BAB 1 PENDAHULUAN
Usia tua atau sering disebut senescence merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh, biasanya mulai pada usia yang berbeda untuk individu yang berbeda (Papalia, 2001). Secara kronologis berbagai sumber menyebutkan bahwa usia lanjut dimulai pada usia sekitar 60 tahun. Usia lanjut dipersepsikan sebagai tahap akhir dalam kehidupan individu dimana pada masa tersebut disertai dengan penurunan berbagai kemampuan (Aiken, 1995). Kemampuan fisik merupakan sesuatu yang secara nyata penurunannya terlihat pada semua orang berusia lanjut, selain itu pada sebagian lansia juga terdapat penurunan pada area kognitif, sosial psikologis serta ekonomi. Dua kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh penurunan pada fungsi fisik, indera, dan kognitifnya. Secara fisik mereka menjadi lebih lemah, tangan atau kaki terasa kaku, tremor, kurang koordinasi visual-motorik. Fungsi kognitif yang cenderung menurun menyebabkan lansia mengalami kepikunan, dan sulit mempelajari atau memahami hal-hal baru. Menurut Aiken (1995) secara kognitif lansia mengalami beberapa perubahan gradual khususnya dalam kemampuan memori (daya ingat). Pada umumnya lansia mulai mengalami penurunan kapasitas memori jangka pendek, kadang dapat pula terjadi distorsi kognitif. Kognitif merupakan aktivitas fisik dan mental yang diformulasikan dengan kemampuan berfikir, mengingat, belajar, dan bahasa yang merupakan proses kerja otak yang terdiri dari atensi, memori, visuospatial, bahasa dan fungsi eksekutif (Anonim, 2010). Kognitif terdiri dari berbagai fungsi, meliputi oreintasi, bahasa, atensi, kalkulasi, memori, konsturksi, dan penalaran.
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Fungsi Kognitif A.
Definisi
Kognitif berasal dari bahasa Latin, yaitu cognitio yang artinya adalah berpikir. Hal ini merujuk kepada kemampuan seseorang dan mengerti dunianya, yang dicapai dari sejumlah fungsi yang kompleks termasuk orientasi terhadap waktu, tempat dan individu; kemampuan aritmatika; pikiran abstrak; kemampuan fokus untuk berpikir logis (Pincus, Tucker 2003). Pengertian yang lebih sesuai dengan behavior neurology dan neuropsikologi, kognitif adalah suatu proses dimana semua maksud sensori (taktil, visual, dan auditori) akan diubah, diolah, disimpan, dan selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuro secara sempurna sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut (Wiyoto, 2002). Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia yang meliputi perhatian, persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori. Sebanyak 75% dari bagian otak besar merupakan area kognitif (Saladin, 2007). 2007).
B.
Anatomi dan Fisiologi Fungsi Kognitif
MasingMasing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri -sendiri dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satusatu -kesatuan, yang disebut sistem limbik (Markam S, 2003). Struktur Limbik terdiri dari amigdala, hipokampus, nucleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus,
dan
korpus
mamillare.
Alveus,
fimbria,
forniks,
traktus
mamilotalamikus, dan striae terminalis membentuk jarasjaras- jaras jaras penghubung sistem ini (Snell RS, 2001; Waxman Waxman SG, 2007).
2
Gambar 1. Sistem Limbik Sumber: Waxman SG. The limbic system. In : Lange Neuroanatomy.
Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin, dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut ini bagian dari sistem limbik (Snell RS, 2001; Waxman SG, 2007): 1. Amigdala, terlibat dalam pengaturan emosi dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar. 2. Hipokampus,
terlibat
dalam
pembentukan
memori
jangka
panjang,
pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran. 3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial. 4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah, dan kognitif yaitu atensi. Korteks cinguli anterior (ACC) merupakan struktur limbik terluas, berfungsi pada afektif kognitif, otonom, perilaku dan motorik 5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mamillary bodies dan septal nuclei, forniks berperan dalam meori dan pembelajaran.
3
6. Hipotalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormone, tekanan darah, denyut jantung, libido, siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang. 7. Talamus ialah kumpulan badan sel saraf didalam diensefalon membentuk dinding lateral vertrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak/sebagai stasiun relay ke korteks serebri. 8. Mamillary bodies, berperan dalam pembentuka memori dan pembelajaran. 9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru dan mengatur kebahagiaan. 10. Korteks entorhinal, penting dalam memori dan merupakan komponen asosiasi.
Sedangkan lobus otak yang ikut berperan dalam kognitif adalah (Markam S, 2003) : 1. Lobus frontalis Fungsi lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian, bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisis dan sintesis sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian system limbic, karena banyaknya koneksi anatomic dengan struktur limbic dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan. 2. Lobus parietalis Lobus
parietalis
berfungsi
dalam
membaca,
persepsi,
memori,
dan
visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensori (input visual, auditori, taktil) dari area asosiasi sekunder. Karena menerima input dari berbagai modalitas sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi
sensori
(cross modal association). Sehingga manusia dapat
menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang. 3. Lobus temporalis Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda- benda, dan seleksi rangsangan auditorik dan visual.
4
4. Lobus oksipitalis Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori dan bahasa.
Fungsi kognitif terdiri dari : 1.
Atensi, konsentrasi Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan (Modul neurobehaviour, 2008). Fungsi kognitif yang baik didukung oleh atensi atau konsentrasi yang baik. Atensi dan konsentrasi yang terganggu akan mempunyai dampak terhadap fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Sistem aktivasi retikuler sangat berperan penting dalam fungsi atensi, demikian juga thalamus sebagai pusat modulasi kortikal. Penurunan fungsi atensi sesuai proses menua normal dimulai usia 20 tahun berlanjut sampai usia tua. Atensi merupakan kemampuan yang kompleks termasuk kewaspadaan, konsentrasi, dan bebas distraksi. Atensi merujuk pada mempertahankan menjalani perintah, fokus dan aktivitas mental yang dapat beralih bila dibutuhkan (Lumempaw, 2009). Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak (Modul neurobehaviour, 2008).
2.
Memori Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus
dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui system limbik untuk terjadinya pembelajaran baru (Modul neurobehaviour, 2008). Pengetahuan dasar individual dapat sangat baik terpelihara sepanjang usia, tetapi pemasukan informasi baru dapat menurun. Kemampuan memori pada usia 75 tahun menurun 25% dibandingkan usia 20 tahun (Lumempaw, 2009). Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent, dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall (Modul 5
neurobehaviour, 2008). a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik. b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian seharihari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun. c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun-tahun yang lalu (misalya tanggal lahir, sejarah, nama teman)
Gangguan utama fungsi ini pada proses menua berhubungan dengan pemindahan informasi dari penyimpanan sementara ke tempat penyimpanan permanen di otak, hal ini berkaitan dengan memori baru. Memori lama biasanya relative baik atau sedikit menurun. Hasil penelitian fungsi memori menurun pada proses recall, sedangkan recognition tetap baik. Pemeriksaan memori meliputi memori baru (verbal/auditorik dan non-verbal/visual), memori tertunda (recall memory), dan rekognisi serta memori lama (remote memory) (Lumempaw, 2009).
3. Bahasa Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan (Modul neurobehaviour, 2008). Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4 parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan dan naming (Goldman, 2000) : a.
Kelancaran Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat
dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan. b.
Pemahaman
6
Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang untuk melakukan perintah tersebut. c.
Pengulangan Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau
kalimat yang diucapkan seseorang. d.
Naming Naming merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu
objek beserta bagian-bagiannya.
Bahasa mengacu pada komunikasi simbolis. Fungsi ini relative baik pada proses menua. Faktor sensoris seperti pendengaran yang berkurang juga dapat menyebabkan gangguan kelancaran berbahasa (Lumempaw, 2009).
4. Visuospasial Merupakan kemampuan persepsi ruang yaitu mengamati lingkungan sekitar dan juga mengamati dirinya sendiri. Bila mengalami gangguan fungsi ini terjadi kesulitan untuk menggambar atau melukis atau memahat dan sebagainya (Lumempaw, 2009). Kemampuan
visuospasial
dapat
dievaluasi
melalui
kemampuan
kontruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal (Modul neurobehaviour, 2008). Pasien diminta untuk menggambar jam berbentuk lingkaran kemudian dengan angkanya yang lengkap, jika gambar jam digambar terlalu kecil sehingga angka-angkanya tidak muat, hal ini mencermikan gangguan pada perencanaan. Jika terdapat neglek unilateral pasien menempatkan angka hanya pada satu sisi. Selanjutnya pasien diminta untuk menggambar jarum pada pukul 11:10. Pasien dengan gangguan fungsi eksekutif akan menunjuk jarum pada angka 10 dan 11 (Modul neurobehaviour, 2008).
7
5. Fungsi eksekutif Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan kognitif (Modul Neurobehavior, 2008). Fungsi eksekutif dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur kortikal serta subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Kerusakan pada korteks prefrontal dorsolateral dapat menimbulkan sindrom neurobehavioral dengan gejala – gejala seperti berkurangnya aktivitas motorik kompleks , proses berfikir yang tidak konkrit, gagal mengenal konsep – konsep, kurang fleksibilitas, serta terjadi perilaku motorik yang stereotipik (Lumempaw, 2009). Istilah penurunan kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif yang berkelanjutan. Beberapa dianggap masih dalam spektrum penuaan normal, sementara yang lainnya dimasukkan dalam ketegori gangguan ringan. Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya dilakukan penilaian terhadap satu domain atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai peneltian klinis dan epidemiologis menunjukkan bahwa faktor biologis, perilaku, sosial dan lingkungan dapat berkontribusi terhadap esiko penurunan fungsi kognitif (Plassman, William, Burke 2010).
C.
Kognitif pada Lansia
Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan kognitif
yang
terjadi
pada
lansia,
meliputi
berkurangnya
kemampuan
meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi tranmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam pemrosesan informasi (Papalia, Olds, Feldman, 2005). 8
Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps, kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan Rodrigue juga menambahkan terjadinya hiperintensitas substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang. Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif (Zulsita A, 2010).
D.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif
1.
Jenis Kelamin Wanita tampaknya lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal
ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan fungsi kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam area otak yang berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus. Rendahnya level estradiol dalam tubuh telah dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal. Estradiol diperkirakan bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi kerusakan akibat stress oksidatif serta terlihat sebagai protektor sel saraf dari toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer (Zulsita A, 2010).
2.
Pendidikan Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi,
berisiko rendah menderita penyakit Alzheimer (Kramer, Hillman, 2009). Tingkat
fungsi
intelektual
premorbid
mempengaruhi
kemungkinan
penyembuhan fungsi kognitif dan respon terhadap rehabilitasi (Lifshitz, Witgen, Grady, 2007). 9
Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang dapat terjadi lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Diduga ada beberapa mekanisme yang mendasari proses ini yaitu : a. Hipotesis brain reverse, teori ini mengatakan bahwasannya tingkat pendidikan dan penurunan fungsi kognitif karena usia saling berhubungan karena keduanya didasarkan pada potensi kognitif yang didapat sejak lahir. b. Teori “use it or lose it ”, teori mengatakan stimulus mental selama dewasa merupakan proteksi dalam melawan penurunan fungsi kognitif
yang prematur .
Pendidikan
pada
awal
kehidupan
mempunyai pengaruh pada kehidupan selanjutnya jika seseorang tersebut terus melanjutkan pendidikan untuk menstimulasi mental yang diduga bermanfaat untuk neurokimia dan pengaruh struktur otak (Bosma et al 2003; Seeman et al, 2005)
Satu teori menjelaskan tentang synaptic reserve hypothesis, dimana orang yang berpendidikan tinggi mempunyai lebih banyak synaps di otak dibanding orang yang berpendidikan rendah. Ketika synap tersebut rusak karena ada proses penyakit Alzheimer maka synap yang lain akan menggantikan tempat yang rusak tadi. Teori ini berhubungan dengan cognitive reserve hypothesis dimana orang yang beredukasi memiliki lebih banyak sinaps pada otak dan mampu melakukan mengkompensasi dengan baik terhadap hilangnya suatu kemampuan dengan menggunakan strategi alternative pada tes yang didapati selama pelatihan selama pendidikan, dengan demikian dapat diasumsikan orang yang berpendidikan tinggi menurun fleksibilitas ini dalam test-taking strategy (Dash, VillemarettePittman, 2005). Suatu studi yang dilakukan oleh Bennett et al, (2003) untuk mengetahui hubungan antara tingkat edukasi formal dan patologi Alzheimer Diseases. Ternyata dijumpai adanya bukti yang kuat antara senile plaque dan level fungsi kognitif yang berbeda berdasarkan tingkat edukasi formal. Studi yang dilakukan oleh Seeman et al (2005) menyimpulkan bahwasannya semakin tinggi pendidikan penderita Alzheimer maka semakin 10
cepat penurunan fungsi kognitif. Hipotesis cognitive reserve (CR) dapat menjelaskan hal ini. Hipotesis ini menjelaskan bahwa ada perbedaan individu dalam kemampuan mengatasi patologis penyakit Alzheimer. Substrat neural dari CR dapat mengambil bentuk dari jumlah yang besar dari sinaps atau neuron yang sehat saat yang lainnya dipengaruhi proses patologis Alzheimer. Sehingga penyakit Alzheimer pada tingkat pendidikan tinggi baru bermanifestasi secara klinis setelah kelainan patologi otak cukup parah (patologis di otak yang berpendidikan tinggi lebih berat dari yang berpendidikan rendah saat penyakit Alzheimer terdeteksi). Dan pada saat patologis
otak
sudah
berat
dan
meluas,
substrat
neural
yang
mengkompensasi tersebut tidak lagi tersedia dan penurunan fungsi kognitif yang cepat terjadi.
3.
Pekerjaan Pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja keras/over
working , seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang terus-menerus melatih kapasitas otak dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah demensia (Sidiarto, Kusumoputro, 1999). .
4.
Stroke Baik stroke iskemik maupun hemoragik dapat mengakibatkan
kerusakan bahkan sampai kematian sel otak. Akibat dari keadaan tersebut dapat timbul suatu kelainan klinis sebagai akibat dari kerusakan sel otak pada bagian tertentu tetapi juga dapat berakibat terganggunya proses aktivitas mental atau fungsi kortikal luhur termasuk fungsi kognitif (Nasreddine Z et al, 2005). Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai gangguan kognitif dan demensia pasca stroke, Zhu et al (1998) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa
stroke
selain
berhubungan
dengan
disability
(ketidakmampuan) juga berhubungan dengan perkembangan demensia. Tipe stroke silent merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya gangguan kognitif. Dari hasil penelitiannya dikatakan bahwa stroke juga berhubungan
11
dengan terjadinya gangguan kognitif tanpa adanya demensia (Kusumoputro S, 2001). Pasien stroke iskemik yang dirawat mempunyai risiko paling sedikit lima kali untuk terjadinya demensia. Mekanisme yang mendasari hubungan tersebut ada beberapa. Pertama stroke secara langsung atau sebagian penyebab utama demensia, yang secara umum diklasifikasikan sebagai demensia multi infark atau demensia vaskuler. Kedua adanya stroke memacu onset terjadinya demensia Alzheimer’s. lesi vascular pada otak termasuk perubahan pada subtansi alba, lesi degenerasi Alzheimer’s dan usia sendiri berpengaruh pada perkembangan dari demensia. Pohjasvaara dkk (1998) mengatakan bahwa faktor risiko demensia yang dihubungkan dengan stroke belum diketahui secara lengkap, berbagai faktor gambaran stroke (dysphasia, sindrom stroke dominan), karakteristik penderita (tingkat pendidikan) dan penyakit kardiovaskular yang mendahului berperan terhadap risiko tersebut (Rahmawati D, 2006). Pohjasvaara dkk (1998) dalam penelitian lainnya mengatakan bahwa penurunan kognitif dan demensia sering terjadi pada pasien stroke iskemik, dan frekuensinya meningkat dengan meningkatnya usia (Kusumoputro S, 2001). Hasil penelitian Pohjasvaara didapatkan penurunan fungsi kognitif yang terjadi 3 bulan pasca stroke adalah 56,7% untuk paling sedikit satu kategori, 31,8% untuk penurunan dua atau tiga kategori, dan penurunan lebih dari empat kategori ada 26,8% (Ballard et al, 2003).
5.
Hipertensi Mekanisme pasti terjadinya gangguan kognitif pada hipertensi belum
sepenuhnya dipahami. Suatu hipertensi menyebabkan percepatan terjadinya arterosklerosis pada jaringan otak yang berimplikasi pada gangguan kognitif, yang mana pada penelitian sebelumnya ditunjukan adanya hubungan bermakna antara derajat retinopati hipertensi sebagai akibat hipertensi lama yang mana selain proses terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah retina sendiri juga peristiwa aterosklerosis. Kapiler dan arteriola jaringan otak akan mengalami penebalan dinding oleh karena terjadi
deposisi
hyaline
dan
proliferasi
tunika
intima
yang
akan 12
menyebabkan penyempitan diameter lumen dan peningkatan resistensi pembuluh darah. Hal tersebut memicu terjadinya gangguan perfusi serebral,memungkinkan terjadinya iskemia berkelanjutan pada gangguan aliran pembuluh darah yang kecil hingga timbul suatu infark lakuner. Hipertensi kronik dapat menyebabkan gangguan fungsi sawar otak yang menyebabkan
peningkatan
permeabilitas
sawar
otak.hal
ini
akan
menyebabkan jaringan otak khususnya substansi alba menjadi lebih mudah mengalami kerusakan akibat adanya stimulus dari luar (Pujarini LA, 2007). Peningkatan tekanan darah sistolik mempengaruhi fungsi kognitif terutama pada usia lanjut, dimana terjadinya gangguan mikrosirkulasi dan disfungsi endotel juga berperan pada gangguan fungsi kognitif pada hipertensi (Moroney JT et al, 2001).
6.
Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah sebuah penyakit metabolik yang dapat
mempunyai efek yang sangat merusak pada banyak organ di dalam tubuh. Salah satu komplikasi diabetes mellitus adalah disfungsi kognitif. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 dapat mengalami gangguan kognitif (Kodl, Seaquist, 2008). Pengendalian kadar gula darah berperan dalam menentukan derajat disfungsi kognitif yang terdeteksi pada pasien dengan diabetes tipe 2. Yaffe dkk menemukan bahwa pasien dengan HbA1c lebih dari 7,0% mempunyai peningkatan empat kali lipat mengalami gangguan kognitif ringan. Pengendalian kadar glukosa yang buruk menyebabkan fungsi kognitif yang buruk juga (Kodl, Seaquist, 2008). Hipotesis mengenai patofisiologi yang mendasari disfungsi kognitif pada pasien diabetes bermacam-macam, antara lain peran hiperglikemia, penyakit vaskuler, hipoglikemia, resistensi insulin, dan deposisi amiloid. Penyebab disfungsi kognitif pada pasien diabetes merupakan kombinasi dari faktor-faktor tersebut, tergantung tipe diabetes, komorbiditas, umur, dan tipe terapi (Kodl, Seaquist, 2008). a. Peran hiperglikemia terhadap disfungsi kognitif pada DM yaitu hiperglikemia menyebabkan aktivasi jalur poliol, peningkatan formasi
advanced
glycation
end
products
(AGEs),
aktivasi 13
diasilgliserol dari protein kinase C, dan peningkatan perlintasan glukosa pada jalur heksosamin. Mekanisme yang sama dapat terjadi di otak dan menimbulkan perubahan pada fungsi kognitif yang terdeteksi pada pasien dengan diabetes. Mencit diabetik (HbA1c 32% vs. 12% pada mencit kontrol) yang menunjukkan gangguan kognitif ditemukan mengalami peningkatan ekspresi RAGE pada neuron dan sel glial serta kerusakan pada substansia alba dan myelin, menunjukkan
kemungkinan
adanya
peran
RAGE
dalam
perkembangan disfungsi serebral. Hiperglikemia akibat diabetes memindahkan glukosa ke arah produksi khitin, maka kemungkinan akumulasi molekul tersebut dapat berperan pada abnormalitas kognisi. Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan organ akhir melalui peningkatan pada spesies oksigen reaktif (ROS), terutama superoksida, yang kemudian dapat mengakibatkan peningkatan aktivasi jalur poliol, peningkatan formasi AGE, aktivasi protein kinase
C,
dan
peningkatan
perlintasan
glukosa
pada
jalur
heksosamin. Faktor transkripsi faktor nuklir B, sebuah penanda gen proinflamasi yang di-up-regulasi oleh AGE, dan protein S -100, suatu penanda cedera otak yang dapat berikatan dengan RAGE, keduanya di-up-regulasi di dalam hipokampus pada percobaan binatang. Data menunjukkan bahwa stress oksidatif dapat memicu kaskade kerusakan
neuronal.
Selain
kerusakan
organ
akhir
akibat
hiperglikemia, perubahan fungsi neurotransmitter juga berperan pada disfungsi kognitif. Pada tikus diabetic terdapat gangguan potensiasi jangka panjang, didefinisikan sebagai penyengatan kekuatan sinaptik jangka panjang tergantung aktivitas, pada neuron yang kaya reseptor untuk neurotransmitter N-metil-D-aspartat (NMDA), yang dapat berperan pada defisit belajar. Perubahan neurokimiawi lain yang telah teramati, meliputi penurunan asetilkolin, penurunan pergantian serotonin, penurunan aktivitas 8 dopamine, dan peningkatan norepinefrin pada otak binatang dengan diabetes. b. Peran penyakit vaskuler terhadap disfungsi kognitif pada DM yaitu pasien dengan DM mengalami peningkatan dua hingga enam kali lipat untuk risiko stroke trombotik, dan penyakit vaskuler, ini 14
berperan terhadap terjadinya gangguan kognitif. Penebalan membran basement kapiler, penanda dari mikroangiopati diabetik, juga ditemukan pada otak pasien dengan diabetes. Pasien dengan diabetes juga ditemukan secara global mengalami penurunan laju aliran darah serebral dan besar penurunannya berkorelasi dengan lama sakitnya. Penurunan aliran darah serebral, digabung dengan stimulasi reseptor tromboksan A2 yang terjadi pada pasien dengan diabetes, dapat berperan pada ketidakmampuan pembuluh darah serebral untuk bervasodilatasi secara adekuat, yang kemudian dapat meningkatkan kemungkinan iskemia. iskemia dan hiperglikemia berbahaya bagi otak. Level glukosa darah yang sedikit meninggi (lebih dari 8,6 mmol/liter) pada manusia ketika terjadi gangguan serebrovaskuler berkorelasi dengan pemulihan klinis yang lebih buruk. Salah satu mekanisme potensial dimana hiperglikemia dapat memperbesar kerusakan
iskemik
adalah
akumulasi
laktat.
Hiperglikemia
menghasilkan lebih banyak substrat untuk membentuk laktat, menimbulkan asidosis seluler dan memperberat cedera. Mekanisme yang lain adalah akumulasi glutamate dalam situasi hiperglikemia dan iskemia. Glutamate, suatu neurotransmitter asam amino eksitatorik, telah terbukti menyebabkan kerusakan neuronal di dalam otak. Meskipun mekanisme pastinya belum diketahui, tidak adanya C- peptida pada pasien dengan diabetes dapat memperberat gangguan kognitif melalui kerjanya pada endothelium. c. Peran hipoglikemia terhadap disfungsi kognitif pada DM telah diteliti pada binatang percobaan, setelah 30-60 menit level glukosa darah berada diantara 0,12 dan 1,36 mmol/liter, terjadi nekrosis neuronal yang disertai peningkatan aspartat ekstraseluler, alkalemia, dan kegagalan energy neuronal, yang pada akhirnya menghasilkan elektroensefalograf
mendatar.
Korteks,
ganglia
basalis,
dan
hipokampus paling rawan terhadap hipoglikemia, dengan nekrosis laminar dan gliosis ditemukan pada region tersebut pada otopsi yang dilakukan pada pasien yang meninggal karena hipoglikemia. Penelitian dengan otopsi manusia lainnya yang dilakukan setelah
15
kematian akibat hipoglikemia menunjukkan nekrosis multifokal atau difus pada korteks serebral dan kromatolisis sel-sel ganglion. d. Peran resistensi insulin dan amiloid terhadap disfungsi kognitif pada diabetes mellitus. Diabetes dan insulin dapat mempengaruhi potensiasi jangka panjang. Potensiasi jangka panjang sangat menentukan dalam pembentukan memori dan diinduksi oleh aktivasi reseptor NMDA, suatu proses yang di-upregulasi dengan keberadaan insulin. Tikus dengan diabetes, dan dianggap mengalami defisiensi insulin relatif, terdapat penurunan potensiasi jangka panjang di hipokampus yang diukur secara elektrofisiologi. Bila potensiasi jangka panjang menurun, neuron hipokampus tikus yang terpapar insulin menunjukkan inhibisi spontan. Kemungkinan reduksi pada uptake glukosa mempunyai efek langsung terhadap bagaimana insulin meregulasi fungsi hipokampus pada pasien DM. Resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe 2 dapat berperan pada disfungsi kognitif melalui tiga mekanisme. Pertama, disfungsi kognitif pada pasien
dengan diabetes
inflamatorik,
dan
tipe
2
peningkatan
berkorelasi
dengan penanda
inflamasi
berperan
dalam
perkembangan penyakit Alzheimer atau makrovaskuler. Peninggian protein C-reaktif, dan peninggian IL-6 mempengaruhi gangguan fungsi kognitif. Pasien dengan diabetes tipe 2 mempunyai level penanda inflamatorik lebih tinggi, antara lain proten C-reaktif, -1antikhimotripsin, IL-6, dan molekul adhesi interseluler 1 daripada populasi kontrol. Mekanisme potensial kedua, resistensi insulin dan diabetes tipe 2 berperan pada disfungsi kognitif adalah terputusnya aksis hipothalamus- pituitari-adrenal. Baik binatang maupun manusia dengan DM mengalami up-regulasi aksis hipothalamus- pituitariadrenal, dengan peningkatan kortisol serum dibanding dengan kontrol. Hiperkortisolemia ternyata menyebabkan disfungsi kognitif. Mekanisme potensial ketiga dimana resistensi insulin dapat secara tidak langsung berperan dalam disfungsi kognitif adalah dengan meningkatkan pembentukan plak senilis-amiloid dibentuk dari pembelahan protein prekrusor amiloid (APP), diproduksi di neuron, oleh enzim sekretase dab–amiloid akhirnya terdegradasi oleh enzim 16
pemecah insulin. Peptide amiloid dapat dengan sendirinya berikatan dengan RAGE dan menghasilkan disfungsi mikroglial dan neuronal serta
stress
oksidatif.
Insulin
dan
resistensi
insulin
dapat
mempengaruhi metabolisme APP dan -amiloid, sehingga berpotensi memperbesar beban plak senilis serebral. Resistensi insulin dapat menyebabkan penurunan degradasi APP yang dapat diatasi dengan meninggikan level insulin dalam serum dan kemungkinan besar juga di jaringan.
7.
Aktivitas fisik Beberapa hipotesis yang menjelaskan tentang mekanisme yang
mendasari hubungan antara aktivitas fisik dan fungsi kognitif masih belum dapat dipahami. Aktivitas fisik terlihat dapat mempertahankan aliran darah otak dan mungkin juga meningkatkan persediaan nutrisi otak. Selain itu kegiatan aktivitas fisik juga diyakini untuk memfasilitasi metabolisme neurotransmiter, dapat juga memicu perubahan aktivitas molekuler dan seluler yang mendukung dan menjaga plastisitas otak. Bukti dari suatu studi hewan telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan seluler, molekul dan perubahan neurokimia. Pengaruh yang diamati berhubungan dengan peningkatan vaskularisasi di otak, peningkatan level dopamin, dan perubahan molekuler pada faktor neutropik yang bermanfaat sebagai fungsi neuroprotective (Singh-Manoux, 2005; Hernandez, 2010). Selain itu aktivitas fisik juga diduga menstimulasi faktor tropik dan neuronal growth yang kemungkinan faktor-faktor ini yang menghambat penurunan fungsi kognitif dan demensia (Yaffe et al, 2001). Pada exercise, beberapa sistem molekul yang berperan didalamnya bermanfaat untuk otak. Faktor-faktor neurotrofik kebanyakan yang berperan dalam efek yang bermanfaat tersebut. Faktor neurotrofik itu terutama BDNF, karena dapat meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan beberapa tipe dari neuron, meliputi neuron glutamanergik. BDNF berperan sebagai mediator utama dari efikasi sinaptik, penghubungan sel saraf dan plastisitas sel saraf (Cotman, Berchtold, 2002). Diduga bahwa response neurotorphin yang diperantarai exercise mungkin terbatas pada sistem motorik, sensorik, dari otak, seperti 17
serebellum, area korteks primer antara lain basal ganglia. Hasil yang dijumpai pada suatu penelitian beberapa hari setelah voluntany tral-runing dilakukan, mengingatkan kadar dari BDNF mRNA di hipokampus, struktur higly plastic yang secara normal berkaitan dengan fungsi kognitif dibandingkan aktifitas motorik. Perubahan kadar mRNA dijumpai di neuron, terutama di girus dentatus, hilus, dan regio CA3. Peningkatan terjadi dalam beberapa hari pada tikus jantan dan betina, menetap sampai beberapa minggu selama latihan dan bersamaan dengan peningkatan jumlah protein BDNF (Cotman, Berchtold, 2002) . Meskipun faktor-faktor neurotrofik lain seperti NGF & FGF-2 juga diindukasi di hipokampus sebagai respon pada latihan, peningkatannya hanya sesaat dan kurang jelas/nyata dibanding BDNF, ini menunjukkan bahwa BDNF merupakan kandidat yang lebih baik dalam memediasi manfaat jangka panjang dari exercise pada otak (Cotman, Berchtold, 2002) . Aktivitas fisik kemungkinan mempertahankan kesehatan vaskular otak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan profil lipoprotein, mendukung produksi endotel nitrat oksidasi dan memastikan perfusi otak cukup. Demikian pula, muncul bukti hubungan antara insulin dan amiloid menunjukkan bahwa manfaat aktivitas aerobik pada resistensi insulin dan glucose intolerance, mungkin ini merupakan mekanisme yang lain dimana aktivitas fisik dapat mencegah atau menunda penurunan fungsi kognitif (Weuve et al, 2004).
8.
Nutrisi Berdasarkan penelitian di tiga kota di prancis dengan subjek 8085
lansia usia ≥ 65 tahun tanpa demensia, didapatkan bahwa konsumsi ikan, buah dan sayur dapat mengurangi risiko segala penyebab demensia. Penelitian ini dimulai pada tahun 1999 menggunakan studi kohort dan diikuti selama 4 tahun. Hasilnya, mengkonsumsi ikan setidaknya sekali dalam seminggu terbukti mampu menurunkan risiko segala penyebab demensia (HR 0,65) dibandingkan orang yang lebih jarang mengkonsumsi ikan. Mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari mempunyai hubungan yang signifikan dalam menurunkan risiko segala penyebab demensia (HR 0,72) 18
dibandingkan dengan mereka yang jarang makan buah dan sayur (Jeffrey S, 2007).
9.
Merokok Penelitian menunjukkan bahwa merokok pada usia pertengahan
berhubungan dengan kejadian gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut, sedangkan status masih merokok dihubungkan dengan peningkatan insiden demensia dan Alzheimer Diseases (Rahmawati D, 2006). Pada penelitian lainnya didapatkan bahwa jumlah batang rokok per-hari tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan fungsi kognitif (Tamin A, 2011). Asupan nikotin, zat adiktif utama dalam rokok dapat menguntungkan fungsi
kognitif.
Terutama
atensi,
belajar
dan
daya
ingat
dengan
memfasilitasi pelepasan asetilkolin, glutamate, dopamine, noreepinefrin, serotonin dan GABA, tetapi terpapar asap tembakau jangka panjang terbukti meningkatkan risiko gangguan kognitif dan demensia dikemudian hari, termasuk peningkatan infark otak silent, intensitas massa alba, kematian neuron dan artrofi subkortikal. Merokok juga menurunkan kadar antioksidan penangkap radikal bebas dalam sirkulasi, meningkatkan respons inflamasi dan mengarah ke aterosklerosis yang mempengaruhi permeabilitas sawar darah otak, aliran darah otak dan metabolisme otak. (Swan, Lessove, 2007)
E.
Tahapan Penurunan Fungsi Kognitif
Tiga tahapan penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut, dimulai dari yang masih dianggap normal sampai patologik dan pola ini berujud sebagai spectrum mulai dari yang sangat ringan sampai berat (demensia), yaitu : (1) mudah lupa ( forgetfulness), (2) Mild Cognitive Impairment (MCI), (3) Demensia. 1.
Mudah lupa (Forgetfulness)
Mudah lupa masih dianggap normal dan gangguan ini sering dialami subyek usia lanjut. Frekuensinya meningkat sesuai peningkatan usia. Lebih kurang 39% pada usia 50-60 tahun dan angka ini menjadi 85% pada usia di atas 80 tahun. Istilah yang sering digunakan dalam kelompok ini adalah Benign Senescent Forgetfulness (BSF) atau Age Associated Memory Impairment (AAMI). Ciri-ciri kognitifnya adalah proses berfikir melambat, kurang menggunakan strategi memori yang tepat, kesulitan memusatkan 19
perhatian; mudah beralih pada hal yang kurang perlu, memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu yang baru, memerlukan lebih banyak petunjuk/isyarat (clue) untuk mengingat kembali (Soetedjo, 2002).
2.
Mild Cognitive Impairment (MCI)
Mild Cognitive Impairment (MCI) bisa disebut sebagai fase peralihan antara yang masih dianggap normal dan yang benar-benar telab sakit. Dan rangkuman berbagai hasil riset di berbagai negara prevalensi MCI berkisar antara 6,5 - 30% pada golongan usia di atas 60 tahun (Soetedjo, 2002). Kriteria diagnostik MCI adalah adanya gangguan daya ingat (memori) yang tidak sesuai dengan usianya namun belum demensia. Fungsi kognitif secara umum relatif normal, demikian juga aktivitas hidup sehari – hari. Bila dibandingkan dengan orang-orang yang usianya sebaya serta orang-orang dengan pendidikan yang setara, maka terdapat gangguan yang jelas pada proses belajar (learning) dan “delayed recall”. Bila dikur dengan Clinical Dementia Rating (CDR), diperoleh hasil 0,5 (Soetedjo, 2002). MCI merupakan faktor resiko untuk terjadinya demensia. Rasio konversi dan MCI menjadi penyakit Alzheimer adalah 12% per tahun dalam waktu 4 tahun, dibanding populasi normal yang hanya 1-2% pertahun dalam waktu 10 tahun. Bila terdapat gangguan memori berupa gangguan memori tunda (delayed recall) atau mengalami kesulitan mengingat kembali sebuah informasi walaupun telah diberikan bantuan isyarat padahal fungsi kognitif secara umum masih normal, rnaka perlu dipikirkan diagnosis MCI. Pada umumnya pasien MCI mengalami kemunduran dalam memori baru. Namun diagnosis MCI tidak boleh diterapkan pada individu-individu yang mempunyai gangguan psikiatrik lain, kesadaran yang berkabut atau minum obat-obatan yang mempengaruhi sistem saraf pusat (Soetedjo, 2002).
3.
Demensia
Demensia diartikan sebagai gangguan fungsi intelektual atau kognitif dengan sedikit atau tanpa gangguan kesadaran atau persepsi. Menurut lCD 10 agar dapat digolongkan sebagai demensia, kemunduran fungsi luhur harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi pekerjaan, aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain. Dalam DSM-IV (1994) demensia 20
didefinisikan sebagai sindroma (yang disebabkan berbagai kelainan) yang ditandai dengan gangguan fungsi intelektual yang sebelumnya lebih tinggi. Gangguan meliputi gangguan memori dan gangguan kognitif lain termasuk berbahasa,
orientasi,
kemampuan
konstruksional,
berfikir
abstrak,
pemecahan masalah dan ketrampilan (praksis). Gangguan ini harus cukup berat sehingga mengganggu kemampuan okupasional/pekerjaan dan atau aktifitas sosial. Perubahan kepribadian dan afek sering nampak, namun kesadarannya tetap normal. Penderita dengan gangguan fungsi kognitif tanpa adanya bukti penurunan fungsional tidak memenuhi criteria demensia (Soetedjo, 2002). Frekuensi demensia pasca stroke ternyata lebih tinggi dari yang diperkiraan, suatu serangan stroke dapat meningkatkan resiko demensia 4 sampai 12 kali. Prevalensi demensia pasca stroke diantara serangan stroke pertama kali dan stroke berulang sangat bervariasi, antara 6% sampai 55% namun tidak semua pasien stroke mengalami demensia. Diagnose demensia pasca stroke dibuat atas dasar ada klinis demensia yang diketahui 3 bulan sesudah serangan stroke akut , baik stroke rekuren atau serangan stroke pertama. Ternyata risiko demensia pasca stroke lebih terkait dengan beratnya abnormalitas white matter, atrofi dan faktor hemodinamik dari pada karakteristik stroke itu sendiri (Soetedjo, 2002).
21
BAB 3 KESIMPULAN
Seiring dengan pertambahan usia, tubuh manusia pun akan berubah dalam banyak hal baik secara biologis maupun fisiologis. Salah satu organ yang sangat dirasakan terjadinya perubahan adalah pusat dari sistem tubuh kita adalah otak. Beberapa bukti menjelaskan bahwa perubahan pada struktur dan fungsi otak juga akan mempengaruhi fungsi kognitif dan behavior. Namun perubahan struktur dan fungsi otak yang disebabkan oleh pertambahan usia ini bersifat individual dan tidak dapat diseragamkan. Fungsi kognitif dasar yang paling dipengaruhi oleh usia adalah atensi dan memori. Persepsi (yang di anggap oleh beberapa peneliti sebagai fungsi prekognitif) juga menunjukkan penurunan signifikan seiring pertambahan usia diiringi dengan penurunan kapasitas sensoris. Beberapa fungsi kognitif yang lebih tinggi seperti prosesing bahasa dan pengambilan keputusan juga akan terpengaruh seiring pertambahan usia. Beberapa penurunan fungsi eksekutif seperti pengaturan dan koordinasi juga akan terpegaruh seiring pertambahan usia. Telah ditemukan bahwa volume otak akan berkurang setidaknya 5% per dekade setelah usia 40 tahun dengan tingkat penurunan lebih banyak lagi setelah usia 70 tahun. Penciutan dari grey matter beberapa lama ini dilaporkan akibat kematian sel neuronal. Perubahan kognitif yang paling terlihat jelas pada proses menua adalah memori. Fungi memori secara umum dapat dibedakan menjadi 4 bagian, episodik memori, semantik memori, prosedural memori, dan working memori. Episodik dan semantik memori merupakan kedua pertama yang paling penting dalam hal proses penuaan. Neurotransmiter yang paling sering didiskusikan berkaitan dengan proses penuaan adalah dopamin dan ser otonin. Kadar dopamin akan menurun 10% per dekade sejak memasuki tahap dewasa dan berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif dan motorik. Hal ini kemungkinan disebabkan karena jalur dopaminergik antara korteks frontal dan striatum akan menurun seiring dengan peninngkatan usia, atau mungkin karena kadar dopamin itu sendiri yang menurun. Beberapa kerusakan berkaitan dengan penuaaan yang berhubungan dengaan tekanan darah dan faktor vaskular termasuk stroke dan penyakit yang mengenai mikrosirkulasi. Berdasarkan bukti-bukti dari hasil penelitian dijelaskan bahwa faktor vaskular tidak hanya berkontribusi dalam masalah kognitif tapi juga demensia yang sering terjadi pada populasi ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Glisky EL. Brain Aging: models, methods, and mechanism. NCBI [cited 2007]; available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK3885/. Accessed from: September 12,2017. 2. Svennerholm L, Boström K, Jungbjer B. Changes in weight and compositions of major membrane components of human brain during the span of adult human life of Swedes. Acta Neuropathol199794345–352. 3. Raz N. The ageing brain: structural changes and their implications for cognitive ageing. In: Dixon R, Bäckman L, Nilsson L, eds. New frontiers in cognitive ageing. Oxford: Oxford University Press, 2004115–134. 4. Anderton B. Ageing of the brain. Mech Ageing Dev2002123811–817. 5. Kolb B, Wishaw I. Brain plasticity and behaviour. Annu Rev Psychol 19984943–64. 6. Trollor J, Valenzuela M. Brain ageing in the new millennium. Austr N Z J Psychiatry 200135788–805. 7. Murphy D, DeCarli C, McIntosh A. et al Sex differences in human brain morphometry and metabolism: an in vivo quantitative magnetic resonance imaging and positron emission tomography study on the effect of ageing. Arch Gen Psychiatry 199653585–594. 8. Reber A S. Dictionary of psychology. London: Penguin, 1995 9. Nyberg L, Bäckman L. Cognitive ageing: a view from brain imaging. In: Dixon R, Bäckman L, Nilsson L, eds. New frontiers in cognitive ageing. Oxford: Oxford University Press, 2004135–160. 10. Cabeza R. Commentary: neuroscience frontiers of cognitive ageing: approaches to cognitive neuroscience of ageing. In: Dixon R, Bäckman L, Nilsson L, eds. New frontiers in cognitive ageing. Oxford: Oxford University Press, 2004179–198. 11. Lustig C, Buckner R. Preserved neural correlates of priming in old age and dementia. Neuron 200442865–875. 12. Cabeza R, Daselaar S, Dolcos F. et al Task ‐independent and task ‐specific age effects on brain activity during working memory, visual attention and episodic retrieval. Cerebral Cortex200414364–375. 13. Compton J, Van Amelsoort T, Murphy D. HRT and its effect on normal ageing of the brain and dementia. Br J Clin Pharmacol200152647–653. 14. Bartzokis G, Cummings J, Sultzer D. et al White matter structural integrity in healthy ageing adults and patients with Alzheimer disease. Arch Neurol 200360393–398. 15. Tullberg M, Fletcher E, DeCarli C. et al White matter lesions impair frontal lobe function regardless of their location. Neurology200463246–253. 16. Kuo H, Lipsitz L. Cerebral white matter changes and geriatric syndromes: is there a link? J Gerontol 200459A818–826. 17. Moody D, Thore C, Anstrom J. et al Quantification of afferent vessels shows reduced brain vascular density in subjects with leukoaraiosis. Radiology 2004233883–890.
23
18. Mezzapesa D, Rocca M, Pagini E. et al Evidence of subtle gray‐matter pathologic changes in healthy individuals with nonspecific white ‐matter hyperintensities. Arch Neurol2003601109–1112. 19. Artero S, Tiemeier H, Prins N. et al Neuroanatomical localisation and clinical correlates of white matter lesions in the elderly. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004751304–1308 20. Lobo A, Launer L, Fratiglioni L, for the Neurologic Diseases in the Elderly Research Group et al Prevalence of dementia and major subtypes in Europe: a collaborative study of population based ‐cohorts. Neurology 200054S4–S5. 21. Barker W, Luis C, Kashuba A. et al Relative frequencies of Alzheimer disease, Lewy body, vascular and frontotemporal dementia, and hippocampal sclerosis in the State of Florida Brain Bank. Alzheimer Dis Assoc Disord 200216203–212. [PubMed] 22. Sparks D, Scheff S, Liu H. et al Increased incidence of neurofibrillary tangles (NFT) in non‐demented individuals with hypertension. J Neurol Sci 1995131162–169. 23. Jellinger K. Alzheimer disease and cerebrovascular pathology: an update. J Neural Trans 2002109813–836.
24