PSIKOLOGI KESEHATAN DAN SOSIOLOGI KESEHATAN “PERAN GENDER DALAM TIAP MASA PERKEMBANGAN PEREMPUAN”
Dosen Pengampu: Putri Rahmasari, S.ST., MPH
Oleh : Dian Noviana Kandhi 1710104381/F
PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA 2018
PERAN GENDER DALAM TIAP MASA PERKEMBANGAN PEREMPUAN A. Pengertian Gender Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan
atau perbedaan jenis kelamin. Kata “gender” ini sudah sering digunakan oleh orang Indonesia, namun tidak ada kata gender dlaam bahasa Indonesia (Antonius, 2008). Menurut Fakih (1999) yang dikutip oleh Sujatmoko (2011) pengertian gender pertama yang ditemukan dalam kamus adalah penggolongan secara gramatikal terhadap kata-kata dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya secara garis besar berhubungan dengan keberadaan dua jenis kelamin atau kenetralan. B. Peran gender Pada umumnya dala keluarga di Indonesia, orang tua atau lingkungan
secara langsung maupun tidak langsung telah mensosialisasikan bahwa peran lakilaki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki diminta membantu pekerjaan ayang yang sifatnya berat, anak laki-laki seringkali diberi kebebasan untuk bermain dan berteman karena mereka dianggap bisa menjaga dirinya sendiri. Sedangkan anak perempuan tugasnya membantu ibu di dapur memasak dan juga membersihkan rumah seperti menyapu, mencuci dan lain-lain. Sebagai hasil bentukan sosial peran gender dapat berubah-ubah dalam kondisinya, waktu dan tempat yang berbeda sehingga peran laki-laki dan perempuan mungkin dapat dipertukarkan tanpa menyalahi kodrati. C. Sejarah Gender Perempuan Di Indonesia
Perkembangan studi perempuan atau studi gender di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan studi gender di berbagai negara. Perkembangan itu berkaitan erat dengan pelaksanaan konferensi perempuan yang dilaksanakan di berbagai negara yang dimotori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah satu kegiatan/media untuk menyuarakan tuntutan para perempuan adalah melalui konferensi yang telah dilaksanakan beberapa kali di berbagai negara. Sampai saat ini telah dilaksanakan konferensi perempuan sebanyak 4 kali dan konferensi yang kelima direncanakan pada tahun 2010.
Untuk memperingati perjuangan kaum perempuan dalam memperjuangkan status dan kedudukannya, ditetapkan hari perempuan sedunia yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Selain itu pada saat konferensi dunia Hak Asasi Manusia (HAM) II di Wina pada tahun 1993, juga telah dibicarakan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang memberikan perlindungan bagi korban kekerasan serta memberikan sanksi pidana bagi pelakunya (Soeparman, 2006). Secara rinci perkembangan pembahasan mengenai studi perempuan berkaitan dengan paradigma yang melandasi perjuangan atau tuntutan para pemerhati persoalan gender di Indonesia dapat dilihat dalam uraian berikut. Secara garis besar terdapat 4 paradigma dalam pembahasan mengenai studi perempuan. 1) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Women in Development (WID) Konferensi Perempuan Sedunia I tahun 1975 melahirkan perspektif Women in Development (WID) yang menuntut agar terdapat persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan (Caraway, 1998). Mereka menuntut agar perempuan diintegrasikan dalam proses pembangunan. Jadi diharapkan perempuan memiliki akses di segala bidang seperti ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Pada pendekatan WID ini perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan karena perempuan dianggap kurang pendidikan, kurang pelatihan, maupun tidak ada rasa percaya diri. Untuk itu perempuan harus meningkatkan kemampuannya agar dapat terlibat dalam pembangunan (Dewi, 2006). Keterlibatan perempuan di bidang ekonomi akan meningkatkan posisi ekonomi perempuan, sehingga mereka percaya status dan kedudukan perempuan akan meningkat di masyarakat. Jadi konsep WID adalah memfokuskan pada perubahan situasi, yang bertujuan untuk menarik dan menempatkan perempuan dalam arus pembangunan, karena perempuan merupakan sumber daya manusia yang melimpah, yang dapat menggerakkan
roda pembangunan, asalkan kemampuan mereka ditingkatkan (Silawati, 2006). Untuk dapat mengakomodir perubahan situasi tersebut misalnya harus dilakukan peningkatan akses perempuan di bidang ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Konferensi Perempuan Sedunia I tahun 1975, maka dibentuk Menteri Muda Urusan Peranan Wanita pada tahun 1978. Melalui kementerian inilah dilakukan usaha-usaha untuk mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan. 2) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Gender and Development (GAD) Pada paradigma ini diperkenalkan konsep gender, dimana studi tentang perempuan dihubungkan dengan laki-laki. Dengan perspektif gender wacana tentang perempuan sekaligus dihubungkan dengan laki-laki, dimana dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan menjadi kajian utama (Abdullah, 1998). Konsep gender ini muncul setelah Konferensi Perempuan Sedunia III di Nairobi, Kenya tahun 1985. Pada paradigma ini dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan yang berbeda, demikian pula dari sesama perempuan berdasarkan kategori sosial mereka. Pada
paradigma
ini
disadari
bahwa
terjadi
ketimpangan
gender/hubungan gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang terjadi baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun negara. Dalam paradigma atau pendekatan GAD ini, melihat ketertinggalan perempuan sebagai akibat dari relasi hubungan sosial dan politik yang tidak adil pada mereka. Jadi yang harus dibenahi adalah hubungan-hubungan tersebut, bukan perempuannya (Silawati, 2006). Dengan konsep GAD yang melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan baik dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, lalu muncul dan disadari bahwa terdapat fenomena ketidakadilan dan diskriminasi gender. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil yang dialami oleh laki-laki dan perempuan akibat dari sistem dan struktur sosial yang telah berakar dalam sejarah, adat maupun norma (BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005). Secara umum ketidakadilan gender dalam
berbagai
bidang
kehidupan
lebih
banyak dialami
oleh
perempuan.
Ketidakadilan ini dapat bersumber dari berbagai perlakuan atau sikap yang secara langsung membedakan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Secara tidak langsung ketidakadilan ini dapat bersumber dari dampak suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan. Bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender tersebut dapat meliputi hal berikut. a. Marginalisasi perempuan Pemiskinan
kaum
perempuan
atau
meminggirkan
kaum
perempuan. Pembagian kerja menurut gender yang selama ini ada juga menyebabkan marginalisasi pada perempuan. Karena konsep gender, ada jenis pekerjaan yang hanya dianggap cocok untuk perempuan. Misalnya karena perempuan dianggap tekun, sabar, teliti, maka pekerjaan yang cocok seperti guru, perawat, penerima tamu, sekretaris, atau pembantu rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan ini dipandang masih merupakan perpanjangan tangan dari pekerjaan rumah tangga. Dengan menganggap pekerjaan tersebut cocok untuk perempuan, maka pekerjaan-pekerjaan lainnya yang dianggap cocok untuk laki-laki akan tertutup bagi perempuan.
Kesempatan
perempuan
akan
lebih
sedikit
dalam
memperoleh jenis-jenis pekerjaan tertentu. b. Subordinasi Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contohnya: menomorduakan kesempatan pada perempuan untuk memperoleh pendidikan jika dalam rumah tangga memiliki keterbatasan sumber daya, mengorbankan anak perempuan untuk masuk pasar kerja demi membantu membiayai saudara laki-lakinya untuk sekolah. c. Stereotype (Pelabelan Negatif) Beberapa contoh pelabelan negatif yang merugikan perempuan, misalnya sebagai berikut: Perempuan dipandang pesolek, suka menarik
perhatian laki-laki. Dengan label ini, jika terjadi pelecehan seksual, maka sering yang disalahkan adalah perempuan. Ada anggapan di masyarakat bahwa tugas utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga dan melayani
suami,
sehingga
jika
perempuan
bekerja,
maka
hasil
pekerjaannya dipandang sebagai penghasilan tambahan, walaupun lebih banyak daripada penghasilan suaminya. d. Violence Violence atau kekerasan yang dihadapi oleh perempuan dapat berupa kekerasan fisik maupun non fisik. Contoh kekerasan fisik yang dialami oleh perempuan, misalnya berikut ini : a) pemerkosaan, termasuk yang terjadi dalam perkawinan; b) pelecehan seksual; dan c) pemukulan dalam rumah tangga (domestic violence). Kekerasan non-fisik yang terjadi pada perempuan, seperti beri kut ini : a) prostitusi/pelacuran dimana seseorang atau sekelompok orang diuntungkan; b) pornografi (tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang); c) eksploitasi terhadap perempuan e. Beban Kerja Lebih Berat Karena ada anggapan bahwa perempuan lebih cocok untuk mengerjakan pekerjaan domestik, maka akibatnya seluruh pekerjaan rumah tangga dibebankan pada perempuan. Persoalan terdapat pada keluarga yang tergolong miskin, karena penghasilan suami tidak mencukupi, maka istri turut bekerja, sehingga pada keluarga ini perempuan bekerja di luar dan di dalam rumah. Pekerjaan di dalam rumah seperti mendidik anak (mengajari anak belajar), dan pekerjaan rumah tangga lainnya semua menjadi beban perempuan, meskipun perempuan dalam keluarga tertentu menjadi pencari nafkah utama (suami tidak bekerja). Jadi beban perempuan demikian berat. Ini juga sebuah
bentuk ketidakadilan yang diterima oleh perempuan di dalam masyarakat dan rumah tangganya.
3) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Pemberdayaan Perempuan (Women’s Empowerment) Konsep pemberdayaan perempuan ini muncul setelah konferensi perempuan sedunia IV di Beijing. Selain itu, pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan
‘The Millenium
Development
Goals’
(MDGs)
yang
mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Dep. Kehutanan, 2005). Kebijakan pemberdayaan perempuan di Indonesia diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan praktis dan strategis perempuan. Pemenuhan kebutuhan praktis meliputi kebutuhan perempuan agar dapat menjalankan peran-peran sosial untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti perbaikan taraf kehidupan, perbaikan
pelayanan
kesehatan,
penyediaan
lapangan
kerja,
pemberantasan buta aksara dan sebagainya. Dengan kata lain kebutuhan praktis
perempuan
merupakan
program
intervensi
untuk
mengejar
ketertinggalan perempuan yang umumnya berada di tingkat individu. 4) Paradigma yang Bekaitan dengan Konsep Pengarusutamaan Gender/PUG atau Gender Mainstreaming Konsep PUG pertama kali saat konferensi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995. Pada saat itu berbagai area kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia untuk mewujudkan kesetaraan gender mulai dipetakan (Silawati, 2006). Terdapat 12 wilayah kritis yang harus ditempuh dalam upaya pemberdayaan perempuan di negara-negara anggota PBB. Wilayah kritis tersebut adalah: 1) perempuan dan kemiskinan; 2) pendidikan dan pelatihan untuk perempuan; 3) perempuan dan kesehatan; 4) kekerasan terhadap perempuan; 5) perempuan dan konflik bersenjata; 6) perempuan dan
ekonomi; 7) perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan; 9) hak asasi perempuan; 10) perempuan dan media; 11) perempuan dan lingkungan; dan 12) anak perempuan (Cattleya, 2006). PUG secara formal diadopsi dalam Beijing Platform for Action (BPFA) yang menyatakan bahwa pemerintah dan pihak pihak lain harus mempromosikan kebijakan gender mainstreaming secara aktif dan nyata terlihat dalam semua kebijakan dan program, sehingga sebelum keputusan diambil, analisis tentang dampak kebijakan terhadap perempuan dan laki-laki telah dilakukan (Dewi, 2006). D. Peran Gender Perempuan dalam Tiap Perkembangannya
1) Peran Gender pada Tingkat Sekolah Dasar Pada dasarnya memang ada perbedaan gender dalam kemampuan mental dan kepribadian. Anak perempuan lebih unggul dalam perkembangan bahasa namun lebih sensitive dan tergantung. Sedangkan anak laki-laki unggul dalam kemampuan keuangan dan lebih agresif. Hal ini berdasarkan pandangan bahwa anak perempuan cenderung lebih banyak memanfaatkan otak sebelah kirinya, sedangkan anak laki-laki lebih banyak memanfaatkan otak sebelah kanannya, yang banyak berkaitan dengan spasial atau keruangan. Anak perempuan dan laki-laki belajar peran gender melelui meniru atau mengamati lingkungannya, misalnya dengan memperhatikan apa yang dilakukan dan dikatakan orang. Melalui orang tua anak belajar mengenai peran gender, itulah sebabnya orang tua dikatakan sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam perkembangan gender. a. Pengaruh orang tua Orang tua berpengaruh dalam perkembangan gender, tampaknya sudah tidak diragukan lagi. Ibu dan ayah secara psikologis berperan dalam perkembangan gender anak. Ibu secara konsisten bertanggung jawab terhadap pengasuhan, sementara ayah lebih berperan pada interaksi bermain dengan anak dan bertanggung jawab menanamkan agar anak laki-laki atau perempuan tunduk pada norma-norma budaya. Tanpa disadari ayah merupakan bagian penting dalam perkembangan peran
gender daripada ibu karena ayah cenderung bereaksi secara berbeda pada anak laki-laki maupun perempuan. Banyak keluarga mendororng anak laki-laki dan perempuan untuk terlibat dalam permainan dan kegiatan yang berbeda. Anak perempuan umumnya bermain dengan boneka sampai ia mencapai usia sekolah, jika sudah dewasa ia diharapkan dapat mengasuh atau terlibat dengan hal-hal yang bersifat emosional daripada laki-laki. Sedangkan anak laki-laki dilibatkan pada permainan yang bersifat agresif. Begitu menginjak remaja, anak laki-laki lebih diberi kebebasan. b. Pengaruh kelompok sebaya Kelompok sebaya cenderung mendukung anak untuk terlibat dalam aktivitas yang sesuai jenisnya. Kelompok cenderung mencela anak yang terlibat dalam permainan yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Tuntutan semacam ini akan semakin menonjol menjelang masa remaja. c.
Pengaruh sekolah dan guru Ketika memasuki usia sekolah, anak menyadari dan meyakini bahwa ada beberapa stereotype, seperti pekerjaan, kepribadian ataupun keinginan berprestasi. Ada keyakinan, anak laki-laki lebih unggul dalam pelajaran matematika dan etletik, sedangkan anak perempuan pada pelajaran seni, musik dan ketrampilan. Stereotype gender ini menguatkan perilaku anak-anak perempuan yang diusia sekolah tidak menonjol pada pelajaran matematika. Pengenalan Gender di Usia Dini
Pengenalan peran gender oleh pendidik sangat perlu diberikan pada anak sejak anak masih berusia dini. Menurut NAEYC (dalam Sujiono 2011:6): “Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun.” Anak yang berusia 5-6 tahun merupakan bagian dari anak usia dini yang secara terminologi menyebutkan
disebut sebagai
sebagai masa
anak golden
usia age,
pra
sekolah.
dimana
Para
ahli
perkembangan
kecerdasan pada masa ini mengalami peningkatan sampai 50%. Menurut Santrock (2009: 11) “Gender is another key dimension of children”s
development.” Pentingnya mengenalkan peran gender sejak dini sangat erat kaitannya dengan perkembangan dan pembentukan pola perilaku dan kepribadian anak di masa dewasa. Oleh karena itu segala jenis informasi yang benar dan berkaitan erat dengan peran gender harus ditanamkan secara tepat agar dapat tersimpan di memori anak dalam jangka panjang. Pembelajaran mengenai peran gender pada anak dapat dilakukan melalui berbagai metode pembelajaran yang dalam pelaksanaannya disetiap kegiatan pembelajaran harus bersifat konkret dan berorientasikan pada kegiatan bermain. Menurut Hurlock (1978: 175) “Seorang guru yang ingin mendorong anak untuk belajar peran gender sederajat akan membiarkan anak laki-laki dan perempuan bermain dengan mainan yang mereka pilih sendiri, tanpa menghiraukan jenis kelamin.” Tugas guru sebagai perencana kegiatan pembelajaran adalah diwajibkan untuk menciptakan suatu lingkungan belajar yang nyaman, aman, dan menarik minat serta rasa ingin tahu anak untuk belajar lebih banyak mengenai peran gender tanpa mengkategorikan kegiatan yang cocok bagi anak lakilaki atau anak perempuan saja. Metode yang dapat digunakan untuk pengenalan peran gender diantaranya adalah melalui metode bercerita, metode pembiasaan, metode sosiodrama, dan metode bercakap-cakap. Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan menjadi agen perubah sosial yang efektif dengan merespons secara konstruktif persoalan-persoalan nyata yang sedang dihadapi masyarakat secara lokal maupun global, bukan melalui mata pelajaran, melainkan pembangunan cara berpikir dan bersikap. Perubahan cara berpikir yang bertumpu pada kesetaraan gender akan mengubah tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi, termasuk juga model antara suami dan istri yang saling menghargai harkat dan martabat. Suatu gerakan besar yang akan membarui kehidupan dan memberi harapan bagi peradaban manusia.
2) Peran Gender pada perempuan usia dewasa a. Dalam Bidang Pendidikan Undang-Undang Republik Indonesia No 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 48 UU dikatakan bahwa wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh pasal 60 ayat (10) menyatakan setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat dalam hal ini perempuan masih dibawah kekuasaan laki-laki. Hal ini disebabkan karena
peranan
mensubordinasikan
laki-laki perempuan
dalam
kehidupan
dibawah
bermasyarakat
kekuasaannya.
Melihat
kedudukan dan peranan strategis dari seorang ibu dalam proses pendidikan, sudah sewajarnyalah apabila peranan perempuan dalam proses pendidikan dalam hidup bermasyarakat mendapatkan tempat yang sewajarnya. Dimana kesetaraan gender merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Tujuan dari pendidikan berperspektif gender diantaranya adalah: 1. Mempunyai akses yang sama dalam pendidikan, membuang pemikiran yang memandang bahwa wanita merupakan tenaga kerja di sektor domestik (pekerjaan urusan rumah tangga) sehingga tidak perlu diberikan pendidikan formal yang lebih tinggi merupakan pemikiran yang keliru. 2. Kewajiban yang sama, umpanya seorang laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kewajiban untuk mencari ilmu. Sejalan dengan hadist nabi” menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan. 3. Persamaan kedudukan dan peranan contohnya baik pria dan wanita sama-sama kedudukan sebagai subjek atau pelaku pembangunan.
b. Dalam Rumah Tangga Pembagian peran dan maupun pembagian tugas rumah tangga yang adil antara suami dan istri terkadang masih dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat mengenai peran gender yang cenderung memposisikan wanita untuk selalu berperan pada wilayah domestik. Rahayu (2011) menerangkan bahwa pola pembagian peran dalam keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain; Pertama, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan. dalam peraturan ini terdapat kebijakan-kebijakan yang tidak berkeadilan gender dan masin mengaut ideologi patriarki dalam sistem hukum di Indonesia. Kedua, faktor pendidikan. Para guru masih memiliki pola pikir bahwa laki laki akan menjadi pemimpin, sedangkan anak perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Ketiga, adalah faktor nilai-nilai. Status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi dengan masih kuatnya nilainilai tradisional dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keempat, adalah faktor budaya khususnya budaya patriarki. Dalam perspektif patriarki, menjadi pemimpin dianggap sebagai hak – bagi lakilaki – sehingga sering tidak disertai tanggung jawab dan cinta. Kelima, faktor media massa sebagai agen utama budaya populer. Perempuan dalam budaya populer adalah objek yang nilai utamanya adalah daya tarik seksual, pemanis, pelengkap, pemuas fantasi – khususnya bagi pria. Keenam, adalah faktor lingkungan yaitu adanya pandangan masyarakat yang ambigu.
3) Tingkat Lansia Aktifitas seksual dan sistem reproduksi :
Aktivitas seksual menurun – frekuensi – namun bukan berarti hilang sama sekali.
Frekuensi aktivitas & kepuasan kehidupan seksual cenderung menghilang bertahap selama usia 40 – 50 an.
Penurunan ini dihubungkan dengan usia & kondisi fisik (penyakit kronis, pembedahan, pengobatan, & konsumsi alkohol) (Rossi, 2004).
Sebab nonfisiologis: hubungan yg monoton, kekhawatiran akan kondisi finansial, kelelahan fisik / mental, depresi, takut gagal, pasangan pasif (King, 1996; Masters & Johnson, 1966; Weg, 1989).
Produksi hormon seks pada laki-laki & perempuan menurun.
Life Expectancy Usia Lanjut
Perempuan memiliki harapan hidup rata-rata yang lebih panjang 4 – 7 tahun dari laki-laki.
Kramarow (Papalia, 2001) – perempuan lebih berumur panjang dengan rasio 3:2, penyebaran ini meningkat dengan tingginya usia.
Perempuan biasanya hidup lebih lama & memiliki tingkat kematian lebih rendah dibandingkan laki-laki (Kinsella & He 2009; Kinsella & Phillips, 2005).
Perempuan lebih memiliki usaha untuk menjaga kesehatannya (Cleary, Zaborski, & Ayanian, 2004).
Laki-laki merasa bahwa mengakui sakit itu tidak maskulin, dan mencari bantuan berarti kehilangan kontrol (Addis & Mahalik, 2003).
Hal tersebut dipengaruhi oleh:
Faktor sosial (mis. Sikap terhadap kesehatan, kebiasaan, gaya hidup, pekerjaan),
Faktor biologis (perempuan lebih mampu bertahan pada penyakit degeneratif daripada laki-laki: produksi estrogen mampu melindungi perempuan dari penyakit penyempitan pembuluh darah, kromosom X berhubungan dg antibodi yg lebih banyak).
Laki-laki lebih mungkin untuk merokok, minum, dan terkena racun berbahaya (Kinsella & He, 2009). Pengaturan Tempat Tinggal
Di negara berkembang – lansia tinggal dg anak yg sudah dewasa & cucu mereka dlm sebuah keluarga multigenerasi.
Di negara maju – tempat utama lansia bergantung adalah pasangan hidup (Kinsella & Phillips, 2005), jika mungkin lebih memilih untuk tinggal di rumah & masyarakat mereka sendiri (Kinsella & Phillips, 2005).
Pengaturan tempat tinggal tidak bisa memberikan kita informasi mengenai kebahagiaan hidup para lansia ini.
Ex. Hidup sendiri tidak selalu menunjukkan kurangnya kohesi & dukungan keluarga; tetapi bisa saja mencerminkan kesehatan lansia, kemampuan ekonomi, & keinginan u/ mandiri.
Lansia dg gangguan – dukungan kecil (makanan, transportasi, pembantu kesehatan) sering dapat membantu mereka tetap tinggal di rumah Modify the environment.
DAFTAR PUSTAKA Marhaeni. 2016. Perkembangan Studi Perempuan, Kritik dan Gagasan Sebuah Perspektif Untuk Studi Gender Kedepan. Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. https://ojs.unud.ac.id. Diakses 24 Maret 2018 (02.00). Putri, D dan Lestari, S. 2015. Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Pada Pasangan Suami Istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 16, No. 1, Februari 2015: 72-85. Rahajeng, UW. 2010. Isu Kontekstual Masa Lansia. www.unita.lecture.ub.ac.id. Diakses 24 Maret 2018 (12.30). Sumar, WT. ____. Implementasi Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. https://media.neliti.com. Diakses 24 Maret 2018 (01.15). Tandayu, dkk. 2012. Pengenalan Peran Gender Dalam Pembelajaran Pada Anak Usia 5-6 Tahun. FKIP Untan Pontianak. https://media.neliti.com. Diakses 24 Maret 2018 (01.20).