntikan Bubble flow meter Gelas Kimia
Spesifikasi
Tabel 2. Bahan yang digunakan Bahan Etanol pa Butanol pa Propanol pa Campuran (etanol pa + butanol pa + propanol pa) Gas N2, H2, dan udara tekan
1µL 50 mL
Jumlah 1 1 1 1 2
Jumlah 5 mL 5 mL 5 mL 5 mL
IV.
Langkah Kerja 1. Menyalakan GC dan detector FID
Alat GC dihubungkan dengan sumber listrik
GC dinyalakan berlawanan arah jarum jam. Tekanan di atur
Pada GC buka tombol gas pembawa pilih injector A / B
Pilih Inj A/B dan Detektor A/B
Bubble flowmeter pada detektor dipasang
Tekan tombol detector A / B tekan „on‟
Buka tabung udara tekan dan hidrogen
Buka tombol air , pilih det A / B
Diuji ada tidaknya uap air, jika ada berarti GC sudah menyala.
Pada GC tekan tombol IGN FID sambil memutar tombol H2 secara perlahan sampai terdengar letupan pada detektor
Atur suhu oven temp on1(60), det temp A/B 100 enter Injektor temp A/B 100 enter
2. Menyalakan Integrator
Integrator dinyalakan
Tekan OP(): 1 Enter (masukkan tanggal dan waktu)
Tekan List dua kali
Tekan zero: 5 enter
Tombol gas N2 di buka berlawanan arah jarum jam
3. Pengaruh Isoterm Atur suhu kolom INT Temp (100),Rate (0),Final Temp(100)
Bila lampu not ready tidak menyala suntikan ethanol sebanyak 1 L di tempat injektor
Pada saat mentuntikkan tekan tombol START pada GC dan integrator
Setelah diperoleh khromatogramnya tekan tombol STOP pada GC dan integrator
Ulangi langkah diatas untuk propanol dan sampel
4. Pengaruh suhu kolom terhadap RT dan pemisahan campuran Atur suhu kolom INT Temp (60),Rate (5),Final Temp(100)
Bila lampu not ready tidak menyala suntikan ethanol sebanyak 1 L di tempat injektor
Pada saat mentuntikkan tekan tombol START pada GC dan integrator
Setelah diperoleh khromatogramnya tekan tombol STOP pada GC dan integrator
Ulangi langkah diatas untuk propanol dan sampel
V.
Data Pengamatan Kondisi Percobaan
Jenis Kolom
ORD NR 48122-6 Packing 38 OV-17 on chrom WHP 80-100 Mesh Batch 7057-2 Tmax 350o REM JV Chrompack
Jenis detector : FID (Flame Ionization Detector) dengan kolom A yang digunakan.
Jenis Gas Pembawa : Gas Nitrogen
Program Suhu yang digunakan : Suhu Isotherm, Suhu terprogram
Suhu Kolom
: 60
Suhu Detektor
: 100
Suhu Oven
: 60
Suhu Injector
: 100
Kecepatan gas
:
Prograg Isotherm
INT Temp
: 100
FINAL Temp
: 100
Rate
:0
Program Suhu
INT Temp
: 60
Suhu Akhir
: 100
Rate
:5
= 14,9 ml/menit
a. Pengaruh suhu kolom Isoterm RT
Senyawa Etanol Butanol Propanol Campuran
VI.
1.93 2.40 (pengotor) 2.89 2.21 2.04 2.29 2.81
Suhu program RT 3.24 (ATT 4) 3.96 -
Pembahasan
Astri Fera Kusumah (131411004)
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan kromatografi gas dan analisis secara kualitatif. Dengan kromatografi gas dapat ditentukan komponen organic suatu senyawa yang mudah menguap. Kromatografi gas juga dapat digunakan untuk memisahkan komponen-komponen organic yang terdapat dalam suatu sampel. Seluruh bentuk kromatografi terdiri dari fase diam dan fase gerak. Untuk mengidentifikasi tiap peak dalam kromatogram dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain: a.
Membandingkan waktu retensi analit dengan waktu retensi standar.
Waktu retensi standar diperoleh melalui pengukuran senyawa yang diketahui pada kondisi pengukuran yang sama dengan sampel. Misalnya, menentukan untuk menentukan waktu retensi eldrin saja, atau DDT saja, kemudian dibandingkan dengan waktu retensi yang dihasilkan oleh sampel. Bila kedua waktu retensi tersebut sesuai, maka kita dapat mengidentifikasi puncak pada kromatogram. b.
Melakukan ko-kromatografi, yaitu dengan cara menambahkan larutan
standar kepada cuplikan untuk kemudian diukur dengan menggunakan kromatografi gas. Bila luas area salah satu peak bertambah, maka dapat dipastikan bahwa analit tersebut identik dengan standar. c.
Menghubungkan GC dengan detektor spektrometer massa atau IR.
Dengan menghubungkan GC dengan spektra dari setiap peak dapat direkam secara menyeluruh.
d.
Setiap
komponen
yang
telah
keluar
dari
kolom
kemudian
dikondensasikan dan selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan spektrometri NMR. Cara ini dapat dilakukan apabila detektor yang digunakan pada GC tidak bersifat dekstruktif, misalnya TCD. Pada percobaan ini, gas pembawa yang digunakan adalah nitrogen (N 2). Nitrogen berfungsi membawa komponen-komponen sepanjang kolom hingga mencapai detector dan bersifat inert (tidak bereaksi dengan senyawa lain). Selain itu digunakan udara tekan (O 2) dan H2 karena reaksi antara oksigen dan hydrogen akan menghasilkan reaksi pembakaran dan menghasilkan energi
ionisasi untuk
mengaktifkan detector. Sebelum menggunakan alat kromatografigas, kondisi alat diatur terutama temperature kolom, laju alir gas pembawa, detector, besar arus yang melalui detector, dan kecepatan kertas detector. Laju alir gas ditentukan dengan cara memasangkan bubble flow meter pada detektor, dan berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka diperoleh laju alir gas yaitu 0,16 ml/detik. Metode suhu yang digunakan adalah suhu terprogram karena metode ini jauh lebih baik dibandungkan metode suhu isotherm sehingga menghasilkan nilai yang jauh lebih teliti dan akurat karena pada isotherm memungkinkan puncak yang terbentuk pada kromatogram akan tumpang tindih sehingga uslit diidentifikasi. Detector yang digunakan adalah detector FID (Flame Ionization Detector) yang sensitivitasnya cukup tinggi. Suhu injektor diset pada suhu 75°C, detektor pada suhu 75°C dan kolom diset suhu awalnya sebesar 75°C hingga suhu mencapai 150°C. Hal ini bertujuan agar semua komponen berubah menjadi gas dan keluar meninggalkan kolom. Sehingga tidak ada komponen yang masih berupa cairan dan tertinggal di dalam kolom. Cairan yang tertinggal dalam kolom akan mengotori kolom dan mempengaruhi hasil analisis. Perdasarkan hasil identifikasi dan hasil cetak dari integrator diperoleh waktu retensi larutan standar sebagai berikut : No
Larutan
Retention Time (RT)
Retention Time (RT)
Percobaan 1
Percobaan 2
1.
Etanol p.a
1,34
1,33
2.
Propanol p.a
1,52
1,50
3.
Butanol p.a
1,82
1,88
Untuk menentukan analisis kualitatif suatu sampel pada percobaan ini, dilakukan dengan membandingkan waktu retensi dari sampel dengan larutan baku. Dilihat dari gambar pucak sampel. 2 puncak yang dimiliki oleh sampel identik dengan waktu retensi dari ethanol dan butanol sehingga dapat dinyatakan sampel mengandung ethanol dan butanol dengan retention time pada percobaan 1 adalah 1,35 dan 1,85, sedangkan pada percobaan 2 adalah 1,36 dan 1,86. Serta % area yang diperoleh pada percobaan 1 adalah 45,543% dan 54,457 %, sedangkan pada percobaan 2 adalah 43,559 % dan 53,441 %.
Desi Supiyanti (131411005)
Fajar M. Ramadhan (131411006)
Pada percobaan ini digunakan alat GC untuk melakukan analisa kualitatif terhadap larutan sampel yang diinjeksikan. Alat GC dapat memisahkan komponen komponen dalam larutan cuplikan berdasarkan pada kecepatan perpindahan gas dalam kolom hingga sampai pada detektor FID. Perbedaan kecepatan perpindahan gas ini terjadi akibat perbedaan interaksi antara masing masing komponen pada fasa diam dan fasa geraknya. Fasa diam merupakan fasa cairan yang melekat pada dinding zat pendukung ( adsorben ), sedangkan fasa gerak merupakan fasa gas. Fasa gas ini yang membawa komponen menuju detektor sehingga fasa gas ini disebut juga gas pembawa. Gas pembawa yang dipakai merupakan gas Nitrogen. Pada prosesnya, komponen akan diinjeksikan pada alat GC dengan menggunakan alat suntik. Pada dasarnya, komponen yang akan diinjeksikan harus dalam kondisi : 1. Mudah menguap saat diinjeksikan 2. Stabil pada suhu pengujian ( 50 0C – 300 0C ) 3. Tidak mengalami penguraian atau pembentukan menjadi senyawa lain. saat komponen diinjeksikan pada alat GC, komponen akan memasuki fasa cair dan kemudian menguap menjadi gas dan terbawa oleh gas Nitrogen menuju detektor FID. Detektor FID ini berfungsi untuk menguraikan molekul organik dan menghasilkan ion ion dan menghimun ion-ion tersebut dalam collector plate dan menghasilkan sinyal elektrik. Sinyal elektrik tersebut akan masuk kedalam recorder dan diterima oleh integrator yang kemudian dicatat keatas kertas. Pertama-tama dilakukan percobaan dalam kondisi isotherm. Pada percobaan ini dilakukan kalibrasi dengan cara menginjeksikan masing masing komponen kedalam injektor sampai dihasilkan puncak kurvanya dalam kertas yang dikeluarkan oleh integrator. Komponen untuk kalibrasi yang digunakan adalah Ethanol, Propanol dan Buthanol. Setelah dilakukan kalibrasi, kemudian sampel diinjeksikan kedalam GC.
Ketika sampel diinjeksikan pada GC, pada integrator akan muncul 3 macam puncak. Puncak puncak tersebut akan dikalibrasikan pada komponen kalibrasi sehingga dapat diketahui komponen apa saja yang ada dalam sampel. Berikut data retention time yang telah didapatkan. Senyawa Etanol Butanol Propanol Campuran
Isoterm RT 1.93 2.40 (pengotor) 2.89 2.21 2.04 ( Ethanol ) 2.29 ( Propanol ) 2.81 ( Butanol )
Suhu program RT 3.24 3.96 -
Terdapat berbagai masalah teknis yang terjadi pada percobaan kali ini. Diantaranya adalah kondisi tangki udaratekan yang kosong sehingga mengganggu detektor FID untuk melakukan ionisasi komponen yang telah diinjeksikan. Ketidaktersedianya gas udara tekan ini mengganggu proses pembakaran pada FID sehingga gas yang diinjeksikan tidak dapat terionisasi dengan sempurna. Sehingga retention time tidak muncul dalam kertas integrator.
Fitra Firmansyah H. (131411008) VII. Kesimpulan VIII. Daftar Pustaka - Jobsheet Laporan Praktikum Kimia Analitik Instrumen, POLBAN
-
Clark, Jim. 2007. Kromatografi Gas Cair . http://www.chem-istry. Kok, Tjie. 1997. “Khromatografi Gas Teori dan Instrumen”, vol 15, pp 1 -6. Mei. Kristal. - Widiastuti, E. 2000. “Petunjuk Praktikum Analaitik Instrumen”. Diktat praktikum, bab Khromatografi Gas. Teknik Kimia, Polban.