Peran Pendidik Geografi dalam Pengembangan Kurikulum Literasi Bencana Oleh: Drs.Priyono,MSi dan Choirul Amin,SSi,MM Fakultas Geografi UMS Abstrak Banyaknya korban yang jatuh pada Tsunami Aceh, Mentawai dan letusan Merapi merupakan kenyataan pahit bahwa bangsa ini abai dan lalai akan tanda-tanda alam. Tiap kali bencana melanda, tiap kali pula seolah bangsa ini baru tergugah dari tidurnya. Sungguh terasa bangsa ini terlena di kala kondisi normal tapi lalai mempersiapkan antisipasi dampak bencana. Fakta ini terkonfirmasi oleh hasil kajian BNPB tahun 2012 terhadap kesiapsiagaan masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam menghadapi bencana di 33 kabupaten dan kota di Indonesia di mana ternyata semua daerah menunjukkan hasil bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan Pemerintah Daerah masih rendah. Fakta dan data di atas menunjukkan bahwa kesiapsiagaan bangsa ini dalam menghadapi bencana masih patut dipertanyakan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang melek bencana. Tulisan ini membahas dua hal terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana yaitu: pertama, pentingnya melek bencana; dan kedua, bagaimana peran para pendidik (baik guru maupun dosen) geografi dalam mewujudkan generasi melek bencana tersebut. Tulisan ini menggunakan analisis data sekunder yang diperoleh dari BNPB dan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan Nasional. Hasil kajian menunjukkan bahwa: pertama, melek bencana memang tidak dapat menghentikan terjadinya bencana itu sendiri, akan tetapi hal itu dapat membantu kita mempersiapkan diri menghadapi bencana tersebut sehingga akan mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkannya; dan kedua, Pendidik geografi dapat berperan dalam membangun generasi melek bencana melalui pengembangan kurikulum pendidikan literasi bencana dan penggunaan metode pembelajaran kontekstual bencana dalam pembelajaran di kelas. Kata Kunci : Pendidik Geografi, Kurikulum Literasi Bencana, Metode Pembelajaran Kontekstual Bencana. A. Pendahuluan Kepulauan Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki kondisi geologi yang sangat menarik di dunia. Menarik karena gugusan kepulauannya dibentuk oleh tumbukan lempeng-lempeng tektonik besar. Indonesia berada dalam lingkaran pertarungan tiga lempeng besar dunia yang saling bertabrakan. Masingmasing adalah lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik.
0
Gambar 1. Kepulauan Indonesia dikepung oleh lempeng-lempeng tektonik. Sumber : http://inatews.bmkg.go.id
Kondisi bentang alam Indonesia tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia rawan terkena bencana geologi baik berupa letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Seolah tak sempat kering air mata kesedihan Bangsa Indonesia karena rentetan bencana yang beruntun melanda seperti tsunami Aceh tahun 2004, gempa Nias tahun 2005, gempa Jogja tahun 2006, gempa Bengkulu tahun 2007, gempa Padang tahun 2009, letusan Gunung Merapi tahun 2010, gempa dan tsunami di Mentawai tahun 2010, lalu gempa di Aceh Tengah tahun 2013. Selain bencana geologis tersebut, negeri ini juga di setiap musim penghujan selalu dirundung bencana banjir dan tanah longsor. Rentetan bencana itu menggambarkan bahwa berbagai daerah di Indonesia merupakan titik rawan bencana yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Banyaknya korban dan kerugian yang dialami ketika kejadian bencana adalah kenyataan pahit bahwa bangsa ini abai dan lalai akan tanda-tanda alam. Data kejadian bencana dan korban meninggal dunia dari tahun 1815 hingga 2014 dapat disimak pada grafik 1 di bawah ini.
1
Grafik 1. Sebaran Kejadian Bencana dan Korban Meninggal per Jenis Kejadian Bencana 1815-2014 Sumber : DIBI-BNPB, 2014.
Fakta dan data di atas terkonfirmasi oleh hasil kajian BNPB tahun 2012 terhadap kesiapsiagaan masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam menghadapi bencana di 33 kabupaten dan kota di Indonesia di mana ternyata semua daerah yang dikaji menunjukkan hasil bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan Pemerintah Daerah masih rendah. Fakta dan data tersebut menunjukkan bahwa kesiapsiagaan bangsa ini dalam menghadapi bencana masih patut dipertanyakan. Tulisan ini membahas dua hal terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana yaitu: pertama, pentingnya melek bencana; dan kedua, bagaimana peran para pendidik (baik guru maupun dosen) geografi dalam mewujudkan generasi melek bencana tersebut. Tulisan ini menggunakan analisis data sekunder yang diperoleh dari Data dan Informasi Bencana (DIBI) BNPB dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. B. Pentingnya Literasi Bencana Berbagai bencana yang melanda negeri ini telah merenggut ribuan korban jiwa, kehilangan harta benda, serta lumpuhnya sendi-sendi perekonomian rakyat
2
akibat kerusakan atas berbagai infrastruktur dan fasilitas umum yang ada. Tiap kali bencana melanda, tiap kali pula seolah bangsa ini baru tergugah dari tidurnya. Sungguh terasa bangsa ini terlena di kala kondisi normal tapi lalai mempersiapkan antisipasi dampak bencana sehingga menimbulkan jumlah korban dan kerugian yang tidak sedikit. Oleh karena itu, setiap Warga Negara Indonesia, termasuk para generasi muda harus paham bahwa daerah yang ditinggali saat ini rawan bencana sehingga mereka memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana agar risiko bencana dapat dikurangi. Pendidikan bagi generasi muda menjadi satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Oleh karenanya, pengurangan risiko bencana seperti dimandatkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan pendidikan sehingga mampu melahirkan generasi yang melek bencana (disasterliterate generation). Literasi bencana adalah kata kunci yang harus dipahami oleh generasi muda bangsa ini sehingga mereka memahami sepenuhnya (literasi-melek) bahwa letak geografis negerinya berada pada kawasan yang rawan terjadinya bencana. Kegiatan literasi menurut Potter (2005) dalam Gatut (2013), awalnya hanya kegiatan yang beroritasi pada kemampuan membaca dan menulis. Tidak mengherankan orientasi awal kegiatan literasi hanya terfokus pada perilaku individu berkait dengan kemampuan membaca media baik itu koran, majalah atau bulletin dan sejenisnya. Perkembangan selanjutnya, meluas pada bentuk kesadaran terhadap visual literacy seperti televisi, film dan komputer. Bahkan yang lebih terkini lagi adalah media literacy dan information literacy. Penekanannyapun semakin variatif, satu diantaranya adalah upaya kongkrit untuk meningkatkan kesadaran dan ketrampilan individu atau masyarakat tentang kepedulian akan persoalan lingkungan tertentu. Sedangkan literasi bencana menurut Emily (2012) adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi dan mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan bencana. Lahirnya generasi dengan literasi bencana diharapkan memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan
3
menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak–dampak bencana yang merugikan. Generasi muda kita harus memahami jika mereka tinggal di daerah rawan bencana sehingga mereka sudah paham dan bisa mengantisipasi sedini mungkin jika sewaktu-waktu terjadi bencana, termasuk dimana lokasi pengungsian hingga alat apa saja yang dibutuhkan. Membangun literasi bencana dan budaya siaga di dunia pendidikan sangat dibutuhkan agar generasi muda yang hidup di negara yang rawan bencana ini memiliki gaya hidup tangguh dalam menghadapi bencana. C. Peran Pendidik Geografi Pemahaman tentang bencana sangat penting diberikan baik di bangku kuliah maupun sekolah untuk meningkatkan kesiapsiagaan generasi penerus bangsa agar mereka dapat ikut meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Generasi yang memiliki kesiapan terhadap bencana akan mampu menghadapi dan melakukan tindakan penyelamatan diri pada saat bencana terjadi. Di sinilah peran para pendidik geografi (baik guru maupun dosen) sangat dibutuhkan. Sebagai ilmu yang sangat dekat dengan lingkungan, geografi seharusnya memiliki peran penting dalam menyiapkan generasi masa depan yang melek bencana. Geografi mempelajari fenomena geosfer dengan pendekatan yang holistik (keruangan, ekologi, dan kompleks wilayah) dan terintegrasi sehingga memungkinkan peserta didik dapat mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan geografi untuk berbagai situasi kehidupan baik di rumah, lingkungan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian, pelajaran geografi seharusnya menjadi pelajaran inti di sekolah untuk pembekalan pengetahuan dasar tentang kebencanaan sejak dini. Kesiapan ini dapat dibentuk melalui penyusunan kurikulum dan pembelajaran literasi bencana di dalam kelas. 1. Pengembangan Kurikulum Literasi Bencana Usaha meningkatkan literasi bencana di dunia pendidikan harus dilaksanakan baik pada taraf kurikulum maupun pelaksanaan kurikulum di lapangan. Penyusunan kurikulum harus didasarkan pada kaidah kurikulum yang baik karena kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan. Mengingat 4
pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh. Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan. Pandangan lama mendefinisikan kurikulum sebagai kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno dan dalam lingkungan tertentu pandangan ini masih digunakan
hingga
sekarang, yaitu kurikulum sebagai, "... are course of subject matters to be mastered" (Robert S. Zais, 1976) Pendapat-pendapat menekankan
pada
yang
muncul
selanjutnya
isi
menjadi
lebih
pengalaman belajar. Caswel dan Campbell (1935)
telah
bergeser
menekanan
dari pada
dalam buku mereka berjudul
Curriculum Development, mendefinisikan kurikulum, “ ... to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers”. Perubahan penekanan pada pengalaman ini selanjutnya ditegaskan oleh Ronald C. Doll (1974) dengan menyatakan bahwa: “The commonly accepted definition of the curriculum has changed fromcontent of courses of study and list of subjects and courses to all theexperiences which are offered to learners under the auspices or directionof the school..” Pernyataan tentang kurikulum Doll di atas tidak hanya menunjukkan adanya perubahan penekanan dari isi kepada proses, melainkan juga menunjukkan adanya perubahan lingkup, yaitu dari konsep yang sangat sempit kepada yang lebih
luas.
Definisi
tersebut
juga
mencakup berbagai upaya guru dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta berbagai fasilitas yang mendukungnya Oleh karena itu, Landasan pegembangan kurikulum tidak hanya dipergunakan bagi para penyusun kurikulum, akan tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksanaan kurikulum yaitu para pendidik serta pihak – pihak yang terkait dalam melakukan pembinaan terhadap implementasi kurikulum di setiap tingkat pendidikan. Penyusunan dan
5
pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan, dibutuhkan berbagai landasan yang kuat agar mampu dijadikan dasar pijakan dalam melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya sasaran pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif dan efesien. Materi mitigasi bencana, termasuk ancaman dan risiko bencana, memang telah dimasukkan dalam Kurikulum 2013. Meski penyampaian materi mitigasi bencana tidak dimasukkan dalam mata pelajaran khusus, tetapi melalui kegiatan ekstrakurikuler, seperti Pramuka. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga telah menyusun materi khusus mengenai kebencanaan, mulai dari pengenalan tanda-tanda bencana alam hingga proses evakuasi. Setiap daerah memiliki karakteristik ancaman bencana yang berbeda, mulai dari gempa, banjir, longsor, hingga letusan gunung api, sehingga kurikulum mitigasi bencana untuk sekolah harus disesuaikan dengan karakteristik ancaman bencana yang dihadapi. Namun demikian, jika dipertimbangkan pentingnya literasi bencana bagi generasi muda, langkah seperti di atas belumlah memadahi karena pendiidkan mitigasi bencana tidak masuk dalam mata pelajaran dan hanya disampaikan melalui ekstrakurikuler Pramuka. Oleh karena itu, perlu disusun kurikulum khusus yang menjadi panduan bagi setiap pendidik di beberapa mata ajar. Pada pembelajaran di setiap jenjang pendidikan (mulai dari TK hingga PT), komponenkomponen kurikulum seperti silabus, standar kompetensi dan kompetensi dasar harus dibuat dengan jelas, misalnya pada jenjang SD dan SMP mitigasi bencana dapat dimasukan dalam mata pelajaran IPA dan IPS, sedangkan di SMA dalam mata pelajaran Geografi dan Sosiologi. Selain itu, mengingat keterkaitan kejadian bencana dengan keadaan geografis setempat maka geografi harus dijadikan sebagai platform kajian dalam penyusunan dan penyampaian materi literasi bencana tersebut. Hal ini atas dasar pertimbangan bahwa semua kejadian bencana terikat dengan lokasi. Oleh karena itu, kurikulum literasi bencana harus menekankan pentingnya konektivitas ruang dalam kejadian bencana. Hakikat geografi sebagai ilmu selalu melihat keseluruhan gejala dalam ruang, dengan memperhatikan secara mendalam tiap aspek yang menjadi komponen keseluruhan. Geografi sebagai satu kesatuan studi (unified geography),
6
melihat satu kesatuan komponen alamiah dengan komponen insaniah pada ruang tertentu di permukaan bumi, dengan mengkaji faktor alam dan faktor manusia yang membentuk integrasi keruangan di wilayah yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah keterkaitan antara lingkungan fisik dan sosial dalam Daerah Aliran Sungai (DAS). Persepsi masyarakat terhadap sungai akan sangat mempengaruhi tindakannya pada sungai.
Jika masyarakat tidak paham bahwa sungai memiliki hubungan timbal balik yang erat dengan lingkungan sekitarnya, maka masyarakat akan ringan tangan merusaknya seperti membuang sampah dan limbah ke sungai, merusak bantarannya, menambang material secara membabi buta dan membabat hutan di daerah hulu.
Akibatnya, bencana jua yang akan dituai. Akan tetapi jika
masyarakat memahami hubungan timbal balik ini dan memandang sungai sebagai asset yang berharga bagi kehidupannya, maka mereka akan terdorong untuk menjaga kelestariannya. Di sinilah pentingnya generasi muda dipahamkan tentang adanya sistem alam sedini mungkin (sejak PAUD dan TK) sehingga mereka memahami sistem lingkungan fisik dan manusia yang saling berkaitan, masyarakat dan tempat tinggalnya saling berinteraksi. Gejala interelasi,
interaksi, integrasi keruangan, menjadi hakikat kerangka kerja utama pada geografi dan studi geografi. Inilah mengapa geografi harus dijadikan platform dalam penyusunan kurikulum literasi bencana ini. Dengan demikian, peran para pendidik geografi (baik guru maupun dosen) dalam penyusunan (dan pelaksanaan) kurikulum literasi bencana sangatlah signifikan. Para pendidik geografi harus terlibat aktif dalam penyusunan kurikulum literasi bencana ini agar pola pikir dan pendekatan geografi benarbenar mewarnai sehingga geografi dapat terwujud menjadi platform kurikulum literasi bencana seperti diharapkan di atas. 2. Model Pembelajaran Kontekstual Kebencanaan Kerawanan bencana merupakan suatu hal yang sangat kasat mata di negeri ini. Sementara itu, banyak teoritisi pendidikan yang telah lama menghimbau untuk membuat pendidikan menjadi hidup dan berarti dengan cara menghubungkan pelajaran-pelajaran yang abstrak dengan kehidupan nyata. Dengan demikian, ini merupakan jalan bagi penerapan model pembelajaran kontekstual. Hal ini relevan 7
dengan perlunya suatu model pembelajaran yang secara efektif dapat meningkatkan literasi bencana para generasi muda Indonesia. Johnson (2007) menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pengajaran
yang
membuat
semua
peserta
didik
mampu
memperkuat,
mengembangkan, dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademik mereka di berbagai kondisi baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah/kampus untuk memecahkan masalah-masalah nyata. Pembelajaran kontekstual menekankan tingkat pemikiran yang lebih tinggi, alih pengetahuan antar mata pelajaran, serta menghubungkan, menganalisis, dan menyusun informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang. Selanjutnya Johnson (2007) menyimpulkan 7
ciri
pembelajaran
kontekstual yaitu: kebermaknaan, penerapan pengetahuan, tingkat pemikiran lebih tinggi, kurikulum yang berdasarkan standar, fokus pada kebudayaan, peran serta aktif, dan penilaian autentik. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual kebencanaan terjadi ketika para peserta didik menerapkan dan mengalami hal-hal yang dipelajari tentang bencana dengan merujuk pada permasalahan-permasalah nyata di lingkungan tempat tinggalnya sendiri yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pembelajar. Tugas pendidik geografi di sini adalah mengatur strategi belajar dan memfasilitasi belajar agar peserta didik mampu menghubungkan pengetahuan kebencanaan dengan resiko bencana yang ada di tempat tinggalnya. Misalnya bagi para pendidik di Pulau Jawa harus mampu memahamkan bahwa penduduk Pulau Jawa yang ditinggali lebih dari 120 juta jiwa itu harus hidup di bawah bayang-bayang bencana dari lebih dari 30 gunung berapi. Selain itu, pembelajaran kontekstual kebencanaan perlu menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat mencerna materi kebencanaan yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata di lingkungannya sehingga mampu mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kesiapsiagaan bencana generasi muda harus dipupuk sedini mungkin. Parameter kesiapsiagaan bencana meliputi: pengetahuan dan sikap, kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan dini dan mobilisasi sumber daya. Pada
8
pelaksanaan program sekolah siaga bencana dilakukan bersama dengan program pengembangan sekolah untuk meningkatkan kapasitas respons dan manajemen bencana. Sudah saatnya kini melihat dunia pendidikan sebagai pusat pembelajaran mulai mengenalkan dan menerapkan parameter kesiapsiagaan bencana tersebut menggunakan model pembelajaran kontekstual. Lebih-lebih saat ini implementasi Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan sainstifik tersebut sangat sesuai dengan pembelajaran kontekstual ini. Para pendidik geografi harus mengambil peran dalam kegiatan pengurangan risiko bencana dengan cara memulai mengenalkan materi-materi tentang kebencanaan sebagai bagian dari aktivitas pembelajaran sehari-hari. Selain secara fisik telah dilakukan penyesuaian bangunan kampus dan sekolah dengan potensi bencana setempat, di lain pihak para pendidik juga perlu berupaya mengembangkan metode mitigasi bencana untuk meningkatkan keterampilan dalam menghadapi bencana secara dini. Para pendidik geografi tidak cukup hanya memberikan simulasi bencana, namun juga membuat rencana manajemen bencana yang melibatkan semua pihak di lembaganya masing-masing. D. Penutup Hasil kajian ini menunjukkan bahwa: pertama, melek bencana memang tidak dapat menghentikan terjadinya bencana itu sendiri, akan tetapi hal itu dapat membantu kita mempersiapkan diri menghadapi bencana tersebut sehingga akan mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkannya; dan kedua, Pendidik (guru dan dosen) geografi dapat berperan dalam membangun generasi melek bencana melalui penyusunan kurikulum pendidikan literasi bencana dan penggunaan metode pembelajaran kontekstual kebencanaan dalam pembelajaran di kelas. Daftar Pustaka Data dan Informasi Bencana Indonesia, Badan Nasional Penganggulangan Bencana (on line). http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp
diakses
pada 15 Juli 2014. Doll, Ronald C. 1974. Curriculum Improvement, Decision Making and Process. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
9
Emily Y.Y. Chan. 2012. Preliminary Findings on Urban Disaster Risk Literacy and
Preparedness
in
a
Chinese
Community
(on
https://wfpha.confex.com/wfpha/2012/webprogram/Paper9563.html
line) diakses
pada 17 Juli 2014. Enco Mulyasa dan Anang Solihin Wardan. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Remaja Rosdakarya. Gatut Priyowidodo dan Jandy E. Luik. 2013. Literasi Mitigasi Bencana Tsunamai untuk Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Jurnal Ekotrans Vol.13 No. 1 Januari 2013, hlm 47-61. Irwan Suhanda (ED). Bencana Mengancam Indonesia : Laporan Khusus Kompas. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Penerbit MLC. Merliyana, Pargito, dan Dedy Miswar. 2014. Sumbangan Model Pembelajaran Kontekstual pada Hasil Belajar Pada Mata Pelajaran Geografi. Jurnal Penelitian Geografi (JPG) FKIP Unila, Vol.2 No. 2 Tahun 2014. Permendikbud Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Permendikbud Nomor 64 tahun 2013 tentang Standar Isi. Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses. Sriyono. 2011. Penerapan Green Campus for My City Sebagai Model Pembelajaran Kontekstual pada Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Meningkatkan Afeksi Mahasiswa Jurusan Geografi FIS UNNES dalam Mewujudkan Konservasi Alam. Jurnal Geografi Unnes Vol. 8 No. 1, Januari 2011. Zadeh, Alik Ismail (Ed). 2014. Extreme Natural Hazards, Disaster Risks and Societal Implications. United Kingdom: Cambridge University Press. Zais, Robert S. (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York: Harper & Row Publisher. 10
11