LAPORAN PRAKTIKUM ANALITIK INSTRUMEN KROMATOGRAFI KROMATOGRAFI GAS (GC)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Analitik Instrumen
Oleh Kelompok 6
Rizwan Firzatulloh
(131411049)
Shafira Damayanti
(131411051)
Sidna Kosim Amrulah
(131411052)
Kelas 1B
PROGRAM DIPLOMA III TEKNIK KIMIA JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2014
KROMATOGRAFI GAS (GC) A. Latar Belakang
Analisis kuantitatif kromatografi gas adalah menentukan konsentrasi yang tepat dari komponen atau senyawa suatu cuplikan. Dalam analisis kuantitatif yang harus diperhatikan adalah luas puncak kromatogram dari setiap komponen yang akan dianalisis karena luas kromatogram ini berbanding lurus dengan konsentrasi komponen. Penggunaan kromatografi gas secara kuantitatif sudah umum digunakan di berbagai bidang. Di dalam analisis kuantitatif diperlukan larutan standar yang konsentrasinya diketahui dengan tepat dan dapat bercampur dengan cuplikan yang akan dianalisis. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk analisis kuantitatif yaitu % luas (% area), normalisasi (NORM), internal standard (ISTD), dan ekster nal standard (ESTD).
B. Tujuan Praktikum
1. Memilih jenis kolom yang akan digunakan untuk analisis kualitataif yang sesuai dengan jenis larutan baku dan cuplikan 2. Menyalakan GC dan detector FID dengan tepat dan benar sesuai SOP 3. Mengatur suhu kolom/oven, injector dan detector pada GC 4. Mengatur parameter-parameter pada integrator yang dihubungkan dihubungkan ke GC 5. Memilih program suhu yang tepat, suhu isotherm atau suhu terprogram untuk digunakan dalam analisa kuantitatif 6. Menyuntikan larutan baku/standard dan cuplikan secara tepat dan benar 7. Mengamati pengaruh suhu terhadap RT dan pemisahan 8. Membandingkan RT dari larutan baku dan cuplikan 9. Melakukan analisis kuantitatif suatu cuplikan dengan tepat
C. Dasar Teori
GC ( Gas Chromatography ) yang biasa disebut juga Kromatografi gas (KG) merupakan teknik instrumental yang dikenalkan pertama kali pada tahun 1950-an. GC merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa organik yang mudah menguap dan senyawa-senyawa gas anorganik dalam suatu campuran Perkembangan teknologi yang signifikan dalam bidang elektronik, komputer, dan kolom telah menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah serta identifikasi senyawa menjadi lebih akurat melalui teknik analisis dengan resolusi yang
meningkat. GC menggunakan gas sebagai gas pembawa/fase geraknya. Ada 2 jenis kromatografi gas, yaitu : 1. Kromatografi gas – cair (KGC) yang fase diamnya berupa cairan yang diikatkan pada suatu pendukung sehingga solut akan terlarut dalam fase diam. 2. Kromatografi gas-padat (KGP), yang fase diamnya berupa padatan dan kadang-kadang berupa polimerik SISTEM PERALATAN KROMATOGRAFI GAS (GC)
1. Kontrol dan penyedia gas pembawa 2. Ruang suntik sampel 3. Kolom yang diletakkan dalam oven yang dikontrol secara termostatik 4. Sistem deteksi dan pencatat (detektor dan recorder) 5. Komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah data.
1. Fase gerak Fase gerak pada GC juga disebut dengan gas pembawa karena tujuan awalnya adalah untuk membawa solut ke kolom, karenanya gas pembawa tidak berpengaruh pada selektifitas. Syarat gas pembawa adalah: tidak reaktif; murni/kering karena kalau tidak murni akan berpengaruh pada detektor; dan dapat disimpan dalam tangki tekanan tinggi
(biasanya
merah
untuk
hidrogen,
dan
abu-abu
untuk
nitrogen).
2. Ruang suntik sampel Lubang injeksi didesain untuk memasukkan sampel secara cepat dan efisien. Desain yang populer terdiri atas saluran gelas yang kecil atau tabung logam yang dilengkapi dengan septum karet pada satu ujung untuk mengakomodasi injeksi dengan semprit (syringe). Karena helium (gas pembawa) mengalir melalui tabung, sejumlah volume cairan yang diinjeksikan (biasanya antara 0,1-3,0 μL) akan segera diuapkan untuk selanjutnya di bawa menuju kolom. Berbagai macam ukuran semprit saat ini tersedia di pasaran sehingga injeksi dapat berlangsung secara mudah dan akurat. Septum karet, setelah dilakukan pemasukan sampel secara berulang, dapat diganti dengan mudah. Sistem pemasukan sampel (katup untuk mengambil sampel gas) dan untuk sampel padat juga tersedia di pasaran. Pada dasarnya, ada 4 jenis injektor pada kromatografi gas, yaitu: a. Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan akan diuapkan dalam injector yang panas dan 100 % sampel masuk menuju kolom. b. Injeksi terpecah (split injection), yang mana sampel yang diinjeksikan diuapkan dalam injector yang panas dan selanjutnya dilakukan pemecahan. c. Injeksi tanpa pemecahan (splitness injection), yang mana hampir semua sampel diuapkan dalam injector yang panas dan dibawa ke dalam kolom karena katup pemecah ditutup d. Injeksi langsung ke kolom (on column injection), yang mana ujung semprit dimasukkan langsung ke dalam kolom. Teknik injeksi langsung ke dalam kolom digunakan untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap; karena kalau penyuntikannya melalui lubang suntik secara langsung dikhawatirkan akan terjadi peruraian senyawa tersebut karena suhu yang tinggi atau pirolisis
3. Kolom Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada GC. Ada 3 jenis kolom pada GC yaitu kolom kemas (packing column) dan kolom kapiler (capillary column); dan kolom preparative (preparative column). Perbandingan kolom kemas dan kolom kapiler dtunjukkan oleh gambar berikut :
Kolom Kemas
Kolom Kapiler
Kolom kemas terbuat dari gelas atau logam yang tahan karat atau dari tembaga dan aluminium. Panjang kolom jenis ini adalah 1 – 5 meter dengan diameter dalam 1-4 mm. Kolom kapiler sangat banyak dipakai karena kolom kapiler memberikanefisiensi yang tinggi (harga jumlah pelat teori yang sangat besar > 300.000 pelat). Kolom preparatif digunakan untuk menyiapkan sampel yang murni dari adanya senyawa tertentu dalam matriks yang kompleks.
Fase diam yang dipakai pada kolom kapiler dapat bersifat non polar, polar, atau semi polar. Fase diam non polar yang paling banyak digunakan adalah metil polisiloksan (HP-1; DB-1; SE-30; CPSIL-5) dan fenil 5%-metilpolisiloksan 95% (HP5; DB-5; SE-52; CPSIL-8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50%metilpolisiloksan 50% (HP-17; DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase dia m yang polar adalah seperti polietilen glikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M).
4. Detektor Komponen utama selanjutnya dalam kromatografi gas adalah detektor. Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar fase gerak ( gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik. Sinyal elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah di antara fase diam dan fase gerak.
Pada garis besarnya detektor pada KG termasuk detektor diferensial, dala m arti respons yang keluar dari detektor memberikan relasi yang linier dengan kadar atau laju aliran massa komponen yang teresolusi. Kromatogram yang merupakan hasil
pemisahan fisik komponen-komponen oleh GC disajikan oleh detektor sebagai deretan luas puncak terhadap waktu. Waktu tambat tertentu dalam kromatogram dapat digunakan sebagai data kualitatif, sedangkan luas puncak dalam kromatogram dapat dipakai sebagai data kuantitatif yang keduanya telah dikonfirmasikan dengan senyawa baku. Akan tetapi apabila kromatografi gas digabung dengan instrumen yang multipleks misalnya GC/FT-IR/MS, kromatogram akan disajikan dalam bentuk lain
D. Alat dan Bahan Alat
Jumlah
Integrator HP 3390
1 buah
Alat suntikan 10 µL
1 buah
Buble flow meter
1 buah
GC tipe HP 5890 A
1buah
Bahan
Jumlah
Etanol Pa
2 μL
Propanol Pa
2 μL
Butanol Pa
2 μL
Campuran Etanol, Propanol, dan Butanol
2 μL
E. Langkah Kerja a. Menyalakan GC dan Detektor FID
hubungkan alat GC dengan sumber listrik
nyalakan GC
Buka tabung gas pembawa N 2
Pilih Inj A/B dan Detektor A/B
Pada GC buka tombol gas pembawa pilih injector A / B
Tekan tombol detector A / B tekan ‘on’
Buka tabung udara tekan dan hidrogen dengan arah putaran berlawanan arah jarum jam
Buka tombol air , pilih det A / B
Pada GC tekan tombol IGN FID sambil memutar tombol H 2 secara perlahan sampai terdengar letupan pada detektor
Bila terdengar letupan, hentikan memutar tombol H 2 dan lepaskan tombol IGN FID, selanjutnya dengan menggunalan lempengan uji ada tidaknya uap air, jika ada berarti detektor FID sudah menyala
Lakukan penganturan suhu dengan: menekan tombol OVEN TEMP: ON DET TEMP A/B: 120 ENTER INJ TEMP A/B: 120 ENTER
b. Menyalakan Integrator
nyalakan integrator
lakukan pengaturan parameter
• OP() : 1 ENTER (masukkan tanggal dan waktu percobaan) • ZERO : 5 ENTER • CHT SP : 0.5 ENTER • ATT2 : 7 ENTER • Tekan LIST 2x
c. Pengaruh Suhu Kolom terhadap RT dan Pemisahan Campuran a. Suhu Isoterm Atur suhu column dengan parameter : INT TEMP : 100 ENTER RATE : 0 FINAL TEMP : 100 ENTER
Bila lampu ‘ NOT READY’ mati, suntikan etanol yang ingin di deteksi sebanyak 1 L di injektor
Pada saat menyuntikan tekan secara bersama-sama tombol start pada GC dan integrator
Setelah diperoleh kromatogramnya, tekan tombol stop pada GC dan inte rator
Setelah diperoleh kromatogramnya, tekan tombol stop pada GC dan inte rator
Lakukan hal serupa untuk propanol, butanol, campuran etanol, butanol, dan sampel
SUHU PROGRAM Ubah suhu suhu kolom dengan parameter Ubah parameter :: INT ENTER INTTEMP TEMP : 60 ENTER RATE ENTER RATE :: 5 ENTER
FINAL TEMP :150 ENTER
Lakukan langkah seperti pada isoterm
F. Tabel Data Pengamatan SUHU ISOTERM
Kecepatan gas pembawa (N2) : 25 mL/menit INIT TEMP
: 100
RATE
:0
FINAL TEMP
: 100
a. Pengaruh suhu kolom Data pertama
Senyawa
Jumlah Puncak
Etanol
1
Propanol
1
Butanol
Campuran (Etanol+Butanol+ Propanol)
2
3
RT
%Area
0,05
0,008%
1,87
99,992%
2,16
100,000%
0,08
0,003%
2,34
0,026%
2,78
99,972%
0,07%
0,006%
1,95%
25,754%
2,19%
37,744%
2,69%
36,896%
SUHU PROGRAM (600C)
Kecepatan gas pembawa (N2) : 15 mL/menit INIT TEMP
: 60
RATE
:5
FINAL TEMP
: 60
b. Pengaruh suhu kolom
Senyawa
Jumlah Puncak
RT
%Area
Etanol
1
3,15
100%
3,52
0,051%
4,42
99,949%
3,91
0,000%
4,47
0,305%
6,43
99,695%
3,01
29,011%
4,15
34,778%
5,97
36,181%
Propanol
Butanol
Campuran (Etanol+Butanol+ Propanol)
2
3
3
G. Pembahasan a. Sidna Kosim Amrulah ( 131411052 )
Pada
praktikum
kali
ini
dilakukan
percobaan
Kromatografi
gas.
Kromatografi gas adalah cara pemisahan kromatografi menggunakan gas sebagai fasa penggerak. Zat yang dipisahkan dilewatkan dalam kolom yang diisi dengan fasa tidak bergerak yang terdiri dari bahan terbagi halus yang cocok. Gas pembawa mengalir melalui kolom dengan kecepatan tetap, memisahkan zat dalam gas atau cairan, atau dalam bentuk padat pada keadaan normal. Cara ini digunakan untuk percobaan identifikasi dan kemurnian, atau untuk penetapan kadar. Dalam kromatografi gas, fase yang bergerak adalah gas yang biasanya merupakan gas murni seperti helium atau yang tidak reaktif seperti gas nitrogen. Fasa diam merupakan tahap mikroskopis lapisan cair atau polimer yang mendukung gas murni. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyalakan dan memanaskan alat Kromatografi Gas. Pemanasan dilakukan dengan menghubungkan alat tersebut ke sumber listrik. Pemanasan dilakukan selama ± 30 menit. Pemanasan ini berfungsi agar kromatografi gas berlangsung optimal dalam memisahkan kromatografi yang dilakukan oleh fasa penggeraknya, karena fasa penggerak dapat bekerja pada suhu panas. Setelah dilakukan pemanasan, tabung gas Nitrogen dan gas hidrogen dihubungkan dengan GC tipe HP 5890 A . Setelah itu tabung gas Nitrogen dan Hidrogen dibuka ( berlawanan
dengan arah jarum jam ) dengan kecepatan gas yang tidak terlalu besar. Pada GC, buka tombol gas Nitrogen ( arah pemutaran disesuaikan ) hingga jarum pada Regulator cukup bergerak saja. Kemudian atur 1/t sekitar 1,5 dengan menggunakan Buble Beam yang mengandung gelembung. Setelah itu buka, tekan tombol IGN FID sambil memutar tombol gas Hidrogen sampai terdengar letupan. Setelah itu dilakukan pengaturan suhu dan menyalakan Integrator. Larutan yang akan diuji dalam percobaan ini adalah Etanol, Propanol, Butanol dan campuran diantara ketiganya yang sudah disediakan, ka rena cuplikan yang dianalisis harus memiliki fasa cair dan mudah menguap karena akan terjadi proses penguapan. Analisis pertama dilakukan pada suhu isoterm. Larutan yang dianalisis masing-masing 1 µL dengan menggunakan suntikan untuk dimasukkan kedalam GC melalui injection port. Dalam menggunakan suntikan harus berhati-hati karena jarum yang mudah patah jika ditekan secara berlebihan. Sebelum digunakan, suntikan terlebih dahulu dibilas dengan larutan yang akan diuji. Hal ini bertujuan agar pada saat
pengukuran tidak ada zat pengotor yang terdeteksi yang mempengaruhi ketelitian pengukuran. Cuplikan yang diuji dilakukan secara berurutan, dimulai dari Etanol, Propanol dan Butanol serta yang terakhir adalah campuran ketiganya. Cuplikan dimasukan ke dalam injection port. Dari Injection Port, cuplikan dibawa oleh gas pembawa yang menyebabkan cuplikan bergerak di sepanjang kolom yang berisi fasa diam dan fasa bergerak. Pada waktu cuplikan bergerak di s epanjang kolom, komponenkomponen di dalam cuplikan berinteraksi dengan fasa diam dan fasa gerak. Perbedaan interaksi antara komponen-komponen suatu cuplikan menyebabkan perbedaan kecepatan gerak komponen-komponen tersebut, sehingga dengan perbedaan kecepatan gerak antar komponen-komponen tersebut menyebabkan terpisahnya komponenkomponen tersebut satu sama lain. Jika afinitas satu komponen lebih besar terhadap fasa geraknya maka komponen tersebut akan lebih dulu keluar dari kolom yang menyebabkan waktu retensi yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan komponen yang afinitas terhadap fasa diamnya lebih besar. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan titik didih antara komponen yaitu etanol, propanol, dan butanol. Titik didih yang tinggi akan memiliki waktu retensi yang lama. Kemudian detektor akan mendeteksi komponen-komponen yang keluar dari kolom. Detektor ini mengirim sinyal listrik ke alat pencatat (rekorder) yaitu Integrator . Kemudian integrator ini akan mengubah sinyal-sinyal listrik ke dalam bentuk kurva dari tiap-tiap komponen yang disebut kromatogram. Dari hasil yang diperoleh, waktu retensi dari senyawa etanol, propanol, dan butanol digunakan untuk perbandingan waktu retensi saat mengukur sampel yang digunakan. Larutan baku etanol memiliki satu puncak yang berarti terdapat satu waktu retensi. Tetapi pada suhu 1000C larutan baku etanol memiliki dua waktu retensi, hal ini disebabkan oleh adanya zat pengotor yang terbawa begitu pula pada campuran pada suhu 100 0C dan propanol pada suhu 60 0C. Terutama pada butanol dengan suhu 60 0C, terdapat tiga puncak yang seharusnya hanya ada satu puncak. Adanya zat pengotor ini karena adanya sisa komponen yang masih berada di dalam kolom yang tidak menguap sebelumnya atau didalam larutan baku, yang dapat menyebabkan identifikasi dari larutan baku tidak sepenuhnya merupakan larutan baku tersebut. Dari kurva, terdapat tiga macam larutan baku yang digunakan dan berdasarkan waktu retensi larutan baku yang digunakan yaitu etanol, propanol, dan butanol. Waktu retensi butanol lebih besar dibandingkan dengan propanol dan etanol
maka etanol yang memiliki waktu retensi lebih cepat ini menguap lebih dulu yang menunjukkan titik didih etanol ini paling rendah. Sedangkan waktu retensi propanol lebih besar dibandingkan dengan etanol sehingga propanol memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan dengan butanol. Dan titik didih butanol merupakan yang tertinggi dibandingkan 2 larutan baku yang lain karena butanol ini menguap paling terakhir dikarenakan afinitas terhadap fasa diamnya lebih besar dengan waktu retensi yang lebih lama. Dilihat dari hasil pengamatan, waktu retensi
yang didapatkan untuk
mencapai puncak pada suhu terprogram lebih besar dibandingkan dengan nilai waktu yang didapatkan untuk mencapai puncak pada isoterm. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi isoterm dapat mengelusi suatu zat lebih cepat jika dibandingkan dengan suhu terprogram. Suhu isoterm sulit untuk mendeteksi puncak kromatografnya. Namun pada suhu teprogram kita dapat melihat adanya pemisahan puncak kromatogram dari tiap komponen. Hal ini diakibatkan temperatur awal kolomnya di bawah titik didih tiap komponen, sehingga akan memiliki waktu untuk menguapkan satu persatu sesuai titik didih dari masing-masing komponen yang dimulai dari titik didih yang paling rendah. Dengan pemrograman suhu dapat dipilih suhu yang sesuai sehingga menghasilkan kromatogram yang terpisah dengan baik dan komponen pada campuran larutan lebih jelas terlihat. Sedangkan pada suhu isotherm dibatasi analisis terhadap cuplikan yang rentan titik didihnya sempit dan puncak pertama muncul yang merupakan komponen yang bertitik didih rendah (etanol), keluar sedemikian cepat sehingga terjadi tumpang tindih (overlap) puncak. Sementara itu, komponen yang bertitik didih tinggi (butanol) keluar sebagai puncak datar yang tak terukur. Dengan ini dapat dikatakan bahwa pemisahan dengan suhu terprogram lebih baik jika dibandingkan dengan isoterm, walaupun waktu yang diperlukan untuk mengelusi cuplikan tersebut lebih lama suhu terprogram dibandingkan dengan isoterm, karena memungkinkan dapat memilih suhu yang sesuai, sehingga menghasilkan hasil pemisahan yang baik.
b. Oleh Shafira Damayanti (131411051)
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan Kromatografi gas. Kromatografi gas adalah cara pemisahan kromatografi menggunakan gas sebagai fasa penggerak. Zat yang dipisahkan dilewatkan dalam kolom yang diisi dengan fasa tidak bergerak yang terdiri dari bahan terbagi halus yang cocok. Gas pembawa mengalir melalui kolom dengan kecepatan tetap, memisahkan zat dalam gas atau cairan, atau dalam bentuk padat pada keadaan normal. Cara ini digunakan untuk percobaan identifikasi dan kemurnian, atau untuk penetapan kadar. Dalam kromatografi gas, fase yang bergerak adalah gas yang biasanya merupakan gas murni seperti helium atau yang tidak reaktif seperti gas nitrogen. Fasa diam merupakan tahap mikroskopis lapisan cair atau polimer yang mendukung gas murni. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyalakan dan memanaskan alat Kromatografi Gas. Pemanasan dilakukan dengan menghubungkan alat tersebut ke sumber listrik. Pemanasan dilakukan selama ± 30 menit. Pemanasan ini berfungsi agar kromatografi gas berlangsung optimal dalam memisahkan kromatografi yang dilakukan oleh fasa penggeraknya, karena fasa penggerak dapat bekerja pada suhu panas. Setelah dilakukan pemanasan, tabung gas Nitrogen dan gas hidrogen dihubungkan dengan GC tipe HP 5890 A . Setelah itu tabung gas Nitrogen dan Hidrogen dibuka ( berlawanan
dengan arah jarum jam ) dengan kecepatan gas yang tidak terlalu besar. Pada GC, buka tombol gas Nitrogen ( arah pemutaran disesuaikan ) hingga jarum pada Regulator cukup bergerak saja. Kemudian atur 1/t sekitar 1,5 dengan menggunakan Buble Beam yang mengandung gelembung. Setelah itu buka, tekan tombol IGN FID sambil memutar tombol gas Hidrogen sampai terdengar letupan. Setelah itu dilakukan pengaturan suhu dan menyalakan Integrator. Larutan yang akan diuji dalam percobaan ini adalah Etanol, Propanol, Butanol dan campuran diantara ketiganya yang sudah disediakan, ka rena cuplikan yang dianalisis harus memiliki fasa cair dan mudah menguap karena akan terjadi proses penguapan. Analisis pertama dilakukan pada suhu isoterm. Larutan yang dianalisis masing-masing 1 µL dengan menggunakan suntikan untuk dimasukkan kedalam GC melalui injection port. Dalam menggunakan suntikan harus berhati-hati karena jarum yang mudah patah jika ditekan secara berlebihan. Sebelum digunakan, suntikan terlebih dahulu dibilas dengan larutan yang akan diuji. Hal ini bertujuan agar pada saat
pengukuran tidak ada zat pengotor yang terdeteksi yang mempengaruhi ketelitian pengukuran. Cuplikan yang diuji dilakukan secara berurutan, dimulai dari Etanol, Propanol dan Butanol serta yang terakhir adalah campuran ketiganya. Cuplikan dimasukan ke dalam injection port. Dari Injection Port, cuplikan dibawa oleh gas pembawa yang menyebabkan cuplikan bergerak di sepanjang kolom yang berisi fasa diam dan fasa bergerak. Pada waktu cuplikan bergerak di s epanjang kolom, komponenkomponen di dalam cuplikan berinteraksi dengan fasa diam dan fasa gerak. Perbedaan interaksi antara komponen-komponen suatu cuplikan menyebabkan perbedaan kecepatan gerak komponen-komponen tersebut, sehingga dengan perbedaan kecepatan gerak antar komponen-komponen tersebut menyebabkan terpisahnya komponenkomponen tersebut satu sama lain. Jika afinitas satu komponen lebih besar terhadap fasa geraknya maka komponen tersebut akan lebih dulu keluar dari kolom yang menyebabkan waktu retensi yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan komponen yang afinitas terhadap fasa diamnya lebih besar. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan titik didih antara komponen yaitu etanol, propanol, dan butanol. Titik didih yang tinggi akan memiliki waktu retensi yang lama. Kemudian detektor akan mendeteksi komponen-komponen yang keluar dari kolom. Detektor ini mengirim sinyal listrik ke alat pencatat (rekorder) yaitu Integrator . Kemudian integrator ini akan mengubah sinyal-sinyal listrik ke dalam bentuk kurva dari tiap-tiap komponen yang disebut kromatogram. Dari hasil yang diperoleh, waktu retensi dari senyawa etanol, propanol, dan butanol digunakan untuk perbandingan waktu retensi saat mengukur sampel yang digunakan. Larutan baku etanol memiliki satu puncak yang berarti terdapat satu waktu retensi. Tetapi pada suhu 1000C larutan baku etanol memiliki dua waktu retensi, hal ini disebabkan oleh adanya zat pengotor yang terbawa begitu pula pada campuran pada suhu 100 0C dan propanol pada suhu 60 0C. Terutama pada butanol dengan suhu 60 0C, terdapat tiga puncak yang seharusnya hanya ada satu puncak. Adanya zat pengotor ini karena adanya sisa komponen yang masih berada di dalam kolom yang tidak menguap sebelumnya atau didalam larutan baku, yang dapat menyebabkan identifikasi dari larutan baku tidak sepenuhnya merupakan larutan baku tersebut. Dari kurva, terdapat tiga macam larutan baku yang digunakan dan berdasarkan waktu retensi larutan baku yang digunakan yaitu etanol, propanol, dan butanol. Waktu retensi butanol lebih besar dibandingkan dengan propanol dan etanol
maka etanol yang memiliki waktu retensi lebih cepat ini menguap lebih dulu yang menunjukkan titik didih etanol ini paling rendah. Sedangkan waktu retensi propanol lebih besar dibandingkan dengan etanol sehingga propanol memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan dengan butanol. Dan titik didih butanol merupakan yang tertinggi dibandingkan 2 larutan baku yang lain karena butanol ini menguap paling terakhir dikarenakan afinitas terhadap fasa diamnya lebih besar dengan waktu retensi yang lebih lama. Dilihat dari hasil pengamatan, waktu retensi
yang didapatkan untuk
mencapai puncak pada suhu terprogram lebih besar dibandingkan dengan nilai waktu yang didapatkan untuk mencapai puncak pada isoterm. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi isoterm dapat mengelusi suatu zat lebih cepat jika dibandingkan dengan suhu terprogram. Suhu isoterm sulit untuk mendeteksi puncak kromatografnya. Namun pada suhu teprogram kita dapat melihat adanya pemisahan puncak kromatogram dari tiap komponen. Hal ini diakibatkan temperatur awal kolomnya di bawah titik didih tiap komponen, sehingga akan memiliki waktu untuk menguapkan satu persatu sesuai titik didih dari masing-masing komponen yang dimulai dari titik didih yang paling rendah. Dengan pemrograman suhu dapat dipilih suhu yang sesuai sehingga menghasilkan kromatogram yang terpisah dengan baik dan komponen pada campuran larutan lebih jelas terlihat. Sedangkan pada suhu isotherm dibatasi analisis terhadap cuplikan yang rentan titik didihnya sempit dan puncak pertama muncul yang merupakan komponen yang bertitik didih rendah (etanol), keluar sedemikian cepat sehingga terjadi tumpang tindih (overlap) puncak. Sementara itu, komponen yang bertitik didih tinggi (butanol) keluar sebagai puncak datar yang tak terukur. Dengan ini dapat dikatakan bahwa pemisahan dengan suhu terprogram lebih baik jika dibandingkan dengan isoterm, walaupun waktu yang diperlukan untuk mengelusi cuplikan tersebut lebih lama suhu terprogram dibandingkan dengan isoterm, karena memungkinkan dapat memilih suhu yang sesuai, sehingga menghasilkan hasil pemisahan yang baik.
c. Rizwan Firzatulloh ( 131411049 )
Praktikum yang dilakukan mengenai kromatografi gas (GLC) dengan analisis secara kualitatif. Kromatografi gas-cair (GLC) atau kromatografi gas (GC) adalah jenis yang umum digunakan dalam analisis kromatografi kimia untuk memisahkan dan menganalisis senyawa yang dapat menguap tanpa dekomposisi. Penggunaan GC termasuk pengujian kemurnian zat tertentu atau memisahkan komponen yang berbeda dari campuran (jumlah relatif komponen tersebut juga dapat ditentukan). Dalam beberapa situasi, GC dapat membantu dalam mengidentifikasi suatu senyawa dan dapat digunakan untuk mengetahui senyawa murni dari campuran. Pada praktikum ini, analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif pada cuplikan. Cuplikan yang digunakan terdiri dari etanol, propanol, butanol, dan sampel yaitu campuran dari ketiga zat. Cuplikan ini digunakan karena mudah menguap dan ketiganya memiliki titik didih yang berbeda. Program yang digunakan pada analisis kualitatif ini adalah program isotherm. Pada program isoterm, suhu awal pemisahan sama dengan suhu akhir pemisahan. Program isotherm ini dilakukan dalam dua macam kondisi temperature yaitu 100 0c dan 600C. Sebelum melakukan analisis kualitatif yaitu dengan mengamati waktu tinggal suatu substansi/sampel yang akan dianalisis, dilakukan dulu pengaturan pada alat GC dan detektor FID. Pada alat GC diperlukan suatu gas pembawa sebagai fasa yang bergerak, gas yang digunakan adalah gas N2.Selain gas pembawa diperlukan pula udara tekan yaitu oxidant gas dan gas pembakar yaitu H 2. Urutan dalam pengaliran gas dimulai dari gas yang paling tidak berbahaya yaitu nitrogen, udara tekan kemudian hidrogen sementara apabila mematikan alat urutan gas yang harus dimatikan terlebih dahulu adalah gas yang paling berbahaya (kebalikannya). Cuplikan yang akan dipisahkan komponen-komponennya dimasukan kedalam suatu lubang yang disebut injection port . Pada injeksi harus dilakukan dengan hati hati karena jarum injeksi mudah patah. Saat dimasukkan ke dalam injection port fasa cair dari cuplikan ini diubah menjadi gas yang mudah menguap. Dari lubang tersebut cuplikan dibawa oleh gas pembawa yang menyebabkan cuplikan bergerak di sepanjang kolom yang berisi fasa diam dan fasa bergerak. Pada waktu cuplikan bergerak di sepanjang kolom, komponen-komponen di dalam cuplikan berinteraksi dengan fasa diam dan fasa gerak. Perbedaan interaksi antara komponenkomponen suatu cuplikan menyebabkan perbedaan kecepatan gerak komponen-komponen
tersebut, sehingga dengan perbedaan kecepatan gerak antar komponen-komponen tersebut menyebabkan terpisahnya komponen-komponen tersebut satu sama lain. Dari perbedaan kecepatan perpindahan antara komponen satu sama lain, menyebabkan perbedaan waktu yang diperlukan untuk mencapai ujung kolom.Pada sampel yang merupakan campuran dari cuplikan murni lainnya terjadi pelarutan atau semua cuplikan saling melarut dan berada dalam 1 fasa yang sama. Jika afinitas satu komponen lebih besar terhadap fasa geraknya maka komponen tersebut akan lebih dulu keluar dari kolom yang menyebabkan waktu retensi yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan komponen yang afinitas terhadap fasa diamnya lebih besar. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan titik didih antara komponen yaitu etanol, propanol, dan butanol. Semakin rendah titik didih suatu komponen maka komponen tersebut lebih mudah menguap dan akan keluar terlebih dahulu dari kolom. Kemudian detektor akan mendeteksi komponen-komponen yang keluar dari kolom. Detektor ini mengirim sinyal listrik ke alat pencatat (rekorder) yaitu Integrator . Kemudian integrator ini akan mengubah sinyalsinyal listrik ke dalam bentuk kurva dari tiap-tiap komponen yang disebut kromatogram. Dari percobaan dengan program isoterm 100o C, waktu retensi dari senyawa etanol, propanol, dan butanol digunakan untuk perbandingan waktu retensi saat mengukur sampel yang digunakan. Pada larutan baku etanol memiliki 2 RT sementara butanol memiliki 2 puncak dan 3 RT. Hal ini disebabkan oleh adanya zat pengotor di dalam kolom pengotor di di sini dapat dilihat dari area yang tidak 100 % karena terdapat zat lain yang memiliki t itik didih yang berbed, ini bisa terjadi karena dalam membersihkan injector tidak bersih sempurna sehingga zat lain masih terbawa. Untuk sampel dihasilkan 3 buah puncak dengan waktu retensi masingmasing namun pada program isotherm ketiga zat dipaksa bersama sama untuk menguap sehingga puncak yang didapat tidak begitu jelas. Dari 3 puncak ini berturut turut etanol propanol dan butanol, hal ini sesuai dengan titik didih masing masing yang mana semakin rendah titik didih maka semakin mudah menguap. Dari program suhu sebesar 60 o C, prinsip ini lebih baik dari isotherm 100 derajat karena pada suhu 60o untuk menguapkan zat tidak dipaksa tetapi disesuaikan dengan titik uapnya. Namun sedikit lama karena membutuhkan waktu untuk mengkondisikan terlihat dari RT yang berbeda antara zat yang sama pada isotherm 100 o C dan program suhu 60 o C, pada program suhu cenderung RTnya lebih besar karena membutuhkan waktu untuk mengkondidikan suhu cuplikan. Pada program suhu ini sampel memiliki 3 puncak dan puncaknya terlihat jelas karena semua zat tidak dipaksa untuk menguap namun menguap sesuai titik penguapan masing masing. Etanol kemudian propanol dan terakhir butanol sesuai titik penguapannya.
Perbandingan suhu isotherm dan suhu terprogram. Dilihat dari hasil pengamatan, waktu retensi
yang didapatkan untuk mencapai puncak pada suhu terprogram lebih besar
dibandingkan dengan nilai waktu yang didapatkan untuk mencapai puncak pada isoterm. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi isoterm dapat menguapkan suatu zat lebih cepat jika dibandingkan dengan suhu terprogram. Suhu isoterm sulit untuk mendeteksi puncak kromatografnya. Namun pada suhu teprogram kita dapat melihat adanya pemisahan puncak kromatogram dari tiap komponen. Hal ini diakibatkan temperatur awal kolomnya di bawah titik didih tiap komponen, sehingga akan memiliki waktu untuk menguapkan satu persatu sesuai titik didih dari masing-masing komponen yang dimulai dari titik didih yang paling rendah. Sehingga program suhu merupakan metode yang lebih baik dari isothermal karena memiliki keakuratan yang lebih baik dibanding isotherm. Namun, membutuhkan waktu yang lebih lama disbanding isotherm karena pada program suhu, suhu harus dikondisikan terlebih dahulu.
H. SIMPULAN
1. Pemisahan dengan suhu terprogram lebih baik digunakan dibandingkan dengan suhu isoterm. 2. Titik didih etanol paling rendah karena etanol lebih cepat menguap. 3. Butanol memiliki waktu retensi terbesar. 4. Etanol memiliki waktu retensi terkecil. 5. Propanol memiliki waktu retensi Siantar etanol dan butanol. 6. Jika terdapat dua puncak grafik, maka terdapat zat pengotor yang terukur yang disebabkan pembilasan yang masih kurang.
LAMPIRAN
Kurva Isothermal (T=100 0C)
1. Etanol murni
2. Propanol murni
3. Butanol murni
4. Campuran (etanol+propanol+butanol)
Percobaan kedua (T=60)
1. Etanol murni
2. Propanol murni
3. Butanol murni
4. Campuran (etanol+propanol+butanol)