BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan tindak pidana khusus yang diatur diluar KUHP . Sesuai asas hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (Ius Commune) dan hukum pidana khusus (Ius Singulare, Ius Special Atau Bijzonder Strafrecht). Ketentuan-ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum seperti diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan hukum pidana khusus dimaksudkan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur tentang kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus (Bijzonderlijk Feiten). Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian dari hukum pidana khusus, di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara, khususnya pada Hukum Acara Pidana.
Dikatakan tindak pidana yang diatur diluar KUHAP karena penjelasan dalam ketentuan umum, kecuali Bab IX ( interpretasi istilah) berlaku juga terhadap perbuatan yang menurut Undang-Undang dan peraturan lain diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. Maksudnya ialah pasal 1 sampai dengan pasal 85 buku I KUHP tentang ketentuan umum (atau asas-asas) berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang atau peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang atau peraturan itu menyimpang.
Peraturan hukum pidana yang tercantum di luar KUHP itu dapat disebut undang-undang (pidana) tersendiri/Khusus ( alzonderlijke (straf) bwetten) atau Nonkodifikasi. H.J.A. Nolte telah membuat desertasi di universitas unrecht, belanda, pada tahun 1949 yang berjudul het strafrecht in de Afzonderlijke wetten. Yang jika di bahasa indonesiakan akan menjadi hukum pidana di dalam undang-undang tersendiri
Korupsi juga salah satu bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena substansi dan nature serta dampaknya yang sangat multidimensional. Sifat alamiah kejahatan korupsi dapat di kategorikan di dalam tiga kategori utama, yaitu:
Sebagai kejahatan ekonomi;
Kejahatan politik;
Kejahatan dalam jabatan;
Kejahatan kemanusiaan;
Selain itu dampak dari kejahatan korupsi juga berupa multiple effects yaitu :
Pembodohan
Kemiskinan
Penghancuran peradaban
Hal yang paling penting untuk diketahui ialah penyimpangan-penyimpangan dalam undang-undang yang bersangkutan dari ketentuan umum atau asas-asas hukum pidana selebihnya, yang tidak menyimpang dengan sendirinya tetap berlaku ketentuan umum KUHP berdasarkan adagium Lex Specialis Derogate Legi Generali ( ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum). Asas-asas hukum pidana dalam buku KUHAP antara lain asas legalitas, hukum transitoir, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, system pemidanaan, percobaan (poging atau attempt), penyertaan (deelneming atau participation), gabungan delik ( samenloop), dan lain-lain.
Artinya, selama tidak ada ketentuan khusus, berlakulah ketentuan umum itu. Inilah yang menjadi patokan dalam menganalisa UU pemberantasaan tindak pidana korupsi ( UU No.31 tahun 1999) sebagaimana telah diubah dan ditamba oleh UU No. 21 tahun 2001) karena ternyata mayoritas rumusan delik berasal dari KUHP.
Hukum acara pidana sangat penting karena untuk mencari kebenaran perkara dalam pengadilan, memberikan putusan oleh hakim dan melaksankan putusan oleh jaksa ditentukan berdasarkan hukum acara pidana. Hukum acara pidana dirumuskan dalam UU No.8 tahun 1981 tentang kitab undang-undang hukum acara pidana. Hukum acara pidana berhungan erat dengan hukum pidana karena dalam mempertahankan hukum pidana digunakanlah hukum acara pidana. Tujuan sebenarnya hukum acara pidana ialah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahtraan dalam masyarakat.
Dengan melihat dari sifat tindak pidana korupsi yang merupakan salah satu bentuk extraordinary crimes maka penegakanyapun memiliki perbedaan dan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Rumusan Masalah
Apa saja bentuk-bentuk penyimpangan Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana?
Tujuan
Mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan yang terdapat di dalam Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi
A.1. Hukum Acara Pidana
Hukum, pidana, seperti yang dikemukakan oleh Mezger adalah aturan hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan mempunyai akibat yang berupa pidana. Jadi pada prinsipnya hukum pidana adalah ketentuan hukum dimana Pompe mendefinisikan suatu perbuatan mana yang dapat dikenai sanksi pidana dan dimana sanksi pidana tersebut bisa diketemukan (Ruba'I 1995). Hukum pidana sebagai hukum materiil berisikan peraturan-peraturan tentang :
Perbuatan yang diancam pidana;
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana; dan
Jenis tindak pidana yang dapat dikenakan kepadanya.
Maka hukum acara pidana berperan sebagai hukum formil dalam rangka menegakan hukum pidana atau dalam pengertian lain hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur segala proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, pelaksanaan, pengawasan dan pelaksanaan putusan hakim.
A.2 Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi
Karena sifat dari korupsi yan merupakan salah satu bentuk extraordinary crime dan diatur dalam undang-undang pidana khusus. Maka huum acara tindak pidana korupsi merupakan hukum acara pidana yang berlaku terhadap penanganan tindak pidana korupsi mulai dari masuknya laporan sampai ke pelaksanaan putusan, ketentuan-ketentuan tersebut terdapat di dalam KUHAP dan berlaku bagi hukum acara tindak pidana korupsi terkecuali diatur lain dalam undang-undang.
Ketentuan-Ketentuan Khusus Didalam Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi yang menyimpangi KUHAP.
Penyelidikan Oleh KPK
Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No.8 Tahun 1981) mengatakan "Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini." Sedangkan yang berwenang yang melakukan penyidikan disebut penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut "Penyidik adalah:
Pejabat polisi negara Republik Indonesia
Pejabwat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang."
Sedangkan di dalam Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi , kewenangan untuk melakukan penyidik juga berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa. Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomer 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa KPK mempunyai kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Adapun kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia , kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu bedarsarkan undang-undang. Kewenangan jaksa ini salah satunya diberikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Peradilan In Absentia
Pada prinsipnya sidang putusan suatu perkara pidana harus dihadiri oleh terdakwa, hal ini berdasarkan Pasal 196 ayat (1) KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang menyatakan "Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain"
Selain itu, juga terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana "In Absentia" yang pada intinya memerintahkan kepada hakim untuk menolak penasihat hukum/pengacara yag mendapat kuasa dari terdakwa yang sengaja tidak mau hadir dalam pemeriksaan pengadilan sehingga dapat menghambat jalanya pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusan.
Namun berdasarkan SEMA No.9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa "Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan cepat (baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus diluar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat." Acara Pemeriksaan Cepat hanya berlaku terhadap tindak pidana ringan dan pelanggaran Lalu Lintas Jalan, pasal 211 KUHAP.
Ketentuan mengenai peradilan In Absentia didalam Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi terdapat pada Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan UU No.20 Tahun 2001 yang menyatakan "Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiranya". Hal ini bertentangan dengan ketentuan KUHAP karena Korupsi pada umumnya bukanlah termasuk dalam tindak pidana ringan dimana berdasar PERMA No.2 Tahun 2012 batasan mengenai tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak Rp. 2.500.000.
Beban Pembuktian Terbalik
Sistem hukum pidana formil di Indonesia memberikan kewajiban untuk melakukan pembuktian ada atau tidak tindak pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini tersirat dalam Pasal 66 KUHAP (UU No.8 Tahun 1981) bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan asas "presumption of Innocence" . Pembuktian Terbalik berarti bahwa beban pembuktian tidak hanya ada pada Penuntut Umum, tetapi juga kepada terdakwa.
Dalam hal adanya sifat kekhususam yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat dilektakan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi terdakwa.
Sistem Pembuktian Terbalik didalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 J.o Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi "Terdakwa mempunyai hak untuj membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi."
Didalam Penjelasan Pasal 37 disebutkan bahwa ketentuan ini (beban pembuktian terbalik) merupakan suatu oemyimoangan dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini, terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa depat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih tertap berkewajiban untuk membuktikan dakwaanya, Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaanya.
Perluasan Alat Bukti
Pada sistem beban pembuktian biasa berlaku cara menggunakan alat-alat bukti menurut KUHAP tanpa kecuali, ialah membuktikan semua unsur tindak pidana dengan menggunakan alat-alat bukti yang mengacu pada syarat alat bukti yang mencukupi. Alat bukti menurut KUHAP adalah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Ketentuan ini juga berlaku bagi Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi.
Namun, didalam Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 26A menyebutkan bahwa "alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna."
Hal ini merupakan perluasan dari alat bukti petunjuk yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan yang luar biasa pula. Perluasan terhadap alat bukti petunjuk ini beralasan karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime yang tentunya sangat sulit untuk mencari bukti dan menemukan kebenaran materil dalam mengungkapkan kasus tindak pidana korupsi tersebut. Penyadapan dalam hal ini, hasil penyadapan telah terbukti berhasil mengungkapkan beberapa kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Bahwa bentuk-bentuk ketentuan khusus di dalam Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi yang menyimpangi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2001 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai :
Kewenangan penyidikan juga diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa;
Ketentuan In Absentia;
Beban pembuktian terbalik; dan
Perluasan Alat bukti dengan menambahkan data elektronik dan dokumen elektronik;
Di perbolehkan karena berlakunya asas Lex Specialis Derogate Legi Generali ( ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum) terhadap Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi, dimana Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana khusus yang juga diatur dalam aturan khusus diluar KUHP dan KUHAP.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER UNDANG –UNDANG:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana
Surat Edaran Mahkamah Agung No.9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa
SUMBER BUKU :
Mochtar Zainal A., 2014. Anatomi Hukum Pidana Khusus, Yogtakarta, UII Press
Krisitan, Gunawan Yopi, 2013 Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif Indonesia, Bandung, Nuansa Aulia
Zulkarnain, 2013. Praktik Peradilan Pidana : Panduan Praktis Memahami Peradilan Pidana, Malang, Setara Press.
Mertokusumo Sudikno, 2013. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (edisi revisi), Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka.
Hamzah Andi, 2006. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Chazawi Adami, 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni.
SUMBER LAIN :
Ang Natalia D, Tinjauan Yuridis Terhadap Perluasan Alat Bukti Penyadapan Dalam Tindak Pidana Korupsi, Journal Lex Crimen Vol. IV/No.1/Jan-Mar/2015, Universitas Sam Ratulangi.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f44462abe451/wewenang-jaksa-menyidik-ada-sejak-hir diakses pada 2 Mei 2016 pukul 00.38 WIB
1