SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
PENYAKIT GINJAL KRONIK
1. PENGERTIAN
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan penurunan progresif fungsi yang bersifat ireversibel. Menurut guideline The National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF KDOQI), PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal persisten dengan karakteristik adanya kerusakan structural atau fungsional (seperti mikroalbuminuria/proteinuria, hematuria, kelainan histologist ataupun radiologis), dan/atau menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) menjadi <60 ml/menit/1,73 2 selama sedikitnya 3 bulan. Ptoteinuiria merupakan suatu marker dini dan sensitive pada berbagai tipe kerusakan ginjal. Albumin merupakan protein yang paling banyak terdapat pada urin penderita PGK. Nilai normal ekskresi albumin urin pada dewasa adalah 10mg/hari, dan dipengaruhi oleh berbagai kondisi sperti postur tubuh, olahraga, kehamilan, dan demam. Oleh karena itu, sering terjadi hasil proteinuria dan albuminuria palsu dalam praktek sehari-hari karena berbagai kondisi. Penilaian hasil proteinuria pada dewasa dilakukan dengan pengambilan specimen urin pagi hari dan hasil ≥ + 1 pada dipstick memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan penilaian kuantitatif dalam 3 bulan. Pada pasien dengan proteinuria proteinuria ≥ + 2 pada tes kuantitatif dalam interval 1-2 1 -2 minggu, didiagnosis sebagai proteinuria persisten dan dilakukan evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut sperti pada pasien PGK. Monitoring proteinuria pada PGK selalu menggunakan tes kuantitatif. 2. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hipertensi, hiperurisemia, lupus Riwayat hipetensi dalam kehamilan (pre-eklampsi, abortus spontan) Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba, kemoterapi, antiretroviral, proton pump inhibitors, paparan zat kontras Evaluasi sindrom uremi : lemah, nafsu makan↓ , berat badan↓, mual, muntah, nokturia, sendewa, edema perifer, neuropati, periper, pruritas, kram otot, kejang, sampai koma Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi system organ sperti auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk menilai apa ada PGK yang diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry, sistinuria) atau paparan nefrotoksin dari lingkungan (logam berat)
Pemeriksaan fisik
Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ : funduscopi, pemeriksaan pre-kordinal (heaving (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati Gangguan endokrin-metabolik : amenorrhea, malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan. infertilitas dan disfungsi seksual. Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual muntah nafas bau urin (uremic fetor ), ), disgeusia (metallic (metallic taste), taste), konstipasi 9
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Pemeriksaan Penunjang
Gangguan neuromuscular : letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma. Gangguan dermatologis : palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimoasis, uremic frost, nephrogenic fibrosing dermopathy
Laboratoirum : darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus Kockroft-Gault, Kockroft-Gault, ↓serum ureum dan kreatinin, tes kliens kreatinin (TTK) ukur, asam urat, elektrolit, gula darah, profil lipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, SI, TIBC, feritin serum, hormone PTH, albumin, globulin, pemeriksaan imunolgi, hemostasis lengkap, urinalisis Radilogis : foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT scan, ekakardiografi Biopsi ginjal Creatinine Clearance atau LFG = [(140-umur) x berat badan]/(72 X SCr) ml/menit/1,73 2 Keterangan : pada wanita hasil LFG x 0,85
Rumus Kockroft-Gault
3. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit Ginjal akut, Acute akut, Acute on Chronic Kidney Disease
4. TATALAKSANA Nonfarmakologis
Farmakologis
Nutrisi : pada pasien non-dialisis dengan LFG <20 mL/menit, evaluasi status nutrisi dari serum albumin dan/atau 2) berat badan actual tanpa edema. Protein : - pasien non dialysis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien. - pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari - pasien peritoneal dialysis 1,3 gram/kgBB/hari Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh. Pengaturan asupan karbohidrat : 50-605 dari kalori total Natrium : <2 gram/hari (dalam bentuk garam <6 gram/hari) Kalium : 40-70 mEq/hari Fosfor : 5-10 mg/kgBB/hari. Paien HD : 17 mg/hari Kalsium : 1400-1600 mg/hari (tidak melebihi 2000 mg/hari) Besi : 10-18 mg/hari Magnesium : 200-300 mg/hari Asam folat pasein HD : 5 mg Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible ( insensible water loss) loss) Kontrol tekanan darah : - Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II : evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan. - Penghambat kalsium’ - Diuretik Pada pasien DM, control gula darah : hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6% 10
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl Kontrol hiperfosfatemi : kalsium karbonat atau kalsium asetat Kontrol osteodistrofi metabolic dengan target HC03 mg/dl,
dianjurkan golongan statin Terapi ginjal pengganti
4. KOMPLIKASI
Kardiovaskuler, gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium, kalsium, fofat, asidosis metabolic, osteodistrofit, anemia.
5. PROGNOSIS
Penting sekali untuk merujuk pasien PGK stadium 4 dan 5. Terlambat merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi penggantian ginjal) berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas setelah dialysis dimulai. Pada titik ini, pasien lebih baik ditangani bersama oleh pelayanan kesehatan tingkat primer bersama nefrologis. Selama fase ini, perhatian harus diberikan terutama dalam memberikan edukasi pada pasien mengenai terapi penggantian ginjal (hemodialisis, dialysis peritoneal, transplantasi) dan pemilihan akses vascular untuk hemodialisis. Bagi kandidat transplantasi, evaluasi donor harus segera dimulai.
6. UNIT YANG MENANGANI
7. UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Divisi Ginjal-Hipertensi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam Hemodialisis : Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan Internis dengan sertifikasi hemodialisis.
RS pendidikan : Unit Hemodialisis, ICU/Medical High Care, Departemen Bedah Urologi. RS non pendidikan : Unit hemodialisis, ICU, hemodialisis, ICU, Bagian Bedah 1. Lascano M. Schreiber M. Nurko S. Chronic Kidney Disease. In : Carey W, Abelson A, Dweik R, et al. Current Clinical Medichine. 2nd Edition. The Cleaveland Clinical Foundation. Philadelphia : Elsevier. 2010. Hal 853-6 2. The National Kidney Foundation : NKF KDOQI Clinical Practice guidelines for Chronic Kidney Disease : Evaluation, classification, and stratification. Am J. Kidney Dis 2001;39:S1266 3. Bargman J, Scorecki K. Chronic Kidney Sisease. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL. Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicin 18ℎ Edition. New York, McGraw-Hill. 2012. 4. Suwita K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1035-40
8. REFERENSI
11
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
ANEMIA PENYAKIT KRONIK
1. PENGERTIAN
2. PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anemia adalah suatu keadaan berkurangnya sel darah merah dalam tubuh. Anemia penyakit kronik adalah anemia yang terjadi pada yang ditemukan pada kondisi penyakit kronik seperti infeksi kronik, inflamasi kronik, atau beberapa keganasan. Pada penyakit inflamasi, sitokin dihasilkan oleh leukosit yang aktif dan sel lain yang ikut berperan menurukan kadar hemoglobin (Hb). Diagnosis cukup sulit terutama jiks bersamaan dengan defisiensi zat besi. Penyebab anemia lain harus disingkirkan sebelum mendiagnosis, seperti perdarahan, malnutrisi, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, dan hemolisis
Anamnesis
Keluhan-keluhan yang didapatkan berupa rasa lemah dan lelah, sakit kepala, nafas pendek.
Pemeriksaan fisik
Pucat, tampak anemis, dapat ditemukan kelaianan-kelaianan sesuai penyakit penyebabnya.
Pemeriksaan Penunjang
3. DIAGNOSIS BANDING
Hemoglobin (Hb) : menurun (kadar : 8-9 g/dl) Hitung retikulosit absolute : normal atau meningkat sedikit Feritin serum : normal atau meningkat. Merupakan penanda simpanan zat besi, kadar 15 ng/ml mengindikasikan tidak adanya cadangan zat besi Besi dalam serum : menurun (hipoferemia). Half-life (hipoferemia). Half-life : 90 menit Transferin serum : menurun. Half-life : 8-12 hari, sehingga penurunan transferin serum lebih lama terjadi daripada penurunan kadar besi serum. Saturasi transferin Reseptor tranferin terlarut ( soluble soluble transferring receptor) : menurun Rasio reseptor transferin terlarut dengan log feritin. Kadar sitokin Eritropoietin Hapusan darah tepi : normositik normokrom, dapat hipokrom mikrositik ringan Aspirasi dan biopsy sumsum tulang : jarang dilakukan untuk mendiagnosis anemia penyakit kronik, tetapi dapat dilakukan sebagai gold standard untuk membedakan dengan anemia defisiensi besi. Morfologi sumsum tulang dan pewarnaan zat besi normal, kecuali dikarenakan penyakit penyebabnya. Supresi sumsum tulang karena obat : besi serum meningkat, hitung retikulosit rendah Hemolisis karena obat : terhitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin, dan laktat dehidrogenase meningkat. Kehilangan darah kronik : serum besi menurun, feritin 12
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
4. TATALAKSANA
serum-menurun, transferin meningkat. Gangguan ginjal Gangguan endokrin : hipotiroid, hipertiroid, diabetes mellitus. Metastasis sumsum tulang : poikilosit, normoblas, teardrop-shaped red cells, sel myeloid imatur Thalasemia minor Mengenali dan mengatasi penyakit penyebabnya Terapi besi : kegunaannya masih dalam perdebatan Kontraindikasi jika feritin normal (> 100 100 /) /)4 Tranfusi darah : jika anemia sedang – berat (Hn<6.5 gram/dl) dan bergejala
5. KOMPLIKASI
Gagal jantung, kematian
6. PROGNOSIS
Keluhan anemia akan berkurang jika mengobati penyakit penyebabnya. Pada suatu penelitian dinyatakan anemia berhubungan dengan gagal ginjal, gagal jantung kongestif, dan kanker. Derajat anemia berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, prognosis buruk pada pasien dengan penyakit keganasan, gagal ginjal kronik, dan gagal jantung kongestif. Kematian yang terjadi tidak dikarenakan anemia secara langsung. Belum terbukti bahwa perbaikan anemia saja akan meningkatkan prognosis penyakit penyebabnya seperti kanker atau penyakit inflamasi.
7. UNIT YANG MENANGANI
8. UNIT YANG TERKAIT
9. REFERENSI
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Dalam – Divisi Hematologi – Hematologi – Onkologi Onkologi Medik RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait RS non pendidikan :
1. Gans T. Anemia of Chronic Disease. In : Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams Hermatology 7ℎ ed. Mc Graw Hill. Chapter 43 2. Zarychanki R. Clinical paradigms Anemia of chronic disease : A harmful disorder or an adaptive. CMAJ. 2008 August 12; 179 (4) : 333-337. Diunduh dari http : //www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC2492976/ pada tanggal 19 Mei 2012 3. Gardner LB, Benz Jr. EJ. Anemia of chronic diseases. In : Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al., eds. Hematology: Basic Principless and Practice. 5 th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008;chap 37. 4. Supandiman I, Fadjari H, Sukrisman L. Anemia Pada Pada Penyakit Kronis. Dalam : Suyono, S, Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010. Hal.11381140 5. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl Engl J Med. 2005, 352: 1011-1023. 6. Silver B, Anemia, Diuduh dari https://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasese 13
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
management/hematology-anemia/ # top pada tanggal 19 Mei 2012. 7. Adamsan J. Ir on Deficiency and Other Hypoproliferetive Anemias. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. editors. Harrison’s Principals of th Internal Medicines 18 ed. Mc Graw Hill. Chapter 98
DIABETES MELITUS
1. Pengertian
2. Pendekatan Diagnosis
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia kronik yang terjadi karena sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Dalam praktik sehari-hari DM tipe 2 yang paling sering ditemui, sehingga pembahasan lebih banyak difokuskan pada DM tipe 2. 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 20 0 mg/dl Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperlihatkan waktu makan terakhir a 2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/Dl. Puasa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 126 mg/dl 3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan ke dalam air. Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) Tiga hari sebulan pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa) Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air puti tanpa gula tetap diperbolehkan. Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 grm (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
4. ANAMNESI
Gejala yang timbul Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi : glukosa darah, A1C, dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetic, hiperosmolar hiperglikemia, dan hipoglikemia) Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit (komplikasi 14
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
pada ginjal, jantung, susunan saraf, mata, saluran pencernaan, dll) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah Faktor risiko : merokok, hipertensi riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain) Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
5. DIAGNOSIS BANDING
6. TATA LAKSANA Individualisasi Terapi
7. KOMPLIKASI
8. PROGNOSIS 9. UNIT YANG MENANGANI
Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari Pemeriksaan funduskopi Pemeriksaan jantung Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop Pemeriksaan kulit (acantosis (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh daraharteri tepi Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain Glukosa darah puasa dan 2 jam post jam post prandial prandial HbA21c Profil lipid pada keadaan puasa (kolestrol total, HD L, LDL, dan trigliserida) Kreatinin serum Albuminuria Keton, sediman, dan protein dalam urin Elektrokardiogram Foto sinar-x dada Hiperglikemia reaktif Pre diabetes
Tidak dilakukan Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh ADA/EASD 2012, maka diperlukan pendekatan individual untuk menentukan regimen dan target pengobatan pada penyandang DM tipe 2. Ketoasidosis diabetic (KAD), status hiperglikemia hiperosmolar (SHH), hipoglikemia, retinopati, nefropati, neuropati, penyakit kardiovaskular. Diabetes menyebabkan kematian pada 3 juta orang setiap tahun (1,7-5,2% kematian di dunia ) RS Pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin – Endokrin – Departemen Departemen Penyakit Dalam RS Non Pendidikan : Bagian Bagian Penyakit Dalam
10. UNIT TERKAIT
RS Pendidikan 15
: Divisi Ginjal – Ginjal – Hipertensi, Hipertensi, Divisi Kardiologi
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
– Departemen Departemen Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Neu rologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.
11. REFERENSI
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. 2. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus. Report of The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan 2003;26 (Suppl. 1) :S5-20. 3. Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a Beta – Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002: The Recent Management in Diabetes and its Complications : From Molecular to Clinic. Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12 November 2000:185-99. 4. Inzucch SE, Bergenstal RM, Buse JB et al. Management Management of HyperglycemianiType2 Diabetes : A Patient – Centered Approach. Approach. Position Position Statement Statement of the American Diabetes Association Association (ADA) and and the European European Association Association for the the Study of Diabetes (EASD).Diunduh dari http://care.diabetesjournals.org/content/35/6/1364.full.pdf+ html pada tanggal 7 Juni 2012
16
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
INFEKSI SALURAN KEMIH
1. PENGERTIAN
ISK sederhana/tak s ederhana/tak Berkomplikasi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (ada perkembangbiakan bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi dikandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. ISK yang terjadi tidak terdapat disfungsi srtuktural ataupun ginjal.
ISK Berkomplikasi
ISK yang berlokasi selain divesika urinaria, ISK pada an ak-anak, laki-laki, atau ibu hamil. 2. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas : nyeri pinggang, demam, menggil, mual dan muntah, hemturia Anannesa adanya faktor risiko seperti disebutkan diatas Pemeriksaan Fisik Febris, Nyeri tekan suprapublik, nyeri kwtok sudut kostovertebra, demam Pemeriksaan Penunjang
3. DIAGNOSIS BANDING
4. TATALAKSANA Nonfarmakologis
Farmakologis
DPL, tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah. Kultur urin (+) : bakteriuria > 105 /ml urin Foto BNO-IVP bila perlu USG ginjal bila perlu Keganasan kandung kemih Nonbacterial cystitis Interstitial cystitis Pelvic inflammatory disease Pyeolonephritis akut Urethritis Vaginitis Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik Menjaga hygiene genitalia eksterna Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; ad a; Bila hasil test kuman sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan
ISK PADA WANITA HAMIL
1. PENGERTIAN
Bakteriuria asimptomatik: ditemukan minimal 103 /ml bakteri dan adanya gejala ISK.
2. PENDEKATAN DIAGNOSIS 17
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Anamnesis
Riwayat faktor risiko : wanita usia tua, paritas tinggi, status social ekonomi rendah, riwayat ISK sebelumnya, abno rmalitas fungsi dan anatomi, memiliki penyakit diabetes mellitus atau sickle atau sickle sell.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
Sama seperti ISK pada umumnya Urinalisis, kultur urin. Ulangi pemeriksaan setelah 2 minggu untuk melihat eradikasi bakteri.
3. TATALAKSANA
ISK pada kehamilan diterapi dengan antibiotika dan menghilangkan faktor predisposisi. ISK YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR
Infeksi simple Infeksi simple : kultur urin ditemukan > 105 /ml organism. Infeksi complex : melibatkan infeksi saluran kemih bagian atas dan kultur darah positif. Infeksi jamur pada saluran kemih kebanyakan adalah infeksi oportunistik. Yang paling sering menyebabkan funguria adalah spesies Candida. 2. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesa Penderita dapat tanpa gejala, disuria dan frekuensi. Adanya faktor resiko: imunosupresan, diabetes, penggunaan antibiotika atau kortikosteroid jangka panjang, penggunaan kateter urin jangka panjang.
1. PENGERTIAN
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang 3. TATALAKSANA
Sama seperti ISK pada umumnya. Kultur urin, urinalisis, pada CT scan dan IVP dapat tampak fungal tampak fungal ball. Infeksi simple : stop antibiotik yang biasa digunakan, lepas kateter urin. Bila cara ini tidak berhasil maka lakukan irigasi saluran kemih dengan amphoterisi B (50mg/L sebanyak 42ml/jam) Infeksi complex : Terapi utama ISK jamur adalah dengan amphoterisin B intravena. Untuk mengurangi efek sistemik seperti menggigil, demar dan kaku yang berhubungan dengan terapi, maka berikan premedikasi steroid, meperidine, ibuprofen, dan dantrolene. Jika terdapat fungal ball : ambil fungal ball secara percutaneus lanjutkan dengan irigasi pelvis renalis dengan amphoterisin B.
4. KOMPLIKASI
Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multiresisten, gangguan fungsi ginjal.
5. PROGNOSIS
Infeksi saluran kemih tanpa kelainan anatomis mempunyai prognosis lebih baik bila dilakukan pengobatan pen gobatan pada fase akut yang adekuat dan disertai pengawasan terhadap kemungkinan infeksi berulang. Prognosis jangka panjang pada sebagian besar penderita dengan kelainan anatomis umunya kurang memuaskan meskipun telah diberikan pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi terutama pada penderita dengan nefropati refluks. Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase akut, kerjasama k erjasama yang baik antara antar a dokter, dan pasien sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang mengarah ke fase terminal gagal ginjal kronis.
6. UNIT YANG
RS pendidikan 18
: Divisi Ginjal-Hipertensi-Departemen
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
MENANGANI
7. UNIT TERKAIT
Penyakit Dalam RS non pendidikan
: Bagian Penyakit Dalam
RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Departemen Bedah Urologi – Urologi – Departemen Departemen Ilmu Penyakit Dalam SR non pendidikan : Bagian Bagian Bedah
PENYAKIT TUKAK PEPTK
1. PENGERTIAN
2. DIAGNOSIS Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penujang
Penatalaksanaan
3. DIAGNOSIS BANDING
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu dyspepsia organic dan dyspepsia fungsional. Tukak Gaster Nyeri epigastrium
Tukak Duodenum Nyeri epigastrium atau hunger pain food relief. Rasa sakit tidak menghilang Rasa sakit menghilangkan dengan pemberian makanan. dengan antasida atau makanan Dispepsia, mual, muntah, Rasa nyeri seringkali muncul anoreksia dan kembung tengah malam Dispepsia, mual, muntah, anoreksia dan kembung Tidak khas, seperti nyeri tekan Tidak khas, seperti nyeri tekan epigastrium, distensi abdomen. epigastrium, distensi abdomen. Tanda-tanda peritonitis jika Tanda-tanda peritonitis jika disertai perforasi. disertai perforasi Endoscopi (SCBA) Endoscopi (SCBA) Biopsi untuk mendeteksi Biopsi untuk mendeteksi H.pylori H.pylori Foto barium kontras ganda Foto barium kontras ganda Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup menghindari faktor resiko menghindari faktor resiko
4. TATA LAKSANA Tanpa Komplikasi
Akalasia Penyakit refluks gastroesofagus Pankreatitis Hepatitis Kolesistitis Kolik bilier Keganasan esophagus atau gaster Inferior myocardial infarction Sindrom arteri mesenterium superior Terapi Suportif : nutrisi Memperbaiki atau menghindari faktor resiko Pemberian obat-obatan : Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI) misalnya omeprazol, rabeprazol dan lansoprazol dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA], prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipid, teprenon, sukralfat), di mana 19
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Dengan Komplikasi
Tatalaksana atau tindakan khusus
Pada tukak peptic yang berdarah dilakukan penatalaksanaanumum atau suportif sesuai dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum.
5. KOMPLIKASI
6. PROGNOSIS
7. UNIT YANG MENANGANI
8. UNIT TERKAIT
9. REFERENSI
Tindakan atau terapi hemostatik per endoscopic dengan adrenakin dan etoksisklerol atau obat fibrinogen thrombin atau tindakan hemostatik dengan klipiping, heat probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe. Pemberian obat somatostatin jangka pendek. Terapi sembolisasi arteri melalui arteriograsi. Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan tetap masuk dalam keadaan gawat I s.d II maka pasien masuk dalam indikasi operasi . Perdarahan : hematmesis, melena disertai tanda syok jika perdarahan masif Anemia didefisiensi bes jika perdarahan tersembunyi Perforasi Ponetrasi tukak yang dapat mengenal pancreas Obstruksi atau stenosis Kegananasan : jarang Tukak gaster yang terinfeksi H.pylori mempunyai angka kekambuhan 60% jika tidak dieradikasi dan 5% jika dieradikasi. Sedangkan untuk tukak duodenum yang terinfeksi H.pylori mempunyai angka kekambuhan 80% jika kuman tetap ada dan 5% jika sudah dilakukan eradukasi. Tukak yang disebabkan karena pemakaian OAINS menunjukkan penurunan keluhan dyspepsia jika dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66% kasus. RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi-Departemen Penyakit Dalam RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam (RS tertentu) RS non pendidikan : -
1. Oustamanolakis P, Tack J. Dyspepsia : Organic Versus Functional. Journal of Clinical Gastroenterology.2012;46(3) : 175-90. 2. Valle JD. Peptic Ulcer Disease. In: Fauci Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalso J. editors. Harrison’s principles of internal medicine 18h ed. New York: The McGraw-Hill Companies, 2012. 3. Tarigan Pengarepan. Tukak Gaster. Dalam: Alwi I. Setiati S. Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;2010: Hal 513-522 4. Akil HAM. Tukak Duodenum. Dalam:Alwi I, Setiyohadi B, 20
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010: Hal 523-8. 5. DyspepsiaManageemntGui DyspepsiaManageemntGuidelines.British delines.British Society of Gastroenterology.2002. Dunduh dari www.bsg.org.uk/pdf_word_docs/dyspepsia.doc pada tanggal 7 Mei 2012. 6. Kalopaking MS, Makmun D, Abdullah M, et al. Konsensus nasional penatalaksanaan dyspepsia dan infeksi Helicobacter pylori. Jakarta, 2014. 7. NHS. Dyspepsia-proven peptic ulcer-what is the prognosis Diunduhdarihttp://www.cks.nhs.uk/dyspepsia_proven_pep tic_ulcer/background_information/prognosis. pada tanggal 7 Mei 2012.
21
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
HIPERTENSI
1. PENGERTIAN
Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah (TD) sama atau melebihi 140mmHg sistolik dan/atau sama lebih dari 90mmHg diastolic pada seseorang yang tidak sedang minum obat antihipertensi. 2. PENDEKATAN DIAGNOSISI Anamnesis 1. Durasi hipertensi 2. Riwayat terapi hipertensi sebelumnya dan efek sampingnya bila ada 3. Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada keluarga 4. Kebiasaan makan dan psikososial 5. Faktor resiko lainnya, kebiasaan merokok, perubahan berat badan, dislipidemia, diabetes, inaktivitas fisik 6. Bukti hipertensi sekunder : Riwayat penyakit ginjal, perubahan penampilan, kelemahan otot (palpitasi, keringat berlebihan, tremor), tidur tidak teratur, mengorok, somnolen disiang hari, gejala hipo- atau hipertiroidisme, riwayat konsumsi obat yang dapat menaikkan tekanan darah 7. Bukti kerusakan organ target : riwayat TIA, stroke, buta sementara, penglihatan kabur tiba-tiba. angina, infark miokard, gagal jantung, disfungsi seksual. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
3. DIAGNOSA BANDING
4. TATALAKSANA
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengukuran tinggi dan berat badan, tanda-tanda vital Palpasi leher apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid Palpasi pulsasi arteri femoralis, pedis Auskultasi bruit karotis, bruit abdomen Funduskopi Evaluasi gagal jantung dan pemeriksaan neurologis
Urinalisis, tes fungsi ginjal, eksresi albumin, serum BUN, kreatinin, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; sesuai penyakit : asam urat, aktivitas rennin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal ekokardiografi Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertensi, rasa nyeri, peningkatan tekanan intraserbral, ensefalitis, akibat obat, dll 1. Modifikasi Gaya Hidup pada Penderita Hipertensi Turunkan berat badan Target indeks massa tubuh (IMT) < 25 kg/ 2 < 6 g NaCI/Hari Diet rendah garam Perbanyak buah, sayur, produk susu rendah lemak jenuh Adaptasi menu diet DASH Bagi peminum alkohol, ( Dietary Dietary Approaches to Stop konsumsi ≤2 gelas/hari pada Hypertension pria dan ≤1 gelas/hari pada wanita Aktivitas fisik Aerobik rutin, seperti jalan cepat selama 30 menit/hari 2. Pemberian B-bloker pada pasien unstable angina / non-ST elevated myocardial infark (NSTEMI) atau STEMI harus memperhatikan konsisi hemodinamik pasien. B-bloker hanya 22
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
5. KOMPLIKASI
6. PROGNOSIS
7. UNIT YANG MENANGANI
diberikan pada kondisi hemodinamik stabil 3. Pemberian angiotensin convertin enzyme inhibitor (ACE-1) atau angiotensin receptor bloker (ARB) pada pasien NSTEMI atau STEMI apabila hipertensi persisten, terdapat infark miokard anterior, disfungsi ventrikel kiri, gagal jantung, atau pasien menderita diabetes dan penyakit ginjal kronik. 4. Pemberian antagonis aldosteron pada pasien disfungsi ventrikel kiri bila terjadi gagal jantung berat (misal gagal jantung New York Heart Association/ NYHA kelas III-IV atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% dan klinis terdapat gagal jantung Hipertensi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis pembuluh darah, retinopati, stroke atau TIA, infark miokard, angina pectoris, gagal jantung Hipertensi tidak dapat disembuhan, namun dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai. Terapi kombinasi obat dan modifikasi gaya hidup umumnya dapat mengontrol tekanan darah agar tidak merusak organ target. Oleh karena itu, obat antihipertensi harus terus diminum untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi. Stusi menunjukkan control tekanan darah pada hipertensi menurunkan insidens stroke sebesar 35-44%, tetapi sampai saat ini belom jelas apakah golongan obat antihipertensi tertentu memiliki perlinndungan khusus terhadap stroke. RS pendidikan : Divisi Ginjal – Ginjal – Hipertensi, Hipertensi, Divisi Kardiologi – Departemen Penyakit Dalam RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
8. UNIT TERKAIT
RS pendidikan : ICCU/ICU, Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Departemen Neurologi RS non pendidikan : ICCU/ICU, Bagin Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Neurologi 1. Katchen T. Hypertensive vascular disease. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson Jl, Loscalzo J. Harrison’s Princples of Internal Medicine. 18 2.
9. REFERENSI
23
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TUBERKULOSIS PARU
1. PENGERTIAN
2. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Demam biasanya subfebril, batuk (dapat ditemukan batuk darah), sesak napas, nyeri dada, berat badan menurun, keringat malam, riwayat kontak penderita TB. Demam, konjungtiva anemis, berat badan berkurang, auskultasi suara napas bronchial, dapat ditemukan ronki basah/kasar/nyaring. Bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara napas jadi vesikuler melemah, bila terdapat kavitas besar ditemukan perkusi hipersonor ertimpani, auskultasi suara amphorik. Darah : LED meningkat Mikrobiologis BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS Kultur Mycobacterium Kultur Mycobacterium tuberculosis positif tuberculosis positif (diagnosis pasti) Foto toraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : infiltrat, pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hilus/KGB paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Imuno-Serologis Uji tuberculim : sensitivitas 93,6 %, spesifitas 98,4%. Kriteria positif uji tuberculin dapat dilihat pada table 1. Tes PAP, ICT-TB : positif PCR – PCR – TB TB dari sputum (hanya menunjang klinis) Pemeriksan adenosine deaminase pada tuberkulosis di cairan pleura, pericardial dan peritoneal. Kriteria positif adalah 100 U/L untuk pleural TB, 92 U/L untuk peritoneal dan 90 U/L untuk efusi pericardial. Sensivitas 100% dan spesifitas 94,6% Pneumonia, tumor/keganasan paru, jamur paru, penyakit paru, akibar kerja. Suportif : istirahat, stop merokok, hindari polusi, tata laksana komorbiditas, nutrisi, vitamin. Medikamentosa : obat anti tuberkulosis (OAT) 1. Kategori 1. Pasien baru yaitu pasien yang belum pernah mendapatkan terapi OAT atau pernah mendapatkan OAT sebelumnya selama <1 bulan, maga rigimen terapinya adalah 2HRZE/4H. Dosis obat dapat dilihat pada table 2. Pada pasien baru yang diketahui resisten isoniazid atau diketahui lingkungan sekita risiko ringgi resisten isoniazid, msks beriksn 2HRZE/4HRE. 2. Kategori 2. Pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT Kultur dan resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST) Jika hasil DST belum ada o Pasien yang gagal terapi (sputum BTA atau kultur tetap positif pada akhir bulan ke-5 pengobatan) Pasien yang putus berobat (pasien yang putus bertobat b ertobat selama >2 bulan berturut-turut) atau kambuh, berikan 2HRZES/1HRZE/5HRE
3. DIAGNOSA BANDING 4. TATALAKSANA
24
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Jika hasil DST sudah ada, sesuaikan terapi dengan antibiotik spesifik pathogen. 3. Indikasi kortikosteroid Meningitis TB TB milier dengan atau tanpa meningitis TB dengan Pleuritis eksudativa TB dengan Perikarditis dengan Perikarditis konstriktiva. Manifestasi klinis insufisiensi adrenal karena TB
Pemeriksaan Terapi
5. KOMPLIKASI PENYAKIT
Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT, periksa hasilDST pada bulan kedua pengobatan, bila terdapat resistensi ganti obat sesuai protocol MDR-TB Cek sputum BTA pada akhir fase intensif (akhir bulan ke-2 terapi pada pasien baru dan akhir bulan ke-3 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT) Jika masih positif, cek ulang sputum BTA pada akhir bulan ke-3 terapi pada pasien baru dan akhir bulan ke-4 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT. Jika masih positf, pasien dinyatakan gagal terapi. Pada pasien baru yang belum pernah mendapat OAT stop kategori 1 atau mulai terapi kategori 2. Cek kultur dan DST pada pasien baru cek bulan dan DST pasien yang selumnya telah mendapat OAT) Jika hasil kultur dan DST positif ditemukan resistensi, maka pasien mulai dulu protocol MDR-TB.
Komplikasi paru:atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks, gagal napas. TB ekstra paru : pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe, Kor Pulmonal Dengan terapi INH dan rifampisin selama 6 bulan dan pyrazinamide selama 2 bulan, sekitas 96-99% sembuh (bagi pasien HIV (bagi pasien HIV negatif) Angka kambuh < 5%.
6. PROHNOSIS
7. UNIT YANG MENANGANI
8.
RS endidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Dalam – Divisi Pulmonologi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
25
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
BENDA ASING DI HIDUNG
1. Pengertian 2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis 6. Penyulit 7. Diagnosa Banding
8. Pemeriksaan penunjang 9. Terapi/ tindakan
10. Prognosis 11. 12. 13. 14. 15.
Tingkat evidanse Tingkat rekomendasi Penelaah kritis Indikator medis Kepustakaan
Segala jenis substansi yang masuk kedalam rongga hidung baik hidup/ organik maupun benda mati/anoranik 1. Hidung tersumbat 2. Secret dalam hidung 3. Rasa sakit/tidak 4. Waktu (sudah berapa lama)/ kapan mulai dirasakan 1. Mirip sinusitis akut, secret mukopurulen 2. Terjadi biasanya unilateral 3. Hidung berbau busuk 4. Obstruksi hidung oleh benda asing sering kali total pada sisi yang terkena 1. Anamnesa 2. Inspeksi 3. Rhinoskopi anterior dan posterior 4. Nasoendoskopi Benda asing di Hidung Tergatung penyebabnya 1. Sinusitis akut 2. Polip hidung 3. Atresia koana 1. Foto Rotgen sinus paranasal 2. CT SCAN Sinus paranasal Prinsip – Prinsip – prinsip prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain: 1. Mengeluarkan benda asing dari dalam rongga hidung 2. Penilaian terhadap mukosa hidung dan bagian dalam rongga hidung yang lain apakah tampak adanya dstruksi atau laserasi yang terjadi akibat benda asing (terutama yang bersifat korosif dan lintah) 3. Evaluasi pendarahan yang terjadi akibat benda asing maupun proses pengambilannya 4. Pemilihan pengobatan antibiotic, analgetik, anti haemorrhagik dan antiinflamasi baik lokal maupun sistemik untuk pasien apabila diperlukan Pasien akan memberikan hasil yang baik dalam 24-28 jam setelah benda asing dikeluarkan I/II/III/IV I/II/III/IV A Epistaksis, perforasi septum dan aspirasi 1. Brendan C Stack jr in Bailey Byron J, Head & Neck SurgeryOtotlaryngology, Fourth edition,volume one, Maxillary and periorbital fractures, Lippincont William-Wilkins,Philadelphia William-Wilkins,Philadelphia USA 2006:70:975-9, 93 26
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
2. Bailey Byron J,Head & Neck Surgery-Otolaryngology, Surger y-Otolaryngology, third edition,volume two nasal Fractures,Liipincont WilliamWilkins,Philadelphia USA,2001:71A:995-1008 3. Guideine Penyakit THT-KL di Indonesia,Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia,2007
EPISTAKSIS
1. Pengertian 2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis 6. Diagnosa Banding 7. Pemeriksaan penunjang
8. Terapi/ tindakan
9. Edukasi
0. Prognosis
Pendarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan nasofaring 1. Ditanyakan hidung sebelah kiri atau kanan atau keduanya 2. Apakah darah mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak, spontan atau karena kecelakaan 3. Lamanya pendarahan dan frekuensinya 4. Riwayat pendarahan sebelumnya, riwayat gangguan pendarahan dalam keluarga dan adanya penyakit – penyakit – penyakit penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus,. Penyakit hati, trauma hidung, penggunaan obat - obatan Setelah memastikan kondisi jalan nafas, pernafasan dan hemodinamik dalam keadaan baik, harus dilakukan pemeriksaan fisik yang lengkap pada hidung dan nasofaring dimana dijumpai pendarahan. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan topikal anasteso dan vasokonstiktor. Dengan melakukan pemeriksaan langsung atau dengan menggunakan nasofaringoskopi dapat dilihat lokasi pendarahan di anterior atau posterior, luka, tumor dan lain lain 1. Inspeksi 2. Pemeriksaan THT Rutin 3. Pemeriksaan Nasoendoskopi 4. Pemeriksaan Radiologi Epistaksis EpistaksisecTrauma/infeksi/bendaasing/Tumor/Lingkungan/Idiopatik EpistaksisecTrauma/infeksi/bendaasing/Tumor/L ingkungan/Idiopatik Epistaksis Ec Penyakit Sistemik Pemeriksaan laboratorium seperti hematologi, gula darah, fungdi hati, fungsi ginjal, EKG Pemeriksaan nasoendoskopi Pemeriksaan radiologi seperti foto sinus paranasal, nasofaring, CT Scan dan angiografi diperlukan untuk mencari faktor penyebab 1. Medikamentosa dengan anti pendarahan dan antibiotik 2. Tampon anterior 3. Tampon Belloqc 4. Ligasi arteri karotis eksterna Epistaksis merupakan gejala bukan suatu penyakit karena itu perlu dicari faktor penyebabnya untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai Bila keluar darah dalam jumlah banyak segera ke rumah sakit 90% kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien dengan hipertensi biasanya pendarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk 27
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
1. Tingkat evidanse 2. Tingkat rekomendasi 3. Penelaah kritis
I/II/III/IV I/II/III/IV B 1. Perforasi Septum 2. Espirasi
3. Indikator medis 4. Kepustakaan
1. Munir D Haryonio Y Rambe AYM. Epistaksi. Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara. Departemen Ilmu Kesehatan Ilmu THT-KL FK USU./ Medan Vol 39(3):274-8 2. Williems PWA, Farb RI, Agid R. Endovascular treatment of epistaxis,AJNR. Oct 2009;30:1637-45 3. Kucik JN, Clenney T.Management of epistaksis. Noval Hospital Jacksonville, Florida. JAFP. January 2005;71:305-311. Available at : http//www.aafp.org/afp/20051015/305.html 4. Tami TA,Merrel JA. Epistaxis. In: Snow Jr JB and Wackryn PA. Ballenger’s. Otorhinolar ryngology ryngology Head and Neck Surgery 17. Centennial edition. Philadelphia. Peoples Medical Publishing House. 2009:551-331. Available at: http://www.aafp.org/afp/20051015/305.html 5. Dhingra PL.Epistaxis In:Diseases of ear , Nose and Throat. Fourth Edition. Elsevier. India. 2007:pp. 166-70 6. Wormald PJ. Epistaxis In : Bailey Bj, Jhonson JT, Newlands SD. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2.4th ed. Lippicontt William & Wilkin. Philadelphia-USA, 2006:506-514 7. Vitek JJ. Idiopatick intractable epistaxis. Departemenet of radiology , university of alabalam Birmingham. 1991;181:113116
28
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
SEPTUM DEVIASI
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik 4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis 6. Diagnosa Banding 7. Pemeriksaan penunjang 8. Terapi/ tindakan
9. Edukasi 10. Prognosis
11. 12. 13. 14. 15.
Tingkat evidanse Tingkat rekomendasi Penelaah kritis Indikator medis Kepustakaan
Septum deviasi adalah suatu pembengkokan septum yang banyak terjadi dan pada derajat tertentu dapat menimbulkan gangguan berupa obstruksi hidung Gejala klinis 1. Obstruksi hidung 2. Perubahan mukosa 3. Hiposmia/anosmia yang disebabkan oleh obstruksi 4. Nyeri Septum deviasi di bagian anterior atau posterior Deformitas hidung 1. Inspeksi 2. Nasoendoskopi 2. Nasoendoskopi 3. Xray Paranasal Septum Deviasi 1. Fraktur os nasal 2. Perforasi septum Foto Polos paranasal CT Scan Paranasal 1. Pada septum deviasi yang ringan tidak menyebabkan gejala dilakukan observasi 2. Pada septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi dilakukan pembedahan septoplasti Anjurkan pasien untuk tidak mengosok – mengosok – gosok gosok hidung Hindari trauma pada hidung 1. Pada pasien deviasi septum nasal akan baik bila cepat ditangani dengan tindakan yang tepat dan belum adanya komplikasi 2. Bila sudah terdapat komplikasi maka harus diterapi dan terapi dilakukan sesudah rekonstruksi septum I/II/III/IV I/II/III/IV A Rinsosinusitis, sumbatan hidung, konka hipertropi sakit kepala 1. Bailey B.J Jhonson J.T Head and Neck SurgeryOtolaryngology,Fourth edition, volume one, Lippicont Williams & Wilkins 2006p : 307-334 2. Maran A.G lund V.J Clinical Rhinology, Thieme Medical Publisher,Inc.,New York,1990. P: 5-15, 82 3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International edition Mc. Graw-Hill, 2003 4. Behrbohm H.,Tardy M.E JR, Essentials of Septorhinoplasty, Philosophy-Approaches-Techinques,Thieme Medical Publisher ,Inc, New York, 2004
29
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
KONKA HIPERTROPI
1. Pengertian
2. Anamnesis 3. Pemeriksaan fisik 4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis 6. Diagnosa Banding 7. Pemeriksaan penunjang 8. Terapi/ tindakan 9. Edukasi 10. Prognosis 11. 12. 13. 14.
Tingkat evidanse Tingkat rekomendasi Penelaah kritis Indikator medis
15. Kepustakaan
Pembesaran pada struktur konka yang terdiri dari tulang yang dibatasi mukosa epitel kolumnar pseudostratified bersilia dengan sel goblet dan banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar lender Hidung tersumbat, sekret pada hidung, sakit kepala, nyeri pada hidung Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terdapat pembesaran konka inferior meupun konka media Anamnesa Pemeriksaan fisik Pemeriksaan radiologi Konka Hipertropi Polip nasi Tumor kavum nasi Foto Polos paranasal CT Scan Paranasal Dengan medikamentosa, bila tidak berhasil dilakukan pembedahan (turbinektomi, turbinoplasty, reseksi submukosa, radiofrekuensi Menghindari faktor penyebab, yaitu alergi non alergi
I/II/I/ II/ III/ IV A Sumbatan hidung, rinitis alergi, rinosinusitis
1. Boeis A.Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Edisi 6 Jakarta :EGC, 1997 2. Balenger ,J.Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Jilid 1 Edisi 13. Jakarta : Binarupa Aksara. 19 99
30
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
ABSES SEPTUM
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 6. Diagnosa Banding 7. Pemeriksaan penunjang
8. Terapi/ tindakan
9. Edukasi 10. 11. 12. 13. 14.
Prognosis Tingkat evidanse Tingkat rekomendasi Penelaah kritis Indikator medis
15. Kepustakaan
Pus yang terkumpulnya diantara tulang rawan dan mukoperikondrium atau tulang septum dengan mukoperiostium yang melapisinya 1. Hidung tersumbat yang progresif 2. Rasa nyeri terutama di dorsum nasi 3. Demam dan sakit kepala Anamnesisi : Perlu dipertanyakan adakah riwayat operasi hidung sebelumnya gejala peradangan hidung dan sinus paranasal, furungkel intra nasa, penyakit gi dan penyakit sistemik Rinoskopi anterior : tampak pembengkakan unilateral ataupun bilateral, mulai tepa di belakang kolumella meluas ke posterior dengan jarak yang bervariasi Anamnesa Pemeriksaan fisik Abses Septum Tumor sinus paranasal Tumor Cavum nasi FNAB dan laboratorium rutin Foto polos paranasal CT Scan Paranasal 1. Drainase 2. Antibiotic parenteral 3. Rekonstruksi defek septum Anjurkan pasien untuk tidak menggosok – menggosok – gosok gosok hidung Hindari trauma pada hidung Abses septum dapat berakibat nekrosis kartilago septum I/II/I/ II/ III/ IV A Perforasi septum
1. Cervera E.J Calderon N.R Enriquez de Salamanca J, Post Traumatic haematoma and abscess in the nasal septa of children. Acta otorinolaryngology. 2008;59(3):139-41 2. A. George, WK Smith, S.Kumar. Posterior nasal septal abscess in a healthyadult patient. Laryngology and otology 2008;122,1386-88 3. Pang KP, sethi DS, Nasal Septal Abscess : unusual complication of acute spenoethmoiditis. J. Laryngology Otol 2002;116-543-45 4. Trimartani,Diany Sawitra, Septorinoplasti : Penanganan Komplikasi Abses Septum akibat trauma. ORL. Indonesia 2000:21-28
31
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
RINTIS ALERGI
1. Pengertian 2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria Diagnosis
Suatu peradangan pada mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE Rinore (hidung beringus yang encer dan banyak), besin-bersin, hidung tersumbat dan hidung gatal. Gejala ini paling tidak terjadi selama dua hari berturut – turut atau lebih selama > 1 jam sehari. Gejala tersebutbersifatmenahun dan hilang timbul terkait dengan paparn alergen. Gejala lain adalah penciuman berkurang. Menghilang, lendir dibelakang hidung, batuk - batuk 1. Rinoskopi anterior : Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yan banyak. Bila gejala persisten, konka inferior tampak hipertrofi 2. Nasoendoskopi anterior : Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi 3. Pada anak dapat dijumpai tanda alergi seperti : Allergic shiner, allergic salute, allergic crease atau fascies adenoid. 1. Berdasarkan lama penyakit : Intermiten : yaitu jika penderita mempunyai gejala selama kurang dari 4 hari dalam 1 minggu, atau penyakitnya baru berlangsung selama 4 minggu Persisten : bila penderita mempunyai gejala selama lebih dari 4 minggu 2. Berdasarkan beratnya penyakit : Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut : Gangguan tidur, gangguan aktivitas harian dan gangguan pekerjaan atau sekolah Sedang,berat, jika gejala hidungnya mengakibatkan gangguan pada satu atau lebih aktifitas sebagai berikut : Gangguan tidur, gangguan aktivitas jharian dan gangguan pekerjaan atau sekolah Rinitis alergi 1. Rinitis Infeksi (virus/bakteri atau jamur) 2. Rinitis akibat kerja 3. Rinitis medikamentosa 4. Rinitis hormonal 5. Non5. Non- allergic Rhinitis Eosinophilic Syndrome (NARES) 1. Pemeriksaan darah/ laboratorium : Hitung jenis, jumlah eosinofil meningkat, IgE serum total dan IgE serum spesifik meningkat 2. Kerokan mukosa hidung : Eosinofil dominan 3. Uji tusuk kulit/prick test dengan jarum tunggal atau multiple prick test. Dapat dilanjutkan dengan uji kulit intra dermal pengencern berganda 4. Foto polos sinus paranasal (bila dicurigai ada komplikasi sinusitis, bila tidak ada respon terhadap terapi atau direncanakan untuk tindakan operasi) 5. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk menindaklanjuti respons terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung
5. Diagnosis 6. Diagnosa Banding
7. Pemeriksaan penunjang
32
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
6. Tes provokasi hidung (nasal challenge test) 8. Terapi/ tindakan 9. Edukasi
10. Prognosis
11. 12. 13. 14.
Tingkat evidanse Tingkat rekomendasi Penelaah kritis Indikator medis
15.
Kepustakaan
Menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal h al ini mengubah gaya hidup seperti pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stress Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat terapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan sebagian besar melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten dengan baik I/II/I/ II/ III/ IV A Rinosinusitis akut dan Rinosinusitis Kronik
1. ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma). ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) report 2010. Canada : World Health Organization; 2010 2. Dhingra PL. Allergic Rhinitis. In: Disease of Ear, Nose and Throat, 4th Edition. Noida : Elsivier, 2009.p. 157-9 3. Pinto JM. Naclerio RM. Allergic Rhinitis. In : Snow JB, Ballenger JJ editors. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th Ed. New York : BC Dokter; 2003.p. 708-39
33
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
RINOSINUSITIS
1. Pengertian 2. Anamnesis
Penyakit inflamasimukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal 1. Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari 2. Sumbatan hidung 3. Nyeri/ rasa tekanan pada wajah 4. Nyeri kepala 5. Demam 6. Nyeri periorbital 7. Nyeri gigi 8. Nyeri telinga 3. Pemeriksaan fisik 1. Rinoskopi anterior : 2. Nasoendoskopi anterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal trip) 4. Kriteria Diagnosis No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis kronis Dewasa Anak Dewasa Anak 1 Lama gejala < 12 <12 ≥ 12 ≥12 dan tanda minggu minggu minggu minggu 2 Jlh episode <4x/tahun <6x/tahun ≥4x/tahun ≥6x/tahun serangan akut, masingmasing berlangsung minimal 10 hari 3 Reversibilitas Dapat sembuh Tidak dapat sembuh smukosa sempurna dengan sempurna dengan pengobatan pengobatan medikamentosa medikamentosa 5. Diagnosis Rinosinusitis 6. Diagnosa Banding 1.Rinitisakut 1. Rinitisakut (common cold) 2. Neuralgia 2. Neuralgia trigeminal 3. Rinovirus 4. Polip nasal 5. Infeksisalurannafasatas 6. Rinitisalergi 7. Polip nasal 7. Pemeriksaan penunjang 1. Nasoendoskopi 1. Nasoendoskopi 2. Rinofaringolaringoskopi 3. Pemeriksaan Kemosensori Penghidu (Sniffin Stick Test) 4. Pemeriksaan menegakkan adanya gangguan penghidu 5. Foto rontgen Polosposisi Waters, Schedel PA dan Schedel Lateral pada sinusitis akut yang tidak respon dengan terapi medikamentosa selama 7 hari 6. Tomografi komputer sinus Paranasal 7. Pemeriksaan tomografi komputer sinus merupakan standar baku emas diagnosis rinosinusitis akut dengan komplikasi dan kronik karena mampu menilai factor risiko yang berupa variasi anatomi atau perluasan penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruha. Umumnya dikerjakan sebagai penunjangdiagnosis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus 8. Pemeriksaan mikrobilogik dan tes resistensi (bila tidak ada p erbaikan 34
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
dengan terapi antibiotik yang diberikan sebelumnya) 9. Pemeriksaan alergi (bila ada riwayat alergi) 8. Terapi/ tindakan
1. Medikamentosa Antimikrobial golongan penisilin sebagai terapi lini pertama seperti amoksisilin, amoksisilin- klavulanat Steroid topical dan/atau dekongestan oral Mukolitik Instranasal spray Anthihistamin generasi kedua 2. Operasi Mengontrol faktorr – faktorr – faktor faktor resiko seperti riwayat alergi,asma,polutan seperti rokok serta feflukslaringofaringeal dan asupan nutrisi yang seimbang Pasien diedukasi pencegahan untuk rinosinusitis akut dentogen dengan menjaga oral higiene. Pasien diabetes edukasi mengenai kontrol gula darah Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40% akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang 5% Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik , meningitis, absesotak atau komplikasi extra sinus lainnya. Sedangkan prognosisi untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa selulitis orbita, trobosis sinus cavernous, perluasan ke intracarnial (abses otak, meningitis dan pembentukan mukokel. I/II/I/ II/ III/ IV B
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat evidanse 12. Tingkat rekomendasi 13. Penelaah kritis 14. Indikator medis 15. Kepustakaan
1. Pinheiro AD, facer GW, kern EB, Rinosinusitis: current concept and management Bailey Calhoun KH Healy GB Billsbury HC JT, Tardy ME, Jackler RK eds. Head and neck surgeryotolaryngology Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins 2001: 345-57 2. Mangunkusumo E, Nusjirwan R. Sinusitis. Dalam : Soepardi ES, Iskandar eds. Buku ajar ilmukesehatan telinga-hidung-tenggorok kepala leher. Edisi ke 5 jakarta : Balai penerbit FK UI ; 2001 120-4
35
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
KISTA SINUS MAKSILA
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis 6. Diagnosa Banding 7. Pemeriksaan penunjang 8. Terapi/ tindakan 9. Edukasi 10. 11. 12. 13. 14.
Prognosis Tingkat evidanse Tingkat rekomendasi Penelaah kritis Indikator medis
15. Kepustakaan
Kista retensi atau mukokel yang terdapat pada rongga sinus maksila berisi cairan mukoid yang terletak intra oral di dasar sinus, dinding lateral dan kadang – kadang – kadang kadang melibatkan permukaan sinus paranasal lainnya 1. Nyeri tumpul setempat pada region sinus 2. Rasa pebuh atau baal pada pipi 3. Wajah simetri 4. Gigi pada molar dan premolar bengkak dan sakit pada waktu gosok gigi 5. Post nasal drip Dari rinoskopi anterior terkadang tidak menunjukkan kelainan, bila kista kecil. Apabila sudah membesar terdapat tanda seperti pada sinusitis, secret yang mengental, konka hypertrophy, mukosa hidung hipernis dan oedem Anamnesa Pemeriksaaan fisik Pemeriksaan radiologi Kista Sinus Maksila Tumor sinus maksila Polip pada sinus maksila Foto polos paranasal CT-Scan paranasal Enukleasi atau pengangkatan kista keseluruhan dengan prosedur Caldwell-Luc Disarankan pada pasien untuk mengontrol kesehatan gigi terutama molar dan premolar bagian atas I/II / III/ IV B Rinosinusitis
1. Boeis A. Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi 6 Jakrta : EGC. 1997 2. Balengger, J. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Jilid I Edisi 13. Jakarta : Binarupa Aksara, 199
36
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TUMOR GANAS HIDUNG & SINUS PARANASAL
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis 6. Diagnosa Banding 7. Pemeriksaan penunjang 8. Terapi/ tindakan
Kista retensi atau mukokel yang terdapat pada rongga sinus maksila berisi cairan mukoid yang terletak intra oral di dasar sinus, dinding lateral dan kadang – kadang – kadang kadang melibatkan permukaan sinus paranasal lainnya 1. Obstruksi hidung uniateral dan rinorea 2. Sekret sering bercampur darah (epistaksis) 3. Ingus berbau karena mengandung jaringan nekrotik 4. Sakit kepala hebat, oftlmogia, gangguan visus 1. Penonjolan atau ulkus di palatum atau prosessus alveolaris 2. Penonjolan pipi disertai nyeri atau paresthesia muka jika mengenai nervus trigeminus 1. Inspeksi 2. Nasoendoskopi 3. Foto polos 4. Pemeriksaan laboratorium Tumor hidung dan sinus paranasal Angiofibroma Foto Thorax Cek darah Operatif : maksilektomi rinotomi lateral Kemoterapi dan radioterapi
9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat evidanse 12. Tingkat rekomendasi 13. Penelaah kritis 14. Indikator medis
Epistaksis
15. Kepustakaan
1. Bailey B.J Jhonson .T Head and Neck Surgery-Otolaryngology, Fourth edition, Volume one, Lippincott Williams & Wikins, 2006, P: 307-334 2. Maran A.G, Lund V.J, ClinicalRhinology, Thieme Medical Publishers, Inc, New York, 1990, p:5-15, 82 3. Lee. K.J, Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, International edition, Mc. Graw-Hill, 2003 4. Behrborm H., Tardy M.E Jr. Essentialsof Septorhinoplasty, philosophy Approaches-Techiniques, Tieme Medical Publisher, Inc, New York, 2004
37
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
ANGIOFIBROMA NASOFARING
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis 6. Diagnosa Banding 7. Pemeriksaan penunjang
Tumor jinak nasofaring yang secara histiologik jinak dan secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudahberdarah yang sulit dihentikan Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progressif dan penderita akhirnya bernafas melalui mulut dan epistaksis berulang massif. Timbul rinora konik dan dari hidung keluar ingus yang purulenta dan diikuti gangguan penciuman, rinolalia dan anosmia. Tuli atau otalgia, tinitus akibat okulasi pada tuba eusthacius dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat terjadi bila tumor sedah meluas ke intrakranial, sakit kepala yang timbul akibat dari tumor mengadakan ekspansi ke dasar tengkorak yang mengakibatkan penekanan pada cabang nervus trigeminus kemudian muncul berbagai macam paralysisi dari syaraf yang terkena Dilakukan dengan bantuan alat, yaitu ro\inoskopi posterior ditemukan massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna abu – abu – abu sampai merah muda, bagian tumor yang terlihat biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang keluar nasofaring berwarna putih atau abu – abu – abu, abu, mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukannya adanya ulserasi Diagnosis angiofibroma nasofaring biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang juga menunjang diagnosis Angiofibroma nasofaring Karsinoma nasofaring Pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan anterior, posterior, lateral, posisi waters) akan terlihat gambaran colman miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatna akan melebar, ak an terlihat juga massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar nasofaring Pada CT Scan dengan zat kontras akan tampak perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya Pada pemeriksaan arteriografi, arteri karotis interna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna homolateral Pemeriksaan histopatologik jaringan tumor pasca bedah : tumor terdiri dari unsur pembuluh darah dan jaringan ikat, pada pemeriksaan PA P A tidak dapat dilakukan sebelum pasca pembedahan karena biopsi merupakan kontaindikasi sebab akan mengakibatkan pendarahan massif Selain itu harus pula diperhatikan faktor umur, jenis kelamin, keadaan tumor serta eksistensinya Untuk menentukan peluasan tumor dibuat penderajatan sebagai berikut
38
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
STADIUM I STADIUM II STADIUM III
8. Terapi/ tindakan
Tumor di nasofaring Tumor meluas ke rongga hidung dan/ ke sinus sphenoid Tumor meluas ke salah satu/ lebih dari sinus maksila dan etmoid fosa pterigomaksila dan infremoral rongga mata dan pipi Tumor meluas ke rongga
STADIUM IV 1.Perawatan 1. Perawatan umum a. Perbaikan keadaan umum, jika didapatkan anemia berat dapat diberikan transfusi darah b. Bila terjadi epistaksis usahakn pemasangan tampon anterior hidung, jika perlu dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon bellogue) 2. Perawatan khusus Pengobatan angiofibroma terdiri dari : a. Pembedahan - Pembedahan dianggap sebagai cara pengobatan terbaik dan operasi harus dilakukan di rumah sakit. Kesukaran utama dalam pembedahan adalah pendarahan hebat yang dapat mencapai 2000 – 2000 – 3000 3000 cc dalam waktu yang relatif singkat serta tindakan untuk mengeksisi seluruh jaringan tumor dlam daerah relatif sempit - Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya p erluasannya seperti transpalatal yaitu insisi pada bagian samping hidung luar, rinotomilateral rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial - Teknik degloving yaitu dengan menarik jaringan tengah muka dan hidung ke arah cranial setelah dibuat beberapa insisi sehingga didapati jalan masuk yang luas kearah nasofaring. Billa massa tumor masih tersisa pada saat pembedahan mudah sekali timbul residif b. Radioterapi Radioterapi prabedah diberikan untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan intrekranial dan sekitarnya yang telah mendestruksi dasar tengkorak dan tidak mungkin dilakukan reseksi. Adanya kecenf\drungan tumor berubah menjadi ganas pasca radioterapi, merupakan komplikasi yang tidak diharapkan dapat juga diberikan terpai hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi c. Pengobatan hormonal Pengobatan hormonal dengan dietilstilbestrol 5mg perhari selama 6 minggu depat mengecilkan tumor dan mengurangi kecenderungan terjadinya pendarahn. Oleh sebab itu pemberian hormon sebaiknya diikuti dengan pembedahan
9. Edukasi 10. Prognosis
Prognosis tumor ini jelek kalau tidak secara dini dan dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat dan umumnya prognosisnya ditentukan oleh beberapa faktor : - Keadaan umum penderita 39
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
- Besarnya tumor dan ekspansinya terutama di ke daerah intrakranial - Bila dengan cara operatif tumor dapat diangkat seluruhnya tanpa sisa, prognosisnya baik 11. Tingkat evidanse 12. Tingkat rekomendasi 13. Penelaah kritis
Anemia berat akibat epistaksis yang hebat dan berulang – berulang – ulang ulang Bila tumor telah mengadakan eksitensi ke daerah sekitarnya, maka kemungkinan akan terdapat kelainan – kelainan – kelainan kelainan : 1. Exopthalmus atau ptosis yang terjadi akibat penekanan pada kavum orbita 2. Deformitas tulang pipi dan hidung akibat ekstensi ke sinus dan kavum nasi 3. Paresis dan paralisis akibat ekstensi ke intra kranial, biasanya gangguan pada syaraf II, III, IV dan VI Akibat sumbatan pada ostium tuba eustachius dapat terjadi otitis medis Meluas ke rongga hidung dapat menyebabkan sumbatan ostium sinus sehingga timbul sinsitis yang mengeni seluruh paranasal lainnya Bila tumor meluas ke arah orofaring maka tumor akan menekan palatum molle dan dapat menimbulkan disfagia dan lambat laun menyebabkan sumbatan jalan nafas
14. Indikator medis 15. Kepustakaan
1. Woo JK, Hasselt CA, nasopharyngeal Carcinoma in : ScottBrown’s Otorhinolaryngologi. Head and Neck Surgery, 7th edition, volume 2, Great Britain, 2008;p.2445-70 2. Wei W.I, Nasofaryngeal Cancer in : Byron J. Bailey, Jhonson J.T Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th Edition, 2006; p.1656-71 3. Ondrey FG,Wright SK, Neoplasma of the Nasopharynx in : Ballenger’s Otorhinolaryngology Otorhinolaryngology Hhead and Neck Surgery,Hamilton, Ontario 2003,p. 484-95 4. Plant RL, Neoplasma of the Nasopharynx, In : Ballenger’s Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Hhead And Neck Surgery, BC Decker Inc, Connecticut, 2009;p.1082-88 5. Shah J.P Woden SL,cancer of The Nasopharynx, In : Atlas Clinical Oncologi Cancer Head and Neck Surgery,2001,p.14654 6. Chan et al,Nasopharyngeal carcinoma, in : Phatology and Genetics of Head and neck Tumuors, WHO classification of Tumuors, Lyon 2005 P. 81-097 7. NCCN, clinical Practice Guildelines in Oncology Head and Neck cancer, V.2.2010 8. Vlantis AC, Hasselt CA, Anatomi of the Nasopharynx in : ScottBrown’s Britain, 2008;p.2107-14 2008;p.2107-14 9. Brennan B. 2006, Nasopharyngeal carcinoma ,Orphanet Journal of Rare Disease 1(23):1-5 40
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
FARINGITIS AKUT
1. Pengertian 2. Etiologi 3. Patofisiologi
4. Diagnosis
5. Diagnosa Banding 6. Penyulit
7. Terapi
8. Kepustakaan
Radang akut yang mengenai mukosa faring dan jaringan limfoid dinding faring Penyebab tersering adalah virus. Dapat juga oleh kuman S. pyogene Penularan secara “droplet infection”, atau melalui makanan/minuman. Dapat sebagai gejala permulaan dari penyakit lain misalnya : morbili, influensa,pnemoni,parotitis, dsb. Seringkali bersama – bersama – sama sama dengan penyakit saluran nafas atas lainnya yakni : rinitis akut, nasofaringitis, laringitisdsb 1. Anamnesis : - Tenggorok rasa kering dan panas kemudian timbul nyeri menelan di bagian tengah tenggorok - Demam, sakit kepala, malaese 2. Pemeriksaan - Mukosa faring tampak merah dan udim, terutama di daerah “ lateral band” - Granula tampak lebih besar dan merah - Kadang – Kadang – kadang didapati pembesaran kelenjar regional yang nyeri tekan Tonsilitis akut Bila daya tahan tubuh baik, jarang terjadi penyulit Dapat terjadi penyebaran ke bawah, seperti : laringitis, trakeitis, bronkitis,pnemoni atau ka atas melewati tuba Eusthaksius menimbulkan otitis media akut Bila penyebabnya S. pyogenesisi dapat terjadi komplikasi seperti pada tonsilitis akut Istirahat Banyam minum hangat Analgestik/antipiretik Gargarisma kan Tidak diperlukan antibiotik 1. Ballenger JJ. Disease of the nose, throat, ear head and neck. 13th external ear. In : Philadelphia : Lea & Febiger, 1985:270 2. Jalisi M, Zaidi SH.A short book of ear, nose and throat disease, Karaci : Amazosons, 1985:198-202 3. Hebbert J. Acute infections of the phariynx and tonsils in : Evans JNG,ec. Scott Brown’s otolaryngology. 5th ed. London : Butterworths, 1987:368-83
41
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
FARINGITIS KRONIS
1. Pengertian
2. Anamnesis
Proses inflamasi kronik pada membran mukosa faring yang berlokasi di saluran nafas atas, disebabkan mukosa faring yang berlokasi di saluran nafas atas disebabkan oleh proses infeksi ataupun noninfeksi yang terus – terus – menerus menerus Faringitis kronik nonspesifik Pasien datang dengan keluhan : 1. 2. 3. 4.
Tenggorokan, kering, berlendir, gatal dan terasa tebal Rasa mengganjal di tenggorokan Batuk berdahak kronik Timbul rasa sakit di tenggorokan jika terdapat hal – hal yang merangsang (makanan pedas, asap dll) 5. Terkadang suara bisa serak 6. Bau mulut Faringitis kronik spesifik Faringitis Tuberkulosis
3. Pemeriksaan fisik
Pasien datang dengan keluhan 1. Nyeri hebat di tenggorokan bahkan sampai ke telinga 2. Tanda – Tanda – tanda tanda TBC paru biasanya (+) demam, keringat malam, batuk (dapat disertai darah), pembengkakan kelenjar di leher, penurunan berat badan dll 3. Pada keadaan berat, dijumpai sesak nafas A. Faringitis kronik nonspesifik A.1 Faringitis hiperplastik Perubahan mukosa dinding posterior faring yang tidak rata dan bergranulasi. Mukosa menghasilkan sekret kental. Pembuluh darah di dinding faring mengalami kongesti dan kemerahan. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasia atau menebal. Dinding faring posterior seringkali mempunyai gambaran cobblestone (batu kerikil) karena hipertrofi limfoid A.2 Faringitis atrofi Sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi, tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering B. Faringitis Kronik Spesifik B.1 Faringitis Tuberkulosis Terbentuk lesi tuberkel pada kedua sisi dan sering ditemukan pada posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan palatum durum. Beberapa tuberkel berdekatan bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang sehingga suatu saat akan pecah dan terbentuk ulkus B.2 Faringitis Sifilis Sifilis (Faringitis (Faringitis Leutika) Stadium primer : terdapat bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan daerah posterior faring. Bila infeksi terus menerus maka akan timbul ulkus yang
42
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
tidak nyeri Stadium sekunder : terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar ke arah laring Stadium tersier : terdapat guma terutama pada tonsil dan paltum. Jarang pada dinding posterior faring, jika terdapat guma pada dinding posterior dapat menyebar ke vertebra servikal dan bila pecah dapat menyebabkan kematian Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik Faringitis Kronis 1. Faringitis Difteri 2. Angina Plaut Vincent (Stomatis Ulseromembranosa) 3. Karsinoma Faring 4. Aktinomikosis faring 5. Mononukleosis Infeksiosa 1. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah, kultur, sputum, hapusan mujkosa faring, serologik marker 2. Foto thorax untuk melihat proses spesifik (TB, dll) 1. Pemberian antibiotik adekuat sesuai hasil kultur mikroorganisme dan uji sensivitas (faringitis Tuberkulosis -> penicillin) 2. Pemberian tablet hisap atau obat kumur desinfektan 3. Pemberian steroid jangka pendek 4. Pemberian analgestik 5. Pengangkatan sekuester 1. Istirahat yang cukup 2. Menghindari paparan iritan seperti debu, asap rokok 3. Konsumsi cairan yang banyak 4. Diet ringan yang bergizi 5. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol 6. Menjaga kebersihan gigi dan mulut 7. Menghindari asupan makanan yang pedas dan berminyak Prognosis baik, bergantung pada keadaan sosial ekonomi, pasienm sanitasi, asupan makanan, kebiasaan hidup sehat dan ketekunan berobat IV (sering kambuh) A/B/C
4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan penunjang
8. Terapi/ tindakan
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat evidens 12. Tingkat rekomendasi 13. Penelaah kritis 14. Indikator medis 15. Kepustakaan
1. Centor R.M. Allison, JJ and cohen S.J 2007 Pharyngitis management definingthe contraversy. J Gen Intern Med; 22:127 2. Centor,R.M 2009. Expand the pharyngitis paradigm for adolescent and young adult. Ann Intern Med : 151:812 3. Wessels, M.R 2011 Clinical practice streptocococcal pharyingitis. N Engl j Med; 364:648 4. Pichireco, M.E, 2000. Controversiers in the treatment of streptocccal Pharyngitis. Am Fam Physician ; 42:156.7
43
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TONSILITIS AKUT
1. Pengertian 2. Etiologi 3. Patofisiologi
4. Diagnosis
5. Penyulit
6. Terapi
Infeksi akut pada tonsil Kuman S. Pygenes (50%) dan virus Banyak terjadi pada anak , terbanyak pada usia 5 dan 10 tahun Terjadi radang pada folikel tonsil timbul udim dan eksudasi . Eksudat keluar permukaan, sehingga terjadi penumpukan pada kripte yang disebut detritus. Hal ini terjadi pada infeksi kuman streptokokus 1. Anamnesis - Mula – Mula – mula mula tenggorok kering - Disusul timbulnya nyeri telan yang makin hebat - Anak tidak mau makan - Nyeri menjalar ke telinga (“reffered pain) - Demam (dapat sangat tinggi)nyeri kepala 2. Pemeriksaan - Suara penderita seperti mulut penuh makanan (“plummy voice”) - Mulut berbau busuk - Ptialismus - Tonsil hiperemi dan membengkak, banyak detritus - Ismus fausium menyempit - Palatum mole, arkus anterior danm posterior tonsil udim dan hiperemi - Kelenjar getah bening jugulodigastikus membesar dan nyeri tekan 1. Lokal ; - Peritonsilitis 4-5 hari kemudian menjadi abses peritonsil - Abses parafaring - Otitis media supuratif akut (pada anak – anak – anak) anak) 2. Sistemik : bila penyebabnya S. Pyogenes - Glomerulonefritis akut - Demam rematik, rematoid artritis - Endokardritisbakterial sub akut 1. Istrirahat, makan lunak, minum hangat. Obat kumur (gargarisma kan ). Analgesti/ antipiretik : Asetosal, Parasetamol, 3-4 x sehari 500mg, 3-5 hari 2. Pemberian antibiotik pada tonsilitis karena streptokokus - Untuk kasus berat (sulit menelan), diberikan : Pensilin Prokain 2x0.6-1,2 juta IU/hari, i.m, diteruskan denganfemoksimetil penisilin 4x500mg/hari secara oral. Pengobatan diberikan selama 5-10 hari - Untuk kasus ringan pengobatan langsung dengan Fenoksimetil penisilin 4x500mg/hari (anak – (anak – anak anak : 12,5 mg/kg BB/dosis, 4xsehari). Diberikan selama 5-10 hari - Bila terjadi komplikasi abses peritonsil/parafaring, dilakukan insisi
44
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TONSILITIS KRONIS
1. Pengertian 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis 6. Diagnosis banding 7. Pemeriksaan penunjang
8. Terapi/ tindakan 9. Edukasi
10. Prognosis 11. Tingkat evidens 12. Tingkat rekomendasi 13. Penelaah kritis
14. Indikator medis 15. Kepustakaan
Infeksi atau peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari clincin waldeyer 1. Rasa ada yang mengganjal ketika menelan 2. Riwayat tidur mengorok 1. Tonsil dapat membesar bervariasi 2. Kripta membesar 3. Pilar anterior tampak lebih kemerahan dibanding dengan mukosa faring 4. Pembesaran kelenjar limfa submandibula 1. Inspeksi 2. Pemeriksaan mikrobiologi 3. Pemeriksaan histopatologi Tonsilitis kronis 1. Abses peritonsil 2. Tumor tonsil 1. Laboratorium darah : Hb,Hct,AL,AT,BT,CT, HbsAg 2. Foto rontgen dada, EKG, SGOT/SGPT untuk usia lebih dari 40 tahun 1. Medikamentosa dengan memberikan antibiotic sesuai kultur 2. Pembedahan (tonsilektomi) 1. Menjaga kebersihan mulut 2. Menganjurkan kepala pasien untuk tidak merokok 3. Bila ada gangguan sakit menelan segera diterapi agar mengurangi infeksi Pada umumnya prognosis tonsillitis kronis baik apabila dapat didiagnosis dan diterapi secara tepat dan cepat IV A/B/C Rinitis kronis Sinusitis Otitis media Endokarditis Nefritis 1. Adams G.L. penyakit-penyakit nasofaring dan Orofaring. Dalam : Highler B.A boeis Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta. ECG.197:327-40 2. Bailey B.J. Tonsilitis, Tonsillectomy and adenoidectomy. In : Head and Neck surgery Otolaryngology. Fourth Edition. Texas. Lippincott Williams & Wilkins. 2006:1183-97 3. Rusmarjono, Soepardi E. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil. Dalam : Soepardi E, Iskandar N. Buku ajar ilmu Kesehatan THT-KL. Ed 5 Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001:183-4 4. Ballenger J.J Tonsil. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakart. Binarupa Aksara. 1994:352-7
45
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
LARINGITIS KRONIS
1. Pengertian 2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria diagnose
5. Diagnosis 6. Diagnosa banding
7. Terapi/ tindakan 8. Edukasi
9. Prognosis 10. Tingkat evidens 11. Tingkat rekomendasi 2. Penelaah kritis 3. Indikator medis 4. Kepustakaan
Inflamasi pada membrane mukosa laring yang terjadi lebih dari 3 minggu 1. Suaraparau yang menetap 2. Rasa tersangkut/ seperti ada benda asing di tenggorokan 3. Sering berdehem akan tetapi dahak tidak keluar 1. Mukosa laring menebal 2. Permukaan laring tidak rata 3. Hiperemis pada laring 1. Anamnesa 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan penunjang Latingitis kronis 1. Kista pita suara 2. Stenosis subglotik 3. Sulkus vokalis 4. Lringitis ulseratif idiopatik 1. Mengobati factor predisposisi 2. Tidak banyak berbicara (Vocal rest) 1. Pasien mengistirahatkan suara 2. Dihindarkan menggunakan suara yang berlebihan untuk sementara waktu Tergantung dari penyebab laryngitis kronis III A/B/C Stenosis Laring 1. Bambang Hermani. Dalam: Buku ilmu kesehatan telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6, Jakarta : Balai penerbit FK-UI, 2007: p 237 2. Kenneth W Altman Jamie A. koufiman. Laryngopharyngeal and Laryngeal Infections and Manifestation of Systematic Diseases, In : Ballenger Snow JB, editors. Otorhinolaryngologi head and neck surgery. Ontario : BC Decker Inc; 2009. P.885
46
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
ABSES PERITONSILER
1. Pengertian 2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
5. Kriteria diagnose 6. Diagnosis 7. Diagnosa banding 8. Pemeriksaan penunjang 9. Terapi/ tindakan
10.Edukasi 10. Edukasi
11. Prognosis 12. Tingkat evidens 13. Tingkat rekomendasi 14. Penelaah kritis
Merupakan kumpulan nanah pada daerah peritonsil yang terjadi sebagai komplikasi dari tonsillitis kronis 1. Nyeri menelan 2. Nyeri yang menjalar ke telinga 3. Mulut berbau 1. Palatum mole membengkak dan menonjol ke depan 2. Terdapat fluktuasi 3. Uvula membengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral 4. Tonsil membengkak 1. Anamnese 2. Pemeriksaan fisik Abses peritonsilar 1. Tonsilitis kronis 2. Tumor tonsil 1. Pemberian obat – obatan seperti antibiotic, analgetik dan anti radang 2. Insisi abses 3. Tonsilektomi 1. Menjaga kebersihan mulut 2. Istirahat cukup 3. Memberikan nutrisi & cairan yang cukup Baik II A/B/C 1. Perdarahan 2. Aspirasi paru 3. Abses parafaring 4. Mediatinitis 5. Penjalaran intrakarnial
15. Indikator medis 16. Kepustakaan
1. Rusmarjono, Soepardi E. Abses Leher Dalam : Soepardi E, Iskandar N. Buku ajar Ilmu kesehatan THT-KL. Ed 6 Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2011: 226-7 2. Dhingra PL, Dhingra S. Diseases Of Ear, Nose & Throat. Fifth Edition, Head and NeckSpace Infections, Elsevier, India 2013.277-83
47
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TUMOR JINAK PITA SUARA
1. Pengertian 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan fisik Kriteria diagnose
Diagnosis Diagnosa banding Pemeriksaan penunjang Terapi/ tindakan
9. Edukasi 10. Prognosis
Massa pada pita suara yang bersifat jinak misalnya pita suara, nodul pita suara dan jenis lainnya Gejala klinis penderita tumor jinak pita suara adalah : suara serak 1. Suara serak 2. Apabila massa besar akan timbul sesak nafas 1. Inspeksi 2. Laringoskopi indirek 3. Laringoskopi optik Otitis media supuratif kronik Keganasan laring 1. Cek Lab darah 2. Biopsy Prinsip – Prinsip – prinsip prinsip penatalaksanaan yang dapt diterapkan : 1. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pengangkatan tumor jinak pita suara suara agar suara penderita dapat normal kembali 2. Pemilihan pengobatan simtomatik Penatalsanaan awal adalah istirahat suara dan terapi bicara Pada pasien tumor jinak pita suara prognosisnya baik apabila penatalaksanaanya baik dan tetap
11.Tingkat 11. Tingkat evidens 12.Tingkat 12. Tingkat rekomendasi 13.Penelaah 13. Penelaah kritis 14.Indikator 14. Indikator medis 15.Kepustakaan 15. Kepustakaan
1. Koufman JA, Bellafsky PC, Infectious and inflammatory diseases of the larynx, In : Snow JB jr, Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th ed. Bc Decxker inc 2003. P.1185-53 2. Ludlow CL, Mann EA. Neurogenic and functional disorders Of the larynx. In : Snow JB jr, Ballenger JJ eds. Ballenger’s Ba llenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th ed. BC Decker inc 2003. P.1218-53 3. Lusk RP. Congenital anomalies of the larynx. In : SnowJB jr, Ballenger JJ eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th ed. BC Decker inc 2003:p. 1048-72
48
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TUMOR GANAS LARING
1. Pengertian 2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
Karsinoma yang mengenai laring (supraglotik, glotik, subglotik) Gejala dini : suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu pemeriksaan laring secara seksama Gejala lanjut : sesak nafas dan stridor insporasi, sedikit demi sediki, progresif Kesulitan menelan terjadi pada tumor supragoltik atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau esophagus Pemeriksaan THT : pada laringoskop indirekta (LI) atau laringoskopi serat optik (LSO) dapat diketahui tumor laring Pemeriksaan leher : o Inspeksi : untuk memeriksa pembesaran kelenjar leher, laring dan tiroid o Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid atau tirohoid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laryngeal. Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dank eras. Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening leher. 1. Anamnesis : Gejala dini : suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu pemeriksaan laring secara seksama. Gejala lanjut : sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif. Kesulitan menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau esophagus Pembearan kelenjar leher (kadang – (kadang – kadang) kadang) 2. Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan THT : pada laringoskop indirekta (LI) atau laringoskopi serat optik (LSO) dapat diketahui tumor laring Pemeriksaan leher : o Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring dan tiroid : untuk memeriksa pembesaran pada o Palpasi membrane krikotiroid atau tirohioid, yang merupakan tanda eksistensi tumor ke ekstra laryngeal. Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dank eras. Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening leher 3. Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan radiologi : X-foto leher AP dan lateral (jaringan lunak) Tomogram laring atau CT Scan
Kriteria diagnose
Diagnosis Diagnosa banding Pemeriksaan penunjang
Biopsi : Biopsi laring melalui operasi mikrolaring Tumor ganas laring Tuberkulosis Lring, Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip) 1. Laringoskopi optik 2. Aspirasi biopsi benjolan leher 3. Lab : Darah lengkap, HST, KGD ad random, LFT, RFT, Elektrolit 49
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Terapi/ tindakan
4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4.
9. Edukasi
10. Prognosis
5. 1. 2.
3. 4. a.
b.
c.
Foto Tghhorax PA EKG CT Scan laring potongan axial dengan kontras IV Biopsi laring (operasi mikrolaring) Sesak nafas : Trakeostomi (Emergensi) atau trakeostomi dan mikrolaring (elektif) Stadium I : Radiasi, bila gagal dilanjutkan dengan laringektomi total Stadium II : Laringektomi total Stadium III : Dengan atau tanpa N1 (Node) : Laringektomi diikuti radiasi Stadium IV : raditerapi dan kemoterapi Berhenti merokok Inform concent kegunaan, efek dan komplikasi operasi trakeostomi tidak tersumbat dan memperhatikan kebersihan kanul trakeostomi tidak tersumbat dan memperhatikan kebersihan kanul trakeostomi Rutin kontrol dan menjalani kemoradioterapi sesuai jadwal Menjaga asupan gizi yang baik Supraglottic 5 year relative survival rates Stage I 59% Stage II 59% Stage III 53% Stage IV 34% Glottic 5 year relative survival rates Stage I 90% Stage II 74% Stage III 56% Stage IV 44% Subglottic 5 Year relative survival rates Stage I 65% Stage II 56% Stage III 47% Stage IV 32%
11.Tingkat 11. Tingkat evidens 12.Tingkat 12. Tingkat rekomendasi 13.Penelaah 13. Penelaah kritis 14.Indikator 14. Indikator medis 15.Kepustakaan 15. Kepustakaan
1. Eibling DE, Surgery for Glottic Carcinoma, In :EN Myers,ed Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery Vol 1, WB Saunders, Philadelphia 1997, PP 416-42 2. Jhonson JT. Surgery for Supragiottic Cancer. In: EN Myers,ed.Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery Vol 1 WB Saunders. Philadelphia 1997, pp. 403-15 3. Gopal HV, Frankenthaler R, Fried MP. Advanced cancer of the Larynx. In : BJ Bailey, et al.,eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol2.3rd Ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2001,pp.1505-22 4. Mulyarjo. Berbagai masalah dalam pengolahan kanker laring di 50
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Surabaya. Pidato peresmian jabatan Guru Besar dalm Ilmu THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1998 5. Beasley NJP, Gullane PJ. Cancer of the Larynx, Paranasal Sinuses, and Temporal Bone. In :KJ Lee, ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th Ed. McGraw-Hill, New York, 2003,pp.596-606 6. Concus AP, Malignant Laryngeal Lesions, In: Ak Lalwani, ed. Current Diagnosis & Treatment In Otolaryngology – Head and Neck Surgery International Edition. McGraw-Hill, Boston, 2004,pp. 455-73 7. Kaiser TN & SectorGJ> Tumor of the Larynx and Laryngopharynx. In : JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck, 14th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia 1991,pp.682-746
51
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
BENDA ASING DALAM ESOFAGUS
1. Pengertian 2. Patofisiologi
3.Diagnosis 3. Diagnosis
4.Diagnosa 4. Diagnosa banding 5.Penyulit 5. Penyulit
6.Terapi 6. Terapi
7. Kepustakaan
Benda asing dalam esofagus adalah terhentinya benda asing dalam esofagus Sering terjadi pada anak – anak – anak anak berusia <6tahun Jenis benda asing : - Pada anak – anak – anak anak : yang tersering uang logam - Pada dewasa/orang tua : yang tersering daging, gigi palsu 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan tambahan - Faringitis akut - Esofagitis - Dehidrasi - Lesi esofagus - Perforasi esofagus, denga tanda – tanda – tanda tanda : pendarahan, nyeri dada krepitasi dan febris - Infeksi (terutama pada Diabetes Melitus) - Dipersiapkan esofagoskopi yang bersifat urgent dengan pembiusan umum untuk diagnosis pasti dan ekstraksi benda asing 1. Ballenger JJ. Disease of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In : Philadelphia : Lea & Febiger, 1985:1369-72 2. Jackson C, JacksonCI. Diseases of the nose, throat and ear. 2nd ed. Philadelphia, London:WB Saunders co,1963:842-55 3. Mc Nab Jones RF. Foreign bodies in esophagus. In : Ballantyne J, Groves J, eds. Scott Brown’s diseases of the ear, nose, throat, 4th ed. Vol IV. The pharynx and larynx. London: Butterworths, 1979;237-43 4. Tucker GF Jr, Holinger LD. Foreign bodies in esophagus or respiratory tract. In: Paparella MM, Shumrick DA, eds. Otolaryngology, Vol III 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Tokyo : WB Saunders Co, 1980:2628-41
52
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
BENDA ASING JALAN NAFAS (Laring,trakea,bronkus)
1. Pengertian 2. Patofisiologi 3. Diagnosis 4. Diagnosisi Banding 5. Penyulit 6. Terapi 7. Kepustakaan
-
Medan,.......... 2015 Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Mengetahui
Koordinator Penyusun
Dr. T. H. Marbun SpAN Ketua Komite Medik
Dr. Beresman Sianipar, SpTHT-Kl Ka. SMF THT-KL
Disahkan Oleh
Dr. Maria Christina, MARS Direktur
53