Policy Brief Status Gizi dan Kesehatan Anak Berbasis Konteks Budaya Lokal ©2015 health advocacy Penulis Agung Dwi laksono Tri Juni Angkasawati Gurendro Putro Wahyu Dwi Astuti Weny Lestari Syarifah Nuraini Septa Agung Kurniawan Harumanto Astutik Supraptini Editor Lestari Handayani
Buku ini diterbitkan atas kerjasama: HEALTH ADVOCACY Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232 Email:
[email protected] dengan PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
Cetakan 1, Desember 2015 Desain Cover Penata Letak
: ADL : ADL
ISBN 978-602-6958-00-6
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
KATA PENGANTAR
Riset Etnografi Kesehatan telah selesai dilaksanakan sebanyak tiga periode oleh Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Setidaknya ada 62 etnik yang telah dipelajari dan dituliskan dalam bentuk buku etnografi kesehatan, yaitu pada tahun 2012 sebanyak 12 etnik, tahun 2014 sebanyak sebanyak 20 etnik, e tnik, dan tahun 2015 sebanyak 30 etnik. Pada riset tersebut ditemukan berbagai unsur budaya yang unik pada setiap etnik. Keunikan spesifik lokal pada tiap etnik dan wilayah ini dengan sendirinya mempunyai value atau nilai yang mempengaruhi kehidupan, termasuk di dalamnya aneka praktek kesehatan dalam keseharian. Permasalahan kesehatan seringkali berkaitan erat dengan adat budaya setempat yang bersifat spesifik lokal. Hal ini merupakan konteks lokal yang seringkali terabaikan dalam perumusan sebuah kebijakan, yang acapkali diberlakukan secara generik sama untuk seluruh wilayah Indonesia. Konteks yang spesifik lokal ini menjadi penting apabila kita ingin mewujudkan kebijakan kesehatan yang benar-benar membumi, yang diharapkan dapat dengan mudah untuk dimengerti dan diimplementasi para pelaksana kebijakan di daerah. Policy brief yang disusun dengan basis konteks budaya lokal ini secara khusus ditujukan kepada policy maker di di tingkat kabupaten. Meski demikian policy brief ini juga akan disampaikan kepada unit utama di Kementerian Kesehatan, baik ibu Menteri Kesehatan, Dirjen Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Dirjen Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit, maupun Dirjen Bina Upaya Kesehatan. Hal ini penting untuk disampaikan agar rekomendasi yang disarankan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk berbagai daerah lain dengan etnik yang serupa.
Surabaya, Surabaya, Desember 2015 2 015 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
drg. Agus Suprapto, M.Kes
iii
DAFTAR ISI
v vii
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI MEMERANGI STUNTING DENGAN DENGAN BAHAN MAKANAN LOKAL Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara Agung Dwi Laksono, Ari Wahyudi, Wahyudi, Arih Diyaning Intiasari
1
BALITA GARIS MERAH, POTRET STATUS GIZI BALITA DI KINDISFEY Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan Gurendro Putro dan Septa Agung Kurniawan
7
STUNTING ETNIK DAYAK OT DANUM, ”PENDEK ASAL KUAT” Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Mas Tri Juni Angkasawati dan Harumanto
19
”KELALAH ”, KEJADIAN SAKIT AKIBAT MELANGGAR “PANTANG MAKAN” Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar Wahyu Dwi Astuti dan Astutik Supraptini
25
KEMATIAN BAYI, HARUSKAH TERUS BERTAMBAH? Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir Tri Juni Angkasawati dan Syarifah Nuraini
31
KEMATIAN BAYI DAN BALITA Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten Weny Lestari
37
iv
PERANG MELAWAN STUNTING DENGAN BAHAN MAKANAN LOKAL Upaya Mengurangi Balita Pendek pada Suku Lani di Distrik Bokondini (Berdasar Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015)
Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara Disusun oleh: Agung Dwi Laksono, Ari Wahyudi, Arih Diyaning Intiasari
RINGKASAN EKSEKUTIF
berbasis konteks lokal ini ditujukan untuk berbasis unt uk mengurangi angka Poli cy br ief bal ita di Suku Lani di stunting (pendek dan sangat pendek) yang tinggi pada balita Distrik Bokondini, Tolikara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan, pola asuh yang tidak tepat, serta penyakit yang disebabkan oleh higiene sanitasi yang buruk ditemukan sebagai kemungkinan k emungkinan penyebab stunting .
PENGANTAR Balita stunting adalah salah satu masalah utama pada status gizi balita di Indonesia selain balita gizi buruk (underweight ). ). Stunting merupakan akumulasi kondisi balita yang pendek dan sangat pendek. Indikator stunting pada balita dihitung berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) (Badan Litbangkes, 2010). Prevalensi balita stunting secara nasional mencapai angka 37,2% berdasarkan data hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Angka tersebut secara nasional meningkat bila dibandingkan dengan prevalensi balita stunting pada Riskesdas tahun 2007 yang berada pada kisaran angka 36,8%. Bagaim ana dengan Toli Tolikar kara? a? Angka prevalensi balita stunting sebenarnya menurun sehingga …t ernyat a memil memiliki iki prevalens prevalensii hanya 31,2% pada tahun 2010 balit a st st unt unting ing yang sangat sangat (Badan Litbangkes. 2007; 2010; t inggi pada tahun t ahun 201 2013, 3, yait u 2013)
m enc encapai apai 52,01% 52,01%..
Bagaimana dengan Tolikara? Kabupaten Tolikara berada pada
1
peringkat paling bawah dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Tolikara memiliki prevalensi balita stunting yang sangat tinggi pada tahun 2013, yaitu mencapai 52,01%. Prevalensi ini naik dari pencapaian pada tahun 2007 sebesar 50,8%. Kondisi balita stunting di Kabupaten Tolikara pada tahun 2013 jauh lebih buruk dari rata-rata nasional, dan juga capaian di Provinsi Papua pada tahun yang sama, yang berada pada kisaran 40,1%. Kondisi Tolikara pada tahun 2015 masih menjadi tanda tanya besar. Apa yang kemungkinan bisa menjadi penyebab hal tersebut?
METODE Policy brief ini diangkat dari hasil riset etnografi kesehatan yang dilakukan di Distrik Bokondini Kabupaten Tolikara. Dua peneliti yang tinggal membaur di masyarakat melakukan pengukuran antropometri pada 31 balita di Posyandu Puskesmas Bokondini pada tanggal 19 Mei 2015. Peneliti mengolah data antropometri tersebut dengan software AnthroPlus yang dikeluarkan oleh WHO (2009) dan melakukan observasi untuk melihat kondisi-kondisi lokal yang kemungkinan bisa menjadi penyebab atau pendukung terjadinya stunting pada balita.
Penelitian ini lebih merupakan evaluasi kebijakan program yang berkaitan dengan gizi balita. Evaluasi dilakukan terhadap output berupa status gizi balita. Status gizi pada policy brief ini dmenyoroti indikator Tinggi Badan per Umur (TB/U).
2
HASIL Hasil pengukuran anthropometri pada balita di Posyandu Puskesmas Bokondini pada tanggal 19 Mei 2015 menunjukkan hasil yang mengejutkan. Lebih dari 90% balita yang berkunjung di Posyandu mempunyai status gizi pendek dan sangat pendek (stunting). Angka ini jauh di atas angka capaian Kabupaten Tolikara pada tahun 2013. Hasil pengamatan menunjukkan realita bahwa mayoritas masyarakat suku Lani di Bokondini mempunyai status sosial ekonomi yang rendah. Rata-rata mereka bekerja sebagai pekebun alami, tanpa intensifikasi. Masyarakat pada umumnya hanya menanam buah dan sayuran. Beras menjadi komoditi yang tidak mudah untuk mereka dapatkan. Mereka harus membeli di Wamena atau menunggu bantuan dari pemerintah. Situasi seperti ini berkontribusi besar pada ketersediaan pangan nabati dalam keluarga, apalagi ketersediaan pangan hewani yang harganya relatif lebih mahal. Menurut Rosalind Gibson (2005), status gizi stunting sangat terkait erat dengan konsumsi mineral Zn dan protein. Secara umum sumber protein hewani mengandung mikronutrien Zn relatif tinggi, namun jenis protein hewani ini merupakan hal langka bagi suku Lani. Orang Lani berkesempatan mengkonsumsi makanan berbahan daging hewan pada saat-saat pesta saja, tidak dalam keseharian.
Kemiskinan dan sanit as asii yang buruk sepe sepert rt i dua sis isii pada pa da uang uan g koin, koi n, semacam paket yang saling melengkapi. Demik De mikian ian pula yang berlaku berlak u pada suku suku Lani…
Kondisi memprihatinkan yang terjadi pada keluarga-keluarga suku Lani ini didukung pula oleh situasi lingkungan yang jauh tertinggal, lapangan kerja minim, pembangunan belum merata, dan minimnya infrastruktur. infrastruktur. Kondisi ini terjadi pada hampir semua bidang seperti kesehatan, pendidikan. Kemiskinan tersebut juga berdampak pada pemenuhan prioritas kebutuhan hidup sehari-hari. Perhatian orang tua terhadap anak menjadi sangat minim, bahkan hampir
3
tidak ada. Pendidikan dan kesehatan adalah contoh ‘bidang’ yang dianaktirikan dan tidak diperhatikan. Tidak sedikit anak yang terpaksa bekerja membantu orangtua di kebun, termasuk juga menjual hasil kebun ke pasar. Anak-anak rela meninggalkan bangku sekolah demi membantu orangtua untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mereka sudah terbiasa hanya makan duatiga potong erom (ubi jalar) untuk memenuhi kebutuhan pangan hariannya.
Anak-anak t ers Anak-anak ersebut ebut sudah t erbi erbias asa a hanya memakan dua-t dua-t iga pot ong erom erom (ubi jalar) jal ar) untuk unt uk me m emenuh menuhii kebutuhan kebut uhan pangan pangan hariannya.
Kemiskinan dan sanitasi yang buruk pada suku Lani di Bokondini. seperti dua sisi uang koin, semacam semacam paket yang saling saling melengkapi. melengkapi. Sering kita jumpai jumpai anak-anak yang tidak berpakaian berpakaian karena mereka memang tidak tidak memiliki pakaian yang cukup. Tidak menggunakan alas kaki saat bermain atau berjualan di pasar. Kampanye gaya hidup sehat seperti cuci tangan pakai sabun atau gosok gigi tiap hari, sama sekali tidak nampak dilakukan dalam keseharian. Secara faktual, kondisi tersebut dianggap wajar bagi orang tua suku Lani di Bokondini. Mereka percaya bahwa mereka telah melaksanakan kewajiban sebagai orang tua ala suku Lani. Indikator stunting secara umum menggambarkan status gizi yang bersifat kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, pola asuh yang tidak tepat, serta sering menderita penyakit secara berulang karena hygiene dan sanitasi yang kurang baik (Badan Litbangkes, 2007). Ketiga hal tersebut menjadi penyebab utama asupan protein yang kurang, sekaligus mendegradasi protein yang tersimpan dalam tubuh akibat sering sakit yang berlangsung lama. Ketiga hal tersebut semuanya ditemukan dalam keseharian suku Lani di Bokondini. Dewasa ini beberapa keluarga suku Lani di Bokondini sudah mulai menggunakan jamban sebagai tempat buang air besar. Mereka tidak sedikit yang masih menggunakan lokasi kebun dan sungai sebagai tempat buang air besar dalam keseharian.
KESIMPULAN Balita stunting di Posyandu Puskesmas Bokondini sangat tinggi, mencapai 90,32%. Beberapa hal yang kemungkinan bisa menjadi penyebab adalah kemiskinan, pola asuh yang tidak tepat, serta penyakit akibat higiene sanitasi yang buruk.
4
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Kondisi di Bokondini yang terjadi pada saat ini bila tetap berlangsung terus menerus, dan tidak ada intervensi apapun, bisa dipastikan balita stunting (pendek dan sangat pendek) akan terus meningkat. Ada kemungkinan seluruh balita di Bokondini akan menjadi stunting. Perlu ada upaya intervensi berbasis konteks lokal, untuk menjamin keberhasilan akselerasi pengurangan balita stunting di Bokondini. Intervensi yang direkomendasikan adalah dengan meminimalisir faktor-faktor penyebab kronisnya status gizi balita stunting di Bokondini. Dinas Kesehatan perlu menggandeng klasis atau gereja sebagai pihak yang berpengaruh dan di”dengar” masyarakat suku Lani di Bokondini untuk melakukan beberapa hal berikut: 1. Melatih masyarakat untuk memanfaatkan dan mengolah makanan tinggi protein-tinggi kalori yang bersumber pada bahan makanan lokal atau yang tersedia di sekitar Bokondini. 2. Merangsang masyarakat untuk beternak dengan memanfaatkan halaman yang masih cukup luas. Misalnya, pemerintah daerah/kecamatan/desa memberi sepasang unggas untuk dipelihara sebagai modal awal. Bimbingan teknis diperlukan untuk untuk mengkondisikan mengkondisikan hal ini. ini. 3. Melakukan edukasi pada masyarakat tentang gaya hidup sehat dengan sanitasi yang baik, melalui peran-peran kader kesehatan yang direkrut sampai pada tingkat dusun.
Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Balitbangkes Kemenkes RI.; Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Balitbangkes Kemenkes RI.; Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2014). Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat . Badan Litbangkes, Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2008). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007-2008. Kemenkes RI.; Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2008). Laporan Propinsi Papua Riset Kesehatan Dasar 2007-2008. Kemenkes RI.; Jakarta Kementerian Kesehatan RI. (2011). Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat . Badan Pelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
5
Rosalind Gibson, 2005. Principles of Nutritional Assessment . Oxford; Oxford University Press World Health Organization (2009). WHO AnthroPlus for personal computers Manual: Software for assessing growth of the world's children and adolescents. Geneva; WHO
Info lebih lanjut bisa menghubungi Agung Dwi Laksono; HP. 081332162622 Email “
[email protected] “
[email protected]””
6
BALITA GARIS MERAH, POTRET STATUS GIZI BALITA DI KINDISFEY Upaya Mengurangi Kasus Gizi Buruk dengan Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga pada Suku Tehit dan Yaben (Berdasar Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015)
Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan dan Gereja Injili Kabupaten Sorong Selatan Disusun oleh: Gurendro Putro, Septa Agung Kurniawan
RINGKASAN EKSEKUTIF
Riset berbasis etnografi ditujukan untuk menyikapi masih adanya kasus gizi buruk di wilayah dengan hasil laut la ut dan sagu melimpah seperti Kampung Konda dan Kampung Wamargege. Gizi buruk adalah dampak dari rentetan panjang penyebab, salah satunya adalah asupan gizi balita kurang terpenuhi dengan dengan akar penyebab adalah krisis ekonomi. Laki-laki Suku Tehit dan Yaben punya kewajiban membayar mas kawin yang besar untuk memperoleh istri dan bila mas mas kawin telah lunas lunas dibayar maka laki-laki punya kuasa penuh atas istri. Mas kawin merupakan jerat hutang suami pada marga yang harus dilunasi. Ditambah hutang perahu pada juragan semakin menambah jerat hutang. Hasil produksi yang tidak seimbang dengan konsumsi ini yang membuat distribusi keuangan di d i tingkat rumah tangga sedikit dan menciptakan kemiskinan dan ketidak mampuan ma mpuan memberikan asupan gizi yang cukup untuk balita mereka.
PENGANTAR Status gizi buruk pada seorang balita merupakan dampak dari beberapa faktor penyebab dalam masyarakat tempat balita tersebut tinggal. Faktor penyebab langsung menyangkut pola makan dan pola asuh anak sedangkan faktor tidak langsung yang menjadi akar permasalahannya adalah krisis ekonomi, politik dan sosial. Satu desa ditemukan balita yang mengalami gizi buruk, hal tersebut mengindikasikan bahwa di desa tersebut terdapat krisis ekonomi, politik dan sosial. Keberadaan krisis ini dipengaruhi oleh kebijakan yang dilakukan oleh
7
pemerintah khususnya di struktur pemerintahan yang lebih atas yaitu distrik dan kabupaten. Adanya balita gizi buruk di suatu desa atau kampung bahkan sampai terjadi kematian menunjukkan betapa seriusnya krisis ekonomi yang ada di wilayah tersebut.
prevalensi balit prevalens bal it a gizi kurang dan buruk di Sor orong ong Sela elatt an sebesar sebesar 47,63%.. Pr 47,63% Pr eval evalens ensii balit a pende pendek k dan sanga angatt pendek sebes sebesar ar 60,70%.. Pr 60,70% Pr eval evalens ensii balit a kurus dan sangat sangat kurr us sebes ku sebesar ar 28,18% 28,18%..
Hasil penilaian IPKM 2013 menyatakan bahwa prevalensi balita gizi kurang dan buruk di Sorong Selatan sebesar 47,63%. Prevalensi balita pendek dan sangat pendek sebesar 60,70%. Prevalensi balita kurus dan sangat kurus sebesar 28,18%. Masalah kesehatan menurut WHO (2010), dianggap serius apabila prevalensi kekurangan gizi balita sebesar 20-29% dan prevalensi dianggap sangat tinggi jika lebih dari 30%. Di samping itu WHO (2010) juga menyatakan bahwa masalah kesehatan masyarakat dianggap berat jika prevalensi stunting berkisar antara 30-39% dan dianggap serius jika lebih dari 40% (Kemenkes, 2014), sehingga dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Sorong Selatan mengalami masalah kesehatan yang sangat serius terkait dengan kasus gizi buruk dan stunting. Dinas Kesehatan Kabupaten tahun tahun 2014 2014 mencatat hanya 1,65% 1,65% balita balita yang yang mengalami gizi buruk. Data tersebut selisih sangat tinggi dengan data IPKM yang menunjukkan angka 47,63 %, sementara itu dari hasil penimbangan bulan Mei pada 28 balita di Konda menunjukkan bahwa balita dengan gizi buruk sebanyak 3 orang, balita dengan gizi kurang sebanyak 7 orang (25%) dan sisanya 18 orang dengan gizi gizi baik (64,3%). (64,3%). Apakah selisih data data yang tinggi menunjukkan “angka penderita gizi buruk” sebagai komoditas politis dan sosial di kabupaten ini?
METODE Penelitian dengan metode etnografi ini mendukung hasil survei yang menunjukkanangka penderita gizi buruk atau pengukuran ekonomi masyarakat di Sorong Selatan. Penelitian ini sebagai potret keadaan gizi masyarakat dilihat dari sisi pandang orang asli (Suku Tehit dan Suku Yaben) di Kampung Konda dan Wamargege Wamargege di Kabupaten Sorong Selatan. Peneliti dua orang (satu dari dari disiplin antropologi antropolog i dan satunya dari disiplin kesehatan keseha tan ) tinggal selama 40 hari antara bulan Mei–Juni 2015. Mereka berbaur dengan masyarakat, melakukan pengamatan dan sesekali melakukan wawancara mendalam dengan penduduk
8
sebagai informan yang yang paham paham akan topik peneliti.
tertentu yang yang ingin diketahui diketahui oleh oleh
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mencari pola hubungan dalam masyarakat. Dengan memahami pola-pola budaya dalam masyarakat ini nantinya akan dicari celah yang memungkinkan masyarakat untuk memperbaiki status gizi balita mereka. Posisi peneliti adalah sebagai agen pemerintah untuk mencari celah kebijakan apa yang bisa disarankan kepada dinas kesehatan dan jajarannya jajarannya untuk memperbaiki status gizi gizi balita.
HASIL Distrik Konda Konda terdiri dari 5 Kampung yaitu: Kampung Kampung Bariat, Bariat, Manelek, Nakna, Konda, dan Wamargege. Fokus penelitian dilakukan di Kampung Konda dan Kampung Wamargege dengan dasar bahwa di kedua kampung tersebut terdapat angka kasus gizi buruk tertinggi di banding ketiga kampung yang lain. Kampung Konda dan Wamargege Wamargege terletak bersebelahan, bersebelahan, untuk menuju kampung kampung ini ada dua jalur yang bisa bisa ditempuh yaitu jalur jalur sungai melewati aliran aliran Sungai Kaibus dari dari pusat kabupaten di Teminabuan. Letak Kampung Konda dan Wamargege berada di tepi Sungai yang memungkinkan dilewati perahu. Sementara untuk jalan darat dari Kabupaten menuju Kampung masih berupa jalan tanah sejauh kurang lebih 30 km dan hanya di beberapa titik saja yang sudah diaspal dan dibeton. Sisa jalan berupan jalan tanah yang berbatu dan menjadi tanah berlumpur jika turun hujan yang susah dilewati mobil. Hanya mobil-mobil double gardan saja yang bisa melewati jalan tersebut. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan tahun 2014 menunjukan bahwa Balita dengan berat badan di Bawah Garis Merah (BGM) tahun 2013 sebesar 7,65%, Gizi Baik 90,7% dan Gizi buruk 1,65%. Wawancara dengan ahli gizi yang ada di Puskesmas Konda menyatakan bahwa acuan data bulanan Puskesmas Konda menggunakan indikator Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB) karena lebih menggambarkan status gizi yang berlangsung secara kronis. Menurut pendapat penulis, kelemahan indikator BB/TB akan mengaburkan dua masalah yang sebenarnya mungkin sedang terjadi yaitu gizi kurang/buruk dan stunting karena menggunakan pembilang dan penyebut yang sama kecil sehingga hasilnya menjadi normal. Indikator Berat Badan /Umur (BB/U) mengklasifikasikan status gizi dalam lima kategori yaitu gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, gizi lebih dan obese. Hasil penimbangan bulan Mei pada 28 balita di Konda menunjukkan bahwa balita dengan gizi buruk sebanyak 3 orang, balita dengan gizi kurang sebanyak 7 orang (25%) dan sisanya 18 orang dengan gizi baik (64,3%). Balita di Wamargege yang
9
ditimbang pada Mei menunjukkan ada 6 balita yang masuk kategori gizi buruk, 10 balita dengan kategori gizi kurang dan 47 dalam kategori gizi baik. Bayi gizi buruk yang ditemui, bahkan ada satu yang meninggal dunia pada bulan Juni, menunjukkan permasalahan kesehatan serius di Kampung ini yang juga berkaitan erat dengan keadaan ekonomi, politik, dan sosial yang melingkupinya. Terlepas dari persentase angka yang ada, 1 penderita gizi buruk saja dijumpai di Kampung Wamargege menunjukkan bahwa permasalahan kesehatan berupa gangguan gizi gizi balita perlu ditangani dengan serius dan masih masih banyak pekerjaan pekerjaan rumah yang belum diselesaikan dengan baik. Pertanyaan yang timbul ,”mengapa di kampung yang kaya akan sumber pangan laut dan dikelilingi hutan sagu masih terdapat bayi gizi buruk?” Fakta di lapangan, hasil laut seperti udang, ikan, lebih banyak dijual ke luar daerah daripada dikonsumsi oleh penduduk. Penampungan udang di Bakoi dan Seneboi, menerima udang yang ada di wilayah tersebut, kemudian dibawa dan dijual ke luar daerah sampai ke Surabaya. Kepentingan ekonomi telah mengalahkan kebutuhan gizi keluarga, sehingga para nelayan lebih memilih menjual hasil tangkapan mereka daripada untuk konsumsi keluarganya. Pandangan orang dalam (native point of view ) faktor penyebab gizi buruk baik faktor penyebab langsung maupun tak langsung adalah a dalah sebagai berikut: Informan
Faktor Penyebab
M
Masih bayi dibawa ke Bakoi; Tidak mengatur jarak anak; Makan udang dan kepiting kepitin g (libido naik); Cacingan; Tidak ada pikiran sayang Maitua; Mama papa cuma tahu cari dan kasih uang tidak pernah memperhatikan kebersihan dan perawatan anak; Orang tua enak bikin tapi malas rawat; Mengganti papeda dengan beras.
D
Rumah terlalu banyak orang; Satu rumah ditempati ditempat i 3-4 KK; Buang air besar sembarangan; Diare; Tidak mau mendengar nasehat petugas kesehatan; Mengajak anak kecil dan Mama ke Bakoi,
PKPK
Penimbangan Penimbangan kader kurang akurat
SPK
Penyakit Infeksi Campak dan TB Paru
BPK
Pernikahan yang terlalu muda
MPM
Tidak pernah imunisasi; Suami lebih mementingkan membeli perlengkapan melaut daripada makanan untuk balita; Pamali makan yang asam-asam untuk ibu hamil; Penyakit Serampak (Campak); Batuk Beringus; Panas; Tidak bisa jalan
Sumber: Data Primer
10
Disamping faktor faktor penyebab menurut informan di atas, ada celah manfaat yang bisa diambil dari keterangan keterangan informan bahwa bahwa warga akan akan patuh kepada pegawai pegawai pemerintah atau orang dinas dan gereja. Anjuran dari petugas kesehatan seperti bidan dan mantri sebenarnya selalu dituruti oleh warga kecuali anjuran segera membawa warga yang sakit ke Puskesmas Induk atau rumah sakit, tidak dilakukan karena tidak punya biaya transportasi yang jauh. “Hanya sekali kita hidup itupun akan berlalu, tetapi apa yang kita buat untuk Tuhan kekal takkan layu” ungkapan ini pernah ada di kaos salah seorang penduduk dan pada prakteknya warga Konda dan Wamargege sangat patuh pada aturan gereja. Pengajaran agama yang diselingi dengan pendidikan kesehatan di sebuah (bangunan milik gereja) bisa menjadi celah untuk peningkatan status gizi balita melalui pendidikan dan penyuluhan kepada orang tua.
KESIMPULAN Balita gizi buruk di Kampung Konda dan Kampung Wamargege adalah dampak (jika tidak ingin disebut korban) dari sistem kesehatan, politik, dan ekonomi yang buruka. Udang, Udang, ikan, dan sagu yang melimpah melimpah di sekitar kampung namun anakanak nelayan ini tidak tercukupi kebutuhan gizinya, mengindikasikan adanya ketidak adilan pembagian hasil laut dan distribusi pangan di wilayah tersebut.
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Anak yang sehat dan tidak mengalami kekurangan gizi adalah dambaan warga Konda dan Wamargege sebab hal itu menjamin adanya generasi penerus yang sehat dan mampu melanjutkan estafet kepemimpinan mereka. Keyakinan bahwa suku asli yang memahami sejarah suku, akan mampu memimpin Konda, Wamargege, Wamargege, bahkan Sorong Selatan menjadi me njadi lebih baik. Pembiaran tanpa intervensi terhadap kasus gizi buruk yang selama ini terjadi akan memupus harapan menjadikan anak-anak ini sebagai para calon pemimpin. Lakilaki Konda dan Wamargege dengan kekuasaan penuh kepada istri dan anak “setelah lunas mas kawin”, mengajak anak dan istri ke Kamp Nelayan. Keadaan ini kemungkinan menjadi penyebab kekurangan gizi karena semakin menjauhkan dari fasilitas kesehatan kesehatan dan pemukiman di Kamp Kamp kurang layak untuk untuk ditempati sebagai pemukiman yang sehat sebab selama ini i ni hanya dipakai sebagai wilayah transit. Disarankan Disarankan intervensi intervensi jangka pendek dan jangka panjang. Intervensi jangka pendek mengatasi mengatasi permasalahan permasalahan faktor faktor penyebab langsung dan akar masalah masalah seperti krisis ekonomi, politik, dan sosial menjadi faktor penyebab tidak langsung yang bisa menjadi intervensi program jangka panjang.
11
Rekomendasi: Pertama, Dinas Dinas Kesehatan perlu perlu bekerjasama dengan Gereja Kristen Injili dengan cara berdiskusi berdiskusi dengan para pendeta dan tokoh kampung, mengajak bersepakat bersepakat untuk memasukkan pesan-pesan kesehatan dan pemberdayaan ekonomi keluarga dalam khotbah. Inti pesan adalah para suami tidak mengajak istri dan anak balita ke Kamp Nelayan serta istri dapat memberikan pengasuhan termasuk gizi yang sesuai dengan kesehatan. Langkah pertama ini diharapkan dapat mengurangi angka gizi kurang dan buruk pada balita. Kedua, Petugas Kesehatan Kesehatan Puskesmas memantau pelaksanaan pelaksanaan posyandu yang ada di kampung. kampung. Balita pengidap pengidap penyakit cacingan cacingan dan TB Paru menjadi prioritas pertama untuk untuk segera diobati. diobati. Selain itu memberikan memberikan penyuluhan penyuluhan pentingnya KB untuk mengatur jarak anak perlu dilakukan khususnya bagi kaum bapak, sebab selama ini beberapa bapak meyakini setelah ikut KB istrinya tidak bisa hamil lagi. Diperlukan peningkatan pengetahuan agar para suami memahami KB sehingga tidak ada pelarangan KB oleh suami. s uami.
Daftar Pustaka Adriani, M, Wirjatmadi, B. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat . Jakarta: Kencana Prenada Media Group. BPS Kabupaten Sorong Selatan, 2014, Sorong Sel atan Dalam Angka, Teminabuan Dinkes Kabupaten Sorong Selatan, 2014, Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan 2014, Teminabuan. Subbag Perencanaan Dinkes Kabupaten Sorong Selatan Glance : A Guide for Health Promotion Practice. 2nd ed. New Glanz K, Rimer B. 2005. Theory at a Glance : York: The National Cancer Institute
Kemenkes RI., 2014, Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat , Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Khomsin, A. Anwar, A. Sukandar, D. Riyadi, H. Mudjajanto, ES, 2006, Studi Tentang Pengetahuan Gizi Ibu dan Kebiasaan Makan pada Rumah Tangga di Daerah Dataran Tinggi dan Pantai, Jurnal Gizi Pangan. 2006 1 (1) : 23-28 Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Nurti, Y. Meiyenti, S, 2004, Makanan dan Gizi dalam Konteks Sosial Budaya, Jurnal Antropologi VI (1) 2004. Supariasa IDN; Bakri, B; Fajar, I. 2001, Penilaian Status Gizi , Jakarta : EGC.
Info lebih lanjut bisa menghubungi Gurendro Putro; HP. 081553219846 Email “
[email protected]”
12
STUNTING ETNIK DAYAK OT DANUM ”PENDEK ASAL KUAT” Inisiasi Posyandu dalam Rangka Perbaikan Perilaku Pemenuhan Gizi yang Baik dan Seimbang (Berdasar Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015)
Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Mas Disusun oleh: Tri Juni Angkasawati dan Harumanto
RINGKASAN EKSEKUTIF
Riset Etnografi ini ditujukan untuk menyikapi persepsi yang ada a da di Masyarakat Etnis Dayak Ot Danum di Desa Tumbang Anoi. Masyarakat Desa Tumbang Anoi beranggapan “pendek asal kuat”. Sudut padang ini dapat diartikan negatif maupun positif. Persepsi etnis Dayak ot Danum Da num mengenai “pendek Asal Kuat” dapat dimanfaatkan sebagai sebaga i pintu masuk menginformasikan mengenai pola makan yang benar, cara pengolahan pengolahan makan yang baik dan benar, serta s erta komposisi makan yang memenuhi gizi seimbang.
PENGANTAR Pendek atau yang sering stunting dikenal dengan merupakan “tragedi kesehatan” yang tersembunyi (Trihono, dkk; 2015). Hasil riskesdas 2013 menjelaskan tentang kasus stunting di Kalimantan Tengah sebesar 22,9% dan Kabupaten Gunung Mas 17,8% . Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Gunung Mas tahun 2014, kasus stunting menjadi 23%. Kasus stunting di wilayah kerja Puskesmas
Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Pustu Tumbang Anoi Tahun 2015
N Sumber
13
= 20 Balita = data Primer
Marikoi mencapai 24% dari 150 balita pada tahun 2014, meningkat dibanding tahun 2012 yang mencapai 12%. Selama penelitian berlangsung, ditemukan 8 balita stunting dari 20 balita.
Kas asus us st unt ing di di w ilayah kerja kerja Pus uskes kesma mass M ar ariko ikoii mencapai 24% dar darii 150 balit a pada tahun 2014, 2014, meningkat menin gkat dibanding t ahun 2012 2012 yang mencapai 12% 12%..
Kasus stunting merupakan masalah gizi yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi serta masih merupakan masalah yang serius baik tingkat nasional maupun global. Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya partumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat menghambat perkembangan fisik, mental, kemampuan intelektual, produktivitas anak, dan lebih rentan terhadap terhadap penyakit tidak menular. Kejadian stunting dipengaruhi oleh dua faktor, antara lain keturunan dan lingkungan termasuk sosial budaya. Faktor lingkungan dan sosial budaya berpengaruh 90% dan keturunan menyumbang 10 %. Policy brief ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah kabupaten untuk mengurangi angka kejadian stunting dengan memanfaatkan kondisi sosial brie f ini budaya yang ada di masyarakat. Beberapa rekomendasi dalam policy brief berdasarkan hasil penelitian Etnografi kesehatan yang dilakukan di Desa Tumbang Anoi pada tahun 2015.
METODE Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan pendekatan etnografi pada etnis Dayak Ot Danum di desa Tumbang Anoi, kabupaten Gunung Mas. Dua orang peneliti berlatar belakang sosial dan kesehatan tinggal dan berbaur dengan warga masyarakat Desa Tumbang Anoi selama 35 hari (Mei-Juni 2015). Mereka berusaha memahami sudut pandang masyarakat mengenai kehidupan dan mengamati segala aktivitas mereka. Cara pengumpulan data secara observasi partisipasi ini juga dapat mempererat hubungan dengan masyarakat sehingga data yang diperoleh dapat mendalam.
14
HASIL Di lingkungan desa, tidak ada Posyandu dan kader kesehatan sebagai fasilitas yang dapat memonitor tumbuh kembang bayi dan balita. Mata pencaharian utama masyarakat Tumbang Anoi adalah mendulang (“sedot”) emas, baik baik sebagai sebagai buruh maupun pemilik mesin “sedot” emas. Perolehan mendulang emas sebagian besar dibelanjakan perhiasan dan mengadakan pesta daripada membelikan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Perhiasan emas yang banyak dan besar menunjukkan status sosial dan kesuksesan mereka dalam mendulang emas. Masyarakat Tumbang Anoi etnik Dayak Ot Danum mengandalkan hasil hutan dan “pertambangan emas” untuk memenuhi kebutuhan hidup. Fisik yang kuat dan prima dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya agar memperoleh hasil yang banyak, oleh karena itu timbul persepsi “biar pendek asal kuat bekerja”.
Anggapan etnik et nik Dayak Ot Danum bahw a makan ikan dapat dapat menyebabkan pendarahan, pendaraha n, sedangkan sedangkan bila bil a mengkons m engkonsums umsii sayur dan buah b uah asam dipercaya diperc aya dapat menyebabkan menye babkan janin j anin at au bayi bayi meninggal.
Ada kebiasaan anak balita diajak ibu dan ayah saat bekerja di ladang dan mendulang mendulan g emas. Pola asuh yang diperkirakan mempengaruhi asupan gizi adalah pemberian “nasi keras” kepada anak agar merasa kenyang lebih lama dan tidak mengganggu pekerjaan orang tua. Hal ini menyebabkan proses tumbuh kembang terhambat karena asupan makanan yang kurang bergizi. Berdasarkan Berdasarkan pengamatan ditemukan bahwa pemenuhan gizi yang tidak lengkap ketika ibu mengandung. Pemenuhan gizi yang tidak lengkap dikarenakan terdapat beberapa pantangan atau mitos ketika
15
hamil. Pantangan bagi wanita hamil adalah ikan dan sayur atau buah asam. Anggapan etnik Dayak Ot Danum bahwa makan ikan dapat menyebabkan pendarahan, sedangkan bila mengkonsumsi sayur dan buah asam dipercaya dapat menyebabkan janin atau bayi meninggal. Terdapat keyakinan bahwa ibu pada masa menyusui tidak diperbolehkan mengkonsumsi ikan dan sayuran. Pelanggaran terhadap pantangan dipercaya akan menyebabkan anak menjadi rewel, gatalgatal, dan mencret.
Terdapat keyakinan bahwa bahw a ibu pada masa menyusui menyus ui t idak diperbolehkan mengkonsumsi mengkons umsi ikan dan d an sayuran ayuran.. Pelanggar elanggaran an t erha erhadap dap pantangan dipercaya akan menyebabkan anak menjadi rew rew el, gat al- gat al, dan mencret mencret .
Etnik Dayak Ot Danum di desa Tumbang Anoi mempunyai kebiasaan mengadakan pesta dan ritual. Pesta diakhiri dengan acara makan bersama terutama lauk yang berupa daging hewan ternak (babi, ayam) dalam jumlah Berlebihan.
KESIMPULAN Kepercayaan terhadap pantangan dan pola hidup akibat mata pencaharian menambang emas menyebabkan keluarga kurang memperhatikan pola asuh dan pemenuhan kebutuhan gizi yang yang memenuhi syarat syarat kesehatan. Pandangan “biar pendek asal kuat bekerja ” dapat diartikan negatif maupun positif. Negatif dalam arti bahwa mereka membiarkan anak dan keturunannya untuk tumbuh pendek, sedangkan ”kuat dalam bekerja ” merupakan pandangan positif untuk dapat digunakan dalam melakukan intervensi kesehatan. Mereka hanya mengandalkan mengandalkan kekuatan dalam bekerja membuat
masyarakat mengabaikan
kepentingan pertumbuhan dan perkembangan badan yang normal.
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Ketika stunting atau pendek tidak menjadi fokus perhatian, maka salah satu efeknya adalah terjadi penurunan kecerdasan. Penurunan tingkat kecerdasan
16
dapat menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang. Apa yang bisa dilakukan mengantisipasi keadaan tersebut? Pengetahuan lokal yang tidak memadai dan praktek-praktek yang tidak tepat merupakan hambatan dan permasalahan yang dihadapi. Perlu dilakukan intervensi yang dengan memanfaatkan konsep yang ada di masyarakat. Jargon “ pendek asal kuat kerja ” menjadi salah satu pintu masuk untuk melakukan intervensi. Tubuh menjadi “kuat” diperlukan pemenuhan gizi yang baik dan seimbang. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya:
Jar argon gon “pendek “p endek asal kuat kerja” kerj a” menjadi salah sat sat u pint u masuk masuk unt uk melakukan int ervens ervensi. i. Tubuh menjadi “kuat “kuat ” diperlukan peme pemenuhan nuhan gizii yang baik giz bai k dan seimbang.
1. Menginisiasi Menginisiasi posyandu, sehingga bisa memonitor tumbuh kembang k embang balita di Desa Tumbang Anoi. Pemanfaatan posyandu tersebut untuk melaksanakan program peningkatan gizi seimbang dengan cara masyarakat diberi informasi/pengetahuan informasi/pengetahuan mengenai pola makan yang benar, cara pengolahan makan yang baik dan benar, serta komposisi makan yang memenuhi gizi seimbang. Salah satu cara pemberian informasi dapat melakukan suatu inovasi dengan memanfaatkan local food (exp: sayur umbut ) sebagai salah satu substansi dalam kelas gizi. 2. Pemanfaatan tokoh lokal, salah satunya bidan kampung sebagai salah satu kader kesehatan dan agen untuk memberikan informasi mengenai gizi yang baik dan seimbang. Hal ini dikarenakan s emua warga desa yang hamil memanfaatkan emanfaatkan bidan kampung untuk pemeriksaan kehamilan dan berobat.
3. Pemanfaatan dana desa dapat diajukan untuk reward kepada bidan kampung sebagai kader kesehatan dan pelaksanaan posyandu. 4. Rencana dan anggaran untuk intervensi gizi efektif perlu ditetapkan dengan tugas dan tanggung jawab yang ditentukan dengan de ngan jelas pada setiap tingkat terutama bagi tenaga kesehatan di puskesmas. p uskesmas.
17
Daftar Pustaka Trihono, dkk. 2015. Pendek (stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan. Unicef. Oktober 2012. Ringkasan Kajian: Gizi ibu dan Anak. Unicef Indonesia. www.kualitasnews.com
Info lebih lanjut bisa menghubungi Tri Juni Angkasawati HP. 08121774280 Email “
[email protected]”
18
”KELALAH ”, KEJADIAN SAKIT ”, AKIBAT MELANGGAR “PANTANG MAKAN” Upaya Menggeser Keyakinan Pantang Makanan bagi Ibu pasca Bersalin pada Etnik Banjar (Berdasar Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015)
Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar Disusun oleh: Wahyu Dwi Astuti, Astutik Supraptini
RINGKASAN EKSEKUTIF
Riset etnografi kesehatan ini bertujuan untuk menggali pengetahuan dan praktek kesehatan masyarakat yang menerapkan pantang makanan bagi bag i ibu pasca bersalin di Etnis Banjar, Kalimantan Selatan. Pemahaman pengetahuan tentang pantang makanan, nilai lokal k esehatan ibu dan anak, dan potensi sosial budaya yang dimiliki komunitas, merupakan peluang bagi pembuat kebijakan kesehatan untuk menggeser keyakinan pantang makan sebagai upaya meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak.
PENGANTAR Masa kehamilan dan bersalin adalah masa yang penting dan menjadi fokus perhatian dalam kehidupan masyarakat. Terkait kesehatan ibu, data profil kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2014 menyebutkan bahwa kasus kematian ibu di Kalimantan Selatan sebanyak 105 kasus. Kabupaten Banjar merupakan penyumbang kedua terbesar dengan jumlah kasus kematian ibu sebanyak 16 kasus setelah Kota Banjarmasin. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, perdarahan, eklamsia dan infeksi. Terjadinya kematian ibu tidak lepas dari pengetahuan dan praktek kesehatan masyarakat lokal dalam proses perawatan bagi ibu pasca bersalin. Masih banyak ditemui praktek budaya kesehatan yang menerapkan pantang bagi ibu pasca bersalin. Praktek melakukan pantangan ini menurut budaya setempat bertujuan menjaga kesehatan ibu dan bayi.
19
Praktek pantang pantang dalam waktu lama dapat dapat berakibat buruk buruk terhadap kesehatan kesehatan dan angka kesakitan ibu, salah satunya praktek pantang makanan karena dapat mempengaruhi status gizi ibu dan anak. Diketahui bahwa angka Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur (WUS) di Kabupaten Kabupaten Banjar sebesar 26,01% di di atas rerata provinsi sebesar 23,03%. (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI, 2014). Selain itu, prevalensi gizi buruk di Kabupaten Banjar sebesar 34,9% yang artinya dari 100 balita, 35 orang balita berada dalam status gizi kurang/buruk (Riskesdas 2013).
METODE Penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi ini dilakukan pada Etnis Banjar di Desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dua orang peneliti yang terdiri dari 1 peneliti sosial dan 1 peneliti kesehatan, serta satu asisten peneliti hidup bersama masyarakat selama 35 hari (April-Mei 2015). Dengan hidup bersama masyarakat dan berinteraksi dalam kehidupan keseharian masyarakat, peneliti dapat mengeksplorasi dan menggali pengetahuan serta praktek budaya budaya kesehatan kesehatan masyarakat masyarakat lokal. Penelitian ini dilakukan untuk memberi masukan pada kebijakan kesehatan ibu dan anak di tingkat kabupaten. Tujuannya adalah untuk memecahkan permasalahan permasalahan kesehatan masyarakat berbasis kearifan lokal.
HASIL Desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh berjarak sekitar dua jam dari Martapura, ibukota Kabupaten Banjar. Desa ini ditempuh dari Martapura melalui akses jalan darat dan jalan air. Kondisi infrastruktur jalan kurang bagus. Transportasi umum baik darat serta perairan juga terbatas. Secara geografis desa ini terletak di muara sungai yang kaya potensi perikanan. Keyakinan masyarakat pada “kelalah“ yang dapat menimpa ibu pasca bersalin masih kuat. Kelalah adalah kondisi tubuh yang menurun/sakit pada ibu pasca melahirkan karena karena melanggar pantangan. Ibu pasca melahirkan melahirkan bayi hidup atau atau meninggal wajib melakukan pantangan. Pantangan yang menyebabkan kelalah terdiri dari tiga jenis yaitu kelalah makanan, kelalah gawian /pekerjaan, dan kelalah lakian. Kelalah makanan terjadi karena melanggar makanan yang dianjurkan untuk tidak dikonsumsi ibu setelah bersalin. Kelalah gawian dikarenakan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti menyapu, memasak, dan tersengat matahari saat berada di luar rumah. Sedangkan kelalah lakian diakibatkan karena bersentuhan dan berhubungan seks dengan suami sebelum 40 hari.
20
Fokus penelitian ini pada kelalah makanan bagi ibu pasca bersalin dan dampaknya bagi status kesehatan ibu dan anak. Makanan yang diperbolehkan untuk ibu pasca bersalin adalah bahan makanan dari yang tidak bernyawa. Jika mengkonsumsi ikan Ibu Pas asc ca bersali bersalin n hanyalah ikan kering bukan ikan segar. Selain dianjur kan makan nasi nasi jenis makanan, cara pengolahan pengolahan makanan put ih, ikan gabus ga bus as asin in yang diperbolehkan adalah merebus dan memanggang/bakar. Pengolahan dengan bakar,, cac bakar cacapan, apan, dan d an menggoreng tidak diperbolehkan karena sayur. minyak diyakini memperlama proses penyembuhan luka pasca bersalin dan menimbulkan selulit. Pantang makan yang diterapkan pada ibu pasca bersalin dipercaya memberikan dampak positif pada ibu dan anak. Ibu akan cepat pulih kesehatannya setelah bersalin dan anak tumbuh menjadi anak cerdas, perasaan selalu tenang, dan beruntung. Ibu pasca bersalin dianjurkan makan nasi putih, ikan gabus asin yang dibakar, cacapan, dan sayur. Kadang kala ikan gabus asin diganti dengan telur rebus. Beberapa warga yang menganut kepercayaan pantang makanan tidak bernyawa secara ekstrim hanya mengkonsumsi nasi putih, sayur yang diberi bumbu gula garam, dan gula merah. Namun, konsumsi sayur tidak terlalu disukai oleh masyarakat, lagipula lagipula sayur hijau tidak selalu tersedia setiap hari. Telah dihitung kebutuhan kalori per hari bagi ibu dari beberapa kasus pantang makanan, dieroleh hasil bahwa makanan yang dianjurkan dikonsumsi saat berpantang tidak mencukupi kebutuhan kecukupan kalori ibu. Menu makanan yang terdiri dari nasi putih 1 entong (sendok nasi), 1 potong ikan asin berukuran dua ruas M akanan yang jari, dan cacapan yang dikonsumsi 3 kali sehari dianjurkan hanya didapatkan angka 1.077,4 kalori per hari. Jika ikan asin bakar diganti telur rebus maka menyumbang kecukupan energi yang disumbang oleh 1/ 33-1/ 1/ 2 ke kebutuhan butuhan makanan tersebut adalah 1.078,3 kalori. Ibu kecukupan kec ukupan kalori kalor i per yang ekstrim berpantang hanya dengan mengkonsumsi nasi putih 1 entong dan gula hari bagi ibu pas pasc ca merah sebanyak 1,5-2 sendok makan setiap bersalin bers alin yang juga ju ga kali makan, angka kecukupan energi yang menyusui menyus ui bayinya. bayiny a. didapatkan sebesar 832,4 kalori. Berdasar standar maka kebutuhan energi per hari ibu menyusui sekitar 2.1255-2.500 kalori per hari (PMK RI No. 75 tahun 2013). Berarti, pada ibu yang berpantang hanya memperoleh sepertiga sampai separuh kebutuhan kecukupan kalori per hari bagi ibu pasca bersalin yang juga menyusui bayinya.
21
Pada kasus terkena kelalah makanan, penyembuhannya adalah dengan merendam sisa makanan penyebab kelalah dalam air. Air rendaman diusapkan ke tubuh maupun untuk diminum. Umumnya masyarakat yakin bahwa kelalah hanya bisa disembuhkan secara tradisional, sehingga sebagian besar penderita kelalah tidak mengakses pengobatan St at us giz gizii mempengar uhi modern.
kecepat an penyembuh kecepat penyembuhan an luka lu ka pasca pasca bersalin. bersali n. St St at us gizii yang kurang giz kur ang baik mempengaruhi sis istt em kekebalan keke balan t ubuh yang memberi perl perlindungan indungan t erhadap pen penyakit yakit inf infeks eksi. i.
Dampak pantang makanan mempengaruhi status gizi ibu pasca bersalin. Status gizi mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka pasca bersalin. Status gizi yang kurang baik mempengaruhi sistem kekebalan tubuh yang memberi perlindungan terhadap penyakit infeksi. Pantang makanan pada masa nifas berpengaruh terhadap kesehatan ibu, pemulihan tenaga, penyembuhan luka pasca bersalin dan produksi ASI bagi bayi. Meski keyakinan pada pantangan cukup kuat, masyarakat desa Podok sebetulnya relatif terbuka dengan dengan informasi, termasuk termasuk informasi kesehatan kesehatan kesehatan.
KESIMPULAN Pantang makanan dari bahan makanan bernyawa bagi ibu pasca bersalin masih dipercaya masyarakat Banjar. Jika melanggar, maka akan terkena kelalah. Dalam kasus pantang makanan, ibu pasca bersalin tidak dilarang untuk mengkonsumsi sayur. Sayangnya, persediaan sayur sulit diperoleh di desa ini, sehingga yang dikonsumsi adalah nasi, ikan gabus kering yang dibakar atau telur rebus, cacapan, dan gula merah. Pantang makanan dipercaya mempercepat penyembuhan luka pasca bersalin dan berdampak positif bagi anak, padahal jumlah kalori dan protein yang dikonsumsi sangat kurang dibanding standar. Ibu pasca bersalin membutuhkan nutrisi untuk pemulihan fisik dirinya dan untuk bayi yang disusuinya. Kekurangan asupan gizi membuat kondisi tubuh melemah dan mudah untuk mengalami sakit.
22
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Dibalik data kasus kematian ibu, angka KEK pada WUS dan prevalensi Perubahan perlu perlu dimul di mulai ai dari gizi kurang di Kabupaten Banjar, terdapat kepercayaan pantang levell komunit leve kom unit as dan level makanan bagi ibu pasca melahirkan. t enaga kes kesehat ehat an dengan Kepercayaan Kepercayaan ini merugikan kesehatan melakukan melak ukan rekayasa sos sosial ial ibu dan bayi yang dilahirkan. Bagi Pemerintah Daerah dan Dinas budaya yang menggunakan Kesehatan Kabupaten Banjar, hal ini pendekat pen dekatan an perubahan merupakan masalah yang dapat berbasis berbas is pot ens ensii yang menyumbang pada penilaian status kesehatan daerah. Kondisi kurang dimiliki dimili ki masyarakat masyarakat . ideal ini perlu diubah untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak, yang pada akhirnya berpengaruh positif pada kehidupan keluarga dan masyarakat desa secara umum. Perubahan perlu dimulai dari level komunitas dan level tenaga kesehatan dengan melakukan rekayasa sosial budaya yang menggunakan pendekatan perubahan berbasis potensi yang dimiliki masyarakat. Potensi yang dimiliki desa ini cukup banyak yaitu, masyarakat yang relatif terbuka dengan informasi, kekuatan kegiatan sosial masyarakat, potensi alam, dan masih kuatnya budaya lisan di masyarakat. Dengan kerangka kemitraan antara tenaga kesehatan dan komunitas, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar yang memiliki wewenang dalam pembangunan kesehatan masyarakat perlu mengambil langkah awal yaitu: 1. Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dalam mengenali faktor sosial budaya yang menjadi menjadi potensi potensi dan dan
tantangan untuk perubahan perubahan
budaya kesehatan. 2. Melakukan
kegiatan
peningkatan
kapasitas
masyarakat
dengan
memanfaatkan organisasi sosial masyarakat, kegiatan sosial masyarakat dan simbol-simbol budaya kesehatan. 3. Melakukan dokumentasi serta penyebaran informasi praktek-praktek baik dalam hal perawatan ibu pasca bersalin. Hasil yang diharapkan dari upaya ini yaitu perubahan perilaku masyarakat yang menyadari praktek kesehatan beresiko. Selain itu masyarakat ikut terlibat dalam
23
kegiatan promosi kesehatan, mampu mengidentifikasi isu strategis kesehatan di lingkungannya lingkungannya dan melakukan aksi sosial di bidang kesehatan.
Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI, 2014, Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), Lembaga Penerbit Balitbangkes, Jakarta. Data persalinan Nakes Desa Podok 2014, Kabupaten Banjar. Data PWS bidan Desa Podok Tahun 2014, Kabupaten Banjar. Laporan K1 dan K4 Desa Podok 2014, kabupaten Banjar Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2014, Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan. Profil Kesehatan Kabupaten Banjar, 2013, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar. Profil Kesehatan Kabupaten Banjar, 2014, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar.
Info lebih lanjut bisa menghubungi Wahyu Dwi Astuti; HP. 0811378684 Email “
[email protected]”
24
KEMATIAN BAYI, HARUSKAH TERUS BERTAMBAH? Optimalisasi Fungsi Bidan Desa dalam Penanganan Masalah Kesehatan Ibu dan Anak Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir Disusun oleh: Tri Juni Angkasawati dan Syarifah Nuraini
RINGKASAN EKSEKUTIF
Riset etnografi pada masyarakat Etnik Laut ditujukan untuk menyelesaikan masalah kematian bayi yang masih terjadi. Kematian bayi terjadi karena infeksi tali pusat, persalinan berisiko dan pola konsumsi bayi yang salah. Masyarakat mensikapi sakit yang terjadi pada bayi terjadi karena adanya gangguan orang halus sehingga peran bidan kampung atau dukun selalu sehingga menjadi penolong pertama. Para pengobat tradisional bisa saling merujuk jika pasien tidak bisa mereka tangani. Keterlambatan Ket erlambatan penanganan sakit bayi tersebut yang akhirnya menyebabkan kematian bayi. KeberaPenyembuhan temas, yang menjadi penyembuhan pertama yang biasa dilakukan oleh pengobat tradisional, bisa diadopsi oleh bidan desa untuk melakukan penyembuhan bersamaan dengan pengobatan medis.
PENGANTAR Riset etnografi pada masyarakat Etnik Laut tahun 2014 ditujukan untuk menyelesaikan masalah kematian bayi yang masih terjadi. Kematian bayi terjadi karena infeksi tali pusat, persalinan berisiko dan pola konsumsi bayi yang salah. Masyarakat menyikapi sakit yang terjadi pada bayi terjadi karena adanya gangguan orang halus sehingga peran bidan kampung atau dukun selalu menjadi penolong pertama. Para pengobat tradisional bisa saling merujuk jika pasien tidak bisa mereka tangani. Keterlambatan penanganan bayi sakit tersebut akhirnya menyebabkan kematian bayi. Penyembuhan temas, yang menjadi penyembuhan pertama yang biasa dilakukan oleh pengobat tradisional, bisa diadopsi oleh bidan desa untuk melakukan penyembuhan bersamaan dengan pengobatan medis.
25
120 100 80 60 40 20 0 K1
K4
Persalinan Nakes
2011
20012
Pemeriksaan Nifas
Kunj Ku njun unga gan n Ba Bayi yi
ASII Ek AS Ekss
2013
Grafik 1. Status Kesehatan Ibu dan Anak Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun 2011 - 2013 Sumber: Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2011, 2012, 2 013
METODE Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Menurut Ahimsa, dengan metode ini peneliti akan dapat menyajikan informasi rinci tentang keadaan di lokasi penelitian, mulai dari lingkungan fisik, praktek sosial yang ada, serta mengetahui pandangan dan pendapat mereka yang berada dalam lingkungan tersebut. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipatoris, wawancara mendalam serta pembuatan dokumentasi baik suara maupun visual. Untuk mendapat data yang akurat dan dapat dipercaya maka peneliti tinggal selama 60 (enam puluh) hari di desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, tempat tinggal masyarakat Etnik Laut yang merupakan etnik asli di desa tersebut. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei – Juni 2014.
HASIL Ketergantungan masyarakat Etnik Laut pada lingkungan laut sangat tinggi. Masyarakat Etnik Laut di masa lalu selalu berpetualang dan berpindah-pindah lokasi mengarungi lautan, tinggal dan melakukan segala aktifitasnya di di dalam perahu. Sejak kemerdekaan RI tahun 1945 mereka mulai menetap dan
26
membangun rumah di tepi pantai di gugusan pulau jalur pelayaran yang pernah mereka lalui dalam pengembaraannya. Mereka hidup bersama etnik lainnya yaitu antara lain Banjar, Bugis dan Melayu. Hasil penelusuran peneliti menemukan kasus kematian bayi yang tidak tercatat dalam data Puskesmas Kecamatan Kuala Enok, yaitu pada tahun 2012 terjadi 2 kasus …pad pada a t ahu ahun n 2012 kematian bayi dan 2 kasus lahir mati. Pada tahun 2014, sejak Januari sampai t erjadi 2 kasus kasus pertengahan tahun terjadi 3 kasus kematian kematian kemat ian bayi dan 2 bayi.
kasus kas us lahi lahirr mat m at i. Pada Pada
Empat kematian yang terjadi diperkirakan t ahun 2014, sejak sejak (dari sisi kedokteran) disebabkan karena infeksi tali pusat. Hal ini sangat Januar i sam sampai pai dimungkinkan terjadinya karena kebiasaan pert pe rt en engahan gahan t ahun perawatan tali pusat bayi baru lahir t erjadi 3 kasus kasus menggunakan ramuan garam yang dicampur dengan bedak bayi, yang kemat ke mat ian bayi. dituangkan pada pusar sampai lepas. Praktek tersebut dilakukan oleh bidan kampung. Temuan lain menunjukkan kebiasaan pemberian madu langsung kepada bayi baru lahir, dan pemberian makanan tambahan berupa susu formula dan biskuit pada usia dini yang dapat menyebabkan resiko terjadinya ileus (usus tersumbat). Ditemukan pula perilaku pertolongan persalinan dengan cara mendorong perut ibu beramai-ramai ketika ibu akan bersalin, cara tersebut berisiko memungkinkan terjadi ruptura uteri (robekan rahim). Keadaan ini mengancam keselamatan ibu dan bayi. Etnik Laut menganggap penyakit yang menyerang bayi disebabkan oleh keteguran, kelintasan atau tekene’ . Keteguran, kelintasan ataupun tekene memang 3 (tiga) istilah yang berbeda. Ketiga istilah tersebut memiliki arti hampir sama, yaitu keadaan sakit yang ditimbulkan oleh orang halus. Keteguran adalah bertegur sapa dengan orang halus dan kelintasan adalah bentuk lain dari keteguran namun spesifik ditegur sapa oleh orang halus di langit. Tekene’ adalah perbuatan balasan dari orang halus karena
27
merasa telah dirugikan oleh perbuatan dan kegiatan manusia sehingga marah dan mengirimkan penyakit. Gejala ketiga penyakit pun sedikit berbeda. Jika keteguran ditandai dengan bayi menangis disertai demam maka kelintasan ditandai dengan bayi demam disertai dengan kejang-kejang. Berbeda dengan keteguran dan kelintasan, biasanya gejala penyakit tekene’ lebih berat atau mengalami beberapa gejala tersebut di atas sekaligus atau dengan gejala lain. Menurut masyarakat biasanya tekene’ menimbulkan penyakit yang sifatnya lebih parah dan sulit untuk diobati. Berdasarkan anggapan tersebut, maka tujuan pencarian pengobatan pertama adalah kebidan kampung dan dukun. Jika tidak sembuh maka dukun akan saling merujuk ke dukun lainnya. Alternatif ini terjadi karena bidan kampung dan dukun di desa ini berasal dari beberapa etnis yang berbeda, yang dianggap memiliki keunggulan masing-masing dalam melakukan pengobatan. Masyarakat baru beralih berobat ke tenaga kesehatan ketika bidan kampung atau dukun terakhir yang mereka datangi menganjurkan untuk mendatangi tenaga kesehatan. Hal yang selalu dilakukan oleh pengobat tradisional maupun “orang tua” untuk menangani keadaan sakit tersebut adalah melakukan temas. Temas adalah mengoleskan kunyit pada dahi disertai mantera yang diucapkan dalam hati. Pada bayi yang mati, hampir semuanya dilakukan temas sebagai pertolongan pertama. Jika tidak kunjung sembuh maka akan dilakukan upaya pengobatan lainnya, yaitu mandi dengan ramuan atau melakukan ritual ancak (memberikan sajian). Keterlambatan penanganan secara medis terkait konteks budaya tersebut diperparah dengan ketidak hadiran tenaga kesehatan meskipun tersedia Puskesmas Pembantu (pustu), dan bidan desa yang bertugas tidak tinggal di desa tersebut. Dua orang bidan desa yang bertugas datang secara bergantian dua kali seminggu. Setiap kali datang melayani masyarakat hanya sekitar 2 sampai 3 jam dalam sehari. Masyarakat menjadi enggan berkunjung ke pustu karena keterbatasan jam pelayanan dan nakes tidak rutin mengunjungi fasilitas pelayanan (pustu) di desa. Ditambah lagi, meskipun jarak dari desa di Puskesmas Kecamatan tidak terlalu jauh, namun pasang surut air laut dapat mempengaruhi lama dan kesulitan bagi kapal untuk beroperasi.
28
Di satu sisi masyarakat etnik Laut yang tinggal di pinggir laut merupakan masyarakat yang terbuka, mereka bisa hidup berdampingan dengan etnik lain dan bahkan bisa menerima dan beradaptasi dengan budaya lain. Wilayah desa yang merupakan daerah perdagangan dan pelabuhan memungkinkan mereka mendapatkan informasi dari luar.
KESIMPULAN Etnik Laut yang tinggal di pemukiman tepi pantai merupakan masyarakat yang masih percaya dan melakukan tradisi terkait pertolongan persalinan. Kepercayaan kepada sebab penyakit oleh makhluk gaib/halus menyebabkan mereka masih tergantung kepada dukun yang dianggap mampu memberikan pertolongan menyembuhkan penyakit yang disebut keteguran , kelintasan dan tekene’. Akses terhadap petugas kesehatan yang sulit memperkuat pilihan pencarian pertolongan saat sakit kepada dukun. Kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan penerimaan terhadap etnis lain, serta terbuka terhadap perubahan dan pengetahuan baru merupakan sikap positip etnik Laut.
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Bila pelayanan kesehatan ibu dan anak berjalan terus seperti keadaan saat ini, maka penanganan kasus keteguran , kelintasan dan tekene’, yang seharusnya dapat ditangani secara medis dan lebih cepat dilaksanakan, mengakibatkan kejadian risiko kematian bayi akan terus berlangsung dan makin banyak. Haruskah kita biarkan hal ini? Apa bisa yang bisa kita lakukan? Harapan masyarakat etnik Laut di desa ini terhadap pelayanan kesehatan masih tinggi. Mereka Mereka berharap berharap adanya adanya tenaga kesehatan terutama terutama bidan yang mau menetap dan tinggal di pustu serta rutin membuka mem buka jam pelayanan kesehatan. Rekomendasi yang bisa dijalankan adalah Bidan dapat mengadopsi cara pengobat tradisional yang menggunakan media kunyit sebagai cara untuk menarik masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan secara konvensional. Media kunyit yang dioleskan di dahi penderita tidak bertentangan, dan tidak beresiko terhadap kesehatan secara umum. Bidan memberikan pelayanan kesehatan sesuai kompetensi yang mereka miliki dalam mengobati masyarakat yang datang untuk berobat dengan mengadopsi temas. Pengetahuan masyarakat, khususnya ibu, dapat ditingkatkan melalui acara pengajian rutin yang dilakukan setiap minggu, atau kegiatan keagamaan lainnya pada hari besar tertentu. Acara pengajian dan keagamaan lain dapat dimanfaatkan
29
menjadi wadah sosialisasi karena sangat diminati. Bidan perlu terlibat dalam kegiatan masyarakat seperti pengajian, sehingga akan terjadi pendekatan antara bidan desa dengan para ibu, sekaligus menjadi wadah bidan desa dalam melakukan kegiatan pemantauan kesehatan ibu dan bayi.
Daftar Pustaka Dinkes Kab. Inhil, 2011. Profil Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir . Dinkes Kab. Inhil, 2012. Profil Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir. Dinkes Kab. Inhil, 2013. Profil Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir. Nuraini S dkk, 2015. Tangis Budak dari Negeri Seribu Jembatan Etnik Laut - Kabupaten Indragiri Hilir - Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. 2014. Jakarta: Lembaga Penerbitan Balitbangkes
Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan pada buku
“Tangi “Tangiss Budak dari da ri Negeri Negeri Seribu Jembat an” Bisa diunduh pada tautan berikut: https://www.scribd.com/doc/261675272/Tangis-Budak-dari-negeriSeribu-Jembatan-Riset-Ethnografi-Kesehatan-2014-INDRAGIRI-HILIR
Info lebih lanjut bisa menghubungi Tri Juni Angkasawati HP. 08121774280 Email “
[email protected]”
30
KEMATIAN BAYI DAN BALITA (Berdasar Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015)
Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten Disusun oleh: Weny Lestari
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kejadian kematian bayi dan balita tidak selalu berbanding lurus dengan kemudahan dan ketersediaan akses pelayanan terhadap kesehatan. Faktor budaya dan komunikasi kesehatan terhalang antara masyarakat, pengambil kebijakan, dan penyedia layanan kesehatan menjadi faktor antara penyebab kematian bayi dan balita di Kabupaten Klaten.
PENGANTAR Angka kematian Bayi dan Balita di Indonesia masih tinggi. Penyebab utama kematian pada bayi dan balita adalah kelahiran prematur, asfiksia, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), infeksi, penyakit infeksi (Diare, Pneumonia, Malaria, Campak) dan masalah gizi (gizi kurang dan gizi buruk) (Fitriyanti, dkk, 2014). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, kematian bayi terbanyak di Indonesia disebabkan oleh diare (42%) dan pneumonia (24%), sedangkan penyebab kematian balita disebabkan diare (25,2%), pneumonia (15,5%) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) (6,8 %) (Balitbangkes, 2007). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa angka cakupan ANC di Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut: untuk K1 ideal (ANC pertama kali pada trimester 1) mencapai 93,4%, ANC K4 (ANC 1-1-2 yaitu frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester satu, minimal 1 kali pada trimester dua dan minimal dua kali pada trimester tiga) sebesar 90,6%, dan ANC ≥ 4x (Frekuensi ANC sebanyak minimal empat kali selama kehamilan tanpa memperhatikan periode umur kandungan) sebesar 93,8% (Badan Litbangkes, 2013). Proporsi Tenaga yang memberi pelayanan ANC di Kabupaten Klaten adalah dokter kebidanan dan kandungan sebesar 10,6%, dan 89,5% adalah bidan (Badan Litbangkes, 2013). Data ini menunjukkan bahwa pemeriksaan kehamilan ibu hamil (ANC) di Kabupaten Klaten sudah maksimal, dan pemeriksaan sudah sepenuhnya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten. Namun dari data yang ada masih menyisakan permasalahan kesehatan yang cukup besar bagi Kabupaten
1
Klaten dikarenakan masih tingginya angka kejadian kematian bayi dan balita di Kabupaten Klaten (Badan Litbangkes, 2013). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Klaten, jumlah kematian bayi dan balita di Kabupaten Klaten pada tahun 2014 ada 191 kasus kematian bayi, dan pada tahun 2013 ada 170 kasus kematian bayi. Kecamatan Pedan merupakan daerah dengan kasus kematian bayi tertinggi di Kabupaten Klaten, dengan 22 kasus pada tahun 2014. Dari 22 kasus tersebut, Desa Kalangan merupakan desa dengan kasus kematian bayi dan balita tertinggi di Kecamatan Pedan, dengan 3 kasus sepanjang tahun 2014. Gambaran jumlah kematian bayi dan balita di Desa Kalangan dari tahun 2012-2015 2012-2015 adalah sebagai sebagai berikut: berikut: Tabel 1.
Tahun 2012
2013
2014
2015
Data Kematian Kematian Bayi Bayi di Desa Desa Kalangan Kalangan Kecamatan Kecamatan Pedan tahun 2012 sampai dengan Mei 2015 Jenis Kelamin Anak
Identitas
Usia
Penyebab/Diagnosa
By. Ny. B 1
Laki-laki
-
IUFD
By. Ny. B 2
Laki-laki Laki-lak i
2 hari
BBLR
By.Ny.P
Perempuan
4 hari
Prematur
By.Ny.S
Perempuan
3 hari
Aspexia
By.Ny.W
Perempuan
5 hari
Prematur, ibu HT
By. Ny. Sw
Laki-laki
1 hari
Kelainan Jantung
By.Ny.P
Perempuan
-
IUFD
Anak S
Laki-laki
18 bulan
Kelainan Jantung Bawaan
Bayi Ny.X
Laki-laki
-
IUFD
Bayi Ny. Y
-
-
IUFD
Sumber: Laporan Puskesmas Pembantu Desa Kalangan tahun 2012-2015
Kejadian kematian bayi dan balita masih tinggi, meskipun Data menunjukkan bahwa pemeriksaan kehamilan (ANC) ibu hamil di Kabupaten Klaten sudah cukup baik, dan pemeriksaan pemeriksaan dilakukan sudah sepenuhnya oleh tenaga tenaga kesehatan. Apa yang menyebabkan hal tersebut masih terjadi?
METODE Riset etnografi kesehatan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data penelitian kualitatif adalah dengan cara wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan analisis dokumen. Observasi partisipatif adalah
32
pengamatan dengan cara hidup dan tinggal bersama masyarakat selama 30 (tiga puluh) hari di lokasi (27 April-27 Mei Me i 2015). Proses analisis data lapangan dilakukan secara triangulasi melalui tiga tahapan, yaitu reduksi, pemaparan, dan penarikan simpulan serta verifikasi (Miles dan Haberman, 1992). Tiga tahapan proses analisis data dilakukan secara berkesinambungan, dengan cara mencocokkan kebenaran dan keabsahan data dari sumber informan satu dengan yang lain, meminta pendapat dari para pakar, dan juga merujuk kepada kepada teori, konsep, literatur literatur dan hasil penelitian lain yang relevan. Cara tersebut untuk menjaga validitas dan realibilitas data.
HASIL Kabupaten Klaten berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah, merupakan daerah penyangga dua kota besar yakni Surakarta (Solo) di wilayah Timur dan Yogyakarta di wilayah Barat. Pedan adalah salah satu dari 26 kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten. Terletak di sisi Timur dari kota Klaten. Dari ibukota Kabupaten Klaten, Kecamatan Pedan dapat ditempuh selama 30-45 menit berkendara. Desa Kalangan berjarak 15 km dari ibukota Kabupaten Klaten, dengan kendaraan bermotor bisa ditempuh dalam waktu 30 menit perjalanan. Sedangkan dari ibukota Kecamatan Pedan bisa ditempuh dalam waktu 10 menit berkendara, dengan jarak sekitar 5 km. Akses kendaraan umum menuju Desa Kalangan tidak ada. Kendaraan umum hanya melalui Pedan dan berhenti di terminal terdekat yaitu Ceper dan Wedi, dan itu juga jarang ditemui sewaktu-waktu. Transportasi yang bisa digunakan adalah kendaraan sewa atau taksi dan kendaraan milik pribadi (mobil atau motor). Tidak ada hambatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang banyak tersedia di Desa, Kecamatan maupun Kabupaten Klaten itu sendiri. Mitos dan tradisi budaya Jawa yang ada di Desa Kalangan dianut oleh penganut budaya yaitu masyarakatnya itu sendiri. Namun dalam kehidupan individu dan bermasyarakat di Desa Kalangan ada budaya yang ditopang oleh perilaku individuindividu yang membentuk sistem nilai dalam masyarakatnya dan sebagai identitas kelompok. Rasa kebanggaan diri masyarakat Jawa Tengah pada umumnya terletak pada keturunan dari bangsawan-bangsawan Keraton baik itu Keraton Solo ataupun Keraton Yogyakarta. Pada masyarakat Desa Kalangan muncul identitas masingmasing berdasarkan tanah leluhurnya. Identitas Kalangan secara bersama tidak muncul ke permukaan, tetapi muncul identitas per dukuh. Setiap warga bangga atas asal dukuhnya masing-masing, bangga pada leluhur dari dukuhnya. Tampak pada ikatan masyarakat dukuh pada pemakaman di tiap dukuh yang merupakan
33
cikal bakal dari dukuh tersebut. Leluhur menjadi sangat penting untuk mengikat kebersamaan dalam suatu kelompok. Masing-masing dengan prasangkanya sendiri terhadap satu sama lain sehingga membuat rumit. Norma kesopansantunan dengan bahasa yang halus dalam pengucapan, dan dengan penggunaan bahasa simbolis dalam mengucapkan segala sesuatu. Prasangka muncul karena perbedaan kelas dan perekonomian. Karena masing-masing individu dan/atau kelompok merasa bangga atas identitas diri dan lingkungan di mana mereka tinggal, dalam hal ini adalah dukuh. Bloko suto adalah kata yang umum diungkapkan oleh siapapun di Kecamatan Pedan Klaten, dan Desa Kalangan pada khususnya. Arti dari kata harafiah bloko suto adalah berbicara terbuka atau blak-blakan apa adanya tanpa harus menutupi apapun. Pada kenyataannya, masyarakat Jawa di Desa Kalangan secara budaya tidak bisa menyatakan segala sesuatu secara terus terang terutama kepada orang luar, orang yang dihormati, orang yang dianggap berkuasa, orang yang dianggap lebih tua. Bahasa yang digunakan adalah perumpamaan yang berkebalikan. Dalam kaidah dramaturgi menurut Goffman (1984), front region (bagian depan) yang terkait dengan manajemen impresi untuk membuat orang yang diajak bicara terkesan baik semua, jangan sampai back region terungkap dan terlihat oleh audiens (penonton) yang tidak berkepentingan. Adalah hal yang sangat tidak sopan secara etika dan martabat ketika membuka semua hal yang tidak seharusnya dengan bahasa yang terang dan jelas. Bloko sutho pada masyarakat Desa Kalangan adalah keterusterangan tentang diri dan sekitar menurut pandangan diri sendiri berdasar pengalaman dalam proses kehidupannya. Sehingga satu sama lain terkesan tidak ada benang merah yang menghubungkan. Bloko sutho sebenarnya adalah keinginan terpendam dari masyarakat Desa Kalangan yang secara psikologis ingin mengungkapkan segala sesuatu secara nyata, namun hal tersebut dibatasi oleh nilai-nilai lain yang bertentangan dengan makna bloko sutho itu sendiri.
Budaya Jawa mengedepankan penampilan luar termasuk dalam hal pelayanan kesehatan dari luar haruslah tampak bagus. Standar bagi masyarakat Jawa adalah standar kesopanan, keelokan, dan simbol-simbol yang dipercaya mendatangkan kebaikan atau keburukan bagi individu maupun masyarakat. Kepantasan atau dalam bahasa Jawa disebut “ elok ” dan “ndak elok ” sangat nyata disimbolkan dalam bahasa dan perilaku dalam berhubungan dengan orang sekitar, termasuk dalam hubungan dengan orang yang dianggap lebih tinggi, setara ataupun lebih rendah kedudukannya. Namun dalam berbahasa dengan orang lain masyarakat Jawa Desa Kalangan menggunakan standar kepantasan bahasa. Masalah kepantasan dibagi menjadi 2 hal menurut kebutuhannya, yaitu (1) Moral (berlaku bagi mereka sendiri), contohnya adalah peraturan untuk menghormati tempat keramat, (2) Instrumental (tidak berlaku bagi mereka sendiri), contohnya
34
adalah kewajiban dalam pekerjaan. Dalam hal kepantasan ini masyarakat Jawa Desa Kalangan mengikuti mitos dan tradisi Jawa (kejawen Solo) yang masih berlaku dan dijalani oleh masyarakat Jawa di desa tersebut. Mitos dan tradisi adalah kepantasan moral masyarakat Jawa, sedangkan dalam kepantasan instrumental, masyarakat Jawa desa Kalangan masih sulit muncul dalam penampilan yang menonjol. Dibawah ini adalah peran-peran dari masyarakat Jawa Desa Kalangan yang terlibat dalam kemajuan atau kemunduran dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak: 1. Kader Posyandu dan Bidan Desa Desa Kalangan memiliki 35 orang Kader Posyandu dengan masing-masing Posyandu (7 Posyandu) terdiri dari 5 orang. Namun setiap bulan penimbangan tidak pernah lengkap dikarenakan oleh kesibukan masing-masing personil. Kader Posyandu di Desa Kalangan sebagian sudah berusia lanjut, ada kelemahan dalam membaca timbangan bayi dan balita dikarenakan oleh faktor usia. Yang berusia lebih muda kurang bisa berperan karena posisi sebagai yang lebih muda dalam stratifikasi kesenioran masih berlaku. Selain itu, juga berlaku bahwa istri dari perangkat desa harus menjadi kader. Tidak adanya pembagian peran yang jelas dalam Posyandu, dan tidak adanya insentif atas kesediaan menjadi kader posyandu menjadi keogahan seseorang menjadi kader. Semua sama rata, rata, tidak ada pemimpin dalam dalam kelompok kader, kader, yang ada pemimpin definitif dikarenakan sebagai istri perangkat, yang juga masuk menjadi anggota Pokja, yang tidak mengetahui tugas dan fungsinya membuat peran dari kader Posyandu kurang begitu penting. Bidan yang seharusnya berperan sebagai sentral keberhasilan kader Posyandu memiliki beban yang berat. Apalagi hubungan antara bidan, kader dan masyarakat pengguna layanan posyandu masih membangun rasa prasangka antara satu dengan yang lain. 2. Faksi Masyarakat, Pemimpin lokal dan kerjasama lintas sektor Tidak ada penguasa sentral yang paling disegani dan dipatuhi oleh masyarakat Desa Kalangan. Masyarakat menjunjung menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lama, adat istiadat Jawa diampu oleh para golongan tua, sesepuh-sesepuh yang berusia diatas 60 tahun. Masih memegang tinggi adat dan kesenian lokal. Berbeda dengan generasi berikutnya yang kurang mengindahkan dan memahami nilai-nilai Jawa, karena alasan kepraktisan. Namun golongan muda ini tidak serta merta meninggalkan seluruh tradisi dan mitos yang masih diyakini. Golongan tua juga berfaksi dari golongan kesenian, golongan tani, golongan pengusaha kecil tahu tempe yang bergabung dalam wadah koperasi. Faksi antar dukuh dan keturunan leluhur yang ada di makam dukuh. Tiap dukuh merasa menjadi yang paling pantas untuk menonjol, dukuh lain digosipkan atas segala sesuatu yang dianggap tidak pantas.
35
Banyaknya pilihan fasilitas kesehatan selain Pustu yang dilayani oleh 1 orang Bidan Desa, membuat masyarakat memilih yang mereka percaya. Perihal kepantasan dan ketidakpantasan, rasa bangga dan prasangka antara satu dengan yang lain menimbulkan hambatan komunikasi kesehatan, sehingga banyak data KIA yang tidak tercover. Fokus utama pembangunan dari kepemimpinan kepala desa yang sekarang adalah pembangunan infrastruktur desa seperti jalan desa, gapura desa, pengairan sawah, pengadaan air bersih di beberapa dukuh yang kondisi air tanahnya kurang memenuhi standart kesehatan, proyek jamban sehat dan rumah layak huni bagi warga yang rumahnya kurang layak, dan rencana akan dibangun sarana olah raga yang akan dibangun di lahan bekas sekolah. Visi kepala desa yang saat ini memimpin sudah sangat baik, meski banyak pro dan kontra terhadap kepemimpinannya, karena banyaknya faksi di tiap dukuh. Kesehatan cenderung diabaikan karena masih menganggap urusan kesehatan k esehatan menjadi urusan Bidan. Pemimpin lokal yang lain seperti tokoh agama, tokoh budaya, tokoh pembela hak asasi manusia (HAM), bernasib sama dengan tokoh-tokoh lain tidak bisa menonjol akibat adanya sikap prasangka antar tokoh di wilayah ini. Sehingga tidak ada tokoh sentral yang bisa mengikat seluruh warga Desa Kalangan. Untuk itu, diperlukan tokoh budaya lokal yang mampu menjembatani perbedaan kepentingan antar faksi yang ada di wilayah ini. 4. Supranatural Danyang Dukuh adalah leluhur dari cikal bakal dukuh. Semacam pendiri atau pemimpin awal dari Dukuh yang membuka dan menguasai kampung perdukuhan tersebut. Leluhur dukuh tersebut memiliki peran penting dalam mengikat warga dalam satu dukuh untuk bersatu. Mereka dimakamkan di makam-makam perdukuhan dan biasanya makamnya dianggap keramat oleh warga dukuh setempat.
KESIMPULAN Masyarakat Masyarakat Desa Kalangan Kalangan memiliki kesempatan memilih sesuai keadaan keadaan mereka karena ada banyak pilihan fasilitas kesehatan di lingkungannya. Masyarakat bebas memilih tenaga kesehatan yang terjangkau dan dipercaya seperti dokter, bidan, dan mantri untuk pelayanan kesehatan, namun bisa juga masyarakat memilih dukun, tempat keramat, dan yang dukuh untuk mengatasi hal-hal yang tidak bisa disembuhkan oleh tenaga medis modern, termasuk dalam hal kehamilan dan persalinan.
36
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Kematian bayi dan balita yang masih banyak terjadi di Desa Kalangan tidak bisa terlepas dari faktor-faktor budaya masyarakatnya, budaya Jawa itu adalah budaya yang rumit dan mendalam. Pemahaman terhadap budaya Jawa bisa menjadi sarana pembangun komunikasi yang sepaham antar pihak. Tradisi Jawa yang masih eksis dan diyakini bersama dapat diangkat untuk peningkatan KIA melalui penanaman tradisi “selametan”. Tradisi ini dapat diisi dengan muatan pengetahuan tentang kesehatan pada fase remaja, usia kehamilan, kelahiran dan perawatan bayi. Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan tentang budaya kesehatan, komunikasi lintas budaya, sehingga para tenaga kesehatan bisa beradaptasi dengan lingkungan juga pesan-pesan kesehatan mudah diterima oleh masyarakat. Perbedaan pemahaman dan rasa prasangka satu sama lain tidak bisa menyatukan dan membuat pemahaman yang sama dari apa yang dikomunikasikan, termasuk di dalamnya dalam hal KIA. Kompetensi budaya juga akan meminimalisir rasa praduga satu sama lain. Langkah strategis pertama yang perlu dilakukan untuk menyatukan perbedaan antar faksi yaitu membangun pusat orientasi bersama dalam bentuk gedung serba guna sesuai dengan rencana dalam RPJM Desa Kalangan tahun 2013. Sarana tersebut selain dapat digunakan sebagai tempat olahraga, juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat pengembangan promosi kesehatan, lomba kader kesehatan antar dukuh, pengembangan ekonomi kreatif, pertanian, kesenian, dll.
Daftar Pustaka Badan Litbangkes (2007) Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007, Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI. Badan Litbangkes (2013) Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI. Desa Kalangan (2013) RPJMN Desa Kalangan, Kecamatan Pedan Tahun 2013-2018, Kabupaten Klaten. Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten (2014). Profil Kesehatan Tahun 2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten. Fitriyanti, Y, dkk. (2014) Hubungan Faktor Sosial Budaya Terhadap Kesehatan Balita Di Kabupaten Banjarnegara, Laporan Riset Pembinaan Kesehatan, Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
37
Goffman, E (1984) The Presentation of Self in Everyday Life, Doubleday Anchor Books. Miles, M.B., dan A.M. Haberman (1992) Analisa D ata Kualitatif, Jakarta: UI Press.
Info lebih lanjut bisa menghubungi Weny Lestari HP. 08123157097 Email “
[email protected]”
38